PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bahwa dalam rangka keikutsertaan Indonesia dalam upaya mencegah meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfir dan dengan telah diratifikasinya Protokol Kyoto oleh DPR RI yang memuat antara lain programprogram Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) maka PT PLN (Persero) sebagai pelaku bisnis kelistrikan memandang perlu untuk melakukan upaya penurunan emisi GRK. Untuk itu, dipandang perlu untuk mengimplementasikan program CDM di bidang energi khususnya kelistrikan sesuai ketentuan Protokol Kyoto yang menitikberatkan pada penjualan Karbon Kredit. Perlu diketahui bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) merupakan instrumen ekonomi untuk untuk memenuhi tantangan yang dihadapi oleh mendatang ancaman perubahan iklim. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi dua tujuan membantu negara-negara berkembang dalam untuk pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan kesempatan untuk negara-negara maju untuk memberikan kontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca yang lebih rendah biaya.1 Dalam hal ini CDM merupakan satu-satunya mekanisme kerjasama antara negara Annex I dengan negara non-Annex I dalam upaya mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca yang harus dipenuhi oleh negara Annex I. Mekanisme ini bisa diistilahkan sebagai perdagangan karbon, dimana negara nonAnnex I mengembangkan suatu proyek yang ramah lingkungan yang dapat mengurangi reduksi gas karbon kemudian negara Annex I membeli reduksi emisi (karbon) yang dihasilkan dari proyek tersebut.2 Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi tujuan mekanisme CDM ini, maka proyek ini mulai diperkenalkan di negara-negara berkembang. Pelaksanaan proyek CDM di negara berkembang itu sendiri membutuhkan bantuan dana dan investasi dari negara negara maju, yang tentu saja, mereka yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi gas buang. 1 Fitrian Ardiansyah, Kepala Bidang Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan pada pertemuan di Bonn, Jerman, April 2009 dalam AWG-KP (Ad Hoc Working Group-Kyoto Protocol) didapat sejumlah hasil, yaitu negara berkembang memiliki posisi yang ambisius dalam pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 45 persen di tahun 2020. Lihat http://www.unpad.ac.id/berita/membincangkan-isu-perubahan-iklim-dengan-aspek-hukum/, tanggal 13 April 2009. 2 1/25 Lihat http://[email protected] Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Penjualan Karbon Kredit dilakukan Indonesia sebagai negara non-Annex I yang ikut serta meratifikasi Protokol Kyoto. PT PLN (Persero) melakukan jual beli karbon kredit senilai Rp37,5 miliar selama 10 tahun mulai 2010. Proyek ini sejalan dengan misi PT PLN (Persero) untuk menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan dan bukti komitmen pengurangan pencemaran udara.3 Perlunya kontrak atau perjanjian jual beli dalam proyek pengurangan emisi tersertifikasi (perdagangan karbon) yang dibuat antara penjual dan pembeli atau biasa disebut Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA). Kontrak ini diperlukan karena ERPA mengatur hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak, landasan hukum bagi pelaksanaan proyek, serta mengatur penyelesaian perselisihan. Dalam ERPA dicantumkan sejumlah klausula, seperti para pihak yang terdiri atas penjual, pembeli, pihak pelaksana proyek, otoritas atau regulator. Klausula ERPA juga memuat definisi, yaitu keterangan rinci kegiatan yang akan menjadi objek dalam ERPA, kuantitas CER (Certified Emission Reduction), validitas kepemilikan, pengiriman, kegagalan dalam pengiriman, harga dan cara pembayaran, serta pernyataan dan jaminan. Bahwa para pihak, khususnya penjual (pihak Indonesia) harus memahami secara mendalam klausula-klausula penting beserta aspek-aspek hukum yang terkait dalam perencanaan ERPA, hal ini penting demi melindungi kepentingan perusahaan. Berdasarkan pengamatan penulis, semua ERPA di PT PLN (Persero) memberlakukan hukum Eropa. Dalam hal ini penulis tertarik untuk membahas mengenai apakah hukum Inggris dapat diberlakukan dalam perjanjian jual beli karbon kredit? Diharapkan dari tulisan ini dapat diperoleh temuan serta masukan yang bermanfaat untuk memecahkan masalah yang dibahas dalam tulisan ini untuk masa yang akan datang. B. POKOK PERMASALAHAN Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini: a. Apakah karbon kredit termasuk pengertian benda yang dapat diperjualbelikan? b. Apakah hukum Inggris dapat diberlakukan dalam perjanjian jual beli karbon kredit? C. TUJUAN PENULISAN Pengertian istilah Telaahan Staf adalah sebuah hasil telaah atau kajian yang dilakukan para staf yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi atau ditemukan dalam menjalankan tugas.4 3 Sebagaimana dinyatakan oleh Vice President (VP) Lingkungan dan Keselamatan Ketenagalistrikan (KLK) PLN, Assistia J Semiawan. Lihat http://indonesiaenergywatch.com/tenagalistrik/pln-jual-karbon-kredit-ke-pembangkit-mikro-gas-rp-37-triliun.html tanggal 27 Juni 2009. 4 2/25 PLN Jasdik, Telahaan Staf, (Jakarta : PLN Jasdik, 1995) hlm. 5 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Tujuan telaahan staf ini adalah sebagai tahap akhir dalam rangkaian pendidikan On the Job Trainning (OJT) Angkatan XII di PT. PLN (Persero) sebagai syarat agar dapat diangkat menjadi pegawai tetap di PT. PLN (Persero), juga sebagai masukan yang bermanfaat mengenai pelaksanaan perjanjian jual beli Karbon Kredit untuk masa yang akan datang. D. METODE PENULISAN Penulisan ini mengkaji penerapan ketentuan hukum Inggris dalam perjanjian jual beli karbon kredit di PT PLN (Persero). Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif 5 . Sehubungan dengan pembahasan yang dilakukan dalam penulisan ini, alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen (bahan pustaka)6 yaitu buku-buku dan bahan-bahan yang ada urgensinya dengan penelitian ini. Wawancara dengan narasumber menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka langsung dilakukan kepada Tim Penjualan Karbon Kredit PT. PLN (Persero) Kantor Pusat. Dalam hal ini, daftar pertanyaan dapat dikembangkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (tidak berstruktur). E. DAFTAR PENGERTIAN/ ISTILAH 1. Direksi adalah organ PT PLN (Persero) yang terdiri dari anggota Direksi yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan PT PLN (Persero) untuk kepentingan, tujuan dan mewakili kepentingan PT PLN (Persero);7 2. Kantor Pusat adalah induk organisasi PT PLN (Persero) yang membawahi unit bisnis;8 5 Yuridis normatif artinya penelitian mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Lihat Lawrence M. Friedmann, American Law (New York: W.W. Norton and Co., 1984), hal. 6. 6 Data dalam penelitian ada dua macam, berdasar tempat diperolehnya yaitu data yang diperoleh dari masyarakat dan data yang diperoleh dari masyarakat dan data yang diperoleh dari kepustakaan. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 14. 7 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) 8 Ibid. hal. 1. 3/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat 3. Protokol Kyoto adalah: a. Komitmen dari Negara-negara Annex I untuk mengurangi GRK;9 b. Sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.10 Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB: "Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negaranegara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia." 11 4. Negara Annex I adalah: a. Negara-negara maju yang ikut menandatangani Protokol Kyoto yang berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK;12 b. Negara-negara yang telah mengkontribusikan GRK (Gerakan Rumah Kaca) hasil kegiatan manusia (Anthropogenic) sejak revolusi industri tahun 9 Ibid. 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto 11 Ibid. 12 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) , op.cit. 4/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat 1850-an. Dalam hal ini, negara-negara maju yang ikut menandatangani Protokol Kyoto yang berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK.13 5. Negara Non Annex I adalah: a. Negara-negara yang tidak termasuk dalam Negara Annex I dan meratifikasi Protokol Kyoto;14 b. Negara-negara Non-Annex I adalah Negara-negara selain Annex I, yang mengemisikan GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Dalam hal ini, merupakan negara-negara yang tidak termasuk dalam Negara Annex I dan meratifikasi Protokol Kyoto.15 6. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) adalah Badan PBB yang mengatur kerangka konvensi kerjasama tentang perubahan iklim;16 7. Executive Board adalah Badan Eksekutif yang mempunyai kewenangan untuk meregistrasi proyek CDM dan menerbitkan CERs;17 8. GRK (Gas Rumah Kaca) adalah gas-gas di atmosfer yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. GRK terdiri dari:18 - Karbondioksida (CO2) Metana (CH4) Nitrogenoksida (N2O) Hidroflorokarbon (HFCs) Perflorokarbon (PFCs) Sulfur Heksaflorida (SF6) 13 http://www.scribd.com/doc/18020604/Annex-1-Dan-Non-Annex-1. 14 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) , op.cit. 15 http://www.scribd.com/doc/18020604/Annex-1-Dan-Non-Annex-1. 16 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) , 17 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) , op.cit. op.cit. 18 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) , op.cit., hal. 2. 5/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat 9. DNA (Designated National Authority) atau KM-MPB (Komisi Pusat Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah otoritas nasional yang secara resmi menangani persetujuan negara tuan rumah dari suatu proyek MPB;19 10. CDM (Clean Development Mechanism) atau MPB (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah sebuah mekanisme dimana negara-negara yang tergabung di dalam Annex I memberikan investasi pada suatu pembangunan/ kegiatan/ aktovitas yang akan menurunkan emisi GRK kepada negara-negara Non Annex I dan di negara-negara Non Annex I;20 11. ET (Emission Trading/ Perdagangan Emisi) adalah: a. Kerjasama jual beli penurunan emisi GRK antara sesama Negara Annex I ;21 b. Mekanisme perdagangan emisi antar negara maju untuk menghasilkan AAU (Assigned Amount Unit), satuan penurunan emisi GRK.22 12. JI (Joint Implementation/ Implementasi Bersama) adalah kerjasama antara sesama Negara Annex I untuk mengurangi emisi GRK;23 13. Karbon Kredit adalah : a. Penurunan emisi GRK yang dapat diperjualbelikan;24 b. Komponen penting dalam usaha nasional dan internasional untuk mengurangi perkembangan Gas Rumah Kaca (GRK). Satu karbon kredit sama dengan satu ton karbon. Perdagangan karbon merupakan penerapan dari pendekatan perdagangan emisi. Terdapat dua tipe Carbon Credit yaitu Carbon Offset Credits COC’s dan Carbon Reduction Credit CRC’s. Carbon Offset Credits terdiri dari angin, solar, air, dan biofuels. Carbon Reduction Credit terdiri dari kumpulan dan penyimpanan karbon dari atmosfir meliputi penghutanan kembali, lautan, penyimpanan dan 19 Ibid. 20 Ibid 21 Ibid 22 http://climatechange.menlh.go.id/index.php?option=content&task=view&id=9&Itemid=31 23 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) , 24 Ibid op.cit. 6/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat kumpulan tanah. Kedua pendekatan tersebut telah diakui sebagai cara efektif untuk mengurangi Emisi Karbon sedunia.25 c. Merupakan proyek pengurangan emisi dengan CDM yang kemudian disertifikasi PBB. Setelah disertifikasi, kredit itu bisa dibeli oleh perusahaan terutama di negara maju yang menghasilkan banyak emisi, yang terikat dengan Protokol Kyoto. Dengan membeli kredit tersebut, maka perusahaan pembeli dianggap sudah mengkompensasikan emisi yang dihasilkan dengan membeli proyek CDM di negara lain.26 14. Proyek CDM adalah pembangunan/ kegiatan/ aktivitas yang dapat mengurangi emisi GRK yang harus dinyatakan dan didaftarkan melalui MPB;27 15. CERs (Certified Emissions Reduction) adalah satuan reduksi emisi GRK di dalam ERPA yang disertifikasi oleh Executive Board;28 16. ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement) adalah Kontrak Jual Beli CERs;29 17. Perdagangan Karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim30 18. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.31 25 Lihat www.beritajakarta.com, tanggal 22 Juli 2009. 26 Negara yang terikat Protokol Kyoto harus mengurangi emisi GRK-nya sampai ke level tahun 1990 selama periode 2008-2012 (rata-rata mengurangi 5% dari emisi sekarang). Skema perdagangan meliputi negara-negara, perusahaan-perusahaan, dan organisasi-organisasi yang berupaya melakukan pengurangan emisi. Lihat http://www.cdm\DNV - Emissions trading introduction (SD).htm. 27 Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) , op.cit., hal. 3. 28 Ibid. 29 Ibid. 30 Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim 31 Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 7/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat BAB II APAKAH HUKUM INGGRIS DAPAT DIBERLAKUKAN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI KARBON KREDIT? A. CDM SEBAGAI BENTUK KESEPAKATAN INTERNASIONAL Suhu bumi semakin meningkat disebabkan oleh emisi GRK yang juga meningkat akibat kegiatan yang dibuat oleh manusia. GRK dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak dan gas alam), mulai dari memasak sampai Pembangkit Listrik. Dalam perkembangannya, sejumlah negara dalam beberapa perundingan internasional di bidang perubahan iklim menyepakati sejumlah hal yang pada intinya setuju untuk menurunkan emisi GRK. Berawal dari komitmen penurunan emisi inilah, dibuat skema mekanisme untuk mencapai target penurunan emisi GRK. Skema yang pada akhirnya disetujui bersama yaitu JI (Joint Implementation) dan ET (Emission Trading), kedua skema ini hanya dapat dilakukan antar negara Annex I. Satu skema lagi yaitu CDM (Clean Development Mechanism), CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang (non-Annex I) dalam upaya menurunkan emisi GRK.32 Sekarang ini, dunia memang tengah memasuki era perdagangan komoditas baru yang disebut karbon kredit. Negara-negara maju yang diwajibkan Protokol Kyoto menurunkan emisi gas karbon mereka—penyebab utama pemanasan global— dapat membeli poin atau kredit penurunan emisi karbon dari proyek ramah lingkungan di negara berkembang melalui clean development mechanism (CDM). Kesepakatan jual-beli karbon kredit antara negara maju dan negara berkembang dapat dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah (G to G), pemerintah dengan swasta (G to P) atau swasta dengan swasta (P to P). Kesepakatan tersebut dapat dilakukan melalui dua pendekatan:33 - Pertama, Pihak negara maju (swasta atau pemerintah) sepakat dengan Pihak negara berkembang (swasta atau pemerintah) untuk membeli sejumlah karbon yang dihasilkan dari proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Pihak negara berkembang dimana keterlibatan Pihak negara maju dalam proses persiapan dan pelaksanaan proyek sangat sedikit. Jadi dalam hal ini pihak negara maju hanya memberikan jaminan pasar bagi karbon kredit yang akan dihasilkan oleh Pihak negara berkembang. - Kedua, Pihak negara maju sepakat untuk membeli karbon kredit dari Pihak negara berkembang, tetapi Pihak negara maju terlibat aktif dalam proses 8/25 32 Sumber: diolah dari www.cdm.or.id dan http://dna-cdm.menlh.go.id/id/database 33 http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/carbobrief/carbobrief0503.pdf. Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat persiapan seperti penyusunan kriteria untuk pemilihan proyek, penentuan harga, ukuran proyek dan lain sebagainya, sampai pada tahap pelaksanaan dan pengeluaran sertifikat kredit pengurangan emisi (CER). Banyak keuntungan yang dapat diperoleh melalui proyek CDM di antaranya: terjadi transfer teknologi negara Annex I kepada negara non-Annex I yang melakukan proyek CDM, memberikan dana tambahan bagi negara penyelenggara untuk mempersiapkan diri menghadapi dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim serta negara penyelenggara akan mendapatkan investasi baru untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sebuah proyek ramah lingkungan harus melalui proses sertifikasi panjang agar dapat dinyatakan layak mengikuti CDM. Gambaran sederhananya, proses memperoleh sertifikat dimulai dengan pembuatan proposal (dibantu konsultan) dan penilaian oleh komisi nasional di negara lokasi proyek. Bila lolos, evaluasi berikutnya dilakukan United Nation Framework Covention on Climate Change (UNFCCC) yang berkedudukan di Jerman. Jika semua persyaratan terpenuhi, Badan Eksekutif UNFCCC akan mengeluarkan sertifikasi pengurangan emisi atau certified emission reductions (CER). CER inilah yang kemudian dapat dijual ke perusahaan-perusahaan di negara maju. Satu kredit karbon atau CER setara dengan potensi pengurangan emisi satu ton karbon.34 Berbicara mengenai CDM akan sering bertemu dengan istilah CER. Certified Emission Reduction atau biasa disingkat dengan CER merupakan sertifikasi yang diberikan kepada perusahaan proyek CDM yang benar-benar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Perusahaan yang telah mendapatkan CER inilah yang biasanya banyak dilirik oleh investor negara Annex I. Mereka kebanyakan negara yang tidak mau mendapatkan resiko dalam investasinya sehingga memilih proyek CDM yang telah mendapatkan CER. CER atau penurunan Certified Emissions adalah "sertifikat" seperti saham. CER diberikan oleh Dewan Eksekutif CDM untuk proyek-proyek di negara-negara berkembang untuk menyatakan mereka telah mengurangi emisi gas rumah hijau oleh satu ton karbon dioksida per tahun. Negara-negara maju membeli CER dari negaranegara berkembang di bawah CDM proses untuk membantu mereka mencapai target Protokol Kyoto. 35 Dalam hal ini, penulis informasikan bahwa Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak 34 35 http://bintari.multiply.com/journal/item/29 IPCC Third Assessment Report. Intergovernmental Panel tentang Perubahan Iklim 9/25 Perubahan Iklim 2001: The Scientific Basis. Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.36 Berikut di bawah ini tabel nama-nama Negara Annex I dan Non Annex I :37 Negara Annex I Menuntut partisipasi Non Annex I EU : Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Luksemburg, Perancis, Portugal, Spanyol, Swedia, dan Yunani JUSSCANNZ: Jepang, AS, Swiss, Kanada, Australia, Norwegia, dan Selandia Baru Negara Non Annex I Menuntut komitmen Annex I G77 + Cina: Semua negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin dan kepulauan di Lautan Pasifik dan Karibia kecuali Cook Islands, Kiribati, Nauru, Niue, Palau dan Tuvalu OPEC: Aljazair, Indonesia, Iran, Irak, Kuwait, Lybia, Nigeria, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Venezuela GRULAC: Antigua dan Barbuda, Argentina, Bahama, Barbados, Belize, Bolivia, Brasil, Cile, Kosta Rika, Dominika, Republik Dominika, Ekuador, El Salvador, Grenada, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, Jamaika, Kolombia, Kuba, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, St Kitts dan Nevis, St Lucia, St vIncent dan Grenadines, Suriname, Trinidad dan Tobago, Uruguay dan Venezuela Kelompok Payung: Kel. Afrika: Jepang, AS, Kanada, Australia, Semua negara di Benua Asfrika beserta Norwegia, Selandia Baru, Islandia, Rusia Madagaskar dan Seychelles dan Ukraina Rusia dan CEIT: Rusia, Belarus, Bulgaria, Ceko, Slovakia, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Rumania, Ukraina, Kroasia, Slovenia 36 AOSIS: Samoa, Antigua dan Barbuda, Bahama, Barbados, Belize, Cape Verde, Comoro, Cook Island, Kuba, Siprus, Dominika, Mikronesia, Fiji, Grenada, Guam, Guinea Bissau, Guyana, Ibid. 37 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hal. 16-18 10/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Jamaika, Kiribati, Maladewa, Malta, Marshall Islands, Mauritius, Nauru, Antiles, Niue, Palau, PNG, Sao Tome, Seychelles, Singapura, Solomon Islands, St Kitts and Nevis, St Lucia, St Vincent dan Grenadines, Suriname, Tonga, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, Virgin Island dan Vanuatu CEIT lainnya: Albania, Armenia, Georgia, Kazakhstan, Macedonia, Moldova, Uzbekistan, Yugoslavia Azerbaijan, Kyrgystan, Tajikistan, Catatan: * Kroasia, Slovenia, Liechtenstein dan Monaco memiliki target pengurangan emisi GRK tetapi mereka bukan negara Annex I menurut UNFCCC ** Negara-negara yang belum meratifikasi Protokol Kyoto per Maret 2005 adalah Kroasia, Belarusia, Australia, Amerika Serikat, Monaco dan Turki Sumber: MoE, Japan dan IGES 2005 Dalam kaitannya dengan pemanasan global, proyek CDM memiliki 2 tujuan. Pertama, membantu negara non-Annex I untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan turut serta dalam program pengurangan emisi gas buang. Dengan demikian, negara non-Annex I dapat menekan emisi gas rumah kaca pada level yang tidak membahayakan iklim global. Tujuan kedua yaitu, bahwa dengan proyek mekanisme pembangunan bersih, negara berkembang dapat membantu negara Annex I untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kacanya. Bagi negara berkembang, dalam melaksanakan proyek CDM haruslah memperhatikan beberapa prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh sebuah proyek CDM yaitu eligibility dan additionality. 1) Eligibility atau kelaikan merupakan hal penting untuk menghindari terjadinya investasi pada proyek yang tidak mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Hal yang dimaksudkan yaitu seperti proyek pemanfaatan tenaga nuklir, pembangkit listrik tenaga air dengan skala makro (yang masih banyak ditentang oleh banyak pihak sebagai proyek CDM). 2) Prinsip kedua yaitu prinsip additionality atau prinsip nilai tambah, yaitu bahwa proyek CDM ini haruslah memberikan nilai tambah yang signifikan baik terhadap lingkungan maupun terhadap perekonomian. 11/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Selain harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar tersebut, untuk dapat melaksanakan proyek CDM, negara berkembang haruslah juga memenuhi 2 syarat utama. Pertama, harus meratifikasi Protokol Kyoto, dan kedua, negara tersebut harus telah mendirikan DNA (Designated National Authority). Indonesia sendiri telah meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004, dengan begitu Indonesia menjadi negara ke 124 yang meratifikasi Protokol Kyoto. Pemerintah meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 pada tanggal 28 Juli 2004. Dengan demikian Indonesia telah menjadi negara anggota peratifikasi Protokol Kyoto dan bisa melaksanakan kebijakan yang terkait dengan pemanasan global, salah satunya yaitu CDM. Syarat kedua yang perlu untuk dipenuhi dalam rangka penerapan proyek CDM yaitu dengan penyusunan DNA, sebuah badan berwenang yang menangani proyek CDM di sebuah negara berkembang. Di Indonesia, badan berwenang CDM bernama Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB). Komnas MPB didirikan pada 21 Juli 2005 dan terdiri dari 10 anggota. Sepuluh anggota Komnas MPB tersebut diantaranya: Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian, Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian dan Bappenas. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup menjadi ketua Komnas MPB. B. TINJAUAN TERHADAP HUKUM PERJANJIAN YANG BERLAKU DI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERJANJIAN JUAL BELI KARBON KREDIT 1. KETENTUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN 1.1. UNSUR-UNSUR DALAM PERJANJIAN Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam Perjanjian yaitu: unsur esensialia, naturalia dan aksidentalia. Pada hakikatnya ketiga macam unsur dalam perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1339 KUHPer. Rumusan Pasal 1339 KUHPer menyatakan bahwa: ”Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Unsur Esensialia dalam Perjanjian Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam 12/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. 38 Sehubungan dengan unsur esensialia, dalam hal ini ERPA (Emission Reducition Purchase Agreement) adalah Kontrak Jual Beli CERs yang mengandung unsur esensialia dari perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPer: ”Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”. Dengan demikian bahwa unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Unsur Naturalia dalam Perjanjian Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.39 Dalam hal ini, maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUHPer yang menyatakan bahwa: ”Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Unsur Aksidentalia dalam Perjanjian Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Dalam hal ini misalnya di dalam perjanjian jual beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli.40 38 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 85. 39 Ibid., hal. 88. 40 Ibid., hal. 89. 13/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat 1.2. ASAS-ASAS UMUM HUKUM PERJANJIAN Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak dalam perjanjian, oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) terdapat berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat. Berikut ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPer:41 Asas Personalia Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPer yang berbunyi: ”Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Namun lebih jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315 KUHPer juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri akan mengikat diri pribadi tersebut dan dalam lapangan perikatan mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadi. Asas Konsensualitas Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas ini dapat ditemui dalam rumusan Pasal 1320 KUHPer yang berbunyi: ”Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang”. Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: 1. dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif) 2. dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). 41 Ibid., hal. 14. 14/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka 1 dari Pasal 1320 KUHPer. KUHPer tidak memberikan rumusan lebih jauh mengenai formalitas kesepakatan yang harus dipenuhi. Asas konsensualitas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil dimana suatu kesepakatan lisan saja yang telah tercapai antara para pihak yang membuat atau mengadakan perjanjian telah membuat perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi para pihak. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian untuk menjaga kepentingan pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi diadakan bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut terakhir ini, kesepakatan saja belum mengikat pada pihak yang berjanji. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 KUHPer. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukan sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337 KUHPer yang menyatakan bahwa: ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Memberikan gambaran umum bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:42 1. membuat atau tidak membuat perjanjian 2. mengadakan perjanjian dengan siapapun 3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya 42 Handri Raharjo, SH, Hukum Perjanjian di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 44. 15/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat 4. menentukan bentuknya perjanjian secara tertulis dan lisan Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-undang (Pacta Sunt Servande) Asas yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yang menyatakan bahwa: ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPer yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. 1.3 SISTIM PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia adalah Buku III KUHPerdata dikatakan bersifat terbuka, karena dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas konsensualitas dan asas kebebasan berkontrak. Asas konsensualitas mewakili kewenangan subyektif, yang berhubungan dengan pihak-pihak yang berhak dan berwenang untuk membuat perjanjian; dan asas kebebasan berkontrak mewakili bentuk atau isi dari perjanjian yang dibuat.43 Dalam hal ini, hukum perjanjian memiliki beberapa asas salah satunya adalah asas kebebasan berkontrak. Bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar UU, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUHPerdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada UU dalam hal ini Buku III KUHPerdata. 43 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 18. 16/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi dalam Pasal 1313 KUHPer diberikan definisi dari perjanjian sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Walaupun definisi dari perikatan tidak secara tegas diatur dalam KUHPer, akan tetapi dalam Pasal 1233 KUHPer ditegaskan bahwa perikatan selain dapat dilahirkan dari undang-undang, dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan kalimat lain, bila definisi dari Pasal 1313 KUHPer dihubungkan dengan maksud dari Pasal 1233 KUHPer, maka terlihat bahwa pengertian dari perjanjian dapat meliputi pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian sendiri. Pada prinsipnya perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.44 Secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:45 1. Perjanjian dalam arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. 2. Perjanjian dalam arti sempit adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama. Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu: (1) Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. (2) Perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. (3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan demikian, hukum Inggris dapat diterapkan dalam perjanjian jual beli karbon kredit, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam hukum Indonesia yang memiliki sistem terbuka. Dalam hal ini hukum perjanjian bersifat terbuka. Artinya KUHPerdata memberikan kemungkinan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam Undang-undang, peraturan khusus maupun perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Namun demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Di lain pihak, hukum perjanjian karena sifatnya yang terbuka, yang 44 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III (Bandung: Alumni, 2006), hal. 1. 45 Handri Raharjo, SH, op.cit., hal. 42. 17/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat memungkinkan setiap orang untuk mengaturnya secara independen, selama syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi. Dalam hal ini ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi dalam Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit. 2. APAKAH KARBON KREDIT TERMASUK PENGERTIAN BENDA YANG DAPAT DIPERJUALBELIKAN? Terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai pengertian benda menurut Pasal 499 KUHPerdata, benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan, yang dimaksud dengan benda dalam arti ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum dan barangbarang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, yang dimaksudkan dengan benda ialah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik).46 Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, pengertian benda pertama-tama ialah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera, tapi barang yang tak berwujud termasuk benda juga. 47 Sedangkan menurut Prof. Subekti, perkataan benda (zaak) dalam arti luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, dan perkataan benda dalam arti sempit ialah sebagai barang yang dapat terlihat saja.48 Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, benda dalam arti yuridis ialah sesuatu yang merupakan obyek hukum. Hakekat benda (zaak) adalah sesuatu hakekat yang diberikan oleh hukum obyektif.49 Jadi, di dalam sistem Hukum Perdata (KUHPerdata), kata zaak (benda) mempunyai dua arti, yaitu:50 a. Barang yang berwujud b. Bagian daripada harta kekayaan. Yang termasuk zaak selain daripada barang yang berwujud, juga beberapa hak tertentu sebagai barang yang tak berwujud. Selanjutnya menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, benda dapat dibagi atas:51 a. Benda berwujud yakni benda yang dapat ditangkap dengan panca indera 46 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 74. 47 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 13. 48 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1987), hal. 60. 49 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan: Mr. Oetarid Sadino), Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hal. 215. 50 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit., hal. 14. 51 L.J. van Apeldoorn, op.cit. 18/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat b. Benda tidak berwujud yakni hak-hak subyektif Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam BW benda dapat dibedakan atas:52 a. Benda tidak bergerak dan benda bergerak; Benda tidak bergerak (lihat Pasal 506, 507 dan 508 BW). Ada tiga golongan benda tidak bergerak yaitu: 1. Benda yang menurut sfatnya tidak bergerak, yang dibagi lagi menjadi 3 macam: - tanah; - segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta bercabang seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang masih belum dipetik dan sebagainya; - segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas tanah yaitu karena tertanam dan terpaku. 2. Benda yang menurut tujuannya/ tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan benda tidak bergerak sub 1 seperti: - pada pabrik: segala mesin-mesin, ketel-ketel dan alat-alat lain yang dimaksudkan supaya terus menerus berada di situ untuk dipergunakan dalam menjalankan pabrik; - pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang dipergunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam kolan dan lain-lain; - pada rumah kediaman: segala kaca, tulisan-tulisan dan lain-lain serta alatalat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding; - barang-barang reruntuhan dari sesuatu bangunan apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan itu. 3. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tidak bergerak seperti: - hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tidak bergerak; - kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas (dalam hukum perniagaan); Benda bergerak (lihat Pasal 509, 510 dan 511 BW). Ada 2 golongan benda bergerak yaitu: 1. Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat berpindah atau dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Misalnya: sepeda, kursi, meja, buku, pena dan sebagainya; 2. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda bergerak ialah segala hak atas benda-benda bergerak. Misalnya: hak memetik hasil dan hak memakai, hak atas bunga yang harus dibayar selama hidup sesorang, hak menuntut di muka hakim supaya uang tunai atau benda-benda bergerak diserahkan kepada penggugat, saham-saham dari peseroan dagang dan suratsurat berharga lainnya. 52 H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata , cet. 1, edisi ketiga, Bandung: Alumni, 2006, hal. 108 19/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat b. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada; Benda-benda yang dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan/ manfaat dari benda-benda ini justru terletak pada kemusnahannya. Misalnya: barang-barang makanan dan minuman, kalau dimakan dan diminum baru memberi manfaat bagi kesehatan, demikian juga kayu bakar dan arang, setelah dibakar dan menimbulkan api baru memberi manfaat untuk memasak sesuatu makanan dan sebagainya. Benda yang tetap ada ialah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetapi memberi manfaat/ faedah bagi si pemakai. Seperti cangkir, sendok, piring, mangkok, mobil, sepeda motor dan sebagainya. c. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti; Perbedaan antara benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti tidak disebut secara tegas dalam BW, tetapi perbedaan itu ada dalam BW, misalnya dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang. Menurut pasal 1694 BW pengembalian benda oleh yang dititipi harus in natura artinya tidak boleh diganti dengan benda yang lain. Oleh karena itu, perjanjian penitipan barang umumnya hanya mengenai benda yang tidak akan musnah. Bilamana benda yang dititipkan berupa uang, menurut Pasal 714 BW, jumlah uang yang harus dikembalikan harus dalam mata uang yang sama seperti yang dititipkan, baik mata uang itu telah naik atau telah turun nilainya. Lain halnya jika uang tersebut tidak dititipkan, tetapi dipinjam-menggantikan, yang meminjam hanya diwajibkan mengembalikannya sejumlah uang saja, sekalipun dengan mata uang yang berbeda daripada waktu perjanjian pinjam-mengganti diadakan. d. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi; Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat daripada benda itu sendiri. Misalnya: beras, gula pasir dan lain-lain. Benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi mengakibatkan hilangnya atau lenyapnya hakikat daripada benda itu sendiri. Misalnya: kuda, sapi, uang dan lain-lain. e. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak diperdagangkan. Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang dapat dijadikan obyek (pokok) suatu perjanjian. Jadi semua benda yang dapat dijadikan pokok perjanjian di lapangan harta kekayaan termasuk benda yang dapat diperdagangkan. 20/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Benda yang tidak diperdagangkan adalah benda-benda yang tidak dapat dijadikan obyek (pokok) suatu perjanjian di lapangan harta kekayaan; biasanya benda-benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, sebagaimana uraian tersebut di atas bahwa karbon kredit termasuk dalam pengertian benda menurut KUHPerdata yang karena tujuan pemakaiannya dinyatakan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud. Karbon kredit merupakan proyek pengurangan emisi dengan CDM yang kemudian disertifikasi PBB. Setelah disertifikasi, karbon kredit itu bisa dibeli oleh perusahaan terutama di negara maju yang menghasilkan banyak emisi, yang terikat dengan Protokol Kyoto. Bagi Pembeli Karbon Kredit dimana ia termasuk negara yang terikat dengan Protokol Kyoto jika tidak memenuhi ketentuan penurunan emisi karbon yang dipersyaratkan, maka ia akan dikenakan carbon tax oleh negara tersebut. 3. PELAKSANAAN JUAL BELI KARBON KREDIT DI PT PLN (PERSERO) Kebijakan PLN dalam pengembangan kegiatan/ proyek CDM sesuai misi PLN adalah kewajiban perusahaan melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Sejalan dengan misi tersebut dan dengan komitmen nasional tentang pengurangan emisi GRK, PLN akan melakukan upaya pengurangan emisi GRK dari semua kegiatan instalasi (Pembangkit, Transmisi/ Gardu Induk dan Distribusi). PLN akan menggunakan peluang yang diberikan oleh Kyoto Protokol yaitu peluang kepada Negara Non Annex I untuk mendapatkan kredit dari upaya pengurangan emisi GRK, melalui mekanisme CDM yang akan berlaku dari tahun 2008 sampai dengan 2012. Implementasi CDM akan diterapkan untuk semua kegiatan di lingkungan PLN yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi proyek CDM baik di sisi pembangkitan, transmisi/ gardu induk dan distribusi. Hasil penjualan karbon kredit yang diterima melalui mekanisme CDM bukan bertujuan untuk penambahan pendapatan PLN namun hanya merupakan insentif bagi perusahaan dalam mencapai misi PLN. Perlu penulis informasikan Direksi PT PLN (Persero) telah menerbitkan Surat Kuasa No : 424.Sku/432/DIR/2008 tanggal 11 September 2008, dimana VP LKL diberikan wewenang untuk melakukan kegiatan Penjualan Karbon Kredit yang dimulai dari pembentukan Tim Penjualan sampai dengan penandatanganan Perjanjian/ Kontrak serta monitoring implementasi Perjanjian/ Kontrak. Sebagai tindak lanjutnya, VP LKL membentuk Tim Penjualan Karbon Kredit dan Tim Implementasi CDM melalui Surat Tugas No : 039-2.STg/041/VPLKL/2008 tanggal 15 September 2008 tentang Penugasan Tim Implementasi CDM di lingkungan PT PLN (Persero). 21/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Berikut di bawah ini status proyek CDM di PT PLN (Persero): No Nama Proyek Status 1 PLTP Lahendong II Validasi 2 PLTP Kamojang IV Validasi 3 PLTP Lahendong III Persetujuan DNA 4 PLTA Genyem PLTM Lobong PLTM Mongango PLTM Merasap Sudah melaksanakan konsultasi publik 5 6 PLTMG Bontang PLTM Ndungga PLTM Santong PLTM Prafi PLTP Ulumbu Negosiasi ERPA Proses penunjukan pemenang 7 Pengurangan penggunaan SF6 di P3B RJKB Proses penentuan baseline data 8 PLTG Batang Hari dan PLTD Payo Selincah Proses due diligence Pembangunan/ Kegiatan/ Aktivitas yang tidak bisa dijadikan Proyek CDM adalah: - Proyek yang emisi karbonnya berkurang akibat pemanfaatan fasilitas nuklir; - Proyek yang telah memperoleh bantuan resmi Official Development Assistance (ODA) dari Negara Annex I; - Proyek penyerapan akibat penggundulan hutan dan penanaman hutan kembali. - Potensi Proyek CDM di PT PLN (Persero) antara lain: Pembangunan pembangkit listrik berbasis renewable energy: mini/ hydro, angin, panas bumi, gas alam, biofuels dan lain-lain; Penggantian bahan bakar dari jenis bahan bakar yang banyak mengemisikan GRK ke bahan bakar yang lebih sedikit mengemisikan GRK; Efisiensi energi adalah meningkatkan efisiensi pengoperasian sistem kelistrikan sehingga penggunaan bahan bakar berkurang; Pengurangan emisi gas SF6 yang berpotensi menghasilkan pemanasan global ± 23.000 kali dari CO2 biasanya digunakan pada jalur transmisi dan distribusi untuk istalasi peralatan tegangan tinggi. 22/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat Penjualan Karbon Kredit PT PLN (Persero) dilaksanakan dengan mengundang Badan Usaha yang berpengalaman melaksanakan pembelian Karbon Kredit dan atau berpengalaman dalam pengembangan Proyek CDM (“Pembeli Karbon Kredit”). a. b. c. d. Kebijakan umum penjualan Karbon Kredit antara lain: Meningkatkan transparansi, persaingan usaha yang sehat dan kompetitif dengan melakukan penjualan Karbon Kredit secara terbuka; Menyederhanakan ketentuan, tata cara penjualan serta meningkatkan profesionalisme agar penjualan Karbon Kredit atas proyek-proyek CDM dapat dilakukan sebelum tahun 2012; Pelaksanaan penjualan Karbon Kredit dilakukan di Kantor Pusat dengan Direksi selaku penjual Karbon Kredit; Untuk nilai penjualan Karbon Kredit dengan nilai equivalen sampai dengan 50 milyar rupiah, Direksi melalui Direktur Utama dapat memberikan kuasa pada VP LKL sebagai pejabat yang diberi kuasa atas pelaksanaan penjualan Karbon Kredit mulai dari pembentukan tim penjualan Karbon Kredit sampai dengan penunjukan pembeli Karbon Kredit. Dalam tahap Persiapan, penjual Karbon Kredit memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Penjual Karbon Kredit menyusun rencana penjualan Karbon Kredit atas proyek-proyek yang mempunyai potensi untuk menjadi proyek CDM; b. Penjual Karbon Kredit mengumumkan melalui media cetak dan atau papan pengumuman rencana penjualan Karbon Kredit atas proyek-proyek yang mempunyai potensi untuk menjadi proyek CDM sekurang-kurangnya 2 kali dalam 1 tahun; c. Penjual Karbon Kredit membentuk tim penjualan Karbon Kredit dan tim implementasi CDM; d. Dalam hal diperlukan bantuan konsultan ahli dalam pelaksanaan penjualan Karbon Kredit dan atau pelaksanaan proyek CDM maka penjual Karbon Kredit dapat mengadakan konsultan ahli sesuai ketentuan pengadaan yang berlaku. Bahwa semua ERPA PT PLN (Persero) diatur dan ditafsirkan berdasarkan hukum Inggris. Sebagaimana diketahui bahwa Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA) adalah suatu Perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban para pihak atas jual beli Karbon Kredit. Perlu penulis sampaikan bahwa hukum Indonesia telah mengatur secara lengkap tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan unsur-unsur Perjanjian jual beli dan obyek atas barang yang diperjualbelikan. Dalam hal ini, apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam hukum positif Indonesia misalnya mengenai karbon kredit itu sendiri ataupun hal lainnya, maka akan diberlakukan Hukum Inggris yang biasa dipakai dalam praktek jual beli karbon kredit (hukum Inggris). 23/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hukum perjanjian dikatakan bersifat terbuka. Artinya KUHPerdata memberikan kemungkinan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam Undang-undang, peraturan khusus maupun perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Jadi, siapapun boleh mengadakan suatu perikatan atau perjanjian mengenai apapun juga. Dengan demikian, hukum perikatan mengenal asas kebebasan berkontrak. Namun demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Pada sisi lain, hukum perjanjian karena sifatnya yang terbuka, yang memungkinkan setiap orang untuk mengaturnya secara independen, selama syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, maka hukum perjanjian, juga seringkali disebut dengan hukum pelengkap. Dengan pernyataan hukum pelengkap, maksudnya adalah apabila para pihak dalam perjanjian tidak telah mengatur secara berbeda, apa yang telah ditentukan oleh UU yang akan berlaku dan diberlakukan bagi para pihak. Karbon kredit sendiri yang merupakan obyek perjanjian, termasuk dalam pengertian benda. Pengertian benda menurut Pasal 499 KUHPerdata, benda ialah tiaptiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan, yang dimaksud dengan benda dalam arti ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum. Karbon kredit termasuk dalam pengertian benda menurut KUHPerdata yang karena tujuan pemakaiannya dinyatakan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud. Dengan demikian. dapat disimpulkan hukum Inggris dapat diterapkan dalam perjanjian jual beli karbon kredit, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam hukum Indonesia yang memiliki sistem terbuka. Dalam hal ini hukum perjanjian bersifat terbuka. Artinya KUHPerdata memberikan kemungkinan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam Undang-undang, peraturan khusus maupun perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Namun demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Di lain pihak, hukum perjanjian karena sifatnya yang terbuka, yang memungkinkan setiap orang untuk mengaturnya secara independen, selama syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi. Dalam hal ini ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi dalam Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit. 24/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190) PT. PLN (Persero) Kantor Pusat Satuan Pelayanan Hukum Korporat B. SARAN Dalam setiap Perjanjian Pembelian Pengurangan Emisi (ERPA) bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Inggris. Dalam hal ini, hukum Indonesia telah mengatur secara lengkap tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan unsur-unsur Perjanjian jual beli dan obyek atas barang yang diperjualbelikan.. Dalam hal ini, apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam hukum positif Indonesia misalnya mengenai karbon kredit itu sendiri ataupun hal lainnya, maka akan diberlakukan Hukum Inggris yang biasa dipakai dalam praktek jual beli karbon kredit. Prinsip dari penjualan Karbon Kredit berbeda dengan pengadaan barang/ jasa karena pada penjualan Karbon Kredit PT PLN (Persero) melakukan penjualan tetapi dalam pengadaan melakukan pembelian. Namun dalam pelaksanaannya, prosedur penjualan Karbon Kredit sudah mengindahkan kaidah transparansi. Bila akan dilaksanakan mengikuti ketentuan pengadaan barang jasa selain prinsipnya berbeda tentunya target penjualan Karbon Kredit atas proyek-proyek yang mempunyai potensi CDM harus terjual sebelum tahun 2012 akan sulit tercapai. Untuk itu perlu dibuat prosedur yang lebih sederhana dari ketentuan pengadaan barang jasa. Apabila berdasarkan common practice disetujui Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit menggunakan hukum Inggris dan akan diberlakukan pada Jual Beli Karbon Kredit di PLN maka pada saat negosiasi dan pembuatan ERPA, Tim Penjual Karbon Kredit sebaiknya didampingi oleh konsultan hukum yang memahami hukum Inggris. 25/25 Telaahan Staf Dayita Putri K.(JK/HK/00190)