KEBERLAKUAN HUKUM INDONESIA

advertisement
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bahwa dalam rangka keikutsertaan Indonesia dalam upaya mencegah
meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfir dan dengan telah
diratifikasinya Protokol Kyoto oleh DPR RI yang memuat antara lain programprogram Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM)
maka PT PLN (Persero) sebagai pelaku bisnis kelistrikan memandang perlu untuk
melakukan upaya penurunan emisi GRK. Untuk itu, dipandang perlu untuk
mengimplementasikan program CDM di bidang energi khususnya kelistrikan sesuai
ketentuan Protokol Kyoto yang menitikberatkan pada penjualan Karbon Kredit.
Perlu diketahui bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism/CDM) merupakan instrumen ekonomi untuk untuk memenuhi tantangan
yang dihadapi oleh mendatang ancaman perubahan iklim. Hal ini dimaksudkan untuk
memenuhi dua tujuan membantu negara-negara berkembang dalam untuk
pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan kesempatan untuk negara-negara
maju untuk memberikan kontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca yang lebih
rendah biaya.1
Dalam hal ini CDM merupakan satu-satunya mekanisme kerjasama antara
negara Annex I dengan negara non-Annex I dalam upaya mencapai target
pengurangan emisi gas rumah kaca yang harus dipenuhi oleh negara Annex I.
Mekanisme ini bisa diistilahkan sebagai perdagangan karbon, dimana negara nonAnnex I mengembangkan suatu proyek yang ramah lingkungan yang dapat
mengurangi reduksi gas karbon kemudian negara Annex I membeli reduksi emisi
(karbon) yang dihasilkan dari proyek tersebut.2
Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi tujuan mekanisme CDM ini, maka
proyek ini mulai diperkenalkan di negara-negara berkembang. Pelaksanaan proyek
CDM di negara berkembang itu sendiri membutuhkan bantuan dana dan investasi dari
negara negara maju, yang tentu saja, mereka yang memiliki kewajiban untuk
menurunkan emisi gas buang.
1
Fitrian Ardiansyah, Kepala Bidang Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan
Hidup mengatakan pada pertemuan di Bonn, Jerman, April 2009 dalam AWG-KP (Ad Hoc Working
Group-Kyoto Protocol) didapat sejumlah hasil, yaitu negara berkembang memiliki posisi yang
ambisius dalam pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 45 persen di tahun 2020. Lihat
http://www.unpad.ac.id/berita/membincangkan-isu-perubahan-iklim-dengan-aspek-hukum/, tanggal 13
April 2009.
2
1/25
Lihat http://[email protected]
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Penjualan Karbon Kredit dilakukan Indonesia sebagai negara non-Annex I
yang ikut serta meratifikasi Protokol Kyoto. PT PLN (Persero) melakukan jual beli
karbon kredit senilai Rp37,5 miliar selama 10 tahun mulai 2010. Proyek ini sejalan
dengan misi PT PLN (Persero) untuk menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan
lingkungan dan bukti komitmen pengurangan pencemaran udara.3
Perlunya kontrak atau perjanjian jual beli dalam proyek pengurangan emisi
tersertifikasi (perdagangan karbon) yang dibuat antara penjual dan pembeli atau biasa
disebut Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA). Kontrak ini diperlukan
karena ERPA mengatur hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak, landasan
hukum bagi pelaksanaan proyek, serta mengatur penyelesaian perselisihan. Dalam
ERPA dicantumkan sejumlah klausula, seperti para pihak yang terdiri atas penjual,
pembeli, pihak pelaksana proyek, otoritas atau regulator. Klausula ERPA juga
memuat definisi, yaitu keterangan rinci kegiatan yang akan menjadi objek dalam
ERPA, kuantitas CER (Certified Emission Reduction), validitas kepemilikan,
pengiriman, kegagalan dalam pengiriman, harga dan cara pembayaran, serta
pernyataan dan jaminan. Bahwa para pihak, khususnya penjual (pihak Indonesia)
harus memahami secara mendalam klausula-klausula penting beserta aspek-aspek
hukum yang terkait dalam perencanaan ERPA, hal ini penting demi melindungi
kepentingan perusahaan.
Berdasarkan pengamatan penulis, semua ERPA di PT PLN (Persero)
memberlakukan hukum Eropa. Dalam hal ini penulis tertarik untuk membahas
mengenai apakah hukum Inggris dapat diberlakukan dalam perjanjian jual beli karbon
kredit? Diharapkan dari tulisan ini dapat diperoleh temuan serta masukan yang
bermanfaat untuk memecahkan masalah yang dibahas dalam tulisan ini untuk masa
yang akan datang.
B. POKOK PERMASALAHAN
Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini:
a. Apakah karbon kredit termasuk pengertian benda yang dapat diperjualbelikan?
b. Apakah hukum Inggris dapat diberlakukan dalam perjanjian jual beli karbon
kredit?
C. TUJUAN PENULISAN
Pengertian istilah Telaahan Staf adalah sebuah hasil telaah atau kajian yang
dilakukan para staf yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
atau ditemukan dalam menjalankan tugas.4
3
Sebagaimana dinyatakan oleh Vice President (VP) Lingkungan dan Keselamatan
Ketenagalistrikan (KLK) PLN, Assistia J Semiawan. Lihat http://indonesiaenergywatch.com/tenagalistrik/pln-jual-karbon-kredit-ke-pembangkit-mikro-gas-rp-37-triliun.html tanggal 27 Juni 2009.
4
2/25
PLN Jasdik, Telahaan Staf, (Jakarta : PLN Jasdik, 1995) hlm. 5
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Tujuan telaahan staf ini adalah sebagai tahap akhir dalam rangkaian
pendidikan On the Job Trainning (OJT) Angkatan XII di PT. PLN (Persero) sebagai
syarat agar dapat diangkat menjadi pegawai tetap di PT. PLN (Persero), juga sebagai
masukan yang bermanfaat mengenai pelaksanaan perjanjian jual beli Karbon Kredit
untuk masa yang akan datang.
D. METODE PENULISAN
Penulisan ini mengkaji penerapan ketentuan hukum Inggris dalam perjanjian
jual beli karbon kredit di PT PLN (Persero). Pendekatan masalah yang digunakan
dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif 5 . Sehubungan dengan
pembahasan yang dilakukan dalam penulisan ini, alat pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumen (bahan pustaka)6 yaitu buku-buku dan bahan-bahan
yang ada urgensinya dengan penelitian ini.
Wawancara dengan narasumber menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat
terbuka langsung dilakukan kepada Tim Penjualan Karbon Kredit PT. PLN (Persero)
Kantor Pusat. Dalam hal ini, daftar pertanyaan dapat dikembangkan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya (tidak berstruktur).
E. DAFTAR PENGERTIAN/ ISTILAH
1. Direksi adalah organ PT PLN (Persero) yang terdiri dari anggota Direksi yang
bertanggungjawab penuh atas pengurusan PT PLN (Persero) untuk
kepentingan, tujuan dan mewakili kepentingan PT PLN (Persero);7
2. Kantor Pusat adalah induk organisasi PT PLN (Persero) yang membawahi unit
bisnis;8
5
Yuridis normatif artinya penelitian mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan
mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Lihat Lawrence M.
Friedmann, American Law (New York: W.W. Norton and Co., 1984), hal. 6.
6
Data dalam penelitian ada dua macam, berdasar tempat diperolehnya yaitu data yang
diperoleh dari masyarakat dan data yang diperoleh dari masyarakat dan data yang diperoleh dari
kepustakaan. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali
Pers, 1990), hal. 14.
7
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero)
8
Ibid.
hal. 1.
3/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
3. Protokol Kyoto adalah:
a. Komitmen dari Negara-negara Annex I untuk mengurangi GRK;9
b. Sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai
pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini
berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan
lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi
jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang
telah dikaitkan dengan pemanasan global.10
Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations
Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai
Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Menurut rilis pers
dari Program Lingkungan PBB:
"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negaranegara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka
secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun
yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan
jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti
pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi
rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung
sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target
nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk
AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang
diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia." 11
4. Negara Annex I adalah:
a. Negara-negara maju yang ikut menandatangani Protokol Kyoto yang
berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK;12
b. Negara-negara yang telah mengkontribusikan GRK (Gerakan Rumah Kaca)
hasil kegiatan manusia (Anthropogenic) sejak revolusi industri tahun
9
Ibid.
10
http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto
11
Ibid.
12
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) ,
op.cit.
4/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
1850-an. Dalam hal ini, negara-negara maju yang ikut menandatangani
Protokol Kyoto yang berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK.13
5. Negara Non Annex I adalah:
a. Negara-negara yang tidak termasuk dalam Negara Annex I dan
meratifikasi Protokol Kyoto;14
b. Negara-negara Non-Annex I adalah Negara-negara selain Annex I, yang
mengemisikan GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan
ekonomi yang jauh lebih rendah. Dalam hal ini, merupakan negara-negara
yang tidak termasuk dalam Negara Annex I dan meratifikasi Protokol
Kyoto.15
6. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
adalah Badan PBB yang mengatur kerangka konvensi kerjasama tentang
perubahan iklim;16
7. Executive Board adalah Badan Eksekutif yang mempunyai kewenangan untuk
meregistrasi proyek CDM dan menerbitkan CERs;17
8. GRK (Gas Rumah Kaca) adalah gas-gas di atmosfer yang menyebabkan
pemanasan global dan perubahan iklim. GRK terdiri dari:18
-
Karbondioksida (CO2)
Metana (CH4)
Nitrogenoksida (N2O)
Hidroflorokarbon (HFCs)
Perflorokarbon (PFCs)
Sulfur Heksaflorida (SF6)
13
http://www.scribd.com/doc/18020604/Annex-1-Dan-Non-Annex-1.
14
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) ,
op.cit.
15
http://www.scribd.com/doc/18020604/Annex-1-Dan-Non-Annex-1.
16
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) ,
17
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) ,
op.cit.
op.cit.
18
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) ,
op.cit., hal. 2.
5/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
9. DNA (Designated National Authority) atau KM-MPB (Komisi Pusat
Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah otoritas nasional yang secara resmi
menangani persetujuan negara tuan rumah dari suatu proyek MPB;19
10. CDM (Clean Development Mechanism) atau MPB (Mekanisme Pembangunan
Bersih) adalah sebuah mekanisme dimana negara-negara yang tergabung di
dalam Annex I memberikan investasi pada suatu pembangunan/ kegiatan/
aktovitas yang akan menurunkan emisi GRK kepada negara-negara Non
Annex I dan di negara-negara Non Annex I;20
11. ET (Emission Trading/ Perdagangan Emisi) adalah:
a. Kerjasama jual beli penurunan emisi GRK antara sesama Negara Annex
I ;21
b. Mekanisme perdagangan emisi antar negara maju untuk menghasilkan
AAU (Assigned Amount Unit), satuan penurunan emisi GRK.22
12. JI (Joint Implementation/ Implementasi Bersama) adalah kerjasama antara
sesama Negara Annex I untuk mengurangi emisi GRK;23
13. Karbon Kredit adalah :
a. Penurunan emisi GRK yang dapat diperjualbelikan;24
b. Komponen penting dalam usaha nasional dan internasional untuk
mengurangi perkembangan Gas Rumah Kaca (GRK). Satu karbon kredit
sama dengan satu ton karbon. Perdagangan karbon merupakan penerapan
dari pendekatan perdagangan emisi. Terdapat dua tipe Carbon Credit yaitu
Carbon Offset Credits COC’s dan Carbon Reduction Credit CRC’s.
Carbon Offset Credits terdiri dari angin, solar, air, dan biofuels. Carbon
Reduction Credit terdiri dari kumpulan dan penyimpanan karbon dari
atmosfir meliputi penghutanan kembali, lautan, penyimpanan dan
19
Ibid.
20
Ibid
21
Ibid
22
http://climatechange.menlh.go.id/index.php?option=content&task=view&id=9&Itemid=31
23
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) ,
24
Ibid
op.cit.
6/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
kumpulan tanah. Kedua pendekatan tersebut telah diakui sebagai cara
efektif untuk mengurangi Emisi Karbon sedunia.25
c. Merupakan proyek pengurangan emisi dengan CDM yang kemudian
disertifikasi PBB. Setelah disertifikasi, kredit itu bisa dibeli oleh
perusahaan terutama di negara maju yang menghasilkan banyak emisi,
yang terikat dengan Protokol Kyoto. Dengan membeli kredit tersebut,
maka perusahaan pembeli dianggap sudah mengkompensasikan emisi
yang dihasilkan dengan membeli proyek CDM di negara lain.26
14. Proyek CDM adalah pembangunan/ kegiatan/ aktivitas yang dapat mengurangi
emisi GRK yang harus dinyatakan dan didaftarkan melalui MPB;27
15. CERs (Certified Emissions Reduction) adalah satuan reduksi emisi GRK di
dalam ERPA yang disertifikasi oleh Executive Board;28
16. ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement) adalah Kontrak Jual Beli
CERs;29
17. Perdagangan Karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi
karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim30
18. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.31
25
Lihat www.beritajakarta.com, tanggal 22 Juli 2009.
26
Negara yang terikat Protokol Kyoto harus mengurangi emisi GRK-nya sampai ke level tahun
1990 selama periode 2008-2012 (rata-rata mengurangi 5% dari emisi sekarang). Skema perdagangan
meliputi negara-negara, perusahaan-perusahaan, dan organisasi-organisasi yang berupaya melakukan
pengurangan emisi. Lihat http://www.cdm\DNV - Emissions trading introduction (SD).htm.
27
Pedoman Clean Development Mechanism (CDM) Khusus untuk Internal PT PLN (Persero) ,
op.cit., hal. 3.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional
Perubahan Iklim
31
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
7/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
BAB II
APAKAH HUKUM INGGRIS DAPAT DIBERLAKUKAN
DALAM PERJANJIAN JUAL BELI KARBON KREDIT?
A. CDM SEBAGAI BENTUK KESEPAKATAN INTERNASIONAL
Suhu bumi semakin meningkat disebabkan oleh emisi GRK yang juga
meningkat akibat kegiatan yang dibuat oleh manusia. GRK dihasilkan dari kegiatan
pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak dan gas alam), mulai dari memasak
sampai Pembangkit Listrik. Dalam perkembangannya, sejumlah negara dalam
beberapa perundingan internasional di bidang perubahan iklim menyepakati sejumlah
hal yang pada intinya setuju untuk menurunkan emisi GRK.
Berawal dari komitmen penurunan emisi inilah, dibuat skema mekanisme
untuk mencapai target penurunan emisi GRK. Skema yang pada akhirnya disetujui
bersama yaitu JI (Joint Implementation) dan ET (Emission Trading), kedua skema ini
hanya dapat dilakukan antar negara Annex I. Satu skema lagi yaitu CDM (Clean
Development Mechanism), CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang
melibatkan negara berkembang (non-Annex I) dalam upaya menurunkan emisi
GRK.32
Sekarang ini, dunia memang tengah memasuki era perdagangan komoditas
baru yang disebut karbon kredit. Negara-negara maju yang diwajibkan Protokol
Kyoto menurunkan emisi gas karbon mereka—penyebab utama pemanasan global—
dapat membeli poin atau kredit penurunan emisi karbon dari proyek ramah
lingkungan di negara berkembang melalui clean development mechanism (CDM).
Kesepakatan jual-beli karbon kredit antara negara maju dan negara
berkembang dapat dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah (G to G),
pemerintah dengan swasta (G to P) atau swasta dengan swasta (P to P). Kesepakatan
tersebut dapat dilakukan melalui dua pendekatan:33
- Pertama, Pihak negara maju (swasta atau pemerintah) sepakat dengan Pihak
negara berkembang (swasta atau pemerintah) untuk membeli sejumlah karbon
yang dihasilkan dari proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Pihak negara
berkembang dimana keterlibatan Pihak negara maju dalam proses persiapan
dan pelaksanaan proyek sangat sedikit. Jadi dalam hal ini pihak negara maju
hanya memberikan jaminan pasar bagi karbon kredit yang akan dihasilkan
oleh Pihak negara berkembang.
- Kedua, Pihak negara maju sepakat untuk membeli karbon kredit dari Pihak
negara berkembang, tetapi Pihak negara maju terlibat aktif dalam proses
8/25
32
Sumber: diolah dari www.cdm.or.id dan http://dna-cdm.menlh.go.id/id/database
33
http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/carbobrief/carbobrief0503.pdf.
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
persiapan seperti penyusunan kriteria untuk pemilihan proyek, penentuan
harga, ukuran proyek dan lain sebagainya, sampai pada tahap pelaksanaan dan
pengeluaran sertifikat kredit pengurangan emisi (CER).
Banyak keuntungan yang dapat diperoleh melalui proyek CDM di antaranya:
terjadi transfer teknologi negara Annex I kepada negara non-Annex I yang melakukan
proyek CDM, memberikan dana tambahan bagi negara penyelenggara untuk
mempersiapkan diri menghadapi dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim
serta negara penyelenggara akan mendapatkan investasi baru untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan.
Sebuah proyek ramah lingkungan harus melalui proses sertifikasi panjang agar
dapat dinyatakan layak mengikuti CDM. Gambaran sederhananya, proses
memperoleh sertifikat dimulai dengan pembuatan proposal (dibantu konsultan) dan
penilaian oleh komisi nasional di negara lokasi proyek. Bila lolos, evaluasi berikutnya
dilakukan United Nation Framework Covention on Climate Change (UNFCCC) yang
berkedudukan di Jerman. Jika semua persyaratan terpenuhi, Badan Eksekutif
UNFCCC akan mengeluarkan sertifikasi pengurangan emisi atau certified emission
reductions (CER). CER inilah yang kemudian dapat dijual ke perusahaan-perusahaan
di negara maju. Satu kredit karbon atau CER setara dengan potensi pengurangan
emisi satu ton karbon.34
Berbicara mengenai CDM akan sering bertemu dengan istilah CER. Certified
Emission Reduction atau biasa disingkat dengan CER merupakan sertifikasi yang
diberikan kepada perusahaan proyek CDM yang benar-benar dapat mengurangi emisi
gas rumah kaca. Perusahaan yang telah mendapatkan CER inilah yang biasanya
banyak dilirik oleh investor negara Annex I. Mereka kebanyakan negara yang tidak
mau mendapatkan resiko dalam investasinya sehingga memilih proyek CDM yang
telah mendapatkan CER.
CER atau penurunan Certified Emissions adalah "sertifikat" seperti saham.
CER diberikan oleh Dewan Eksekutif CDM untuk proyek-proyek di negara-negara
berkembang untuk menyatakan mereka telah mengurangi emisi gas rumah hijau oleh
satu ton karbon dioksida per tahun. Negara-negara maju membeli CER dari negaranegara berkembang di bawah CDM proses untuk membantu mereka mencapai target
Protokol Kyoto. 35
Dalam hal ini, penulis informasikan bahwa Protokol Kyoto adalah protokol
kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang
diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam
UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak
luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak
34
35
http://bintari.multiply.com/journal/item/29
IPCC Third Assessment Report.
Intergovernmental Panel tentang Perubahan Iklim
9/25
Perubahan Iklim 2001: The Scientific Basis.
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol
Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam
UNFCCC.36
Berikut di bawah ini tabel nama-nama Negara Annex I dan Non Annex I :37
Negara Annex I
Menuntut partisipasi Non Annex I
EU :
Austria, Belanda, Belgia, Denmark,
Finlandia, Inggris, Irlandia, Italia,
Jerman, Luksemburg, Perancis, Portugal,
Spanyol, Swedia, dan Yunani
JUSSCANNZ:
Jepang, AS, Swiss, Kanada, Australia,
Norwegia, dan Selandia Baru
Negara Non Annex I
Menuntut komitmen Annex I
G77 + Cina:
Semua negara berkembang di Asia,
Afrika, Amerika Latin dan kepulauan
di Lautan Pasifik dan Karibia kecuali
Cook Islands, Kiribati, Nauru, Niue,
Palau dan Tuvalu
OPEC:
Aljazair, Indonesia, Iran, Irak, Kuwait,
Lybia, Nigeria, Qatar, Arab Saudi, Uni
Emirat Arab, dan Venezuela
GRULAC:
Antigua dan Barbuda, Argentina,
Bahama, Barbados, Belize, Bolivia,
Brasil, Cile, Kosta Rika, Dominika,
Republik Dominika, Ekuador, El
Salvador,
Grenada,
Guatemala,
Guyana, Haiti, Honduras, Jamaika,
Kolombia, Kuba, Meksiko, Nikaragua,
Panama, Paraguay, Peru, St Kitts dan
Nevis, St Lucia, St vIncent dan
Grenadines, Suriname, Trinidad dan
Tobago, Uruguay dan Venezuela
Kelompok Payung:
Kel. Afrika:
Jepang,
AS,
Kanada,
Australia, Semua negara di Benua Asfrika beserta
Norwegia, Selandia Baru, Islandia, Rusia Madagaskar dan Seychelles
dan Ukraina
Rusia dan CEIT:
Rusia, Belarus, Bulgaria, Ceko, Slovakia,
Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania,
Polandia, Rumania, Ukraina, Kroasia,
Slovenia
36
AOSIS:
Samoa, Antigua dan Barbuda, Bahama,
Barbados, Belize, Cape Verde,
Comoro, Cook Island, Kuba, Siprus,
Dominika, Mikronesia, Fiji, Grenada,
Guam, Guinea Bissau, Guyana,
Ibid.
37
Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang (Jakarta: Buku
Kompas, 2003), hal. 16-18
10/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Jamaika, Kiribati, Maladewa, Malta,
Marshall Islands, Mauritius, Nauru,
Antiles, Niue, Palau, PNG, Sao Tome,
Seychelles,
Singapura,
Solomon
Islands, St Kitts and Nevis, St Lucia, St
Vincent dan Grenadines, Suriname,
Tonga, Trinidad dan Tobago, Tuvalu,
Virgin Island dan Vanuatu
CEIT lainnya:
Albania,
Armenia,
Georgia,
Kazakhstan,
Macedonia,
Moldova,
Uzbekistan, Yugoslavia
Azerbaijan,
Kyrgystan,
Tajikistan,
Catatan:
* Kroasia, Slovenia, Liechtenstein dan Monaco memiliki target pengurangan emisi
GRK tetapi mereka bukan negara Annex I menurut UNFCCC
** Negara-negara yang belum meratifikasi Protokol Kyoto per Maret 2005 adalah
Kroasia, Belarusia, Australia, Amerika Serikat, Monaco dan Turki
Sumber: MoE, Japan dan IGES 2005
Dalam kaitannya dengan pemanasan global, proyek CDM memiliki 2 tujuan.
Pertama, membantu negara non-Annex I untuk melakukan pembangunan yang
berkelanjutan dan turut serta dalam program pengurangan emisi gas buang. Dengan
demikian, negara non-Annex I dapat menekan emisi gas rumah kaca pada level yang
tidak membahayakan iklim global. Tujuan kedua yaitu, bahwa dengan proyek
mekanisme pembangunan bersih, negara berkembang dapat membantu negara Annex
I untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kacanya.
Bagi negara berkembang, dalam melaksanakan proyek CDM haruslah
memperhatikan beberapa prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh
sebuah proyek CDM yaitu eligibility dan additionality.
1) Eligibility atau kelaikan merupakan hal penting untuk menghindari terjadinya
investasi pada proyek yang tidak mendukung terciptanya pembangunan yang
berkelanjutan. Hal yang dimaksudkan yaitu seperti proyek pemanfaatan tenaga
nuklir, pembangkit listrik tenaga air dengan skala makro (yang masih banyak
ditentang oleh banyak pihak sebagai proyek CDM).
2) Prinsip kedua yaitu prinsip additionality atau prinsip nilai tambah, yaitu
bahwa proyek CDM ini haruslah memberikan nilai tambah yang signifikan
baik terhadap lingkungan maupun terhadap perekonomian.
11/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Selain harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar tersebut, untuk dapat
melaksanakan proyek CDM, negara berkembang haruslah juga memenuhi 2 syarat
utama. Pertama, harus meratifikasi Protokol Kyoto, dan kedua, negara tersebut harus
telah mendirikan DNA (Designated National Authority). Indonesia sendiri telah
meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004, dengan begitu Indonesia menjadi
negara ke 124 yang meratifikasi Protokol Kyoto. Pemerintah meratifikasi Protokol
Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 pada tanggal 28 Juli
2004. Dengan demikian Indonesia telah menjadi negara anggota peratifikasi
Protokol Kyoto dan bisa melaksanakan kebijakan yang terkait dengan pemanasan
global, salah satunya yaitu CDM.
Syarat kedua yang perlu untuk dipenuhi dalam rangka penerapan proyek CDM
yaitu dengan penyusunan DNA, sebuah badan berwenang yang menangani proyek
CDM di sebuah negara berkembang. Di Indonesia, badan berwenang CDM bernama
Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB). Komnas MPB
didirikan pada 21 Juli 2005 dan terdiri dari 10 anggota. Sepuluh anggota Komnas
MPB tersebut diantaranya: Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian,
Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian dan
Bappenas. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup menjadi ketua Komnas
MPB.
B. TINJAUAN TERHADAP HUKUM PERJANJIAN YANG BERLAKU DI
INDONESIA TERKAIT DENGAN PERJANJIAN JUAL BELI KARBON
KREDIT
1.
KETENTUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
1.1.
UNSUR-UNSUR DALAM PERJANJIAN
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam
Perjanjian yaitu: unsur esensialia, naturalia dan aksidentalia. Pada hakikatnya ketiga
macam unsur dalam perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari asas kebebasan
berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1339 KUHPer. Rumusan Pasal
1339 KUHPer menyatakan bahwa:
”Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Unsur Esensialia dalam Perjanjian
Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang
mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari
jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam
12/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. 38 Sehubungan
dengan unsur esensialia, dalam hal ini ERPA (Emission Reducition Purchase
Agreement) adalah Kontrak Jual Beli CERs yang mengandung unsur esensialia dari
perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPer:
”Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
dijanjikan”.
Dengan demikian bahwa unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam
suatu perjanjian, tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang dimaksudkan
untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya
menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak.
Unsur Naturalia dalam Perjanjian
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu,
setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang
mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa
kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat
tersembunyi.39 Dalam hal ini, maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUHPer yang
menyatakan bahwa:
”Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Unsur Aksidentalia dalam Perjanjian
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para
pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang
ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini
pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan
atau dipenuhi oleh para pihak. Dalam hal ini misalnya di dalam perjanjian jual beli
adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau
dibeli.40
38
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008, hal. 85.
39
Ibid., hal. 88.
40
Ibid., hal. 89.
13/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
1.2. ASAS-ASAS UMUM HUKUM PERJANJIAN
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang
dimiliki oleh para pihak dalam perjanjian, oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer) terdapat berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan, serta
menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan
dibuat. Berikut ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam
KUHPer:41
Asas Personalia
Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPer yang berbunyi: ”Pada
umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat
diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan
mengikat untuk dirinya sendiri.
Namun lebih jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315 KUHPer juga menunjuk pada
kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian.
Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang cakap bertindak dalam
hukum, maka setiap tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan,
sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri akan mengikat diri pribadi tersebut dan
dalam lapangan perikatan mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya
secara pribadi.
Asas Konsensualitas
Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas ini dapat ditemui dalam
rumusan Pasal 1320 KUHPer yang berbunyi:
”Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang”.
Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam:
1. dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan
perjanjian (unsur subyektif)
2. dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian
(unsur obyektif).
41
Ibid., hal. 14.
14/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan
cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam
bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun
batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian
bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan
pelaksanaannya.
Asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka 1
dari Pasal 1320 KUHPer. KUHPer tidak memberikan rumusan lebih jauh mengenai
formalitas kesepakatan yang harus dipenuhi. Asas konsensualitas adalah ketentuan
umum yang melahirkan perjanjian konsensuil dimana suatu kesepakatan lisan saja
yang telah tercapai antara para pihak yang membuat atau mengadakan perjanjian telah
membuat perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi para pihak. Ini berarti pada
prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak
yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian untuk menjaga
kepentingan pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi diadakan bentuk-bentuk
formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. Sebagai
pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena dalam kedua
jenis perjanjian yang disebut terakhir ini, kesepakatan saja belum mengikat pada
pihak yang berjanji.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan
angka 4 Pasal 1320 KUHPer. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat
kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja selama dan
sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukan sesuatu yang terlarang.
Ketentuan Pasal 1337 KUHPer yang menyatakan bahwa:
”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Memberikan gambaran umum bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat
dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung
prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.
Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:42
1. membuat atau tidak membuat perjanjian
2. mengadakan perjanjian dengan siapapun
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
42
Handri Raharjo, SH, Hukum Perjanjian di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),
hal. 44.
15/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
4. menentukan bentuknya perjanjian secara tertulis dan lisan
Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-undang (Pacta Sunt Servande)
Asas yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yang menyatakan bahwa:
”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPer yang menyatakan
bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian.
Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Atas kehendak para pihak secara
sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus
dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal
salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam
perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur
hukum yang berlaku.
1.3 SISTIM PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN
Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia adalah Buku III KUHPerdata
dikatakan bersifat terbuka, karena dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas
konsensualitas dan asas kebebasan berkontrak. Asas konsensualitas mewakili
kewenangan subyektif, yang berhubungan dengan pihak-pihak yang berhak dan
berwenang untuk membuat perjanjian; dan asas kebebasan berkontrak mewakili
bentuk atau isi dari perjanjian yang dibuat.43
Dalam hal ini, hukum perjanjian memiliki beberapa asas salah satunya adalah
asas kebebasan berkontrak. Bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian
dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar UU,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat
mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah
yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum
perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUHPerdata bersifat pemaksa)
dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan
sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak
mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk
pada UU dalam hal ini Buku III KUHPerdata.
43
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya (Jakarta: Kencana,
2003), hal. 18.
16/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari
perikatan, akan tetapi dalam Pasal 1313 KUHPer diberikan definisi dari perjanjian
sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana seorang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Walaupun definisi dari perikatan tidak secara tegas diatur dalam KUHPer,
akan tetapi dalam Pasal 1233 KUHPer ditegaskan bahwa perikatan selain dapat
dilahirkan dari undang-undang, dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan kalimat
lain, bila definisi dari Pasal 1313 KUHPer dihubungkan dengan maksud dari Pasal
1233 KUHPer, maka terlihat bahwa pengertian dari perjanjian dapat meliputi
pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian sendiri.
Pada prinsipnya perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada orang lain, atau dimana dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal.44 Secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:45
1. Perjanjian dalam arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat
hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian
tidak bernama atau perjanjian jenis baru.
2. Perjanjian dalam arti sempit adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya,
perjanjian bernama.
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya
dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka.
Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu:
(1) Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.
(2) Perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya
kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan
oleh undang-undang.
(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dengan demikian, hukum Inggris dapat diterapkan dalam perjanjian
jual beli karbon kredit, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam
hukum Indonesia yang memiliki sistem terbuka. Dalam hal ini hukum perjanjian
bersifat terbuka. Artinya KUHPerdata memberikan kemungkinan bagi setiap orang
mengadakan bentuk perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam Undang-undang,
peraturan khusus maupun perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Namun
demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh UU, kesusilaan dan
ketertiban umum. Di lain pihak, hukum perjanjian karena sifatnya yang terbuka, yang
44
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III (Bandung: Alumni, 2006), hal. 1.
45
Handri Raharjo, SH, op.cit., hal. 42.
17/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
memungkinkan setiap orang untuk mengaturnya secara independen, selama syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi. Dalam hal ini
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi dalam Perjanjian Jual Beli Karbon
Kredit.
2.
APAKAH KARBON KREDIT TERMASUK PENGERTIAN BENDA
YANG DAPAT DIPERJUALBELIKAN?
Terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai pengertian benda
menurut Pasal 499 KUHPerdata, benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang
dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan, yang dimaksud dengan benda dalam arti
ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum dan barangbarang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum.
Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, yang dimaksudkan dengan benda
ialah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik).46 Menurut Prof. Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, pengertian benda pertama-tama ialah barang yang
berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera, tapi barang yang tak berwujud
termasuk benda juga. 47 Sedangkan menurut Prof. Subekti, perkataan benda (zaak)
dalam arti luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, dan perkataan benda
dalam arti sempit ialah sebagai barang yang dapat terlihat saja.48 Menurut Prof. L.J.
van Apeldoorn, benda dalam arti yuridis ialah sesuatu yang merupakan obyek hukum.
Hakekat benda (zaak) adalah sesuatu hakekat yang diberikan oleh hukum obyektif.49
Jadi, di dalam sistem Hukum Perdata (KUHPerdata), kata zaak (benda)
mempunyai dua arti, yaitu:50
a. Barang yang berwujud
b. Bagian daripada harta kekayaan. Yang termasuk zaak selain daripada barang yang
berwujud, juga beberapa hak tertentu sebagai barang yang tak berwujud.
Selanjutnya menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, benda dapat dibagi atas:51
a. Benda berwujud yakni benda yang dapat ditangkap dengan panca indera
46
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984), hal. 74.
47
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty,
1981), hal. 13.
48
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1987), hal. 60.
49
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan: Mr. Oetarid Sadino), Jakarta:
Pradnya Paramita, 1980, hal. 215.
50
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit., hal. 14.
51
L.J. van Apeldoorn, op.cit.
18/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
b. Benda tidak berwujud yakni hak-hak subyektif
Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam BW benda
dapat dibedakan atas:52
a. Benda tidak bergerak dan benda bergerak;
Benda tidak bergerak (lihat Pasal 506, 507 dan 508 BW). Ada tiga golongan
benda tidak bergerak yaitu:
1. Benda yang menurut sfatnya tidak bergerak, yang dibagi lagi menjadi 3
macam:
- tanah;
- segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta
bercabang seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang masih belum
dipetik dan sebagainya;
- segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas tanah
yaitu karena tertanam dan terpaku.
2. Benda yang menurut tujuannya/ tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan
benda tidak bergerak sub 1 seperti:
- pada pabrik: segala mesin-mesin, ketel-ketel dan alat-alat lain yang
dimaksudkan supaya terus menerus berada di situ untuk dipergunakan
dalam menjalankan pabrik;
- pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang dipergunakan sebagai rabuk
bagi tanah, ikan dalam kolan dan lain-lain;
- pada rumah kediaman: segala kaca, tulisan-tulisan dan lain-lain serta alatalat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding;
- barang-barang reruntuhan dari sesuatu bangunan apabila dimaksudkan
untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan itu.
3. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tidak bergerak
seperti:
- hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tidak bergerak;
- kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas (dalam hukum
perniagaan);
Benda bergerak (lihat Pasal 509, 510 dan 511 BW). Ada 2 golongan benda
bergerak yaitu:
1. Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat berpindah
atau dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Misalnya: sepeda,
kursi, meja, buku, pena dan sebagainya;
2. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda bergerak ialah
segala hak atas benda-benda bergerak. Misalnya: hak memetik hasil dan hak
memakai, hak atas bunga yang harus dibayar selama hidup sesorang, hak
menuntut di muka hakim supaya uang tunai atau benda-benda bergerak
diserahkan kepada penggugat, saham-saham dari peseroan dagang dan suratsurat berharga lainnya.
52
H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata , cet. 1, edisi ketiga,
Bandung: Alumni, 2006, hal. 108
19/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
b. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada;
Benda-benda yang dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan/ manfaat dari
benda-benda ini justru terletak pada kemusnahannya. Misalnya: barang-barang
makanan dan minuman, kalau dimakan dan diminum baru memberi manfaat bagi
kesehatan, demikian juga kayu bakar dan arang, setelah dibakar dan menimbulkan
api baru memberi manfaat untuk memasak sesuatu makanan dan sebagainya.
Benda yang tetap ada ialah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak
mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetapi memberi manfaat/ faedah bagi si
pemakai. Seperti cangkir, sendok, piring, mangkok, mobil, sepeda motor dan
sebagainya.
c. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti;
Perbedaan antara benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
tidak disebut secara tegas dalam BW, tetapi perbedaan itu ada dalam BW,
misalnya dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang.
Menurut pasal 1694 BW pengembalian benda oleh yang dititipi harus in natura
artinya tidak boleh diganti dengan benda yang lain. Oleh karena itu, perjanjian
penitipan barang umumnya hanya mengenai benda yang tidak akan musnah.
Bilamana benda yang dititipkan berupa uang, menurut Pasal 714 BW, jumlah
uang yang harus dikembalikan harus dalam mata uang yang sama seperti yang
dititipkan, baik mata uang itu telah naik atau telah turun nilainya. Lain halnya jika
uang tersebut tidak dititipkan, tetapi dipinjam-menggantikan, yang meminjam
hanya diwajibkan mengembalikannya sejumlah uang saja, sekalipun dengan mata
uang yang berbeda daripada waktu perjanjian pinjam-mengganti diadakan.
d. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi;
Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi tidak
mengakibatkan hilangnya hakikat daripada benda itu sendiri. Misalnya: beras,
gula pasir dan lain-lain.
Benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi
mengakibatkan hilangnya atau lenyapnya hakikat daripada benda itu sendiri.
Misalnya: kuda, sapi, uang dan lain-lain.
e. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak diperdagangkan.
Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang dapat dijadikan obyek
(pokok) suatu perjanjian. Jadi semua benda yang dapat dijadikan pokok perjanjian
di lapangan harta kekayaan termasuk benda yang dapat diperdagangkan.
20/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Benda yang tidak diperdagangkan adalah benda-benda yang tidak dapat dijadikan
obyek (pokok) suatu perjanjian di lapangan harta kekayaan; biasanya benda-benda
yang dipergunakan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, sebagaimana uraian tersebut di atas bahwa karbon kredit
termasuk dalam pengertian benda menurut KUHPerdata yang karena tujuan
pemakaiannya dinyatakan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud. Karbon kredit
merupakan proyek pengurangan emisi dengan CDM yang kemudian disertifikasi
PBB. Setelah disertifikasi, karbon kredit itu bisa dibeli oleh perusahaan terutama di
negara maju yang menghasilkan banyak emisi, yang terikat dengan Protokol Kyoto.
Bagi Pembeli Karbon Kredit dimana ia termasuk negara yang terikat dengan Protokol
Kyoto jika tidak memenuhi ketentuan penurunan emisi karbon yang dipersyaratkan,
maka ia akan dikenakan carbon tax oleh negara tersebut.
3. PELAKSANAAN JUAL BELI KARBON KREDIT DI PT PLN (PERSERO)
Kebijakan PLN dalam pengembangan kegiatan/ proyek CDM sesuai misi PLN
adalah kewajiban perusahaan melaksanakan pembangunan yang berwawasan
lingkungan dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Sejalan dengan misi
tersebut dan dengan komitmen nasional tentang pengurangan emisi GRK, PLN akan
melakukan upaya pengurangan emisi GRK dari semua kegiatan instalasi (Pembangkit,
Transmisi/ Gardu Induk dan Distribusi). PLN akan menggunakan peluang yang
diberikan oleh Kyoto Protokol yaitu peluang kepada Negara Non Annex I untuk
mendapatkan kredit dari upaya pengurangan emisi GRK, melalui mekanisme CDM
yang akan berlaku dari tahun 2008 sampai dengan 2012.
Implementasi CDM akan diterapkan untuk semua kegiatan di lingkungan PLN
yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi proyek CDM baik di sisi pembangkitan,
transmisi/ gardu induk dan distribusi. Hasil penjualan karbon kredit yang diterima
melalui mekanisme CDM bukan bertujuan untuk penambahan pendapatan PLN
namun hanya merupakan insentif bagi perusahaan dalam mencapai misi PLN.
Perlu penulis informasikan Direksi PT PLN (Persero) telah menerbitkan Surat
Kuasa No : 424.Sku/432/DIR/2008 tanggal 11 September 2008, dimana VP LKL
diberikan wewenang untuk melakukan kegiatan Penjualan Karbon Kredit yang
dimulai dari pembentukan Tim Penjualan sampai dengan penandatanganan Perjanjian/
Kontrak serta monitoring implementasi Perjanjian/ Kontrak. Sebagai tindak lanjutnya,
VP LKL membentuk Tim Penjualan Karbon Kredit dan Tim Implementasi CDM
melalui Surat Tugas No : 039-2.STg/041/VPLKL/2008 tanggal 15 September 2008
tentang Penugasan Tim Implementasi CDM di lingkungan PT PLN (Persero).
21/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Berikut di bawah ini status proyek CDM di PT PLN (Persero):
No
Nama Proyek
Status
1
PLTP Lahendong II
Validasi
2
PLTP Kamojang IV
Validasi
3
PLTP Lahendong III
Persetujuan DNA
4
PLTA Genyem
PLTM Lobong
PLTM Mongango
PLTM Merasap
Sudah melaksanakan
konsultasi publik
5
6
PLTMG Bontang
PLTM Ndungga
PLTM Santong
PLTM Prafi
PLTP Ulumbu
Negosiasi ERPA
Proses penunjukan
pemenang
7
Pengurangan penggunaan SF6 di
P3B RJKB
Proses penentuan baseline
data
8
PLTG Batang Hari dan PLTD Payo
Selincah
Proses due diligence
Pembangunan/ Kegiatan/ Aktivitas yang tidak bisa dijadikan Proyek CDM
adalah:
- Proyek yang emisi karbonnya berkurang akibat pemanfaatan fasilitas nuklir;
- Proyek yang telah memperoleh bantuan resmi Official Development Assistance
(ODA) dari Negara Annex I;
- Proyek penyerapan akibat penggundulan hutan dan penanaman hutan kembali.
-
Potensi Proyek CDM di PT PLN (Persero) antara lain:
Pembangunan pembangkit listrik berbasis renewable energy: mini/ hydro, angin,
panas bumi, gas alam, biofuels dan lain-lain;
Penggantian bahan bakar dari jenis bahan bakar yang banyak mengemisikan GRK
ke bahan bakar yang lebih sedikit mengemisikan GRK;
Efisiensi energi adalah meningkatkan efisiensi pengoperasian sistem kelistrikan
sehingga penggunaan bahan bakar berkurang;
Pengurangan emisi gas SF6 yang berpotensi menghasilkan pemanasan global ±
23.000 kali dari CO2 biasanya digunakan pada jalur transmisi dan distribusi untuk
istalasi peralatan tegangan tinggi.
22/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
Penjualan Karbon Kredit PT PLN (Persero) dilaksanakan dengan mengundang
Badan Usaha yang berpengalaman melaksanakan pembelian Karbon Kredit dan atau
berpengalaman dalam pengembangan Proyek CDM (“Pembeli Karbon Kredit”).
a.
b.
c.
d.
Kebijakan umum penjualan Karbon Kredit antara lain:
Meningkatkan transparansi, persaingan usaha yang sehat dan kompetitif dengan
melakukan penjualan Karbon Kredit secara terbuka;
Menyederhanakan ketentuan, tata cara penjualan serta meningkatkan
profesionalisme agar penjualan Karbon Kredit atas proyek-proyek CDM dapat
dilakukan sebelum tahun 2012;
Pelaksanaan penjualan Karbon Kredit dilakukan di Kantor Pusat dengan Direksi
selaku penjual Karbon Kredit;
Untuk nilai penjualan Karbon Kredit dengan nilai equivalen sampai dengan 50
milyar rupiah, Direksi melalui Direktur Utama dapat memberikan kuasa pada VP
LKL sebagai pejabat yang diberi kuasa atas pelaksanaan penjualan Karbon Kredit
mulai dari pembentukan tim penjualan Karbon Kredit sampai dengan penunjukan
pembeli Karbon Kredit.
Dalam tahap Persiapan, penjual Karbon Kredit memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Penjual Karbon Kredit menyusun rencana penjualan Karbon Kredit atas
proyek-proyek yang mempunyai potensi untuk menjadi proyek CDM;
b. Penjual Karbon Kredit mengumumkan melalui media cetak dan atau papan
pengumuman rencana penjualan Karbon Kredit atas proyek-proyek yang
mempunyai potensi untuk menjadi proyek CDM sekurang-kurangnya 2 kali
dalam 1 tahun;
c. Penjual Karbon Kredit membentuk tim penjualan Karbon Kredit dan tim
implementasi CDM;
d. Dalam hal diperlukan bantuan konsultan ahli dalam pelaksanaan penjualan
Karbon Kredit dan atau pelaksanaan proyek CDM maka penjual Karbon
Kredit dapat mengadakan konsultan ahli sesuai ketentuan pengadaan yang
berlaku.
Bahwa semua ERPA PT PLN (Persero) diatur dan ditafsirkan berdasarkan
hukum Inggris. Sebagaimana diketahui bahwa Emission Reduction Purchase
Agreement (ERPA) adalah suatu Perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban para
pihak atas jual beli Karbon Kredit. Perlu penulis sampaikan bahwa hukum Indonesia
telah mengatur secara lengkap tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
unsur-unsur Perjanjian jual beli dan obyek atas barang yang diperjualbelikan. Dalam
hal ini, apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam hukum positif Indonesia misalnya
mengenai karbon kredit itu sendiri ataupun hal lainnya, maka akan diberlakukan
Hukum Inggris yang biasa dipakai dalam praktek jual beli karbon kredit (hukum
Inggris).
23/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum perjanjian dikatakan bersifat terbuka. Artinya KUHPerdata
memberikan kemungkinan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun,
baik yang telah diatur dalam Undang-undang, peraturan khusus maupun perjanjian
baru yang belum ada ketentuannya. Jadi, siapapun boleh mengadakan suatu perikatan
atau perjanjian mengenai apapun juga. Dengan demikian, hukum perikatan mengenal
asas kebebasan berkontrak. Namun demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak
ini dibatasi oleh UU, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pada sisi lain, hukum perjanjian karena sifatnya yang terbuka, yang
memungkinkan setiap orang untuk mengaturnya secara independen, selama syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, maka hukum
perjanjian, juga seringkali disebut dengan hukum pelengkap. Dengan pernyataan
hukum pelengkap, maksudnya adalah apabila para pihak dalam perjanjian tidak telah
mengatur secara berbeda, apa yang telah ditentukan oleh UU yang akan berlaku dan
diberlakukan bagi para pihak.
Karbon kredit sendiri yang merupakan obyek perjanjian, termasuk dalam
pengertian benda. Pengertian benda menurut Pasal 499 KUHPerdata, benda ialah tiaptiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan, yang
dimaksud dengan benda dalam arti ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat
menjadi obyek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap
orang yang dilindungi oleh hukum. Karbon kredit termasuk dalam pengertian benda
menurut KUHPerdata yang karena tujuan pemakaiannya dinyatakan sebagai benda
bergerak dan tidak berwujud.
Dengan demikian. dapat disimpulkan hukum Inggris dapat diterapkan dalam
perjanjian jual beli karbon kredit, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak
dalam hukum Indonesia yang memiliki sistem terbuka. Dalam hal ini hukum
perjanjian bersifat terbuka. Artinya KUHPerdata memberikan kemungkinan bagi
setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam
Undang-undang, peraturan khusus maupun perjanjian baru yang belum ada
ketentuannya. Namun demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak ini dibatasi
oleh UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Di lain pihak, hukum perjanjian karena
sifatnya yang terbuka, yang memungkinkan setiap orang untuk mengaturnya secara
independen, selama syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata dipenuhi. Dalam hal ini ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata telah
terpenuhi dalam Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit.
24/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
PT. PLN (Persero) Kantor Pusat
Satuan Pelayanan Hukum Korporat
B. SARAN
Dalam setiap Perjanjian Pembelian Pengurangan Emisi (ERPA) bahwa hukum
yang berlaku adalah hukum Inggris. Dalam hal ini, hukum Indonesia telah mengatur
secara lengkap tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan unsur-unsur
Perjanjian jual beli dan obyek atas barang yang diperjualbelikan.. Dalam hal ini,
apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam hukum positif Indonesia misalnya
mengenai karbon kredit itu sendiri ataupun hal lainnya, maka akan diberlakukan
Hukum Inggris yang biasa dipakai dalam praktek jual beli karbon kredit.
Prinsip dari penjualan Karbon Kredit berbeda dengan pengadaan barang/ jasa
karena pada penjualan Karbon Kredit PT PLN (Persero) melakukan penjualan tetapi
dalam pengadaan melakukan pembelian. Namun dalam pelaksanaannya, prosedur
penjualan Karbon Kredit sudah mengindahkan kaidah transparansi. Bila akan
dilaksanakan mengikuti ketentuan pengadaan barang jasa selain prinsipnya berbeda
tentunya target penjualan Karbon Kredit atas proyek-proyek yang mempunyai potensi
CDM harus terjual sebelum tahun 2012 akan sulit tercapai. Untuk itu perlu dibuat
prosedur yang lebih sederhana dari ketentuan pengadaan barang jasa.
Apabila berdasarkan common practice disetujui Perjanjian Jual Beli Karbon
Kredit menggunakan hukum Inggris dan akan diberlakukan pada Jual Beli Karbon
Kredit di PLN maka pada saat negosiasi dan pembuatan ERPA, Tim Penjual Karbon
Kredit sebaiknya didampingi oleh konsultan hukum yang memahami hukum Inggris.
25/25
Telaahan Staf
Dayita Putri K.(JK/HK/00190)
Download