HUBUNGAN TINGKAT MOTIVASI PENGAWAS MINUM OBAT DENGAN PENCAPAIAN ANGKA KONVERSI BTA PADA PASIEN TB PARU Mulyani Hidayah, Husni, Pardosi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bengkulu, Jurusan Keperawatan, Jalan Indragiri Nomor 03 Padang Harapan Kota Bengkulu [email protected] Abstract: Tubercle Bacillus disease in Indonesia is ranked number 5 in the world. One of the factors that affect the achievement of the conversion rate is PMO motivation in monitoring TB patients during TB medication ingestion. The purpose of this study was to determine the relationship between the level of supervisors’ motivation to take medication with achieving a conversion rate of sputum smear examination of TB patients in the Sukamerindu community health center of Bengkulu Year 2014 This research was a descriptive cross using sectional analytic sample approach that obtained through purposive sampling amounted 37 patients with pulmonary TB and type of data that collected was primary data. Analysis technique that used in this study was the chi-square statistical test, presented in table form and narrative. The results showed that the majority of respondents have low motivation (75.7%) more than the majority achieving of conversion rate (56.8%). Chi Square Test results showed that there was relationship between supervisory level of motivation to take medication and conversion rate achievement of sputum smear examination of pulmonary TB patients (p = 0.024 (<α = 0.05). It is Expected that health workers (nurses and doctors) to be more discipline in monitoring eradication program of infectious diseases, especially pulmonary TB and Drug Supervisory Keywords: Level of Motivation, pulmonary tuberculosis, Numbers of Conversion Abstrak: Penyakit TB di Indonesia merupakan peringkat nomor 5 terbanyak di dunia. Salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian angka konversi yaitu motivasi PMO dalam melakukan pengawasan pasien TB selama menelan obat TB. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat motivasi pengawas minum obat dengan pencapaian angka konversi BTA pada pemeriksaan sputum penderita TB Paru di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu Tahun 2014. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan crossectional sampel dipeoleh dengan cara purposive sampling berjumlah 37 orang pasien penderita TB Paru dan jenis data yang diambil adalah data primer. Tekhnik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji statistik chi square yang disajikan dalam bentuk table dan narasi. Hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden memiliki motivsi rendah (75,7%) lebih dari sebagian pencapaian angka konversi (56,8%). Hasil Uji chi Square menunjukan ada hubungan tingkat motivasi pengawas minum obat dengan pencapaian angka konversi BTA pada pemeriksaan sputum penderita TB Paru (p = 0,024 (< α=0,05). Diharapkan tenaga kesehatan (Perawat dan Dokter) untuk lebih disiplin dalam memantau program pemberantasan penyakit menular khususnya TB Paru dan Pengawas Minum Obat. Kata Kunci : Tingkat Motivasi, TB paru, Angka Konversi Penyakit TB di Indonesia merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, menurut Wikipedia Indonesia (2013), menunjukkan bahwa penyakit TB di Indonesia merupakan peringkat nomor 5 terbanyak di dunia. Tahun 2010 WHO memperkirakan setiap tahun 185 186 Jurnal Media Kesehatan, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2014, hlm 100-204 terjadi 583.000 kasus baru TB dengan kematian karena TB sekitar 140.000 secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB Paru BTA positif (KemenKes RI, 2011) Hasil Survei Prevalensi TB Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk (KemenKes RI, 2011). Insiden penyakit Tuberkulosis dan mortalitas menurun drastis setelah ditemukan kemotrapi. Tetapi pada tahun-tahun terakhir ini penurunan itu tidak terjadi lagi bahkan insiden penyakit ini cendrung meningkat. Kenaikan ini disebabkan oleh beberapa faktor sosial ekonomi, masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan seperti alkoholisme, tuna wisma, naiknya infeksi HIV/AIDS. Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan yang sangat penting untuk menurunkan kesakitan dan kematian. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan penerapan tehnologi kesehatan secara tepat untuk mewujudkan tujuan tersebut (Depkes RI, 2008). Menurut penelitian Setyarini (2011) dalam jurnal penelitian ilmiah tentang kesehatan khususnya TB Paru bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien penderita TB Paru dengan resisten obat. Data yang diperoleh dalam penelitian menunjukkan bahwa terdapat 12 pasien yang sembuh atau mengalami konversi sputum, sebagian besar karena pasien tersebut berobat secara teratur dan memiliki keluarga yang berperan menjadi pengawas minum obat yang memiliki kemauan dan motivasi yang kuat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian angka konversi yaitu motivasi nomor 3 setelah penyakit kardio- vaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Tahun 2010 WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB dengan kematian karena TB sekitar 140.000 secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB Paru BTA positif (KemenKes RI, 2011). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian angka konversi yaitu motivasi PMO, penyuluhan kesehatan, penderita, DOTS, obat TB dan petugas laboratorium. Di antara faktor – faktor diatas yang paling berperan terhadap pencapaian angka konversi yaitu motivasi dari PMO dalam melakukan pengawasan pasien TB selama menelan obat TB, dimana jika PMO memiliki kemauan yang tinggi maka pencapaian kesembuhan terhadap pasien TB lebih cepat dan sebaliknya bila tidak diawasi dengan teratur akan terjadi resisten atau putus obat bahkan pencapaian angka kesembuhan lambat. Pengawas Menelan Obat (PMO) memiliki peranan penting dalam penanggulangan TB. Penelitian yang dilakukan Gitawati dan Sukasediati pada tahun 1996-1997 dengan angka kesembuhan 75,4% (tanpa PMO) menunjukkan masih belum sesuai dengan indikator Program TB, sedangkan setelah di terapkannya DOTS dengan PMO terjadi peningkatan angka kesembuhan pada tahun 1998-1999 mencapai 85%, sehingga menunjukkan relatif lebih baik dengan menggunakan PMO. Data TB Paru Kota Bengkulu dalam tiga tahun belakangan adalah: pada tahun 2010 Penderita TB Paru klinis berjumlah 4.794 orang penderita TB Paru BTA + berjumlah 329 orang (7,5 % dari suspect yang diperiksa) jumlah terbanyak terdapat di PKM Sukamerindu berjumlah 46 orang. Sementara pada tahun 2011 Penderita TB Paru klinis berjumlah 4.398 orang penderita TB Paru BTA + berjumlah 289 orang (6,6 % dari suspect yang diperiksa) jumlah terbanyak terdapat di PKM Sukamerindu berjumlah 45 orang .Pada tahun 2012 tidak banyak terjadi penurunan, penderita berjumlah 39 orang, penderita terbanyak juga dite- Mulyani, dkk Hubungan Tingkat Motivasi Pengawas Minum Obat … 187 mui di PKM Sukamerindu Kota Bengkulu (Dinkes Kota Bengkulu, 2013). Hasil survey awal peneliti pada tanggal 5 September 2013 di puskesmas Sukamerindu di dapatkan data penderita TB Paru BTA positif dari Januari- Desember 2012 yang datang berobat ke puskesmas Sukamerindu sebanyak 51 orang. Berdasarkan wawancara terhadap 10 PMO 5 diantaranya adalah PMO anggota keluarga, motivasi nya untuk menjadi PMO adalah untuk membantu kesembuhan anggota keluargannya dan mencegah penularan ke anggota keluarga lain, 2 orang adalah tetangga motivasi menjadi PMO adalah mencari pengalaman dan 3 orang adalah tenaga medis motivasi menjadi PMO adalah membantu penderita agar tidak putus obat,mencegah penularan dengan anggota keluarga dan membantu dalam penyembuhan, dimana 7 orang pencapaian angka konversinya pada bulan ke 3 pengobatan dan 3 orang pada bulan ke 6 pengobatan intensif. Angka konversi sebesar 72 % dari target. BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu. Variabel motivasi PMO menjadi variable independen yang mempengaruhi pencapaian angka konversi. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan 29 Januari hingga 15 Februari 2014. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Dari hasil perhitungan sampel yang digunakan 37 sampel. Data Motivasi adalah didapatkan dengan menggunakan kuesioner. Peneliti ada yang bertemu langsung dengan PMO di Puskesmas ada juga yang langsung ke rumah pasien dengan melihat data di buku register. Sisanya kuesioner diisi oleh PMO melalui bantuan petugas puskesmas itu sendiri, yang beberapa PMO adalah petugas kesehatan puskesmas itu sendiri. Sementara itu untuk pencapaian angka konversi adalah dengan cara melihat langsung dibuku register di Puskesmas Sukamerindu kota Bengkulu. HASIL Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden memiliki motivasi rendah (75,7%) dan dari 37 responden yang menderita TB BTA positif lebih dari sebagian (56,8%) responden menunjukkan pencapaian angka konversi lambat. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Motivasi PMO dan Pencapaian Angka Konversi Variabel Frekuensi (n=37) Persentase (100%) 28 9 75,7 24,3 21 16 56,8 24,3 Tingkat Motivasi Rendah Tinggi Angka konversi Konversi Lambat Konversi Cepat Tabel 2. Hubungan Motivasi PMO dengan Pencapaian Angka Konversi pada pasien TB Paru Pencapaian Angka Konversi Tingkat Motivasi Lambat Cepat n % n Rendah 19 67,9 Tinggi 2 22,2 % Jumlah n % 9 32,1 28 100 7 77,8 100 9 Nilai P 0,024 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 28 responden yang motivasi rendah terdapat 19 responden (67,9%) yang mengalami konversi lambat, sedangkan dari 9 responden yang bermotivasi tinggi terdapat 2 responden (22,2%) yang mengalami konversi lambat. Hasil uji statistik hubungan tingkat motivasi PMO dengan pencapaian angka konversi menggunakan perhitungan chy square diperoleh nilai p = 0,024< α=0,05 yang berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan tingkat motivasi PMO dengan pencapaian angka konversi. PEMBAHASAN Tingkat Motivasi Pengawas Minum Obat Hasil analisis didapatkan hasil hampir sebagian memiliki motivasi rendah 43,2%. Motivasi rendah banyak masalah yang menyebabkan hal ini terjadi yakni pertama kurangnya waktu luang dari seorang PMO 188 Jurnal Media Kesehatan, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2014, hlm 100-204 untuk memperhatikan pasien dalam menelan minum obat karena ada yang sibuk bekerja jadi tidak ada waktu untuk mengantar pasien berkunjung ke puskesmas untuk kontrol sehingga mempengaruhi kurangnya pemaparan informasi dan komunikasi yang didapat tentang bahaya penyakit TB Paru, cara perawatan, memberikan motivasi pada Pasien TB Paru dan peraturan minum obat yang seharusnya dilakukan oleh seorang PMO sehingga mempengaruhi tingkat motivasi Pengawas Minum Obat. Kedua yang mempengaruhi motivasi rendah dari hasil penelitian yaitu pengetahuan seorang PMO yang rendah, hasil penelitian ada beberapa Pengawas Minum Obat yang memang memiliki pengetahuan yang masih terbatas dan rendah terlihat dari lambat menerima informasi yang didapatkan dari petugas kesehatan terutama tentang TB Paru dan cara penggunaan obat TB, sehingga sulit termotivasi melakukan pengawasan dengan baik, hal ini juga dikarenakan PMO ini memiliki latar belakang pendidikan tamatan SD dan SLTP. Ketiga yang mempengaruhi motivasi rendah dari hasil penelitian yaitu kurangnya motivasi untuk belajar dari seorang PMO untuk mengetahui bahaya jika pasien putus obat melalui penyuluhan tentang cara pencegahan TB Paru di rumah, agar tidak menular dengan anggota keluarga lainnya , minat belajar dari PMO yang memiliki motivasi rendah memang kurang, hal ini terlihat dari hasil wawancara yang dilakukan juga oleh peneliti ketika menyabarkan kuesioner, dimana jawaban dari PMO mengatakan tugasnya hanya mengawasi minum obat saja jadi tidak perlu belajar yang lainnya. Keempat yang mempengaruhi motivasi rendah dari hasil penelitian yaitu faktor dorongan dari anggota keluarga karena tidak ada anggota keluarga lain yang dapat menjadi PMO yang mengawasi langsung anggota keluarga yang menderita TB Paru, dapat terlihat kalau yang menjadi responden terpaksa dalam menjalankan tugas, sehingga PMO terlihat jenuh dari sikap yang dilakukannya dimungkinkan karena kurangnya motivasi untuk belajar dan komunikasi dari petugas kesehatan kepada responden melalui penyuluhan tentang cara pencegahan TB Paru di rumah. Peran PMO pada penelitian ini selain berperan motivasi PMO juga mengawasi penderita ketika penderita minum obat, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak, pada waktu-waktu yang telah ditentukan, menyarankan penderita untuk kontrol rutin dan tidak memberhentikan obat tanpa pengawasan dokter, memperhatikan lingkungan dan gizi penderita, mengingatkan tanggal kunjungan berikutnya pada penderita. Peran PMO dalam upaya pencapaian keberhasilan pengobatan penderita TBC paru, karena alasan utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak minum obatnya secara teratur dalam waktu yang diharuskan, seluruh keberhasilan program tergantung dari supervisi yang baik atas pengobatan. Idealnya pengobatan hendaknya diobservasi langsung (yaitu pasien diawasi setiap kali minum obat), setidaknya penting selama 2 bulan pertama, karena sebagian besar pasien TBC BTA positif menjadi BTA negative (konversi) dalam 2 bulan pertama, oleh karena itu peran PMO ini sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan penderita TBC Paru. PMO tidak hanya dilakukan petugas kesehatan, namun juga dapat dilakukan oleh anggota keluarga dan tokoh-tokoh masyarakat, yang pasti penderita hendaknya kenal orang itu, ikatan demikian akan mengurangi kelalaian (Crofton, 2006). Adapun peran sebagai motivator meliputi, memberi dorongan atau semangat kepada penderita agar mau berobat secara teratur, memeriksakan diri kesarana kesehatan yang ada, memotivasi agar tidak bosan minum obat sampai sembuh, dan memotivasi agar tetap bersemangat menjalani proses pengobatan (DepKes RI, 2008) Vroom (2011) penyebabnya ada Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang berfungsi karena adanya rangsangan dari luar, misalnya dorongan belajar karena ada ujian, Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang berfungsi tanpa rangsangan dari luar tetapi sudah dengan sendirinya terdorong untuk berbuat Mulyani, dkk Hubungan Tingkat Motivasi Pengawas Minum Obat … 189 sesuatu. Penilaian tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen yaitu Ekspektasi (harapan) keberhasilan sebagai suatu tugas, Instrumentalis penilaian tentang apa yang akan terjadi berhasil dalam melakukan suatu dan Valensi yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral atau negatif. Penelitian ini sesuai yang dikemukakan Notoatmodjo (2005), yang mengatakan bahwa motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Proses psikologi ini timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang (intrinsik) yang berupa kepribadian, sikap, pengalaman, pendidikan, harapan dan lain-lain. Pencapaian Angka Konversi Hasil penelitian didapatkan bahwa hampir sebagian responden pencapaian angka konversi cepat, hal ini dipengaruhi oleh pertama faktor keturunan dimana kondisi yang ada manusia serta organ manusia yang ada, misalnya pada keluarga yang menderita TBC ada anggota keluarga yang lain sebelumnya menderita TBC juga, tetapi penyakit TBC ini bukan merupakan penyakit keturunan melainkan penyakit menular, hal ini telihat juga pada penelitian bahwa kesembuhan pada pasien yang mengalami TBC tidak dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan. Adapun data yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa terdapat 2 pasien yang tidak Konversi pada saat di lakukan penelitian, Hal ini dikarnakan satu pasien memang sudah dilakukan pengobatan selama 6 bulan tetapi tidak konversi dan bulan ke 7 pada saat penelitian berlangsung pasien meninggal dunia dikarnakan memang pasien sudah mengalami komplikasi penyakit lain yaitu gagal ginjal kronis dan satu lagi pasien yang tidak konversi sudah melakukan pengobatan intensif 2 bulan pada bulan ke 3 pasien berhenti pengobatan menjadi tidak teratur dan mengalami resistensi terhadap obat lalu pasien dirujuk ke rumah sakit M. Yunus Kota Bengkulu pada saat dilakukan penelitian. Selain itu, pasien memiliki ke- luarga yang berperan sebagai PMO sibuk bekerja pagi-pagi harus membuka jualan sehingga kurang sempat mengontrol keadaan pasien, kebetulan pasien tinggal dengan anak dan menantunya. Notoatmodjo (2006) tentang hubungan status kesehatan, perilaku dan pendidikan kesehatan dengan memodifikasi konsep Green dimana pencapaian angka konversi atau kesembuhan dipengaruhi oleh faktorfaktor perilaku, genetik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Pencapaian konversi pengobatan pasien yang berobat berpengaruh kuat terhadap hasil pengobatan. Kurangnya pemahaman tentang lama pengobatan TB merupakan penyebab lama berobat yang tidak sesuai dengan standar pengobatan. Pasien menganggap tidak perlu meneruskan pengobatan hingga selesai karena perbaikan klinis yang dirasakan pasien tersebut dan melihat adanya perubahan konversi sputum menjadi negatif pada akhir masa intensif, selain itu, terputusnya pengobatan pasien disebabkan oleh rendahnya tingkat kondisi sosial ekonomi dari Pengawas Minum Obat itu sendiri, sehingga tidak dapat meneruskan pengobatan karena mahalnya biaya pengobatan. Penelitian ini biaya pengobatan pasien TBC Paru di setiap Puskesmas sudah di gratiskan selama enam bulan pengobatan, jadi tidak menjadi penghambat dalam proses pengobatan. Pencapaian angka konversi dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap pertama dengan angka pencapaian angka konversi cepat perubahan persentasi penderita TBC BTA positif mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani pengobatan selama 2 bulan intensif yaitu bulan ke 1 sampai bulan ke 3, konversi lambat perubahan persentasi penderita TBC BTA positif mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani pengobatan lebih 2 bulan intensif yaitu bulan ke 4 sampai bulan ke 6 sedangkan tidak konversi tidak mengalami perubahan perentasi penderita TBC BTA Positif ke Negatif selama 3-6 bulan setelah pengobatan intensif selama 2 bulan (Depkes RI, 2007) 190 Jurnal Media Kesehatan, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2014, hlm 100-204 Tingkat Motivasi PMO dan Angka Konversi Pencapaian Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil p=0,024 yang artinya ada hubungan yang bermakna antara tingkat motivasi dengan upaya pencapaian angka konversi. Hal ini terlihat jelas dari hasil penelitian yang di dapat yaitu dimana tingkat motivasi rendah angka pencapaian konversinya lambat. Angka konvensi yang tinggi akan diikuti angka kesembuhan yang tinggi dan di dukung oleh motivasi yang tinggi pula dari PMO dalam mengawasi pasien menelan obat serta memberikan dukungan pada pasien agar cepat sembuh pula, hal ini terlihat jelas dari hasil penelitian di atas dimana rata – rata pasien yang konversinya yang cepat atau tinggi di sertai dengan tingkat motivasi PMO yang tinggi pula dan sebalik nya pasien yang pencapaian angka konversinya lambat dengan tingkat motivasi yang rendah dan pencapaian angka konversi yang tidak konversi dikarenakan motivasi rendah dan memang pasien resiten terhadap obat dan hal lain. Depkes RI (2009) motivasi yang didasari pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap perubahan hidup sehat dan menurut teori Nuraini (2006), Motivasi PMO tentang pengawasan minum obat pasien TB Paru tidak terlepas dari latar belakang tingkat motivasi, pendidikan dan hubungan. Penelitian ini juga diperkuat oleh pendapat Notoatmodjo (2010) tentang ilmu motivasi dimana motivasi sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, makin tingginya tingkat pengetahuan seseorang maka semakin tinggi pula motivasi seseorang dalam melakukan suatu tindakan, maka semakin tinggi moti- vasi PMO dalam melakukan pengawasan minum obat maka semakin cepat upaya pencapaian angka konversi pada pasien TB Paru yang dilakukan oleh PMO. Tindakan yang dilakukan oleh PMO untuk mendukung pencapaian angka konversi dipengaruhi oleh sikap dan kemauan dari PMO tersebut, sehingga menimbulkan motivasi baik atau tidak, terlihat dari perilaku PMO dalam mengawasi Penderita menelan obat secara teratur. Hasil penelitian ini terlihat jelas bahwa sikap dan perilaku juga ikut berperan untuk mempengaruhi motivasi PMO dalam mencapai angka konversi, dimana sikap dan perilaku yang baik bisa menumbuhkan motivasi yang tinggi pada seseorang (Depkes RI, 2009) KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden memiliki motivasi rendah dan lebih dari sebagian responden menunjukkan pencapaian angka konversi lambat serta ada hubungan yang signifikan antara hubungan tingkat motivasi PMO dengan pencapaian angka konversi di puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu. Diharapkan tenaga kesehatan (Perawat dan Dokter) untuk lebih disiplin dalam memantau program pemberantasan penyakit menular khususnya TB Paru dan PMO dan Penyuluhan tentang TB Paru bagi PMO dan selalu melakukan evaluasi program yang dilakukan setiap bulannya. Seharusnya yang menjadi PMO adalah anggota keluarga karena pengawasan menelan obat TB dan pengawasan pada pasien TB dilakukan setiap hari dan mendampingi pasien kontrol serta PMO mengikuti penyuluhan dan pelatihan khusus tentang PMO. DAFTAR RUJUKAN Alimul Aziz. 2008.Metode Penelitian Keperawatandan TeknikAnalisa Data. Jakarta.SalembaMedika. Anonim. 2005. Kumpulan Kuliah Ilmu Penyakit Paru, Surabaya : FK UNIAIR Arikunto, Suharsimi. 2006.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Jakarta.PT. Asdimahasatya Depkes RI.2005.Pedoman Nasional Penanggulangan TB. ______. 2007. Jurnal Tuberculosis Paru Indonesia, Jakata : PPTI. ______. 2009. Pedoman Pemberantasan TBC Paru. Dinkes RI 2010. Pedoman Pemberantasan TBC Paru. Dinkes Provinsi Bengkulu.2011.Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu. Dinkes Kota Bengkulu.2011.Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu. Mulyani, dkk Hubungan Tingkat Motivasi Pengawas Minum Obat … 191 Hartanto. 2007. Metode Penelitian, Jakarta :ECG Indonesia Wikipedia, 2013. Masalah Penyakit TBC Indonesia, Jakarta. KemenKes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta : KemenKes RI LaporanTahunanPenyakit TBC P2TB PKM Sukamerindu 2012. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineke Cipta, Jakarta. Setyarini , 2011. Jurnal Tuberculosis Paru Indonesia, Jakata : PPTI