DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: Setyo Nugroho 1110048000024 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M | - "tF DEMOKRASI DAI\I TATA PEMERINTA}IAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal I Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang Kedaulatan Ralryat) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: Setvo Nueroho 1110048000024 195403031976111 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAI\I NEGARA PROGRAM STUDI ILMU IIUKUM FAKULTAS SYARIAH DAI{ HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF' HIDAYATULLAII JAKARTA 1435 rV2014 M F=' PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi ini berjudul DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DBSA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal I ayat (2) UUDNRI 1945 tentang Kedaulatan Rakyat), telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 05 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilrnu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara. Jakarta, 05 Mei 2014 ngesahkan Fakultas Syariah dan Hukunr 196808121999031014 PANITIA UJIAN Dr. Djawahir Heiazziey. S.H.. M.A. Ketua NrP. I 95003061 97603 r 00r Sekretaris Drs. Abu Tarnrin. S.H.. M.HLrm. NrP. I 96509081 99503 100r Pembimbing Prof. Dr. H. A. Salrnari Masealatune. S.H.. M.H. NrP. re540303 r976 t r t00l Penguji I Penguji II Drvi PutriCahyawati. S.H.. M,H. Nur Habibi. SH.l.. M.H. NIP. I 97608r 7200912100s LEMBAR PERNYATAAI\ Dengan l. ini saya menyatakan bahwa: Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah I akarta. 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jekerte,.?4 Apnl2014 1 I 10048000024 ABSTRAK SETYO NUGROHO. NIM: 1110048000024. DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. + 73 halaman + lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat desa dan kelurahan sebagai organisasi pemerintahan terendah di dalam Negara Kesatuan Republik Indoensia. Hal ini terkait dengan penerapan asas kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945. Dampak penerapan asas tersebut terlihat pada bentuk sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, yaitu sistem pemerintahan demokrasi diseluruh tatanan pemerintahan, mulai dari tingkat pusat sampai dengan daerah, dari yang tertinggi, hingga yang terendah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengedepankan pendekatan perundang-undangan, yaitu menggali data dan mencari sumber informasi melalui undang-undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah terkondifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa desa merupakan suatu bentuk pemerintahan yang demokratis, baik secara undang-undang maupun sistem kemasyarakatan berdasarkan adat istiadat yang hidup di masyarakat. Sementara itu, kelurahan merupakan tatanan pemerintahan yang bersifat administratif yang tidak mencerminkan penerapan sistem demokrasi berdasarkan asas kedaulatan rakyat yang diterapkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kata kunci: Kedaulatan, Demokrasi, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Pemerintahan Adat. Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1987 s.d. Tahun 2014 ii KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb. Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 tentang Kedaulatan Rakyat)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muuhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat : 1. Dr. H. J. M. Muslimin, M. A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Djawihir Hejazziey, S.H., M.A., ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan buah pikirannya untuk membimbing penulis dalam proses hingga terselesaikannya dengan baik penelitian ini. iii 4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidataullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahakan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal ibadah untuk beliau semua. Serta Kepada Bapak Nur Rohim Yunus LL.M., Bapak Nur Habibi Ihya, S.HI., M.H., yang telah senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini bahkan sebelum karya ini terbentuk. 6. Kedua orang tua tercinta, terhormat, tersayang, malaikat tuhan yang menjaga segumpal darah kecil yang terus tumbuh, mendedikasikan sepenuh hidupnya untuk penulis, semua ilmu dan pengalaman dan ajaran-ajaran tentang kehidupan yang menjadikan penulis jauh lebih baik, yaitu ayahanda tercinta, Drs. Sahidin dan Ibunda Siti Maesuri, S.Sos,. Karya ini tak lepas dari pengajaran mereka sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Begitu juga untuk masku, Kurnianto S. L., S.E., dan Surianto S. L., S.T., dedikasi lebih dari hubungan kakak dan adik, dan adik tercinta, Hardjanto Dwi Nugroho, yang selalu menemani dengan canda gurau dan teman diskusi yang menyenangkan, doa kakak untuk keberhasilanmu kelak. Terimakasih atas kepercayaan, keikhlasan serta kasih sayang kalian. iv 7. Kekasih tercinta, pendamping hati dan belahan jiwa, adinda Nur Azan Ningsih, A.M.Keb., doa hati dalam tinta abadi, Amin. 8. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2010 kelas A. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum konsentrasi Kelembagaan Negara angkatan 2010 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, bukan sekedar kisah, tetapi suka duka dalam pengabdian tentang ilmu dan persahabatan. 9. Keluarga besar R. Kramalaksmana, khususnya untuk garis eyang dularis (ayahanda dari ayah), pakde slipi (pakde Eko), pakde sunter (alm. pakde Bagio), dan keluarga lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 10. Keluarga besar kakek, alm. Alwi Ismail (ayahanda dari ibu) yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekianterimakasih. Wassalamu’alaikumWr. Wb. Jakarta, 24 April 2014 Setyo Nugroho v FI DAF"TAR ISI BAB II --l-E BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DESA KELURAI{AN.....,... DAN .........43 A. Desa-......... .-....-..43 B. .....-..48 Pernerintahan Desa...-. C. Pernerintahan Kelurahan...........-.. ........52 DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM BAB IV KONSEP DESA DAN KELURAHAN......... A. Analisa Konsep Desa dan Kelurahan Otonom.... B. .........54 Sebagai daerah .-.------54 Analisa Konsep Desa dan Kelurahan Berdasarkan Pasal I (2) UUDNRI 1 945 Tentang Kedaulatan Rakyat.............-.59 PENUTUP BAB V A. Simpulan.. B. DAFTAR ..................68 Saran.......- PUSTAKA LAMPIRAN .........68 .............7A ayat DAFTAR LAMPIRAN 1. UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA 2. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.1 Pada kenyataan manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.2 Kekuasaan dalam suatu organisasi, dapat diperoleh berdasarkan legitimasi, religius, ideolgis eliter dan legitimasi pragmatis. 3 Hanya saja legitimasi-legitimasi tersebut, cenderung mengarah pada kekuasaan yang absolut karena kewenangan yang dimiliki yang menjadikan ketiga legitimasi tersebut menjadi kekuasaan yang otoriter.4 Pada tahap berikutnya, yang menjadi masalah mendasar yang menetukan bangunan suatu organisasi bahkan sebuah negara adalah konsep 1 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. 2 Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, artikel diakses pada 05 Aguatus 2013 dari http://jimly.com/makalah/namafile/2/DEMOKRASI_DAN_HAK_ASASI_ MANUSIA.doc. h. 2. 3 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 30-66. 4 Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi..., h. 2. 1 2 kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara. Kekuasaan tertinggi tersebut, biasanya dipahami sebagai sesuatu yang abstrak, tunggal, utuh, dan tak terbagi, serta tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.5 Kedaulatan inilah yang kemudian menjadikan segala tindakan dan perilaku negara mendapatkan legitimasinya sehingga dapat dilakukan dan dilaksanakan sebagaimana seharusnya atas apa yang telah direncanakan untuk kemudian menjadi bagian dari pelaksanaan kekuasaan negara. Karena hakhak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual.6 Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.7 Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang tujuan bersama, hak-hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batasbatasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai 5 Jenedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional-Praktek Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, Oktober 2012), h. 3. 6 Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi..., h. 2. 7 Ibid. h. 2. 3 hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Berkenaan dengan hal tersebut, hukum yang diterapkan dan ditegaskan harus mencerminkan kehendak rakyat, sehingga menjamin adanya peran serta warga negara dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Hukum tidak dibuat untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan untuk menjamin kepentingan segenap warga negara.8 Pemberian kewenangan kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang lebih rendah dan lebih kecil merupakan kebutuhan mutlak dan tidak dapat dihindari.9 Dibuktikan dengan berakhirnya sistem sentralistik dan mengarah kepada sistem pemerintahan yang desentralistik dengan memberikan keleluasaan pada daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. Otonomi Daerah, adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdsarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundangundangan.10 Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus 8 Jenedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional-Praktek Ketatanegaraan Indonesia..., h. 8. 9 Syaukani, H.R., Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, cet.III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 21. 10 H.A.W. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Cet.II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 76. 4 sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi Daerah memilki daerah yang mempunyai hak otonom, atau biasa disebut dengan daerah otonom. Daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.11 Salah satu bentuk daerah otonom tersebut di atas yang juga menjadi suatu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keaneka ragaman adat istiadat, bahasa, pakaian, dan sebagainya. Sehingga kata “bhineka” dalam Bhineka Tunggal Ika adalah suatu perlambangan terhadap kenaeka ragaman tersebut. Dan itu pulalah sebabnya, dalam kenyataan terdapat pula keaneka ragaman dalam kesatuan masyarakat yang terendah. Kesatuan masyarakat yang dimaksud adalah desa.12 Masalah desa menjadi perhatian, hanya karena beraneka ragam istilah yang dipergunakan, berbeda isi dan susunan masyarakatnya. Sementara itu, kelurahan juga muncu sebagai pemerintahan terendah bersama dengan pemerinthan desa. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka penulis tertarik untuk mengajukan suatu tema, yaitu “DEMOKRASI DAN TATA 11 12 PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet.VIII, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti, 1988), h. 284. 5 KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat)” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya masalah yang tercakup dalam judul di atas dan keterbatasan peneliti terakait penelitian yang akan dilakukan, maka penelitian ini hanya difokuskan kepada penerapan dari proses demokrasi dalam tatanan pemerintahan desa dan kelurahan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat, sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut menandakan suatu pola demokrasi dalam penerapan dan pengelolaan negara dan pemerintahan di Indonesia terkait di dalamnya dengan status desa sebagai suatu bagian dari daerah yang otonom yang dapat melakukan pengelolaan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat lokal setempat. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran dan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: a. Apakah desa dan kelurahan merupakan bentuk tatanan pemerintahan yang demokratis? b. Bagaimana perbedaan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan dalam proses demokratisasi? 6 C. Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan suatu anggapan sementara yang masih harus di buktikan kebenarannya. Maka berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut: 1. Bahwa desa merupakan suatu tatanan pemerintahan yang demokratis sementara kelurahan merupakan tatanan pemerintahan yang tidak demokratis. 2. Terdapat perbedaan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan dalam proses demokratisasi. D. Tujuan dan ManfaatPenelitian 1. Tujuan Penelitian a) Menjelaskan tentang tatanan pemerintahan desa sebagai suatu bentuk penerapan tatanan pemerintahan yang demokratis berdasarkan pada asas kedaulatan rakyat. b) Menjelaskan perbandingan tatanan pemerintahan desa dan kelurahan sebagai bagian dari penerapan dan tata kelola pemerintahan yang demokratis berdasarkan pada asas kedaulatan rakyat 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memperkaya kazanah keilmuan terutama dibidang ilmu hukum, khususnya hukum kelebagaan negara. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukanmasukan bagi para pihak di berbagai bidang, terutama terkait 7 masalah penanganan desa kedepannya dan masyarakat pada umunya terkait dengan permasalahan yang dibahas di dalam peneltian ini. b. Manfaat praktis, diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi teman mahasiswa, bagi para praktisi, penegak hukum, pembuat peraturan di kalangan pemerintahan berkenaan dengan permasalahan terkait dengan pemerintahan desa dan kelurahan kedepannya. E. Metode Penelitian Menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan suatu metode penelitian dengan pemaparan sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksplanatoris, dimana penelitian ini dimaksudkan untuk melihat, mengkaji sejauh mana peraturan perundangundangan yang berlaku yang diterapkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan kewenangannya kepada warga negara menjamin setiap hak-hak warga negara yang masih memegang teguh kearifan lokal atau adat istiadat setempat. Melihat sejauh mana kecondongan pemerintah dalam menetapkan peraturan akan kebijakan dari berbagai bidang dengan atau tanpa memperhatikan masyarakat adat setempat yang hidup sebagai satu kesatuan masyarakat adat ataupun “lokal” dalam naungan suatu pemerintahan desa yang terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut. Yang tentunya kemudian mencapai suatu pelaksanaan yang ideal dari pemerintahan desa di Indonesia. 8 2. Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah menggunakan gabungan dari beberapa pendekatan, yaitu: Pertama pendekatan perundang-udangan. Dimana di dalam penelitian ini, tentulah peneliti melihat sejauh mana perrundang-udangan atau kebijakan-kebijakan terkait memenuhi aspek kemasyarakat atau tidak terhadap komunitas lokal masyarakatnya. Kedua, pendekatan perbandingan. Dimana dalam hal ini, peneliti membandingkan dua mekanisme konsep penerapan pemerintahan terendah di Indonesia antara pemerintahan desa dan kelurahan yang keduanya sama-sama diakui oleh negara. Perbandingan itu ditekankan pada penerapan demokrasi berdasarkan asas kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 sebagai wujud pemerintahan rakyat. 3. Teknik Pengumpulan Data: a. Bahan Hukum Primer, diantaranya: Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara 9 b. Bahan Hukum Sekunder, diantaranya: Buku mengenai otonomi daerah, buku mengenai ekologi pemerintahan, buku mengenai Antropologi Hukum Di Indonesia, buku mengenai Persepktif Baru Antropolgi Pedesaan. 4. Pengolahan dan Teknik Analisis Data Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian Penulis menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. F. Review Terdahulu Kajian mengenai desa sebagai salah satu bentuk daerah yang khas dan memilki sifat otonom menjadi suatu bahan perbincangan yang hangat di kalangan akademisi hukum, khususnya hukum ketatanegaran. Hal senada 10 terkait dengan eksistensi pemerintahan desa yang dianggap sebagai cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai karya ilmiah dan tulisan baik berupa jurnal, buku, maupun tulisan-tulisan lainnya banyak yang telah membahas terkait kedua hal ini. Mengenai penelitian yang mengkolaborasikan antara tata pemerintahan desa dengan penerapan konsep demokrasi dan perbandingannya dengan pemerintahan kelurahan dengan desain yang dikatakan lebih modern, sejauh penelusuran penulis belum pernah ada yang melakukan penerlitian terkait dengan hal tersebut. Sehingga untuk memposisikan skripsi ini kiranya perlu memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya agar kemungkinan terjadinya pengulangan penelitian dapat dihindari. 1. Tesis Tesis tentang “Eksistensi Kebijakan Daerah Yang Demokratis Dalam Sistem Pemerintahan Yang Bersih Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”, ditulis oleh Salamat Simanjuntak dari Program Magister Hukum Universitas Gajah Mada pada tahun 2003. Hasil dari tesis ini menjelaskan tentang pengaruh kebijakan daerah dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (clean governance), dimana kebijakan daerah merupakan instrumen penting untuk mewujudkan Clean Governance dalam praktek dan penerapan pemerintahan yang demokratis. Penelitian ini dibahas secara umum tidak terfokus pada daerah otonom tertentu, terutama berkenan dengan penerapan pemerintahan lokal desa 11 dankelurahan, sementara penelitian penulis terfokus pada tingkatan daerah otonom tertentu yaitu tatanan pemerintahan desa dan kelurahan. 2. Buku Buku HUKUM yang berjudul “REPUBLIK TRADISIONAL DAN HUKUM DESA-PERGULATAN MODERN DALAM DESAIN OTONOMI DESA”, ditulis oleh Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H., dan Dr. Suprin Na’a, S.H., M.H., yang diterbitkan oleh penerbit Alumni, Bandung, pada tahun 2010. Buku ini menjelaskan tentang pronlematika yang terjadi di dalam tatanan pemerintahan desa itu sendiri, dalam suatu lingkup sejarah yang panjang, mulai dari jaman kerajaan hingga reformasi, berkenaan pula dengan hal apa dan bagaimana hukum adat hidup, tumbuh dan berkembang dalam tatanan kehidupan masyarakat, dan pembahasan tentang pemerintahan desa yang dulu sempat diundangkan di dalam perundang-undangan tersendiri, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dijelaskan secara umum dalam buku ini. Sementara itu, penelitian ini merujuk pada suatu pertanyaan terkait penerapan demokrasi berdasarkan implementasi kedaulatan rakyat yang tercantum di dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu pada Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 dan aplikasinya dalam peraturan perundangundangan yang kemudian apakah semua regulasi dan penerapan tersebut dapat menjawab pertanyaan apakah desa dan kelurahan merupakan 12 tatanan pemerintahan yang demokratis dalam sistem ketatanegaran Republik Indonesia. Dan perbandingan pada penerapan pemerintahan kelurahan yang dianggap sebagai suatu tatanan pemerintahan lokal yang lebih modern. G. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori Menurut H. Krabbe (1857-1936) yang menjadi sumber hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, masih bersifat primitif, atau yang tingkatannya masih rendah disebut insting hukum. sedang dalam bentuknya yang lebih luar atau dalam tingkatnya yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum.13 Krabbe dalam banyak hal dipengaruhi oleh mahzab historis yang di pelopori oleh seorang F.C.Von Savigny (1779-1961). Von Savigny mengatakan, bahwa hukum itu harus tumbuh di dalam masyrakat itu sendiri, berdasarkan kesadaran hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri, maka tidak mengherankan bahwa aliran ini menolak kondifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon, karena pada dasarnya, hukum tersebut berasal dari romawi.14 Selain itu, Von Savigny melalui mazhab historisnya menekankan pada hukum sebagai pencerminan dari jiwa rakyat yang dinamakan volkgeist, dimana hukum itu tumbuh bersama-sama dengan kekuatan dari 13 Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 156. 14 Ibid. 13 rakyat, dan pada akhirnya bangsa itu mati bersama dengan hilangnya kebangsaan. jadi bagi aliran ini, hukum itu tidak dibuat melainakn ditemukan didalam masyarakat sebagai implementasi jiwa rakyat.15 Hukum juga tidak mempunyai daya laku dan penerapan yang universal. Bahwa manusia di dunia ini terdapat beraneka ragam bangsa dan tiap-tiap bangsa mempunyai semangat bangsanya sendiri atau jiwa rakyat. Jiwa-jiwa itu berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari jiwa yang berbeda-beda itu pada kebudayaan atau adat istiadat dari bangsa-bangsa yang berbeda tadi.16 Menurut Kranenburg (1880-1956), bahwa pemerintah tidak dapat membuat hukum atas kehendaknya sendiri, bahwa harus diperhatikan rasa hukum atau kesadaran hukum yang ada dimasyarakat. Perbedaan nilai hukum dapat menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat akibat adanya rasa hukum atau kesadaran hukum di dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan tersebut memungkinkan reaksi yang ditimbulkan terhadap pembentukan hukum tersebut menjadi lamban dan ini kemudian dapat melemahkan kekuasaan pemerintah.17 Kedaulatan sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah dalam membuat suatu sistem nilai bagi kehidupan masyarakat pada dasarnya didasar atas apa yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi kekuasaan 15 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2012), h. 114. 16 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik hukum Indonesia (Perspektif Hukum Islam), cet.I, (Jakarta: Focus Grahamedia, September 2012), h. 18. 17 Soehino, Ilmu..., h. 158. 14 pemerintah, adalah bagaimana kekuasaan itu dapat diterima oleh masyarakat.18 Pemikiran tersebut dikembangkan oleh Johannes Althusius (15631638), dimana dia tidak lagi menitik beratkan kekuasaan raja sebagai kehendak tuhan seperti yang terjadi pada abad pertengahan melalui teoriteori yang diperlopori oleh diantaranya, Augustinus dan Thomas Aquinas. Althusius berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat yang diperolehnya dari hukum yang tidak tertulis atau hukum kodrat. Antara rakyat dengan raja membuat perjanjian yang disebut dengan perjanjian penundukan.19 Sementara itu, Eugen Ehrlich (1862-1922) menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Teori ini sangat menekankan pentingya living law. Ehrlich berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan, bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.20 Senada dengan Ehrlich, Lawrence Meiere Friedman memiliki sebuah perumpamaan, “without legal culture, the legal system is inertadead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea” Hukum di negara ini niscaya tak berdaya, ibarat ikan mati, jika tak 18 Ibid. h. 159. 19 Ibid. 20 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959..., h. 19. 15 disokong oleh budaya hukum bangsa sendiri. Friedman memasukan kultur hukum dalam teori sistem hukumnya, yaitu: (1) struktur (structure), (2) substansial (substance), dan (3) kultur (legal culture).21 Struktur yaitu kelembagaan yang diciptaan oleh suatu sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem hukum tersebut. Subtansi adalah output dari sistem hukum, yaitu norma-norma hukum berupa peraturan-peraturan, doktrin-doktrin, keputusan-keputusan sejauh itu digunakan oleh pihak yang negatur dan yang diatur. Kultur adalah seperangkat nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum, yang akan menetukan kapan, mengapa, dan dimana rakyat datang kepada hukum atau pemerintah atau menghindari keduanya.22 Jiwa rakyat (volgeist) sebagaimana pendapat Von Savigny dan hukum yang hidup di masyarakat (living law) sebagaimana pendapat Eugen Ehrlich, berkembang di Indonesia melalui bentuk pemerintahan desa yang kental dengan nilai tradisional dan adat-istiadat masyarakat setempat. Hal ini diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan wujud implementasi pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat di 21 Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, cet.I, (T.t.t, Jurisprudance Press, Desember 2012), h. 5. 22 Ibid. h. 6. 16 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194523 sebagai hukum dasar bagi peraturan perundang-undangan di Indonesia.24 2. Kerangka Konseptual Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah desa diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (diketuai oleh kepala desa). 25 Sementara itu, dalam Black’s Laws Dictionary, istilah desa (village) diartikan sebagai “a modest assembage of houses and building for dwellings and bussinesses. In some state, a manicipal corporation with a smaller population than a city”.26 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa, desa adalah desa dan desa adat dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan 23 Pasal 18B ayat 2 UUDNRI 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur di dalam undang-undang.” 24 Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 25 Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-empat, cet.I. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 318. 26 Brian A. Garner, Ed., Black’s Laws Dictionary, cet.XI, (USA: Thomson Bussiness, 2004), h. 1599. 17 dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa, daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelurahan, menurut Pasal 1 ayat (5) diartikan sebagai, “wilayah kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan.” Hanif Nurcolis menambahkan, bahwa Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.27 Terkait dengan kedaulatan rakyat, Rousseau menjelaskan kedaulatan rakyat sebagai suatu mekanisme dimana setiap masalah yang dihadapi, maka penyelesaiaannya harus dilakukan melalui kehendak bersama. Melalui sebuah perjanjian yang dibentuk oleh masyarakat, maka ditetapkanlah sutau bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap 27 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, cet.XIV, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 1 18 orang. Setiap orang tetap mematuhi drinya sendiri, sehingga orang tetap bebas dan merdeka seperti sediakala.28 Sri Soemantri mengutip pendapat E. Barker (1894-1983) mengatakan, 29 demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara itu, Joseph A. Schumpeter (1883-1950) mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.30 H. Sistematika Penulisan Dalam rangka mempermudah penyajian dan penulisan dari skripsi ini, maka penulis melakukan pembagian ke dalam lima bab dengan sistematika atau susunan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, hipotesa penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, kerangka teori dan konseptual, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KEDAULATAN, DEMOKRASI, DAN DAERAH OTONOM 28 Soehino, Ilmu..., h. 119. 29 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, cet.I. (T.t.t, Prestasi Pustakaraya, 2010), h. 170-171. 30 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan, cet.II, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, September 2001), h. 5. 19 Bab ini membahas tetang penjelasan mengenai otonomi, bentuk penerapan dari otonomi itu sendiri dalam sistem pemerintahan nasional, serta implementasi penerapan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DESA DAN KELURAHAN Bab ini membahas tentang desa dan kelurahan, perkembangan dan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan di indonesia serta perbandingan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan. BAB IV DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN Bab ini membahas analisa tentang pemerintahan desa dan kelurahan dipandang dari aspek demokrasi menurut asas kedaulatan rakyar berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB V PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran bagi permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KEDAULATAN, DEMOKRASI, DAN DAERAH OTONOM A. Kedaulautan Negara Negara berasal dari bahasa latin, status atau statum yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat tetap atau tegak. 1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata negara di padankan dengan kata nagari (negari), yang diartikan sebagai wilayah atau sekumpulan kampung yang dipimpin (di kepalai) oleh seorang penghulu. Wilayah ini sering disebut juga dengan wilayah distrik.2 Miriam Budiardjo (1923-2007) mengartikan negara sebagai organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Negara mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat, menertibkan gejala-gejala kekuasaan di dalam masyarakat, memaksakan kekuasaannya terhadap semua golongan kekuasaan lainnya, dan menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.3 Sementara itu, Jean Bodin (1530–1596) mengatakan bahwa, negara adalah kesatuan dari keluarga yang berbeda, awalnya hanya ada satu keluarga, kemudian keluarga lain datang untuk berkumpul dan bersama 1 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, cet.I, (Bandung: Fajar Media, Agustus 2013), h. 25. 2 Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-empat, cet.I., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 948 & 957. 3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi, Cet.IV, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 17, 48 & 49. 20 21 membentuk negara yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat. Sehingga bersama-sama mereka dapat mempertahankan diri dengan baik. Maka, keluarga merupakan asal dari negara, baik secara akal maupun sejarah.4 Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Suatu komunitas tidak akan dianggap sebagai negara bila tidak memilki kedaulatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, kedaulatan berasal dari kata daulat yang memiliki arti mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara atau daerah.5 Kedaulatan berasal dari kata sovereignty (Inggris), souverainete (Prancis), sovranus (Italia). Kata-kata tersebut berasal dari bahasa latin superanus yang berarti yang tertinggi (supreme). Dalam ilmu politik modern, kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan mutlak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memakasakan kehendak kepada rakyat dan rakyat harus mematuhinya.6 Pada awalnya kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang bersifat mutlak, karena tidak ada kekuasaan lain yang mengatasinya (superlatif), kemudian dengan timbulnya hubungan antar bangsa dan negara, maka kedaulatan dibatasi dengan adanya perjanjian internasional yang 169. 4 Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 78. 5 Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar..., h. 298. 6 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, cet.IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2012), h. 22 membatasi kedaulatan negara ke luar. Sementara kedaulatan ke dalam dibatasi oleh hukum positif.7 Di bawah ini, penulis mengemukakan beberapa bentuk-bentuk kedaulatan: 1. Kedaulatan Tuhan Yaitu kedaulatan yang menerangkan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Tuhan.8 Teori ini muncul pada abad pertengahan (abad VXV) yang berkaitan erat dengan perkembangan agama katolik yang diorganisir oleh gereja. Sehingga muncul dualisme pemerintahan dalam negara, yaitu pemerintahan oleh negara melalu pemerintah, dan pemerintahan oleh gereja.9 Ada tiga pakar yang menganut teori ini, yaitu; Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Ketiganya sepakat bahwa kedaulatan itu berada pada Tuhan. Namun perdebatan muncul diantara ketiganya mengenai siapakah yang akan mewakili tuhan di dunia ini, raja ataukah paus, karena hakikatnya sudah disetujui bahwa kekuasaan tertinggi negara oleh ketiga ahli tersebut adalah tuhan.10 Augustinus (354-430 SM) berpendapat bahwa, paus adalah yang berhak mewakili Tuhan di dunia ini, baik itu dalam pelaksanaan negara ataupun keagamaan. Thomas Aquinas (1225-1274) berpendapat bahwa, 7 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.VII, (Jakarta: Graha Media Pratama, September 2008), h. 122. 8 Ibid., h. 123. 9 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 187. 10 Soehino, Ilmu..., h. 153. 23 kedudukan raja dan paus adalah sama, yang membedakan keduanya adalah kedudukan kewenangannya dalam memerintah. Marsilius (12701340), berpendapat bahwa wakil pelaksana dari kedaulatan Tuhan adalah raja.11 2. Kedaulatan Raja Yaitu kedaulatan yang berada sepenuhnya di tangan raja sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini yang mendasari kehendak mutlak oleh raja karena anggapan kehendak raja adalah kehendak Tuhan yang bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, bukan kepada masyarakat yang dipimpinnya. 12 Kedaulatan ini berkembang melalui pemikiran Marsilius.13 Menurut Marsilius, negara berkembang tidak semata karena kehendak Tuhan, tapi karena perjanjian dari orang-orang yang hidup bersama. Melalu perjanjian ini, rakyat melegitimasi seseorang sebagai penguasa, dimana raja diberikan kewenangan untuk mengatur kehidupan bersama, menjaga perdamaian, dan rakyat tunduk kepadanya.14 Bentuk penundukan rakyat terhadap penguasa (factum subjectiones) dibedakan kedalam dua macam. Pertama, concessio, yaitu 11 Ibid. 12 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 188. 13 Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 178. 14 Soehino, Ilmu..., h. 64-67. 24 rakyat tunduk kepada penguasa dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pelaksana pemerintahan (eksekutif).15 Kedua, Translatio, yaitu rakyat yang tunduk secara mutlak kepada raja yang mereka pilih. Penguasa atau raja memiliki kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan dalam menentukan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Maka, raja tidak hanya bertindak sebagai eksekutif, tetapi juga pembuat undang-undang (legislatif).16 Pada zaman rainessance, teori ini berkembang melalui pemikiran Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya Il Principe. Menurutnya, raja harus memiliki sifat sebagai serigala dan singa. Sebagai serigala, ia dapat mengetahui dan membongkar rahasia yang dapat menjatuhkan kekuasaannya. Maka, raja dapat bersikap licik demi mempertahankan kekuasaannya. Sebagai singa, raja dapat menaklukan binatang-binatang lainnya.17 Menurutnya, hukum dan kekuasaan adalah sama, karena pemilik kekuasaan adalah pemilik hukum, begitupun sebaliknya, yang tidak memiliki kekuasaan, maka tidak memiliki hukum.18 Maka, raja sebagai wakil Tuhan memegang kedaulatan di dunia. Raja berkuasa secara absolut dalam melakukan apa yang dikehendakinya, karena kehendak 15 Ibid., h. 65. 16 Ibid. 17 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 74-75. 18 Soehino, Ilmu..., h. 73. 25 raja adalah apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam mencapai tujuan negara.19 3. Kedaulatan Negara Kedaulatan negara dapat di artikan sebagai kehendak negara dalam kewenangannya mengatur urusannya sendiri tanpa adanya intervensi atau campur tangan pihak lain, baik dari dalam maupun dari luar negara. 20 Negara melalui pemerintah berdaulat untuk memimpin setelah mendapatkan legitimasi dari rakyat untuk memimpin, kemudian menggunakan kekuasaannya untuk mengatur masyarakat dan hubungan antar negara.21 Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara, menjadikan negara sebagai suatu kebutuhan yang menciptakan peraturan hukum. Adanya hukum itu karena adanya negara, tiada satupun hukum yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Penganut teori ini adalah Jean Bodin dan George Jellinek.22 George Jellinek (1919-2010) menyatakan bahwa, hukum itu adalah merupakan penjelmaan dari kehendak atau kemauan negara. Negara menciptakan hukum, maka negara sebagai satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi atau 19 Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 178. 20 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 188. 21 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 127. 22 Soehino, Ilmu..., h. 154 26 kedaulatan. Di luar negara, tidak ada satupun yang berhak menetapkan aturan hukum.23 Sementara itu, Jean Bodin sependapat dengan Jellinek, bahwa negara merupakan satu-satunya pemilik kedaulatan dan pemegang penuh kekuasaan terhadap pembentukan hukum. Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum yang memiliki sifat tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi.24 Tunggal berarti hanya negaralah yang memiliki kewenangan untuk membuat aturan hukum. Asli berarti kekuasaan tersebut tidak diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Abadi berarti negara mempunyai kedaulatan dalam wujudnya yang abadi. Tidak dapat dibagibagi artinya kedaulatan itu tidak dapat dipindahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian atau seluruhnya.25 4. Kedaulatan Rakyat Kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang menggambarkan suatu sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. 26 Ajaran ini memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau disebut juga dengan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.27 23 Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 182. 24 Soehino, Ilmu..., h. 78-79. 25 Ibid. 26 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 191. 27 Soehino, Ilmu..., h. 124 27 John Locke (1632-1704) menyatakan bahwa negara memiliki kekuasaan terhadap rakyat karena rakyat memberikan kewenangan untuk berkuasa atas mereka, namun kekuasaan yang dimiliki negara memiliki batas-batas tertentu. Batas-batas tersebut adalah hak yang melekat pada diri manusia ketika ia lahir, yaitu hak atas kehidupan, kemerdekaan, dan milik pribadi. Negara tidak dapat mengambil atau mengurangi hak-hak tersebut.28 Menurut Locke, negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antar rakyat. Tujuannya adalah melindungi hak-hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir tersebut (hak atas kehidupan, kemerdekaan, dan milik pribadi), terhadap bahaya dari dalam maupun dari luar. Locke menjelaskan, rakyat sesungguhnya tidak menyerahkan sepenuhnya kedaulatannya kepada negara.29 Sementara itu, J.J. Rousseau (1712-1778) melalui ajaran kontrak sosialnya mengemukakan dua hal pokok mengenai kedaulatan rakyat. Pertama, adanya penyerahan kehendak seluruhnya dari rakyat dalam pembentukan negara (Volente the Tous). Kedua, adanya penyerahan sebagian kehendak oleh masyarakat kepada negara dalam pelaksanaan kekuasaan negara (Volente the Generale).30 Volente the Tous merupakan bentuk penyatuan kehendak dari masyarakat untuk menyatukan diri dalam suatu wadah organisasi yang 28 Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 188. 29 Ibid., h. 189. 30 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 124. 28 disebut dengan negara. Perjanjian ini dibuat dalam rangka pernyataan kehendak tersebut sehingga masyarakat dapat berdiri sendiri yang kemudian menjadi negara dan membedakannya dengan kelompok lainnya.31 Volente the Generale adalah suatu bentuk keputusan bersama tentang apa dan bagaimana negara akan dijalankan serta dilaksanakan oleh masyarakat setelah diadakannya kehendak bersama (Volente the Tous).32 Perjanjian ini tidak lagi di dasari pada suara seluruh masyarakat, tetapi suara dari kehendak umum masyarakat yang telah menentukan pilihannya.33 Inti dari pemikiran Rousseau adalah kedaualatan rakyat merupakan cara untuk memecahkan masalah berdasarkan sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Kekuasaan atas kedaulatan rakyat tersebut tidak hanya ditunjukan kepada hal terkait penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dan peradilan, tetapi juga kekuasaan dalam pembentukan peraturan.34 5. Kedaulatan Hukum Menurut Krabbe, dalam teori kedaulatan hukum atau rechtsouvereiniteit, kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena penguasa maupun rakyat sebagai warga 31 Ibid. 32 Soehino, Ilmu Negara, Soehino, Ilmu..., h. 160 33 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 124. 34 A. Salman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 194. 29 negaranya, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, perbuatan yang hendak dilakukan, harus sesuai atau menurut aturan hukum yang berlaku.35 Kekuasaan itu tidak terletak pada kehendak pribadi dari pada penguasa (raja), melainkan terletak pada hukum yang tidak berpribadi (opersonnlijk). Sumber hukum adalah kesadaran hukum dari manusia yang merupakan alat pengukur untuk menentukan baik atau tidaknya suatu peraturan hukum yang berlaku yang diterima oleh masyarakat dengan kesadaran hukumnya.36 Paham dari Krabbe ini dipengaruhi oleh Von Savigny melalui mazhab historisnya yang berkembang setelah revolusi Prancis. Dimana Savigny menyatakan bahwa hukum timbul bersama-sama dengan kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak tumbuh atas kehendak atau kemauan negara. Maka, berlakunya suatu hukum terlepas dari kemauan negara.37 Terkait implementasi dari bentuk kedaulatan, menurut Max Weber (1864-1920), setiap otoritas menyatakan dirinya sendiri dan berfungsi sebagai administrasi dan dengan beberapa cara memerlukan otoritas, karena aturannya menghendaki beberapa tipe kekuasaan untuk memerintah yang diberikan kepada seseorang. Setiap individu dapat memiliki kekuasaan 35 Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 136. 36 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 127. 37 A. Salaman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 191. 30 dengan segala macam cara. Maka, untuk mengatur kelompok-kelompok manusia diperlukan adanya “instansi khusus”, yaitu otoritas.38 Otoritas tersebut, menurut Weber, mendapatkan kewenangan untuk mengatur baik secara tradisional, kharismatik, maupun rasional legal. Secara tradisional, masyarakat menganggap bahwa kedudukan kekuasaan di landasi oleh tradisi dan kepercayaan masyarakatnya akan tradisi tersebut. Wewenang kharismatik dilandasi pada kharisma (mistik, kesaktian, wahyu) dari seseorang. Sementara itu, rasional-legal berlandaskan pada kedudukan seorang pemimpin berdasarkan aturan hukum yang berlaku.39 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Berdasarkan pasal tersebut, maka secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan menurut asas ini, sistem pemerintahan yang dianut oleh negara Indonesia adalah Demokrasi. Menurut Jimly asshidiqie, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan. Untuk itulah, maka undang-undang dasar hendaklah menganut pengertian bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy). Keduanya merupakan 38 Martin Albrow, Birokrasi, Penerjemah M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, cet.III, (Yogyakarta: Tiara Wacana, Januari 2005), h. 36-37. 39 147. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 143- 31 perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang juga di konstruksikan sebagai paham kedaulatan Tuhan.40 Jimly Asshidiqie menambahkan, sebagaimana dikutip oleh A. Salman Maggalatung, bahwa bukti nyata dari implementasi tersebut dapat dilihat pada Pembukaan UUDNRI 1945 (“Atas berkat rahmat Allah”). Selain itu, pada Pasal 29 UDDNRI 1945, yang menyatakan bahwa, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kedaulatan hukum dapat kita lihat implementasinya pada Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945 yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”41 B. Demokrasi Dan Demokratisasi Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Istilah ini mulai digunakan pada abad ke-5 SM dengan pengertian pemerintahan oleh rakyat, yang kemudian Abraham Lincoln mengartikannya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat42. Maka, demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dilaksanakan secara langsung maupun perwakilan.43 40 Jimly Asshidiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dokumen diakses pada 05 agustus 2013 dari http://jimly.com/pemikiran/getbuku/9. h. 57. 41 A. Salman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 196-197. 42 Ibid., h. 219-220. 43 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, cet.I, (Jakarta: Media Bangsa, Desember 2012), h. 104. 32 Sementara itu, secara terminologi beberapa pakar memberikan penjelasan mengenai pengertian demokrasi. C.F. Strong mengartikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana mayoritas anggota dewasa komunitas politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin cara pemerintahan harus mempertanggung jawabkan segala tindakan kepada kelompok mayoritas tersebut.44 Samuel P. Huntington (1927-2008) mengartikan demokrasi sebagai keputusan-keputusan kolektif yang kuat yang dibuat oleh orang-orang yang dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dimana hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.45 Sementara itu, Merphin Panjaitan berpendapat bahwa demokrasi merupakan pemerintahan rakyat. Rakyat memerintah diri mereka sendiri, dengan memilih sebagian dari mereka menjadi penyelenggara negara yang bertugas melayani rakyat sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini merupakan bentuk pengakuan atas kesetaraan manusia, sehingga tidak seorangpun dapat memerintah tanpa persetujuan rakyat.46 Aristoteles (384-322 SM), salah satu filsuf Yunani menekankan tiga hal pokok mengenai demokrasi, yaitu kebebasan pribadi, pemerintahan 44 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Penerjemah SPA Teamwork, cet.II, (Bandung: Nusa Media, 2008), h.17. 45 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan, cet.II, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, September 2001), h. 5. 46 Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum 2014, cet.I, (Jakarta: Permata Aksara, 2013), h. 1. 33 berdasarkan konstitusi, kelas menengah yang besar 47. Sementara itu, Keith Graham menyatakan tiga inti pokok dari demokrasi, yaitu persamaan (equality), kebebasan (freedom), dan kerakyatan (egalitarian).48 Semua nilai tersebut akan terimplementasikan dalam proses politik dan kehidupan bermasyarakat dalam struktur dan tatanan negara maupun sosial. Inti pemikiran tersebut sesuai dengan apa yang digambarkan dan dimaknai oleh J.J. Rousseau, bahwa nilai-nilai kebebasan, persamaan, kerakyatan, pemerintah berdasarkan konstitusi, pergerakan kelas menengah, merupakan gambaran umum yang terjadi pada abad tujuh belas dan delapan belas di Prancis ketika terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan dan perampasan hak hidup rakyat yang digambarkan sebagai perbudakan politik oleh penguasa pada saat itu.49 The Social Contract sebagai karya utama politik Rousseau (Le Contrat Social) 50 , sebagaimana diikuti oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah penegakan hukum dan menjamin kebebasan warganya. Kebebasan disini adalah kebebasan berdasarkan undang-undang, sementara undang-undang adalah apa yang dikehendaki rakyat sebagai penjelmaan kehendak rakyat, rakyatlah yang berdaulat.51 47 Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Ed. Demokrasi: Klasik dan Modern-Tulisan Tokoh-Tokoh Ulung Sepanjang Masa, Penerjemah Hermoyo, cet.II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Mei 2005), h. 12. 48 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, cet.I, (T.t.t, Prestasi Pustakaraya, Agustus 2010), h. 174. 49 Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Ed. Demokrasi: Klasik dan Modern..., h.98-106. 50 Ibid., h. 99. 51 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 192. 34 Menurut Rousseau, rakyat bukanlah penjumlahan dari individu-individu di dalam negara, tetapi kesatuan dari individu-individu yang memiliki kehendak. Kehendak diperoleh individu melalui perjanjian masyarakat. Kehendak tersebut disebut dengan kehendak umum (volonte generale) yang dianggap mencerminkan kehendak umum.52 Demokrasi merupakan suatu landasan dan mekanisme penerapan kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.53 Joseph A. Schumpeter memandang demokrasi melalui sudut pandang yang berbeda. Schumpeter melihat demokrasi sebagai suatu “metode”. Menurutnya, demokrasi tidak lain adalah sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik. Setiap individu memiliki hak membuat keputusan melalui perjuangan yang kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.54 Pendapat Schumpeter dapat dilihat melalui dua sisi yang berbeda. Pertama, bahwa demokrasi merupakan sebuah fakta atau kenyataan dari sebuah pemerintahan dengan sistem demokrasi yang pernah atau sedang 52 Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 160. 53 Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, artikel diakses pada 05 2013 dari http://jimly.com/makalah/namafile/2/DEMOKRASI_DAN_HAK_ASASI_ MANUSIA.doc. h. 2. Aguatus 54 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi..., h. 5. 35 terjadi di masyarakat. Di Indonesia bisa dilihat melalui pembagian zaman pemerintahan di Indonesia, mulai dari konstitusi RIS dan UUDS’50 dengan demokrasi liberal, Soekarno dengan demokrasi terpimpin, sampai kepada era reformasi yang dikenal dengan demokrasi pancasila.55 Kedua, pandangan Schumpeter dari sisi yang lain mengartikan demokrasi sebagai liberte, egalite, fraternite, kontrol dari masyarakat terhadap berjalannya pemerintahan agar dapat berjalan dengan efektif, bertanggung jawab, dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan dalam kegiatan politik, musyawarah, partisipasi publik, dan berbagai kebijakan warganegara lainnya.56 Demokrasi memiliki beberapa bentuk. Pertama, demokrasi partisipatif atau demokrasi langsung, suatu sistem dimana pengambilan keputusan tentang permasalahan umum melibatkan warga negara secara langung. Kedua, demokrasi liberal (perwakilan), suatu sistem pemerintahan yang menggunakan pejabat yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili rakyat dalam menyampaikan aspirasinya. Ketiga, demokrasi atas model satu partai.57 Terkait dengan demokratisasi, Huntington menyatakan bahwa, demokratisasi dapat dinyatakan sebagai; pertama, berakhirnya sebuah rezim otoriter (non-demokratis); kedua, dibangunnya sebuah rezim demokratis; ketiga, pengkonsolidasian terhadap suatu rezim demokratis yang sudah ada. Ketiga hal tersebut berkembang dan diakibatkan oleh sebab-sebab yang 55 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam..., h. 105. 56 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi..., h. 8. 57 Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 207-208. 36 berbeda. Rustow menambahkan, bahwa demokratisasi dapat diartikan seabagi sebuah kesepakatan dalam menjalankan demokrasi itu sendiri.58 Demokratisasi, berarti menjadikan suatu sistem demokratis. Maka, untuk menjadikan suatu sistem itu demokratis, kita harus melihat nilai apa yang menjadi dasar dari suatu tatanan pemerintahan dapat dikatakan demokratis. Menurut Henry B. Mayo (1911-2009), demokrasi mengandung beberapa nilai sebagai suatu sistem politik.59 1. 2. 3. 4. 5. 6. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peacefull settlement of conflict). Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society). Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orerly succession of rulers). Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coersion). Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku. Menjamin tegaknya keadilan. Sementara itu Bagir Manan, sebagaimana dikutip A. Salman Maggalatung, merumuskan tiga unsur pokok dari negara demokrasi berdasarkan asas kedaulatan rakyat.60 1. 2. 3. Negara hukum demokratis merupakan pemerintahan yang memiliki kekuasaan terbatas atau di batasi berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Pemerintahan berkedaulatan rakyat adalah pemerintahan yang mengakui kemajemukan. Pemerintahan berkedaulatan rakyat menolak adanya setiap upaya untuk memutlakan sesuatu pandangan atau pemikiran mengenai masyarakat dan moral. 58 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi..., h. 45. 59 Ni’matul Huda, Ilmu..., h.218. 60 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 192. 37 Dapat disimpulkan secara sederhana bahwa, kedaulatan rakyat pada dasarnya memberikan pemahaman bahwa kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara berada di tangan rakyat. Kekuasaan tersebut tidak hanya berkaitan dengan hal pemerintahan dan peradilan, tetapi juga termasuk kekuasaan membentuk peraturan. Secara umum, peraturan yang biasa dikenal dalam bentuk undang-undang dibuat oleh lembaga legislatif.61 C. Daerah Otonom dan Otonomi Daerah Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan62. Dalam Black’s Laws Dictionary, otonomi diartikan sebagai the right of self government; a sefl governing state.63 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi diartikan sebagai berdiri sendiri; dengan pemerintahan sendiri; kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri.64 Istilah otonomi dalam literatur Belanda diartikan sebagai “pemerintahan sendiri” (zelfregering). Menurut Van Vollehhoven, otonomi dapat diartikan sebagai zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengendali sendiri), dan zelfpolitie (menindak sendiri). Namun kewenangan yang ada di dalam daerah otonomi tidak boleh melebihi kewenangan pemerintah pusat.65 61 A. Salman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 194. 62 S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, cet.VI, (Jakarta: Pustaka sinar harapan, oktober 2012), h. 33. 63 Brian A. Garner, Ed., Black’s Laws Dictionary, cet.XI, (United States of America: Thomson Bussiness, 2004), h.145. 64 Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia .., h. 992. 65 S.H. Sarundajang, Arus balik kekuasaan...., h. 33-34. 38 Michael Luck dan Mark d’iverno mencanangkan otonomi sebagai suatu pencapaian dari agen yang bermotivasi. Agen yang bermotivasi adalah agen yang memiliki otonomi. Ia adalah agen yang tidak tergantung pada tujuan akhir agen lain, sebaliknya, memberikan tujuannya untuk diacu dalam hubungan antar agen. Setiap agen atau subjek bersifat otonom karena setiap mereka memiliki tujuan masing-masing.66 Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pemerintahan, tetapi sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara. Otonomi dan demokrasi merupakan satu kesatuan sebagai bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai penentu dalam negara.67 Layaknya sebuah pemerintahan negara, pelaksanaan otonomi perlu di tunjang oleh beberapa faktor seperti pelaksanaan kekuasaan pemerintah dalam suatu negara. Telah dijelaskan sebelumnya, otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri, di dalamnya dihuni oleh kelompok sosial yang memiliki tata aturan sendiri. Maka berikutnya, pelaksanaan otonomi tidak lepas dari adanya wilayah yang berperan sebagai tempat dan batas pelaksanaan kekuasaan otonomi tersebut. 66 Diakses pada 23 Juli 2013, dari http://birokrasi.kompasiana.com/2012/10/01/ otonomi- desa-1/. 67 Didik Sukriono, Hukum, Konstitusi, dan Konsep Otonomi: Kajian Politik Hukum Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca perubahan Konstitusi, cet.I, Malang: Setara Perss, Juni 2013. h. 193. 39 Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah daerah otonom dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai daerah yang berdiri sendiri, memiliki batas wilayah, dan peraturan untuk mereka sendiri.68 Menurut M. Panjaitan, daerah otonom adalah suatu bagian dari wilayah negara yang mempunyai pemerintahan daerah, yang merupakan instrumen untuk melayani masyarakat setempat. Masyarakat adalah pihak yang berkepentingan dalam rangka pembentukan daerah otonom tersebut.69 Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 2 ayat (3) menyatakan, otonomi dilakukan dengan seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat. 68 69 Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 284. Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum 2014, cet.I, (Jakarta: Permata Aksara, 2013), h. 145. 40 Philipus M. Hadjon mengartikan otonomi daerah sebagai penyerahan kepada atau membiarkan setiap pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu secara penuh baik mengenai asas-asas maupun cara menjalankannya (wewenang mengatur dan mengurus asas, dan cara menjalankannya). Hakikat otonomi daerah berasal dari unsur kebebasan, bukan kemerdekaan dan merupakan subsistem dari negara kesatuan.70 Penerapan otonomi daerah sebagai mana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 2 ayat (3) dilaksanakan menurut asas penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dikenal adanya tiga prosedur atau asas penting dalam rangka pembagian kekuasaan yang bersifat teritorial yang diistilahkan oleh Hutingtong dengan Areal Division of Power, yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.71 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi dilakukan setelah penerapan asas dekonsentrasi gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis.72 70 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 254-255. 71 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, cet.II, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Mei 2008), h. 423. 72 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara..., h. 249. 41 Desentralisasi lahir setelah lahirnya sistem pemerintahan sentralisasi atau pemusatan kekuasaan di tangan pemerintahan pusat. Joenarto mengemukakan tiga hal pokok dalam desentralisasi. Pertama, pembentukan organisasi pemerintahan daerah otonom. Kedua, pembagian wilayah negara menjadi daerah otonom. Ketiga, penyerahan wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintah kepada daerah otonom.73 Dekonsentrasi pada Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk), dan merupakan penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah.74 Dekonsentrasi memiliki tiga bentuk penerapan dalam otonomi daerah yang dilaksanakan oleh pejabat daerah sebagai wakil pemerintah pusat. Pertama, delegasi, yaitu penyerahan wewenang kepada pejabat kepada pejabat lain yang menjadi tanggungjawab pejabat penerima wewenang tersebut. kedua, mandat, yaitu kewenangan membuat keputusan antas nama pejabat pemberi mandat. Ketiga, atribusi, yaitu lembaga pemerintah pusat yang dibentuk di daerah sebagai pelaksana tugas di daerah.75 73 Ibid., h. 251-252. 74 Ibid., h. 246. 75 Ibid., h. 247-249. 42 Desentralisasi dan dekonsentrasi memiliki kesamaan dan perbedaan. Desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan bagian dari penerapan otonomi daerah yang merupakan bagian tidak terpiahkan dari pemerintah daerah. Perbedaan dari keduanya adalah, dekonsentrasi memilki hierarki dengan pemerintah pusat dan bersifat admnistrasi sebagai pelaksana kebijakan pusat, Desentralisasi berada di luar hierarki dengan pemerintahan pusat sebagai wujud pelaksanaan pemerintahan yang mandiri.76 Sementara itu, asas tugas pembantuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan sebagai penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 76 Ibid., h. 251-252. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DESA KELURAHAN A. Desa Istilah desa berasal dari kata “swadesi” (bahasa sansakerta) yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom. Di introdusir pula oleh Sutardjo Kartohadikoesoemo bahwa, perkataan “desa”, “dusun”, “desi” (ingatlah perkataan swadesi) yang sama dengan negari, nagari, negory, yang artinya tanah air. Dalam bahasa Jepang, desa disebut dengan “mura” dan peraturan yang dibuat oleh pemerintahan desa disebut “hokimura”.1 Desa, baik desa berdasarkan undang-undang tentang desa dan desa adat, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Rumusan tentang desa tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut.3 1. 2. 3. 4. 5. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum; Desa mempunyai batas-batas wilayah; Desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat; Kewenangan desa didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat; Adat istiadat setempat diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. 1 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional Dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, cet. I, (Bandung: Alumni, 2010), h. 2 & 18. 2 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 3 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h. 16. 43 44 Masyarakat desa dicirikan sebagai masyarakat yang bersifat komunal, dan hidup dalam kebersamaan. Masyarakat komunal memilki ciri-ciri kebersamaan: saling mengenal, gotong royong dalam memecahkan masalah bersama/umum, dan menghormati nilai kebersamaan. Masyarakat dengan ciri-ciri demikian disebut dengan kesatuan masyarakat (community), yaitu kesatuan masyarakat yang terikat oleh tata cara tertentu yang mengatur perikehidupannya sendiri.4 Dibawah ini, penulis memberikan beberapa contoh dari penerapan sistem pemerintahan adat yang masih berlaku di dalam sistem pemerintahan desa di Indonesia sesuai dengan nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakatnya: 1. Jawa Desa-desa di Jawa memiliki kepala desa yang dipilih dari warga desa yang dipercaya. Kebijakan desa dibuat oleh warganya sendiri, dan warga desa ikut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Lurah (kepala desa) beserta perangkatnya adalah badan eksekutif. Rapat desa (rembuk desa) merupakan badan legislatif yang membuat kebijakan desa. Dewan morokaki adalah lembaga penasehat dan pertimbangan bagi kepala desa dalam menjalankan kekuasaannya.5 4 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, cet.XIV, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 3. 5 Ibid. 45 2. Minangkabau Persekutuan teritorial di Minangkabau disebut nagari. Setiap nagari dihuni kurang lebih 4 (empat) clan. Setiap clan terdiri dari famili-famili (parui). Setiap famili tinggal bersama di sebuah rumahgadang. Terdapat 2 (dua) tipe nagari. Pertama, adat-Bodi-Caniago. Negari jenis ini tersusun dari famili-famili, parui-parui. Kedua, adatKoto-Piliang. Jenis ini terdapat di tanah datar dan lima puluh kota. Di tempat ini, famili bersatu menjadi uni-uni. Uni-uni dinamakan suku dan keempat suku itu merupakan nagari.6 Setiap keluarga atau famili dikepalai oleh pangulu andiko. satu famili (parui) dapat meliputi beberapa caban famili (jurai), yang dipimpin oleh mamak kepala waris (tunggai) yang kemudian menjadi pangulu andiko. Semua pangulu andiko bersama-sama membentuk kerapatan nagari dan memegang kekuasaan dalam nagari. Mekanisme penyelesaian masalah di dalam nagari adalah dengan rapat bersama antara seluruh pangulu andiko dan seluruh warga persekutuan untuk membuat kesepakatan bersama.7 3. Ambon Masyarakat Ambon menghuni dua pulau dan masing-masing memiliki karakteristik adat yang berbeda di dalam tata pemerintahannya. Secara umum, pada tingkat pertama, terdapat negeri 6 Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, cet. I, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2012), h. 22. 7 Ibid., h. 28. 46 sebagai persekutuan utama dari struktur masyarakat adat Ambon. Tingkat kedua, persekutuan genealogis (keturunan) yang berasal dari keturunan atau keluarga yang berbeda yang disebut soa. Tingkat ketiga, persekutuan genealogis (keturunan) yang berasal dari keturunan yang sama, disebut rumantau.8 Pemerintah negeri terdiri dari, pertama, pejabat-pejabat yang duduk di dalam sariri rajapati. Kedua, wakil-wakil soa yang bukan kepala soa. Ketiga, kepala adat. Golongan keempat yang terdiri dari kepala soa tanah, tamaela ama haha, tukang, cendikiawan, kewang darat dan kewang laut, petugas-petugas di bidang kerohanian. Jumlah dari golongan keempat tersebut antara 12-15 orang dan bertugas sebagai badan legislatif yang dipilih menurut tata cara yang berlaku.9 B. Pemerintahan Desa Muchlis Hamdi, guru besar Institut Ilmu Pemerintahan menyatakan bahwa, pemerintahan adalah gejala kompleks dan berkembang setua dunia ini, Ia menjadi bermakna ketika mampu memberi arti seluas-luasnya bagi kemaslahatan banyak orang. Kondisi ini mensyaratkan agar pemerintahan dapat berkembang sebagai cara pengelolaan kehidupan bersama yang bermanfaat dan dapat diterimaa secara universal melalui distribusi nilai secara wajar dan merata.10 8 Lease dan Ziwar Efendi, Hukum Adat Ambon, cet. I, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), h. 9 Ibid., h. 42. 39-40. 10 Muhadam Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan: Suatu Kajian, Teori, Konsep, dan Penegembangannya Edisi ke-2, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2007), h. XIII. 47 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mebagi desa bagi menjadi dua macam, desa dan desa adat. 11 Desa melaksanakan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan di dalam undang-undang tentang desa. Sementara itu, desa adat melaksanakan kewenangannya dalam berbagai bidang pemerintahan desa berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang hidup dimasyarakat. Penetapan suatu desa adalah desa adat ditentukan oleh peraturan daerah provinsi.12 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pemerintahan desa sebagai pemerintahan terendah langsung di bawah pimpinan kepala desa atau lurah yang menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dan terdiri atas kepala desa dan lembaga musyawarah desa. 13 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengartikan pemerintahan desa sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa meliputi penyelenggaraan urusan bidang eksekutif, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah desa melalui kepala desa dan perangkat desa sebagai kepala pemerintahan dan pelaksana pemerintahan desa. Penyelenggaraan urusan bidang legislatif, yaitu fungsi pembentukan kebijakan melalui pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). 11 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 12 Pasal 109 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 13 Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-empat, cet.I. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1057. 48 Selain itu, penerapan pemerintahan desa dilaksanakan berdasarkan otonomi asli memiliki makna kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyrakat setempat didasarkan pada hal asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.14 1. Pemerintah Desa Pemerintah desa adalah kepala desa dan perangkat desa lainnya.15 Sementara itu, menurut Pasal 48 undang-undang tentang desa, yang dimaksud perangkat desa sebagai bagian dari pemerintah desa adalah sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksanaan teknik. Kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.16 Pemerintah desa adalah organisasi pemerintahan desa yang terdiri 17 dari : a. Unsur pimpinan, yaitu kepala desa; b. Unsur pembantu kepala desa, yang terdiri atas: 1) Sekretariat desa, yaitu unsur staf atau pelayanan yang diketuai oleh sekretaris desa; 2) Unsur pelaksana teknis, yaitu unsur pembantu kepala desa yang melaksanakan urusan yeknis di lapangan seperti urusan pengairan, keagamaan, dan lain-lain; 3) Unsur kewilayahan, yaitu pembantu kepala desa di wilayah kerjanya (seperti kepala dusun). 14 Bambang Trisantono Sumantri, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa., cet.I, (Bandung: Fokusmedia, Januari 2011), h. 3-4. 15 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 16 Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 17 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan..., h. 73. 49 Kepala desa dipilih berdasarkan suara terbanyak melalui pemungutan suara oleh masyarakat desa dengan sebelumnya calon kepala desa memenuhi persyaratan sebagai calon kepala desa sebagai mana di tetapkan di dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Warga negara Republik Indonesia; Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar; Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa; Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; Tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara; Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang; Tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; Berbadan sehat; Tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; Dan syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah. Pasal 39 ayat (1) undang-undang tentang desa menyatakan bahwa kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Semetara itu, Pasal 39 ayat (2) menyatakan bahwa, kepala dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. 50 Desa memiliki kewenangan untuk membuat peraturan untuk mengatur sendri-sendi kehidupan dalam rangka kepentingan bersama. Peraturan desa (Perdes) merupakan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.18 Peraturan desa sebelum di undangkan dalam lembaran desa dan berita desa, wajib dikonsultasikan kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan kepentingan umum.19 2. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Jadi, dalam menyelenggarakan pemerintahan desa terdapat dua lembaga: pemerintah desa, dan BPD20. BPD memilki fungsi21: a. b. c. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. BPD terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris yang dipilih dari anggota BPD sendiri. Jumlah anggotanya ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan 18 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 19 Pasal 69 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 20 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan..., h. 77. 21 Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. 51 paling banyak 9 (sembilan) orang. Anggota BPD tidak merangkap jabatan sebagai bagian dari pemerintah desa.22 Pemerintah desa yang di dalamnya terdapat unsur kepala desa dan unsur pembantu kepala desa bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa yang di dalamnya terdapat unsur masyarakat merupakan pelaksana pemerintahan desa yang bertugas melakukan pengembanga terhadap desa dan masyarakat, memberikan dampak perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui implementasi penerapan kebijakan desa. Kebijakan-kebijakan ini dibuat dalam bentuk23: a. b. c. d. e. f. g. h. Menetapkan peraturan desa (perdes); Menetapkan anggaran pendapatan dan belanda desa (apbdesa); Menuyusun perencanaan pembangunan desa; Ikut serata membangun kawasan pedesaan; Ikut serta dalam kebijakan kerjasama antar desa yang sifatnya membebani masyarakat desa; Mengubah status desa mejadi kelurahan; BPD melakukan pengawasan terhadap berlakunya peraturan desa dan peraturan kepala desa; BPD mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. C. Pemerintahan Kelurahan Desa dan kelurahan adalah dua satuan pemerintahan terendah dengan status berbeda. Desa adalah satuan pemerintahan yang diberi hak otonomi adat sehingga merupakan badan hukum, sedangkan kelurahan adalah satuan pemerintahan administrasi yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kabupaten/kota. Jadi, kelurahan bukan badan hukum melainkan 48. 22 Pasal 56, 57, 58, 59 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. 23 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h. 52 hanya sebagai tempat beroperasinya pelayanan pemerintahan dari pemerintahan kabupaten/kota di wilayah kelurahan.24 Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri 25 . Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, mengartikan kelurahan sebagai wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja Kecamatan. Dapat dikatakan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota diwilayah kerja kecamatan. Kelurahan merupakan wilayah pelayanan administrasi dari kabupaten/kota.26 Kelurahan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota yang berkedudukan di wilayah kecamatan. 27 Kelurahan sebagaimana dimaksud dipimpin oleh lurah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati/walikota melalui camat. 28 Lurah sebagaimana diangkat oleh bupati/walikota atas usul camat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS).29 Syaratsyarat seseorang dapat diangkat menjadi lurah meliputi30: 1. Pangkat/golongan minimal penata (iii/c); 24 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan penyelenggaraan..., h. 1. 25 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., 26 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan penyelenggaraan..., h. 3. 27 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. 28 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. 29 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. 30 Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. h.132. 53 2. 3. Masa kerja minimal 10 tahun; Kemampuan teknis dibidang administrasi pemerintahan dan memahami sosial budaya masyarakat setempat. Seorang lurah diangkat dari golongan PNS dengan minimal golongan iii/c (penata). Seorang PNS dapat kehilangan status PNS dan diberhentikan dengan hormat jika memehuhi beberapa syarat, yaitu31: 1. 2. 3. 4. 5. Meninggal dunia; Atas permintaan sendiri; Mencapai batas usia pensiun; Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Seorang PNS dapat kehilangan status PNS dan diberhentikan dengan tidak hormat jika memehuhi beberapa syarat, yaitu32: 1. 2. 3. 4. Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum; Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana. Lurah bukanlah pejabat negara 33 , karena kelurahan pelaksana tugas administratif dari pemerintah Kabupaten/Kota melalui camat. Pasal 88 ayat 31 Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 32 Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 33 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menyebutkan yang dimaksud pejabat negara adalah: Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan 54 (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara menyatakan bahwa, seorang PNS dapat diberhentikan sementara jika memehuhi beberap syarat berikut: 1. 2. 3. Diangkat menjadi pejabat negara; Diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; Ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Maka, ketika menjabat seorang lurah tidak kehilangan statusnya sebagai PNS dan masa tugasnya selesai sesuai dengan batas usia pensiun seorang PNS, yaitu34: 1. 2. 3. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi; 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi; sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional. Sebagai pelaksana tugas administrasi, kelurahan melakukan kegiatan pencatatan data dan informasi administrai kelurahan meliputi35: 1. Administrasi Umum Administrasi umum diartikan sebagai kegiatan pencatatan data dan informasi mengenai kegiatan Pemerintahan Kelurahan. 36 Sementara itu, yang termasuk dalam administrasi umum yaitu37: a. Buku Data Keputusan Lurah; Pertimbangan Agung; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri; Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; Gubernur dan Wakil Gubernur; Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. 34 Pasal 90 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 35 Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 36 Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 37 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 55 b. c. d. e. f. 2. Buku Data Inventaris Kelurahan; Buku Data Aparat Kelurahan; Buku Data Tanah di Kelurahan; Buku Data Agenda Masuk dan Keluar; Buku Ekspedisi. Administrasi Penduduk Administrasi Penduduk diartikan sebagai kegiatan pencatatan data dan informasi mengenai penduduk pada Buku Administrasi Penduduk Kelurahan.38 Sementara itu, yang termasuk dalam administrasi penduduk yaitu39: 3. a. Buku Data Induk Penduduk Kelurahan; b. c. d. Buku Data Mutasi Penduduk Kelurahan; Buku Data Rekapitulasi Jumlah Penduduk Akhir Bulan; Buku Data Penduduk Sementara. Administrasi Keuangan Administrasi keuangan diartikan sebagai kegiatan pencatatan data dan informasi mengenai pengelolaan keuangan Kelurahan pada Buku Administrasi Keuangan Kelurahan. 40 Sementara itu, yang termasuk dalam administrasi keuangan yaitu41: a. b. c. d. e. Buku Kas Umum; Buku Kas Pembantu Perincian Objek Penerimaan; Buku Kas Pembantu Perincian Objek Pegeluaran; Buku Kas Harian Pembantu; Buku lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 38 Pasal 1 ayat (7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 39 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 40 Pasal 1 ayat (8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 41 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 56 4. Administrasi Pembangunan Administrasi pembangunan diartikan sebagai kegiatan pencatatan data dan informasi mengenai pembangunan yang akan, sedang dan telah dilaksanakan pada Buku Administrasi Kelurahan.42 Sementara itu, yang termasuk dalam administrasi pembangunan yaitu43: a. b. c. d. 5. Buku Rencana Pembangunan; Buku Kegiatan Pembangunan; Buku Inventaris Proyek; Buku Kader-kader Pembangunan. Administrasi Lainnya Administrasi lainnya merupakan kegiatan pencatatatn data dan informasi di luar keempat kegiatan administrasi lainnya yang meliputi44: a. b. c. Buku Data Pengurus dan Anggota Lembaga Kemasyarakatan; Buku Register; Buku Monografi Kelurahan. 42 Pasal 1 ayat (9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 43 Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. 44 Pasal 3 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan. BAB IV DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN Keberagaman karakteristik dan jenis desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.1 Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Masyarakat adat memiliki sifat demokratis dimana kepentingan bersama lebih di utamakan dibandingkan kepentingan perorangan. Demokrasi dan keadilan dalam masayakat hukum adat berjalan bersama dengan nilai komunal dan gotong royong dalam masyarakat adat. Prilaku demokrasi dijiwai oleh asas hukum adat 1 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, 57 58 yang bernilai universal. Nilai ini berupa kekuasaan umum, asas musyawarah, dan perwakilan dalam sistem pemerintahan.2 Menurut Koesoemahatmadja, desa sebagai bentuk asli dari masyarakat tempat tinggal bersama yang merupakan face to face group, memiliki faktor pemersatu diantaranya sekeluarga/seketurunan dan sebagainya. Pada umumnya, penduduk desa masih memegang teguh adat istiadat yang merupakan pagar masyarakat, sumber kekuatan yang mengatur hidup mereka di segala lapangan dan jurusan.3 Namun munculnya ketergantungan masyarakat kepada pemerintah sekaligus retaknya ikatan sosial dalam masyarakat desa dan terbentuknya perilaku birokrasi pemerintah sampai ke pemerintahan desa yang lebih mengedepankan kekuasaan menimbulkan situasi konflik kepentingan antara masyarakat di satu pihak dengan pemerintah di pihak lain. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi apatis serta kurang berkeinginan ikut serta di dalam kegiatan desa mereka sendiri, dan pada akhirnya banyak menimbulkan gejolak sosial di dalam masyarakat.4 Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dapat dikatakan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota 2 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, & hukum nasional, cet.II, (Jakarta: Kencana, Januari 2011), h. 242. 3 Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional Dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, cet. I, (Bandung: Alumni, 2010), h. 15. 4 S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, cet. IV, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Oktober 2002), h. 173. 59 diwilayah kerja kecamatan.5 Masyarakat kelurahan (perkotaan) hanya merasa satu ikatan dengan anggota perkumpulannya (profesi, olah raga, hobi, dan lainnya). Masyarakat seperti ini disebut juga dengan masyarakat patembayan (gesellchaft).6 A. Analisis Konsep Desa Dan Kelurahan Sebagai Daerah Otonom Penerapan demokrasi di Indonesia membawa konsekuensi logis bahwa demokratisasi harus dijalankan. Salah satu agenda yang harus dilakukan adalah mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat melalui daerah otonom dengan memperhatikan faktor jumlah penduduk, luas wilayah, dan keterpencilan wilayah. Semakin banyak penduduk, semakin luas, dan terpencil suatu wilayah semakin banyak pula daerah otonom yang dibutuhkan.7 Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan bahwa daerah otonom diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom adalah jalan bagi penyebarluasan kekuasaan negara ke seluruh wilayah negara. Hal ini akan berdampak mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara dan akan 5 Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h.132. Hal ini juga tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. 6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 116-120, & 138-140. 7 Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum 2014, cet.I, (Jakarta: Permata Aksara, 2013), h. 144. 60 memperkuat kendali rakyat terhadap penyelenggaraan negara. Daerah otonom adalah bagian dari wilayah negara yang memiliki pemerintahan daerah dan merupakan instrumen untuk melayani rakyat di daerah.8 Otonomi daerah dalam bentuk daerah otonom memilki daerah yang memiliki kemandirian dalam mengurus pemerintahannya sendiri dan menjadikan pusat-pusat kekuasaan negara tersebar luas di seluruh wilayah negara. Kondisi seperti ini akan kondusif bagi pengendalian proses penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh rakyat, dan bagi pemerintah daerah akan mempermudah penentuan berbagai pelayanan publik yang tepat dan cepat.9 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa adalah desa dan desa adat dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian desa pada dasarnya secara teknis dan peraturan perundangundangan, menjadikan desa sebagai sebuah pemerintahan terendah yang dapat menjalankan kekuasaan pemerintahannya sendiri berdasarkan hak asal- 8 Ibid.,h. 145. 9 Ibid., h. 146. 61 usul yang dimilikinya dalam mencapai kesejahteraan masyarakatnya sebagai daerah otonom. Pada umumnya desa mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hierarkis struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Nagari di Sumatera Barat merupakan sebuah republik kecil yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom yang berbasis masyarakat (self governing community). Salah satu ciri self governing community dalam desa adalah adanya hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumber daya, hubungan sosial, dan lainnya.10 Kedudukan desa sebagai daerah otonom akan membawa beberapa dampak terhadap pengembangan masyarakat dan desa itu sendiri, diantaranya11: 1. 2. 3. 4. Pembangunan berorientasi pada community development, dimana pendidikan masyarakat menempati posisi utama dengan tujuan untuk membuka wawasan dan kesadaran warga komunitas mengenai cita-cita dan segala permasalahannya, serta memberikan wawasan berbasis komunitas yang dapat mengembangkan potensi komuitas terhadap pembangunan. Membangun dan mengembangkan forum komunikasi warga dan menumbuhkan tradisi berkumpul serta bertukar pikiran antar warga komunitas (community spirit). Pembangunan melalui pengembangan kegiatan atau usaha berbasis komunitas untuk meningkatkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Pembangunan yang bertujuan menciptakan atau mengembangkan fasilitas untuk menampung kegiatan-kegiatan warga dalam berorganisasi maupun pengembangan sosial-budaya masyarakat dalam rangka menuju community based development. 10 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, cet.XIV, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 11. 11 S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat..., h. 179-180. 62 5. Memperkuat organisasi-organisasi yang telah ada secara alamiah di dalam masyarakat seperti organisasi pemuda, dasa wisma, dan lain sebagainya untuk menumbuhkan minat beroroganisasi masyarakat. Pada akhirnya dapat mengembangkan komunitas melalui keterampilan dan kemampuan masyarakatnya sendiri. Sementara itu, Kelurahan adalah suatu wilayah mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat. Pengangkatan seorang lurah dilakukan sepenuhnya oleh camat atas kewenangan yang dimilkinya, dan lurah bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui camat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan Kelurahan tidak memiliki kewenangan menyelenggarakan rumah tangganya secara otonom. 12 Maka, konsep penyelenggaraan pemerintahan tidak berlandaskan pada konsep pengembangan masyarakat seperti halnya di desa, tetapi lebih mengedepankan aspek pelaksana teknis dari tugas yang diberikan oleh bupati/walikota melalui camat. Hal ini membuat fleksibilitas kinerja dari kelurahan harus bergantung pada instansi vertikal di atasnya. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan menegaskan bahwa, Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, lurah melakukan koordinasi dengan Camat dan instansi vertikal yang berada di wilayah kerjanya. Maka, semua kewenangan dan tugas yang akan dilakukan harus berdasarkan kordinasikan dengan organisasi vertikal diatasnnya, yaitu tugas dari bupati/walikota melalui camat. 12 h.132. Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., 63 B. Analisis Konsep Desa Dan Kelurahan Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat Salah satu prinsip dasar kehidupan bernegara Indonesia adalah kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi. Hal itu ditegaskan dalam alinea empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945,”...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat…” Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengatur mengenai kedaulatan rakyat, dalam Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (2) disebutkan, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Ketentuanketentuan di atas, semakin mempertegas bahwa kedaulatan negara Indonesia adalah berlandaskan pada asas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang menggambarkan suatu sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. 13 Ajaran ini memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau disebut juga dengan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.14 Pada prinsipnya, kedaualatan rakyat merupakan cara termudah 13 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, cet.I, (Bandung: Fajar Media, Agustus 2013), h. 191-192. 14 Soehino, Ilmu Negara, cet.VI, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 124 64 untuk memecahkan masalah berdasarkan sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum.15 Kedaulatan rakyat dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan demokrasi, 16 sebagaimana dikatakan oleh Merphin Panjaitan, bahwa, demokrasi merupakan pemerintahan rakyat. Rakyat memerintah diri mereka sendiri, dengan memilih sebagian dari mereka menjadi penyelenggara negara yang bertugas melayani rakyat sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini merupakan bentuk pengakuan atas kesetaraan manusia, sehingga tidak seorangpun dapat memerintah tanpa persetujuan rakyat.17 Pemerintahan desa merupakan pemerintahan dengan konsep yang beragam. Desa merupakan sebuah penggambaran dari heterogenitas dari sebuah bangsa dan konsep penerapan yang tepat adalah pruralisme hukum dalam arti yang kuat (strong legal pruralism). Menurut Josef Riwu Kaho, daerah-daerah di Indonesia memilki kekhasan tersendiri yang berbeda satu sama lainnya, baik dari segi geografis, adat istiadat, budaya, agama, bahasa,ekonomi, dan sebagainya.18 Asas kedaulatan rakyat diimplementasikan dalam sistem pemerintahan desa, baik desa pada umumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang desa, maupun desa adat yang mengatur kehidupan mereka 15 A. Salaman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 194. 16 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, cet.I, (Jakarta: Media Bangsa, Desember 2012), h. 104. 20-22. 17 Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi..., h. 1. 18 Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h. 65 berdasarkan adat istiadat setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 107 undang-undang tentang desa, yang menjadikan desa sebagai tatanan pemerintahan terendah yang demokratis. 1. Desa Penerapan kedaulatan rakyat diwujudkan dalam beberapa hal. Pertama, Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa, pemilihan kepala desa secara langsung oleh warga desa yang dimulai dari tahap pencalonan melalui penjaringan dan penyaringan calon kepala desa oleh panitia pemilihan, berlanjut pada proses pemungutan suara, dan penetapan kepala desa. Kedua, pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. BPD terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris yang dipilih dari anggota BPD sendiri. Jumlah anggotanya ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang. Anggota BPD tidak merangkap jabatan sebagai bagian dari pemerintah desa.19 Ketiga, adanya forum musyawarah desa sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 ayat (1) yang menerangkan Musyawarah Desa sebagai sebuah forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa 19 Pasal 56, 57, 58, 59 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. 66 untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. 2. Desa Adat Masyarakat adat memilki sifat demokratis dimana kepentingan bersama lebih di utamakan dibandingkan kepentingan perorangan. Demokrasi dan keadilan dalam masayakat hukum adat berjalan bersama dengan nilai komunal dan gotong royong dalam masyarakat adat. Prilaku demokrais dipengaruhi oleh nilai kekuasaan umum, asas musyawarah, dan perwakilan dalam sistem pemerintahan.20 Pada pemerintahan desa adat yang menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan nilai-nilai setempat, nilai kedaulatan rakyat diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Desa adat di Jawa misalnya, penerapan asas kedaulatan rakyat memiliki kesamaan dengan penerapan pemerintahan desa pada umumnya sebagai mana tercantum dalam undang-undang tentang desa. Desa-desa di Jawa memiliki kepala desa yang dipilih dari warga desa yang dipercaya. Kebijakan desa dibuat oleh warganya sendiri, dan masyarakat ikut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Lurah (kepala desa) beserta perangkatnya adalah badan eksekutif. Rapat desa (rembuk desa) merupakan badan legislatif yang membuat kebiajakan desa. Desa-desa di daerah Bali, memiliki susunan formal dengan beberapa alat kelengkapan desa, diantaranya adanya rapat desa yang 20 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, & hukum nasional, cet.II, (Jakarta: Kencana, Januari 2011), h. 242. 67 terdiri dari semua perhimpunan desa, para pengurus desa, banjar (rukun kampung yang dilengkapi pengurus banjar dan rapat banjar), dan subak (daerah sepengairan atau gabungan para pemilik sawah untuk menyelenggarakan pengairan).21 Lain halnya dengan pemerintah negeri di Ambon terdiri dari pejabat-pejabat yang duduk di dalam sariri rajapati, wakil-wakil soa yang bukan kepala soa, kepala adat, dan golongan yang terdiri dari kepala soa tanah, tamaela ama haha, tukang, cendikiawan, kewang darat dan kewang laut, petugas-petugas di bidang kerohanian yang berjumlah 12-15 orang dan bertugas sebagai badan legislatif yang dipilih menurut tata cara yang berlaku.22 Berdasarkan penjelasan dari dua sistem pemerintahan desa tersebut di atas, baik desa yang pengaturannya berdasarkan undang-undang tentang desa maupun desa adat yang pengaturannya berdasarkan nilai adat-istiadat yang hidup dimasyarakatnya, menggambarkan suatu mekanisme pemerintahan yang demokratis dan mampu mengembangkan masyarakatnya menjadi masyarakat yang proaktif dalam berbagai kegiatan dan pengambilan kebijakan pada tatanan pembangunan dan pemerintahan di pedesaan. Khusus pada desa adat, tiga contoh tersebut di atas menggambarkan keanekaragaman adat yang berkembang di masyarakat dan penerapan sistem pemerintahannya. Pengisian jabatan dan susunan pemerintahan dilaksanakan 21 Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, cet. I, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2012), h. 22. 22 h. 39-40. Lease dan Ziwar Efendi, Hukum Adat Ambon, cet. I, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), 68 berdasarkan sistem kekeluargaan yang didahului dengan rapat permusyawaratan untuk mendapatkan dasar sekato (suara bulat) oleh seluruh warga (di Jawa dan Bali) atau antara seluruh kepala rakyat dari persekutuan.23 Selain terlihat dalam penyelenggaraan pemerintahan, desa dalam konsep adat juga menerapkan konsep musyawarah dalam setiap penyelesaian sengekta yang terjadi di antara warga masyarakat hukum adat sebagai salah satu filosofis dan ciri masyarakat hukum adat yang diiringi dengan penerapan sanksi dan hukum adat dalam penyelesaian sengeketa yang terjadi.24 Sebagai contoh lain dapat kita lihat dalam peneyelesaian sengekta pada masyarakat hukum adat di Aceh dalam wilayah teritori sebuah gampong yang kental dengan nuansa Islam. Penyelesaian sengeketa dilakukan dengan bentuk-bentuk seperti Di’iet25, Sayam26, Suloh27, dan Peumat Jaroe28. Selain itu, peran ulama sangat terasa dalam setiap penyelesaian sengeketa dan konflik adat yang terjadi.29 23 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, cet.X, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 127. 24 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat..., h. 248. 25 Di’iet berasal dari istilah arab diyat, yang bermakna pengganti jiwa atau pengganti anggota tubuh yang hilang atau rusak. Pengganti ini berupa harta, baik bergerak maupun tidak bergerak. 26 Sayam adalah bentuk konpensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana ringan terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau tidak berfungsinya anggota tubuh dan akibat darah yang keluar dari tubuh seseorang akibat penganiayaan. 27 Suloh merupakan upaya perdamaian antarpara pihak yang bersengketa di luar kasus pidana. Suloh ditunjukan pada kasus-kasus perdata dan kasus yang tidak melukai anggota tubuh manusia. 28 Peumat jaroe merupakan prosesi saling berjabat tangan antara para pihak yang bersengketa, baik dalam kasus pidana maupun perdata sebagai simbol perbaikan hubungan antara kedua belah pihak. 29 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat..., h. 253-271. 69 Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa tersebut di atas sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. dalam Al-Quran yang terkait penerapan musyawarah sebagai wujud implementasi sistem pemerintahan demokrasi yang melibatkan masyarakat, bahkan berbagai golongan masyarakat dalam menyelesaikan masalah dan mencapai kesepakatan bersama perlu melakukan musyawarah. Di dalam Al-Quran surat Ali-„Imran ayat 159 dan surat AlSyuuraa ayat 38, Allah SWT. menerangkan: Artinya: “Oleh karena rahmat Allah jualah maka kau berlaku lunak-lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bertabi’at kasar dan berhati kejam, tentu mereka lari cerai-berai meninggalkanmu. Karena itu ma’afkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuknya, serta bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Selanjutnya bila telah mengambil keputusan setelah bermusyawarat, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertawakal .”30 Artinya: “Mereka yang mematuhi panggilan Tuhannya, mereka yang mengerjakan shalat, mereka memusyawarahkan urusan mereka antara sesama, mereka yang meyumbangkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepadanya.” 31 30 Bachtiar Surin, Adz Dzikra-Terjemah & Tafsir Alquran dalam Huruf Arab & Latin, cet.X, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 286. 31 Ibid., h. 2087. 70 Desa merupakan tatanan pemerintahan yang otonom berdasarkan norma dan aturan hukum masyarakatnya. Sementara itu, kelurahan merupakan satuan pemerintahan administrasi yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kabupaten/kota. Jadi, kelurahan bukan badan hukum melainkan hanya sebagai tempat beroperasinya pelayanan pemerintahan dari pemerintahan kabupaten/kota di wilayah kelurahan.32 Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dapat dikatakan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota diwilayah kerja kecamatan.33 Kelurahan merupakan wilayah pelayanan administrasi dari kabupaten/kota. 34 Dengan sifat kewenangan administratif yang dimilki tanpa adanya kewenangan otonomi, maka dapat dikatakan bahwa, kelurahan tidak mencerminkan penerapan nilai-nilai kedaulatan rakyat pada penerapan sistem pemerintahannya. Selain itu, hak otonomi dalam bentuk daerah otonom adalah jalan bagi penyebarluasan kekuasaan negara ke seluruh wilayah negara. Hal ini akan berdampak mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara dan akan memperkuat kendali rakyat terhadap 32 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan..., h. 1. 33 Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h. 132. Hal ini juga tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. 34 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan penyelenggaraan..., h. 3. 71 penyelenggaraan negara. Daerah otonom adalah bagian dari wilayah negara yang memilki pemerintahan daerah dan merupakan instrumen untuk melayani rakyat di daerah35. Otonomi daerah dalam bentuk daerah otonom memilki daerah yang memiliki kemandirian dalam mengurus pemerintahannya sendiri dan menjadikan pusat-pusat kekuasaan negara tersebar luas di seluruh wilayah negara. Kondisi seperti ini akan kondusif bagi pengendalian proses penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh rakyat, dan bagi pemerintah daerah akan mempermudah penentuan berbagai pelayanan publik yang tepat dan cepat36. Situasi dan kondisi seperti ini adalah sangat memungkinkan untuk pemerataan pelayanan publik oleh pemerintah pusat maupaun daerah, pemerataan pengembangan masyarakat dalam semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya, maupun keamanan serta peningkatan partisipasi politik masyarakat untuk kemajuan bersama. Pelestarian lingkungan hidup juga lebih mudah untuk dilaksanakan, karena pemerintahan daerah dan masyarakat dapat melakukannya bersama-sama demi kepentingan semua pihak37. 35 Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi...,h. 145. 36 Ibid., h. 146. 37 Ibid., h. 148. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan terdahulu mengenai permasalahan yang dikaji, maka, sebagai implikasi dari pokok-pokok bahasan, penulis mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Desa merupakan satuan pemerintahan terendah yang memilki hak otonomi, hak untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintah terendah dibawah kecamatan, yang tidak memiliki kewenangan mutlak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. 2. Bahwa desa, baik desa yang secara umum diatur sepenuhnya di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maupun desa adat yang pengaturan terkait mekanisme pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakatnya diatur oleh nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakatnya dalam bentuk adat-istiadat, yang merupakan suatu bentuk tatanan pemerintahan yang demokratis. Sementara itu, kelurahan dengan sifat pemerintahan yang administratif merupakan suatu cerminanan bentuk pemerintahan yang 73 74 tidak demokratis berdasarkan asas kedaulatan rakyat sebagaimana di tegaskan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1942, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan yang nyata dalam hal, diantaranya: a. Mekanisme pemilihan kepala pemerintahan antara desa dan kelurahan. Desa melakukan pemilihan kepala pemerintahan dengan mekanisme pemilihan kepala desa langsung oleh warga masyarakat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ataupun dengan cara musyawarah mufakat antar warga masyarakat dalam mekanisme pemerintahan adat sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 undang-undang tentang desa. Sementara itu, lurah dipilih oleh bupati/walikota atas usulan camat, sebagamana diatur di dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan; b. Hak otonomi yang diwujudkan dengan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan hak asal usul sebagaimana di tegaskan dalam Pasal 19 undang-undang tentang desa, pembentukan peraturan perundangundangan desa sebagai bentuk kemandirian dalam mengurus dan menentukan arah kebijakan demi mencapai kepentingan bersama sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69 dan 70 undang-undang tentang desa, dan keikut sertaan masyakarakat dalam proses pembentukan kebijakan-kebijakan desa sebagaimana ditegaskan 75 dalam Pasal 67, 68, dan 69 ayat (9) dan (10) undang-undang tentang desa yang tidak dimiliki oleh pemerintahan kelurahan; c. Penyelesaian masalah yang terjadi di dalam masyarakat, terutama masyarakat desa adat, yang kental dengan mekanisme musyawarah mufakat dan penyelesaian secara adat demi mencapai keadilan bersama, berbeda dengan masyarakat kelurahan yang tidak memilki sistem nilai sehingga penyelesaian sengketa berlangsung pada tatanan hukum nasional di tingkat peradilan; B. Saran Setelah dikemukakan kesimpulan dari seluruh uraian dari bab-bab terdahulu, maka pada akhirnya penulis mengemukakan saran sebagai berikut: 1. Adalah sebaiknya bentuk pemerintahan administratif kelurahan digantikan dengan model sistem pemerintahan desa yang lebih sesuai dengan penerapan asas kedaulatan rakyat yang diterapkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam suatu konsep daerah otonom, bukan daerah administratif. 2. Adalah sebaiknya jika pengaturan tentang desa adat dan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dilakukan secara terpisah untuk memberi kepastian pengaturan dan mekanisme pelaksanaan yang lebih spesifik demi menjamin kepastian hukum dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan mekanisme perlindungan masyarakat adat serta nilai-nilai yang ada di dalamnya secara menyeluruh. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Albrow, Martin, Birokrasi, Penerjemah M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, cet.III. Yogyakarta: Tiara Wacana, Januari 2005. Abbas, Syahrizal, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, & hukum nasional, cet.II. Jakarta: Kencana, Januari 2011. Astuti, Ngudi, Pancasila dan Piagam Madinah, cet.I. Jakarta: Media Bangsa, Desember 2012. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi, cet.IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. Gaffar, M. Jenedjri, Demokrasi Konstitusional (Praktek Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945). Jakarta: Konstitusi Press, Oktober 2012. Garner, Brian A. Ed., Black’s Laws Dictionary, cet.XI. United States of America: Thomson Bussiness, 2004. Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan, cet.II. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, September 2001. Huda, Ni’matul, Ilmu Negara, cet.IV. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2012. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesa, cet.II. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Mei 2008. Kusnardi, Moh., Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet.VIII. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti, 1988. Kusnardi, Moh., Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.VII. Jakarta: Graha Media Pratama, September 2008. Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, cet.IV. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999. Lease, Ziwar Efendi, Hukum Adat Ambon, cet. I, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987. 76 77 Magnis, Franz, Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999. Maggalatung, A. Salman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik hukum Indonesia (Perspektif Hukum Islam), Jakarta: Focus Grahamedia, 2012. Maggalatung, A. Salman, Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, cet.I. Bandung: Fajar Media, Agustus 2013. Nasution, Adnan Buyung, Demokrasi Konstitusional, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, Juli 2010. Nurcholis, Hanif, Pertumbuhan dan penyelenggaraan pemerintahan desa, cet.XIV, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011. Ngani, Nico, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, cet. I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2012. Panjaitan, Merphin, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum 2014, cet.I. Jakarta: Permata Aksara, 2013. Pratiknya, Ahmad Watik, Pandangan dan Langkah Reformasi B.J Habibie, cet.I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Prasetyo, Teguh, Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012. Ravitch, Diane, Abigail Thernstrom, Ed. Demokrasi: Klasik dan ModernTulisan Tokoh-Tokoh Ulung Sepanjang Masa, Penerjemah Hermoyo, cet.II. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Mei 2005. Surin, Bachtiar, Adz Dzikra-Terjemah & Tafsir Alquran dalam Huruf Arab & Latin, cet.X. Bandung: Angkasa, 1991. Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Penerjemah SPA Teamwork, cet.II. Bandung: Nusa Media, 2008. Soehino, Ilmu Negara, cet.VII. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. __________, Hukum Adat Indonesia, cet.X. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. 78 Sukriono, Didik, Hukum, Konstitusi, dan Konsep Otonomi: Kajian Politik Hukum Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca perubahan Konstitusi, cet.I, Malang: Setara Perss, Juni 2013. Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemeirntahan-Edisi Revisi, cet.II. Bandung:Refika Aditama, 2001. Syaukani, H.R., Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, cet.III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Sumantri, Bambang Trisantono, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Bandung: Fokusmedia, Januari 2011. Syafrudin , Ateng, Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional Dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa.Bandung: Alumni, 2010. Sarundajang, S.H., Arus balik kekuasaan pusat ke daerah, cet.VI. Jakarta: Pustaka sinar harapan, oktober 2012. Tutik, Titik Triwulan, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, T.t.t, Prestasi Pustakaraya, 2010. __________, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, cet.II. Jakarta: Kencana, 2011. Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-empat, cet.I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. Widjaya, H.A.W., Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, cet.II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Widjaya, H.A.W., Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli, Bulat, dan Utuh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Yunus, Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, T.t.t, Jurisprudance Press, 2012. Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-empat, cet.I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara 79 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman Administrasi Kelurahan C. Artikel, Jurnal, dan Dokumen Online Diakses pada 23 Juli 2013, dari /2012/10/01/ otonomi-desa-1/. http://birokrasi.kompasiana.com Jimly Asshiiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, artikel diakses pada 05 Aguatus 2013 dari http://jimly.com/makalah/namafile/ 2/DEMOKRASI_DAN_ HAK_ASASI_ MANUSIA.doc. __________, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dokumen diakses pada 05 agustus 2013 dari http://jimly.com/pemikiran/getbuku/9.