BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Darah 2.1.1. Hematologi Darah Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri (Frandson, 1996). Fungsi darah adalah sebagai berikut: (1) membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh (2) Mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh (3) Mengangkut produk buang dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk di ekskresikan (4) Mengangkut hasil sekresi kelenjar endokrin (hormon) dan enzim dari organ ke organ (5) ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, sistem buffer seperti bicarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh (6) berperan penting dalam pengendalian suhu tubuh dengan cara mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh (7) Mengatur konsentrasi ion hydrogen dalam tubuh (keseimbangan asam dan basa) (8) Membantu pertahanan tubuh terhadap penyakit (9) pembekuan darah pada luka mencegah terjadinya kehilangan darah yang 7 8 berlebihan pada waktu luka serta mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit (Frandson, 1996) Menurut Pearce (2006), darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan. Sekitar 55% adalah plasma darah, sedangkan 45% sisanya terdiri dari sel darah. Sel darah terdiri atas tiga jenis yaitu eritrosit yang tampak merah karena kandungan hemoglobinnya, sel darah putih atau leukosit dan trombosit (keping - keping darah) yang merupakan keping-kepingan halus sitoplasma. 2.1.2. Eritrosit Sel darah merah (eritrosit) bentuknya seperti cakram/ bikonkaf dan tidak mempunyai inti. Sel darah merah atau eritrosit mempunyai garis tengah 5,0-7,34 mikron yang berfungsi secara khusus dalam transportasi oksigen. Warnanya kuning kemerahan karena didalamnya mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin, warna ini akan bertambah merah jika di dalamnya banyak mengandung oksigen ( Jain, 1986). Sebagian besar eritrosit bersirkulasi dalam waktu yang terbatas dengan kisaran bervariasi dari 2-5 bulan pada hewan domestikasi dan tergantung spesies. Masa hidup eritosit unggas lebih pendek dari mamalia yaitu berumur 28–45 hari dan pada hewan umumnya kira-kira 25 hingga 140 hari (Guyton, 1986). Eritrosit dari hewan dewasa dibentuk didalam sumsum tulang belakang sedangkan pada waktu masih janin dihasilkan oleh hati, limpa, dan nodus limpatikus (Frandson, 9 1992). Menurut Guyton (1997), Sel darah merah yang sudah mati dihancurkan di dalam hati. Proses pembentukan eritrosit terjadi dalam sumsum tulang. Proses pembentukannya melalui beberapa tahap, mula-mula besar dan berisi nukleus dan tidak berisi hemoglobin kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan siap diedarkan dalam sirkulasi darah yang kemudian akan beredar di dalam tubuh selama lebih kurang 25- 140 hari, setelah itu akan mati (Guyton, 1986). Komponen utama sel darah merah adalah molekul haemoprotein, hemoglobin yang terdiri dari 60-70%, H2O, 28-35% hemoglobin mengisi kirakira sepertiga dari masa eritrosit. Dengan menggunakan metode elektrophoretik, hemoglobin dapat ditemukan. Molekul hemoglobin terdiri atas dua cincin, haem dan globin yang disintesis sendiri-sendiri. Rantai haem mengandung besi dan merupakan tempat pengikatan oksigen. Molekul ini memiliki kemampuan mengambil dan menggantikan oksigen dengan tekanan relatif tipis. Pada mamalia eritrosit tidak berinti, sedangkan pada unggas dan unta, eritrosit berinti. Eritrosit didalam pembuluh darah tersusun bertumpuk seperti koin dan disebut dengan istilah reuloux (Guyton, 1997). Fungsi sel darah merah adalah mengikat oksigen (oksihemoglobin) dari paru–paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru–paru. 10 2.1.3. Hemoglobin Dalam darah terkandung hemoglobin yang merupakan penyebab warna merah pada darah yang terdapat di dalam eritrosit dan kadar hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh jenis kelamin, spesies, umur, tekanan O2, peyakit dan kebiasaan hidup (Coles, 1980). Kadar hemoglobin normal pada anjing adalah 1218 % (Jain,1980). Hemoglobin di dalam darah berfungsi sebagai senyawa pengangkut oksigen pada sel darah merah dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Umumnya pada sebagian besar darah hewan normal nilai hemoglobin antar 13- 15 gram/ 100 ml. Kadar hemoglobin dapat diukur dengan cara yang umum dilakukan di lapangan yaitu metode Sahli dengan HCL 0,1 N yang akan membentuk asam hematin (Cholacha, 2010). 2.1.4. Hematokrit Nilai Hematokrit adalah volume semua eritrosit dalam 100 ml darah yang dipisahkan dari plasma dengan memutarnya di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam % dari volume darah. Penentuannya dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang diberi zat antikoagulan agar tidak menggumpal, kemudian dilakukan sentrifuse sampai sel-sel mengumpul di dasar (Frandson, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit pada anjing antara lain umur, ras dan jenis kelamin. Nilai hematokrit merupakan petunjuk yang sangat baik untuk menentukan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin dalam sirkulasi darah (Frandson, 1996). 11 Eritrosit yang mempunyai berat jenis tinggi dapat dipisahkan dari unsur lainnya dengan cara pemusingan yang cepat. Urutan lapisan yang terjadi pada mikrohematokrit adalah (dari atas ke bawah): (1) Plasma: berwarna kekuningan; (2) Buffi coat: berwarna abu-abu sampai abu-abu kemerahan yang susunannya terdiri atas trombosit, leukosit dan eritrosit; (3) Eritrosit: merupakan lapisan yang berwarna merah gelap (Dharmawan, 2002). Volume darah anjing berkisar antara 70 m/kg berat badan dengan kisaran normal nilai hematokrit/ PCV 37- 55 % (Smith, 1988). 2.2. Anestesi Anestesi merupakan suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu ransangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi sangat dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. Anestesi yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan diagnostik, terapeutik atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar (Miller et al., 2010; Tranquilli, 2007). Anestesi pada hewan juga digunakan untuk menghilangkan rasa sakit, menginduksi, relaksasi otot, mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak (McKelvey dan Hollingshead, 2003; Tranquilli et al., 2007). Klasifikasi anestesi berdasarkan daerah atau luasan tubuh yang dipengaruhinya yaitu: (1) Anastesi lokal merupakan bahan kimia yang mampu menghambat konduksi syaraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan yang 12 permanen pada syaraf tersebut. Anestesi lokal terbatas pada tempat penggunaan dengan pemberian secara topikal (Adams, 2001). Anestesi ini dapat menimbulkan mati rasa setempat atau terbatas dengan cara memblokir konduksi impuls, mengurangi permiabilitas membran saraf dalam fase polarisasi terhadap kalium dan natrium (Hall, 1984). Mekanisme kerja anestesi lokal dengan cara menghambat (blok) saluran ion sodium (Na) pada syaraf perifer, kondusi atau aksi potensial pada syaraf sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestesi lokal dapat mencegah proses depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion Na, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter acetikolin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi perubahan potensial, keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati syaraf berhenti, sehingga semua ransangan tidak sampai ke SPP. Sifat hambatan syaraf umumnya bersifat lokal, selektif dan tergantung pada dosis atau jumlah obat yang diberikan (Tranquilli et al., 2007; Miller, 2010). Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetikum lokal adalah daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Adams, 2001; Tranquilli et al., 2007). (2) anestesi regional mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan pemberian secara perineural, epidural dan intratekal atau subaraknoid. (3) Anestesi umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara injeksi, inhalasi atau gabungan (Adams, 2001; McKelvey dan Hollingshead, 2003). Anastesi umum adalah suatu keadaan tidak 13 sadar akibat intoksikasi susunan syaraf pusat yang bersifat reversibel, sehingga sensitivitas terhadap stimulus yang berasal dari luar menurun, dan respon motorik terstimulasi akan berkurang (Hall, 1977). Anastesi umum juga merupakan hilangnya nyeri dan kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensory pada syaraf (Adams, 2001). Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran dimana cara pemakaiannya terdiri dari dua yaitu secara injeksi (obat pembius injeksi) dan secara inhalasi yaitu digunakan dengan udara pernafasan yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (Adams, 2001). Mekanisme kerja anestesi umum mempengaruhi sistem otak karena hilangnya kesadaran, mempengaruhi batang otak, hilangnya kemampuan bergerak, dan mempengaruhi korteks serebral disebabkan terjadinya perubahan listrik pada otak. Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal di mulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesia), koma, dan kematian atau dosis berlebih (Tranquilli et al., 2007 ; Miller, 2010). Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria tiga komponen anestesi yaitu sedasi, ketidaksadaran dan aman untuk sistem vital (sirkulasi respirasi) dan mudah diaplikasikan aman serta ekonomis. Anestesi 14 umum terdiri dari empat stadium yaitu stadium (1) tahap kortikal yaitu hewan biasanya masih sadar tetapi terjadi hilangnya orientasi dan menurunnya sensitifitas terhadap rasa nyeri dan rasa sakit hilang (analgesia) respirasi dan denyut jantung masih normal dan masih ada refleks. (2) tahap eksitasi yaitu hewan mengalami dilatasi pupil tetapi akan berkontraksi apabila ada ransangan sinar, pernafasan tidak teratur, muncul refleks yang berlebihan, takikardia, depresi, dan hipertensi. (3) tahap pembedahan yaitu pada tahap ini terjadi aktivasi refleks saraf tulang belakang menurun dan menghasilkan relaksasi otot rangka. (4) Tahap paralisis medula oblongata yaitu pada tahap ini tekanan darah meturun dan kegagalan pernafasan. Hal ini dapat diukur dari kolaps pembuluh darah (Booth, 1977). 2.2.1. Atropin Atropin adalah prototipe agen menghambat muskarinik atau antimuskarinik dan merupakan ekstrak alkoid yang termasuk famili belladona/potato (Adams, 2001). Atropin mempunyai rumus kimia C34-H46-N2-O6.H2-O4-S. . Gambar 2.1. Struktur kimia atropin Mekanisme kerja atropin adalah menghambat pelepasan asetil kolin di ganglion parasimpatik sehingga menghambat respon stimulasi parasimpatik yang meniadakan efek saliva (air liur) dan sekresi eksokrin, mengurangi atau 15 menghambat urinasi, menekan aksi fagus dan mendilatasi pupil selama anastesi. Atropin diberikan secara subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler selama 30-40 menit sebelum anastesi. Atropin biasanya digunakan dengan dosis 10- 20 mg. Penggunaan atropin pada anjing adalah 30–100 mikrograms/Kg BB (Bishop, 1996). Dosis atropin sebagai preanestetikum 0,02-0,04 mg/kgBB intramuskular atau subkutan (Bishop, 1996). 2.2.2. Xilasin Xilasin adalah salah satu golongan alpha2 - adrenoceptor stimulant atau alpha-2 adrenergic receptor agonist. Xilasin digunakan untuk menghasilkan sedasi, analgesi dan pelemas otot (Bioshop, 1996). Xilasin mempunyai rumus kimia 2 (2,6-dimethylphenylamino)-4H-5,6-dihydro 1,3-thiazine hydrochloride (Booth et al., 1977; Brander et al., 1991; Bishop,1996). Gambar 2.2 Struktur kimia xilasin Mekanisme kerja xilasin adalah mekanisme yang menghambat tonus simpatik dan menekan pusat reseptor dan menghasilkan efek sedasi. Xilasin menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama dengan dosis yang 16 ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi panjang (Hall and Clarke, 1983). Xilasin menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan syaraf pusat dan dapat menyebabkan muntah (Adams, 2001). Xilasin menyebabkan tertekanya sistem syaraf pusat dari efek sedasi kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hipnotis tidak sadar yang pada akhirnya menyebabkan keadaan teranestesi. Pada sistem pernafasan, xilasin menekan pusat pernafasan dan juga menyebabkan relaksasi otot yang baik melalui insisi transmisi intraneural impuls pada sistem saraf pusat sehingga dapat mengurangi terjadinya kekakutan otot yang dihasilkan (Hall dan Clarke, 1983) Sebagai efek samping dari xilasin adalah mengalami penurunan setelah kenaikan awal pada tekanan darah dalam perjalanan efeknya vasodilatasi tekanan darah dan juga dapat menyebabkan bradikardial, reflek mutah dan pada sistem pernafasan menyebabkan tekanan vena sentral, dan menekan respirasi (Hall, 1983). Pada anjing xilasin bisa digunakan secara subkutan atau intra muskular dengan dosis 1-3 mg/kg berat badan. Xilasin dapat juga digunakan sebagai preanestesi pada anjing dengan dosis 0.25-2mg/kg secara intramuskular dan dosis 0,2-0,5 mg/kg secara intravena (Bishop, 1996). 2.2.3. Ketamin Ketamin adalah anestetikum golongan phencyclidine dengan Ph 3,5-5,5 bersifar asam dengan rumus 2- (0-chlorophenyl)-2-(methylamino cyclohexanone 17 hydrochloride). Ketamin merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat keamanan lebar (Adams, 2001; Sulistia, 1987). Gambar 2.3. Struktur kimia ketamin Mekanisme kerja ketamin adalah menekan beberapa tempat diotak seperti pada thalamus dan korteks cerebral sehingga menyebabkan hambatan fungsi transmisi impuls dari susuan syaraf pusat. Ketamin akan memperpanjang kerja GABA (gamma amino butyric acid ), suatu neurotransmiter penghambat di otak dengan cara menghambat pengikatannya di ujung syaraf (Cullen, 1997). Ketamin di metabolisme dengan sempurna di hati dan sebagian besar di eliminasi di ginjal dan diekskresikan bersama urin (Cullen, 1991). Ketamin dapat meningkatkan frekuensi nadi, tekanan darah dan curah jantung sampai 20 % dan terjadi refleks faring. Ketamin juga dapat menekan sistem pernafasan apabila digunakan dengan dosis yang berlebih (Jones, 1978). Efek samping ketamin terhadap sistem kardiovaskuler adalah menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan cardiac output, peningkatan tekanan vena (Cullen, 1997). Peningkatan tekanan arteri, temperatur tubuh, peningkatan tekanan intraokuler, dan dapat menimbulkan efek 18 yang membahayakan yaitu takikardia karena penghambatan aktivitas saraf vagus dan hipersalivasi (Cullen, 1997). 2.2.4. Gabungan Xilasin dan Ketamin Kombinasi xilasin dan ketamin dapat mengambil kelebihan masingmasing sifat yang diharapkan sehingga kombinasi ini menambah kwalitas dan keamanan dari anestesi untuk menghilangkan efek klinis yang tidak diinginkan bila digunakan sendirian (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Kedua obat ini merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi antara efek analgesik dan relaksasi otot. Selain itu xilasin yang merupakan sedasi dan hipnotik yang baik, yang mana mempunyai dampak potensial dan dapat mengurangi jumlah anestesi umum pada ketamin, sebab kombinasi kedua obat ini juga dapat menyebabkan peningkatan yang bervariasi pada suatu organ (Katzung, 1995). 19