BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dimana individu mengalami perubahan dari masa anak-anak ke masa remaja atau usia belasan tahun. Masa remaja juga diartikan sebagai masa dimana seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual. Menurut Sarwono (1994), masa remaja juga dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran, karena masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa. Selama masa ini seseorang mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa dirinya adalah manusia unik. Seseorang mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan- tujuan yang dikejarnya dimasa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika seseorang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apa dirinya dimasa yang akan datang. Berbicara mengenai remaja, selalu terkait dengan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang salah satunya adalah memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku- mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam perkembangan ini (Hurlock, 1999). Masih terdapat lagi tugastugas perkembangan lain yang harus dipenuhi oleh para remaja dimana orangtua juga 1 turut berperan dalam membantu remaja untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Selain tugas-tugas perkembangan, self concept (konsep diri) merupakan salah satu konsep sentral dalam kehidupan remaja (Tambunan, 2001). Konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman, pikiran dan perasaan, persepsi dan tingkah laku seseorang (Calhoun dan Acocella, 1990). Singkatnya menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri adalah pandangan diri mengenai diri sendiri. Menurut Coulhoun dan Acocella (1990), konsep diri dapat bersifat positif maupun negatif. Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, dapat mengerti dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah proses penemuan. Sedangkan konsep diri negatif dibagi menjadi dua tipe; tipe pertama yakni; pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Sedangkan tipe kedua yaitu pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak 2 mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat. Konsep diri yang dimiliki individu tidak terbentuk dengan sendirinya atau tidak langsung ada namun berkembang secara bertahap seiring dan sejalan dengan perkembangan, pertumbuhan individu, dan juga konsep diri ini terbentuk karena pengaruh lingkungan (Hardy & Hayes, 1988). Dalam perkembangan konsep diri remaja sering menjadi permasalahan khusus karena pada saat itu individu dituntut untuk mengambil keputusan mengenai dirinya dalam rangka mengatasi berbagai pertanyaan (Hardy & Hayes, 1988). Konsep diri diperoleh dari hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain, terutama dengan orang tua karena merupakan kontak sosial yang paling awal yang dialami individu dan yang paling kuat (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut para ahli ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri remaja, salah satunya adalah interaksi sosial (Frey & Carlock, dalam Hurlock 1991). Konsep diri dipengaruhi oleh interaksi individu dengan sesama atau dengan orang yang ada di sekitarnya. Sebagian besar konsep diri adalah reaksi individu terhadap pendapat orang lain mengenai dirinya, bagaimana cara orang lain di sekitar kita melihat dan menilai perilaku serta semua hal yang ada dalam diri kita pada saat berinteraksi akan membentuk konsep diri. Dalam hal ini apakah konsep diri itu positif atau negatif tergantung penilaian yang diberikan orang lain dan juga penilaian yang kita berikan terhadap diri sendiri. 3 Faktor lain yang mempengaruhi konsep diri adalah penerimaan dan penghargaan dari orang-orang yang signifikan (Hurlock, 1999). Salah satu contoh orang yang signifikan adalah orangtua. Remaja yang merasa bahwa orangtua maupun teman-teman yang mendukung dan menerimanya akan menyebabkan remaja tersebut menyukai dirinya. Sedangkan remaja yang merasa tidak disukai atau ditolak oleh orang yang penting bagi dirinya akan menyebabkan remaja tersebut tidak menyukai dirinya dan akan menyebabkan remaja tersebut memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Henricson dan Roker (dalam Parker, 2004) yang berpendapat bahwa pengawasan dan dukungan dari orangtua berhubungan dengan konsep diri yang lebih positif bagi remaja. Dalam kedudukan ini orangtua mempunyai tanggung jawab kodrati yang sangat strategis posisinya dalam menghadirkan situasi dan kondisi yang beriklim pendidikan. Pengawasan, dukungan dan penerimaan dari orangtua diperlukan dalam memberikan perkembangan yang baik bagi remaja. Melalui perbuatan-perbuatan orangtua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan dihayati dan diapresiasi oleh remaja menjadi dasar pembentukan kepribadiannya. Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan menghasilkan remaja agar mempunyai kepribadian dan nilai-nilai yang kemudian dapat dikembangkan di masyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin dalam Gunarsa, 1996). Seturut seperti apa yang dijelaskan oleh Coopersmith (1974) bahwa selain penghargaan yang diterima dari orang-orang yang signifikan, faktor yang 4 mempengaruhi konsep diri seseorang adalah nilai dan inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman. Nilai-nilai yang dianut seseorang dipengaruhi oleh orang tua dan orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, orang tua berperan besar dalam mempengaruhi konsep diri remaja sehingga remaja mencapai keberhasilan dalam fase hidupnya. Namun, pencapaian tersebut tidak semua remaja ikut merasakannya, hal ini bisa kita lihat bahwa disekeliling kita masih banyak anak-anak maupun remaja yang terlantar dengan berbagai sebab misalnya orang tua yang meninggal sehingga anak tidak terawat dengan baik atau orang tua yang memang menelantarkan anaknya. Dengan banyak anak yang tidak memiliki keluarga, maka pemerintah mendirikan suatu tempat yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, sosial maupun kebutuhan psikologis agar mereka dapat tumbuh dan berkembang layaknya anak yang diasuh dalam keluarga yaitu panti asuhan. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1995), panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus 5 cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang pembangunan nasional. Penulis mengambil lokasi penelitian di Panti Asuhan Air Hidup Pancur Batu yang merupakan panti asuhan yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial. Panti asuhan Air Hidup menerima anak-anak yang terlantar dan dari keluarga yang tidak mampu. Panti asuhan Air Hidup secara fisik berbentuk asrama. Di dalam asrama ini terdapat 6 petugas yang bertindak sebagai bapak atau ibu pengasuh. Selain itu di dalam asrama ini anak-anak asuh dikelompokkan dalam jumlah yang besar dan ditempatkan pada satu ruangan dengan penempatan sesuai kelompok umur dan dikelompokkan antara 15 sampai dengan 20 orang sedangkan jumlah pengasuh yang mengawasi hanya 1 orang. Struktur seperti ini membuat kurang meratanya pengawasan dan bimbingan yang diberikan kepada anak sehingga dapat menghambat perkembangan konsep diri anak. Letak panti asuhan Air Hidup berada jauh dari keramaian kota atau dari jalan raya dan juga sangat nyaman serta di kelilingi pohon, di belakang panti asuhan juga terdapat sungai, namun anak-anak panti asuhan tidak begitu bebas untuk bermain. Panti Asuhan Air Hidup juga mengedepankan keterampilan-keterampilan kerja dan anak-anak asuhnya juga bekerja dan lebih lanjut bekerja untuk memenuhi kebutuhan material (makan, tempat tinggal, pakaian, dan biaya pendidikan) namun pemenuhan akan kebutuhan mental atau emosional dari anak-anak panti belum begitu diperhatikan. Selain itu panti asuhan ini juga menerapkan aturan dan disiplin yang ketat terhadap anak asuhanya serta pemberian 6 hukuman cenderung keras. Dari wawancara yang dilakukan kepada pengurus panti asuhan Air Hidup mengatakan bahwa ada beberapa anak asuhan mereka memiliki sifat yang labil yaitu tidak menerima dirinya sebagai anak yatim dan tinggal di panti. Mereka menuntut lebih banyak diperhatikan, kurang percaya diri akan kemampuan yang mereka miliki dan sangat malu bila diketahui sebagai anak panti bila sedang berada di luar panti. Anak tersebut juga pernah diminta untuk mengikuti pendidikan di luar panti, tetapi dia tidak mau dikarenakan malu dan tidak siap dengan kehidupan di luar lingkungan panti. Hal ini penulis lanjutkan dengan mewawancarai dan mengamati salah seorang anak panti yang berinisial PM berusia 14 tahun. PM menjelaskan bahwa dia merasa malu, merasa tidak memilki pengharapan dalam hidupnya dan tidak berani dengan lingkungan di luar panti. PM juga terlihat sering menyendiri dan tidak banyak berbicara dan tidak begitu suka diatur bahkan bila bertemu dengan orang PM sering bersikap acuh. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa remaja yang tinggal di panti asuhan Air Hidup Pancur Batu memiliki ciri-ciri sebagai remaja yang memiliki kecenderungan berkonsep diri negatif, seperti yang dikemukakan Hurlock (1999) tentang pola konsep diri negatif yaitu seorang individu yang mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri negatif remaja disebabkan oleh latarbelakang keluarga yang mereka miliki. Menurut Coopersmith (dalam Calhoun, 1990) mengatakan bahwa anak-anak yang tidak 7 memiliki orang tua, disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab anak yang tinggal di panti asuhan memiliki konsep diri yang negatif. Remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya atau disia-siakan orangtuanya pada umumnya memiliki konsep diri yang rendah. Remaja panti asuhan merasa bahwa keberadaan mereka ditolak oleh orang banyak. Mereka juga merasa bahwa mereka terisolasi dan selalu sendirian dan memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang lain (Grigsby, 2006). Ibu atau bapak pengasuh panti asuhan yang dianggap sebagai pengganti orangtua sepertinya tidak bisa diharapkan untuk dapat memberikan pengajaran secara mendalam mengenai bagaimana menilai diri sendiri. Kurangnya perhatian dan pengajaran dalam membentuk penilaian diri atau menafsirkan mengenai diri sendiri bagi remaja penghuni panti asuhan yang meliputi aspek-aspek fisik, aspek sosial dan aspek psikologis disebabkan karena perbandingan yang tidak seimbang antara remaja panti yang sangat banyak jumlahnya dengan pengasuh panti asuhan. Hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan terhadap beberapa pengasuh panti asuhan membenarkan hal tersebut. Pengasuh panti asuhan mengakui bahwa anak asuh panti asuhan kurang mendapatkan perhatian karena perbandingan antara pengasuh dengan anak asuh yang sangat jauh berbeda sehingga pengasuh kurang bisa memberikan perhatian yang mendalam terhadap anak asuhnya. 8 Penelitian yang dilakukan oleh Goldfard (dalam Burns, 1993) menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam suatu institusi, cenderung mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadiannya, misalnya cenderung untuk menarik diri dari lingkungan dan mengalami retardasi fisik atau mental. Peran panti asuhan sendiri hanyalah sebagai lembaga yang memberikan pelayanan pengganti dan dengan kapasitas yang terbatas dikarenakan lebih mengutamakan pemenuhan materi anak asuh menjadikan anak asuh tidak mendapat perhatian akan kebutuhan mental mereka. Hal ini akan berbanding terbalik dengan yang dialami remaja yang tinggal dengan keluarga terdekatnya, dari anggota keluarga yang ada yaitu ayah, ibu dan saudara- saudaranya, anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota keluarganya. Sikap, pandangan dan pendapat orang tua atau anggota keluarganya dijadikan model oleh anak dan ini kemudian menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri. Keberadaan figur dan peran orang tua yang jelas membuat anak merasa adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa pemberian rasa aman dengan menerima anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya diri. Hal ini ditegaskan pula oleh penelitian yang dilakukan Musen (dalam Burns, 1993) yang mengatakan bahwa kehangatan dan penerimaan orang tua memiliki korelasi dengan konsep diri. Dikatakan pula, anak-anak cenderung memiliki konsep diri yang positif bila 9 setidaknya salah satu dari orang tua mereka menunjukkan sikap penerimaan dan kehangatan. Lagipula ketika masih kecil, orang yang penting bagi seorang anak adalah orangtua dan saudara-saudaranya yang tinggal serumah. Merekalah yang pertama-tama menanggapi perilaku anak, sehingga secara perlahan-lahan terbentuk konsep diri anak. Segala sanjungan, senyuman, pujian, penerimaan dan penghargaan yang didapat dari mereka akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri anak tersebut yang pada akhirnya membuat dia menjadi individu yang bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu. Yakin akan kemampuannya, percaya diri dan menerima pujian dengan tanpa rasa malu termasuk konsep diri ke arah yang positif, sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 1985) yang menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif diantaranya yakin akan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah, memiliki keyakinan untuk sukses, dan bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu. Dari uraian diatas, disimpulkan bahwa lingkungan dimana remaja dibesarkan, dididik, diberikan bimbingan oleh orang tua serta pengalaman-pengalaman yang dialami oleh seorang anak, semua itu akan turut berperan dalam perkembangan diri anak, termasuk perkembangan konsep dirinya. Adanya aturan-aturan dan cara kerja yang dimainkan panti asuhan serta aktifitas yang dilakukan remaja panti asuhan sudah benar-benar dapat menumbuhkan konsep diri yang positif atau sebaliknya, membuat penulis ingin meneliti permasalahan tentang konsep diri remaja baik yang tinggal di panti asuhan maupun yang tinggal bersama keluarga terdekat, dengan 10 mengajukan judul “Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Asuhan Keluarga Dengan Panti Asuhan Di Panti Asuhan Air Hidup Pancur Batu”. B. Perumusan Masalah Bedasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan pertayaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Asuhan Keluarga dengan Panti Asuhan?”. C. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaaan konsep diri antara remaja yang diasuh dengan keluarga dan diasuh panti asuhan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoretis, penelitian ini menambah khasanah, keilmuan psikologi yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Selain itu juga, dapat menambah referensi penelitian kualitatif. 11 2. Manfaat Praktis a. Bagi Remaja asuhan keluarga Subjek yang saya teliti mempunyai pengetahuan tentang bagaimana memahami konsep dirinya ke depan agar lebih baik sesuai dengan proses perkembangannya. b. Bagi remaja panti asuhan Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan tambahan informasi untuk mengembangkan pemahaman tentang konsep diri yang positif. c. Bagi Panti Asuhan Bagi pengasuh yang bekerja di panti asuhan dapat mengetahui dan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi konsep diri. Sehingga para pendidik panti asuhan memiliki bekal yang cukup dalam mengarahkan remaja yang tinggal di panti asuhan agar memiliki konsep diri yang positif. d. Bagi keluarga Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi keluarga, sebagai bahan informasi yang dapat dingunkan untuk mengetahui permasalahan yang berhubungan dengan perkembangan remaja yang diharapkan selanjutnya dapat mendukung tugas pekembangan. e. Bagi Masyarakat 12 Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan konsep diri remaja yang diasuh keluarga dan panti asuhan. BAB II LANDASAN TEORITIS A. KONSEP DIRI 1. Pengertian konsep diri Cara pandang individu terhadap dirinya akan membentuk suatu konsep tentang diri sendiri. Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan dibentuk oleh berbagai pengalaman yang dijumpai dalam hubungannya dengan individu lainnya, terutama dengan orang terdekat, maupun yang di dapatkan atau dialami dalam peristiwaperistiwa kehidupan. Sejarah hidup individu dari masa lalu dapat membuat dirinya memandang diri lebih baik atau lebih buruk dari kenyataan sebenarnya (Centi, 1993). Konsep tentang diri merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi dan dalam berbagai hal (Calhoun dan Acocella, 1990). Konsep diri juga dianggap sebagai pemegang peranan kunci dalam pengintegrasian kepribadian individu, di dalam memotivasi tingkah laku serta di dalam pencapaian kesehatan mental (Burns, 1993). 13 Chaplin (2006) mendefinisikan konsep diri sebagai evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Dengan kata lain konsep diri merupakan pendapat kita mengenai diri sendiri yang terdapat dalam pikiran dan bukan dalam realitas yang konkrit. Konsep diri mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan oleh individu. Berzonsky (1981) menyatakan bahwa konsep diri yaitu gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri yang nyata maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut. Menurut Argy (Hardy & Hayes, 1988), Konsep diri (self-concept) merupakan evaluasi terhadap domain yang spesifik dari diri. Remaja dapat membuat evaluasi diri terhadap berbagai domain dalam hidupnya seperti akademik, atletik, kesenian, dan lain sebagainya. Pada salah satu penelitian baru-baru ini ditemukan bahwa konsep diri remaja yang berhubungan dengan ketertarikan fisik merupakan faktor terkuat untuk meramalkan rasa percaya diri keseluruhan dari remaja. Banyak kondisi pada kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri. Beberapa diantaranya sama dengan kondisi pada masa kanak-kanak, tetapi banyak yang merupakan akibat dari perubahan fisik psikologis yang terjadi selama masa remaja. 14 Konsep diri dapat dijelaskan secara umum sebagai keyakinan,pandangan atau penilaian seorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, kurang disiplin, gagal dalam banyak hal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya dan cenderung orang yang tidak mempunyai pengharapan dalam hidupnya. Dia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif ini akan sangat mudah menyerah sebelum berperang, dan jika gagal akan ada dua pihak yang disalahkan, entah menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain (Hardy & Hayes, 1988). Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, dalam segala hal, dan juga terhadap kegagalan yang terjadi atau yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai sebuah kematian, bukan dipandang sebagai sebuah akhir dari segalanya, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif, yang dapat dilakukan demi keberhasilan dan kebahagiaan di masa yang akan datang (Hardy & Hayes, 1988). 15 Konsep diri menurut Hurlock (1978) merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang lain tentang diri individu itu sendiri-karakteristik fisik, psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi. Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat, baik fisik maupun psikis salah satunya di dukung oleh konsep diri yang baik dan stabil. Karena dengan adanya konsep diri yang baik maka akan mempengaruhi kemampuan individu dalam membina hubungan interpersonal. Bedasarkan teori diatas penulis menyimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran atau persepsi individu terhadap aspek diri individu yang diperoleh dari diri sendiri dan juga dari orang lain melalui pengalaman dan interaksi dengan orang lain. 2. Perkembangan konsep diri Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk atau berkembang. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun adapula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. 16 Ketika individu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak memiliki harapan-harapan yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri (Calhoun dan Acocella,1990). Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya Centi (1993). Konsep diri yang dimiliki seorang manusia tidak terbentuk secara instan atau secara begitu cepat, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa konsep diri terbentuk dengan proses belajar sepanjang hidup si manusia tersebut. Namun seiring dengan berjalannya waktu individu mulai bisa membedakan antara dirinya, orang lain, dan benda-benda di sekitarnya, pada akhirnya individu mulai mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan serta dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990). Menurut Willey (dalam Calhoun dan Acocella, 1990), dalam perkembangan konsep diri, yang digunakan sebagai sumber pokok informasi adalah interaksi individu dengan orang lain. Balwin dan Holmes ( dalam Calhoun dan Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain. Yang dimaksud dengan “orang lain” menurut Calhoun dan Acocella (1990) adalah: a. Orang Tua Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh seseorang dan pastinya yang paling kuat. Informasi yang diberikan oleh orang lain dan 17 berlangsung hingga dewasa. Coopersmith (dalam Calhoun &Acocella, 1990) mengatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki orang tua, disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama anak berkonsep diri negatif. b. Teman Sebaya Teman sebaya menempati posisi kedua setelah orang tua dalam mempengaruhi konsep diri. Peran yang diukur dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai diri sendiri. c. Masyarakat Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak, seperti siapa bapak dan ibunya, ras atau suku, dan lain-lain sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu. 3. Jenis-Jenis Konsep Diri Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. 1. Konsep Diri Positif 18 Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah proses penemuan. Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami, dapat mengerti dan menerima sejumlah fakta yang sangat bemacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas ataupun kenyataan. 2. Konsep Diri Negatif Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu: a. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya. 19 b. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat. Individu yang memiliki konsep diri yang negatif terdiri dari dua tipe, tipe pertama yaitu individu yang tidak tahu siapa dirinya dan tidak mengetahui kekurangan dan kelebihannya, sedangkan tipe kedua adalah individu yang memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil, dan mengetahui persis keadaan dirinya (baik itu kekurangan ataupun kelebihan). 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang dalam (Hurlock, 1999), seperti: 1) Pola asuh orang tua Pola asuh orang tua seperti sudah banyak kita uraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihani, untuk disayangi, dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang. 20 Keberadaan figur dan peran orang tua yang jelas membuat anak merasa adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa pemberian rasa aman dengan menerima anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya diri. Hal ini ditegaskan pula oleh penelitian yang dilakukan Musen (dalam Burns, 1993) yang mengatakan bahwa kehangatan dan penerimaan orang tua memiliki korelasi dengan konsep diri. 2) Usia kematangan Remaja yang matang lebih awal yang diperlakukan seperti orang dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat yang diperlakukan seperti anak kecil, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat atau bisa menyesuaikan diri. 3) Kepatuhan seks Kepatuhan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatuhan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya. 4) Kegagalan Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya 21 terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna. 5) Kritik internal Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik. 6) Penampilan diri Penampilan diri yang berbeda membuat para remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. 7) Nama dan julukan Remaja merasa malu bila teman-teman menilai namanya buruk atau bila mereka memberi julukan yang bernada mengejek. 8) Kreativitas Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, akan memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. 9) Cita-cita 22 Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan sehingga menimbulkan kepercayaan diri dan konsep diri yang lebih baik. Kemudian, Argy (dalam Hardy dan Heyes, 1988) mengatakan bahwa perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu: 1) Reaksi dari orang lain Cooley (dalam Hardy dan Heyes, 1988) membuktikan bahwa dengan mengamati pencerminan perilaku diri sendiri terhadap respon yang diberikan oleh orang lain maka individu dapat mempelajari dirinya sendiri. Orang-orang yang memiliki arti pada diri individu (significant other) sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri. 2) Perbandingan dengan orang lain Konsep diri yang dimiliki individu sangat tergantung kepada bagaimana cara individu membandingkan dirinya dengan orang lain. 3) Peranan individu Setiap individu memainkan peranan yang berbeda-beda dan pada setiap peran tersebut individu diharapkan akan melakukan perbuatan dengan cara-cara tertentu pula. Harapan-harapan dan pengalaman yang berkaitan dengan peran yang berbeda- 23 beda berpengaruh terhadap konsep diri seseorang. Menurut Kuhn (dalam Hardy dan Heyes, 1988) sejalan dengan pertumbuhannya individu akan menggabungkan lebih banyak peran kedalam konsep dirinya. 4) Identifikasi terhadap orang lain Kalau seorang anak mengagumi seorang dewasa, maka anak seringkali mencoba menjadi pengikut orang dewasa tersebut dengan cara meniru beberapa nilai, keyakinan, dan perbuatan. Proses identifikasi tersebut menyebabkan individu merasakan bahwa dirinya telah memiliki beberapa sifat dari yang dikagumi. 5. Aspek-aspek konsep diri Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seorang individu. Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang memiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang dimiliki individu untuk dirinya sendiri serta penilaian mengenai diri sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990) yaitu: a. Pengetahuan Aspek pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki individu merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya sendiri. Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan lain-lain, dan sesuatu yang merujuk pada istilah-istilah kualitas, seperti individu yang egois, baik hati, tenang, dan bertemperamen tinggi. Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan 24 diri individu dengan kelompok perbandingannya. Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu tersebut atau dengan cara mengubah kelompok pembanding. b. Harapan Aspek kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set pandangan yang lainnya lagi, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa dimasa mendatang. Setiap individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbeda-beda pada setiap individu. c. Penilaian terhadap diri sendiri. Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari, setiap waktu. Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya. Penilaian yang dilakukan individu adalah bagaimana individu merasa tentang dirinya sebagai pribadi yang dipikirnya. Berdasarkan uraian ini adalah konsep diri yang dimiliki setiap individu terdiri dari tiga aspek, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, harapan mengenai diri sendiri dan penilaian mengenai diri sendiri. Pengetahuan adalah apa yang individu ketahui tentang dirinya baik dari segi kualitas maupun kuantitas, pengetahuan ini bisa 25 diperoleh dengan membandingkan diri dengan kelompok pembanding dan pengetahuan yang dimiliki individu bisa berubah-ubah. Harapan adalah apa yang individu inginkan untuk dirinya dimasa yang akan datang dan harapan bagi setiap orang berbeda-beda. Sedangkan penilaian adalah pengukuran yang dilakukan individu tentang keadaan dirinya saat ini dengan apa yang menurut dirinya dapat dan terjadi, dan juga bagaimana individu merasa terhadap dirinya sendiri. Sedangkan menurut Berzonsky (1981) aspek-aspek konsep diri, yaitu: 1. Aspek diri fisik (physical self) Aspek diri fisik ini meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya, seperti kondisi tubuh atau kesehatan, penampilan fisik, pakaian. 2. Aspek diri psikologis (psychological self) Aspek diri psikis meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri; bagaimana seseorang menilai dirinya sebagai seorang pribadi. 3. Aspek diri Sosial (sosial self) Aspek diri sosial yaitu bagaimana peranan serta hubungan sosial yang dimiliki individu serta penilaian orang lain terhadap peranan dan hubungan sosial tersebut. 26 Aspek sosial ini juga berkaitan dengan perbandingannya dengan orang lain, serta penilaian diri akan sikap orang lain terhadap dirinya. 4. Aspek diri moral (moral self) Aspek diri moral meliputi nilai dan prinsip yang member arti serta arah bagi kehidupan seseorang, arti , moral, hubungan dengan Tuhan, perasaan menjadi orang “baik atau berdosa”, dan kepuasaan atau ketidakpuasan terhadap agama yang dianut. Berdasarkan uraian diatas, penulis menggunakan pengembangan aspekaspek yang dipaparkan Berzonsky (1981) sebagai skala penelitian, dikarenakan aspek-aspek tersebut lebih sesuai digunakan pada objek penelitian dan penjelasan aspek-aspek lebih terperinci. B. REMAJA 1. Pengertian Remaja Dalam Kamus Psikologi dikemukakan pengertian Adolescence atau remaja adalah periode antara pubertas dan kedewasaan. Remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dimulai dengan masa pubertas, yaitu perubahan fisik, organ seksual menjadi masak. Selain berubahan fisik, kapasitas intelektual, 27 sikap, emosi, minat, bakat, perhatian, kepercayaan, moral, hubungan dengan orang tua dan juga lingkungan sekitarnya juga ikut berkembang. Istilah adolescence dari bahasa Inggris yang dipergunakan sampai pada saat ini yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional,sosial, dan fisik (Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk didalamnya juga perubahan intelektual yang mencolok, transformasi yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa. Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode remaja terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah. Yang sangat menonjol pada periode ini adalah kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri dimana remaja mulai meyakini kekurangan dan kelebihannya, kemampuannya, potensi dan cita-cita sendiri. Dengan adanya kesadaran tersebut remaja berusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan, keindahan, kedisiplinan, kerajinan, dan keindahan. Masa adolescentia 28 dilihat sebagai masa peralihan ditinjau dari kedudukan ketergantungannya dalam keluarga menuju ke kehidupan dengan kedudukan mandiri (Gunarsa, 2006). 2. Batasan usia remaja Monks, dkk (1999) membagi masa remaja, yaitu masa remaja awal berlangsung antara usia 12 sampai 15 tahun, masa remaja pertengahan berlangsung antara usia 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir berlangsung antara usia 18 sampai 21 tahun. Batasan remaja yang diungkapkan oleh Monks, dkk (1999) tidak jauh berbeda dengan pendapat Kartono (1990) yang membagi masa remaja menjadi masa pra-pubertas, masa pubertas, dan masa adolesensi. Monks, dkk (1999) membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga tahap, yaitu: 1) Remaja Awal (12 sampai 15 tahun) Pada rentang usia ini, remaja mengalami pertumbuhan jasmani yang sangat pesat dan juga perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat dan kreativitas anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi, namun juga belum bisa meninggalkan pola kekanakkanakannya. Selain itu pada masa ini remaja belum tau apa yang diinginkannya, remaja sering merasa kesepian, kesunyian, tidak stabil, tidak puas, dan merasa kecewa (Kartono, 1990). 2) Remaja Pertengahan (15 sampai 18 tahun) 29 Pada rentang usia ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan, namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka, dari perasaan yang penuh keraguan pada usia remaja awal, pada rentang usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot atau bermutu. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang telah dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja mulai menemukan diri sendiri atau jadi dirinya (Kartono, 1990). Burns (1993) menjelaskan bahwa konsep diri yang dimiliki remaja usia 14 sampai 18 tahun relatif stabil karena pada usia ini tidak tampaknya gejolak dan stres. 3) Masa Remaja Akhir (18 sampai 21 tahun) Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Dikatakan seperti itu karena remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri, dengan etika baik dan keberanian. Remaja mulai dapat memahami kemana arah kehidupannya, dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah memiliki komitmen yang jelas, sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya (Kartono, 1990). 30 3. Tugas - tugas perkembangan Remaja Pada remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi atau dijalanin. Menurut Hurlock (1999) semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja itu adalah: 1) Mencapai peran sosial pria dan wanita 2) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 3) Menerima keadaan fisiknya atau jasmaninya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa l ainnya 5) Bergaul dengan teman sebaya, sejenis atau lawan jenis 6) Belajar bertanggung jawab sebagai warga negara 7) Menginginkan dan mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab sosial 8) Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang secara mandiri 9) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 10) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi, perkembangan skala nilai secara sadar. Berdasarkan tugas-tugas perkembangan seorang remaja yang telah dijelaskan di atas bahwa remaja diharapkan dapat memenuhi dan menjalanin sesuai dengan usia 31 dan juga tugas perkembangan, individu yang berada pada level remaja ini diharapkan tidak melompati tugas-tugas perkembangannya, karena apabila tugas perkembangan ini terjadi secara cepat ataupun lambat maka akan mengganggu ke tahap perkembangan selanjutnya. Masa remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja terdapat berbagai macam perubahan. Perubahan itu akan melangkah dengan mantap apabila diiringi dengan tugas perkembangan yang berjalan sesuai dengan tahapan dan usia seorang individu. C. KELUARGA 1. Pengertian Keluarga Keluarga menurut Pudjigjogyanti (1988) adalah sekelompok orang yang diikat oleh perkawinan atau darah, biasanya meliputi ayah, ibu dan anak. Menurut Yusuf (1982), keluarga adalah kesatuan masyarakat yang paling kecil sebagai suatu kesatuan maka ikatan didasarkan atas perkawinan dimana tiap anggota mengabdikan dirinya kepada kepentingan dan tujuan keluarga. Menurut Meyer F. Nimkoff (dalam Pudjigjogyanti,1988), keluarga adalah ikatan yang berlangsung lama antara suami dan istri, dengan atau tanpa anak. Keluarga sebagai kelompok sosial terkecil dalam masyarakat, yang terbentuk berdasarkan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan yang terdiri dari seorang suami (ayah), istri (ibu) dan anak-anak mereka (Munandar, 1985). Keluarga tetap merupakan bagian penting bagi anak, sebab 32 anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting selama tahun awal (Hurlock, 1999). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah kelompok sosial terkecil dalam masyarakat yang terbentuk berdasarkan ikatan yang didasarkan oleh perkawinan atau darah yang berlangsung lama antara suami (ayah), istri (ibu), dan dengan anak-anak mereka dimana tiap anggota mengabdikan dirinya kepada kepentingan dan tujuan keluarga. 2. Fungsi Keluarga Fungsi keluarga (Pudjigjogyanti, 1988), yaitu : a. Keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, tempat dimana anak memperkembangkan dan diperkembangkan kemampuan-kemampuan dasar yang dimilikinya, sehingga mencapai prestasi sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki dirinya dan memperlihatkan perubahan perilaku dalam berbagai aspeknya seperti yang diharapkan atau direncanakan. b. Keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan aspek sosial agar bisa menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. D. PANTI ASUHAN Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1995), Panti asuhan anak adalah lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan 33 penyantunan dan pengentasan anak terlantar melalui pelayanan pengganti atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian generasi cita-cita bangsa dan sebagai insan yang turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional. Panti asuhan anak adalah proyek pelayanan dan penyantunan terhadap anakanak yatim, piatu, yatim piatu, keluarga retak, dan anak terlantar dengan cara memenuhi segala kebutuhan, baik berupa material maupun spiritual; meliputi: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan. Makmur Sunusi, Direktur Jenderal Pelayanan Sosial dan Rehabilitasi Sosial Despos RI mengatakan dalam laporan yang diluncurkan oleh DEPSOS RI, bersama Save the Children dan UNICEF pada tahun 2006 dan 2007 yang mana penelitian tersebut memberikan laporan komprehensif mengenai kualitas pengasuhan di panti asuhan anak di Indonesia dan merangkum assessment mendalam dari 37 panti asuhan yang tersebar di 6 provinsi lengkap dengan analisis hukum dan kebijakan dalam konteks penyelenggaraan panti asuhan (Nawir, 2008). Dijelaskan bahwa jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan antara 5000 s.d 8000 yang mengasuh sampai setengah juta anak, ini yang kemungkinan merupakan jumlah panti asuhan terbesar di seluruh dunia. Di 34 Kotamadya Medan sudah terdapat 17 panti asuhan yang terdaftar di Dinas Sosial Medan dan diperkirakan masih banyak lagi panti asuhan yang telah didirikan namun belum terdaftar. Pemerintah Indonesia sendiri hanya memiliki dan menyelenggarakan sedikit dari panti asuhan tersebut, lebih dari 99% panti asuhan diselenggarakan oleh masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Penelitian ini memberikan potret mendalam tentang situasi anak-anak dan pengasuhan yang mereka dapatkan di panti asuhan, (dalam Nawir, 2008). Penelitian tersebut juga menemukan bahwa, tidak seperti asumsi luas yang ada, hanya ada persentasi yang sangat kecil untuk anak-anak di panti asuhan yang benar-benar yatim piatu (6%) dan 90% diantaranya memiliki salah satu atau kedua orangtua. Kebanyakan anak-anak ditempatkan di panti asuhan oleh keluarganya yang mengalami kesulitan ekonomi dan juga secara sosial dalam konteks tertentu, dengan tujuan untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan. Kenyataannya, banyak panti asuhan tidak memberikan “pengasuhan” sama sekali, melainkan menyediakan akses pendidikan. Secara eksplisit, hal ini tertera dalam pendekatan pengasuhan, pelayanan yang diberikan, dan sumber daya yang diberikan oleh panti asuhan. Hampir tidak ada assessment tentang adanya kebutuhan pengasuhan anak-anak baik sebelum, selama, maupun selepas mereka meninggalkan panti asuhan. 35 Kriteria seleksi anak-anak dan praktek rekrutmen sangat mirip di hampir semua panti asuhan yang diakses dan mereka fokus kepada anak-anak usia sekolah, keluarga miskin, keluarga yang kurang beruntung dan yang terlalu tua untuk mengasuh sendiri, (dalam Nawir, 2008). Dari hasil penelitian itu juga disimpulkan, bahwa pengasuhan di panti asuhan sangat kurang. Hampir semua fokus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari sementara kebutuhan emosional dan pertumbuhan anak-anak tidak dipertimbangkan. Sekali anak-anak memasuki panti asuhan, mereka diharapkan untuk tinggal disana sampai lulus dari SMA kecuali mereka melanggar peraturan atau tidak berprestasi di sekolah. Disejumlah panti asuhan yang disurvei, anak-anak bekerja dan lebih lanjut dilakukan untuk mendukung ekonomi panti asuhan. Hal ini mendatangkan pertanyaan serius tentang apakah keberadaan panti asuhan ini diselenggarakan untuk anak-anak atau oleh anak-anak serta memunculkan pertanyaan serius, tidak hanya segi etik dan praktek professional dan penghargaan terhadap hak-hak anak, (dalam Nawir, 2008) 2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Asuhan Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1995) tujuan penyelenggaraan panti asuhan yaitu: 1. Tersedianya pelayanan kepada anak dengan cara membantu membimbing anak agar menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya, keluarga maupun masyarakat. 36 2. Terpenuhinya kebutuhan anak akan kelangsungan hidup, untuk tumbuh kembang dan memperoleh perlindungan, antara lain dengan menghindarkan anak dari kemungkinan ketelantaran pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, sosialnya sehingga memungkinkannya untuk tumbuh kembang secara wajar. 3. Terbantunya anak dalam mempersiapkan pengembangan potensi dan kemampuannya secara memadai dalam rangka memberikan bekal untuk kehidupan dan penghidupannya dimasa depan. 3. Fungsi Panti Asuhan 1. Sebagai pusat pelayanan kesejahteraan anak 2. Sebagai pusat informasi dan konsentrasi kesejahteraan anak 3. Sebagai pusat pengembangan kepribadian 4. Kehidupan anak panti asuhan Panti asuhan sebagai pengganti keluarga, mereka yang tidak memilikikeluarga lagi atau karena orang tuanya meninggal dunia. Mereka yang tinggal di panti asuhan berasal dari latar belakang yang berbeda serta usia yang berbeda-beda. Di dalam panti asuhan, anak diasuh secara masal. Sebagai akibat dari pengasuhan secara masal tersebut adalah: 1. Anak kurang memperoleh kasih sayang, perhatian dan pengawasan. 2. Anak kurang memperoleh kesempatan melihat sendiri berbagai model dari orang tua atau orang dewasa lainnya. 37 3. Anak kurang mempunyai kesempatan untuk berhubungan dengan orang tua yang dapat dijadikan identifikasi dalam pemahaman terhadap dirinya sendiri. 4. Pengasuh di panti asuhan biasanya kurang dapat berperan sebagai orang tua atau keluarga pengganti dalam menggantikan fungsi keluarga. E. Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Asuhan Keluarga Dengan Panti Asuhan Konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman, pikiran dan perasaan, persepsi dan tingkah laku seseorang (Calhoun dan Acocella, 1990). Singkatnya menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri adalah pandangan diri mengenai diri sendiri. Sementara itu, menurut Hurlock (1978) konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang lain tentang diri individu itu sendiri-karakteristik fisik, psikologis, sosial, dan emosional, aspirasi dan prestasi. Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan juga lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginan. Menurut Willey (dalam Calhoun dan Acocella, 1990), dalam perkembangan konsep diri, yang digunakan sebagai sumber pokok informasi adalah interaksi individu dengan orang lain. Balwin dan Holmes (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain. Yang dimaksud dengan “orang lain” menurut Calhoun dan Acocella (1990) adalah orangtua, teman sebaya, dan masyarakat. 38 Melalui perbuatan-perbuatan orangtua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan dihayati dan diapresiasi oleh remaja menjadi dasar pembentukan kepribadiannya. Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan menghasilkan remaja agar mempunyai kepribadian dan nilai-nilai yang kemudian dapat dikembangkan di masyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin dalam Gunarsa, 1996). Namun, pencapaian tersebut tidak semua remaja ikut merasakannya, hal ini bisa kita lihat bahwa disekeliling kita masih banyak anak-anak maupun remaja yang terlantar dengan berbagai sebab misalnya orang tua yang meninggal sehingga anak tidak terawat dengan baik atau orang tua yang memang menelantarkan anaknya. Dengan banyak anak yang tidak memiliki keluarga, maka pemerintah mendirikan suatu tempat yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar mereka dapat tumbuh dan berkembang layaknya anak yang diasuh dalam keluarga yaitu panti asuhan. Walaupun esensi dari panti asuhan adalah menggantikan yang hilang dari orang tua melalui para pengasuh tetapi kenyataan ini sering sulit dicapai secara memuaskan. Berdasarkan hasil penelitian Save The Children yang bekerja sama dengan Departemen Sosial yang dilakukan pada tahun 2006 dan 2007 menemukan beberapa fakta mengenai kondisi panti asuhan yaitu adanya kondisi-kondisi khusus seperti kurangnya perhatian pengasuh, kurangnya fasilitas fisik, terlalu ketatnya disiplin dan aturan yang dijalankan serta terfokus pada pemenuhan material (makan, 39 tempat tinggal, keterampilan kerja, dan biaya pendidikan) tanpa memperhatikan kebutuhan emosional dan perkembangan psikososial si anak asuh (Pedoman Pelayanan Kesejahteraan Anak Melalui PSAA, 2000). Selain itu label yang muncul ditengah lingkungan sosial bahwa anak-anak panti asuhan sebagai anak yang perlu dikasihani menjadikan mereka merasa tidak disenangi oleh lingkungan dan cenderung menutup diri. Mereka juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa bersosialisasi dan bersaing/berkompetisi dengan orang lain. Akibatnya, dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan sekitarnya memungkinkan remaja tersebut cenderung menampakkan sikap pendiam, pasif, kurang responsif terhadap orang lain dan merasa rendah diri, sehingga cenderung menarik diri dan lebih bersikap defensif dalam pergaulan (Pedoman Pelayanan Kesejahteraan Anak Melalui PSAA, 2000). Menurut Coulhoun dan Acocella (1990), konsep diri dapat bersifat positif maupun negatif. Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, dapat mengerti dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah proses penemuan. Sedangkan konsep diri negatif dibagi menjadi dua tipe; tipe pertama yakni; 40 pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Sedangkan tipe kedua yaitu pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat. Hal ini akan berbanding terbalik dengan yang dialami remaja yang tinggal dengan keluarga terdekatnya, dari anggota keluarga yang ada yaitu ayah, ibu dan saudara-saudaranya, anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Keberadaan figur dan peran orang tua yang jelas membuat anak merasa adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa pemberian rasa aman dengan menerima anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya diri. Hal ini ditegaskan pula oleh penelitian yang dilakukan Musen (dalam Burns, 1993) yang mengatakan bahwa kehangatan dan penerimaan orang tua memiliki korelasi dengan konsep diri. Segala sanjungan, senyuman, pujian, penerimaan dan penghargaan yang didapat dari mereka akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri anak tersebut yang pada akhirnya membuat dia menjadi individu yang bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu. Yakin akan kemampuannya, percaya diri dan menerima pujian dengan tanpa rasa malu termasuk konsep diri ke arah yang 41 positif, sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 1985) yang menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif diantaranya yakin akan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah, memiliki keyakinan untuk sukses, dan bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu. Remaja yang memiliki konsep diri yang negatif memandang diri baik dari segi internal maupun eksternalnya benar-benar tidak teratur dimana mereka tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Dalam artian, individu dengan konsep diri yang negatif, benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya, atau apa yang ia hargai dalam hidupnya. Menurut Erikson (dalam Calhoun, 1990) kondisi ini umum dan normal diantara banyak para remaja. Konsep diri para remaja kerap kali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan ini terjadi pada saat transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Dengan kata lain, tidak menutup kemungkinan sejalan dengan berlalunya waktu konsep diri negatif yang dimiliki oleh remaja akan berkembang dan berganti menjadi konsep diri yang cenderung positif apabila mendapat perhatian dan dukungan positif dari berbagai pihak. Lebih tepatnya, agar remaja panti asuhan yang memiliki konsep diri negatif bisa memiliki konsep diri yang positif, bahwa mereka sama dengan para remaja lainnya dan berhak memiliki kehidupan yang sama, maka peran pengasuh panti asuhan sebagai pengganti orangtua sangatlah penting. Sebaiknya para pengasuh tidak hanya memperhatikan kebutuhan fisiknya saja tapi juga memperhatikan kebutuhan 42 mentalnya. Coopersmith (dalam Burns, 1993) menunjukkan kondisi yang dapat menunjang tumbuhnya konsep diri yang positif, yaitu sikap penerimaan para pengasuh terhadap anak remajanya secara merata. Ditambah perlu diberlakukannya patokan atau arahan yang jelas sehingga dapat membatasi tingkah laku remaja, dan adanya penghargaan bagi remaja apabila mereka bertingkah laku sesuai dengan patokan atau arahan yang ada. Patokan atau arahan ini dapat melatih remaja untuk berlomba melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang untuk meningkatkan penghargaan, penerimaan dan tanggung jawab terhadap dirinya sehingga pada akhirnya konsep diri positif akan berlaku secara stabil dan konsisten. F. Hipotesis Berdasarkan konsep teori yang telah diuraikan sebelumnya, diajukan hipotesis yang berbunyi: “Terdapat Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Asuhan Keluarga dengan Panti Asuhan”. 43