bab ii landasan teoritis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan suatu masa dimana individu mengalami perubahan
dari masa anak-anak ke masa remaja atau usia belasan tahun. Masa remaja juga
diartikan sebagai masa dimana seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan
berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual. Menurut Sarwono (1994), masa
remaja juga dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran, karena masa remaja
merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa. Selama
masa ini seseorang mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri,
perasaan bahwa dirinya adalah manusia unik. Seseorang mulai menyadari sifat-sifat
yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya,
tujuan- tujuan yang dikejarnya dimasa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol
nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika seseorang ingin menentukan
siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apa dirinya dimasa yang akan
datang.
Berbicara mengenai remaja, selalu terkait dengan tugas-tugas perkembangan
pada masa remaja yang salah satunya adalah memperoleh perangkat nilai dan sistem
etis sebagai pegangan untuk berperilaku- mengembangkan ideologi, dimana orangtua
berperan banyak dalam perkembangan ini (Hurlock, 1999). Masih terdapat lagi tugastugas perkembangan lain yang harus dipenuhi oleh para remaja dimana orangtua juga
1
turut berperan dalam membantu remaja untuk memenuhi tugas-tugas
perkembangannya.
Selain tugas-tugas perkembangan, self concept (konsep diri) merupakan salah satu
konsep sentral dalam kehidupan remaja (Tambunan, 2001). Konsep diri merupakan
bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman, pikiran dan perasaan,
persepsi dan tingkah laku seseorang (Calhoun dan Acocella, 1990). Singkatnya
menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri adalah pandangan diri mengenai
diri sendiri.
Menurut Coulhoun dan Acocella (1990), konsep diri dapat bersifat positif
maupun negatif. Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu
kebanggaan yang besar tentang diri. Individu yang memiliki konsep diri positif akan
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, dapat mengerti dan menerima sejumlah fakta
yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, tahu betul siapa dirinya
sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, mampu menghadapi
kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah proses penemuan.
Sedangkan konsep diri negatif dibagi menjadi dua tipe; tipe pertama yakni;
pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki
perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Sedangkan tipe kedua yaitu pandangan tentang
dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik
dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak
2
mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya
merupakan cara hidup yang tepat. Konsep diri yang dimiliki individu tidak terbentuk
dengan sendirinya atau tidak langsung ada namun berkembang secara bertahap
seiring dan sejalan dengan perkembangan, pertumbuhan individu, dan juga konsep
diri ini terbentuk karena pengaruh lingkungan (Hardy & Hayes, 1988). Dalam
perkembangan konsep diri remaja sering menjadi permasalahan khusus karena pada
saat itu individu dituntut untuk mengambil keputusan mengenai dirinya dalam rangka
mengatasi berbagai pertanyaan (Hardy & Hayes, 1988). Konsep diri diperoleh dari
hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain, terutama dengan orang
tua karena merupakan kontak sosial yang paling awal yang dialami individu dan yang
paling kuat (Calhoun & Acocella, 1990).
Menurut para ahli ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri
remaja, salah satunya adalah interaksi sosial (Frey & Carlock, dalam Hurlock 1991).
Konsep diri dipengaruhi oleh interaksi individu dengan sesama atau dengan orang
yang ada di sekitarnya. Sebagian besar konsep diri adalah reaksi individu terhadap
pendapat orang lain mengenai dirinya, bagaimana cara orang lain di sekitar kita
melihat dan menilai perilaku serta semua hal yang ada dalam diri kita pada saat
berinteraksi akan membentuk konsep diri. Dalam hal ini apakah konsep diri itu positif
atau negatif tergantung penilaian yang diberikan orang lain dan juga penilaian yang
kita berikan terhadap diri sendiri.
3
Faktor lain yang mempengaruhi konsep diri adalah penerimaan dan
penghargaan dari orang-orang yang signifikan (Hurlock, 1999). Salah satu contoh
orang yang signifikan adalah orangtua. Remaja yang merasa bahwa orangtua maupun
teman-teman yang mendukung dan menerimanya akan menyebabkan remaja tersebut
menyukai dirinya. Sedangkan remaja yang merasa tidak disukai atau ditolak oleh
orang yang penting bagi dirinya akan menyebabkan remaja tersebut tidak menyukai
dirinya dan akan menyebabkan remaja tersebut memiliki konsep diri yang negatif.
Hal ini sejalan dengan pendapat Henricson dan Roker (dalam Parker, 2004) yang
berpendapat bahwa pengawasan dan dukungan dari orangtua berhubungan dengan
konsep diri yang lebih positif bagi remaja. Dalam kedudukan ini orangtua
mempunyai tanggung jawab kodrati yang sangat strategis posisinya dalam
menghadirkan situasi dan kondisi yang beriklim pendidikan.
Pengawasan, dukungan dan penerimaan dari orangtua diperlukan dalam
memberikan perkembangan yang baik bagi remaja. Melalui perbuatan-perbuatan
orangtua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan dihayati dan diapresiasi oleh
remaja menjadi dasar pembentukan kepribadiannya. Sebagai pendidikan yang
pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan menghasilkan remaja agar
mempunyai kepribadian dan nilai-nilai yang kemudian dapat dikembangkan di
masyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin dalam Gunarsa, 1996).
Seturut seperti apa yang dijelaskan oleh Coopersmith (1974) bahwa selain
penghargaan yang diterima dari orang-orang yang signifikan, faktor yang
4
mempengaruhi konsep diri seseorang adalah nilai dan inspirasi individu dalam
menginterpretasi pengalaman. Nilai-nilai yang dianut seseorang dipengaruhi oleh
orang tua dan orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, orang
tua berperan besar dalam mempengaruhi konsep diri remaja sehingga remaja
mencapai keberhasilan dalam fase hidupnya.
Namun, pencapaian tersebut tidak semua remaja ikut merasakannya, hal ini
bisa kita lihat bahwa disekeliling kita masih banyak anak-anak maupun remaja yang
terlantar dengan berbagai sebab misalnya orang tua yang meninggal sehingga anak
tidak terawat dengan baik atau orang tua yang memang menelantarkan anaknya.
Dengan banyak anak yang tidak memiliki keluarga, maka pemerintah mendirikan
suatu tempat yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, sosial
maupun kebutuhan psikologis agar mereka dapat tumbuh dan berkembang layaknya
anak yang diasuh dalam keluarga yaitu panti asuhan.
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1995), panti asuhan adalah
suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk
memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan
penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti atau
perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh
sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan
kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus
5
cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang
pembangunan nasional.
Penulis mengambil lokasi penelitian di Panti Asuhan Air Hidup Pancur Batu
yang merupakan panti asuhan yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial. Panti
asuhan Air Hidup menerima anak-anak yang terlantar dan dari keluarga yang tidak
mampu. Panti asuhan Air Hidup secara fisik berbentuk asrama. Di dalam asrama ini
terdapat 6 petugas yang bertindak sebagai bapak atau ibu pengasuh. Selain itu di
dalam asrama ini anak-anak asuh dikelompokkan dalam jumlah yang besar dan
ditempatkan pada satu ruangan dengan penempatan sesuai kelompok umur dan
dikelompokkan antara 15 sampai dengan 20 orang sedangkan jumlah pengasuh yang
mengawasi hanya 1 orang. Struktur seperti ini membuat kurang meratanya
pengawasan dan bimbingan yang diberikan kepada anak sehingga dapat menghambat
perkembangan konsep diri anak. Letak panti asuhan Air Hidup berada jauh dari
keramaian kota atau dari jalan raya dan juga sangat nyaman serta di kelilingi pohon,
di belakang panti asuhan juga terdapat sungai, namun anak-anak panti asuhan tidak
begitu bebas untuk bermain. Panti Asuhan Air Hidup juga mengedepankan
keterampilan-keterampilan kerja dan anak-anak asuhnya juga bekerja dan lebih lanjut
bekerja untuk memenuhi kebutuhan material (makan, tempat tinggal, pakaian, dan
biaya pendidikan) namun pemenuhan akan kebutuhan mental atau emosional dari
anak-anak panti belum begitu diperhatikan. Selain itu panti asuhan ini juga
menerapkan aturan dan disiplin yang ketat terhadap anak asuhanya serta pemberian
6
hukuman cenderung keras. Dari wawancara yang dilakukan kepada pengurus panti
asuhan Air Hidup mengatakan bahwa ada beberapa anak asuhan mereka memiliki
sifat yang labil yaitu tidak menerima dirinya sebagai anak yatim dan tinggal di panti.
Mereka menuntut lebih banyak diperhatikan, kurang percaya diri akan kemampuan
yang mereka miliki dan sangat malu bila diketahui sebagai anak panti bila sedang
berada di luar panti. Anak tersebut juga pernah diminta untuk mengikuti pendidikan
di luar panti, tetapi dia tidak mau dikarenakan malu dan tidak siap dengan kehidupan
di luar lingkungan panti. Hal ini penulis lanjutkan dengan mewawancarai dan
mengamati salah seorang anak panti yang berinisial PM berusia 14 tahun. PM
menjelaskan bahwa dia merasa malu, merasa tidak memilki pengharapan dalam
hidupnya dan tidak berani dengan lingkungan di luar panti. PM juga terlihat sering
menyendiri dan tidak banyak berbicara dan tidak begitu suka diatur bahkan bila
bertemu dengan orang PM sering bersikap acuh.
Hal ini menunjukkan bahwa beberapa remaja yang tinggal di panti asuhan Air
Hidup Pancur Batu memiliki ciri-ciri sebagai remaja yang memiliki kecenderungan
berkonsep diri negatif, seperti yang dikemukakan Hurlock (1999) tentang pola
konsep diri negatif yaitu seorang individu yang mengembangkan perasaan tidak
mampu, rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri negatif
remaja disebabkan oleh latarbelakang keluarga yang mereka miliki. Menurut
Coopersmith (dalam Calhoun, 1990) mengatakan bahwa anak-anak yang tidak
7
memiliki orang tua, disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam
mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab anak
yang tinggal di panti asuhan memiliki konsep diri yang negatif.
Remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya atau disia-siakan
orangtuanya pada umumnya memiliki konsep diri yang rendah. Remaja panti asuhan
merasa bahwa keberadaan mereka ditolak oleh orang banyak. Mereka juga merasa
bahwa mereka terisolasi dan selalu sendirian dan memiliki masalah dalam
berhubungan dengan orang lain (Grigsby, 2006). Ibu atau bapak pengasuh panti
asuhan yang dianggap sebagai pengganti orangtua sepertinya tidak bisa diharapkan
untuk dapat memberikan pengajaran secara mendalam mengenai bagaimana menilai
diri sendiri.
Kurangnya perhatian dan pengajaran dalam membentuk penilaian diri atau
menafsirkan mengenai diri sendiri bagi remaja penghuni panti asuhan yang meliputi
aspek-aspek fisik, aspek sosial dan aspek psikologis disebabkan karena perbandingan
yang tidak seimbang antara remaja panti yang sangat banyak jumlahnya dengan
pengasuh panti asuhan. Hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan
terhadap beberapa pengasuh panti asuhan membenarkan hal tersebut. Pengasuh panti
asuhan mengakui bahwa anak asuh panti asuhan kurang mendapatkan perhatian
karena perbandingan antara pengasuh dengan anak asuh yang sangat jauh berbeda
sehingga pengasuh kurang bisa memberikan perhatian yang mendalam terhadap anak
asuhnya.
8
Penelitian yang dilakukan oleh Goldfard (dalam Burns, 1993) menunjukkan
bahwa anak yang dibesarkan dalam suatu institusi, cenderung mengalami hambatan
dalam perkembangan kepribadiannya, misalnya cenderung untuk menarik diri dari
lingkungan dan mengalami retardasi fisik atau mental. Peran panti asuhan sendiri
hanyalah sebagai lembaga yang memberikan pelayanan pengganti dan dengan
kapasitas yang terbatas dikarenakan lebih mengutamakan pemenuhan materi anak
asuh menjadikan anak asuh tidak mendapat perhatian akan kebutuhan mental mereka.
Hal ini akan berbanding terbalik dengan yang dialami remaja yang tinggal
dengan keluarga terdekatnya, dari anggota keluarga yang ada yaitu ayah, ibu dan
saudara- saudaranya, anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual
maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari
anggota-anggota keluarganya. Sikap, pandangan dan pendapat orang tua atau anggota
keluarganya dijadikan model oleh anak dan ini kemudian menjadi sebagian dari
tingkah laku anak itu sendiri. Keberadaan figur dan peran orang tua yang jelas
membuat anak merasa adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa
pemberian rasa aman dengan menerima anak, menghargai kegiatannya dan
memberikan patokan yang jelas sehingga anak dengan sendirinya akan merasa yakin
dengan kemampuannya dan akan lebih percaya diri. Hal ini ditegaskan pula oleh
penelitian yang dilakukan Musen (dalam Burns, 1993) yang mengatakan bahwa
kehangatan dan penerimaan orang tua memiliki korelasi dengan konsep diri.
Dikatakan pula, anak-anak cenderung memiliki konsep diri yang positif bila
9
setidaknya salah satu dari orang tua mereka menunjukkan sikap penerimaan dan
kehangatan. Lagipula ketika masih kecil, orang yang penting bagi seorang anak
adalah orangtua dan saudara-saudaranya yang tinggal serumah. Merekalah yang
pertama-tama menanggapi perilaku anak, sehingga secara perlahan-lahan terbentuk
konsep diri anak. Segala sanjungan, senyuman, pujian, penerimaan dan penghargaan
yang didapat dari mereka akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri anak
tersebut yang pada akhirnya membuat dia menjadi individu yang bisa menerima
pujian dengan tanpa rasa malu. Yakin akan kemampuannya, percaya diri dan
menerima pujian dengan tanpa rasa malu termasuk konsep diri ke arah yang positif,
sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 1985)
yang menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif diantaranya yakin
akan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah, memiliki keyakinan untuk sukses,
dan bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu.
Dari uraian diatas, disimpulkan bahwa lingkungan dimana remaja dibesarkan,
dididik, diberikan bimbingan oleh orang tua serta pengalaman-pengalaman yang
dialami oleh seorang anak, semua itu akan turut berperan dalam perkembangan diri
anak, termasuk perkembangan konsep dirinya. Adanya aturan-aturan dan cara kerja
yang dimainkan panti asuhan serta aktifitas yang dilakukan remaja panti asuhan
sudah benar-benar dapat menumbuhkan konsep diri yang positif atau sebaliknya,
membuat penulis ingin meneliti permasalahan tentang konsep diri remaja baik yang
tinggal di panti asuhan maupun yang tinggal bersama keluarga terdekat, dengan
10
mengajukan judul “Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Asuhan Keluarga
Dengan Panti Asuhan Di Panti Asuhan Air Hidup Pancur Batu”.
B. Perumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan
pertayaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Dengan demikian rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Perbedaan Konsep Diri
Antara Remaja Asuhan Keluarga dengan Panti Asuhan?”.
C. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaaan konsep diri
antara remaja yang diasuh dengan keluarga dan diasuh panti asuhan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoretis, penelitian ini menambah khasanah, keilmuan psikologi
yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya, diharapkan
dapat memberi manfaat bagi perkembangan psikologi perkembangan dan
psikologi sosial. Selain itu juga, dapat menambah referensi penelitian
kualitatif.
11
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Remaja asuhan keluarga
Subjek yang saya teliti mempunyai pengetahuan tentang bagaimana
memahami konsep dirinya ke depan agar lebih baik sesuai dengan
proses perkembangannya.
b. Bagi remaja panti asuhan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan tambahan
informasi untuk mengembangkan pemahaman tentang konsep diri
yang positif.
c. Bagi Panti Asuhan
Bagi pengasuh yang bekerja di panti asuhan dapat mengetahui dan
memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi konsep diri.
Sehingga para pendidik panti asuhan memiliki bekal yang cukup
dalam mengarahkan remaja yang tinggal di panti asuhan agar memiliki
konsep diri yang positif.
d. Bagi keluarga
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi keluarga, sebagai bahan
informasi yang dapat dingunkan untuk mengetahui permasalahan
yang berhubungan dengan perkembangan remaja yang diharapkan
selanjutnya dapat mendukung tugas pekembangan.
e. Bagi Masyarakat
12
Penelitian
ini
diharapkan
bermanfaat
bagi
masyarakat
agar
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan konsep diri
remaja yang diasuh keluarga dan panti asuhan.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. KONSEP DIRI
1. Pengertian konsep diri
Cara pandang individu terhadap dirinya akan membentuk suatu konsep
tentang diri sendiri. Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan dibentuk oleh berbagai
pengalaman yang dijumpai dalam hubungannya dengan individu lainnya, terutama
dengan orang terdekat, maupun yang di dapatkan atau dialami dalam peristiwaperistiwa kehidupan.
Sejarah hidup individu dari masa lalu dapat membuat dirinya memandang
diri lebih baik atau lebih buruk dari kenyataan sebenarnya (Centi, 1993). Konsep
tentang diri merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu karena konsep diri
menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi dan dalam berbagai
hal (Calhoun dan Acocella, 1990). Konsep diri juga dianggap sebagai pemegang
peranan kunci dalam pengintegrasian kepribadian individu, di dalam memotivasi
tingkah laku serta di dalam pencapaian kesehatan mental (Burns, 1993).
13
Chaplin (2006) mendefinisikan konsep diri sebagai evaluasi individu
mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu
yang bersangkutan. Dengan kata lain konsep diri merupakan pendapat kita mengenai
diri sendiri yang terdapat dalam pikiran dan bukan dalam realitas yang konkrit.
Konsep diri mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang
ditampilkan oleh individu.
Berzonsky (1981) menyatakan bahwa konsep diri yaitu gambaran mengenai
diri seseorang, baik persepsi terhadap diri yang nyata maupun penilaian berdasarkan
harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan
moral tersebut.
Menurut Argy (Hardy & Hayes, 1988), Konsep diri (self-concept) merupakan
evaluasi terhadap domain yang spesifik dari diri. Remaja dapat membuat evaluasi diri
terhadap berbagai domain dalam hidupnya seperti akademik, atletik, kesenian, dan
lain sebagainya. Pada salah satu penelitian baru-baru ini ditemukan bahwa konsep
diri remaja yang berhubungan dengan ketertarikan fisik merupakan faktor terkuat
untuk meramalkan rasa percaya diri keseluruhan dari remaja. Banyak kondisi pada
kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada
konsep diri. Beberapa diantaranya sama dengan kondisi pada masa kanak-kanak,
tetapi banyak yang merupakan akibat dari perubahan fisik psikologis yang terjadi
selama masa remaja.
14
Konsep diri dapat dijelaskan secara umum sebagai keyakinan,pandangan atau
penilaian seorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri
negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak
dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, kurang disiplin, gagal dalam banyak hal,
malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang
dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan
dan kesempatan yang dihadapinya dan cenderung orang yang tidak mempunyai
pengharapan dalam hidupnya. Dia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan,
namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif ini akan sangat
mudah menyerah sebelum berperang, dan jika gagal akan ada dua pihak yang
disalahkan, entah menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang
lain (Hardy & Hayes, 1988).
Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih
optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, dalam
segala hal, dan juga terhadap kegagalan yang terjadi atau yang dialaminya.
Kegagalan bukan dipandang sebagai sebuah kematian, bukan dipandang sebagai
sebuah akhir dari segalanya, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan
pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif
akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif, yang dapat
dilakukan demi keberhasilan dan kebahagiaan di masa yang akan datang (Hardy &
Hayes, 1988).
15
Konsep diri menurut Hurlock (1978) merupakan gabungan dari keyakinan
yang dimiliki orang lain tentang diri individu itu sendiri-karakteristik fisik,
psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi. Konsep diri sangat erat
kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat, baik fisik maupun psikis salah
satunya di dukung oleh konsep diri yang baik dan stabil. Karena dengan adanya
konsep diri yang baik maka akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
membina hubungan interpersonal.
Bedasarkan teori diatas penulis menyimpulkan bahwa konsep diri adalah
gambaran atau persepsi individu terhadap aspek diri individu yang diperoleh dari diri
sendiri dan juga dari orang lain melalui pengalaman dan interaksi dengan orang lain.
2. Perkembangan konsep diri
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang
manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua
turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk atau
berkembang. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan
informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.
Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari
perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun
adapula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat.
16
Ketika individu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya,
tidak memiliki harapan-harapan yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian
terhadap diri sendiri (Calhoun dan Acocella,1990). Konsep diri berasal dan
berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan
individu lainnya Centi (1993). Konsep diri yang dimiliki seorang manusia tidak
terbentuk secara instan atau secara begitu cepat, seperti yang telah dijelaskan di atas
bahwa konsep diri terbentuk dengan proses belajar sepanjang hidup si manusia
tersebut. Namun seiring dengan berjalannya waktu individu mulai bisa membedakan
antara dirinya, orang lain, dan benda-benda di sekitarnya, pada akhirnya individu
mulai mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan serta dapat melakukan penilaian
terhadap dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990).
Menurut Willey (dalam Calhoun dan Acocella, 1990), dalam perkembangan
konsep diri, yang digunakan sebagai sumber pokok informasi adalah interaksi
individu dengan orang lain. Balwin dan Holmes ( dalam Calhoun dan Acocella, 1990)
juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu melalui
hubungannya dengan orang lain.
Yang dimaksud dengan “orang lain” menurut Calhoun dan Acocella (1990)
adalah:
a. Orang Tua
Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh seseorang
dan pastinya yang paling kuat. Informasi yang diberikan oleh orang lain dan
17
berlangsung hingga dewasa. Coopersmith (dalam Calhoun &Acocella, 1990)
mengatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki orang tua, disia-siakan
oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi
tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama anak
berkonsep diri negatif.
b.
Teman Sebaya
Teman sebaya menempati posisi kedua setelah orang tua dalam
mempengaruhi konsep diri. Peran yang diukur dalam kelompok sebaya sangat
berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai diri sendiri.
c. Masyarakat
Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak,
seperti siapa bapak dan ibunya, ras atau suku, dan lain-lain sehingga hal ini
sangat berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu.
3. Jenis-Jenis Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri
terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
1. Konsep Diri Positif
18
Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu
kebanggaan yang besar tentang diri. Individu yang memiliki konsep diri positif akan
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya
serta menganggap bahwa hidup adalah proses penemuan. Konsep diri positif lebih
kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri.
Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep
diri yang positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami,
dapat mengerti dan menerima sejumlah fakta yang sangat bemacam-macam tentang
dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima
keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu
yang tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan
kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang
tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas ataupun kenyataan.
2.
Konsep Diri Negatif
Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu:
a.
Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak
memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar
tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai
dalam kehidupannya.
19
b.
Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi
karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan
citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat
hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat. Individu
yang memiliki konsep diri yang negatif terdiri dari dua tipe, tipe pertama yaitu
individu yang tidak tahu siapa dirinya dan tidak mengetahui kekurangan dan
kelebihannya, sedangkan tipe kedua adalah individu yang memandang dirinya
dengan sangat teratur dan stabil, dan mengetahui persis keadaan dirinya (baik
itu kekurangan ataupun kelebihan).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang
dalam (Hurlock, 1999), seperti:
1) Pola asuh orang tua
Pola asuh orang tua seperti sudah banyak kita uraikan di atas turut menjadi
faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif
orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang
positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang
pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga
untuk dikasihani, untuk disayangi, dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan
yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.
20
Keberadaan figur dan peran orang tua yang jelas membuat anak merasa
adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa pemberian rasa aman dengan
menerima anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas
sehingga anak dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan
akan lebih percaya diri. Hal ini ditegaskan pula oleh penelitian yang dilakukan Musen
(dalam Burns, 1993) yang mengatakan bahwa kehangatan dan penerimaan orang tua
memiliki korelasi dengan konsep diri.
2) Usia kematangan
Remaja yang matang lebih awal yang diperlakukan seperti orang dewasa,
mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Remaja yang matang terlambat yang diperlakukan seperti anak kecil,
merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku
kurang dapat atau bisa menyesuaikan diri.
3) Kepatuhan seks
Kepatuhan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu remaja
mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatuhan seks membuat remaja sadar diri dan
hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya.
4) Kegagalan
Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan
kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya
21
terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak
berguna.
5) Kritik internal
Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan
seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering
berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar
keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
6) Penampilan diri
Penampilan diri yang berbeda membuat para remaja merasa rendah diri
meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik.
7) Nama dan julukan
Remaja merasa malu bila teman-teman menilai namanya buruk atau bila
mereka memberi julukan yang bernada mengejek.
8) Kreativitas
Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan
dalam tugas-tugas akademis, akan memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya.
9) Cita-cita
22
Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami
keberhasilan daripada kegagalan sehingga menimbulkan kepercayaan diri dan konsep
diri yang lebih baik.
Kemudian, Argy (dalam Hardy dan Heyes, 1988) mengatakan bahwa
perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu:
1) Reaksi dari orang lain
Cooley (dalam Hardy dan Heyes, 1988) membuktikan bahwa dengan
mengamati pencerminan perilaku diri sendiri terhadap respon yang diberikan oleh
orang lain maka individu dapat mempelajari dirinya sendiri. Orang-orang yang
memiliki arti pada diri individu (significant other) sangat berpengaruh dalam
pembentukan konsep diri.
2) Perbandingan dengan orang lain
Konsep diri yang dimiliki individu sangat tergantung kepada bagaimana cara
individu membandingkan dirinya dengan orang lain.
3) Peranan individu
Setiap individu memainkan peranan yang berbeda-beda dan pada setiap peran
tersebut individu diharapkan akan melakukan perbuatan dengan cara-cara tertentu
pula. Harapan-harapan dan pengalaman yang berkaitan dengan peran yang berbeda-
23
beda berpengaruh terhadap konsep diri seseorang. Menurut Kuhn (dalam Hardy dan
Heyes, 1988) sejalan dengan pertumbuhannya individu akan menggabungkan lebih
banyak peran kedalam konsep dirinya.
4) Identifikasi terhadap orang lain
Kalau seorang anak mengagumi seorang dewasa, maka anak seringkali
mencoba menjadi pengikut orang dewasa tersebut dengan cara meniru beberapa nilai,
keyakinan, dan perbuatan. Proses identifikasi tersebut menyebabkan individu
merasakan bahwa dirinya telah memiliki beberapa sifat dari yang dikagumi.
5. Aspek-aspek konsep diri
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seorang individu.
Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan
yang memiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang dimiliki individu
untuk dirinya sendiri serta penilaian mengenai diri sendiri (Calhoun dan Acocella,
1990) yaitu:
a.
Pengetahuan
Aspek pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang
dimiliki individu merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya
sendiri. Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas seperti usia, jenis
kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan lain-lain, dan sesuatu yang merujuk pada
istilah-istilah kualitas, seperti individu yang egois, baik hati, tenang, dan
bertemperamen tinggi. Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan
24
diri individu dengan kelompok perbandingannya. Pengetahuan bisa diperoleh
dengan membandingkan diri individu dengan kelompok pembandingnya.
Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya,
pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu tersebut
atau dengan cara mengubah kelompok pembanding.
b. Harapan
Aspek kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu mempunyai
satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set
pandangan yang lainnya lagi, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa dimasa
mendatang. Setiap individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri dan
pengharapan tersebut berbeda-beda pada setiap individu.
c. Penilaian terhadap diri sendiri.
Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari,
setiap waktu. Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu
tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi
pada dirinya. Penilaian yang dilakukan individu adalah bagaimana individu
merasa tentang dirinya sebagai pribadi yang dipikirnya.
Berdasarkan uraian ini adalah konsep diri yang dimiliki setiap individu terdiri
dari tiga aspek, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, harapan mengenai diri sendiri
dan penilaian mengenai diri sendiri. Pengetahuan adalah apa yang individu ketahui
tentang dirinya baik dari segi kualitas maupun kuantitas, pengetahuan ini bisa
25
diperoleh dengan membandingkan diri dengan kelompok pembanding dan
pengetahuan yang dimiliki individu bisa berubah-ubah. Harapan adalah apa yang
individu inginkan untuk dirinya dimasa yang akan datang dan harapan bagi setiap
orang berbeda-beda. Sedangkan penilaian adalah pengukuran yang dilakukan
individu tentang keadaan dirinya saat ini dengan apa yang menurut dirinya dapat dan
terjadi, dan juga bagaimana individu merasa terhadap dirinya sendiri.
Sedangkan menurut Berzonsky (1981) aspek-aspek konsep diri, yaitu:
1. Aspek diri fisik (physical self)
Aspek diri fisik ini meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang
dimilikinya, seperti kondisi tubuh atau kesehatan, penampilan fisik, pakaian.
2. Aspek diri psikologis (psychological self)
Aspek diri psikis meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu
terhadap dirinya sendiri; bagaimana seseorang menilai dirinya sebagai seorang
pribadi.
3. Aspek diri Sosial (sosial self)
Aspek diri sosial yaitu bagaimana peranan serta hubungan sosial yang dimiliki
individu serta penilaian orang lain terhadap peranan dan hubungan sosial tersebut.
26
Aspek sosial ini juga berkaitan dengan perbandingannya dengan orang lain, serta
penilaian diri akan sikap orang lain terhadap dirinya.
4. Aspek diri moral (moral self)
Aspek diri moral meliputi nilai dan prinsip yang member arti serta arah bagi
kehidupan seseorang, arti , moral, hubungan dengan Tuhan, perasaan menjadi
orang “baik atau berdosa”, dan kepuasaan atau ketidakpuasan terhadap agama
yang dianut.
Berdasarkan uraian diatas, penulis menggunakan pengembangan aspekaspek yang dipaparkan Berzonsky (1981) sebagai skala penelitian, dikarenakan
aspek-aspek tersebut lebih sesuai digunakan pada objek penelitian dan penjelasan
aspek-aspek lebih terperinci.
B. REMAJA
1. Pengertian Remaja
Dalam Kamus Psikologi dikemukakan pengertian Adolescence atau remaja
adalah periode antara pubertas dan kedewasaan. Remaja adalah masa transisi dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dimulai dengan masa pubertas, yaitu perubahan
fisik, organ seksual menjadi masak. Selain berubahan fisik, kapasitas intelektual,
27
sikap, emosi, minat, bakat, perhatian, kepercayaan, moral, hubungan dengan orang
tua dan juga lingkungan sekitarnya juga ikut berkembang.
Istilah adolescence dari bahasa Inggris yang dipergunakan sampai pada saat ini yang
cukup luas mencakup kematangan mental, emosional,sosial, dan fisik (Hurlock,
1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia
dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak lagi
merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam
masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan
masa puber, termasuk didalamnya juga perubahan intelektual yang mencolok,
transformasi yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai
integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa.
Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai
masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa
dewasa. Pada periode remaja terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial
mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah. Yang sangat menonjol pada periode
ini adalah kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri dimana remaja mulai
meyakini kekurangan dan kelebihannya, kemampuannya, potensi dan cita-cita
sendiri. Dengan adanya kesadaran tersebut remaja berusaha menemukan jalan
hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran,
kebijaksanaan, keindahan, kedisiplinan, kerajinan, dan keindahan. Masa adolescentia
28
dilihat sebagai masa peralihan ditinjau dari kedudukan ketergantungannya dalam
keluarga menuju ke kehidupan dengan kedudukan mandiri (Gunarsa, 2006).
2. Batasan usia remaja
Monks, dkk (1999) membagi masa remaja, yaitu masa remaja awal
berlangsung antara usia 12 sampai 15 tahun, masa remaja pertengahan berlangsung
antara usia 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir berlangsung antara usia 18
sampai 21 tahun. Batasan remaja yang diungkapkan oleh Monks, dkk (1999) tidak
jauh berbeda dengan pendapat Kartono (1990) yang membagi masa remaja menjadi
masa pra-pubertas, masa pubertas, dan masa adolesensi. Monks, dkk (1999) membagi
fase-fase masa remaja menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Remaja Awal (12 sampai 15 tahun)
Pada rentang usia ini, remaja mengalami pertumbuhan jasmani yang sangat
pesat dan juga perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat dan
kreativitas anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau
dianggap kanak-kanak lagi, namun juga belum bisa meninggalkan pola kekanakkanakannya. Selain itu pada masa ini remaja belum tau apa yang diinginkannya,
remaja sering merasa kesepian, kesunyian, tidak stabil, tidak puas, dan merasa
kecewa (Kartono, 1990).
2) Remaja Pertengahan (15 sampai 18 tahun)
29
Pada rentang usia ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan,
namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran akan kepribadian
dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan
melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka, dari perasaan
yang penuh keraguan pada usia remaja awal, pada rentang usia ini mulai timbul
kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot atau bermutu. Rasa percaya diri
pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian
terhadap tingkah laku yang telah dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja mulai
menemukan diri sendiri atau jadi dirinya (Kartono, 1990). Burns (1993) menjelaskan
bahwa konsep diri yang dimiliki remaja usia 14 sampai 18 tahun relatif stabil karena
pada usia ini tidak tampaknya gejolak dan stres.
3) Masa Remaja Akhir (18 sampai 21 tahun)
Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Dikatakan
seperti itu karena remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup
yang digariskan sendiri, dengan etika baik dan keberanian. Remaja mulai dapat
memahami kemana arah kehidupannya, dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja
sudah memiliki komitmen yang jelas, sudah mempunyai pendirian tertentu
berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya (Kartono, 1990).
30
3. Tugas - tugas perkembangan Remaja
Pada remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi atau
dijalanin. Menurut Hurlock (1999) semua tugas perkembangan pada masa remaja
dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan
mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas
perkembangan remaja itu adalah:
1) Mencapai peran sosial pria dan wanita
2) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita
3) Menerima keadaan fisiknya atau jasmaninya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif
4) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa l
ainnya
5) Bergaul dengan teman sebaya, sejenis atau lawan jenis
6) Belajar bertanggung jawab sebagai warga negara
7) Menginginkan dan mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab sosial
8) Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang secara mandiri
9) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
10) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku
dan mengembangkan ideologi, perkembangan skala nilai secara sadar.
Berdasarkan tugas-tugas perkembangan seorang remaja yang telah dijelaskan
di atas bahwa remaja diharapkan dapat memenuhi dan menjalanin sesuai dengan usia
31
dan juga tugas perkembangan, individu yang berada pada level remaja ini diharapkan
tidak melompati tugas-tugas perkembangannya, karena
apabila tugas perkembangan ini terjadi secara cepat ataupun lambat maka akan
mengganggu ke tahap perkembangan selanjutnya.
Masa remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju
masa dewasa. Pada masa remaja terdapat berbagai macam perubahan. Perubahan itu
akan melangkah dengan mantap apabila diiringi dengan tugas perkembangan yang
berjalan sesuai dengan tahapan dan usia seorang individu.
C. KELUARGA
1.
Pengertian Keluarga
Keluarga menurut Pudjigjogyanti (1988) adalah sekelompok orang yang diikat
oleh perkawinan atau darah, biasanya meliputi ayah, ibu dan anak. Menurut Yusuf
(1982), keluarga adalah kesatuan masyarakat yang paling kecil sebagai suatu
kesatuan maka ikatan didasarkan atas perkawinan dimana tiap anggota mengabdikan
dirinya kepada kepentingan dan tujuan keluarga. Menurut Meyer F. Nimkoff (dalam
Pudjigjogyanti,1988), keluarga adalah ikatan yang berlangsung lama antara suami
dan istri, dengan atau tanpa anak.
Keluarga sebagai kelompok sosial terkecil dalam masyarakat, yang terbentuk
berdasarkan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat yang terbentuk berdasarkan
pernikahan yang terdiri dari seorang suami (ayah), istri (ibu) dan anak-anak mereka
(Munandar, 1985). Keluarga tetap merupakan bagian penting bagi anak, sebab
32
anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting
selama tahun awal (Hurlock, 1999). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
keluarga adalah kelompok sosial terkecil dalam masyarakat yang terbentuk
berdasarkan ikatan yang didasarkan oleh perkawinan atau darah yang berlangsung
lama antara suami (ayah), istri (ibu), dan dengan anak-anak mereka dimana tiap
anggota mengabdikan dirinya kepada kepentingan dan tujuan keluarga.
2.
Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga (Pudjigjogyanti, 1988), yaitu :
a. Keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, tempat dimana anak
memperkembangkan dan diperkembangkan kemampuan-kemampuan dasar
yang dimilikinya, sehingga mencapai prestasi sesuai dengan kemampuan
dasar yang dimiliki dirinya dan memperlihatkan perubahan perilaku dalam
berbagai aspeknya seperti yang diharapkan atau direncanakan.
b. Keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan aspek sosial agar
bisa
menjadi
anggota
masyarakat
yang
mampu
berinteraksi
dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
D.
PANTI ASUHAN
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1995), Panti asuhan anak
adalah lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk
memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan
33
penyantunan dan pengentasan anak terlantar melalui pelayanan pengganti atau
perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh
sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan
kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian generasi cita-cita
bangsa dan sebagai insan yang turut serta aktif di dalam bidang pembangunan
nasional.
Panti asuhan anak adalah proyek pelayanan dan penyantunan terhadap anakanak yatim, piatu, yatim piatu, keluarga retak, dan anak terlantar dengan cara
memenuhi segala kebutuhan, baik berupa material maupun spiritual; meliputi:
sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan. Makmur Sunusi, Direktur Jenderal
Pelayanan Sosial dan Rehabilitasi Sosial Despos RI mengatakan dalam laporan yang
diluncurkan oleh DEPSOS RI, bersama Save the Children dan UNICEF pada tahun
2006 dan 2007 yang mana penelitian tersebut memberikan laporan komprehensif
mengenai kualitas pengasuhan di panti asuhan anak di Indonesia dan merangkum
assessment mendalam dari 37 panti asuhan yang tersebar di 6 provinsi lengkap
dengan analisis hukum dan kebijakan dalam konteks penyelenggaraan panti asuhan
(Nawir, 2008).
Dijelaskan bahwa jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan
antara 5000 s.d 8000 yang mengasuh sampai setengah juta anak, ini yang
kemungkinan merupakan jumlah panti asuhan terbesar di seluruh dunia. Di
34
Kotamadya Medan sudah terdapat 17 panti asuhan yang terdaftar di Dinas Sosial
Medan dan diperkirakan masih banyak lagi panti asuhan yang telah didirikan namun
belum terdaftar. Pemerintah Indonesia sendiri hanya memiliki dan menyelenggarakan
sedikit dari panti asuhan tersebut, lebih dari 99% panti asuhan diselenggarakan oleh
masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Penelitian ini memberikan potret
mendalam tentang situasi anak-anak dan pengasuhan yang mereka dapatkan di panti
asuhan, (dalam Nawir, 2008). Penelitian tersebut juga menemukan bahwa, tidak
seperti asumsi luas yang ada, hanya ada persentasi yang sangat kecil untuk anak-anak
di panti asuhan yang benar-benar yatim piatu (6%) dan 90% diantaranya memiliki
salah satu atau kedua orangtua. Kebanyakan anak-anak ditempatkan di panti asuhan
oleh keluarganya yang mengalami kesulitan ekonomi dan juga secara sosial dalam
konteks tertentu, dengan tujuan untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan
pendidikan.
Kenyataannya, banyak panti asuhan tidak memberikan “pengasuhan” sama
sekali, melainkan menyediakan akses pendidikan. Secara eksplisit, hal ini tertera
dalam pendekatan pengasuhan, pelayanan yang diberikan, dan sumber daya yang
diberikan oleh panti asuhan. Hampir tidak ada assessment tentang adanya kebutuhan
pengasuhan anak-anak baik sebelum, selama, maupun selepas mereka meninggalkan
panti asuhan.
35
Kriteria seleksi anak-anak dan praktek rekrutmen sangat mirip di hampir
semua panti asuhan yang diakses dan mereka fokus kepada anak-anak usia sekolah,
keluarga miskin, keluarga yang kurang beruntung dan yang terlalu tua untuk
mengasuh sendiri, (dalam Nawir, 2008). Dari hasil penelitian itu juga disimpulkan,
bahwa pengasuhan di panti asuhan sangat kurang. Hampir semua fokus ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari
sementara kebutuhan emosional dan pertumbuhan anak-anak tidak dipertimbangkan.
Sekali anak-anak memasuki panti asuhan, mereka diharapkan untuk tinggal disana
sampai lulus dari SMA kecuali mereka melanggar peraturan atau tidak berprestasi di
sekolah. Disejumlah panti asuhan yang disurvei, anak-anak bekerja dan lebih lanjut
dilakukan untuk mendukung ekonomi panti asuhan. Hal ini mendatangkan pertanyaan
serius tentang apakah keberadaan panti asuhan ini diselenggarakan untuk anak-anak
atau oleh anak-anak serta memunculkan pertanyaan serius, tidak hanya segi etik dan
praktek professional dan penghargaan terhadap hak-hak anak, (dalam Nawir, 2008)
2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Asuhan
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1995) tujuan penyelenggaraan panti
asuhan yaitu:
1. Tersedianya pelayanan kepada anak dengan cara membantu membimbing
anak agar menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh
tanggung jawab, baik terhadap dirinya, keluarga maupun masyarakat.
36
2. Terpenuhinya kebutuhan anak akan kelangsungan hidup, untuk tumbuh
kembang dan memperoleh perlindungan, antara lain dengan menghindarkan
anak dari kemungkinan ketelantaran pertumbuhan dan perkembangan
jasmani, rohani, sosialnya sehingga memungkinkannya untuk tumbuh
kembang secara wajar.
3. Terbantunya anak dalam mempersiapkan pengembangan potensi dan
kemampuannya secara memadai dalam rangka memberikan bekal untuk
kehidupan dan penghidupannya dimasa depan.
3. Fungsi Panti Asuhan
1. Sebagai pusat pelayanan kesejahteraan anak
2. Sebagai pusat informasi dan konsentrasi kesejahteraan anak
3. Sebagai pusat pengembangan kepribadian
4.
Kehidupan anak panti asuhan
Panti
asuhan
sebagai
pengganti
keluarga,
mereka
yang
tidak
memilikikeluarga lagi atau karena orang tuanya meninggal dunia. Mereka yang
tinggal di panti asuhan berasal dari latar belakang yang berbeda serta usia yang
berbeda-beda. Di dalam panti asuhan, anak diasuh secara masal. Sebagai akibat
dari pengasuhan secara masal tersebut adalah:
1.
Anak kurang memperoleh kasih sayang, perhatian dan pengawasan.
2. Anak kurang memperoleh kesempatan melihat sendiri berbagai model dari
orang tua atau orang dewasa lainnya.
37
3. Anak kurang mempunyai kesempatan untuk berhubungan dengan orang tua
yang dapat dijadikan identifikasi dalam pemahaman terhadap dirinya sendiri.
4. Pengasuh di panti asuhan biasanya kurang dapat berperan sebagai orang tua
atau keluarga pengganti dalam menggantikan fungsi keluarga.
E. Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Asuhan Keluarga Dengan Panti
Asuhan
Konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek
pengalaman, pikiran dan perasaan, persepsi dan tingkah laku seseorang (Calhoun dan
Acocella, 1990). Singkatnya menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri
adalah pandangan diri mengenai diri sendiri. Sementara itu, menurut Hurlock (1978)
konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang lain tentang diri
individu itu sendiri-karakteristik fisik, psikologis, sosial, dan emosional, aspirasi dan
prestasi. Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi
dengan orang lain dan juga lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan objek, tujuan serta keinginan.
Menurut Willey (dalam Calhoun dan Acocella, 1990), dalam perkembangan
konsep diri, yang digunakan sebagai sumber pokok informasi adalah interaksi
individu dengan orang lain. Balwin dan Holmes (dalam Calhoun dan Acocella, 1990)
juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu melalui
hubungannya dengan orang lain. Yang dimaksud dengan “orang lain” menurut
Calhoun dan Acocella (1990) adalah orangtua, teman sebaya, dan masyarakat.
38
Melalui perbuatan-perbuatan orangtua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan
dihayati dan diapresiasi oleh remaja menjadi dasar pembentukan kepribadiannya.
Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan
menghasilkan remaja agar mempunyai kepribadian dan nilai-nilai yang kemudian
dapat dikembangkan di masyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin dalam
Gunarsa, 1996).
Namun, pencapaian tersebut tidak semua remaja ikut merasakannya, hal ini
bisa kita lihat bahwa disekeliling kita masih banyak anak-anak maupun remaja yang
terlantar dengan berbagai sebab misalnya orang tua yang meninggal sehingga anak
tidak terawat dengan baik atau orang tua yang memang menelantarkan anaknya.
Dengan banyak anak yang tidak memiliki keluarga, maka pemerintah mendirikan
suatu tempat yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial
agar mereka dapat tumbuh dan berkembang layaknya anak yang diasuh dalam
keluarga yaitu panti asuhan.
Walaupun esensi dari panti asuhan adalah menggantikan yang hilang dari
orang tua melalui para pengasuh tetapi kenyataan ini sering sulit dicapai secara
memuaskan. Berdasarkan hasil penelitian Save The Children yang bekerja sama
dengan Departemen Sosial yang dilakukan pada tahun 2006 dan 2007 menemukan
beberapa fakta mengenai kondisi panti asuhan yaitu adanya kondisi-kondisi khusus
seperti kurangnya perhatian pengasuh, kurangnya fasilitas fisik, terlalu ketatnya
disiplin dan aturan yang dijalankan serta terfokus pada pemenuhan material (makan,
39
tempat tinggal, keterampilan kerja, dan biaya pendidikan) tanpa memperhatikan
kebutuhan emosional dan perkembangan psikososial si anak asuh (Pedoman
Pelayanan Kesejahteraan Anak Melalui PSAA, 2000).
Selain itu label yang muncul ditengah lingkungan sosial bahwa anak-anak
panti asuhan sebagai anak yang perlu dikasihani menjadikan mereka merasa tidak
disenangi oleh lingkungan dan cenderung menutup diri. Mereka juga tidak memiliki
kepercayaan diri untuk bisa bersosialisasi dan bersaing/berkompetisi dengan orang
lain. Akibatnya, dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan sekitarnya
memungkinkan remaja tersebut cenderung menampakkan sikap pendiam, pasif,
kurang responsif terhadap orang lain dan merasa rendah diri, sehingga cenderung
menarik diri dan lebih bersikap defensif dalam pergaulan (Pedoman Pelayanan
Kesejahteraan Anak Melalui PSAA, 2000).
Menurut Coulhoun dan Acocella (1990), konsep diri dapat bersifat positif
maupun negatif. Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu
kebanggaan yang besar tentang diri. Individu yang memiliki konsep diri positif akan
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, dapat mengerti dan menerima sejumlah fakta
yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, tahu betul siapa dirinya
sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, mampu menghadapi
kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah proses penemuan.
Sedangkan konsep diri negatif dibagi menjadi dua tipe; tipe pertama yakni;
40
pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki
perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Sedangkan tipe kedua yaitu pandangan tentang
dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik
dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak
mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya
merupakan cara hidup yang tepat.
Hal ini akan berbanding terbalik dengan yang dialami remaja yang tinggal
dengan keluarga terdekatnya, dari anggota keluarga yang ada yaitu ayah, ibu dan
saudara-saudaranya, anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual
maupun sosial. Keberadaan figur dan peran orang tua yang jelas membuat anak
merasa adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa pemberian rasa aman
dengan menerima anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas
sehingga anak dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan
akan lebih percaya diri.
Hal ini ditegaskan pula oleh penelitian yang dilakukan Musen (dalam Burns,
1993) yang mengatakan bahwa kehangatan dan penerimaan orang tua memiliki
korelasi dengan konsep diri. Segala sanjungan, senyuman, pujian, penerimaan dan
penghargaan yang didapat dari mereka akan menyebabkan penilaian positif terhadap
diri anak tersebut yang pada akhirnya membuat dia menjadi individu yang bisa
menerima pujian dengan tanpa rasa malu. Yakin akan kemampuannya, percaya diri
dan menerima pujian dengan tanpa rasa malu termasuk konsep diri ke arah yang
41
positif, sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Brooks dan Emmert (dalam
Rakhmat, 1985) yang menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif
diantaranya yakin akan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah, memiliki
keyakinan untuk sukses, dan bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu.
Remaja yang memiliki konsep diri yang negatif memandang diri baik dari
segi internal maupun eksternalnya benar-benar tidak teratur dimana mereka tidak
memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Dalam artian, individu dengan
konsep diri yang negatif, benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan
kelemahannya, atau apa yang ia hargai dalam hidupnya. Menurut Erikson (dalam
Calhoun, 1990) kondisi ini umum dan normal diantara banyak para remaja. Konsep
diri para remaja kerap kali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan ini
terjadi pada saat transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Dengan kata lain,
tidak menutup kemungkinan sejalan dengan berlalunya waktu konsep diri negatif
yang dimiliki oleh remaja akan berkembang dan berganti menjadi konsep diri yang
cenderung positif apabila mendapat perhatian dan dukungan positif dari berbagai
pihak.
Lebih tepatnya, agar remaja panti asuhan yang memiliki konsep diri negatif
bisa memiliki konsep diri yang positif, bahwa mereka sama dengan para remaja
lainnya dan berhak memiliki kehidupan yang sama, maka peran pengasuh panti
asuhan sebagai pengganti orangtua sangatlah penting. Sebaiknya para pengasuh tidak
hanya memperhatikan kebutuhan fisiknya saja tapi juga memperhatikan kebutuhan
42
mentalnya. Coopersmith (dalam Burns, 1993) menunjukkan kondisi yang dapat
menunjang tumbuhnya konsep diri yang positif, yaitu sikap penerimaan para
pengasuh terhadap anak remajanya secara merata. Ditambah perlu diberlakukannya
patokan atau arahan yang jelas sehingga dapat membatasi tingkah laku remaja, dan
adanya penghargaan bagi remaja apabila mereka bertingkah laku sesuai dengan
patokan atau arahan yang ada. Patokan atau arahan ini dapat melatih remaja untuk
berlomba melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang untuk meningkatkan
penghargaan, penerimaan dan tanggung jawab terhadap dirinya sehingga pada
akhirnya konsep diri positif akan berlaku secara stabil dan konsisten.
F. Hipotesis
Berdasarkan konsep teori yang telah diuraikan sebelumnya, diajukan hipotesis
yang berbunyi: “Terdapat Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Asuhan
Keluarga dengan Panti Asuhan”.
43
Download