Rilis 25 Maret 2015 Seknas FITRA Menolak Dana Bansos DPR

advertisement
Rilis 25 Maret 2015
Seknas FITRA
Menolak Dana Bansos DPR !
Pekerjaan Rumah DPR Masih Banyak :
Prolegnas Prioritas Tahun 2015 Fase Kritis Kebijakan Fiskal !
Setelah masa reses, saat ini sidang kembali dibuka oleh DPR. Alih-alih memperjuangan aspirasi
dari dapil, DPR justru memperjuangkan nasibnya sendiri atas nama kepentingan rakyat dengan
kembali mengusung dana aspirasi yang hanya berubah nama dari periode sebelumnya yaitu
dana pembangunan dapil. Arsul Sani anggota DPR malah menyebut ini layaknya Dana Bansos
DPR (rawan korupsi). Naifnya, aspirasi masyarakat justru ditafsirkan secara melenceng seolaholah dapil hanya membutuhkan anggaran dari APBN. Padahal, tindak lanjut aspirasi tidak melulu
masalah uang, tapi akses informasi, akses kebijakan publik pendidikan dan kesehatan bagi
masyarakat misalnya itu jauh lebih penting. Pada posisi inilah, check and balance antara DPR dan
Pemerintah diuji.
Rencananya, dalam masa sidang kedua ini, DPR akan memperjuangkan dana aspirasi senilai Rp.
3-10 Miliar perorang setiap tahun. Artinya, jika diasumsikan nilai tertinggi Rp.10 M x 560 orang
maka akan menyedot anggaran APBN senilai Rp. 5,6 Triliun pertahun. Dan total Rp. 28 Triliun
dalam satu periode 2014-2019. Sungguh angka yang tinggi dibandingkan dengan alokasi
cadangan krisis pangan di APBN P 2015 hanya kurang dari Rp. 1 triliun. Untuk memuluskan hal
tersebut, DPR saat ini telah belajar dari tahun 2010 dimana dana aspirasi banyak ditolak oleh
masyarakat.
Untuk periode saat ini, rakyat kecolongan dengan tiga langkah DPR. Yaitu, pertama DPR secara
diam diam telah memasukan dasar hukum hak DPR untuk “ mengusulkan dan
memperjuangkan pembangunan daerah pemilihan” pada pasal 80 huruf (j) dalam UU MD3
No. 17 Tahun 2014. Point ini sebenarnya tidak masuk usulan dalam draf RUU MD3 tersebut.
Mungkin politisi-politisi tersebut telah dengan sengaja mengingkari masyarakat dengan
memasukan point tersebut secara diam diam agar tidak terjadi penolakan.
Kedua, DPR ternyata telah membuat mekanisme menampung usulan memperjuangkan
pembangunan dapil dalam setiap akhir rapat paripurna. Untuk bulan Januari 2015 saja, sudah
ada usulan 20-30 dari anggota dewan. Parahnya, usulan tersebut selalu diasumsikan dengan
keterbutuhan dana untuk dapil.
Ketiga, ternyata DPR telah mengalokasikan dana rumah aspirasi dalam APBN 2015. Pada tahun
ini saja, DPR mengelola uang senilai Rp. 5,192 Triliun. Dimana, Rp. 1,625 triliun dialokasikan
pada APBNP 2015 untuk membiayai rumah aspirasi di dapil. Dengan anggaran tersebut, setiap
anggota DPR mendapatkan alokasi Rp. 150 juta pertahun atau Rp.12,5 juta perbulan untuk
membiayai rumah aspirasi. Untuk reses pertama ini, anggaran tersebut akan dicairkan bulan
April 2015 senilai Rp. 83 Miliar rupiah.
Anggaran untuk dapil ini terkesan tumpah tindih, karena setiap bulan sudah melekat dalam
tunjangan DPR untuk kepentingan masyarakat sebesar Rp. 40.140.000 per anggota dewan. Total:
Rp. 2.240.000.000 seluruh anggota DPR/bulan. Yang terdiri dari : 1) Uang Pulsa Anggota DPR,
Rp. 14.140.000 perbulan. 2). Uang Tunjangan Menyerap Aspirasi masyarakat Rp. 8.500.000. 3)
Uang Tunjangan Peningkatan Legislasi, Anggaran dan Pengawasan Rp. 15.000.000 dan 4) Uang
Pengawasan dan Anggaran (Dobel anggaran) Rp. 2.500.000.
Sejak tahun 2010 saat wacana dana aspirasi ini digulirkan hingga saat ini dengan wacana
anggota DPR akan mendapatkan Rp. 3-10 M pertahun sikap FITRA tetap yaitu : menolak tegas
alokasi dana aspirasi. Penolakan tersebut dengan 9 alasan sebagai berikut :
1. Dana aspirasi tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Secara UU dana aspirasi
ini tidak masuk dalam sistem penganggaran keuangan Negara di Indonesia, khususnya
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 12 ayat (2) dalam UU tersebut
menyatakan RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, tidak
berdasarkan daerah pemilihan, oleh karena DPR tidak memiliki instrumen perencanaan
yang merupakan domain pemerintah. Argumen DPR dengan memasukan huruf (j)
dalam pasal 80 UU MD3 Tahun 2014 tidak berdasar, lemah dan cenderung akal-akalan.
Pasal karet ini multitafsir tapi yang pasti, tidak serta merta penyaluran aspirasi dapil
harus bersifat uang atau dana anggaran dari APBN.
2. DPR tidak memiliki hak menggunakan anggaran (Budget). DPR selama ini salah
kaprah menyatakan memiliki hak budget. Baik kosntitusi maupun UU N0 17 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPR tidak mengenal adanya hak budget bagi DPR. DPR
hanya memiliki fungsi anggaran sebagaimana pasal 70 ayat (2) yang menyatakan, fungsi
anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden. Jadi tidak ada hak
DPR untuk memintah jatah alokasi anggaran dana aspirasi. Fungsi anggaran DPR
seharusnya ditujukan agar RAPBN yang diajukan Pemerintah mencapai tujuan
bernegara.
3. Dana aspirasi bertolak belakang dengan sistem perencanaan penganggaran. Di
Indonesia, Sistem Perencanaan Penganggaran menggunakan pendekatan level
Pemerintahan mulai dari Kab/kota, Propinsi hingga Pusat. Sementara dana aspirasi
membuat aturan sendiri dengan mempergunakan pendekatan daerah pemilihan yang
tidak identik dengan sistem pemerintahan. Alokasi dipukul rata setiap dapil, padahal
daerah dapil tentu memiliki masalah dan prioritas berbeda-beda. Sehingga indicator
ekonomi, angka kemiskinan, penganggutan dan tujuan pembangunan diabaikan.
4. Dana aspirasi tidak mempunyai tujuan yang jelas dan tidak sesuai dengan
pendekatan anggaran berbasis fungsi dan kinerja. Sesungguhnya dampak atau
tujuan ayng akan dihasilkan dari dana aspirasi ini tidak jelas terkait dengan fungsi dan
tujuan pembangunannya. Orientasi yang ada lebih kental kepentingan politik
dibandingkan mensukseskan kinerja pemerintah daerah untuk meningkatkan
pelayanan publik. Hal ini melanggar prinsip kinerja sesuai dengan UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
5. Dana aspirasi memperparah sistem dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Saat ini, mekanisme dana perimbangan sesuai UU No.33 tahun 2004 masih
banyak kelemahan terkait dengan alokasi yang belum adil sesuai dengan kebutuhan dan
prioritas daerah. Sehingga tujuan pemerataan pembangunan daerah belum tercapai.
Ketimpangan antar daerah masih terjalin. Hal ini akan semakin parah dengan adanya
dana aspirasi karena justru akan semakin menambah keruwetan sistem keuangan yang
belum efisien.
6. Potensi korupsi dana aspirasi lebih tinggi dibangingkan dengan dana hibah dan
bansos. Dana Bansos dan Hibah telah dihapuskan oleh pemerintah karena telah
memakan banyak korban, dimana ratusan kepala daerah dan politisi (kurang lebih 500
orang) telah masuk bui karena korupsi dana tersebut. Dana tersebut menjadi sarana
mudah korupsi karena petunjuk teknis yang dibuat pemerintah (Permendagri Dana
Bansos dan Hibah) masih banyak celah sehingga biasanya alokasi hanya untuk
kepentingan politik dan minim akuntabilitas. Nah, dana aspirasi selain tidak punya
payung hukum, petunjuk teknisnya juga tidak mungkin ada, sehingga peluang
korupsinya jauh lebih tinggi dan bisa jadi semua anggota parlemen terjerat korupsi
merugikan keuangan Negara.
7. DPR belum mempunyai mekanisme pelembagaan akuntabilitas.
Selama ini, publik tidak pernah melihat secara kelembagaan pertanggungjawaban setiap
anggota dewan dalam pengelolaan dana reses. Setjen DPR pun terkesan sudah angkat
tangan karena sebagian besar anggota DPR belum transparan dan akuntabel dalam
penggunaan uang Negara. Apalagi terkait dengan dana untuk kunjungan keluar negeri.
Sehingga, karena tata kelola belum menjamin, maka setiap anggota DPR bahkan secara
kelembagaan diyaniki tidak akan siap mengelola dana aspirasi yang besar.
8. Dana aspirasi memiskinkan rakyat. Dana aspirasi merupakan bentuk politik
anggaran DPR yang mementingkan diri sendiri dibandingkan dengan kepentingan
masyarakat. Dengan adanya dana aspirasi justru semakin memperdalam jurang
kesenjangan kemiskinan antar daerah. Sebagai contoh, DKI Jakarta dengan angka
kemiskinan terendah 3,27 % mendapat dana aspirasi Rp. 70 M (dari 7 Anggota DPR
dapil Jakarta). Bahkan sebenarnya, DKI Jakarta sudah tidak mendapatkan DAK dan DAU
karena keuampuan keuangan yang kuat. Sedangkan untuk Maluku dengan angka
kemiskinan 18, 44 persen hanya mendapat dana aspirasi Rp. 40 M (dari 4 anggota DPR).
9. Dana aspirasi disinyalir sebagai upaya balas budi konstituen dan mengembalikan
dana kampanye pemilu 2014 yang mahal. Sikap ambisi DPR dalam merealisasikan
dana aspirasi disinyalir sebagai bentuk upaya politik untuk segera melunasi hutang
kepada dapil. Atau bahkan, dengan dana aspirasi yang akan dialokasikan melalui APBNP
2015 atau 2016, kemungkinan menjadi upaya pengembalian dana kampanye. Uang yang
turun ke dapil biasanya akan disunat, hal ini karena tujuan penerima tidak jelas.
Masyarakat dapil sangat cair dengan basis konstituen yang tidak terdata dengan baik
dan biasanya bersifat kultural satu partai, satu keluarga dan satu komunitas dengan
anggota DPR. Sehingga, dana aspirasi justru berpotensi semakin menyuburkan mafia
anggaran dan menarik para calo anggaran daerah untuk mengakses dana hingga
Senayan untuk proyek tertentu.
Untuk itu dengan Sembilan alasan diatas, FITRA menuntut DPR segera membatalkan rencana
dana alokasi senilai Rp. 5,6 Triliun pertahun. Lebih baik DPR fokus pada pekerjaan yang belum
selesai dan berlarut setiap tahunya, misalnya dalam hal legislasi.
Dalam prolegnas prioritas 2015 ada beberapa RUU yang sebenarnya penting namun tidak
masuk. Yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang masih banyak celah
pemborosan anggaran dan sistem keuangan yang belum sesuai dengan kosntitusi. Kedua, UU
Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004 yang masih mempunyai celah terkait dengan
pengelolaan kekayaan Negara.
Disisi lain, daftar Prolegnas Prioritas 2015 yang juga perlu dikawal substansinya karena menjadi
titik kritis keuangan Negara. Karena menurut FITRA jika tidak dikawal, beberapa prolegnas
dibawah ini justru akan didesain mengarah kepada sistem keuangan Negara yang sentralistik,
menghilangkan prinsip otonomi daerah dan mengkapitalisasi Negara untuk kepentingan elit,
asing dan penjajahan neoliberal :
No
Prolegnas Prioritas 2015
Keuangan Pusat dan Daerah
1
RUU Tentang Perubahan atas UU No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah
Pengusul
Catatan Kritis
DPR
Komisi II
Berdasarkan riset FITRA, UU Ini belum
menjawab pemerataan pembangunan
daerah. Justru celah yang ada semakin
memperdalam jurang kesenjangan daerah.
2
RUU tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
DPR
Komisi II
3
RUU tentang Peningkatan Pendapatan
Asli Daerah
DPR
F-PAN
4
RUU Tentang Perubahan Atas UU
Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Kementrian
Keuangan
Kekhawatiran saat ini, desain revisi ini
akan cenderung sentralistik. Hal ini
tercermin dari alokasi DAK dan DAU dari
APBNP 2015 yang penggunaannya lebih
besar oleh Kementrian. Alokasi dana desa
juga kemungkinan akan diperkecil dari
perhitungan baru UU ini.
Dalam UU Ini, otonomi daerah semakin
kabur karena kewenangan perijinan dan
distribusi keuangan pusat menjadi domain
provinsi, bukan kab/kota.
UU baru ini disinyalir akan memposisikan
daerah untuk mengejar target pendapatan
daerah sehingga setoran ke pemerintah
pusat akan semakin tinggi dan menaikkan
pendapatan Negara.
UU ini disinyalir akan memperkecil ruang
kewajiban deviden BUMN dalam bentuk
pendapatan PNBP. Hal ini sesuai dengan
5
RUU Tentang Perubahan Kelima atas
UU No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Kementrian
Keuangan
Tanah dan Sumber Daya Alam (Pendapatan Negara)
6
RUU tentang Perubahan Atas UU No.
Komisi VII
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
DPD dan
Gas Bumi
Kementrian
ESDM
7
RUU tentang Perubahan atas UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
Komisi VII
8
RUU tentang Pertanahan
DPR
Perbankan (Keuangan Negara)
9
RUU tentang Perubahan kedua atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
Komisi XI
Kementrian
Keuangan
10
RUU tentang perubahan kedua atas uu
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
Komisi XI
11
RUU tentang Penjaminan
DPR F-PG
12
RUU Tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (JPSK)
Kementrian
Keuangan
niat Presiden Jokowi. Disisi lain,
pendapatan PNBP akan banyak menyasar
objek ekonomi kecil dan menengah,
seperti nelayan, pedagang dan bidang
usaha UMKM.
UU ini menjadi belum mampu menyentuh
kewajiban wajib pajak konglomerat dan
capital besar dan asing. Tetapi disinyalir
akan lebih banyak mengambil pajak dari
masyarakat menengah kebawah.
Disinyalir UU ini akan mempermudah
capital asing untuk berinvestasi dan
mengelola Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia. Sebaliknya, pendapatan bukan
pajak dari SDA ini cenderung tidak akan
dioptimalkan oleh daerah, namun oleh
pemerintah pusat.
Disinyalir UU ini juga akan memberi ruang
besar bagi pemodal untuk mengelola SDA
tambang dan pemurnian (smelter) secara
swasta.
Disinyalir UU ini akan memberi
keleluasaan
investor
asing
dalam
kepemilikan tanah di Indonesia. Namun
sebaliknya, hak hak petani dalam hal
pengelolaan
agrarian
nampaknya
diabaikan.
Dikhawatirkan,
UU
ini
akan
mempermudah kepemilikan bank asing di
Indonesia. Liberalisasi perbankan akan
semakin dilegalkan, namun perlindungan
terhadap perbankan BUMN kurang
diperhatikan.
Dikhawatirkan, kewenangan BI akan
ditambah terkait dengan pengelolaan
moneter dan perbankan. Hal ini karena
sebelumya BI telah mendapatkan saingan
lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yang cukup sentral dalam mengawasi
sistem keuangan nasional dan mengambil
beberapa kewenangan BI sebelumnya.
UU ini disinyalir akan menjadikan APBN
dan kuangan Negara untuk jaminan
keberlangsungan usaha atau proyek
pemerintah. Padahal, APBN dan anggaran
Negara saat ini sangat terbatas.
UU Ini dikawatirkan akan membaut sistem
yang fleksibel dalam pengamanan sistem
keuangan terutama saat krisis ekonomi
dengan jaminan APBN. Sehingga,
kebijakan penanganan krisis yang
cenderung sering dijadikan lahan korupsi,
seperti BLBI dan Century kedepan
kebijakan tersebut akan sulit dipidanakan.
Prolegnas Prioritas 2015 dari Sekjen DPR diolah.
Dengan beberapa kekhawatiran atas proses legislasi diatas, maka FITRA akan terus mengawal 12
Pembahasan Prolegnas diatas agar jangan sampai keuangan Negara, desentralisasi fiskal dan
moneter kita lebih mengarah pada sistem sentralistik dan cenderung liberal. Oleh karena itu,
FITRA menuntut DPR agar selalu berpegang teguh pada konstitusional Pancasila dan UUD 1945
sebagai dasar pembuatan legislasi, sehingga kebijakan yang dihasilkan berorientasi kepada
kesejahteraan rakyat dan tidak menjual Negara ini kepada asing atau kepentingan kelompok
politik tertentu.
Demikian,
Ttd
Yenny Sucipto 081333111446
Apung Widadi 085293939999
Download