BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konstruksi Hukum Hak Pemberhentian/Pergantian Antar Waktu oleh Partai Politik dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menggantikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak banyak diubah mengenai ketentuan hak recall di dalamnya. Dalam Pasal 239 ayat (1). Sedangkan, hal-hal yang menyebabkan anggota DPR diberhentikan diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 239 ayat (2) yang menyatakan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, hak recall oleh partai politik juga kembali diatur dalam Undang-Undang tentang Partai Politik tepatnya pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Mekanisme pemberhentian antar waktu (recall) Anggota DPR yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan oleh pimpinan partai politiknya (Pasal 214) atau oleh Badan Kehormatan DPR (Pasal 215). Sedangkan dalam UU No. 17 Tahun 2014, diusulkan oleh pimpinan partai politiknya diatur dalam Pasal 240 dan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam Pasal 147. 76 77 2. Kesesuaian Pelanggaran AD/ART sebagai Dasar dilaksanakannya Pemberhentian Antar Waktu oleh Partai Politik dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak recall oleh partai politik dinilai telah menggeser dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. Hal tersebut bertentangan konstitusi. Dan jika alasan yang diajukan partai politik untuk mengusulkan penarikan anggotanya dari DPR berupa pelanggaran AD/ART Partai Politik, tidak dapat dibenarkan sertamerta tanpa melalui due process of law. Terlebih lagi dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa, “AD dan ART Partai Politik dapat diubah sesuai dengan dinamika Partai Politik” yang tambah menimbulkan ketidakpastian hukum didalamnya. Selain itu pelanggaran AD/ART partai politik yang dijadikan dasar alasan untuk dilakukan recall terhadap anggota DPR juga dinilai telah membiarkan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk) mengesampingkan hukum publik dalam masalah konstitusional hubungan antara wakil rakyat, rakyat pemilih, dan dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Setelah dilakukan analisis mengenai recall oleh partai politik sampai saat ini di tahun 2016, telah terbukti ada 40 (empat puluh) anggota DPR yang pernah diusulkan recall oleh partai politik dan disetujui recall oleh pimpinan DPR terhitung sejak tahun 1977 s.d. 2016. Hak recall dapat dikatakan menjadi momok yang menakutkan bagi anggota DPR. Juga telah dilakukan analisis mengenai hak recall dengan menggunakan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang termasuk dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa hak recall tidak sesuai dengan prinsip kebebasan, prinsip persamaan atau kesetaraan, prinsip suara mayoritas, dan prinsip 78 pertanggungjawaban sebagaimana ketentuan dari masing-masing prinsip telah tercermin dalam beberapa pasal di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hak recall yang dimiliki oleh partai politik dengan dasar pelanggaran AD/ART tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. B. Saran Saran yang dapat Penulis berikan untuk pemerintah, partai politik, dan seluruh masyarakat sebagai pihak yang memiliki hak dan kewajiban sebagai Warga Negara Indonesia, diantaranya: 1. Pengaturan hak recall oleh partai politik perlu disempurnakan kembali, dengan mempertimbangkan kembali pelanggaran AD/ART partai politik sebagai dasar dilakukanya recall/ pemberhentian antar waktu oleh partai politik kepada anggotanya yang duduk di kursi DPR yang dinilai telah menempatkan hukum privat diatas hukum publik yang telah dijamin oleh konstitusi dan dalam hal usulan recall oleh partai politik bagi anggota DPR yng dikarenakan pelanggaran AD/ART, maka untuk memutuskan sah atau tidaknya recall ditentukan oleh putusan pengadilan. 2. Penulis menyarankan adanya partisipasi dari konstituen (pemilih) dengan jalan Constituent/Partisipative Recall dalam mekanisme recall terhadap anggota DPR. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan atau hak kepada konstituen untuk mengusulkan recall kepada anggota DPR yang melakukan pelanggaran hukum/ dinilai sudah tidak layak. Yang dapat dilakukan dengan cara impeachment atau pemakzulan dengan prosedur atau mekanisme untuk melaksanakan Pemilu ulang dengan content atau isi pemilu tersebut adalah recall atau tidak terhadap anggota parlemen yang dianggap tidak cakap lagi menjalankan tugasnya yang dapat dilaksanakan 79 dengan mengumpulkan tanda tangan pemilih, fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan disesuaikan dengan bilangan pembagi pemilih. Solusi yang pertama adalah menggunakan alat kelengkapan parlemen, yakni Badan Kehormatan. Hal tersebut dapat diaplikasikan di Indonesia sesuai dengan pertimbangan dan penilaian yang dianggap layak. Anggota DPR adalah bentuk political representation atau representasi politik, yang berbeda dengan anggota DPD yang merupakan regional representation atau representasi daerah, sehingga recall anggota DPR harus dilandaskan pada mekanisme yang tepat, jelas berdasarkan pertimbangan dan parameter yang tidak multitafsir yang terlebih utama tidak mengabaikan nilai-nilai kedaulatan rakyat. 3. Dalam hal pemberhentian anggota DPR dikarenakan adanya pelanggaran hukum maupun pelanggaran kode etik anggota DPR, maka dalam proses pengambilan keputusan mengenai pemberhentian anggota DPR tersebut harus berdasarkan atas sidang paripurna DPR yang dihadiri oleh mayoritas anggota DPR. 4. Dalam hal usulan untuk me-recall anggota DPR oleh partai politik yang bersangkutan, maka usulan harus dibahas terlebih dahulu oleh mahkamah partai dan disetujui mayoritas anggota mahkamah partai sebelum diusulkan ke DPR guna menghindari praktik oligarkis oleh pemimpin partai di dalam tubuh partai politik, khususnya terkait dengan usulan untuk memberhentikan antar waktu anggota parpol yang bersangkutan yang duduk di kursi parlemen.