BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Teori Pendidikan Nonformal Lingkungan yang berfungsi melahirkan individu-individu terdidik (educational individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang disebut juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 : 148). Peranan penting pendididkan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan nonformal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Pendidikan nonformal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis. Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C, (4) pendidikan keaksaraan, (5) bimbingan belajar, (6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja 11 (kursus, magang, kelompok belajar usaha), serta (7) pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan nonformal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek. Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan nonformal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan nonformal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan nonformal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan nonformal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan nonformal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut 12 dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan dimudahkan dalam penguasaan melakukan bahasa asing, penyerapan individu akan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan nonformal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan nonformal yang menciptakan lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan nonformal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan nonformal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri 13 dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan nonformal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti. Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan nonformal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". Pendidikan nonformal diharapkan dapat mengatasi pelbagai problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994 :27) : “Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan nonformal yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti, yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika yang di hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain”. Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan nonformal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training 14 (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system). Pelaksanaan pendidikan nonformal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan nonformal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”. Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan nonformal berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki keterampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran 15 lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania nonformal berperan untuk menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop out dari sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan kepada mereka pelatihan-pelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143). Di Indonesia pendidikan non fornal mencakup pendidikan orang dewasa yang bertujuan agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa; mempergunakan segala sumber penghidupan yang ada; berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270) masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi menghadapi globalisasi. Konsep awal dari Pendidikan Nonformal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Nonformal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs 16 mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya. Pemerintah kota Makassar yang merupakan bagian dari Negara Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan nonformal. Adapun kebijakan tentang pendidikan nonformal ini tercantum dalam Perda Kota Makassar Nomor 3 tahun 2006, Pasal 31: Pendidikan nonformal merupakan salah satu jalur pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, baik yang dilembagakan maupun yang tidak dilembagakan melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan; Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah (pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat 17 dilaksanakan secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,” terang Syukri (1997:34). Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan Pendidikan Nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa Pendidikan Nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Sasaran Pendidikan Nonformal dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan, sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari segi pelayanan, sasaran Pendidikan Nonformal adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), 18 anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Nonformal mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh. Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran Pendidikan Nonformal sebagai penyelenggara dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus. Sedangkan sasaran Pendidikan Nonformal ditinjau dari segi pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana program pembangunan. Secara khusus Pendidikan Nonformal memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat dari tujuan Pendidikan Nonformal , yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam pelaksanananya tidak 19 terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya, Pendidikan Nonformal terbilang relatif singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus. Isi dari program Pendidikan Nonformal ini berpedoman pada kurikulum pusat pada kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Nonformal, hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Nonformal pun relative lebih fleksibel, artinya diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga. 2.1.2. Teori Bimbingan Belajar a. Menurut L D Crow dan A Crow Bimbingan belajar merupakan suatu bantuan yang dapat diberikan oleh seseorang yang telah terdidik pada orang lain yang mana usianya tidak ditentukan untuk dapat menjalani kegiatan dalam hidupnya. b. Menurut A J Jones 20 Bimbingan belajar merupakan suatu proses pemberian bantuan seseorang pada orang lain dalam menentukan pilihan dan pemecahan masalah dalam kehidupannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian bimbingan belajar yaitu suatu bentuk kegiatan dalam proses belajar yang dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki kemampuan lebih dalam banyak hal untuk diberikan kepada orang lain yang mana bertujuan agar orang lain dapat menemukan pengetahuan baru yang belum dimilikinya serta dapat diterapkan dalam kehidupannya. Terdapat beberapa tujuan bimbingan belajar. Tohirin (2007) menjelaskan bahwa tujuan bimbingan belajar adalah sebagai berikut: Secara umum tujuan bimbingan belajar adalah membantu siswa agar mencapai perkembangan yang optimal, sehingga tidak menghambat perkembangan siswa. Siswa yang perkembangannya terhambat atau terganggu akan berpengaruh terhadap perkembangan atau kemampuan belajarnya. Selain tujuan umum tersebut, secara khusus dapat diketahui bahwa bimbingan belajar bertujuan agar siswa mampu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah belajar, serta siswa dapat mandiri dalam belajar. 21 Jadi tujuan bimbingan bimbingan belajar adalah membantu siswa agar mampu mengatasi dan memecahkan permasalahan belajarnya agar tidak mengganggu perkembangannya. Mendukung pernyataan di atas Saring Marsudi (2003) menerangkan bahwa “kegiatan layanan bimbingan belajar bertujuan membantu siswa dalam mencapai keberhasilan belajar secara optimal”. Melalui layanan bimbingan belajar maka siswa dapat secara terbuka memahami dan menerima kelebihan dan kekurangannya, memahami kesulitan belajarnya, memahami faktor penyebab dan memahami pula bagaimana mengatasi kesulitannya. Djumhur dan Mohammad Surya (1978) menjelaskan bahwa “tujuan dari bimbingan belajar ialah membantu siswa agar mendapat penyesuaian yang baik dalam situasi belajar”. Dengan bimbingan ini diharapkan setiap siswa dapat belajar dengan sebaik mungkin, sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2005) tujuan dari bimbingan belajar adalah: 1. Agar siswa memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan. 22 2. Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat. 3. Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, menggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian. 4. Memiliki keterampilan menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugastugas, memantapkan diri dalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas. 5. Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian. Pendapat di atas mengandung pengertian bahwa tujuan dari layanan bimbingan belajar adalah agar siswa memiliki kebiasaan belajar yang baik. Motivasi yang tinggi untuk terus belajar, memiliki tekhik belajar yang efektif serta dapat menetapkan tujuan pendidikannya agar siswa siap dan mampu menghadapi ujian. Menurut Oemar Hamalik (1990) layanan bimbingan belajar merupakan suatu proses yang bertujuan sebagai berikut: 1. Agar siswa bertanggung jawab menilai kemampuannya sendiri dan menggunakan pengetahuan mereka secara efektif bagi dirinya. 23 2. Agar siswa menjalani kehidupan sekarang secara efektif dan menyiapkan dasar kehidupan masa depannya sendiri. 3. Agar semua potensi siswa berkembang secara optimal meliputi semua aspek pribadinya sebagai individu yang potensial. Jadi, nantinya layanan bimbingan belajar akan mencetak siswa yang dapat bertanggung jawab terhadap kemampuannya sendiri untuk menjalani kehidupannya dengan mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Menurut Skinner (Oemar Hamalik, 1990) bimbingan belajar bertujuan untuk menolong setiap individu dalam membuat pilihan dan menentukan sikap yang sesuai dengan kemampuan, minat, dan kesempatan yang ada yang sejalan dengan nilai-nilai sosialnya. Jadi, tujuan layanan bimbingan belajar adalah membantu siswa menetapkan masa depannya sendiri sesuai dengan kemampuan, minat, dan kesempatan yang datang. Berdasarkan dari tujuan-tujuan bimbingan belajar yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari layanan bimbingan belajar adalah membantu siswa mencapai keberhasilan belajar dan mengembangkan semua potensi siswa secara optimal dengan cara memberikan motivasi untuk belajar sepanjang hayat melalui kebiasaan kegiatan belajar yang positif dan efektif sesuai dengan kemampuan, minat, dan kesempatan yang ada 24 untuk mencapai tujuan dari perencanaan pendidikan dengan kesiapan mental agar siswa mampu mandiri dalam belajar. 2.1.3. Teori Kualitas Pendidikan dan Prestasi Akademik Siswa Arti dasar dari kata kualitas menurut Dahlan Al-Barry dalam kamus Modern Bahasa Indonesia adalah “kualitet” : “mutu, baik buruknya barang”. Seperti halnya yang dikutip oleh Quraish Shihab yang mengartikan kualitas sebagai tingkat baik buruk sesuatu atau mutu sesuatu. Sedangkan kalau diperhatikan secara etimologi, mutu atau kualitas diartikan dengan kenaikan tingkatan menuju suatu perbaikan atau kemapanan.sebab kualitas mengandung makna bobot atau tinggi rendahnya sesuatu. Jadi dalam hal ini kualitas pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga, sampai dimana pendidikan di lembaga tersebut adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang arus dikerjakan dengan baik. Sebagaimana yang tela dipaparkan oleh Guets dan Davis dalam bukunya Tjiptono menyatakan bahwa Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.Kualitas pendidikan menurut Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa kualitas pendidikan merupakan kemampuan lembaga pendidikan dalam mendayagunakan sumber – sumber 25 pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin. Di dalam konteks pendidikan, pengertian kualitas mengacu dalam proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dari konteks “proses” pendidikan yang berkualitas terlibat berbagai input (seperti bahan ajar: kognitif, afektif, dan psikomotorik), metodologi (yang bervariasi sesuai dengan kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Dengan adanya manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensingkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar, baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelasatau di luar kelas, baik dalam konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkungan substansi yang akademis maupun yang nonakademis dalam suasana yang mendukung proses belajar pembelajaran. Kualitas dalam konteks “hasil” pendidikan mengacu pada hasil atau prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan dapat berupa hasil test kemampuan akademis, misalnya nilai ujian semester atau UN. Dapat pula prestasi di bidang lain seperti di suatu cabang olahraga, seni, atau keterampilan tambahan tertentu. Bahkan prestasi 26 sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan dan sebagainya. Selain itu kualitas pendidikan merupakan kemampuan sistem pendidikan dasar, baik dari segi pengelolaan maupun dari segi proses pendidikan, yang diarahkan secara efektif untuk meningkatkan nilai tambha dan faktor – faktor input agar menghasilkan output yang setinggi – tingginya. Jadi, pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar, sehingga dapat mengikuti bahkan menjadi pelopor dalam pembaharuan dan perubahan dengan cara memberdayakan sumber – sumber pendidikan secara optimal melalui pembelajaran yang baik dan kondusif. Pendidikan atau sekolah yang berkualitas disebut juga sekolah yang berprestasi, sekolah yang baik atau sekolah yang sukses, sekolah yang efektif dan sekolah yang unggul. Sekolah yang unggul dan bermutu itu adalah sekolah yang mampu bersaing dengan siswa di luar sekolah. Juga memiliki akar budaya serta nilai – nilai etika moral (akhlak) yang baik dan kuat. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi sekarang dan masa yang akan datang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kualitas atau mutu pendidikan adalah kemampuan lembaga 27 dan sistem pendidikan dalam memberdayakan sumber – sumber pendidikan untuk meningkatkan kualitas yang sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan melalui proses pendidikan yang efektif. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, yaitu lulusan yang memiliki prestasi akademik dan nonakademik yang mampu menjadi pelopor pembaruan dan perubahan sehingga mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapinya, baik di masa sekarang atau di masa yang akan datang (harapan bangsa). 28 2.2. Kerangka Konseptual Gambar 1. Bagan Kerangka Konseptual Perda No.3 Tahun 2006 Bab V Tentang Pendidikan Nonformal Pendidikan Nonformal Pengaruh Pendidikan Nonformal (bimbingan belajar) tehadap kualitas pendidikan Perbandingan : Indikator Kualitas Pendidikan yang Prestasi siswa peserta bimbingan belajar dengan prestasi siswa Non bimbingan belajar diteliti adalah Prestasi akademik siswa Faktor – faktor peningkatan prestasi akademik siswa di kota Makassar: - Faktor Pendukung (Kompetensi guru, pemberian motivasi belajar siswa) - Faktor Penghambat (rendahnya kompetensi guru, kurangnya kedisiplinan siswa) 29