1 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan
Definisi dari gaya kepemimpinan telah mengalami perubahan akan
perkembangan dan pergeseran. Dalam era lama gaya kepemimpinan diartikan
sebagai
gaya
kemampuan
dan
kesiapan
yang
dimiliki
seseorang
untuk
mempengaruhi orang lain, dengan memotivasi, menggerakkan, mengarahkan,
mengajak, menuntun dan jika perlu memaksa mereka untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Dalam era baru gaya kepemimpinan diartikan secara lebih luas,
bukan sekedar kemampuan mempengaruhi, yang lebih penting adalah kemampuan
memberi inspirasi kepada pihak lain, agar mereka secara proaktif tergugah untuk
melakukan berbagai tindakan demi tercapainya visi, misi dan tujuan organisasi.
Gaya kepemimpinan merupakan pola menyeluruh dari tindakan seorang
pemimpin baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya.
Gaya
kepemimpinan
menggambarkan
dari
falsafah
yang konsisten,
keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya
kepemimpinan
akan menunjukkan langsung tentang keyakinan seorang pemimpin
terhadap kemampuan bawahannya. Artinya gaya kepemimpinan adalah, perilaku
dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap,
yang
sering
diterapkan
dari
seorang
pemimpin
ketika
ia
mencoba
mempengaruhi kinerja bawahannya (Rorimpandey, 2013).
Gaya kepemimpinan itu sendiri merupakan suatu pola perilaku yang
ditampilkan sebagai pimpinan ketika mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.
Oleh karena perilaku yang diperlihatkan oleh bawahan pada dasarnya adalah respon
bawahan terhadap gaya kepemimpinan yang dilakukan pada mereka. Gaya
kepemimpinan lainnya didefinisikan sebagai teknik-teknik gaya kepemimpinan
dalam mempengaruhi bawahannya dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
kewenangan dan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen (Suyanto,
2008).
Gaya Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan
yang memiliki otoritas manajerial. Sedangkan kepemimpinan adalah apa yang para
pemimpin lakukan, yaitu proses memimpin kelompok dan mempegaruhi kelompok
untuk mencapai suatu tujuan (Robbins dan Coulter, 2012).
9
10
Gaya Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk
memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu
dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif
untuk mencapai tujuan bersama (Yukl , 2010).
Gaya Kepemimpinan adalah seorang yang memimpin sebuah organisasi atau
institusi dan terlibat di dalamnya. Pemimpin di sini bukan berarti pemimpin
insidentil, misalnya orang yang (sekali saja) membantu serombongan anak
menyebrang jalan, Master of Ceremony (MC) atau seorang yang mendadak didaulat
untuk memimpin doa. Kepemimpinan memiliki arti yang lebih dalam dari pada
sekedar label atau jabatan yang diberikan kepada seorang manusia. Ada unsur visi
jangka panjang serta karakter didalam sebuah kepemimpinan (Iensufiie, 2010).
Ada beberapa pengertian mengenai gaya kepemimpinan menurut beberapa
ahli terdahulu, yaitu:
1. Gaya Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu ketika ia
mengarahkan kegiatan kelompok menuju tujuan bersama (Hemphill &
Coons dalam Yukl 2010).
2. Gaya Kepemimpinan adalah pengaruh tambahan yang melebihi dan
berada di atas kebutuhan mekanis dalam mengarahkan organisasi secara
rutin (Katz & Kahn dalam Yukl 2010).
3. Gaya Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang memobilisasi
sumber daya institusional, politis, psikologis, dan sumber-sumber lainnya
untuk membangkitkan, melibatkan dan memenuhi motivasi pengikutnya
(Burns dalam Yukl 2010).
4. Gaya Kepemimpinan diwujudkan dalam proses dimana satu atau
beberapa individu berhasil dalam mencoba untuk membingkai dan
mendefinisikan realitas lain (Smircich & Morgan dalam Yukl 2010).
5. Gaya Kepemimpinan adalah proses memengaruhi aktivitas kelompok
yang terorganisir untuk mencapai sasaran (Rauch & Behling dalam Yukl
2010).
6. Gaya Kepemimpinan adalah cara mengartikulasikan visi, mewujudkan
nilai, dan menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu (Richards &
Engle dalam Yukl 2010).
11
7. Gaya Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arahan yang
berarti) ke usaha kolektif, yang menyebabkan adanya usaha untuk
mencapai tujuan (Jacobs & Jaques dalam Yukl 2010).
8. Gaya Kepemimpinan adalah kemampuan untuk bertindak di luar budaya
untuk memulai proses perubahan evolusi agar menjadi lebih adaptif
(Schein dalam Yukl 2010).
9. Gaya Kepemimpinan adalah proses untuk membuat orang memahami
manfaat bekerja bersama orang lain, sehingga mereka paham dan mau
melakukannya (Drath & Palus dalam Yukl 2010).
10. Gaya Kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi,
memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya
demi efektivitas dan keberhasilan organisasi (House et al., dalam Yukl
2010).
Jadi dari beberapa pengertian gaya kepemimpinan menurut para ahli diatas
dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah interaksi dua atau orang lebih
dalam suatu kelompok terstruktur atau struktur ulang terhadap situasi persepsi dan
harapan anggota. Dua orang itu merupakan pemimpin dengan bawahannya.
Keduanya atau lebih menyamakan persepsi dan harapan agar memiliki pola pikir,
pola sikap, dan pola tindak yang sama dalam memenuhi harapan bersama.
2.1.1 Teori Gaya Kepemimpinan
2.1.1.1 Situasional Approach
Para profesional sering mengartikan Situasional Approach sebagai
”manajemen yang berdasarkan situasi”. Apabila kondisinya baik, maka
seseorang akan melakukan tindakan A, tetapi apabila situasinya tidak
kondusif, ia akan melakukan tindakan B (Iensufiie, 2010).
Situasional Approach berfokus pada dua situasi yang dimiliki oleh
para pengikut dari seorang pemimpin, yaitu:
1. Kompetensi
Seberapa besar kompetensi yang dimiliki oleh para
pengikut, apakah tinggi atau rendah? Kompetensi dapat berarti
banyak hal yang meliputi kemampuan dari para pengikut,
pemahamannya, kepandaiannya, serta kemandiriannya.seorang
12
pengikut dianggap memiliki kompetensi yang tinggi apabila ia
dapat menyelesaikan tugas yang diberikan sesuai dengan
ekspektasi pemimpin, atau bahkan bisa melebihi harapan
pemimpinnya. Dengan sedikit informasi, pengikut
yang
berkompetensi tinggi mampu melaksanakan tugasnya dengan
baik.
2. Komitmen
Komitmen dapat diartikan sebagai loyalitas, rasa
penasaran terhadap tugas, keinginan
untuk melakukan yang
terbaik, dan motivasi untuk memberikan lebih. Seorang pengikut
dianggap memiliki komitmen yang tinggi apabila memiliki daya
juang
yang
kuat
untuk
menyelesaikan
tugas-tugasnya.
Sebaliknya, ia akan dinilai berkomitmen rendah apabila ia tidak
bertanggung
jawab
kepada
tugas-tugas
yang
diberikan
kepadanya
2.1.1.2 Contingency Theory
Teori ini setipe dengan Pendekatan Situasional dan sering disebut
sebagai ”leader-match” (penyesuaian dengan pemimpin). Maksud dari
leader-match adalah menempatkan pemimpin pada pola kepemimpinan
yang sesuai dengan situasi yang ada (Iensufiie, 2010).
Teori ini difokuskan pada gaya kepemimpinan dan situasi yang
menjadi kerangka kerjanya. Gaya kepemimpinan pada Teori Kontingensi
mengacu pada dua motivasi, yaitu:
1. Task Motivation (motivasi yang mengacu pada tugas)
Pemimpin fokus pada tugas dan hasil yang dicapainya.
2. Relationship Motivation ( motivasi yang mengacu pada relasi)
Pemimpin fokus pada usaha untuk membangun relasi dengan
pengikut-pengikutnya.
13
2.1.1.3 Path-Goal Theory
Path-Goal Theory diterjemahkan sebagai Teori Sarana-Tujuan,
yaitu teori yang menjelaskan bagaimana pemimpin memotivasi bawahan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi. Teori ini
memberikan pilihan gaya kepemimpinan terbaik yang dibutuhkan oleh
para pemimpin untuk memimpin bawahan dan pekerjanya (Iensufiie,
2010).
Teori ini mirip dengan Pendekatan Situasional dan Teori
Kontingensi, meskipun ketiganya memiliki perbedaan masing-masing.
Ada beberapa pendekatan gaya di dalam Teori Sarana-Tujuan, yaitu:
1. Directive Leadership – Gaya Direktif
Gaya ini diberlakukan pada situasi di mana pengikut bersifat
turut dan patuh, dimana tugas-tugas terasa membingungkan
dan aturan organisasi dan prosedur juga tidak jelas bagi
mereka. Pemimpin memberikan instruksi yang jelas tentang
tugasnya, serta apa yang diharapkan untuk dikerjakan oleh
pengikut.
2. Supportive Leadership – Gaya Suportif
Pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan yang bersahabat
dan merangkul. Pemimpin menganggap pengikut sebagai
pribadi yang setara dan dihargai sebagai rekan kerja.
3. Partisipative Leadership - Gaya Partisipatif
Gaya ini diterapkan pada situasi di mana terdapat sebuah tugas
yang membingungkan. Pemimpin mengajak pengikut untuk
memberikan partisipasi, ide, dan opini tentang bagaimana
menggunakan sarana untuk mencapai tujuan.
4. Achievement-Oriented Leadership – Kepemimpinan yang
Berorientasi Pada Hasil
Pada gaya kepemimpinan ini, pemimpin memberi tantangan
kepada pengikut dengan standar pekerja yang tinggi, serta
melakukan
improvement).
perbaikan
terus-menerus
(continuous
14
2.1.1.4 Leader-Member Exchange Theory (LMX Theory)
Teori ini diterjemahkan sebagai Teori Pertukaran PemimpinPengikut. Teori kepemimpinan ini menjelaskan bahwa apa yang dimiliki
oleh pemimpin dan pengikut dipertukarkan sebagai hal yang saling
menguntungkan. Kepemimpinan jenis ini setipe dengan kepemimpinan
transaksional, namun kepemimpinan jenis ini dilakukan oleh pihak yang
sudah memiliki ikatan transaksional sebelumnya.
Di dalam organisasi, ada anggota-anggota yang sudah memegang
beberapa tanggung jawab. Pemimpin menawarkan kepada pengikupengikut tertentu untuk mengerjakan sesuatu di luar tanggung jawab
yang sudah dibebankan kepada mereka. Apabila kesepakatan tercapai,
relasi ini akan mengarah pada hal yang lebih spesifik yang terikat pada
proyek baru tersebut. Hubungan ini mengakibatkan pemimpin dan
pengikutnya berada di dalam sebuah kesatuan di dalam kesatuan.
Di dalam model kepemimpinan ini, ada pengikut yang sudah ada
di dalam organisasi dan berada dalam kelompok. Sementara itu, ada
pengikut yang sudah berada dalam organisasi namun berada diluar
kelompok. Kualitas hubungan antara pemimpin dan pengikut dipengaruhi
oleh bagaimana sikap dan komunikasi yang terjadi di antara keduanya
(Iensufiie, 2010).
2.1.1.5 Team Leadership Theory
Teori ini diterjemahkan
sebagai
Teori
Kepemimpinan
Tim/Kelompok. Sebuah tim beranggotakan banyak anggota yang
independen. Mereka memiliki kemauan dan kemampuan yang berbedabeda, bergantung antara satu dan lainnya, memiliki satu tujuan yang
sama, dan saling mengkoordinasikan aktivitas mereka untuk meraih
tujuan. Sebuah tim dapat mencapai tujuan hanya dengan cara bekerja
sama sebagai kelompok. Kerja sama tersebut meliputi pembagian tugas
serta memberikan sikap saling percaya terhadap kemampuan anggota
kelompoknya. Semakin efektif kerja sama tersebut, semakin baik pula
pencapaian yang dihasilkan (Iensufiie, 2010).
15
Menurut McGrath, fungsi kepemimpinan dan kaitannya dengan
efektivitas kelompok adalah perpaduan dari beberapa hal berikut ini:
1. Mengawasi vs mengambil tindakan (monitoring vs taking
action).
2. Fokus pada masalah internal vs eksternal tim/kelompok
(focusing an internal group issues vs external issues).
Perpaduan keduanya akan menghasilkan empat jenis gaya
kepemimpinan kelompok:
1. Mendiagnosis kelemahan kelompok (monitoring/internal).
2. Bertindak terus-menerus untuk memperbaiki kelemahan
(executive action/internal).
3. Meramalkan
perubahan
lingkungan
yang
akan
terjadi
(monitoring/external).
4. Mengambil tindakan pencegahan/preventif dalam rangka
merespon perubahan lingkungan (executive action/external).
2.1.2 Gaya Kepemimpinan Transformasional
Seorang pemimpin transformasional adalah orang yang merangsang dan
memberikan inspirasi (mengubah) kepada pengikut untuk mencapai hasil yang
luar biasa. Kepemimpinan transformasional berkembang dari kepemimpinan
transaksional. Kepemimpinan transformasional menghasilkan tingkat upaya dan
kinerja karyawan yang melampaui apa yang akan terjadi dengan pendekatan
transaksional saja. Selain itu, kepemimpinan transformasional lebih dari
kepemimpinan karisma karena pemimpin transformasional mencoba untuk
menanamkan dalam kemampuan pengikut untuk mempertanyakan pandangan
tidak hanya mapan tetapi pandangan yang dipegang oleh pemimpin. Pemimpin
memperhatikan kebutuhan, kepedulian dan perkembangan pengikut individu,
mengubah kesadaran pengikut akan masalah dengan membantu mereka untuk
melihat masalah lama dengan cara baru dan mereka mampu membangkitkan dan
mengilhami pengikutnya untuk memadamkan usaha ekstra dalam mencapai
tujuan kelompok (Robbins dan Coulter, 2012).
Kepemimpinan
Transformasional,
pemimpin menyediakan perhatian individu,
yaitu
kepemimpinan
rangsangan
intelektual
dimana
serta
pemimpin tersebut memiliki karisma. Kepemimpinan transformasional lebih
16
menyerukan pada nilai-nilai moral dari para pengikut dalam upayanya untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis (Rorimpandey, 2013).
Kepemimpinan transformasional yaitu pemimpin yang mencurahkan
perhatiannya kepada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para pengikutnya
dan kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikutnya dengan cara
memberikan
semangat
dan
dorongan
untuk
mencapai
tujuannya.
Kepemimpinan transformasional adalah suatu kepemimpinan di
mana
pemimpin memotivasi bawahannya untuk mengerjakan lebih dari yang
diharapkan semula dengan meningkatkan rasa pentingnya bawahan dan nilai
pentingnya pekerjaan. Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang
mampu membuat
sehingga
bawahannya
kepentingan
menyadari
perspektif
yang
lebih
luas,
individu akan disubordinasikan terhadap kepentingan
tim, organisasi, atau kepentingan lain yang lebih luas (Robbins, 2006).
Kepemimpinan
transformasional
yaitu
pemimpin
yang
mencurahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
para
pengikutnya dan
kebutuhan
pengembangan
dari
masing-masing
pengikutnya dengan cara memberikan semangat dan dorongan untuk mencapai
tujuannya. Kepemimpinan
transformasional
adalah suatu
proses
kepemimpinan dimana pemimpin mengembangkan komitmen pengikutnya
dengan berbagai nilai-nilai dan berbagai visi organisasi. Kepemimpinan
transformasional mengacu pada pemimpin yang berhasil menggerakkan
karyawan melampaui kepentingan diri secara langsung melalui pengaruh
ideal
(karisma),
inspirasi,
stimulasi
intelektual,
atau
pertimbangan
individual (Putra dan Subudi, 2015).
Pada
tiga
awalnya
perilaku,
yaitu
kepemimpinan transformasional ditunjukkan melalui
karisma,
konsiderasi
individual, dan
stimulasi
intelektual. Namun pada perkembangannya, perilaku karisma kemudian
dibagi menjadi dua, yaitu karisma atau idealisasi pengaruh dan motivasi
inspirasional. Kepemimpinan
transformasional
meningkatkan
kesadaran
para pengikutnya dengan menarik cita-cita dan nilai-nilai seperti keadilan
(justice),
kedamaian
Suharnomo, 2013).
(peace)
dan
persamaan (equality) (Surbakti dan
17
Teori
kepemimpinan
transformasional
adalah
semua
tentang
kepemimpinan yang menciptakan perubahan positif dalam pengikut dimana
mereka mengurus kepentingan satu sama lain dan bertindak dalam kepentingan
kelompok
secara
keseluruhan
(Warrilow,
2012).
Kepemimpinan
Transformasional memiliki pengertian yang bertujuan untuk perubahan. Sesuai
dengan kepemimpinan secara alami yaitu adanya pergerakan untuk mencapai
tujuan, maka tujuan yang dimaksud di sini adalah perubahan. Perubahan yang
dimaksud diasumsikan sebagai perubahan ke arah yang lebih baik, menentang
status quo dan aktif (Iensufiie, 2010).
Jadi dari beberapa pengertian gaya kepemimpinan transformasional
menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional adalah gaya pemimpin yang mampu menyatukan seluruh
karyawannya dan mampu mengubah keyakinan, sikap, dan tujuan pribadi
masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang
ditetapkan. Lalu pemimpin akan memotivasi bawahan dengan merespon
kebutuhan bawahan terkait pemberdayaan kompetensi dan menyesuaikan tujuan
dan target dari bawahan seara individu, kelompok dan organisasi, yang
berdampak pada kepercayaan bawahan terhadap kemampuan pemimpinnya
sehingga meningkatkan kepercayaan diri bawahan, keterlibatan secara
emosional, serta motivasi untuk meningkatkan target kinerja.
2.1.2.1 Dimensi Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional memiliki empat
dimensi
(Rorimpandey, 2013):

Charisma - Memberikan visi dan misi untuk meraih respek dan
kepercayaan.

Inspiration - Mengkomunikasikan harapan yang dituju dan
mengekspresikan
pentingnya
tujuan dengan
cara
yang
sederhana.

Intelectual
simulation
-
Mendorong
intelegensia
dan
rasionalitas dan berhati-hati dalam menyelesaikan masalah.

Individualized consideration Memberikan perhatian personal,
melatih dan memberikan saran.
18
2.1.2.2 Unsur Gaya Kepemimpinan Transformasional
Didalam Kepemimipinan Transformasional ada beberapa unsur
(Iensufiie, 2010):

Unsur Pemimpin
1. Pemimpin memiliki karisma di mata pengikut.
2. Pemimpin memiliki visi atau idealism yang sesuai dengan
harapan pengikut.
3. Pemimpin
mampu
memberikan
pengaruh
kepada
pengikut.

Unsur Pengikut
1. Pengikut memiliki inspirasi dari dirinya dan memandang
pemimpin mampu membawanya untuk mewujudkan
inspirasi tersebut.
2. Pengikut memiliki motivasi dan pemimpin menangkap
motivasi
tersebut
untuk
diarahkan
menjadi
tujuan
bersama.

Unsur Kerja Sama
1. Di dalam melaksanakan pekerjaannya, pemimpin mampu
merangsang atau memicu kreatifitas intelektual dari para
pengikut.

Unsur Keputusan
1. Di dalam kerja sama transformasional, pengikut bebas
mengambil keputusan dan bukan karena ada tekanan.
2.1.2.3 Ciri Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan
Transformasional
memiliki
memperhatikan
perkembangan
dan
perubahan
ciri
prestasi
dari
adalah
para
pengikutnya, apakah menjadi semakin baik menurut kriteria organisasi
atau tidak. Pemimpin membangun kepercayaan serta mendukung pengikut
untuk mengekspresikan segenap potensi yang ada didalam dirinya. Tujuan
yang hendak dicapai antara pemimpin dan pengikut sama atau mirip dan
berjalan dengan sinkron (Iensufiie, 2010).
19
2.1.3 Gaya Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang bersifat
kontraktual antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin membutuhkan
pengikut dan menawarkan sesuatu sebagai penukar loyalitas pengikut. Pengikut
mau bekerja sama dikarenakan ada hal-hal yang ia kejar sebagai reward.
Sementara itu, yang dikerjakan mungkin bukan tujuan pribadinya, melainkan
merupakan tujuan pemimpin (Iensufiie, 2010).
Transaksional
ini
adalah kepemimpinan
yang
berfokus
pada
transaksi antar pribadi, antara manajemen dan karyawan, dua karakteristik
yang
melandasi
kepemimpinan
transaksional
yaitu: Para
pemimpin
menggunakan penghargaan kontigensi untuk memotivasi para karyawan dan
para pemimpin melaksanakan tindakan korektif hanya ketika para bawahan
gagal mencapai tujuan kinerja (Suwatno dan Priansa dalam Rorimpandey,
2013).
2.1.3.1 Dimensi Gaya Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan
transaksional
memiliki
empat
dimensi
(Rorimpandey, 2013):

Continent
reward - Melakukan
kontrak pertukaran
penghargaan dan upaya, menjanjikan penghargaan atas
kinerja yang baik.

Management by exception (aktif) - Melihat dan mencari
deviasi berdasarkan aturan dan standar, serta melakukan
tindakan korektif.

Management
by
exception (pasif) - Mengintervensi
bila
tidak sesuai standar.

Laisezz-faire - Melepaskan tanggung jawab, menghindari
pembuatan keputusan.
20
2.1.3.2 Unsur Gaya Kepemimpinan Transaksional
Didalam Kepemimpinan Transaksional ada beberapa unsur
(Iensufiie, 2010):

Unsur kerjasama antara pengikut dan pemimpin yang bersifat
kontraktual.

Unsur prestasi yang terukur.

Unsur reward atau upah yang dipertukarkan dengan loyalitas.
2.1.3.3 Ciri Gaya Kepemimpinan Transaksional
Ciri dari kepemimpinan transaksional sudah jelas sejak awalnya.
Pola kepemimpinan ini akan berjalan dengan baik apabila ketiga unsur
seperti unsur kerja sama antara pengikut dan pemimpin yang bersifat
kontraktual, unsur prestasi yang terukur dan unsur reward. Sekaligus
memuaskan kedua belah pihak. Meskipun demikian, terkadang ditemukan
kenyataan bahwa pengikut tidak memiliki pilihan yang lebih baik daripada
yang ditawarkan oleh pemimpin (Iensufiie, 2010).
2.1.4 Gaya Kepemimpinan Laissez Faire
Kata-kata laissez faire tersebut berasal dari bahasa Prancis, yang di
dalam manajemen dapat diartikan sebagai “tanpa kepemimpinan”. Kondisi ini
terjadi pada saat di dalam sebuah komunitas tidak terdapat struktur
kepemimpinan. Hal itu dapat terjadi pada kondisi di mana sang pemimpin
menyerah dan membiarkan segala sesuatu berjalan apa adanya seperti yang
sudah-sudah.
Kondisi laissez faire juga dapat terjadi pada masa penantian
pergantian pemimpin, di mana pemimpin (ad interm) yang sementara
menggantikan pemimpin yang lama tidak mengambil keputusan yang bersifat
mengubah sesuatu sampai munculnya pemimpin pengganti yang sah (Iensufiie,
2010).
Pemimpin memberikan kekuasaan penuh terhadap bawahannya. Struktur
organisasi bersifat longgar dan pemimpin bersifat pasif. Pemimpin menghindari
kuasa dan tanggung jawab, kemudian menggantungkannya kepada kelompok
baik dalam menetapkan tujuan maupun menanggulangi masalahnya sendiri.
Gaya ini tidak berdasarkan pada aturan-aturan. Seorang pemimpin yang
menggunakan
gaya
kepemimpinan
ini
menginginkan
seluruh
anggota
21
kelompoknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang
dimilikinya. Tindak komunikasi dari pemimpin ini cenderung berlaku sebagai
seorang penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbangan
pemikiran dari anggota kelompoknya. Jika tidak ada yang mengendalikannya,
kelompok yang memakai gaya ini akan menjadi tidak terorganisasi, tidak
produktif dan anggotanya akan apatis, sebab mereka merasa bahwa
kelompoknya tidak memiliki maksud dan tujuan yang hendak dicapai.
2.1.4.1 Ciri Gaya Kepemimpinan Laissez Faire

Pemimpin menyerahkan tanggung jawab pada pelaksanaan
pekerjaan kepada bawahan.

Pemimpin memberikan kebebasan kepada bawahan untuk
mengemukakan ide, saran dan pendapat.

Pemimpin menyerahkan kepada bawahan sepenuhnya dalam
hal pengambilan keputusan.

Pemimpin percaya bawahannya mampu melaksanakan tugas
tugasnya dengan baik.

Pemimpin membiarkan bawahannya memilih cara-cara yang
dikehendakinya dalam melaksanakan tugas.
2.2 Motivasi Kerja
Motivasi mempunyai kaitan
erat dengan
gaya kepemimpinan. Karena
keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain sangat tergantung
kepada kewibawaan dan bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap
karyawan,
sehingga
tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Karyawan
sangat
membutuhkan motivasi dari pimpinan untuk mewujudkan cita-cita di masa
mendatang baik melalui pelatihan, pada saat bekerja, sehingga terbentuk suatu
sinergi yang dapat meningkatkan produktivitas. Pada dasarnya motivasi kerja dapat
memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal
ini akan meningkatkan produktivitas kerja karyawan sehingga berpengaruh pada
pencapaian tujuan perusahaan (Wahjosimidjo dalam Surbakti dan Suharnomo, 2013).
22
Motivasi adalah proses dimana upaya seseorang diberi energi, diarahkan dan
berkelanjutan untuk menuju mencapai tujuan. Motivasi merupakan dorongan
terhadap serangkaian proses perilaku manusia pada pencapaian tujuan. Sedangkan
elemen yang terkandung dalam motivasi meliputi unsur membangkitkan,
mengarahkan, menjaga, menunjukkan intesitas, bersifat terus-menerus dan adanya
tujuan (Robbins dan Coulter, 2012).
Motivasi kerja mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja
bawahan,
agar mereka
mau
bekerja
keras
dengan
memberikan
semua
kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Tinggi
rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: ekspektasi
keberhasilan pada tugas, instrumentalis yaitu penilaian tentang apa yang akan
terjadi jika
berhasil
dalam melakukan suatu tugas dan valensi yaitu respon
terhadap outcome seperti perasaan positif, netral, atau negative (Mangkunegara,
2006).
Motivasi sebagai
proses
yang
ikut menentukan intensitas, arah, dan
ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Motivasi umumnya terkait
dengan upaya ke arah sasaran, tapi fokus dalam hal ini adalah tujuan
organisasi agar mencerminkan minat tunggal terhadap perilaku yang berkaitan
dengan pekerjaan. Selanjutnya dikenal teori dua faktor atau teori motivasihigiene yang dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg: Faktor motivator
(satisfiers), situasi yang merupakan sumber kepuasan kerja, sehingga mendorong
orang untuk berperilaku tertentu dan memotivasi untuk bekerja lebih giat dan
semangat, sehingga memberikan kepuasan kerja, terdiri dari penghargaan, tanggung
jawab, pekerjaan yang menarik, pertumbuhan dan perkembangan, prestasi kerja dan
lain-lain. Faktor hygiene (dissatisfiers), yang menjadi penyebab seseorang untuk
tidak melakukan sesuatu, karena jika dilakukan akan menghadapi ketidakpuasan,
terdiri dari kebijakan organisasi, supervisi, kondisi lingkungan, hubungan antar
manusia, gaji, keamanan, dan lain-lain (Robbins, 2006).
Motivasi kerja merupakan motivasi yang terjadi pada situasi dan lingkungan
kerja yang terdapat pada suatu organisasi atau lembaga. Keberhasilan dan kegagalan
pendidikan memang sering dikaitkan dengan motivasi kerja guru. Pada dasarnya
manusia selalu menginginkan hal yang baik-baik saja, sehingga daya pendorong atau
penggerak yang memotivasi semangat kerjanya tergantung dari harapan yang akan
23
diperoleh mendatang jika harapan itu menjadi kenyataan maka seseorang akan
cenderung meningkatkan motivasi kerjanya (Wibowo, 2010).
Jadi dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja
merupakan
suatu
keahlian
dalam
mengarahkan
atau
mengendalikan
dan
menggerakan seseorang untuk melakukan tindakan akan perilaku yang diinginkan
berdasarkan sasaran-sasaran yang sudah ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Ada tiga faktor sumber motivasi kerja (Veithzal, 2009):
1. Kemungkinan untuk berkembang.
2. Jenis pekerjaan.
3. Apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari perusahaan di
tempat mereka bekerja
2.2.1 Teori Awal Motivasi Kerja
2.2.1.1 Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Teori motivasi yang paling dikenal adalah Teori Hirarki Kebutuhan
Abraham Maslow. Maslow adalah psikolog humanistik yang berpendapat
bahwa pada diri setiap orang terdapat hirarki lima kebutuhan, yaitu:
1. Kebutuhan
fisiologis
(Physiological
needs):
makanan,
minuman, tempat tinggal, kepuasan seksual, dan kebutuhan
fisik lain.
2. Kebutuhan
keamanan
(Safety
needs):
keamanan
dan
perlindungan dari gangguan fisik dan emosi, dan juga
kepastian bahwa kebutuhan fisik akan terus terpenuhi.
3. Kebutuhan sosial (Social needs): kasih sayang, menjadi bagian
dari
kelompoknya,
diterima
oleh
teman-teman,
dan
persahabatan.
4. Kebutuhan harga diri (Esteem needs): faktor harga diri
internal, seperti penghargaan diri, otonomi, pencapaian prestasi
dan harga diri eksternal seperti status, pengakuan, dan
perhatian.
5. Kebutuhan
aktualisasi
diri
(Self-actualization
needs):
pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan
diri sendiri; dorongan untuk menjadi apa yang dia mampu
capai.
24
Seorang individu bergerak naik ke hirarki kebutuhan dari satu
tingkat ke tingkat yang berikutnya. Selain itu, Maslow memisahkan lima
kebutuhan ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebutuhan
fisiologis dan keamanan dianggap kebutuhan yang lebih rendah,
sedangkan kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi diri dianggap
kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan urutan lebih rendah didominasi
oleh kepuasan eksternal sementara kebutuhan tingkat tinggi didominasi
oleh kepuasan internal.
Bagaimana
teori
Maslow
menjelaskan
motivasi?
Manajer
menggunakan hirarki Maslow untuk memotivasi karyawan dalam
melakukan hal-hal untuk memenuhi kebutuhan karyawan. Tetapi teori ini
juga mengatakan bahwa setelah kebutuhan secara substansial terpenuhi,
maka seorang individu tidak lagi termotivasi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Oleh karena itu, untuk memotivasi seseorang, kita perlu
memahami ditingkat mana keberadaan orang itu dalam hirarki dan perlu
berfokus pada pemuasan kebutuhan pada atau diatas tingkat itu. Teori
kebutuhan Maslow secara luas diakui selama tahun 1960 dan 1970-an,
terutama di kalangan manajer terlatih, mungkin karena logis dan mudah
dimengerti secara intuitif (Robbins dan Coulter, 2012).
2.2.1.2 Teori X dan Y McGregor Douglas
McGregor terkenal karena rumusannya tentang dua kelompok
asumsi mengenai sifat manusia, yaitu Teori X dan Teori Y. Teori X pada
dasarnya menyajikan pandangan negatif tentang orang. Teori X berasumsi
bahwa para pekerja mempunyai sedikit ambisi untuk maju, tidak menyukai
pekerjaan, ingin menghindari tanggung jawab, dan perlu diawasi dengan
ketat agar dapat efektif bekerja. Teori Y menawarkan pandangan positif.
Teori Y berasumsi bahwa para pekerja dapat berlatih mengarahkan diri,
menerima dan secara nyata mencari tanggung jawab, dan menganggap
bekerja sebagai kegiatan alami. McGregor yakin bahwa asumsi Teori Y
lebih menekankan sifat pekerja sebenarnya dan harus menjadi pedoman
bagi praktik manajemen. Sayangnya, tidak ada bukti yang menegaskan
bahwa asumsi Teori Y adalah satu-satunya cara untuk memotivasi
karyawan (Robbins dan Coulter, 2012).
25
2.2.1.3 Teori Motivasi Dua Faktor Herzberg
Dua faktor teori Frederick Herzberg (Teori juga disebut motivasi
hygiene) mengusulkan bahwa faktor intrinsik terkait dengan kepuasan
kerja, sedangkan faktor ekstrinsik terkait dengan ketidakpuasan kerja.
Herzberg ingin tahu ketika orang merasa sangat baik (puas) atau buruk
(tidak puas) tentang pekerjaan mereka. Dia menyimpulkan bahwa balasan
orang memberi ketika mereka merasa baik tentang pekerjaan mereka
secara signifikan berbeda dengan balasan mereka memberi ketika mereka
merasa buruk. Karakteristik tertentu secara konsisten berkaitan dengan
kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja.
Teori ini menyatakan bahwa kepuasan dan ketidak-puasan
seseorang dipengaruhi oleh dua kelompok faktor independen yakni faktorfaktor penggerakan motivasi dan faktor-faktor pemelihara motivasi.
Menurut Herzberg, karyawan memiliki rasa kepuasan kerja dalam
pekerjaannya, tetapi faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan berbeda
jika dibandingkan dengan faktor-faktor ketidak-puasan kerja. Rasa
kepuasan kerja dan rasa ketidak-puasan kerja tidak berada dalam satu
kontinum. Lawan dari kepuasan adalah tidak ada kepuasan kerja
sedangkan lawan dari ketidakpuasan kerja adalah tidak ada ketidak-puasan
kerja (Robbins, 2006).
Faktor-faktor yang merupakan penggerak motivasi (faktor-faktor
intrinsik) ialah:

Prestasi
(Achievement),
artinya
karyawan
memperoleh
kesempatan untuk mencapai hasil yang baik atau berprestasi.

Pengakuan (Recognition), artinya karyawan memperoleh
pengakuan dari pihak perusahaan bahwa ia adalah orang,
berprestasi, baik, diberi penghargaan, pujian, dimanusiakan,
dan sebagainya.

Pekerjaan itu sendiri (Work Itself), artinya memang pekerjaan
yang dilakukan itu sesuai dan menyenangkan bagi karyawan.

Tanggung jawab (Responsibility), artinya karyawan diserahi
tanggung jawab dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, tidak
hanya semata-mata melaksanakan pekerjaan.
26

Pertumbuhan dan perkembangan (Advancement and Growth),
artinya dalam setiap pekerjaan itu ada kesempatan bagi
karyawan untuk tumbuh dan berkembang.
Adapun
faktor-faktor
pemelihara
motivasi
(faktor-faktor
ekstrinsik) ialah:

Pengawasan (Supervision) terhadap karyawan.

Kebijakan dalam perusahaan (Company Policy).

Hubungan dengan atasan (Relationship with Supervisor).

Kondisi tempat kerja (Working Condition).

Gaji (Salary) yang diterima karyawan.

Hubungan dengan rekan-rekan kerja sederajat (Relationship
with Peers).

Kehidupan pribadi para karyawan (Personal Life).

Hubungan dengan bawahan (Relationship with Subordinates).

Kedudukan (Status) karyawan.

Keamanan dan keselamatan kerja (Security).
Menurut Herzberg, meskipun faktor-faktor pendorong motivasi
baik keadaannya (menurut penilaian karyawan), tetapi jika faktor-faktor
pemeliharaan tidak baik keadaannya, tidak akan menimbulkan kepuasan
kerja bagi karyawan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan motivasi dengan
cara perbaikan faktor-faktor pemeliharaan, baru kemudian faktor-faktor
pendorong motivasi. Teori Herzberg populer pada 1960-an sampai awal
1980-an. Meskipun beberapa kritikus mengatakan teorinya terlalu
sederhana, namun teori tersebut telah mempengaruhi bagaimana kita
dalam dunia kerja (Robbins dan Coulter, 2012).
2.2.1.4 Teori Tiga Kebutuhan
David McClelland menyebutkan ada tiga kelompok motivasi
kebutuhan yang dimiliki seseorang yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan
kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi. Kebutuhan prestasi (need for
achievement (nAch)) yaitu adanya keinginan atau dorongan untuk
mencapai tujuan yang lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini dapat
27
dicapai dengan cara merumuskan tujuan, mendapatkan umpan balik,
memberikan tanggung jawab pribadi, dan bekerja keras. Kebutuhan
kekuasaan (need for power (nPow)) yaitu adanya kebutuhan kekuasaan
yang
mendorong
seseorang
bekerja
sehingga
termotivasi
dalam
pekerjaannya. Cara bertindak dengan kekuasaan tergantung kepada
pengalaman masa kanak-kanak, kepribadian, pengalaman kerja, dan tipe
organisasi. Kebutuhan afiliasi (need for affiliation (nAff)) yaitu kebutuhan
untuk berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dapat dicapai dengan cara
bekerja sama dengan orag lain, dan sosialisasi. Dari tiga kebutuhan
tersebut, kebutuhan untuk berprestasi telah diteliti paling dalam. Orangorang dengan kebutuhan tinggi untuk berprestasi memiliki keinginan untuk
melakukan sesuatu yang lebih baik atau lebih efisien daripada yang pernah
dilakukan sebelumnya. Mereka lebih memilih pekerjaan yang menawarkan
tanggung jawab pribadi untuk menemukan solusi dalam masalah, di mana
mereka dapat menerima umpan balik yang cepat dan jelas tentang kinerja
mereka dalam rangka untuk mengetahui apakah mereka membaik, dan di
mana mereka dapat menetapkan tujuan risiko moderat. Kebutuhan prestasi
yang tinggi tidak selalu mengarah untuk menjadi manajer yang baik,
terutama dalam organisasi besar. Itu karena kebutuhan berprestasi fokus
pada prestasi mereka sendiri, sementara manajer yang baik menekankan
membantu orang lain (bawahannya) dalam mencapai tujuan mereka.
McClelland
menunjukkan
bahwa
karyawan
dapat
dilatih
untuk
merangsang kebutuhan prestasi mereka dengan berada di situasi di mana
mereka memiliki tanggung jawab pribadi, umpan balik, dan risiko
moderat. Sedangkan dua kebutuhan lain dalam teori ini belum diteliti
secara luas seperti kebutuhan untuk berprestasi. Namun, kita tahu bahwa
manajer terbaik cenderung tinggi dalam kebutuhan kekuasaan dan rendah
akan kebutuhan afiliasi (Robbins dan Coulter, 2012).
28
2.3 Kinerja Karyawan
Kinerja berasal dari pengertian performance, dimana pengertian performance
itu sendiri adalah sebagai hasil kerja atau prestasi kerja sesuai dengan aturan dan
standar yang berlaku pada masing-masing organisasi. Sebenarnya kinerja
mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya mengenai hasil kerja tetapi
termasuk bagaimana proses pekerjaan secara langsung (Wibowo, 2010).
Kinerja karyawan merupakan performance atau unjuk kerja. Kinerja dapat
pula diartikan sebagai prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk
kerja. Sehingga kinerja dapat disimpulkan sebagai hasil yang dicapai seseorang
menurut ukuran yang berlaku dalam kurun waktu tertentu berkenaan dengan
pekerjaan serta perilaku dan tindakannya (Mangkunegara, 2006). Kinerja adalah
keluaran yang dihasilkan oleh fungsi - fungsi atau indikator - indikator suatu
pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu (Veithzal, 2009).
Kinerja karyawan adalah konsep universal dari efektivitas operasional
organisasi yang merupakan bagian organisasi dan bagian karyawan berdasarkan
standar dan kriteria yang telah ditetapkan. Istilah kinerja berasal dari kata job
performance (prestasi kerja) atau actual performance (prestasi sesungguhnya yang
dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya (Mangkuprawira dalam Edward, Sumarni dan Almaududi,
2014)
Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kinerja karyawan adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
melaksanakan
tugasnya
sesuai
dengan
oleh
tanggung
seorang
jawab
pegawai
yang
dalam
diberikan
kepadanya. Kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau
indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu (Sutrisno,
2010).
Kinerja (job performance) berarti hasil kerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi
bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan
etika. Kinerja seorang
karena
kinerja
karyawan berperan penting
bagi
moral
suatu perusahaan,
setiap karyawan merupakan sumbangan bagi tercapainya kinerja
29
setiap fungsi perusahaan dan pada gilirannya kinerja fungsi-fungsi perusahaan
memberi sumbangan terhadap pencapaian
kinerja karyawan dalam
kinerja
suatu perusahaan
perusahaan .
dapat menyebabkan
Rendahnya
terhambatnya
suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kinerja dalam menjalankan fungsinya
tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat
imbalan,
dipengaruhi
oleh keterampilan, kemampuan
dan sifat-sifat individu
(Putra dan Subudi, 2015).
Kinerja sudah menjadi kata popular yang sangat menarik dalam
pembicaraan manajemen publik. Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari
dua segi,
yaitu
kinerja pegawai (per-individu)
dan
kinerja
organisasi.
Kinerja karyawan adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan
tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan,
dan
visi
organisasi
misi,
tersebut. Kinerja karyawan merupakan suatu hasil yang
dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku
untuk suatu pekerjaan. Kinerja menjadi tolak ukur yang dilakukan oleh perusahaan
untuk mengukur sejauh mana karyawan dapat mengemban tugas yang mereka
emban dan bagaimana ada suatu kemajuan yang dialami oleh
perusahaan
kedepannya (Surbakti dan Suharnomo, 2013)
Kinerja karyawan lebih mengarah pada tingkat prestasi kerja yang
merefleksikan bagaimana keryawan dapat memenuhi kebutuhan pekerjaan dengan
baik. Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang
dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan (Fawzi dalam Edward,
Sumarni dan Almaududi, 2014). Kinerja mengacu pada prestasi seseorang yang
diukur berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan (Mas’ud dalam
Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014). Kinerja sebagai prestasi kerja merupakan
perbandingan antara hasil kerja nyata dengan standar kerja yang ditetapkan (Dessler
dalam Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014). Kinerja sebagai hasil-hasil yang
telah dicapai seseorang dengan menggunakan media tertentu (Hersey dan Blanchard
dalam Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014).
Dari pengertian kinerja karyawan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kinerja karyawan adalah hasil kerja yang dicapai sumber daya manusia dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan
sesuai dengan perannya dalam suatu perusahaan.
30
2.3.1 Variabel Kinerja Karyawan
Instrumen variabel kinerja karyawan diukur dengan 6 (enam) dimensi
(Mathis dan Jackson dalam Edward, Sumarni dan Almaududi , 2014):
 Kecepatan kerja (speed activity) yaitu persepsi responden terkait
kecepatan dan kesigapan mereka dalam melaksanakan perkerjaan,
dengan indikator-indikator: selesai tepat waktu; dan pekerjaan
penting.
 Kedisiplinan
kerja
(work
timetable)
yaitu
persepsi
tentang
kedisiplinannya dalam bekerja, dengan indikator-indikator: disiplin;
dan selalu siap.
 Pengetahuan kerja (job knowledge) yaitu persepsi responden terkait
pemahaman dan pengetahuan mereka akan pekerjaannya, dengan
indikator-indikator: memahami pekerjaan; dan kemampuan bekerja.
 Kualitas diri (personal qualities) yaitu persepsi responden terkait
kualitas individual yang dimiliki mereka dalam bekerja, dengan
indikator-indikator: mementingkan pekerjaan; ketaatan; tanggung
jawab; dan pengorbanan.
 Inisiatif (initiative) yaitu persepsi responden terkait kemampuan
mereka dalam mencapai ide dalam menyelesaikan pekerjaan, dengan
indikator-indikator: inovasi; dan solusi.
 Kualitas kerja (quality of work) yaitu persepsi responden terkait
kualitas pekerjaan yang dilaksanakan, dengan indikator-indikator:
kesesuaian kerja; ketelitian; dan hasil kerja.
31
2.3.2 Faktor-Faktor Kinerja Karyawan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan menurut Sutrisno
(2010), adalah:
 Efektivitas dan Efisiensi
Dalam hubnngannya dengan kinerja organisasi, maka ukuran baik
buruknya kinerja diukur oleh efektivitas dan efisiensi. Masalahnya
adalah bagaimana proses terjadinya efektivitas dan efisiensi
organisasi. Dapat dikatakan efektif apabila mencapai tujuan dan dapat
dikatakan efisien apabila hal tersebut memuaskan sebagai pendorong
mencapai tujuan.

Otoritas dan Tanggungjawab
Dalam organisasi yang baik, wewenang dan tanggung jawab telah
didelegasikan dengan baik tanpa adanya tumpang tindih tugas.
Masing-masing karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui apa
yang menjadi haknya dan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai
tujuan organisasi. Kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap
orang dalam suatu organisasi akan mendukung kinerja karyawan.

Disiplin
Secara umum, disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat
yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan
perusahaan. Masalah disiplin karyawan yang ada didalam organisasi
baik pada atasan maupun bawahan akan memberikan pengaruh pada
kinerja organisasi. Kinerja organisasi akan tercapai apabila kinerja
individu maupun kelompok ditingkatkan.

Inisiatif
Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam
bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan
organisasi. Dengan kata lain, inisiatif karyawan yang ada didalam
organisasi merupakan daya dorong kemajuan yang akhirnya akan
mempengaruhi kinerja.
32
2.4 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk mempelajari Analisis Pengaruh
Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT. Sarana Janesia Utama. Digambarkan sebagai berikut:
Gaya Kepemimpinan
Transformasional
T-1
(X1)
Kinerja Karyawan
Motivasi Kerja
(Y)
T-2
(X2)
T-3
H-3
2.5 Hipotesis
Hipotesa merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam
bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2010).
Dari kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis atau dugaan
sementara terhadap variabel-variabel penelitian yang digunakan sebagai berikut:
1. Untuk T-1
Ho: Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan
transformasional terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana
Janesia Utama.
Ha: Ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan
transformasional terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana
Janesia Utama.
33
2. Untuk T-2
Ho: Tidak ada pengaruh secara signifikan antara motivasi kerja terhadap
kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama.
Ha:
Ada pengaruh secara signifikan antara motivasi kerja terhadap
kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama.
3. Untuk T-3
Ho: Tidak ada pengaruh secara simultan dan signifikan antara gaya
kepemimpinan transformasional dan motivasi kerja secara simultan
terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama.
Ha: Ada pengaruh secara simultan dan signifikan antara gaya
kepemimpinan transformasional dan motivasi kerja secara simultan
terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama.
Download