BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan Definisi dari gaya kepemimpinan telah mengalami perubahan akan perkembangan dan pergeseran. Dalam era lama gaya kepemimpinan diartikan sebagai gaya kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain, dengan memotivasi, menggerakkan, mengarahkan, mengajak, menuntun dan jika perlu memaksa mereka untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam era baru gaya kepemimpinan diartikan secara lebih luas, bukan sekedar kemampuan mempengaruhi, yang lebih penting adalah kemampuan memberi inspirasi kepada pihak lain, agar mereka secara proaktif tergugah untuk melakukan berbagai tindakan demi tercapainya visi, misi dan tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan merupakan pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan dari falsafah yang konsisten, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan akan menunjukkan langsung tentang keyakinan seorang pemimpin terhadap kemampuan bawahannya. Artinya gaya kepemimpinan adalah, perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan dari seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya (Rorimpandey, 2013). Gaya kepemimpinan itu sendiri merupakan suatu pola perilaku yang ditampilkan sebagai pimpinan ketika mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh karena perilaku yang diperlihatkan oleh bawahan pada dasarnya adalah respon bawahan terhadap gaya kepemimpinan yang dilakukan pada mereka. Gaya kepemimpinan lainnya didefinisikan sebagai teknik-teknik gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi bawahannya dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kewenangan dan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen (Suyanto, 2008). Gaya Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan yang memiliki otoritas manajerial. Sedangkan kepemimpinan adalah apa yang para pemimpin lakukan, yaitu proses memimpin kelompok dan mempegaruhi kelompok untuk mencapai suatu tujuan (Robbins dan Coulter, 2012). 9 10 Gaya Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama (Yukl , 2010). Gaya Kepemimpinan adalah seorang yang memimpin sebuah organisasi atau institusi dan terlibat di dalamnya. Pemimpin di sini bukan berarti pemimpin insidentil, misalnya orang yang (sekali saja) membantu serombongan anak menyebrang jalan, Master of Ceremony (MC) atau seorang yang mendadak didaulat untuk memimpin doa. Kepemimpinan memiliki arti yang lebih dalam dari pada sekedar label atau jabatan yang diberikan kepada seorang manusia. Ada unsur visi jangka panjang serta karakter didalam sebuah kepemimpinan (Iensufiie, 2010). Ada beberapa pengertian mengenai gaya kepemimpinan menurut beberapa ahli terdahulu, yaitu: 1. Gaya Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu ketika ia mengarahkan kegiatan kelompok menuju tujuan bersama (Hemphill & Coons dalam Yukl 2010). 2. Gaya Kepemimpinan adalah pengaruh tambahan yang melebihi dan berada di atas kebutuhan mekanis dalam mengarahkan organisasi secara rutin (Katz & Kahn dalam Yukl 2010). 3. Gaya Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang memobilisasi sumber daya institusional, politis, psikologis, dan sumber-sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan dan memenuhi motivasi pengikutnya (Burns dalam Yukl 2010). 4. Gaya Kepemimpinan diwujudkan dalam proses dimana satu atau beberapa individu berhasil dalam mencoba untuk membingkai dan mendefinisikan realitas lain (Smircich & Morgan dalam Yukl 2010). 5. Gaya Kepemimpinan adalah proses memengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir untuk mencapai sasaran (Rauch & Behling dalam Yukl 2010). 6. Gaya Kepemimpinan adalah cara mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai, dan menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu (Richards & Engle dalam Yukl 2010). 11 7. Gaya Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arahan yang berarti) ke usaha kolektif, yang menyebabkan adanya usaha untuk mencapai tujuan (Jacobs & Jaques dalam Yukl 2010). 8. Gaya Kepemimpinan adalah kemampuan untuk bertindak di luar budaya untuk memulai proses perubahan evolusi agar menjadi lebih adaptif (Schein dalam Yukl 2010). 9. Gaya Kepemimpinan adalah proses untuk membuat orang memahami manfaat bekerja bersama orang lain, sehingga mereka paham dan mau melakukannya (Drath & Palus dalam Yukl 2010). 10. Gaya Kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi (House et al., dalam Yukl 2010). Jadi dari beberapa pengertian gaya kepemimpinan menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah interaksi dua atau orang lebih dalam suatu kelompok terstruktur atau struktur ulang terhadap situasi persepsi dan harapan anggota. Dua orang itu merupakan pemimpin dengan bawahannya. Keduanya atau lebih menyamakan persepsi dan harapan agar memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang sama dalam memenuhi harapan bersama. 2.1.1 Teori Gaya Kepemimpinan 2.1.1.1 Situasional Approach Para profesional sering mengartikan Situasional Approach sebagai ”manajemen yang berdasarkan situasi”. Apabila kondisinya baik, maka seseorang akan melakukan tindakan A, tetapi apabila situasinya tidak kondusif, ia akan melakukan tindakan B (Iensufiie, 2010). Situasional Approach berfokus pada dua situasi yang dimiliki oleh para pengikut dari seorang pemimpin, yaitu: 1. Kompetensi Seberapa besar kompetensi yang dimiliki oleh para pengikut, apakah tinggi atau rendah? Kompetensi dapat berarti banyak hal yang meliputi kemampuan dari para pengikut, pemahamannya, kepandaiannya, serta kemandiriannya.seorang 12 pengikut dianggap memiliki kompetensi yang tinggi apabila ia dapat menyelesaikan tugas yang diberikan sesuai dengan ekspektasi pemimpin, atau bahkan bisa melebihi harapan pemimpinnya. Dengan sedikit informasi, pengikut yang berkompetensi tinggi mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. 2. Komitmen Komitmen dapat diartikan sebagai loyalitas, rasa penasaran terhadap tugas, keinginan untuk melakukan yang terbaik, dan motivasi untuk memberikan lebih. Seorang pengikut dianggap memiliki komitmen yang tinggi apabila memiliki daya juang yang kuat untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Sebaliknya, ia akan dinilai berkomitmen rendah apabila ia tidak bertanggung jawab kepada tugas-tugas yang diberikan kepadanya 2.1.1.2 Contingency Theory Teori ini setipe dengan Pendekatan Situasional dan sering disebut sebagai ”leader-match” (penyesuaian dengan pemimpin). Maksud dari leader-match adalah menempatkan pemimpin pada pola kepemimpinan yang sesuai dengan situasi yang ada (Iensufiie, 2010). Teori ini difokuskan pada gaya kepemimpinan dan situasi yang menjadi kerangka kerjanya. Gaya kepemimpinan pada Teori Kontingensi mengacu pada dua motivasi, yaitu: 1. Task Motivation (motivasi yang mengacu pada tugas) Pemimpin fokus pada tugas dan hasil yang dicapainya. 2. Relationship Motivation ( motivasi yang mengacu pada relasi) Pemimpin fokus pada usaha untuk membangun relasi dengan pengikut-pengikutnya. 13 2.1.1.3 Path-Goal Theory Path-Goal Theory diterjemahkan sebagai Teori Sarana-Tujuan, yaitu teori yang menjelaskan bagaimana pemimpin memotivasi bawahan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi. Teori ini memberikan pilihan gaya kepemimpinan terbaik yang dibutuhkan oleh para pemimpin untuk memimpin bawahan dan pekerjanya (Iensufiie, 2010). Teori ini mirip dengan Pendekatan Situasional dan Teori Kontingensi, meskipun ketiganya memiliki perbedaan masing-masing. Ada beberapa pendekatan gaya di dalam Teori Sarana-Tujuan, yaitu: 1. Directive Leadership – Gaya Direktif Gaya ini diberlakukan pada situasi di mana pengikut bersifat turut dan patuh, dimana tugas-tugas terasa membingungkan dan aturan organisasi dan prosedur juga tidak jelas bagi mereka. Pemimpin memberikan instruksi yang jelas tentang tugasnya, serta apa yang diharapkan untuk dikerjakan oleh pengikut. 2. Supportive Leadership – Gaya Suportif Pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan yang bersahabat dan merangkul. Pemimpin menganggap pengikut sebagai pribadi yang setara dan dihargai sebagai rekan kerja. 3. Partisipative Leadership - Gaya Partisipatif Gaya ini diterapkan pada situasi di mana terdapat sebuah tugas yang membingungkan. Pemimpin mengajak pengikut untuk memberikan partisipasi, ide, dan opini tentang bagaimana menggunakan sarana untuk mencapai tujuan. 4. Achievement-Oriented Leadership – Kepemimpinan yang Berorientasi Pada Hasil Pada gaya kepemimpinan ini, pemimpin memberi tantangan kepada pengikut dengan standar pekerja yang tinggi, serta melakukan improvement). perbaikan terus-menerus (continuous 14 2.1.1.4 Leader-Member Exchange Theory (LMX Theory) Teori ini diterjemahkan sebagai Teori Pertukaran PemimpinPengikut. Teori kepemimpinan ini menjelaskan bahwa apa yang dimiliki oleh pemimpin dan pengikut dipertukarkan sebagai hal yang saling menguntungkan. Kepemimpinan jenis ini setipe dengan kepemimpinan transaksional, namun kepemimpinan jenis ini dilakukan oleh pihak yang sudah memiliki ikatan transaksional sebelumnya. Di dalam organisasi, ada anggota-anggota yang sudah memegang beberapa tanggung jawab. Pemimpin menawarkan kepada pengikupengikut tertentu untuk mengerjakan sesuatu di luar tanggung jawab yang sudah dibebankan kepada mereka. Apabila kesepakatan tercapai, relasi ini akan mengarah pada hal yang lebih spesifik yang terikat pada proyek baru tersebut. Hubungan ini mengakibatkan pemimpin dan pengikutnya berada di dalam sebuah kesatuan di dalam kesatuan. Di dalam model kepemimpinan ini, ada pengikut yang sudah ada di dalam organisasi dan berada dalam kelompok. Sementara itu, ada pengikut yang sudah berada dalam organisasi namun berada diluar kelompok. Kualitas hubungan antara pemimpin dan pengikut dipengaruhi oleh bagaimana sikap dan komunikasi yang terjadi di antara keduanya (Iensufiie, 2010). 2.1.1.5 Team Leadership Theory Teori ini diterjemahkan sebagai Teori Kepemimpinan Tim/Kelompok. Sebuah tim beranggotakan banyak anggota yang independen. Mereka memiliki kemauan dan kemampuan yang berbedabeda, bergantung antara satu dan lainnya, memiliki satu tujuan yang sama, dan saling mengkoordinasikan aktivitas mereka untuk meraih tujuan. Sebuah tim dapat mencapai tujuan hanya dengan cara bekerja sama sebagai kelompok. Kerja sama tersebut meliputi pembagian tugas serta memberikan sikap saling percaya terhadap kemampuan anggota kelompoknya. Semakin efektif kerja sama tersebut, semakin baik pula pencapaian yang dihasilkan (Iensufiie, 2010). 15 Menurut McGrath, fungsi kepemimpinan dan kaitannya dengan efektivitas kelompok adalah perpaduan dari beberapa hal berikut ini: 1. Mengawasi vs mengambil tindakan (monitoring vs taking action). 2. Fokus pada masalah internal vs eksternal tim/kelompok (focusing an internal group issues vs external issues). Perpaduan keduanya akan menghasilkan empat jenis gaya kepemimpinan kelompok: 1. Mendiagnosis kelemahan kelompok (monitoring/internal). 2. Bertindak terus-menerus untuk memperbaiki kelemahan (executive action/internal). 3. Meramalkan perubahan lingkungan yang akan terjadi (monitoring/external). 4. Mengambil tindakan pencegahan/preventif dalam rangka merespon perubahan lingkungan (executive action/external). 2.1.2 Gaya Kepemimpinan Transformasional Seorang pemimpin transformasional adalah orang yang merangsang dan memberikan inspirasi (mengubah) kepada pengikut untuk mencapai hasil yang luar biasa. Kepemimpinan transformasional berkembang dari kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional menghasilkan tingkat upaya dan kinerja karyawan yang melampaui apa yang akan terjadi dengan pendekatan transaksional saja. Selain itu, kepemimpinan transformasional lebih dari kepemimpinan karisma karena pemimpin transformasional mencoba untuk menanamkan dalam kemampuan pengikut untuk mempertanyakan pandangan tidak hanya mapan tetapi pandangan yang dipegang oleh pemimpin. Pemimpin memperhatikan kebutuhan, kepedulian dan perkembangan pengikut individu, mengubah kesadaran pengikut akan masalah dengan membantu mereka untuk melihat masalah lama dengan cara baru dan mereka mampu membangkitkan dan mengilhami pengikutnya untuk memadamkan usaha ekstra dalam mencapai tujuan kelompok (Robbins dan Coulter, 2012). Kepemimpinan Transformasional, pemimpin menyediakan perhatian individu, yaitu kepemimpinan rangsangan intelektual dimana serta pemimpin tersebut memiliki karisma. Kepemimpinan transformasional lebih 16 menyerukan pada nilai-nilai moral dari para pengikut dalam upayanya untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis (Rorimpandey, 2013). Kepemimpinan transformasional yaitu pemimpin yang mencurahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para pengikutnya dan kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikutnya dengan cara memberikan semangat dan dorongan untuk mencapai tujuannya. Kepemimpinan transformasional adalah suatu kepemimpinan di mana pemimpin memotivasi bawahannya untuk mengerjakan lebih dari yang diharapkan semula dengan meningkatkan rasa pentingnya bawahan dan nilai pentingnya pekerjaan. Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mampu membuat sehingga bawahannya kepentingan menyadari perspektif yang lebih luas, individu akan disubordinasikan terhadap kepentingan tim, organisasi, atau kepentingan lain yang lebih luas (Robbins, 2006). Kepemimpinan transformasional yaitu pemimpin yang mencurahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para pengikutnya dan kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikutnya dengan cara memberikan semangat dan dorongan untuk mencapai tujuannya. Kepemimpinan transformasional adalah suatu proses kepemimpinan dimana pemimpin mengembangkan komitmen pengikutnya dengan berbagai nilai-nilai dan berbagai visi organisasi. Kepemimpinan transformasional mengacu pada pemimpin yang berhasil menggerakkan karyawan melampaui kepentingan diri secara langsung melalui pengaruh ideal (karisma), inspirasi, stimulasi intelektual, atau pertimbangan individual (Putra dan Subudi, 2015). Pada tiga awalnya perilaku, yaitu kepemimpinan transformasional ditunjukkan melalui karisma, konsiderasi individual, dan stimulasi intelektual. Namun pada perkembangannya, perilaku karisma kemudian dibagi menjadi dua, yaitu karisma atau idealisasi pengaruh dan motivasi inspirasional. Kepemimpinan transformasional meningkatkan kesadaran para pengikutnya dengan menarik cita-cita dan nilai-nilai seperti keadilan (justice), kedamaian Suharnomo, 2013). (peace) dan persamaan (equality) (Surbakti dan 17 Teori kepemimpinan transformasional adalah semua tentang kepemimpinan yang menciptakan perubahan positif dalam pengikut dimana mereka mengurus kepentingan satu sama lain dan bertindak dalam kepentingan kelompok secara keseluruhan (Warrilow, 2012). Kepemimpinan Transformasional memiliki pengertian yang bertujuan untuk perubahan. Sesuai dengan kepemimpinan secara alami yaitu adanya pergerakan untuk mencapai tujuan, maka tujuan yang dimaksud di sini adalah perubahan. Perubahan yang dimaksud diasumsikan sebagai perubahan ke arah yang lebih baik, menentang status quo dan aktif (Iensufiie, 2010). Jadi dari beberapa pengertian gaya kepemimpinan transformasional menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional adalah gaya pemimpin yang mampu menyatukan seluruh karyawannya dan mampu mengubah keyakinan, sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan. Lalu pemimpin akan memotivasi bawahan dengan merespon kebutuhan bawahan terkait pemberdayaan kompetensi dan menyesuaikan tujuan dan target dari bawahan seara individu, kelompok dan organisasi, yang berdampak pada kepercayaan bawahan terhadap kemampuan pemimpinnya sehingga meningkatkan kepercayaan diri bawahan, keterlibatan secara emosional, serta motivasi untuk meningkatkan target kinerja. 2.1.2.1 Dimensi Gaya Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan transformasional memiliki empat dimensi (Rorimpandey, 2013): Charisma - Memberikan visi dan misi untuk meraih respek dan kepercayaan. Inspiration - Mengkomunikasikan harapan yang dituju dan mengekspresikan pentingnya tujuan dengan cara yang sederhana. Intelectual simulation - Mendorong intelegensia dan rasionalitas dan berhati-hati dalam menyelesaikan masalah. Individualized consideration Memberikan perhatian personal, melatih dan memberikan saran. 18 2.1.2.2 Unsur Gaya Kepemimpinan Transformasional Didalam Kepemimipinan Transformasional ada beberapa unsur (Iensufiie, 2010): Unsur Pemimpin 1. Pemimpin memiliki karisma di mata pengikut. 2. Pemimpin memiliki visi atau idealism yang sesuai dengan harapan pengikut. 3. Pemimpin mampu memberikan pengaruh kepada pengikut. Unsur Pengikut 1. Pengikut memiliki inspirasi dari dirinya dan memandang pemimpin mampu membawanya untuk mewujudkan inspirasi tersebut. 2. Pengikut memiliki motivasi dan pemimpin menangkap motivasi tersebut untuk diarahkan menjadi tujuan bersama. Unsur Kerja Sama 1. Di dalam melaksanakan pekerjaannya, pemimpin mampu merangsang atau memicu kreatifitas intelektual dari para pengikut. Unsur Keputusan 1. Di dalam kerja sama transformasional, pengikut bebas mengambil keputusan dan bukan karena ada tekanan. 2.1.2.3 Ciri Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan Transformasional memiliki memperhatikan perkembangan dan perubahan ciri prestasi dari adalah para pengikutnya, apakah menjadi semakin baik menurut kriteria organisasi atau tidak. Pemimpin membangun kepercayaan serta mendukung pengikut untuk mengekspresikan segenap potensi yang ada didalam dirinya. Tujuan yang hendak dicapai antara pemimpin dan pengikut sama atau mirip dan berjalan dengan sinkron (Iensufiie, 2010). 19 2.1.3 Gaya Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang bersifat kontraktual antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin membutuhkan pengikut dan menawarkan sesuatu sebagai penukar loyalitas pengikut. Pengikut mau bekerja sama dikarenakan ada hal-hal yang ia kejar sebagai reward. Sementara itu, yang dikerjakan mungkin bukan tujuan pribadinya, melainkan merupakan tujuan pemimpin (Iensufiie, 2010). Transaksional ini adalah kepemimpinan yang berfokus pada transaksi antar pribadi, antara manajemen dan karyawan, dua karakteristik yang melandasi kepemimpinan transaksional yaitu: Para pemimpin menggunakan penghargaan kontigensi untuk memotivasi para karyawan dan para pemimpin melaksanakan tindakan korektif hanya ketika para bawahan gagal mencapai tujuan kinerja (Suwatno dan Priansa dalam Rorimpandey, 2013). 2.1.3.1 Dimensi Gaya Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan transaksional memiliki empat dimensi (Rorimpandey, 2013): Continent reward - Melakukan kontrak pertukaran penghargaan dan upaya, menjanjikan penghargaan atas kinerja yang baik. Management by exception (aktif) - Melihat dan mencari deviasi berdasarkan aturan dan standar, serta melakukan tindakan korektif. Management by exception (pasif) - Mengintervensi bila tidak sesuai standar. Laisezz-faire - Melepaskan tanggung jawab, menghindari pembuatan keputusan. 20 2.1.3.2 Unsur Gaya Kepemimpinan Transaksional Didalam Kepemimpinan Transaksional ada beberapa unsur (Iensufiie, 2010): Unsur kerjasama antara pengikut dan pemimpin yang bersifat kontraktual. Unsur prestasi yang terukur. Unsur reward atau upah yang dipertukarkan dengan loyalitas. 2.1.3.3 Ciri Gaya Kepemimpinan Transaksional Ciri dari kepemimpinan transaksional sudah jelas sejak awalnya. Pola kepemimpinan ini akan berjalan dengan baik apabila ketiga unsur seperti unsur kerja sama antara pengikut dan pemimpin yang bersifat kontraktual, unsur prestasi yang terukur dan unsur reward. Sekaligus memuaskan kedua belah pihak. Meskipun demikian, terkadang ditemukan kenyataan bahwa pengikut tidak memiliki pilihan yang lebih baik daripada yang ditawarkan oleh pemimpin (Iensufiie, 2010). 2.1.4 Gaya Kepemimpinan Laissez Faire Kata-kata laissez faire tersebut berasal dari bahasa Prancis, yang di dalam manajemen dapat diartikan sebagai “tanpa kepemimpinan”. Kondisi ini terjadi pada saat di dalam sebuah komunitas tidak terdapat struktur kepemimpinan. Hal itu dapat terjadi pada kondisi di mana sang pemimpin menyerah dan membiarkan segala sesuatu berjalan apa adanya seperti yang sudah-sudah. Kondisi laissez faire juga dapat terjadi pada masa penantian pergantian pemimpin, di mana pemimpin (ad interm) yang sementara menggantikan pemimpin yang lama tidak mengambil keputusan yang bersifat mengubah sesuatu sampai munculnya pemimpin pengganti yang sah (Iensufiie, 2010). Pemimpin memberikan kekuasaan penuh terhadap bawahannya. Struktur organisasi bersifat longgar dan pemimpin bersifat pasif. Pemimpin menghindari kuasa dan tanggung jawab, kemudian menggantungkannya kepada kelompok baik dalam menetapkan tujuan maupun menanggulangi masalahnya sendiri. Gaya ini tidak berdasarkan pada aturan-aturan. Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini menginginkan seluruh anggota 21 kelompoknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang dimilikinya. Tindak komunikasi dari pemimpin ini cenderung berlaku sebagai seorang penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbangan pemikiran dari anggota kelompoknya. Jika tidak ada yang mengendalikannya, kelompok yang memakai gaya ini akan menjadi tidak terorganisasi, tidak produktif dan anggotanya akan apatis, sebab mereka merasa bahwa kelompoknya tidak memiliki maksud dan tujuan yang hendak dicapai. 2.1.4.1 Ciri Gaya Kepemimpinan Laissez Faire Pemimpin menyerahkan tanggung jawab pada pelaksanaan pekerjaan kepada bawahan. Pemimpin memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengemukakan ide, saran dan pendapat. Pemimpin menyerahkan kepada bawahan sepenuhnya dalam hal pengambilan keputusan. Pemimpin percaya bawahannya mampu melaksanakan tugas tugasnya dengan baik. Pemimpin membiarkan bawahannya memilih cara-cara yang dikehendakinya dalam melaksanakan tugas. 2.2 Motivasi Kerja Motivasi mempunyai kaitan erat dengan gaya kepemimpinan. Karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain sangat tergantung kepada kewibawaan dan bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap karyawan, sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Karyawan sangat membutuhkan motivasi dari pimpinan untuk mewujudkan cita-cita di masa mendatang baik melalui pelatihan, pada saat bekerja, sehingga terbentuk suatu sinergi yang dapat meningkatkan produktivitas. Pada dasarnya motivasi kerja dapat memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas kerja karyawan sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan perusahaan (Wahjosimidjo dalam Surbakti dan Suharnomo, 2013). 22 Motivasi adalah proses dimana upaya seseorang diberi energi, diarahkan dan berkelanjutan untuk menuju mencapai tujuan. Motivasi merupakan dorongan terhadap serangkaian proses perilaku manusia pada pencapaian tujuan. Sedangkan elemen yang terkandung dalam motivasi meliputi unsur membangkitkan, mengarahkan, menjaga, menunjukkan intesitas, bersifat terus-menerus dan adanya tujuan (Robbins dan Coulter, 2012). Motivasi kerja mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: ekspektasi keberhasilan pada tugas, instrumentalis yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas dan valensi yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan positif, netral, atau negative (Mangkunegara, 2006). Motivasi sebagai proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Motivasi umumnya terkait dengan upaya ke arah sasaran, tapi fokus dalam hal ini adalah tujuan organisasi agar mencerminkan minat tunggal terhadap perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Selanjutnya dikenal teori dua faktor atau teori motivasihigiene yang dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg: Faktor motivator (satisfiers), situasi yang merupakan sumber kepuasan kerja, sehingga mendorong orang untuk berperilaku tertentu dan memotivasi untuk bekerja lebih giat dan semangat, sehingga memberikan kepuasan kerja, terdiri dari penghargaan, tanggung jawab, pekerjaan yang menarik, pertumbuhan dan perkembangan, prestasi kerja dan lain-lain. Faktor hygiene (dissatisfiers), yang menjadi penyebab seseorang untuk tidak melakukan sesuatu, karena jika dilakukan akan menghadapi ketidakpuasan, terdiri dari kebijakan organisasi, supervisi, kondisi lingkungan, hubungan antar manusia, gaji, keamanan, dan lain-lain (Robbins, 2006). Motivasi kerja merupakan motivasi yang terjadi pada situasi dan lingkungan kerja yang terdapat pada suatu organisasi atau lembaga. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan memang sering dikaitkan dengan motivasi kerja guru. Pada dasarnya manusia selalu menginginkan hal yang baik-baik saja, sehingga daya pendorong atau penggerak yang memotivasi semangat kerjanya tergantung dari harapan yang akan 23 diperoleh mendatang jika harapan itu menjadi kenyataan maka seseorang akan cenderung meningkatkan motivasi kerjanya (Wibowo, 2010). Jadi dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja merupakan suatu keahlian dalam mengarahkan atau mengendalikan dan menggerakan seseorang untuk melakukan tindakan akan perilaku yang diinginkan berdasarkan sasaran-sasaran yang sudah ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu. Ada tiga faktor sumber motivasi kerja (Veithzal, 2009): 1. Kemungkinan untuk berkembang. 2. Jenis pekerjaan. 3. Apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari perusahaan di tempat mereka bekerja 2.2.1 Teori Awal Motivasi Kerja 2.2.1.1 Teori Hirarki Kebutuhan Maslow Teori motivasi yang paling dikenal adalah Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow. Maslow adalah psikolog humanistik yang berpendapat bahwa pada diri setiap orang terdapat hirarki lima kebutuhan, yaitu: 1. Kebutuhan fisiologis (Physiological needs): makanan, minuman, tempat tinggal, kepuasan seksual, dan kebutuhan fisik lain. 2. Kebutuhan keamanan (Safety needs): keamanan dan perlindungan dari gangguan fisik dan emosi, dan juga kepastian bahwa kebutuhan fisik akan terus terpenuhi. 3. Kebutuhan sosial (Social needs): kasih sayang, menjadi bagian dari kelompoknya, diterima oleh teman-teman, dan persahabatan. 4. Kebutuhan harga diri (Esteem needs): faktor harga diri internal, seperti penghargaan diri, otonomi, pencapaian prestasi dan harga diri eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian. 5. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization needs): pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri; dorongan untuk menjadi apa yang dia mampu capai. 24 Seorang individu bergerak naik ke hirarki kebutuhan dari satu tingkat ke tingkat yang berikutnya. Selain itu, Maslow memisahkan lima kebutuhan ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan dianggap kebutuhan yang lebih rendah, sedangkan kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi diri dianggap kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan urutan lebih rendah didominasi oleh kepuasan eksternal sementara kebutuhan tingkat tinggi didominasi oleh kepuasan internal. Bagaimana teori Maslow menjelaskan motivasi? Manajer menggunakan hirarki Maslow untuk memotivasi karyawan dalam melakukan hal-hal untuk memenuhi kebutuhan karyawan. Tetapi teori ini juga mengatakan bahwa setelah kebutuhan secara substansial terpenuhi, maka seorang individu tidak lagi termotivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, untuk memotivasi seseorang, kita perlu memahami ditingkat mana keberadaan orang itu dalam hirarki dan perlu berfokus pada pemuasan kebutuhan pada atau diatas tingkat itu. Teori kebutuhan Maslow secara luas diakui selama tahun 1960 dan 1970-an, terutama di kalangan manajer terlatih, mungkin karena logis dan mudah dimengerti secara intuitif (Robbins dan Coulter, 2012). 2.2.1.2 Teori X dan Y McGregor Douglas McGregor terkenal karena rumusannya tentang dua kelompok asumsi mengenai sifat manusia, yaitu Teori X dan Teori Y. Teori X pada dasarnya menyajikan pandangan negatif tentang orang. Teori X berasumsi bahwa para pekerja mempunyai sedikit ambisi untuk maju, tidak menyukai pekerjaan, ingin menghindari tanggung jawab, dan perlu diawasi dengan ketat agar dapat efektif bekerja. Teori Y menawarkan pandangan positif. Teori Y berasumsi bahwa para pekerja dapat berlatih mengarahkan diri, menerima dan secara nyata mencari tanggung jawab, dan menganggap bekerja sebagai kegiatan alami. McGregor yakin bahwa asumsi Teori Y lebih menekankan sifat pekerja sebenarnya dan harus menjadi pedoman bagi praktik manajemen. Sayangnya, tidak ada bukti yang menegaskan bahwa asumsi Teori Y adalah satu-satunya cara untuk memotivasi karyawan (Robbins dan Coulter, 2012). 25 2.2.1.3 Teori Motivasi Dua Faktor Herzberg Dua faktor teori Frederick Herzberg (Teori juga disebut motivasi hygiene) mengusulkan bahwa faktor intrinsik terkait dengan kepuasan kerja, sedangkan faktor ekstrinsik terkait dengan ketidakpuasan kerja. Herzberg ingin tahu ketika orang merasa sangat baik (puas) atau buruk (tidak puas) tentang pekerjaan mereka. Dia menyimpulkan bahwa balasan orang memberi ketika mereka merasa baik tentang pekerjaan mereka secara signifikan berbeda dengan balasan mereka memberi ketika mereka merasa buruk. Karakteristik tertentu secara konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja. Teori ini menyatakan bahwa kepuasan dan ketidak-puasan seseorang dipengaruhi oleh dua kelompok faktor independen yakni faktorfaktor penggerakan motivasi dan faktor-faktor pemelihara motivasi. Menurut Herzberg, karyawan memiliki rasa kepuasan kerja dalam pekerjaannya, tetapi faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan berbeda jika dibandingkan dengan faktor-faktor ketidak-puasan kerja. Rasa kepuasan kerja dan rasa ketidak-puasan kerja tidak berada dalam satu kontinum. Lawan dari kepuasan adalah tidak ada kepuasan kerja sedangkan lawan dari ketidakpuasan kerja adalah tidak ada ketidak-puasan kerja (Robbins, 2006). Faktor-faktor yang merupakan penggerak motivasi (faktor-faktor intrinsik) ialah: Prestasi (Achievement), artinya karyawan memperoleh kesempatan untuk mencapai hasil yang baik atau berprestasi. Pengakuan (Recognition), artinya karyawan memperoleh pengakuan dari pihak perusahaan bahwa ia adalah orang, berprestasi, baik, diberi penghargaan, pujian, dimanusiakan, dan sebagainya. Pekerjaan itu sendiri (Work Itself), artinya memang pekerjaan yang dilakukan itu sesuai dan menyenangkan bagi karyawan. Tanggung jawab (Responsibility), artinya karyawan diserahi tanggung jawab dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, tidak hanya semata-mata melaksanakan pekerjaan. 26 Pertumbuhan dan perkembangan (Advancement and Growth), artinya dalam setiap pekerjaan itu ada kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang. Adapun faktor-faktor pemelihara motivasi (faktor-faktor ekstrinsik) ialah: Pengawasan (Supervision) terhadap karyawan. Kebijakan dalam perusahaan (Company Policy). Hubungan dengan atasan (Relationship with Supervisor). Kondisi tempat kerja (Working Condition). Gaji (Salary) yang diterima karyawan. Hubungan dengan rekan-rekan kerja sederajat (Relationship with Peers). Kehidupan pribadi para karyawan (Personal Life). Hubungan dengan bawahan (Relationship with Subordinates). Kedudukan (Status) karyawan. Keamanan dan keselamatan kerja (Security). Menurut Herzberg, meskipun faktor-faktor pendorong motivasi baik keadaannya (menurut penilaian karyawan), tetapi jika faktor-faktor pemeliharaan tidak baik keadaannya, tidak akan menimbulkan kepuasan kerja bagi karyawan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan motivasi dengan cara perbaikan faktor-faktor pemeliharaan, baru kemudian faktor-faktor pendorong motivasi. Teori Herzberg populer pada 1960-an sampai awal 1980-an. Meskipun beberapa kritikus mengatakan teorinya terlalu sederhana, namun teori tersebut telah mempengaruhi bagaimana kita dalam dunia kerja (Robbins dan Coulter, 2012). 2.2.1.4 Teori Tiga Kebutuhan David McClelland menyebutkan ada tiga kelompok motivasi kebutuhan yang dimiliki seseorang yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi. Kebutuhan prestasi (need for achievement (nAch)) yaitu adanya keinginan atau dorongan untuk mencapai tujuan yang lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini dapat 27 dicapai dengan cara merumuskan tujuan, mendapatkan umpan balik, memberikan tanggung jawab pribadi, dan bekerja keras. Kebutuhan kekuasaan (need for power (nPow)) yaitu adanya kebutuhan kekuasaan yang mendorong seseorang bekerja sehingga termotivasi dalam pekerjaannya. Cara bertindak dengan kekuasaan tergantung kepada pengalaman masa kanak-kanak, kepribadian, pengalaman kerja, dan tipe organisasi. Kebutuhan afiliasi (need for affiliation (nAff)) yaitu kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dapat dicapai dengan cara bekerja sama dengan orag lain, dan sosialisasi. Dari tiga kebutuhan tersebut, kebutuhan untuk berprestasi telah diteliti paling dalam. Orangorang dengan kebutuhan tinggi untuk berprestasi memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik atau lebih efisien daripada yang pernah dilakukan sebelumnya. Mereka lebih memilih pekerjaan yang menawarkan tanggung jawab pribadi untuk menemukan solusi dalam masalah, di mana mereka dapat menerima umpan balik yang cepat dan jelas tentang kinerja mereka dalam rangka untuk mengetahui apakah mereka membaik, dan di mana mereka dapat menetapkan tujuan risiko moderat. Kebutuhan prestasi yang tinggi tidak selalu mengarah untuk menjadi manajer yang baik, terutama dalam organisasi besar. Itu karena kebutuhan berprestasi fokus pada prestasi mereka sendiri, sementara manajer yang baik menekankan membantu orang lain (bawahannya) dalam mencapai tujuan mereka. McClelland menunjukkan bahwa karyawan dapat dilatih untuk merangsang kebutuhan prestasi mereka dengan berada di situasi di mana mereka memiliki tanggung jawab pribadi, umpan balik, dan risiko moderat. Sedangkan dua kebutuhan lain dalam teori ini belum diteliti secara luas seperti kebutuhan untuk berprestasi. Namun, kita tahu bahwa manajer terbaik cenderung tinggi dalam kebutuhan kekuasaan dan rendah akan kebutuhan afiliasi (Robbins dan Coulter, 2012). 28 2.3 Kinerja Karyawan Kinerja berasal dari pengertian performance, dimana pengertian performance itu sendiri adalah sebagai hasil kerja atau prestasi kerja sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku pada masing-masing organisasi. Sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya mengenai hasil kerja tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan secara langsung (Wibowo, 2010). Kinerja karyawan merupakan performance atau unjuk kerja. Kinerja dapat pula diartikan sebagai prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk kerja. Sehingga kinerja dapat disimpulkan sebagai hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku dalam kurun waktu tertentu berkenaan dengan pekerjaan serta perilaku dan tindakannya (Mangkunegara, 2006). Kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi - fungsi atau indikator - indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu (Veithzal, 2009). Kinerja karyawan adalah konsep universal dari efektivitas operasional organisasi yang merupakan bagian organisasi dan bagian karyawan berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan. Istilah kinerja berasal dari kata job performance (prestasi kerja) atau actual performance (prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkuprawira dalam Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014) Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai melaksanakan tugasnya sesuai dengan oleh tanggung seorang jawab pegawai yang dalam diberikan kepadanya. Kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu (Sutrisno, 2010). Kinerja (job performance) berarti hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan etika. Kinerja seorang karena kinerja karyawan berperan penting bagi moral suatu perusahaan, setiap karyawan merupakan sumbangan bagi tercapainya kinerja 29 setiap fungsi perusahaan dan pada gilirannya kinerja fungsi-fungsi perusahaan memberi sumbangan terhadap pencapaian kinerja karyawan dalam kinerja suatu perusahaan perusahaan . dapat menyebabkan Rendahnya terhambatnya suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan dan sifat-sifat individu (Putra dan Subudi, 2015). Kinerja sudah menjadi kata popular yang sangat menarik dalam pembicaraan manajemen publik. Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (per-individu) dan kinerja organisasi. Kinerja karyawan adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, dan visi organisasi misi, tersebut. Kinerja karyawan merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan. Kinerja menjadi tolak ukur yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengukur sejauh mana karyawan dapat mengemban tugas yang mereka emban dan bagaimana ada suatu kemajuan yang dialami oleh perusahaan kedepannya (Surbakti dan Suharnomo, 2013) Kinerja karyawan lebih mengarah pada tingkat prestasi kerja yang merefleksikan bagaimana keryawan dapat memenuhi kebutuhan pekerjaan dengan baik. Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan (Fawzi dalam Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014). Kinerja mengacu pada prestasi seseorang yang diukur berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan (Mas’ud dalam Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014). Kinerja sebagai prestasi kerja merupakan perbandingan antara hasil kerja nyata dengan standar kerja yang ditetapkan (Dessler dalam Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014). Kinerja sebagai hasil-hasil yang telah dicapai seseorang dengan menggunakan media tertentu (Hersey dan Blanchard dalam Edward, Sumarni dan Almaududi, 2014). Dari pengertian kinerja karyawan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah hasil kerja yang dicapai sumber daya manusia dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan sesuai dengan perannya dalam suatu perusahaan. 30 2.3.1 Variabel Kinerja Karyawan Instrumen variabel kinerja karyawan diukur dengan 6 (enam) dimensi (Mathis dan Jackson dalam Edward, Sumarni dan Almaududi , 2014): Kecepatan kerja (speed activity) yaitu persepsi responden terkait kecepatan dan kesigapan mereka dalam melaksanakan perkerjaan, dengan indikator-indikator: selesai tepat waktu; dan pekerjaan penting. Kedisiplinan kerja (work timetable) yaitu persepsi tentang kedisiplinannya dalam bekerja, dengan indikator-indikator: disiplin; dan selalu siap. Pengetahuan kerja (job knowledge) yaitu persepsi responden terkait pemahaman dan pengetahuan mereka akan pekerjaannya, dengan indikator-indikator: memahami pekerjaan; dan kemampuan bekerja. Kualitas diri (personal qualities) yaitu persepsi responden terkait kualitas individual yang dimiliki mereka dalam bekerja, dengan indikator-indikator: mementingkan pekerjaan; ketaatan; tanggung jawab; dan pengorbanan. Inisiatif (initiative) yaitu persepsi responden terkait kemampuan mereka dalam mencapai ide dalam menyelesaikan pekerjaan, dengan indikator-indikator: inovasi; dan solusi. Kualitas kerja (quality of work) yaitu persepsi responden terkait kualitas pekerjaan yang dilaksanakan, dengan indikator-indikator: kesesuaian kerja; ketelitian; dan hasil kerja. 31 2.3.2 Faktor-Faktor Kinerja Karyawan Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan menurut Sutrisno (2010), adalah: Efektivitas dan Efisiensi Dalam hubnngannya dengan kinerja organisasi, maka ukuran baik buruknya kinerja diukur oleh efektivitas dan efisiensi. Masalahnya adalah bagaimana proses terjadinya efektivitas dan efisiensi organisasi. Dapat dikatakan efektif apabila mencapai tujuan dan dapat dikatakan efisien apabila hal tersebut memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan. Otoritas dan Tanggungjawab Dalam organisasi yang baik, wewenang dan tanggung jawab telah didelegasikan dengan baik tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing-masing karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap orang dalam suatu organisasi akan mendukung kinerja karyawan. Disiplin Secara umum, disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan. Masalah disiplin karyawan yang ada didalam organisasi baik pada atasan maupun bawahan akan memberikan pengaruh pada kinerja organisasi. Kinerja organisasi akan tercapai apabila kinerja individu maupun kelompok ditingkatkan. Inisiatif Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi. Dengan kata lain, inisiatif karyawan yang ada didalam organisasi merupakan daya dorong kemajuan yang akhirnya akan mempengaruhi kinerja. 32 2.4 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang digunakan untuk mempelajari Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Sarana Janesia Utama. Digambarkan sebagai berikut: Gaya Kepemimpinan Transformasional T-1 (X1) Kinerja Karyawan Motivasi Kerja (Y) T-2 (X2) T-3 H-3 2.5 Hipotesis Hipotesa merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2010). Dari kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis atau dugaan sementara terhadap variabel-variabel penelitian yang digunakan sebagai berikut: 1. Untuk T-1 Ho: Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama. Ha: Ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama. 33 2. Untuk T-2 Ho: Tidak ada pengaruh secara signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama. Ha: Ada pengaruh secara signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama. 3. Untuk T-3 Ho: Tidak ada pengaruh secara simultan dan signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dan motivasi kerja secara simultan terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama. Ha: Ada pengaruh secara simultan dan signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dan motivasi kerja secara simultan terhadap kinerja karyawan pada PT. Sarana Janesia Utama.