Article Perlindungan Hukum terhadap Pasien Jasa Kesehatan di Rumah Sakit (Legal Protection for Health Care Patients in Hospital Based on Indonesian Law) Notaricia Sartika Mahasiswa Strata -1 Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya, Indonesia ABSTRAK Setiap manusia dilahirkan mempunyai hak asasi manusia. Salah satu hak asasi manusia yang diakui dan dihormati di Indonesia adalah hak kesehatan. Hak kesehatan diatur secara langsung dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pentingnya kesehatan membutuhkan upaya untuk mewujudkan kesehatan sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan serta konsep pentingnya kesehatan dalam berbagai aspek. Upaya mewujudkan kesehatan, terutama kesehatan yang berkeadilan masih terasa sulit. Stigma pasien berada pada posisi di bawah tenaga kesehatan kerapkali menjadikan pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan di rumah sakit dilakukan secara sewenang-wenang. Secara yuridis, semua ketentuan penyelesaian dalam perlindungan pasien terkait dengan pemberian ganti rugi dan penyelesaian sengketa secara umum pengaturannya tidak jelas. Hal ini karena Undang Undang Kedokteran, Undang Undang Rumah Sakit, dan Undang Undang Perlindungan Konsumen mengatur berbeda. Hal ini tentu menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Tipe penelitian ini adalah yuridis-normatif. Tipe ini dipilih karena yang akan diteliti adalah pengaturan atau norma yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa kesehatan di rumah sakit. Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban dalam Undang Undang Kesehatan, Undang Undang Kedokteran, Undang Undang Rumah Sakit dan Undang Undang Perlindungan Konsumen tidak diatur sanksinya. Hal ini tentu mengancam perlindungan hukum pasien jasa kesehatan. Mengingat pasien jasa kesehatan merupakan pihak yang selalu berada di bawah petugas kesehatan sebagai pelaku usaha. Kata kunci : Perlindungan pasien, pasien jasa kesehatan, pelayanan kesehatan rumah sakit, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Kedokteran ABSTRACT Every human being has been born with human rights. One of the human rights recognized and respected in Indonesia is the right to health. The right to health is set directly in the Indonesian constitution, namely in 28H of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, which stipulates that "every person has the right to live physical and spiritual prosperity, reside, and obtain a good and healthy environment as well as receive medical care". The importance of health requires effort to achieve health in accordance with the mandate of the constitution and legislation as well as the concept of the importance of health in various aspects. The Efforts the justice of health is still difficult. The stigma that patient is in a position below the 1 medical workers often makes the service provided health personnel at the hospital carried out arbitrarily. Legally, all the terms of the settlement in the protection of patients related to the compensation and settlement of disputes in general regulation are not clear. This is because the Health Law, Hospital Law, and Consumer Law Protection set up differently. This would create legal uncertainty. This type of research is juridical - normative. Types have been selected to be studied is the regulations or norms related to the legal protection of patients as consumers of health services at the hospital. This study uses the statute approach and conceptual approaches. Violations of the rights and obligations of the Health Law, Medical Law, Hospital Law, and the Consumer Protection Law doesn’t set penalties. This certainly threatens legal protection health care patients. Considering the patient's health services are the ones that are always under health care workers as health entrepreneurs. Keywords: legal protection, patients protection, health care hospitals, health law, hospital law, medical law, consumer protection law Korespondensi (correspondence): Notaricia Sartika, E-mail: [email protected] A. PENDAHULUAN Setiap manusia dilahirkan mempunyai hak asasi manusia (selanjutnya disingkat dengan HAM) masing-masing, mulai dari kandungan sampai dilahirkan. Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata) dinyatakan bahwa “anak yang masih dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”1. HAM tersebut merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap manusia. HAM harus dihormati dan dipenuhi sebagai perwujudan dari Tuhan dan manusia lain.2 Salah satu HAM yang diakui dan dihormati di Indonesia adalah hak kesehatan. Hak kesehatan diatur secara langsung dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam Pasal 28H Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD 1945), yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Tidak hanya itu, hak kesehatan tersebut harus diaplikasikan secara merata dalam masyarakat. Tidak ada tebang pilih dalam memberikan hak kesehatan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Hal ini dengan berdasarkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsep negara hukum yang dianut Indonesia mengandung konsekuensi bahwa negara harus memberikan jaminan perlindungan terhadap HAM.3 Salah satu akibat hukum dari adanya konsep negara hukum adalah pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Artinya, dalam negara hukum tidak ada perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, semua perbuatan harus dipertanggungjawabkan secara hukum apabila orang tersebut melakukan perbuatan melanggar hukum. Berangkat dari ketentuan dalam Pasal 28H UUD 1945 tersebut, kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disingkat dengan UUK), pada bagian konsideran UUK tersebut disebutkan bahwa undang-undang tersebut disusun semata-mata untuk mewujudkan HAM. Berikut bunyi konsideran poin a dan b UUK yang berbunyi : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa 1 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2012, halaman1 2 Darji D. Dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, halaman . 168 3 Andi Mappetahang Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku Kompas, Jakarta, 2009, halaman 48 2 Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; Selain untuk pemenuhan HAM, lahirnya UUK juga dilatarbelakangi oleh pentingnya kesehatan. Kesehatan dipandang sebagai hal penting karena bisa memberikan konstribusi terhadap perkembangan ekonomi, kendati tidak secara langsung. Sebaliknya, bermasalahnya kesehatan bisa berakibat terhadap kerugian ekonomi secara langsung. Kesehatan merupakan investasi bagi negara. Berikut bunyi konsideran UUK poin c dan d yang menentukan bahwa : b. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara; c. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat; Kesehatan menjadi “salah satu syarat seseorang dalam melakukan semua dinamika kehidupan. Tanpa kesehatan, masyarakat tidak bisa menjalankan dinamika kehidupan dengan lancar ”4. Kesehatan menjadi salah satu penunjang yang penting dan krusial bagi perkembangan dan kemajuan suatu negara. Pentingnya kesehatan juga diatur dalam UUK. UUK mengatur bahwa hanya orang-orang tertentu yang bisa menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 23-24 UUK yang menentukan bahwa : Pasal 23 (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. 4 Ardyan G.R, Serba Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, Bukune, Jakarta, 2010, halaman iv (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. Pentingnya kesehatan membutuhkan upaya untuk mewujudkan kesehatan sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundangundangan serta konsep pentingnya kesehatan dalam berbagai aspek. Upaya mewujudkan kesehatan, terutama kesehatan yang berkeadilan masih terasa sulit. Stigma pasien berada pada posisi di bawah tenaga kesehatan kerapkali menjadikan pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan di rumah sakit dilakukan secara sewenang-wenang. Penyelesaian sengketa kesehatan yang melibatkan pasien sebagai pengguna jasa dengan petugas kesehatan sebagai pelaku jasa mengalami ketidakpastian hukum. Jika UU Kedokteran mengatur bahwa penyelesaian dilakukan di MK DKI, maka tidak halnya dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Rumah Sakit. Pasal 4 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat dengan UUPK) menyebutkan bahwa “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Pelaku usaha dalam hal ini adalah petugas kesehatan juga mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan dan benar dan tidak diskriminatif. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 poin c yang menentukan bahwa salah satu kewajiban pelaku usaha adalah “memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”. Jika mengacu pada ketentuan dalam UUPK maka ganti kerugian harus diberikan dengan cara penyelesaian di luar pengadilan atau di pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 45 UUPK. Selain diatur dalam UU Kedokteran dan UUPK, perlindungan konsumen juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disingkat dengan UURS). Pasal 46 UURS menentukan bahwa “rumah sakit bertanggung jawab secara hukum 3 terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”. Pelaksanaan hal tersebut dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 60 UURS. Secara yuridis, semua ketentuan penyelesaian dalam perlindungan pasien terkait dengan pemberian ganti rugi dan penyelesaian sengketa secara umum pengaturannya tidak jelas. Hal ini karena UU Kedokteran, UURS, dan UUPK mengatur berbeda. Hal ini tentu menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Selain itu, pasien jasa kesehatan dengan petugas kesehatan mempunyai hubungan hukum satu sama lain yang melahirkan hak dan kewajiban satu sama lain. Antara pasien jasa kesehatan dengan tenaga kesehatan mempunyai posisi yang sama. Hal ini bisa dilihat dari asas-asas perlindungan konsumen dalam UUPK, asas kesehatan dalam UUK, dan asas rumah sakit dalam UURS. Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK yang menentukan bahwa “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Pasal 2 UUK menentukan bahwa asas pembangunan kesehatan dilakukan dengan asas sebagai berikut : “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama”. Selain itu, pasien jasa kesehatan juga dilindungi oleh UURS. Pasien jasa kesehatan harus mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari petugas kesehatan. Pasal 2 UURS menentukan bahwa “rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial”. Asas-asas tersebut mengarah pada persamaan hak dan kewajiban antara pasien jasa kesehatan dengan petugas kesehatan. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan diaturnya hak dan kewajiban antara pasien jasa kesehatan dengan petugas kesehatan, baik dalam UUPK, UUK dan UURS sebagaimana sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Dengan demikian, maka kepastian hukum terhadap pasien masih belum diatur secara jelas. Pada satu sisi, hubungan pasien dengan rumah sakit diatur sama dan seimbang, akan tetapi dalam penyelesaian sengketa pihak rumah sakit lebih diunggulkan yaitu dengan adanya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Ketidakpastian hukum lainnya adalah penyelesaian sengketa yang diatur berbeda-beda dalam UU Kedokteran, UUPK dan UURS. B. Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia Perlindungan hukum terhadap pasien jasa kesehatan dibutuhkan karena kesehatan merupakan hak asasi manusia. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam pasal 28H UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dari pasal tersebut jelas sekali bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, yang mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Diakuinya kesehatan sebagai salah satu bagian dari HAM juga diakui secara Internasional. Hal tersebut bisa dilihat dari berdirinya Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, selanjutnya disingkat dengan WHO) pada tahun 1948. Tujuan dari didirikannya WHO tersebut adalah “untuk memberikan perlindungan HAM khusus kesehatan”5. Adnan Buyung Nasution juga menyatakan bahwa “kesehatan merupakan HAM yang mendapat pengakuan secara internasional”6. Eksistensi kesehatan diatur dalam prinsip-prinsip kesehatan secara lengkap dan rinci. Selain dalam UUD 1945, kesehatan sebagai bagian dari HAM juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain yang secara khusus mengatur mengenai kesehatan. Pada bagian konsideran poin a UUK ditentukan “bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Selanjutnya, dalam diktum dua bagian konsideran UU Kedokteran juga disebutkan bahwa “kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat 5 Pronoto Iskandar, Hukum HAM Internasional, Cianjur: IMR Press, 2012, halaman 334 6 AdnanBuyung Nasution, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, halaman 475 4 melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat”. UURS juga menentukan bahwa kesehatan merupakan HAM, sebagaimana disebutkan dalam poin a konsideran UURS dinyatakan bahwa “pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya”. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka kesehatan merupakan bagian dari HAM yang mengandung konsekuensi harus dipenuhi dan dihormati. Hal ini karena HAM merupakan pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana sudah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa “HAM adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dipenuhi”7. Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa “HAM merupakan hal yang harus dipenuhi oleh negara kepada masyarakat. Negara merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dalam menegakkan HAM. Negara harus melakukan berbagai upaya untuk menegakkan HAM”8. Pemenuhan HAM dalam bidang kesehatan tersebut harus diberikan dengan baik. Tolak ukur baik tersebut adalah peraturan perundangundangan yang mengatur secara jelas terkait dengan operasional pelayanan kesehatan, tanpa adanya pertentangan dan kontradiksi satu sama lain. Antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain secara ideal harus bisa saling sejalan dalam mengatur pelayanan kesehatan. Sejalan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayan- an kesehatan, kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, maka diperlukan adanya rumah sakit. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Rumah sakit diselenggarakan berdasarkan asas Pancasila dan didasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan 7 Darji D. Dan Shidarta,Op.cit, halaman 154 Adnan Buyung Nasution,Op.cit, halaman 293 8 keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dengan demikian, rumah sakit merupakan sarana untuk pelayanan perlindungan dan keselamatan pasien, yang merupakan hak asasi manusia. C. Perlindungan Hukum Pasien Jasa Kesehatan Dalam Peraturan PerundangUndangan Dengan bertumpu pada Pasal 28H UUD 1945 yang mengatur terkait dengan kesehatan sebagai bagian dari HAM, maka disusun beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kesehatan, yaitu UUK, UU Kedokteran, dan UURS. Selain itu terkait dengan perlindungan hukum juga diatur dalam UUPK. Salah satu bentuk pemberian perlindungan hukum adalah adanya kejelasan dan jaminan terkait dengan hak dan kewajiban. Koerniatmanto Soetoprawiro menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah jaminan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat. “Perlindungan hukum diartikan sebagai upaya negara dan pemerintah dalam memberikan kemudahan dalam setiap kegiatan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum”9. UUK, UU Kedokteran, dan UURS dan UUPK sudah mengatur terkait dengan hak dan kewajiban pasien sebagai konsumen serta hak dan kewajiban petugas kesehatan (pelaku usaha kesehatan). Jika ditelaah hak dan kewajiban antara pasien jasa kesehatan dengan petugas jasa kesehatan, maka terdapat kontradiksi dalam hal hak petugas kesehatan untuk menerima imbalan. Pada satu sisi, diatur bahwa petugas kesehatan dilarang untuk mengutamakan kepentingan yang bersifat materiil (pasal 23 ayat [4] UUK). Ketentuan tersebut mengamanatkan bahwa petugas kesehatan harus mengutamakan kepentingan kesehatan masyarakat di atas segalanya, termasuk kepentingan materiil. Petugas kesehatan harus memberikan pelayanan kesehatan tanpa harus berfikir terkait dengan materiil. Hal ini karena kesehatan masyarakat merupakan hal yang terpenting. Akan tetapi, pada lain sisi, petugas kesehatan diberi hak untuk menerima imbalan jasa 9 KoerniatmantoSoetoprawiro,Pengaturan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak-anak Dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia, Dalam Kisi Hukum, Jurnal Ilmiah Hukum Univrsitas Katolik Soegijapranata, Tahun 2010, halaman 8 5 dari pihak pasien. Hal ini sebagaimana diatur dalam UUK, UU Kedokteran, UURS, dan UUPK. Ketentuan hak tersebut tentu bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 23 ayat [4] UUK. Hal ini karena petugas kesehatan akan tetap berfikir dan mengutamakan kepentingan materiil karena hal tersebut merupakan hak petugas kesehatan. Sesuatu yang menjadi hak dari petugas kesehatan, maka menjadi kewajiban bagi pasien, dan bagitu sebaliknya. Selain itu, kelemahan dari UUK, UU Kedokteran, UURS, dan UUPK tidak mengatur mengenai sanksi baik pidana maupun perdata jika salah satu pihak melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban pihak lain. Kondisi bisa mengancam perlindungan hukum bagi pasien, mengingat pasien selalu ditempatkan di posisi bawah setelah pelaku usaha (petugas kesehatan). D. Pelaksanaan Tanggung Gugat Rumah Sakit Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa jika pasien mengalami kerugian karena kelalaian atau kesalahan petugas kesehatan, maka pasien berhak menerima ganti rugi, sebab pada posisi seperti pasien mengalami kerugian yang disebabkan oleh rumah sakit akibat wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum. Secara teori, wanprestasi adalah “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya”.10 Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.11 Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan, kelalaian, dan tanpa kesalahan. Berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Seperti halnya perbuatan melawan hukum, wanprestasi 10 Yahya H., Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cetakan Kedua. Bandung : Penerbit Alumni, 1986, halaman 60 11 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, halamanl 87 juga membawa akibat, yaitu akibat dari perbuatan cidera janji yaitu suatu keharusan atau kemestian bagi debitur membayar ganti rugi (schadevergoeding). Perbuatan melanggar hukum sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Perbuatan melanggar hukum, tidak hanya perbuatan melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar ketertiban, kesusilaan, dan kepatutan. Hubungan antara pasien jasa kesehatan dengan petugas kesehatan rentan terhadap permasalahan. Oleh karena itu undang-undang mengantisipasi dengan mengatur mengenai tanggung gugat atas permasalahan tersebut. Pengaturan mengenai penyelesaian tanggung gugat antara pasien jasa kesehatan dengan petugas kesehatan diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan yang masing-masing mengatur tata cara tanggung gugat. D.1 Tanggung Gugat dalam UUK UUK tidak mengatur secara lengkap terkait dengan tindakan tanggunggugat pasien jika mengalami kerugian atau hak-haknya tidak terpenuhi dalam pelayanan kesehatan. Satusatunya pasal yang mengatur terkait dengan tanggunggugat hanya pasal 29 UUK yang menentukan sebagai berikut: Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Penjelasan pasal 29 UUK tersebut adalah sebagai berikut: Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak. Jika pasien mengalami kerugian karena kelalaian petugas kesehatan, maka bisa diselesaikan terlebih dahulu dengan mediasi. Mediasi tersebut adalah untuk mencapai kesepakatan. Selebihnya tidak ada ketentuan lain terkait dengan tanggunggugat, kecuali hanya ketentuan pidana. Artinya jika mengacu pada ketentuan dalam UUK, maka pasien jasa kesehatan 6 hanya bisa melakukan tangunggugat melalui mediasi atau melaporkan secara pidana. D.2 Tanggung Gugat dalam UU Kedokteran 1. 2. 1. 2. 3. 3. Proses tanggung gugat sebagaimana diatur dalam UU Kedokteran dapat dilakukan mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Jika pengaduan yang dilakukan karena disiplin dokter, maka Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sendiri yang memeriksa dan memutuskan. Jika pengadulan berkaitan dengan pelanggaran etika, maka Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia akan meneruskan pengaduan tersebut kepada organisasi profesi. Kendati demikian, pasien yang merasa dirugikan oleh perbuatan petugas kesehatan, dapat melakukan gugatan perdata ke Pengadilan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 66, 67, 68 UU Kedokteran sebagai berikut: Pasal 66 Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat: identitas pengadu; nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan dan alasan pengaduan. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Pasal 67 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Pasal 68 Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pasien dapat melakukan gugatan kepada petugas kesehatan melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan gugatan ke Pengadilan. Pada bagian ini, tidak ada proses mediasi, konsiliasi, negosiasi, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang menerima pengaduan, akan memeriksa dan memberikan putusan. D.3 Tanggung Gugat dalam UURS Pada bagian hak pasien diatur bahwa pasien dapat melakukan gugatan. Berikut bunyi pasal 32 huruf q UURS “menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana”. Kendati demikian tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan gugatan. Terkait bagaimana gugatan tidak diatur lebih lanjut. Hal ini tentu menimbulkan kebingungan dalam tatanan pelaksanaan. Ketentuan yang ada hanya terkait dengan tugas dari Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi yang dalam pasal 60 UURS diatur mempunyai tugas sebagai berikut: a. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya; b. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit di wilayahnya c. Mengawasi penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan perundang-undangan d. Melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia e. Melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan; f. Menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa dengan cara mediasi. Jika mengacu pada pasal 60 UURS tersebut, maka tanggung gugat dapat dilakukan kepada Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi untuk selanjutnya akan diselesaikan dengan cara mediasi. Untuk selanjutnya tidak ada pedoman terkait dengan pelaksanaan tanggunggugat di Pengadilan dan lain sebagainya. Ketentuan yang ada ketentuan Pidana. D.4 Tanggung Gugat dalam UUPK Pihak yang bisa mengajukan gugatan tidak hanya pasien sebagai konsumen, melainkan juga pihak lain yang berkepentingan, yaitu sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen 7 swadaya masyarakat dan pemerintah/ instansi terkait. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 46 UUPK yang menentukan sebagai berikut: Pasal 46 Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. e. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. f. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah. Empat pihak tersebut dapat mengajukan gugatan jika terdapat petugas kesehatan selaku pelaku jasa kesehatan melakukan pelanggaran. Tanggung gugat dalam UUPK, diatur dalam dua bentuk, yaitu tanggung gugat di luar pengadilan dan di pengadilan dengan berpedoman pada pasal 45 UUPK sebagai berikut: Pasal 45 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa Jika pasien konsumen jasa kesehatan merasa dirugikan, maka bisa melakukan gugatan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Dua pilihan tersebut dapat dipilih sesuai dengan kehendak para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa. Kendati demikian, untuk bisa melakukan gugatan di pengadilan, maka para pihak yang akan menyelesaikan sengketa harus melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dulu. Jika upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil, maka para pihak baru bisa menyelesaikan di pengadilan. Berikut bagan tanggung gugat antara pasien jasa kesehatan dengan petugas kesehatan sebagaimana diatur dalam UUPK: Proses penyelesaian tanggung gugat antara antara pasien jasa kesehatan dengan petugas kesehatan Penyelesaian sengketa antara petugas kesehatan dan konsumen jasa medis Luar Pengadilan dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Mediasi Pengadilan Hukum Acara Sama Dengan Peradilan Umum Konsiliasi Arbitrase Putusan Berikut penjelasan dari bagan tersebut: 1. Tanggung gugat di luar pengadilan Tanggung gugat yang dilakukan di luar pengadilan adalah untuk mencapai kesepakatan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UUPK menentukan bahwa: 8 Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Tanggung gugat di luar pengadilan dilaksanakan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan sengketa. Dalam menyelesaikan tanggung gugat, BPSK berpedoman terhadap ketentuan dalam pasal 52 UUPK yang menentukan bahwa tugas dan wewenang BPSK adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; 2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang ini; 5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini; 9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; 10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; 12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Jika melihat dari ketentuan dari pasal tersebut, maka untuk menyelesaikan tanggung gugat, BPSK melakukan mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. 2. Tanggung gugat di pengadilan Sebagaimana sudah disebutkan pada sub bab sebelumnya, bahwa pasal 45 UUPK menentukan bahwa pelaksanaan tangggung gugat di pengadilan hanya dapat dilakukan jika tanggung gugat tidak menghasilkan kesepakatan. Pelaksanaan tanggung gugat di pengadilan tersebut dilaksanakan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (1) UUPK. Ketentuan tersebut juga diatur dalam pasal 48 UUPK yang menentukan bahwa “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”. E. Pelaksanaan Tanggung Gugat Rumah Sakit Menurut Mahkamah Agung Dengan adanya putusan peninjauan kembali Putusan Mahkamah Agung Nomor: 515 PK/Pdt/2011, maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kelalaian dan/atau kesalahan tenaga medis yang menyebabkan kerugian pada pasien. Putusan peninjauan kembali hakim Mahkamah Agung tersebut merupakan bentuk kepastian perlindungan hukum bagi pasien selaku konsumen jasa rumah sakit. PENUTUP Bentuk perlindungan hukum terhadap pasien sebagai pasien jasa kesehatan di rumah sakit sebagaimana diatur dalam UUK, UU Kedokteran, UURS, dan UUPK masih belum jelas. Hal ini karena pada pasal 23 ayat [4] UUK diatur bahwa petugas kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bersifat materiil. Akan tetapi pada lain sisi, dalam UUK, UU Kedokteran, UURS, dan UUPK diatur bahwa petugas kesehatan berhak untuk menerima imbalan jasa. Dua ketentuan tersebut tentu saling bertentangan karena jika petugas kesehatan mempunyai hak untuk menerima imbalan, maka bekerja tanpa mengutamakan kepentingan materiil akan sulit dilakukan. Selain itu, pelanggaran terhadap hak dan kewajiban dalam UUK, UU Kedokteran, UURS, dan UUPK tidak diatur sanksinya. Hal ini tentu mengancam perlindungan hukum pasien jasa kesehatan. Mengingat pasien jasa kesehatan 9 merupakan pihak yang selalu berada di bawah petugas kesehatan sebagai pelaku usaha. Bentuk tanggunggugat pasien sebagai konsumen jasa kesehatan di rumah sakit dapat ditempuh dengan banyak cara. Hal ini karena ketentuan yang mengatur mengenai kesehatan dan perlindungan konsumen lebih dari satu. Masingmasing dari peraturan perundang-undangan tersebut mengatur mengenai bentuk tanggunggugat. Kondisi ini tentu membingungkan para pihak yang akan melakukan tanggunggugat. Selain itu hal tersebut juga menyebabkan adanya ketidakpastian hukum terkait dengan bentuk tanggunggugat pasien sebagai konsumen jasa kesehatan di rumah sakit. Hal tersebut karena masing-masing peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bentuk tanggung gugat mengatur secara berbeda. Namun, dengan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011, memberikan kepastian dan perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa rumah sakit untuk melakukan gugatan terhadap rumah sakit akibat perbuatan/tindakan tenaga medis rumah sakit yang merugikan konsumen. Hak dan kewajiban petugas kesehatan dan pasien jasa kesehatan harus jelas dan tidak bertentangan satu sama lain dan seharusnya diatur terkait sanksi atas pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut. Bentuk tanggung gugat harus diatur dalam satu peraturan perundang-undangan supaya menimbulkan kepastian hukum, khususnya mengenai bentuk tanggung gugat di luar pengadilan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pedoman dalam menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Yahya H., Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cetakan Kedua. Bandung : Penerbit Alumni, 1986 Munir Fuady,Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 87 Pronoto Iskandar .Hukum HAM Internasional, Cianjur: IMR Press, 2012 R, Ardyan G.Serba Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, Bukune, Jakarta, 2010 2. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman DAFTAR PUSTAKA 1. Literatur Adnan Buyung Nasution,. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006 Andi Fatwa Mappetahang. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku Kompas, Jakarta, 2009 Darji D dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006 10