BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial dalam Pembangunan Arah pembangunan ditujukan guna menyiapkan sumberdaya manusiamanusia handal. Sumber daya manusia handal disamping memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan, juga memiliki kemampuan berasosiasi. Kemampuan berasosiasi dapat dipandang sebagai aset hubungan antar manusia yang memberikan manfaat sosial bagi manusia yang berinteraksi. Aset seperti inilah yang disebut sebagai modal sosial. Uphoff (1999) menyatakan bahwa modal sosial adalah akumulasi aset berbagai jenis kognitif sosial, psikologis, budaya, institusi, dan perilaku yang saling menguntungkan. Modal sosial menggambarkan perilaku yang produktif bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Hal lain, modal sosial juga mengacu pada potensi kelompok atau antar kelompok dengan memunculkan sumberdaya yang produktif. Oleh karenanya, terminalogi istilah modal bukan saja mengacu pada modal manusia, modal alam, modal ekonomi, dan modal fisik tetapi juga modal sosial sebagai kekuatan dalam pembangunan. Istilah modal sosial pertama kali dikemukakan pada tahun 1916 oleh Linda Hanifan (Aghajanian, 2012) yang menyatakan bahwa, modal sosial merupakan sesuatu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat seperti persekutuan, simpati, hubungan sosial antar individu, hubungan sosial dalam keluarga, dan kehidupan bermasyarakat yang membentuk suatu unit sosial. Makna modal sosial ini mengacu pada kekuatan hubungan sosial dalam kehidupan 7 8 bermasyarakat baik individu maupun kelompok. Kekuatan hubungan sosial tercermin dari perilaku baik, rasa bersahabat, saling simpati, hubungan baik dan kerjasama yang erat di antara individu dalam keluarga untuk membentuk suatu kelompok sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Kushandajani, 2006). Pengertian modal sosial ditelusuri lebih luas oleh sosiolog Pierre Bourdieu (Ottebjer, 2005) pada tahun 1986 dengan memberikan pengertian modal sosial sebagai agregat sumber daya potensial yang terkait dalam suatu jaringan ataupun hubungan timbal balik yang saling memberikan penguatan di dalam suatu kelembagaan. Penekanan modal sosial terletak pada keseimbangan jaringan oleh adanya hubungan, kesadaran melakukan hubungan timbal balik, dan pengakuan dari individu anggota dalam jaringan tersebut (Magliola, 2005). Dipertegas oleh Kushandajani (2006) bahwa, keseluruhan sumber daya baik aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan dalam hubungan kelembagaan serta didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui dipandang sebagai modal sosial dalam masyarakat. Dua komponen penting modal sosial yaitu (1) adanya sumber daya yang dihubungkan dengan anggota kelompok dan jaringan sosial dan (2) adanya kesadaran dan pengakuan yang saling bersama diantara anggota kelompok dan jaringan sosial (Siisiäinen, 2000). Konsep modal sosial ditelaah lebih lanjut oleh Coleman (1990) yang memberikan pengertian modal sosial atas dasar fungsinya. Modal sosial bukan entitas tunggal tetapi berbagai entitas yang berbeda dengan dua unsur yang sama. Pengertian modal sosial tersebut menyiratkan bahwa, kedua unsur yang sama tersebut akan bergabung dalam satu struktur sosial guna menfasilitasi aktivitas 9 bersama. Melalui kekuatan aspek struktur sosial memungkinkan individu yang berinteraksi akan menciptakan nilai-nilai baru untuk mencapai kepentingan bersama dari pihak-pihak yang melakukan hubungan (Coleman, 1988). Terdapat dua hal penting dari aspek struktur sosial (Kushandajani, 2006) yaitu (1) aspek struktur sosial yang menciptakan pengukuhan dalam sebuah jaringan sosial sehingga membuat setiap orang saling berhubungan. Adanya pengukuhan dalam jaringan sosial menuntut setiap orang dalam jaringan tersebut harus melaksanakan kewajiban dan menerima sanksi (2) struktur sosial yang teratur dalam wadah organisasi sosial untuk mencapai tujuan bersama. Dikemukakan pula oleh Lin (1999) bahwa, setiap individu dapat menggunakan sosio struktural atas dasar kepercayaan, norma, dan sanksi dengan cara diskusi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Coleman (1990) mengidentifikasi modal sosial dalam beberapa bentuk modal sosial yaitu kewajiban, harapan, saluran informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan kewenangan, dan organisasi sosial. Kewajiban dan harapan timbul dari rasa percaya, adanya arus informasi yang lancar di dalam struktur sosial, dan adanya norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas. Selanjutnya, Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai hubungan antara individu-individu, jaringan sosial, norma-norma timbal balik, kepercayaan, dan difasilitasi oleh adanya koordinasi dan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial bukan sebatas hubungan interaksi yang melibatkan faktor perilaku orang tertentu saja, tetapi juga dapat melibatkan individu dalam kelompokkelompok yang membentuk suatu jaringan sosial (Putnam, 1995). Hal ini berarti 10 bahwa, modal sosial mencirikan dua dimensi yaitu (1) komponen struktural terdiri dari jaringan sosial, assoasiasi, partisipasi dan (2) komponen kognitif terdiri dari norma bersama, kepercayaan, hubungan timbal balik (Wu at al., 2012). Definisi modal sosial oleh Putnam (1995) mengacu pada tiga komponen yaitu (1) jaringan sosial sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi dan komunikasi, (2) kepercayaan sehingga berimplikasi pada saling percaya dalam kehidupan bermasyarakat, dan (3) norma-norma yang saling berbagi diantara kelompok dalam jaringan sosial sehingga memungkinkan kesatuan peraturan dan sanksi. Di antara tiga komponen modal sosial tersebut, komponen kepercayaan sebagai komponen penting dari norma-norma yang dibangun dari jaringan sosial (Qianhong, 2004). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Coleman (1990) bahwa sebuah kelompok ada kepercayaan yang luas dan lebih dipercaya mampu mencapai produktivitas yang tinggi dibandingkan kelompok yang tidak memiliki kepercayaan yang luas. Oleh karenanya inti daripada modal sosial adalah kepercayaan yang didasarkan oleh norma-norma yang timbal balik secara umum (Van schaik, 2002). Pentingnya faktor kepercayaan dipertegas pula oleh Siisiäinen (2000) bahwa kepercayaan menciptakan dasar untuk “berani timbal balik” dan akan mewujudkan jaringan sosial dan asosiasi dalam suatu kelompok. Hal yang sama, dikemukakan oleh Woolcock and Narayan (1999) bahwa ciri penting modal sosial adalah kepercayaan dan hubungan timbal balik yang dibangun dalam proses interaksi tersebut. Fukuyama (1997) mendefinisikan modal sosial secara sederhana sebagai keberadaan tertentu suatu set nilai-nilai atau norma bersama diantara anggota 11 kelompok yang memungkinkan adanya kerjasama diantara mereka. modal sosial terletak pada norma-norma yang kelompok masyarakat yang sama. Penekanan terbagi diantara kelompok- Modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam satu masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial. Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa, jika anggota kelompok datang untuk mengharapkan bahwa orang lain akan berperilaku jujur dan terpecaya, maka mereka akan datang untuk percaya satu dengan lainnya. Faktor kepercayaan memegang peranan penting dalam modal sosial. Durlauf (2002) mengemukakan bahwa, faktor kepercayaan sebagai pelumas yang membuat kelompok berjalan lebih effisien. Inayah (2012) menyatakan bahwa norma-norma bersama yang dianut oleh individu dalam kelompok akan membentuk suatu jaringan yang memungkinkan effisien dan effektifnya koordinasi dan kerjasama dalam pencapaian keuntungan dan kebajikan bersama. Selanjutnya rangkaian koordinasi dan kerjasama dalam jaringan sosial tersebut diibatkan sebagai lem pengikat antar individu yang berinteraksi (Bank Dunia, 1999). Adanya koordinasi dan kerjasama mewujudkan pencapaian tujuan bersama, oleh karenanya modal sosial bersifat produktif yaitu menfasilitasi aktivitas individu atau kelompok untuk mencapai tujuan akhir (Coleman, 1988). Berbagai pendapat ahli menyiratkan bahwa modal sosial adalah sumber daya sosial untuk aksi kolektif. Aksi kolektif menyiratkan bahwa modal sosial tidak hanya dibangun oleh satu individu, melainkan terletak pada individu- 12 individu yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk berasosiasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang dipegangnya. Modal sosial akan bergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok untuk membangun sejumlah asosiasi beserta jaringan sosialnya untuk menciptakan hubungan sosial. Selengkapnya Winter (2000) memberikan beberapa pendapat para ahli tentang modal sosial, disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Pendapat Para Ahli tentang Modal Sosial Pendapat ahli Bourdieu James Coleman Putnam Definisi Maksud/tujuan Analisa Sumber daya yang menyediakan Individu sebagai modal ekonomi dalam kompetisi ekonomi. Aspek struktur sosial untuk menyediakan Individu sebagai modal manusia dalam keluarga dan masyarakat. Mendapatkan modal ekonomi Individu pada kompetensi ekonomi. Mendapatkan modal manusia Kepercayaan, norma dan jaringan untuk menyediakan daerah yang efektif yang memfasilitasi kerjasama demokrasi dan ekonomi. Mendapatkan wilayah effektif pada tingkat nasional yang difasilitasi demograsi dan ekonomi Individu dalam keluarga dan pelaksana yang mengembangkan masyarakat. Wilayah nasional Sumber: Winter (2000) Dasar utama modal sosial terdiri atas empat elemen yaitu (1) difasilitasi adanya arus informasi, (2) adanya pengaruh satu dengan lainnya, (3) hubungan yang terjadi didasarkan oleh adanya kepercayaan untuk membentuk jaringan sosial, dan (4) interaksi yang terjalin dalam jaringan sosial memberikan menguatan dan mengukuhan (Lin, 1999). Pada konsep pemikiran ini, penekanan modal sosial pada struktur hubungan yang saling terikat yang didasarkan oleh 13 adanya saling percaya untuk menyampaikan informasi dalam pembentukkan jaringan sosial yang kuat dan mengukuhkan. Selanjutnya, Lin and Erickson (2008) memberikan pendapat bahwa tiga elemen utama modal sosial antara lain (1) jumlah orang yang siap untuk berinteraksi, (2) sejauh mana mereka siap untuk berinteraksi (kekuatan mengikat), dan (3) apa yang akan dilakukan dari sumber daya yang diakses. Penekanan pemikiran modal sosial tersebut terletak pada kapasitas sumberdaya yang berinteraksi. Kemampuan sumberdaya tersebut menjadi hal yang perlu diperhitungkan, yaitu menyangkut jumlah, kesiapan, maupun kapasitas dalam menjalin struktur hubungan sosial tersebut. Mengacu pada pendapat Lin (1999) yang menekankan konsep modal sosial pada struktur hubungan yang saling terikat, selanjutnya dikembangkan lebih luas lagi oleh Lin and Erickson (2008) yang menyatakan bahwa, modal sosial juga perlu memperhatikan kapasitas sumberdaya yang terlibat dalam membangun struktur hubungan tersebut. Kapasitas sumberdaya yang perlu pada struktur hubungan dinyatakan oleh Flassy dkk. (2009) yang menegaskan bahwa acuan nilai dan unsur yang merupakan roh modal sosial antara lain; sikap partisipatif (kerjasama), sikap memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, nilai, dan norma. Di samping itu, unsur lain yang penting juga adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Atas dasar pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa dasar utama modal sosial adalah struktur hubungan interaksi yang memiliki roh berupa nilai-nilai, norma, saling 14 percaya untuk terus menerus membentuk jaringan kerjasama dalam menciptakan aktivitas yang produktif. Suryono (2012) mengemukakan bahwa modal sosial membentuk tiga aspek yaitu nilai, institusi, dan mekanisme. Selengkapnya tiga aspek modal sosial disajikan pada Gambar 2.1. Nilai, kultur, dan persepsi : Simpati dan saling percaya Institusi: Ikatan antar dan dalam isntitusi, jaringan Mekanisme: Tingkah laku, kerjasama, dan sinergis Gambar 2.1 Aspek Modal Sosial (Suryono, 2012) Aspek modal sosial menggambarkan kelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati, percaya, kewajiban, norma, yang saling dipertukarkan, dan yang kemudian diorganisasikan menjadi sebuah institusi melalui suatu mekanisme tingkah laku, kerjasama, sinergis suatu jaringan sosial untuk mencapai tujuan. Secara umum, modal sosial dapat didefinisikan sebagai sumberdaya individu dan atau kelompok yang muncul dalam struktur hubungan sosial, dimana jalinan hubungan sosial tersebut didasarkan oleh adanya norma-norma bersama yang timbal balik, adanya kepercayaan, harapan, dan kewajiban pihak-pihak yang melakukan struktur hubungan sosial tersebut. Selanjutnya, atas dasar kekuatan sumberdaya tersebut akan memungkinkan effisien dan effektifnya koordinasi dan kerjasama dalam bentuk tindakan produktif dalam suatu jaringan sosial untuk mencapai suatu tujuan bersama. Pada pengertian tersebut nampak menyiratkan 15 dua komponen penting modal sosial yaitu (1) komponen struktural hubungan sosial yaitu interaksi sosial yang membentuk jaringan sosial dan (2) komponen kognitif yaitu kondisi psykis orang yang melakukan interaksi sosial baik berupa norma dan kepercayaan. 2.2 Peran Modal Sosial dalam Pembangunan Pada akhir-akhir ini kajian manfaat modal sosial dalam pembangunan sangat banyak dilakukan. Putnam (2001) mengemukakan bahwa pemanfaatan modal sosial dalam pembangunan sangat penting. Hal ini dikarenakan (1) modal sosial memungkinkan warga untuk menyelesaikan masalah kolektif lebih mudah, (2) modal sosial sebagai roda yang memungkinkan masyarakat untuk lebih lancar bergerak, dan (3) modal sosial mengacu pada kehidupan masyarakat. Hal yang sama disampaikan oleh Coleman (1988) bahwa modal sosial merupakan sumber penting bagi individu untuk dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam bertindak dan memberikan kualitas hidup yang baik. Oleh karenanya, modal sosial akan membentuk masyarakat menjadi kuat dan berkepribadian yang sanggup mengatasi permasalahan dengan cepat tanpa harus dirugikan. Darmayanti (2010) mengemukakan bahwa terdapat empat hal modal sosial dianggap penting, yaitu (1) modal sosial memungkinkan masyarakat untuk memecahkan permasalahan bersama dengan mudah, (2) modal sosial memperlancar upaya komunitas untuk dapat maju, (3) modal sosial dapat menumbuhkan solidaritas, dan (4) modal sosial memungkinkan tercapainya tujuan bersama. Oleh karenanya, modal sosial harus didistribusikan antar individu dalam suatu struktur sosial. 16 Beberapa hasil kajian penelitian di Indonesia memberikan informasi adanya peran modal sosial dalam pembangunan. Bulu dkk. (2009) menemukan bahwa modal sosial merupakan faktor utama yang perlu mendapatkan perlakuan dominan dalam desiminasi inovasi dan pemberdayaan kelembagaan tani dalam adopsi inovasi pertanian. Modal sosial merupakan faktor yang menentukan keterdedahan petani terhadap informasi inovasi, modal manusia, dan promosi inovasi. Oleh karenanya, untuk meningkatkan kapasitas petani dan tingkat adopsi inovasi pertanian maka diperlukan revitalisasi modal sosial yaitu penguatan modal sosial. Mawardi (2007) dalam penelitiannya tentang pemberdayaan masyarakat, mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat akan mengalami kegagalan tanpa menyadari pentingnya melibatkan dimensi kultural dan mendayagunakan peran modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang berisikan kepercayaan, pertukaran timbal balik, norma-norma sosial, dan nilainilai etis, merupakan pondasi penopang yang akan menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam aktifitas usaha di berbagai sektor kehidupan. Hasil penelitian Rustanto (2007) menunjukkan bahwa penguatan modal sosial yang tumbuh dan berkembang dalam bentuk kelompok-kelompok sosial merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan dalam penanganan kemiskinan. Pada pendekatan tersebut, individu-individu sebagai anggota kelompok mengalami proses belajar sosial untuk mengembangkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Di samping itu, setiap individu akan terlibat belajar mengembangkan perilaku pro sosial untuk mengatasi masalah dan kebutuhannya. 17 2.3 Kategori Modal Sosial Uphoff (1999) mengemukakan dasar untuk memahami modal sosial dapat ditelaah melalui kategori modal sosial. Kategori modal sosial dikelompokkan dalam struktural dan kognitif. Kategori struktural yaitu menfasilitasi proses interaksi sosial, sedangkan kategori kognitif yaitu memproses orang untuk bertindak secara sosial yang menguntungkan. Kategori struktural menekankan pada hubungan antar perilaku manusia dan organisasi, termasuk aturan, jaringan sosial, asosiasi, lembaga, peran, prosedur, dan preseden. Sebaliknya, kategori kognitif lebih berfokus pada sisi psikologis individu, yaitu merunjuk pada norma, berbagi nilai-nilai, saling menghargai, solidaritas, sikap, kepercayaan, dan keyakinan. Hal yang sama, disampaikan oleh Ottebjer (2005) bahwa komponen struktural meliputi jaringan, keterbukaan, kehidupan asosiasi dan partisipasi masyarakat. Sementara komponen kognitif meliputi persepsi dukungan, sosial kohesi, kepercayaan, dan sikap keterlibatan masyarakat. Kategori struktural lebih menjelaskan hubungan seperti keeratan, hubungan hirarki dalam suatu organisasi. Struktural menyangkut kedekatan dan hubungan antar anggota dalam jaringan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut struktural menunjukkan hubungan individu dengan orang lain seperti rekan kerja dan pimpinan. Ariani (2008) menyatakan bahwa, akibat dari hubungan struktural akan mendorong individu melaksanakan perilaku sebagai anggota dalam suatu organisasi terhadap individu lain seperti rekan ataupun pimpinan. 18 Kategori kognitif mengacu pada kemampuan individu dalam menilai atau menginterpretasikan hubungan kerjasama, dan mendorong individu berperilaku sebagai anggota dalam organisassi. Kognitif mengarah pada penyediaan, penyebaran, interpretasi, dan pemberian arti dari seseorang kepada orang lain. Ariani (2008) menyatakan bahwa, seseorang akan berperilaku karena adanya kesamaan nilai atau paradigma yang sama dengan orang lain sehingga terwujud hubungan kerjasama. Secara lengkap Carrol (2001) memberikan penegasan tentang kategori modal sosial pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kategori Modal sosial Kelompok Bentuk Jenjang Faktor Struktur/Organisasi Peran Jaringan sosial Hubungan interpersonal Aturan Prosedur Organisasi sosial (informal dan formal) Hubungan horisontal Hubungan vertikal Aktivitas bersama Sumber: Carrol (2001) Kognitif/Perilaku Nilai Sikap Keyakinan/kepercayaan Masyarakat Solidaritas Kepercayaan Nilai/norma Kategori struktural berupa hal-hal yang dapat dilihat secara langsung dan berada di luar individu; sebaliknya kognitif menunjukkan hal-hal yang tidak dapat dilihat (mentalitas) dan berada pada diri individu. Oleh karenanya, kategori kognitif sangat sulit untuk dapat dirubah melalui intervensi, hal ini disebabkan pembentukkannya dari akumulasi norma, nilai, sikap yang dipegang erat oleh individu. Sebaliknya, kategori struktural agak mudah diintervensi melalui kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam kegiatan organisasi. 19 Secara keseluruhan kedua kategori modal sosial tersebut mengacu pada konsep harapan. Harapan untuk dapat menumbuhkan kepedulian antar orang yang berinteraksi untuk dapat membentuk suatu jaringan kerjasama secara kolektif untuk mencapai tujuan (Uphoff, 1999). Kategori struktur dan kategori kognitif sangat berkaitan dan saling terkait, masing-masing menfasilitasi dan mendukung tindakan kolektif untuk mencapai tujuan. Walaupun kedua kategori tersebut berbeda, tetapi keduanya saling terkait, masing-masing memberikan kontribusi satu sama lainnya, dan secara bersamasama mempengaruhi perilaku seseorang baik secara individu dan kelompok dalam berinteraksi (Uphoff, 1999; Carrol, 2001). Komponen struktural dan kognitif saling berkaitan dan memberikan penguatan satu sama lainnya (Hjøllund and Svendsen, 2000). Selain kategori modal sosial, Shrader and Krishna (1999) mengemukakan bahwa bidang kajian modal sosial dapat di telaah dalam dua tingkatan yaitu; tingkat makro dan tingkat mikro. Tingkat makro mengarah pada kelembagaan suatu organisasi. Tingkatan makro meliputi hubungan formal dan struktur seperti peraturan hukum, kerangka perundangan yang sah, tipe kelompok, tingkatan desentralisasi, dan tingkatan partisipasi dalam proses perumusan kebijakan. Tingkatan mikro mengacu pada potensi organisasi untuk dapat dikembangkan. Pada tingkatan mikro terdiri atas struktural dan kognitif. Kognitif terdiri atas: nilai (kepercayaan, solidaritas, hubungan timbal balik yang dibagikan), keyakinan, norma sosial, dan perilaku sikap. Sedangkan struktural meliputi komposisi dan praktek lembaga tingkat lokal, baik formal maupun 20 informal, yang berfungsi sebagai alat pengembangan masyarakat. Struktural dibangun melalui horisontal organisasi dan jaringan yang memiliki keputusan kolektif dan transparan proses pembuatan, pemimpin bertanggung jawab, dan praktek tindakan kolektif dan saling jawab. Selengkapnya tingkatan modal sosial disajikan pada Gambar 2.2. Makro Hukum Partisipasi Mikro Kognitif Desentralisasi Struktural Peraturan Tipe kelompok Gambar 2.2 Tingkatan Modal Sosial (Shrader and Krishna, 1999) 2.4 Dimensi Modal Sosial Woolcock dan Narayan (1999) membagi dimensi modal sosial dalam kelompok (1) Bonding social capital, (2) Bridging social capital, dan (3) Linking social capital. Bonding social capital yaitu ikatan modal sosial yang menunjukkan hubungan orang-orang dalam situasi yang mirip seperti keluarga dekat, kelompok etnik, kelompok keagamaan, teman dekat dan tetangga. Pada situasi ini, hubungannya sangat tertutup, kuat, dan interaksi hubungan berkalikali. Hubungan interaksi tersebut, dibangun antar anggota yang memiliki 21 kepercayaan kuat, serta latar belakang sosial sama. Oleh karenanya, proses interaksi akan berjalan dengan sangat mudah (Scheffert et al., 2008). Bridging social capital, yaitu ikatan modal sosial yang melibatkan hubungan diantara orang-orang yang tidak dekat dan berbeda. Bentuk ikatan tersebut, seperti persahabatan yang tidak erat, dan rekan kerja. Pada hubungan ini, kekuatan hubungan tidak terlalu kuat namun ada kesempatan untuk dapat menjalin keeratan hubungan. Pada kelompok ini, kepercayaan harus dibangun atas dasar norma-norma umum dalam masyarakat dibandingkan pengalaman pribadi dari masing-masing individu. Selanjutnya, dengan latar belakang yang berbeda maka kegiatan dan pemecahan masalah harus dilakukan secara bersamasama (Scheffert et al., 2008). Linking social capital, yaitu ikatan modal sosial yang menjangkau orangorang yang sangat berbeda, bahkan berada di luar komunitasnya. Bentuk ini biasanya memberikan akses kepada organisasi atau sistim yang akan membantu masyarakat memperoleh sumberdaya untuk mendapatkan perubahan. Ikatan modal sosial ini, biasanya dihubungkan dengan organisasi seperti pemerintah, bank, ataupun lembaga penyandang dana yang ada di dalam atau luar masyarakat. Pada kelompok ini, kepercayaan terhadap pimpinan, akan sangat berdampak pada interaksi yang terjalin. Kepercayaaan pimpinan diindikasikan dari pemimpin yang mendengar kebutuhan, memberikan perhatian, dan berkomitmen terhadap masyarakat. (Scheffert et al., 2008). Ciri-ciri pada dua dimensi modal sosial yaitu bonding social capital dan bridging social capital disajikan pada Tabel 2.3 22 Tabel 2.3 Dimensi Modal Sosial Bonding social capital 1. Terikat/ketat, saingan yang eksklusif. 2. Perbedaan yang kuat antara ’orang kami’ dan ’orang luar’. 3. Hanya ada satu alternatif jawaban. 4. Sulit menerima arus perubahan. 5. Kurang akomodatif terhadap pihak luar. 6. Mengutamakan kepentingan kelompok 7. Mengutamakan solidaritas 8. Kelompok Sumber: Flassy dkk. (2009) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Bridging social capital Terbuka. Memiliki jaringan yang lebih fleksibel. Toleran. Memungkinkan untuk memilki banyak alternatif jawaban dan penyelesaian masalah. Akomodatif untuk menerima perubahan. Cenderung memiliki sikap yang altruistik, humanitaristik, dan universal. Flassy dkk. (2009) mengemukakan bahwa dimensi bonding social capital menunjukkan ikatan modal sosial yang lebih terikat/ketat di antara masyarakat dimana pada ikatan yang demikian sangatlah sulit untuk menerima arus perubahan dibandingkan masyarakat dengan dimensi bridging social capital. 2.5 Unsur Modal Sosial Menurut Stone (2000) modal sosial dapat diketahui sebagai (1) konsep multidimensi yang terdiri atas jaringan sosial, norma-norma kepercayaan, dan norma-norma timbal balik. (2) memahami modal sosial sebagai sumber daya untuk bertindak dalam suatu proses interaksi, (3) secara empiris dapat membedakan antara modal sosial dan hasil-hasilnya akibat modal sosial. Konsep modal sosial tersebut terletak pada struktur hubungan sosial (jaringan sosial) dan kualitas hubungan sosial (norma dan kepercayaan) yang menggambarkan arus informasi sehingga memberikan dampak akibat dari proses interaksi tersebut. Selanjutnya dipertegas pula oleh Stone (2000) bahwa, inti dan karakteristik modal 23 sosial terdiri atas dua komponen yaitu struktur hubungan sosial dan kualitas hubungan sosial. Selengkapnya digambarkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Inti dan Karakteristik Modal Sosial Struktur hubungan sosial: jaringan Tipe : Informal - Formal Ukuran : Batasan yang tertentu Ruang : Rumah Tangga – Umum Struktur : terbuka – Tertutup, padat – jarang, homogen – heterogen. Relasi : vertikal – horisontal Kualitas hubungan sosial: norma-norma Norma kepercayaan : Kepercayaan sosial, kepercayaan lembaga. Norma timbal balik : Langsung – tidak langsung, segera – lambat. Sumber: Stone (2000) Berdasarkan definisi dan penekanan modal sosial yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain; Coleman (1990), Putnam (1995), Fukuyama (1997), Stone (2000), Ottebjer (2005), Lin dan Erickson (2008), maka terdapat tiga unsur penting modal sosial yaitu kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial. Ketiga unsur modal sosial tersebut akan menggambarkan kategori struktural (jaringan) dan kognitif (kepercayaan dan norma). 2.5.1 Kepercayaan Konteks percaya menyiratkan segi emosional individu, dipercaya memerlukan kemauan untuk mengambil risiko untuk dapat memberikan harapan kepada orang lain untuk bertindak atau memberikan respon seperti yang diharapkan dan untuk saling mendukung ataupun tidak berniat membahayakan. Fukuyama (1997), mendefinisikan kepercayaan sebagai harapan yang timbul dalam masyarakat berperilaku reguler, jujur dan kooperatif, berdasarkan normanorma umum bersama dalam anggota masyarakat. Kepercayaan didasarkan pada 24 harapan bahwa orang atau organisasi akan bertindak dengan cara yang diharapkan atau dijanjikan, dan mempertimbangkan kepentingan orang lain. Kepercayaan adalah kualitas individu dan organisasi yang mengacu pada nilai kejujuran, keterbukaan, rasa keadilan, dan kepedulian bagi kelayakan individu yang diberikan. Hal ini bermakna, kepercayaan merupakan kegiatan sangat sosial yang berkaitan dengan pribadi individu (Edwards, 2004). Kepercayaan merupakan variabel kepribadian yang menempatkan penekanan pada karakteristik individu seperti perasaan, emosi, dan nilai. Kepercayaan didasarkan pada keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain akan berperilaku kepadanya pada beberapa kesempatan (Qianhong, 2004). Hal ini menunjukkan kesediaan untuk menjadi peduli terhadap orang lain sebagai salah satu pihak akibat dari konsekuensi dari keyakinan yang dibangun, supaya niat baik dengan mitra yang diajak melakukan interaksi dapat berjalan. Kepercayaan juga dapat dipandang sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mewujudkan struktur hubungan sosial. Paxton (1999) mengemukakan, struktur hubungan sosial didasarkan oleh adanya perasaan tanggung jawab untuk melakukan hubungan timbal balik atas dasar kepercayaan guna mencapai tujuan bersama. Kepercayaan mengacu pada keyakinan keandalan seseorang dalam sebuah sistem yang menghubungkan interaksi. Hal ini didasarkan pada harapan bahwa orang atau organisasi akan bertindak dengan cara yang diharapkan atau dijanjikan, dan akan mempertimbangkan kepentingan orang lain. Paxton (1999) menyatakan bahwa kepercayaan adalah pembelajaran sosial dan pembentukkan harapan sosial kepada orang lain di dalam suatu 25 kelompok atau lembaga orang tersebut hadir, serta sebagai suatu set dasar untuk mengerti orang lain. Pemahaman orang lain melalui proses pembelajaran sosial menciptakan hubungan yang didasarkan atas dasar kepercayaan terhadap orang lain yang dipelajari sebagai teladan atau contoh yang perlu ditiru. Putnam (2001) mengemukakan bahwa kepercayaan sosial dapat timbul dari norma timbal balik dan jaringan sosial. Keterikatan dan kepatuhan anggotaanggota masyarakat pada norma sosial memberikan hubungan timbal balik dalam satu kesepakatan aturan yang dipedomani dan dilakukan. Hal ini akan mempermudah anggota dalam mengenal dan membentuk kelompok jaringan sosial. Hal yang sama dikemukakan oleh Coleman (1988) bahwa kepercayaan merupakan salah satu kunci komponen modal sosial. Modal sosial terbentuk karena adanya kemampuan yang timbul dari prevalensi kepercayaan di dalam masyarakat atau di bagian-bagian tertentu dari itu. Adanya kepercayaan dan norma timbal balik, keadilan, kerjasama, dan manfaat yang diperoleh pada hubungan sosial, sangat penting untuk memfasilitasi dan memperkuat kelembagaan effisiensi kinerja. saling mempercayai akan Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun kemajuan bersama. Soetomo (2012) mengemukakan bahwa kohesi sosial dan solidaritas sosial akan terbangun manakala ada kepercayaan. Kepercayaan merupakan bentuk modal sosial yang paling penting sebagai landasan dalam membina kemitraan. Hal lainpun, kepercayaan bersifat dinamis karena kepercayaan dapat tumbuh dan 26 sebaliknya dapat hilang, sehingga bukan saja memanfaatkan kepercayaan sebagai modal sosial melainkan juga memelihara dan memupuknya. Ada tiga hal penting dalam kepercayaan yaitu (1) hubungan antara dua orang atau lebih, (2) harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak, dan (3) interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud (Saifuddin, 2008). 2.5.2 Norma sosial Norma sosial dapat didefinisikan aturan yang dilengkapi dengan sanksi yang merupakan patokan perilaku yang mendorong dan mengatur individu atau kelompok masyarakat tertentu (Lawang, 1986). Norma-norma sosial biasanya terbentuk atas dasar hasil kesepakatan anggota-anggota masyarakat dan tercipta karena adanya interaksi dalam kelompok masyarakat. Pelanggaran akan norma biasanya diberikan sanksi yang telah disepakati dalam masyarakat, dimana sanksi dapat berbentuk material maupun tindakan sosial. Di sisi lain, norma merupakan penjabaran nilai-nilai secara terinci ke dalam bentuk tata aturan atau tata kelakuan yang berfungsi untuk mengatur pola tingkah laku. Norma merupakan pedoman atau patokan bagi perilaku dan tindakan seseorang atau masyarakat yang bersumber pada nilai. Sedangkan, nilai adalah merupakan hal yang dianggap baik atau buruk atau sebagai penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang mempunyai daya guna bagi kehidupan bersama. Dengan kata lain, norma adalah wujud konkrit dari nilai yang merupakan pedoman, berisi suatu keharusan bagi individu atau masyarakat, dapat 27 juga norma dikatakan sebagai cara untuk melakukan tindakan dan perilaku yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai-nilai (Ningrum, 2010). Pengelompokkan norma sosial atas dasar (1) daya ikat, (2) aturan perilaku tertentu, (3) resmi tidaknya, dan (4) pola hubungan (Lawang, 1986). Norma sosial atas dasar daya ikat terbagi atas (1) cara, yaitu norma yang paling lemah daya ikatnya karena orang yang melanggar akan mendapatkan sanksi cemoohan atau ejekan, (2) kebiasaan, yaitu aturan dengan kekuaran mengikat yang lebih kuat dari cara karena kebiasan merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi bukti bahwa orang yang melakukannya menyukai dan menyadari perbuatannya, (3) tata kelakuan, yaitu secara sadar atau tidak sadar oleh masyarakat kepada anggota-anggotanya. Pelanggaran atas norma ini biasanya mendapatkan sanksi masyarakat, dan (4) adat istiadat, yaitu tata kelakuan yang kekal serta terintegrasi kuat dengan pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar norma adat akan mendapatkan sanksi tegas. Norma sosial atas dasar perilaku tertentu terbagi atas, (1) norma agama, yaitu ketentuan hidup yang biasanya bersumber dari agama, (2) norma kesusilaan, yaitu petunjuk atau ketentuan yang berasal dari hati nurani, moral, (3) kesopanan, yaitu tata krama aturan sopan santun menyangkut kehidupan dalam masyarakat, (4) norma kebiasaan, yaitu petunjuk hidup dan perilaku yang diulang ulang dalam bentuk yang sama, dan (5) norma hukum, yaitu ketentuan tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Atas dasar resmi atau tidaknya, norma sosial terbagi atas (1) norma formal, yaitu aturan yang berisikan perintah atau larangan yang dirumuskan dan 28 diwajibkan dengan jelas dan tegas oleh pihak berwenang kepada seluruh warga masyarakat dan (2) norma nonformal, yaitu tumbuh berdasarkan kebiasaan bertindak yang seragam, sehingga diterima oleh sebagian besar anggota masyarakatnya. Biasanya norma nonformal tidak tertulis. Norma atas dasar pola hubungan terbagi atas (1) norma yang mengatur pribadi manusia, yaitu menyangkut pengendalian diri individu yang terdiri atas kepercayaan dan norma kesusilaan, dan (2) norma hubungan antar pribadi, yaitu mengatur individu dengan individu lainnya, biasanya menyangkut norma hukum dan norma kesopanan. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena merangsang kohesitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan masyarakat (Inayah, 2012). Oleh karenanya, norma sosial sebagai salah satu modal sosial. Guna membangun masyarakat, maka norma-norma yang dimiliki masyarakat harus terbagi oleh lebih dari satu orang sebagai aturan perilaku atau standar perilaku yang diharapkan dapat dipahami, dibagi dan atau dipegang oleh kelompok orang (Jochum, 2003). Norma-norma sosial dalam masyarakat sangat berkaitan dengan kepercayaan, nilai-nilai menghargai orang, tanggung jawab moral, kewajiban terhadap masyarakat maupun kepercayaan yang didasarkan pada adat kebiasaan yang merupakan nilai-nilai budaya yang melekat pada masyarakat. Sisi lain, adanya seperangkat nilai-nilai moral yang memadai, dipegang dan dianut dalam masyarakat dapat menumbuhkan perilaku kebersamaan yang menunjang jaringan sosial (Kushandajani, 2006). 29 Sifat norma sosial menurut Saifuddin (2008) antara lain: (1) norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya kalau pertukaran itu memberikan keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu, norma yang muncul disini, bukan terjadi melalui satu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus menerus menjadi sebuah kewajiban yang harus dipelihara. (2) norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan diberi sanksi negatif yang sangat keras, dan (3) jaringan yang terbina lama dan menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang keras juga. 2.5.3 Jaringan sosial Manusia dalam kehidupannya tidak pernah dapat hidup sendiri, dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Kebutuhan akan orang lain dalam kehidupan manusia bertujuan untuk terjalin interaksi antar individu dan atau kelompok guna pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Adanya interaksi antar individu dan atau kelompok akan membentuk kelompok-kelompok sosial, perwujudan kelompok sosial ini tercipta melalui jaringan sosial. Dengan kata lain, adanya jaringan sosial akan menciptakan kelompok sosial. 30 Jaringan sosial didefinisikan sebagai suatu set hubungan antar individu dan atau kelompok (Kadushin, 2004). Jaringan sosial juga dapat dilihat sebagai hubungan pribadi yang dikumpulkan ketika sesorang berinteraksi satu sama lain dalam keluarga, tempat kerja, lingkungan, asosiasi lokal dan berbagai tempat pertemuan informal dan formal (Foxton and Jones, 2011). Berdasarkan bentuk, jaringan sosial dapat terbentuk atas: (1) jaringan diantara individu (kawan akrab, hubungan romantis, dan sahabat), (2) jaringan hubungan formal dalam organisasi atau kelompok (kerjasama pembeli dan leveransir,dan kerjasama usaha), (3) jaringan hubungan informal dalam organisasi atau kelompok (hubungan pemimpin dan bawahan serta hubungan antar tenaga kerja), dan (4) jaringan hubungan yang melibatkan keanggotaan dalam suatu organisasi secara luas (perkumpulan, persatuan, asosiasi, keanggotaan komite, persekutuan) (Smith, “t.t”). Selanjutnya, Kadushin (2004) mengemukakan bahwa jaringan sosial dapat terbagi atas (1) ego-centric networks, yaitu jaringan sosial yang menghubungkan individu dengan individu, (2) socio-centric networks, yaitu jaringan sosial yang menghubungkan individu dalam kelompok tertentu. Jaringan seperti ini biasanya bersifat tertutup bagi anggota-anggota kelompok tertentu saja, dan (3) opensystem networks, yaitu jaringan sosial yang tidak memiliki batasan dalam melakukan hubungan sosial dan biasanya tidak tertutup. Melalui jaringan sosial, individu akan mudah mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karenanya, terbentuknya jaringan sosial biasanya dikaitkan dengan 31 persamaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai anggota-anggotanya. Fachrina (2005) mengemukakan bahwa hubungan sosial dikatakan sebagai jaringan sosial apabila terdapat kepadatan, isi sesuai konteks, rentang, frekuensi, kekompakkan, dan adanya kepentingan hubungan. Jaringan sosial dapat diwujudkan dalam bentuk formal dan in formal. Jaringan informal terbentuk secara spontan, tidak diatur pertukaran informasi dan sumber daya di dalam masyarakat secara resmi, serta diupayakan adanya kerjasama, koordinasi, dan saling membantu untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Jaringan informal dapat dihubungkan melalui horizontal dan vertikal hubungan dan dibentuk oleh berbagai faktor lingkungan, termasuk kekerabatan, komunitas di pasar, dan persahabatan (Allahdadi, 2011). Sedangkan jaringan formal biasanya diidentikkan dengan hubungan antar organisasi yang memiliki struktur dan kewenangan dalam suatu organisasi. Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi modal sosial selain kepercayaan dan norma. Konsep jaringan sosial dalam modal sosial lebih menfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang bisa berupa hubungan antar orang atau kelompok (Mudiarta, 2009). Selanjutnya dikemukakan bahwa pada dasarnya jaringan sosial terbentuk adanya menginformasikan, saling mengingatkan dan rasa saling saling tahu, saling membantu dalam melaksanakan dan mengatasi sesuatu. Komponen jaringan sosial sangat berkaitan dengan modal sosial, hal ini dapat diindikasikan bahwa modal sosial sebagai kombinasi dari ukuran jaringan, hubungan kekuatan, dan sumber daya yang dimiliki oleh orang-orang dalam 32 jaringan keterikatan orang-orang tersebut didasarkan atas norma-norma yang timbal balik dan rasa saling percaya (Mudiarta, 2009). Flassy dkk. (2009) menyatakan bahwa dimensi inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama diwarnai oleh pola inter relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Oleh karenanya, jaringan sosial menjadi fasilitator dalam mendukung terjadinya interaksi yang kemudian akan menumbuhkan kepercayaan dan kerjasama yang kuat. Semakin kuat jaringan sosial yang terbentuk maka semakin kuat pula kerjasama dan kepercayaan yang ada di dalamnya, dan selanjutnya akan memperkuat modal sosial yang terbentuk. Jaringan sosial terbentuk karena kepercayaan tidak hanya orang-orang yang langsung dipercayainya, melainkan juga terhadap orang-orang yang dipercaya oleh orang yang dipercayainya. Jaringan sosial akan menfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (Suharjito dan Saputro, 2008). 2.6 Pengetahuan Manusia dalam kehidupannya senantiasa beringinan untuk mau mengetahui segala sesuatu yang berada sekitar lingkungannya, sehingga menimbulkan hasrat keinginan untuk mencari tahu. Proses mencari tahu inilah yang menciptakan pengetahuan bagi manusia. Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai hasil dari proses usaha manusia untuk tahu, atau isi pikiran manusia dari proses menjadi tahu. Pengetahuan tercipta setelah seseorang melakukan 33 pengindraan terhadap suatu obyek tertentu dengan cara penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa maupun meraba. Melalui proses pengindraan, akan timbul proses pengamatan bahkan evaluasi yang menggerakkan kerja otak untuk menterjemahkan obyek pengamatan tersebut. Atas dasar hasil kerja otak, maka keinginan manusia untuk dapat mengetahui obyek pengamatan akan terwujud sebagai hasil pengetahuan. Oleh karenanya, konsep pengetahuan sangat berkaitan dengan kerja otak/kognitif dan penginderaan. Sebagian besar pengetahuan manusia tercipta melalui pendengaran dan penglihatan, yang menangkap obyek pengamatan dan diteruskan pada kerja otak. Apabila ditelaah tentang kemampuan manusia untuk senantiasa mencari tahu sehingga mendapatkan pengetahuan, maka unsur pengetahuan terdiri atas subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui, dan kegiatan pengetahuan itu sendiri. Subyek yang mengetahui adalah manusia yang memiliki kemampuan rasio untuk dapat menangkap obyek. Obyek yang diketahui merupakan segala sesuatu yang dapat diamati dan ditanggap oleh indera sebagai stimulus yang hadir. Sedangkan kegiatan pengetahuan merupakan proses psikologis yang melibatkan subyek dan obyek untuk menghasilkan pengetahuan. Krathwohl (2002) mengemukakan bahwa berdasarkan taxonomy bloom, dimensi pengetahuan terbagi atas, (1) pengetahuan faktual, yaitu elemen dasar yang harus diketahui. Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan tentang terminalogi dan pengetahuan bagian detail dan unsur-unsur, (2) pengetahuan konseptual, yaitu keterkaitan elemen-elemen dasar dalam struktur yang lebih besar. Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, 34 prinsip dan generalisasi, serta teori, model dan struktur, (3) pengetahuan prosedural , yaitu bagaimana melakukan sesuatu dengan metode penyelidikan dan kriteria algoritma. Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan tentang ketrampilan khusus yang menggunakan alogoritma, tehnik dan metode, serta penggunaan suatu prosedur, dan (4) pengetahuan metakognitif yaitu pengetahuan secara lengkap. Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan strategi, operasi kognitif, serta diri sendiri. Keempat dimensi pengetahuan tersebut dapat menggambarkan tingkatan pengetahuan yang dimiliki seseorang, hal mana pengetahuan faktual merupakan dimensi terendah. Pengetahuan terdiri atas (1) mengingat, yaitu mengenali dan mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya, (2) memahami, yaitu dapat menjelaskan dapat secara benar obyek yang dipelajari dan menginterpretasikannya, (3) mengaplikasikan, yaitu menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya, (4) menganalisis, yaitu menguraikan materi ke dalam komponen-komponen, dan menemukan makna tentang materi/obyek tersebut, (5) evaluasi yaitu memberikan penilaian dan kritikan atas obyek, dan (6) membuat, yaitu merumuskan, merencanakan atau merancang sesuatu hal tentang obyek yang diamati (Krathwohl, 2002). Tingkatan dimensi proses kognitif menggambarkan proses pengetahuan yang dimiliki seseorang, dimulai dari tahapan pengetahuan yang sangat sederhana yaitu mengingat dan selanjutnya mengarah pada tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi yaitu membuat atau merancang sesuatu obyek untuk dipergunakan dalam memecahkan suatu permasalahan. 35 2.7 Sikap Thurstone (1932) mengemukakan bahwa sikap dapat dipandang sebagai sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek psykologis. Selanjutnya, dikemukakan bahwa sikap menggambarkan potensi tindakan seseorang yang mengarah pada obyek psikologis dengan hanya mengarahkan pertanyaan apakah potensi tindakan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap obyek tersebut. Hal ini berarti, penekanan sikap pada bentuk atau reaksi perasaan yang diberikan individu terhadap obyek psikologis yaitu mendukung/positif atau tidak mendukung/negatif. Respon positif ditunjukkan seseorang, apabila ia mendapatkan respon menyukai atau menyenangkan dari obyek psikologis dan sebaliknya. Kondisi tersebut menyiratkan bahwa Thurstone (1932) melihat sikap hanya pada tingkatan afektif saja, dan belum mengkaitkan sikap dengan perilaku. Obyek psikologis dapat berupa symbol, slogan, kelembagaan, orang, ide, frase dimana melalui interaksi dengan obyek psikologis tersebut, maka seseorang akan memberikan respon perasaaan positif atau negatif. Selanjutnya, Allport (1935) mengemukakan bahwa sikap merupakan kondisi mental dan kesiapan mental yang diperoleh dari pengalaman pribadi yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua obyek dan situasi yang terkait. Pendapat Allport (1935) menekankan bahwa, sikap merupakan proses psykologis (mental) yang dialami seseorang dan kesiapan mental untuk memberikan respon perilaku berupa tindakan terhadap obyek. Hal lainpun, sikap merupakan disposisi untuk bertindak yang dibangun oleh adanya integrasi berbagai tanggapan yang dimulai oleh kerja “jendela set 36 saraf” yang diaktifkan akibat stimulus tertentu yang hadir dalam lingkungan. Pada kondisi ini, sikap menggambarkan pola pikir atau kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Oleh karenanya, Allport (1935) mendefinisikan sikap sebagai kesiapan untuk memberikan respon, atau dengan kata lain sikap baru jadi persiapan dan bukan sebagai perilaku/tindakan tetapi prasyarat perilaku/tindakan. mengisyaratkan bahwa, Pernyataan ini sikap sebagai pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipasif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial dimana stimuli sosial yang berada di lingkungan telah terkondisikan. Sikap akan mempengaruhi cara orang memandang dan bertindak terhadap orang, benda ataupun peristiwa yang berada di sekitar lingkungannya. Hal ini berarti bahwa, sikap sebagai reaksi evaluatif yang diberikan seseorang terhadap lingkungannya. Katz (1960) mengemukakan bahwa sikap merupakan kecenderungan dari individu untuk mengevaluasi suatu obyek. Melalui pengamatan tentang suatu obyek, manusia memberikan penilaian dan tanggapan dan selanjutnya berperilaku terhadap obyek pengamatan tersebut. Byrka (2009) menyatakan bahwa sikap merupakan perwujudan hasil evaluasi terhadap obyek pengamatan yang dilalui melalui proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sikap sebagai hasil evaluasi digambarkan pada Gambar 2.3. Respon kognitif Stimulus Sikap Respon afektif Respon perilaku Gambar 2.3 Sikap Sebagai Hasil Evaluasi (Byrka, 2009) 37 Proses sikap dimulai dengan adanya stimulus yang dihadirkan dari obyek, kemudian seseorang mengalami proses psykis, dan dilanjutkan dengan pemberian respon atas obyek tersebut. Wujud respon terdiri atas respon kognitif, respon afektif, dan respon perilaku. Respon kognitif merupakan keyakinan yang dimiliki individu terhadap obyek yang telah dipikirkan melalui proses pemikiran (otak). Pemikiran tersebut diwujudkan dalam bentuk respon berupa pernyataan pendapat. Oleh karenanya, respon kognitif biasanya mengarah pada pemikiran, pandangan, keyakinan dan ide terhadap obyek sikap. Respon kognitif berorientasikan pada pemikiran, rationatik, logik, dan kepercayaan evaluasi terhadap suatu obyek (Maio and Haddock, 2010). Fazio and Olson (2003) menyatakan bahwa, respon kognitif merupakan nilai harapan yang hadir dari atribut obyek pengamatan. Hal mana nilai harapan yang dimaksudkan adalah perkiraan dari peluang kemungkinan yang diberikan oleh atribut obyek pengamatan yang dapat ditangkap oleh seseorang. Respon afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek yang dimanifestasikan dalam bentuk perasaan atau emosional. Fasio and Olson (2003) mengemukakan bahwa, respon afektif timbul karena adanya reaksi emosional seseorang terhadap obyek pengamatan. Perasaan emosional dinyatakan dalam perasaan senang/suka ataupun tidak senang/tidak suka, hal mana perasaan emosional biasanya merupakan aspek sikap yang berakar paling dalam dan bertahan lama pada diri seseorang. Sebagai akibatnya terkadang respon afektif sangat sulit untuk dirubah dibandingkan respon kognitif. 38 Respon perilaku merupakan wujud perilaku berupa kecenderungan tindakan dari seseorang terhadap obyek. Respon perilaku terkadang dipandang sebagai akumulasi dari respon kognitif setelah melalui pemikiran dan respon afektif yang mempertimbangkan emosional seseorang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa respon perilaku dipandang sebagai keputusan akhir yang diambil seseorang secara utuh dalam menanggapi stimulus yang diberikan obyek pengamatan. Selanjutnya, respon perilaku juga menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap obyek sikap. Ketiga komponen respon sikap tersebut, menunjukkan bahwa sikap akan memberi arah kepada perbuatan atau tindakan seseorang. Hal yang sama dikemukakan oleh Pickens (2005) yang mengemukakan tentang tiga komponen model sikap yaitu perasaan, pikiran, dan tindakan. Selengkapnya disajikan pada Gambar 2.4. PERASAAN PIKIRAN TINDAKAN Gambar 2.4 Tiga Komponen Model dari Sikap (Pickens, 2005) Komponen perasaan menyangkut reaksi emosional terhadap obyek yaitu senang/menyukai atau tidak senang/tidak menyukai; komponen pikiran menyangkut keyakinan atau pemikiran terhadap obyek yaitu setuju/tidak setuju; dan komponen tindakan menyangkut kecenderungan perilaku untuk melakukan tindakan/tidak melakukan yang diterima terhadap obyek. Tiga komponen sikap 39 yaitu kognitif, afektif, dan predisposisi tindakan/konatif saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap obyek. Di samping itu, tiga komponen sikap harusnya selaras dan konsisten untuk membentuk pola arah sikap yang seragam menuju wujud perilaku tindakan nyata. Apabila salah satu dari komponen sikap tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi ketidakselarasan dalam mekanisme pengambilan keputusan sikap. Ketiga komponen sikap menurut Olson and Maio (2003) mencirikan sifat subyektif sikap. Sikap subyektif dimaksudkan bahwa sesuatu obyek pengamatan belum tentu kebenarannya dan akan ditunjukkan oleh keputusan akhir yang diambil yaitu dalam bentuk tindakan. Selanjutnya, Ramdhani (2008) mengemukakan bahwa sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Hal ini berarti, proses sikap terjadi secara subyektif dan unik pada diri setiap individu. Adanya sikap subyektif dari setiap individu dikarenakan setiap individu memiliki norma dan nilai yang melekat pada individu. Berkaitan dengan subyektifnya sikap, Maio and Haddock (2010) memberikan penegasan bahwa dua hal penting daripada sikap yaitu (1) berbeda dalam arah sikap yaitu arah positif/negatif/netral dan (2) berbeda dalam kekuatan sikap yaitu sangat menyenangkan/kurang menyenangkan/tidak menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap sangatlah subyektif dan sangat bergantung dari pengambilan keputusan masing-masing individu. 40 Trivedi (2012) memberikan beberapa batasan tentang karakteristik sikap yaitu (1) Favourableness adalah sejauh mana seseorang memberikan respon terhadap objek yaitu menyenangkan atau tidak, (2) Intensitas yaitu mengacu pada intensitas kekuatan perasaan seseorang setelah mengamati obyek, (3) Relevansi berarti seberapa bebas atau spontan individu mengungkapkan sikapnya. Ini adalah kesiapan atau ketepatan dengan mana individu memberikan pelampisan perasaannya, (4) Sikap tidak diwarisi oleh individu tetapi diperoleh selama proses interaksi dengan obyek, (5) Sikap menjadi stabil selama jangka waktu tertentu, namun juga dapat permanen dan menentukan perilaku masa depan dari seseorang, (6) Sikap tidak terbentuk dalam ruang hampa yaitu sikap terbentuk dalam hubungan dengan beberapa objek, orang atau situasi, (7) Wujud sikap terdiri atas afektif mengacu pada perasaan, kognitif untuk pengetahuan dan perilaku untuk bertindak, dan (8) Sikap seseorang tidak dapat diketahui secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari tindakan individu, perilaku atau kata-kata/penyataan pendapat. Olson and Maio (2003) mengemukakan fungsi sikap, yaitu (1) penilaian terhadap obyek pengamatan. Fungsi sikap ini mengacu pada kemampuan sikap untuk meringkas atribut-atribut baik positif maupun negatif dari obyek pengamatan yang ditemui pada lingkungan, (2) penyesuaian sosial. Fungsi penyesuaian sosial diberikan oleh sikap yang membantu seseorang untuk mengidentifikasi orang lain dalam sistim sosial, dan (3) eksternalisasi. Fungsi eksternalisasi ditunjukkan oleh sikap membela diri terhadap sistim internal. Sebaliknya, Maio and Haddock (2010) mengemukakan fungsi sikap, antara lain: 41 (1) pengetahuan yaitu kemampuan sikap untuk mengatur informasi tentang obyek sikap, (2) penyesuaian yaitu sikap dapat memaksimalkan manfaat dan meminimalkan konsekuensi negative dari obyek sikap, (3) ego yaitu sikap dapat berfungsi melindungi harga diri seseorang atau sikap berfungsi dalam ekspresi diri, dan (4) nilai ekspresi yaitu sikap dapat melayani fungsi nilai ekspresi seseorang dan nilai-nilai yang dipegangnya. Pembentukkan sikap terbentuk melalui hasil pembelajaran sosial, permodelan orang lain, pengalaman hidup, dan pengamatan langsung seseorang terhadap orang lain ataupun situasi. Secara umum, pembentukkan sikap ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal individu berupa daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh yang datang dari luar), dan faktor eksternal berupa interaksi sosial yang terjadi di dalam lingkungan sosial. Selanjutnya melalui proses pembentukkan sikap, seseorang dituntut untuk dapat mengambil keputusan untuk dapat menyeleksi dan menyatakan respon berupa kecenderungan tindakan (Pickens, 2005). Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang ditujukan tentang evaluasi obyek, dimana pernyataan tersebut bersifat negatif/tidak setuju ataupun positif/setuju. Pernyataan negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci atau tidak menyukai obyek sikap. Sebaliknya, pernyataan positif menunjukkan kecenderungan mendekati, menyenangi, dan mengharapkan obyek sikap.