BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial dalam Pembangunan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial dalam Pembangunan
Arah pembangunan ditujukan guna menyiapkan sumberdaya manusiamanusia handal. Sumber daya manusia handal disamping memiliki kemampuan
pengetahuan
dan
ketrampilan,
juga
memiliki
kemampuan
berasosiasi.
Kemampuan berasosiasi dapat dipandang sebagai aset hubungan antar manusia
yang memberikan manfaat sosial bagi manusia yang berinteraksi. Aset seperti
inilah yang disebut sebagai modal sosial. Uphoff (1999) menyatakan bahwa
modal sosial adalah akumulasi aset berbagai jenis kognitif sosial, psikologis,
budaya, institusi, dan perilaku yang saling menguntungkan.
Modal sosial
menggambarkan perilaku yang produktif bagi orang lain maupun dirinya sendiri.
Hal lain, modal sosial juga mengacu pada potensi kelompok atau antar kelompok
dengan memunculkan sumberdaya yang produktif. Oleh karenanya, terminalogi
istilah modal bukan saja mengacu pada modal manusia, modal alam, modal
ekonomi, dan modal fisik tetapi juga modal sosial sebagai kekuatan dalam
pembangunan.
Istilah modal sosial pertama kali dikemukakan pada tahun 1916 oleh Linda
Hanifan (Aghajanian, 2012) yang menyatakan bahwa, modal sosial merupakan
sesuatu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat seperti persekutuan,
simpati, hubungan sosial antar individu, hubungan sosial dalam keluarga, dan
kehidupan bermasyarakat yang membentuk suatu unit sosial.
Makna modal
sosial ini mengacu pada kekuatan hubungan sosial dalam kehidupan
7
8
bermasyarakat baik
individu maupun kelompok.
Kekuatan hubungan sosial
tercermin dari perilaku baik, rasa bersahabat, saling simpati, hubungan baik dan
kerjasama yang erat di antara individu dalam keluarga untuk membentuk suatu
kelompok sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Kushandajani, 2006).
Pengertian modal sosial ditelusuri lebih luas oleh sosiolog Pierre Bourdieu
(Ottebjer, 2005) pada tahun 1986 dengan memberikan pengertian modal sosial
sebagai agregat sumber daya potensial yang terkait dalam suatu jaringan ataupun
hubungan timbal balik yang saling memberikan penguatan di dalam suatu
kelembagaan. Penekanan modal sosial terletak pada keseimbangan jaringan oleh
adanya hubungan, kesadaran melakukan hubungan timbal balik, dan pengakuan
dari individu anggota dalam jaringan tersebut (Magliola, 2005). Dipertegas oleh
Kushandajani (2006) bahwa, keseluruhan sumber daya baik aktual maupun
potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan dalam hubungan kelembagaan
serta didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui dipandang sebagai modal
sosial dalam masyarakat. Dua komponen penting modal sosial yaitu (1) adanya
sumber daya yang dihubungkan dengan anggota kelompok dan jaringan sosial dan
(2) adanya kesadaran dan pengakuan yang saling bersama diantara anggota
kelompok dan jaringan sosial (Siisiäinen, 2000).
Konsep modal sosial ditelaah lebih lanjut oleh Coleman (1990) yang
memberikan pengertian modal sosial atas dasar fungsinya. Modal sosial bukan
entitas tunggal tetapi berbagai entitas yang berbeda dengan dua unsur yang sama.
Pengertian modal sosial tersebut menyiratkan bahwa, kedua unsur yang sama
tersebut akan bergabung dalam satu struktur sosial guna menfasilitasi aktivitas
9
bersama. Melalui kekuatan aspek struktur sosial memungkinkan individu yang
berinteraksi akan menciptakan nilai-nilai baru untuk mencapai kepentingan
bersama dari pihak-pihak yang melakukan hubungan (Coleman, 1988).
Terdapat dua hal penting dari aspek struktur sosial (Kushandajani, 2006)
yaitu (1) aspek struktur sosial yang menciptakan pengukuhan dalam sebuah
jaringan sosial sehingga membuat setiap orang saling berhubungan. Adanya
pengukuhan dalam jaringan sosial menuntut setiap orang dalam jaringan tersebut
harus melaksanakan kewajiban dan menerima sanksi (2) struktur sosial yang
teratur dalam wadah organisasi sosial untuk mencapai tujuan bersama.
Dikemukakan pula oleh Lin (1999) bahwa, setiap individu dapat menggunakan
sosio struktural atas dasar kepercayaan, norma, dan sanksi dengan cara diskusi
untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Coleman (1990) mengidentifikasi modal sosial dalam beberapa bentuk
modal sosial yaitu kewajiban, harapan, saluran informasi, norma dan sanksi yang
efektif, hubungan kewenangan, dan organisasi sosial.
Kewajiban dan harapan
timbul dari rasa percaya, adanya arus informasi yang lancar di dalam struktur
sosial, dan adanya norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas.
Selanjutnya, Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai hubungan antara
individu-individu, jaringan sosial, norma-norma timbal balik, kepercayaan, dan
difasilitasi oleh adanya koordinasi dan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Modal sosial bukan sebatas hubungan interaksi yang melibatkan faktor perilaku
orang tertentu saja, tetapi juga dapat melibatkan individu dalam kelompokkelompok yang membentuk suatu jaringan sosial (Putnam, 1995). Hal ini berarti
10
bahwa, modal sosial mencirikan dua dimensi yaitu (1) komponen struktural
terdiri dari jaringan sosial, assoasiasi, partisipasi dan (2) komponen kognitif
terdiri dari norma bersama, kepercayaan, hubungan timbal balik (Wu at al., 2012).
Definisi modal sosial oleh Putnam (1995) mengacu pada tiga komponen
yaitu (1) jaringan sosial sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi dan
komunikasi, (2) kepercayaan sehingga berimplikasi pada saling percaya dalam
kehidupan bermasyarakat, dan (3) norma-norma yang saling berbagi diantara
kelompok dalam jaringan sosial sehingga memungkinkan kesatuan peraturan dan
sanksi. Di antara tiga komponen modal sosial tersebut, komponen kepercayaan
sebagai komponen penting dari norma-norma yang dibangun dari jaringan sosial
(Qianhong, 2004). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Coleman (1990) bahwa
sebuah kelompok
ada kepercayaan yang luas dan lebih dipercaya mampu
mencapai produktivitas yang tinggi dibandingkan kelompok yang tidak memiliki
kepercayaan yang luas.
Oleh karenanya inti daripada modal sosial adalah
kepercayaan yang didasarkan oleh norma-norma yang timbal balik secara umum
(Van schaik, 2002).
Pentingnya faktor kepercayaan dipertegas pula oleh
Siisiäinen (2000) bahwa kepercayaan menciptakan dasar untuk “berani timbal
balik” dan akan mewujudkan jaringan sosial dan asosiasi dalam suatu kelompok.
Hal yang sama, dikemukakan oleh Woolcock and Narayan (1999) bahwa ciri
penting modal sosial adalah kepercayaan dan hubungan timbal balik yang
dibangun dalam proses interaksi tersebut.
Fukuyama (1997) mendefinisikan modal sosial secara sederhana sebagai
keberadaan tertentu suatu set nilai-nilai atau norma bersama diantara anggota
11
kelompok yang memungkinkan adanya kerjasama diantara mereka.
modal sosial terletak pada norma-norma yang
kelompok masyarakat yang sama.
Penekanan
terbagi diantara kelompok-
Modal sosial akan menjadi semakin kuat
apabila dalam satu masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan
kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan
sosial.
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa, jika anggota kelompok datang
untuk mengharapkan bahwa orang lain akan berperilaku jujur dan terpecaya, maka
mereka akan datang untuk percaya satu dengan lainnya. Faktor kepercayaan
memegang peranan penting dalam modal sosial. Durlauf (2002) mengemukakan
bahwa, faktor kepercayaan sebagai pelumas yang membuat kelompok berjalan
lebih effisien.
Inayah (2012) menyatakan bahwa norma-norma bersama yang dianut oleh
individu dalam kelompok akan membentuk suatu jaringan yang memungkinkan
effisien dan effektifnya koordinasi dan kerjasama dalam pencapaian keuntungan
dan kebajikan bersama. Selanjutnya rangkaian koordinasi dan kerjasama dalam
jaringan sosial tersebut diibatkan sebagai lem pengikat antar individu yang
berinteraksi (Bank Dunia, 1999). Adanya koordinasi dan kerjasama mewujudkan
pencapaian tujuan bersama, oleh karenanya modal sosial bersifat produktif yaitu
menfasilitasi aktivitas individu atau kelompok untuk mencapai tujuan akhir
(Coleman, 1988).
Berbagai pendapat ahli menyiratkan bahwa modal sosial adalah sumber
daya sosial untuk aksi kolektif.
Aksi kolektif menyiratkan bahwa modal sosial
tidak hanya dibangun oleh satu individu, melainkan terletak pada individu-
12
individu yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk berasosiasi sebagai bagian
penting dari nilai-nilai yang dipegangnya. Modal sosial akan bergantung pada
kapasitas yang ada dalam kelompok untuk membangun sejumlah asosiasi beserta
jaringan sosialnya untuk menciptakan hubungan sosial. Selengkapnya Winter
(2000) memberikan beberapa pendapat para ahli tentang modal sosial, disajikan
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Pendapat Para Ahli tentang Modal Sosial
Pendapat
ahli
Bourdieu
James
Coleman
Putnam
Definisi
Maksud/tujuan
Analisa
Sumber daya yang
menyediakan Individu
sebagai modal ekonomi
dalam kompetisi ekonomi.
Aspek struktur sosial untuk
menyediakan Individu
sebagai modal manusia dalam
keluarga dan masyarakat.
Mendapatkan
modal ekonomi
Individu pada
kompetensi
ekonomi.
Mendapatkan
modal manusia
Kepercayaan, norma dan
jaringan untuk menyediakan
daerah yang efektif yang
memfasilitasi kerjasama
demokrasi dan ekonomi.
Mendapatkan
wilayah effektif
pada tingkat
nasional yang
difasilitasi
demograsi dan
ekonomi
Individu dalam
keluarga dan
pelaksana yang
mengembangkan
masyarakat.
Wilayah nasional
Sumber: Winter (2000)
Dasar utama modal sosial terdiri atas empat elemen yaitu (1) difasilitasi
adanya arus informasi, (2) adanya pengaruh satu dengan lainnya, (3) hubungan
yang terjadi didasarkan oleh adanya kepercayaan untuk membentuk jaringan
sosial, dan (4) interaksi yang terjalin dalam jaringan sosial memberikan
menguatan dan mengukuhan (Lin, 1999). Pada konsep pemikiran ini, penekanan
modal sosial pada struktur hubungan yang saling terikat yang didasarkan oleh
13
adanya saling percaya untuk menyampaikan informasi dalam pembentukkan
jaringan sosial yang kuat dan mengukuhkan.
Selanjutnya, Lin and Erickson (2008) memberikan pendapat bahwa tiga
elemen utama modal sosial antara lain (1) jumlah orang yang siap untuk
berinteraksi, (2) sejauh mana mereka siap untuk berinteraksi (kekuatan mengikat),
dan (3) apa yang akan dilakukan dari sumber daya yang diakses. Penekanan
pemikiran modal sosial tersebut terletak pada kapasitas sumberdaya yang
berinteraksi.
Kemampuan sumberdaya tersebut menjadi hal yang perlu
diperhitungkan, yaitu menyangkut jumlah, kesiapan, maupun kapasitas dalam
menjalin struktur hubungan sosial tersebut. Mengacu pada pendapat Lin (1999)
yang menekankan konsep modal sosial pada struktur hubungan yang saling
terikat, selanjutnya dikembangkan lebih luas lagi oleh Lin and Erickson (2008)
yang menyatakan bahwa, modal sosial juga perlu memperhatikan kapasitas
sumberdaya yang terlibat dalam membangun struktur hubungan tersebut.
Kapasitas sumberdaya yang perlu pada struktur hubungan dinyatakan oleh
Flassy dkk. (2009) yang menegaskan bahwa acuan nilai dan unsur yang
merupakan roh modal sosial antara lain; sikap partisipatif (kerjasama), sikap
memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai,
nilai, dan norma. Di samping itu, unsur lain yang penting juga adalah kemauan
masyarakat untuk secara terus menerus proaktif dalam mempertahankan nilai,
membentuk jaringan kerjasama maupun penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Atas
dasar pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa dasar utama modal sosial adalah
struktur hubungan interaksi yang memiliki roh berupa nilai-nilai, norma, saling
14
percaya untuk terus menerus membentuk jaringan kerjasama dalam menciptakan
aktivitas yang produktif.
Suryono (2012) mengemukakan bahwa modal sosial membentuk tiga
aspek yaitu nilai, institusi, dan mekanisme. Selengkapnya tiga aspek modal sosial
disajikan pada Gambar 2.1.
Nilai, kultur, dan persepsi :
Simpati dan saling percaya
Institusi: Ikatan antar dan dalam
isntitusi, jaringan
Mekanisme: Tingkah laku,
kerjasama, dan sinergis
Gambar 2.1
Aspek Modal Sosial (Suryono, 2012)
Aspek modal sosial menggambarkan kelompok orang yang dihubungkan
oleh perasaan simpati, percaya, kewajiban, norma, yang saling dipertukarkan, dan
yang kemudian diorganisasikan menjadi sebuah institusi melalui suatu mekanisme
tingkah laku, kerjasama, sinergis suatu jaringan sosial untuk mencapai tujuan.
Secara umum, modal sosial dapat didefinisikan sebagai sumberdaya
individu dan atau kelompok yang muncul dalam struktur hubungan sosial, dimana
jalinan hubungan sosial tersebut didasarkan oleh adanya norma-norma bersama
yang timbal balik, adanya kepercayaan, harapan, dan kewajiban pihak-pihak yang
melakukan struktur hubungan sosial tersebut. Selanjutnya, atas dasar kekuatan
sumberdaya tersebut akan memungkinkan effisien dan effektifnya koordinasi dan
kerjasama dalam bentuk tindakan produktif dalam suatu jaringan sosial untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Pada pengertian tersebut nampak menyiratkan
15
dua komponen penting modal sosial yaitu (1) komponen struktural hubungan
sosial yaitu interaksi sosial yang membentuk jaringan sosial dan (2) komponen
kognitif yaitu kondisi psykis orang yang melakukan interaksi sosial baik berupa
norma dan kepercayaan.
2.2 Peran Modal Sosial dalam Pembangunan
Pada akhir-akhir ini kajian manfaat modal sosial dalam pembangunan
sangat banyak dilakukan. Putnam (2001) mengemukakan bahwa pemanfaatan
modal sosial dalam pembangunan sangat penting. Hal ini dikarenakan (1) modal
sosial memungkinkan warga untuk menyelesaikan masalah kolektif lebih mudah,
(2) modal sosial sebagai roda yang memungkinkan masyarakat untuk lebih lancar
bergerak, dan (3) modal sosial mengacu pada kehidupan masyarakat.
Hal yang
sama disampaikan oleh Coleman (1988) bahwa modal sosial merupakan sumber
penting bagi individu untuk dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam
bertindak dan memberikan kualitas hidup yang baik. Oleh karenanya, modal
sosial akan membentuk masyarakat menjadi kuat dan berkepribadian yang
sanggup mengatasi permasalahan dengan cepat tanpa harus dirugikan.
Darmayanti (2010) mengemukakan bahwa terdapat empat hal modal sosial
dianggap penting, yaitu (1) modal sosial memungkinkan masyarakat untuk
memecahkan
permasalahan
bersama
dengan
mudah,
(2)
modal
sosial
memperlancar upaya komunitas untuk dapat maju, (3) modal sosial dapat
menumbuhkan solidaritas, dan (4) modal sosial memungkinkan tercapainya tujuan
bersama. Oleh karenanya, modal sosial harus didistribusikan antar individu dalam
suatu struktur sosial.
16
Beberapa hasil kajian penelitian di Indonesia memberikan informasi
adanya peran modal sosial dalam pembangunan. Bulu dkk. (2009) menemukan
bahwa modal sosial merupakan faktor utama yang perlu mendapatkan perlakuan
dominan dalam desiminasi inovasi dan pemberdayaan kelembagaan tani dalam
adopsi inovasi pertanian.
Modal sosial merupakan faktor yang menentukan
keterdedahan petani terhadap informasi inovasi, modal manusia, dan promosi
inovasi. Oleh karenanya, untuk meningkatkan kapasitas petani dan tingkat adopsi
inovasi pertanian maka diperlukan revitalisasi modal sosial yaitu penguatan modal
sosial.
Mawardi (2007) dalam penelitiannya tentang pemberdayaan masyarakat,
mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat akan mengalami kegagalan
tanpa menyadari pentingnya melibatkan dimensi kultural dan mendayagunakan
peran modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat.
Modal sosial yang
berisikan kepercayaan, pertukaran timbal balik, norma-norma sosial, dan nilainilai etis, merupakan pondasi penopang yang akan menentukan perkembangan
dan keberlanjutan beragam aktifitas usaha di berbagai sektor kehidupan.
Hasil penelitian Rustanto (2007) menunjukkan bahwa penguatan modal
sosial yang tumbuh dan berkembang dalam bentuk kelompok-kelompok sosial
merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan dalam penanganan
kemiskinan. Pada pendekatan tersebut, individu-individu sebagai anggota
kelompok mengalami proses belajar sosial untuk mengembangkan potensi dan
sumberdaya yang dimiliki. Di samping itu, setiap individu akan terlibat belajar
mengembangkan perilaku pro sosial untuk mengatasi masalah dan kebutuhannya.
17
2.3 Kategori Modal Sosial
Uphoff (1999) mengemukakan dasar untuk memahami modal sosial dapat
ditelaah melalui kategori modal sosial. Kategori modal sosial dikelompokkan
dalam struktural dan kognitif.
Kategori struktural yaitu menfasilitasi proses
interaksi sosial, sedangkan kategori kognitif yaitu memproses orang untuk
bertindak secara sosial yang menguntungkan. Kategori struktural menekankan
pada hubungan antar perilaku manusia dan organisasi, termasuk aturan, jaringan
sosial, asosiasi, lembaga, peran, prosedur, dan preseden. Sebaliknya, kategori
kognitif lebih berfokus pada sisi psikologis individu, yaitu merunjuk pada norma,
berbagi nilai-nilai, saling menghargai, solidaritas, sikap, kepercayaan, dan
keyakinan. Hal yang sama, disampaikan oleh Ottebjer (2005) bahwa komponen
struktural meliputi jaringan, keterbukaan, kehidupan asosiasi dan partisipasi
masyarakat. Sementara komponen kognitif meliputi persepsi dukungan, sosial
kohesi, kepercayaan, dan sikap keterlibatan masyarakat.
Kategori struktural lebih menjelaskan hubungan seperti keeratan,
hubungan hirarki dalam suatu organisasi. Struktural menyangkut kedekatan dan
hubungan antar anggota dalam jaringan kerja baik secara langsung maupun tidak
langsung. Lebih lanjut struktural menunjukkan hubungan individu dengan orang
lain seperti rekan kerja dan pimpinan. Ariani (2008) menyatakan bahwa, akibat
dari hubungan struktural akan mendorong individu melaksanakan perilaku sebagai
anggota dalam suatu organisasi terhadap individu lain seperti rekan ataupun
pimpinan.
18
Kategori kognitif mengacu pada kemampuan individu dalam menilai atau
menginterpretasikan hubungan kerjasama, dan mendorong individu berperilaku
sebagai anggota dalam organisassi. Kognitif mengarah pada penyediaan,
penyebaran, interpretasi, dan pemberian arti dari seseorang kepada orang lain.
Ariani (2008) menyatakan bahwa, seseorang akan berperilaku karena adanya
kesamaan nilai atau paradigma yang sama dengan orang lain sehingga terwujud
hubungan kerjasama.
Secara lengkap Carrol (2001) memberikan penegasan tentang kategori
modal sosial pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Kategori Modal sosial
Kelompok
Bentuk
Jenjang
Faktor
Struktur/Organisasi
Peran
Jaringan sosial
Hubungan interpersonal
Aturan
Prosedur
Organisasi sosial
(informal dan formal)
Hubungan horisontal
Hubungan vertikal
Aktivitas bersama
Sumber: Carrol (2001)
Kognitif/Perilaku
Nilai
Sikap
Keyakinan/kepercayaan
Masyarakat
Solidaritas
Kepercayaan
Nilai/norma
Kategori struktural berupa hal-hal yang dapat dilihat secara langsung dan
berada di luar individu; sebaliknya kognitif menunjukkan hal-hal yang tidak
dapat dilihat (mentalitas) dan berada pada diri individu. Oleh karenanya, kategori
kognitif sangat sulit untuk dapat dirubah melalui intervensi, hal ini disebabkan
pembentukkannya dari akumulasi norma, nilai, sikap yang dipegang erat oleh
individu.
Sebaliknya, kategori struktural agak mudah diintervensi melalui
kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam kegiatan organisasi.
19
Secara keseluruhan kedua kategori modal sosial tersebut mengacu pada
konsep harapan. Harapan untuk dapat menumbuhkan kepedulian antar orang
yang berinteraksi untuk dapat membentuk suatu jaringan kerjasama secara
kolektif untuk mencapai tujuan (Uphoff, 1999).
Kategori struktur dan kategori kognitif sangat berkaitan dan saling terkait,
masing-masing menfasilitasi dan mendukung tindakan kolektif untuk mencapai
tujuan. Walaupun kedua kategori tersebut berbeda, tetapi keduanya saling terkait,
masing-masing memberikan kontribusi satu sama lainnya, dan secara bersamasama mempengaruhi perilaku seseorang baik secara individu dan kelompok dalam
berinteraksi (Uphoff, 1999; Carrol, 2001).
Komponen struktural dan kognitif
saling berkaitan dan memberikan penguatan satu sama lainnya (Hjøllund and
Svendsen, 2000).
Selain kategori modal sosial, Shrader and Krishna (1999) mengemukakan
bahwa bidang kajian modal sosial dapat di telaah dalam dua tingkatan yaitu;
tingkat makro dan tingkat mikro. Tingkat makro mengarah pada kelembagaan
suatu organisasi. Tingkatan makro meliputi hubungan formal dan struktur seperti
peraturan hukum, kerangka perundangan yang sah, tipe kelompok, tingkatan
desentralisasi, dan tingkatan partisipasi dalam proses perumusan kebijakan.
Tingkatan mikro mengacu pada potensi organisasi untuk dapat
dikembangkan.
Pada tingkatan mikro terdiri atas struktural dan kognitif.
Kognitif terdiri atas: nilai (kepercayaan, solidaritas, hubungan timbal balik yang
dibagikan), keyakinan, norma sosial, dan perilaku sikap. Sedangkan struktural
meliputi komposisi dan praktek lembaga tingkat lokal, baik formal maupun
20
informal, yang berfungsi sebagai alat pengembangan masyarakat. Struktural
dibangun melalui horisontal organisasi dan jaringan yang memiliki keputusan
kolektif dan transparan proses pembuatan, pemimpin bertanggung jawab, dan
praktek tindakan kolektif dan saling jawab. Selengkapnya tingkatan modal sosial
disajikan pada Gambar 2.2.
Makro
Hukum
Partisipasi
Mikro
Kognitif
Desentralisasi
Struktural
Peraturan
Tipe kelompok
Gambar 2.2
Tingkatan Modal Sosial (Shrader and Krishna, 1999)
2.4 Dimensi Modal Sosial
Woolcock dan Narayan (1999) membagi dimensi modal sosial dalam
kelompok (1) Bonding social capital, (2) Bridging social capital, dan (3) Linking
social capital.
Bonding social capital yaitu ikatan modal sosial yang
menunjukkan hubungan orang-orang dalam situasi yang mirip seperti keluarga
dekat, kelompok etnik, kelompok keagamaan, teman dekat dan tetangga. Pada
situasi ini, hubungannya sangat tertutup, kuat, dan interaksi hubungan berkalikali. Hubungan interaksi tersebut, dibangun antar anggota yang memiliki
21
kepercayaan kuat, serta latar belakang sosial sama.
Oleh karenanya, proses
interaksi akan berjalan dengan sangat mudah (Scheffert et al., 2008).
Bridging social capital, yaitu ikatan modal sosial yang melibatkan
hubungan diantara orang-orang yang tidak dekat dan berbeda. Bentuk ikatan
tersebut, seperti persahabatan yang tidak erat, dan rekan kerja. Pada hubungan
ini, kekuatan hubungan tidak terlalu kuat namun ada kesempatan untuk dapat
menjalin keeratan hubungan.
Pada kelompok ini, kepercayaan harus dibangun
atas dasar norma-norma umum dalam masyarakat dibandingkan pengalaman
pribadi dari masing-masing individu. Selanjutnya, dengan latar belakang yang
berbeda maka kegiatan dan pemecahan masalah harus dilakukan secara bersamasama (Scheffert et al., 2008).
Linking social capital, yaitu ikatan modal sosial yang menjangkau orangorang yang sangat berbeda, bahkan berada di luar komunitasnya. Bentuk ini
biasanya memberikan akses kepada organisasi atau sistim yang akan membantu
masyarakat memperoleh sumberdaya untuk mendapatkan perubahan.
Ikatan
modal sosial ini, biasanya dihubungkan dengan organisasi seperti pemerintah,
bank, ataupun lembaga penyandang dana yang ada di dalam atau luar masyarakat.
Pada kelompok ini, kepercayaan terhadap pimpinan, akan sangat berdampak pada
interaksi yang terjalin.
Kepercayaaan pimpinan diindikasikan dari pemimpin
yang mendengar kebutuhan, memberikan perhatian, dan berkomitmen terhadap
masyarakat. (Scheffert et al., 2008).
Ciri-ciri pada dua dimensi modal sosial yaitu bonding social capital dan
bridging social capital disajikan pada Tabel 2.3
22
Tabel 2.3
Dimensi Modal Sosial
Bonding social capital
1. Terikat/ketat, saingan yang
eksklusif.
2. Perbedaan yang kuat antara
’orang kami’ dan ’orang luar’.
3. Hanya ada satu alternatif
jawaban.
4. Sulit menerima arus perubahan.
5. Kurang akomodatif terhadap
pihak luar.
6. Mengutamakan kepentingan
kelompok
7. Mengutamakan solidaritas
8. Kelompok
Sumber: Flassy dkk. (2009)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Bridging social capital
Terbuka.
Memiliki jaringan yang lebih
fleksibel.
Toleran.
Memungkinkan untuk memilki
banyak alternatif jawaban dan
penyelesaian masalah.
Akomodatif untuk menerima
perubahan.
Cenderung memiliki sikap yang
altruistik, humanitaristik, dan
universal.
Flassy dkk. (2009) mengemukakan bahwa dimensi bonding social capital
menunjukkan ikatan modal sosial yang lebih terikat/ketat di antara masyarakat
dimana pada ikatan yang demikian sangatlah sulit untuk menerima arus perubahan
dibandingkan masyarakat dengan dimensi bridging social capital.
2.5 Unsur Modal Sosial
Menurut Stone (2000) modal sosial dapat diketahui sebagai (1) konsep
multidimensi yang terdiri atas jaringan sosial, norma-norma kepercayaan, dan
norma-norma timbal balik. (2) memahami modal sosial sebagai sumber daya
untuk bertindak dalam suatu proses interaksi, (3) secara empiris dapat
membedakan antara modal sosial dan hasil-hasilnya akibat modal sosial. Konsep
modal sosial tersebut terletak pada struktur hubungan sosial (jaringan sosial) dan
kualitas hubungan sosial (norma dan kepercayaan) yang menggambarkan arus
informasi sehingga memberikan dampak akibat dari proses interaksi tersebut.
Selanjutnya dipertegas pula oleh Stone (2000) bahwa, inti dan karakteristik modal
23
sosial terdiri atas dua komponen yaitu struktur hubungan sosial dan kualitas
hubungan sosial. Selengkapnya digambarkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Inti dan Karakteristik Modal Sosial
Struktur hubungan sosial: jaringan
Tipe : Informal - Formal
Ukuran : Batasan yang tertentu
Ruang : Rumah Tangga – Umum
Struktur : terbuka – Tertutup, padat –
jarang, homogen – heterogen.
Relasi : vertikal – horisontal
Kualitas hubungan sosial: norma-norma
Norma kepercayaan : Kepercayaan
sosial, kepercayaan lembaga.
Norma timbal balik : Langsung – tidak
langsung, segera – lambat.
Sumber: Stone (2000)
Berdasarkan definisi dan penekanan modal sosial yang dikemukakan oleh
beberapa ahli antara lain; Coleman (1990), Putnam (1995), Fukuyama (1997),
Stone (2000), Ottebjer (2005), Lin dan Erickson (2008), maka terdapat tiga unsur
penting modal sosial yaitu kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial. Ketiga
unsur modal sosial tersebut akan menggambarkan kategori struktural (jaringan)
dan kognitif (kepercayaan dan norma).
2.5.1 Kepercayaan
Konteks percaya menyiratkan segi emosional individu,
dipercaya
memerlukan kemauan untuk mengambil risiko untuk dapat memberikan harapan
kepada orang lain untuk bertindak atau memberikan respon seperti yang
diharapkan dan untuk saling mendukung ataupun tidak berniat membahayakan.
Fukuyama (1997), mendefinisikan kepercayaan sebagai harapan yang timbul
dalam masyarakat berperilaku reguler, jujur dan kooperatif, berdasarkan normanorma umum bersama dalam anggota masyarakat. Kepercayaan didasarkan pada
24
harapan bahwa orang atau organisasi akan bertindak dengan cara yang diharapkan
atau dijanjikan, dan mempertimbangkan kepentingan orang lain.
Kepercayaan adalah kualitas individu dan organisasi yang mengacu pada
nilai kejujuran, keterbukaan, rasa keadilan, dan kepedulian bagi kelayakan
individu yang diberikan. Hal ini bermakna, kepercayaan merupakan kegiatan
sangat sosial yang berkaitan dengan pribadi individu (Edwards, 2004).
Kepercayaan merupakan variabel kepribadian yang menempatkan
penekanan pada karakteristik individu seperti perasaan, emosi, dan nilai.
Kepercayaan didasarkan pada keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain
akan berperilaku kepadanya pada beberapa kesempatan (Qianhong, 2004). Hal ini
menunjukkan kesediaan untuk menjadi peduli terhadap orang lain sebagai salah
satu pihak akibat dari konsekuensi dari keyakinan yang dibangun, supaya niat
baik dengan mitra yang diajak melakukan interaksi dapat berjalan.
Kepercayaan juga dapat dipandang sebagai sebuah mekanisme sosial
untuk mewujudkan struktur hubungan sosial.
Paxton (1999) mengemukakan,
struktur hubungan sosial didasarkan oleh adanya perasaan tanggung jawab untuk
melakukan hubungan timbal balik atas dasar kepercayaan guna mencapai tujuan
bersama. Kepercayaan mengacu pada keyakinan keandalan seseorang dalam
sebuah sistem yang menghubungkan interaksi. Hal ini didasarkan pada harapan
bahwa orang atau organisasi akan bertindak dengan cara yang diharapkan atau
dijanjikan, dan akan mempertimbangkan kepentingan orang lain.
Paxton (1999) menyatakan bahwa kepercayaan
adalah pembelajaran
sosial dan pembentukkan harapan sosial kepada orang lain di dalam suatu
25
kelompok atau lembaga orang tersebut hadir, serta sebagai suatu set dasar untuk
mengerti orang lain. Pemahaman orang lain melalui proses pembelajaran sosial
menciptakan hubungan yang didasarkan atas dasar kepercayaan terhadap orang
lain yang dipelajari sebagai teladan atau contoh yang perlu ditiru.
Putnam (2001) mengemukakan bahwa kepercayaan sosial dapat timbul
dari norma timbal balik dan jaringan sosial. Keterikatan dan kepatuhan anggotaanggota masyarakat pada norma sosial memberikan hubungan timbal balik dalam
satu kesepakatan aturan yang dipedomani dan dilakukan.
Hal ini akan
mempermudah anggota dalam mengenal dan membentuk kelompok jaringan
sosial. Hal yang sama dikemukakan oleh Coleman (1988) bahwa kepercayaan
merupakan salah satu kunci komponen modal sosial. Modal sosial terbentuk
karena adanya kemampuan yang timbul dari prevalensi kepercayaan di dalam
masyarakat atau di bagian-bagian tertentu dari itu. Adanya kepercayaan dan
norma timbal balik, keadilan, kerjasama, dan manfaat yang diperoleh pada
hubungan sosial,
sangat penting untuk memfasilitasi dan memperkuat
kelembagaan effisiensi kinerja.
saling
mempercayai
akan
Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas
meningkatkan
partisipasi
masyarakat
dalam
membangun kemajuan bersama.
Soetomo (2012) mengemukakan bahwa kohesi sosial dan solidaritas sosial
akan terbangun manakala ada kepercayaan.
Kepercayaan merupakan bentuk
modal sosial yang paling penting sebagai landasan dalam membina kemitraan.
Hal lainpun, kepercayaan bersifat dinamis karena kepercayaan dapat tumbuh dan
26
sebaliknya dapat hilang, sehingga bukan saja memanfaatkan kepercayaan sebagai
modal sosial melainkan juga memelihara dan memupuknya.
Ada tiga hal penting dalam kepercayaan yaitu (1) hubungan antara dua
orang atau lebih, (2) harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang
kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak, dan
(3) interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud
(Saifuddin, 2008).
2.5.2 Norma sosial
Norma sosial dapat didefinisikan aturan yang dilengkapi dengan sanksi
yang merupakan patokan perilaku yang mendorong dan mengatur individu atau
kelompok masyarakat tertentu (Lawang, 1986). Norma-norma sosial biasanya
terbentuk atas dasar hasil kesepakatan anggota-anggota masyarakat dan tercipta
karena adanya interaksi dalam kelompok masyarakat. Pelanggaran akan norma
biasanya diberikan sanksi yang telah disepakati dalam masyarakat, dimana sanksi
dapat berbentuk material maupun tindakan sosial.
Di sisi lain, norma merupakan
penjabaran nilai-nilai secara terinci ke dalam bentuk tata aturan atau tata kelakuan
yang berfungsi untuk mengatur pola tingkah laku.
Norma merupakan pedoman atau patokan bagi perilaku dan tindakan
seseorang atau masyarakat yang bersumber pada nilai. Sedangkan, nilai adalah
merupakan hal yang dianggap baik atau buruk atau sebagai penghargaan yang
diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang mempunyai daya guna bagi
kehidupan bersama. Dengan kata lain, norma adalah wujud konkrit dari nilai yang
merupakan pedoman, berisi suatu keharusan bagi individu atau masyarakat, dapat
27
juga norma dikatakan sebagai cara untuk melakukan tindakan dan perilaku yang
dibenarkan untuk mewujudkan nilai-nilai (Ningrum, 2010).
Pengelompokkan norma sosial atas dasar (1) daya ikat, (2) aturan perilaku
tertentu, (3) resmi tidaknya, dan (4) pola hubungan (Lawang, 1986). Norma
sosial atas dasar daya ikat terbagi atas (1) cara, yaitu norma yang paling lemah
daya ikatnya karena orang yang melanggar akan mendapatkan sanksi cemoohan
atau ejekan, (2) kebiasaan, yaitu aturan dengan kekuaran mengikat yang lebih kuat
dari cara karena kebiasan merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang
sehingga menjadi bukti bahwa orang yang melakukannya menyukai dan
menyadari perbuatannya, (3) tata kelakuan, yaitu secara sadar atau tidak sadar
oleh masyarakat kepada anggota-anggotanya.
Pelanggaran atas norma ini
biasanya mendapatkan sanksi masyarakat, dan (4) adat istiadat, yaitu tata
kelakuan yang kekal serta terintegrasi kuat dengan pola perilaku masyarakat.
Anggota masyarakat yang melanggar norma adat akan mendapatkan sanksi tegas.
Norma sosial atas dasar perilaku tertentu terbagi atas, (1) norma agama,
yaitu ketentuan hidup yang biasanya bersumber dari agama, (2) norma kesusilaan,
yaitu petunjuk atau ketentuan yang berasal dari hati nurani, moral, (3) kesopanan,
yaitu tata krama aturan sopan santun menyangkut kehidupan dalam masyarakat,
(4) norma kebiasaan, yaitu petunjuk hidup dan perilaku yang diulang ulang dalam
bentuk yang sama, dan (5) norma hukum, yaitu ketentuan tertulis yang mengatur
kehidupan masyarakat dalam suatu negara.
Atas dasar resmi atau tidaknya, norma sosial terbagi atas (1) norma formal,
yaitu aturan yang berisikan perintah atau larangan yang dirumuskan dan
28
diwajibkan dengan jelas dan tegas oleh pihak berwenang kepada seluruh warga
masyarakat dan (2) norma nonformal, yaitu tumbuh berdasarkan kebiasaan
bertindak yang seragam, sehingga diterima oleh sebagian besar anggota
masyarakatnya. Biasanya norma nonformal tidak tertulis.
Norma atas dasar pola hubungan terbagi atas (1) norma yang mengatur
pribadi manusia, yaitu menyangkut pengendalian diri individu yang terdiri atas
kepercayaan dan norma kesusilaan, dan (2) norma hubungan antar pribadi, yaitu
mengatur individu dengan individu lainnya, biasanya menyangkut norma hukum
dan norma kesopanan.
Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena
merangsang kohesitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan
masyarakat (Inayah, 2012). Oleh karenanya, norma sosial sebagai salah satu
modal sosial. Guna membangun masyarakat, maka norma-norma yang dimiliki
masyarakat harus terbagi oleh lebih dari satu orang sebagai aturan perilaku atau
standar perilaku yang diharapkan dapat dipahami, dibagi dan atau dipegang oleh
kelompok orang (Jochum, 2003).
Norma-norma
sosial
dalam
masyarakat
sangat
berkaitan
dengan
kepercayaan, nilai-nilai menghargai orang, tanggung jawab moral, kewajiban
terhadap masyarakat maupun kepercayaan yang didasarkan pada adat kebiasaan
yang merupakan nilai-nilai budaya yang melekat pada masyarakat. Sisi lain,
adanya seperangkat nilai-nilai moral yang memadai, dipegang dan dianut dalam
masyarakat dapat menumbuhkan perilaku kebersamaan yang menunjang jaringan
sosial (Kushandajani, 2006).
29
Sifat norma sosial menurut Saifuddin (2008) antara lain: (1) norma muncul
dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya kalau pertukaran itu
memberikan keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran
sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu, norma yang muncul disini,
bukan terjadi melalui satu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali
pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus menerus menjadi
sebuah kewajiban yang harus dipelihara. (2) norma bersifat resiprokal, artinya isi
norma menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin
keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar
norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak,
akan diberi sanksi negatif yang sangat keras, dan (3) jaringan yang terbina lama
dan menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan
norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang
keras juga.
2.5.3 Jaringan sosial
Manusia dalam kehidupannya tidak pernah dapat hidup sendiri,
dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain
dalam kehidupannya.
Kebutuhan akan orang lain dalam kehidupan manusia
bertujuan untuk terjalin interaksi antar individu dan atau kelompok guna
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Adanya interaksi antar individu dan atau
kelompok akan membentuk kelompok-kelompok sosial, perwujudan kelompok
sosial ini tercipta melalui jaringan sosial. Dengan kata lain, adanya jaringan sosial
akan menciptakan kelompok sosial.
30
Jaringan sosial didefinisikan sebagai suatu set hubungan antar individu dan
atau kelompok (Kadushin, 2004).
Jaringan sosial juga dapat dilihat sebagai
hubungan pribadi yang dikumpulkan ketika sesorang berinteraksi satu sama lain
dalam keluarga, tempat kerja, lingkungan, asosiasi lokal dan berbagai tempat
pertemuan informal dan formal (Foxton and Jones, 2011).
Berdasarkan bentuk, jaringan sosial dapat terbentuk atas: (1) jaringan
diantara individu (kawan akrab, hubungan romantis, dan sahabat), (2) jaringan
hubungan formal dalam organisasi atau kelompok (kerjasama pembeli dan
leveransir,dan kerjasama usaha), (3) jaringan hubungan informal dalam organisasi
atau kelompok (hubungan pemimpin dan bawahan serta hubungan antar tenaga
kerja), dan (4) jaringan hubungan yang melibatkan keanggotaan dalam suatu
organisasi secara luas (perkumpulan, persatuan, asosiasi, keanggotaan komite,
persekutuan) (Smith, “t.t”).
Selanjutnya, Kadushin (2004) mengemukakan bahwa jaringan sosial dapat
terbagi atas (1) ego-centric networks, yaitu jaringan sosial yang menghubungkan
individu dengan individu, (2) socio-centric networks, yaitu jaringan sosial yang
menghubungkan individu dalam kelompok tertentu. Jaringan seperti ini biasanya
bersifat tertutup bagi anggota-anggota kelompok tertentu saja, dan (3) opensystem networks, yaitu jaringan sosial yang tidak memiliki batasan dalam
melakukan hubungan sosial dan biasanya tidak tertutup.
Melalui jaringan sosial, individu akan mudah mendapatkan akses terhadap
sumberdaya yang tersedia di lingkungannya untuk mencapai tujuan bersama.
Oleh karenanya, terbentuknya jaringan sosial biasanya dikaitkan dengan
31
persamaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai anggota-anggotanya.
Fachrina (2005) mengemukakan bahwa hubungan sosial dikatakan sebagai
jaringan sosial apabila terdapat kepadatan, isi sesuai konteks, rentang, frekuensi,
kekompakkan, dan adanya kepentingan hubungan.
Jaringan sosial dapat diwujudkan dalam bentuk formal dan in formal.
Jaringan informal terbentuk secara spontan, tidak diatur pertukaran informasi dan
sumber daya di dalam masyarakat secara resmi, serta diupayakan adanya
kerjasama, koordinasi, dan saling membantu untuk memaksimalkan pemanfaatan
sumber daya yang tersedia.
Jaringan informal dapat dihubungkan melalui
horizontal dan vertikal hubungan dan dibentuk oleh berbagai faktor lingkungan,
termasuk kekerabatan, komunitas di pasar, dan persahabatan (Allahdadi, 2011).
Sedangkan jaringan formal biasanya diidentikkan dengan hubungan antar
organisasi yang memiliki struktur dan kewenangan dalam suatu organisasi.
Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi modal sosial selain
kepercayaan dan norma.
Konsep jaringan sosial dalam modal sosial lebih
menfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang bisa berupa hubungan antar
orang atau kelompok (Mudiarta, 2009). Selanjutnya dikemukakan bahwa pada
dasarnya
jaringan
sosial
terbentuk
adanya
menginformasikan,
saling
mengingatkan
dan
rasa
saling
saling
tahu,
saling
membantu
dalam
melaksanakan dan mengatasi sesuatu.
Komponen jaringan sosial sangat berkaitan dengan modal sosial, hal ini
dapat diindikasikan bahwa modal sosial sebagai kombinasi dari ukuran jaringan,
hubungan kekuatan, dan sumber daya yang dimiliki oleh orang-orang dalam
32
jaringan keterikatan orang-orang tersebut didasarkan atas norma-norma yang
timbal balik dan rasa saling percaya (Mudiarta, 2009).
Flassy dkk. (2009) menyatakan bahwa dimensi inti telaah modal sosial
terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun
suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama diwarnai oleh pola inter
relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas
kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif
dan kuat. Oleh karenanya, jaringan sosial menjadi fasilitator dalam mendukung
terjadinya interaksi yang kemudian akan menumbuhkan kepercayaan dan
kerjasama yang kuat. Semakin kuat jaringan sosial yang terbentuk maka semakin
kuat pula kerjasama dan kepercayaan yang ada di dalamnya, dan selanjutnya akan
memperkuat modal sosial yang terbentuk.
Jaringan sosial terbentuk karena kepercayaan tidak hanya orang-orang
yang langsung dipercayainya, melainkan juga terhadap orang-orang yang
dipercaya oleh orang yang dipercayainya.
Jaringan sosial akan menfasilitasi
tindakan kolektif yang saling menguntungkan (Suharjito dan Saputro, 2008).
2.6 Pengetahuan
Manusia
dalam
kehidupannya
senantiasa
beringinan
untuk
mau
mengetahui segala sesuatu yang berada sekitar lingkungannya, sehingga
menimbulkan hasrat keinginan untuk mencari tahu. Proses mencari tahu inilah
yang menciptakan pengetahuan bagi manusia. Pengetahuan dapat didefinisikan
sebagai hasil dari proses usaha manusia untuk tahu, atau isi pikiran manusia dari
proses menjadi tahu.
Pengetahuan tercipta setelah seseorang melakukan
33
pengindraan terhadap suatu obyek tertentu dengan cara penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa maupun meraba.
Melalui proses pengindraan, akan timbul
proses pengamatan bahkan evaluasi yang menggerakkan kerja otak untuk
menterjemahkan obyek pengamatan tersebut. Atas dasar hasil kerja otak, maka
keinginan manusia untuk dapat mengetahui obyek pengamatan akan terwujud
sebagai hasil pengetahuan. Oleh karenanya, konsep pengetahuan sangat berkaitan
dengan kerja otak/kognitif dan penginderaan.
Sebagian besar pengetahuan
manusia tercipta melalui pendengaran dan penglihatan, yang menangkap obyek
pengamatan dan diteruskan pada kerja otak.
Apabila ditelaah tentang kemampuan manusia untuk senantiasa mencari
tahu sehingga mendapatkan pengetahuan, maka unsur pengetahuan terdiri atas
subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui, dan kegiatan pengetahuan itu
sendiri. Subyek yang mengetahui adalah manusia yang memiliki kemampuan
rasio untuk dapat menangkap obyek. Obyek yang diketahui merupakan segala
sesuatu yang dapat diamati dan ditanggap oleh indera sebagai stimulus yang hadir.
Sedangkan kegiatan pengetahuan merupakan proses psikologis yang melibatkan
subyek dan obyek untuk menghasilkan pengetahuan.
Krathwohl (2002) mengemukakan bahwa berdasarkan taxonomy bloom,
dimensi pengetahuan terbagi atas, (1) pengetahuan faktual, yaitu elemen dasar
yang harus diketahui.
Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan tentang
terminalogi dan pengetahuan bagian detail dan unsur-unsur, (2) pengetahuan
konseptual, yaitu keterkaitan elemen-elemen dasar dalam struktur yang lebih
besar. Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori,
34
prinsip dan generalisasi, serta teori, model dan struktur, (3) pengetahuan
prosedural , yaitu bagaimana melakukan sesuatu dengan metode penyelidikan dan
kriteria algoritma. Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan tentang ketrampilan
khusus yang menggunakan alogoritma, tehnik dan metode, serta penggunaan
suatu prosedur, dan (4) pengetahuan metakognitif yaitu
pengetahuan secara
lengkap. Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan strategi, operasi kognitif, serta
diri sendiri. Keempat dimensi pengetahuan tersebut dapat menggambarkan
tingkatan pengetahuan yang dimiliki seseorang, hal mana pengetahuan faktual
merupakan dimensi terendah.
Pengetahuan terdiri atas (1) mengingat, yaitu mengenali dan mengingat
sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya, (2) memahami, yaitu
dapat
menjelaskan
dapat
secara
benar
obyek
yang
dipelajari
dan
menginterpretasikannya, (3) mengaplikasikan, yaitu menggunakan materi yang
telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya, (4) menganalisis, yaitu
menguraikan materi ke dalam komponen-komponen, dan menemukan makna
tentang materi/obyek tersebut, (5) evaluasi yaitu memberikan penilaian dan
kritikan atas obyek, dan (6) membuat, yaitu merumuskan, merencanakan atau
merancang sesuatu hal tentang obyek yang diamati (Krathwohl, 2002). Tingkatan
dimensi proses kognitif menggambarkan proses pengetahuan yang dimiliki
seseorang, dimulai dari tahapan pengetahuan yang sangat sederhana yaitu
mengingat dan selanjutnya mengarah pada tingkatan pengetahuan yang lebih
tinggi yaitu membuat atau merancang sesuatu obyek untuk dipergunakan dalam
memecahkan suatu permasalahan.
35
2.7 Sikap
Thurstone (1932) mengemukakan bahwa sikap dapat dipandang sebagai
sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek psykologis. Selanjutnya, dikemukakan
bahwa sikap menggambarkan potensi tindakan seseorang yang mengarah pada
obyek psikologis dengan hanya mengarahkan pertanyaan apakah potensi tindakan
menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap obyek tersebut. Hal ini berarti,
penekanan sikap pada bentuk atau reaksi perasaan yang diberikan individu
terhadap obyek psikologis yaitu mendukung/positif atau tidak mendukung/negatif.
Respon positif ditunjukkan seseorang, apabila ia mendapatkan respon menyukai
atau menyenangkan dari obyek psikologis dan sebaliknya.
Kondisi tersebut
menyiratkan bahwa Thurstone (1932) melihat sikap hanya pada tingkatan afektif
saja, dan belum mengkaitkan sikap dengan perilaku. Obyek psikologis dapat
berupa symbol, slogan, kelembagaan, orang, ide, frase dimana melalui interaksi
dengan obyek psikologis tersebut, maka seseorang akan memberikan respon
perasaaan positif atau negatif.
Selanjutnya, Allport (1935) mengemukakan bahwa sikap merupakan
kondisi mental dan kesiapan mental yang diperoleh dari pengalaman pribadi yang
mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap
semua obyek dan situasi yang terkait. Pendapat Allport (1935) menekankan
bahwa, sikap merupakan proses psykologis (mental) yang dialami seseorang dan
kesiapan mental untuk memberikan respon perilaku berupa tindakan terhadap
obyek.
Hal lainpun, sikap merupakan disposisi untuk bertindak yang dibangun
oleh adanya integrasi berbagai tanggapan yang dimulai oleh kerja “jendela set
36
saraf” yang diaktifkan akibat stimulus tertentu yang hadir dalam lingkungan.
Pada kondisi ini, sikap menggambarkan pola pikir atau kecenderungan untuk
bertindak dengan cara tertentu berdasarkan pengalaman yang dimiliki.
Oleh
karenanya, Allport (1935) mendefinisikan sikap sebagai kesiapan untuk
memberikan respon, atau dengan kata lain sikap baru jadi persiapan dan bukan
sebagai perilaku/tindakan tetapi prasyarat perilaku/tindakan.
mengisyaratkan bahwa,
Pernyataan ini
sikap sebagai pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipasif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial dimana
stimuli sosial yang berada di lingkungan telah terkondisikan.
Sikap akan mempengaruhi cara orang memandang dan bertindak terhadap
orang, benda ataupun peristiwa yang berada di sekitar lingkungannya. Hal ini
berarti bahwa, sikap sebagai reaksi evaluatif yang diberikan seseorang terhadap
lingkungannya.
Katz (1960) mengemukakan bahwa sikap merupakan
kecenderungan dari individu untuk mengevaluasi suatu obyek.
Melalui
pengamatan tentang suatu obyek, manusia memberikan penilaian dan tanggapan
dan selanjutnya berperilaku terhadap obyek pengamatan tersebut. Byrka (2009)
menyatakan bahwa sikap merupakan perwujudan hasil evaluasi terhadap obyek
pengamatan yang dilalui melalui proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sikap
sebagai hasil evaluasi digambarkan pada Gambar 2.3.
Respon kognitif
Stimulus
Sikap
Respon afektif
Respon perilaku
Gambar 2.3
Sikap Sebagai Hasil Evaluasi (Byrka, 2009)
37
Proses sikap dimulai dengan adanya stimulus yang dihadirkan dari obyek,
kemudian seseorang mengalami proses psykis, dan dilanjutkan dengan pemberian
respon atas obyek tersebut. Wujud respon terdiri atas respon kognitif, respon
afektif, dan respon perilaku. Respon kognitif merupakan keyakinan yang dimiliki
individu terhadap obyek yang telah dipikirkan melalui proses pemikiran (otak).
Pemikiran tersebut diwujudkan dalam bentuk respon berupa pernyataan pendapat.
Oleh karenanya, respon kognitif biasanya mengarah pada pemikiran, pandangan,
keyakinan dan ide terhadap obyek sikap. Respon kognitif berorientasikan pada
pemikiran, rationatik, logik, dan kepercayaan evaluasi terhadap suatu obyek
(Maio and Haddock, 2010).
Fazio and Olson (2003) menyatakan bahwa, respon
kognitif merupakan nilai harapan yang hadir dari atribut obyek pengamatan. Hal
mana nilai harapan yang dimaksudkan adalah perkiraan dari peluang
kemungkinan yang diberikan oleh atribut obyek pengamatan yang dapat
ditangkap oleh seseorang.
Respon afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek yang
dimanifestasikan dalam bentuk perasaan atau emosional. Fasio and Olson (2003)
mengemukakan bahwa, respon afektif timbul karena adanya reaksi emosional
seseorang terhadap obyek pengamatan. Perasaan emosional dinyatakan dalam
perasaan senang/suka ataupun tidak senang/tidak suka, hal mana perasaan
emosional biasanya merupakan aspek sikap yang berakar paling dalam dan
bertahan lama pada diri seseorang.
Sebagai akibatnya terkadang respon afektif
sangat sulit untuk dirubah dibandingkan respon kognitif.
38
Respon perilaku merupakan wujud perilaku berupa kecenderungan
tindakan dari seseorang terhadap obyek. Respon perilaku terkadang dipandang
sebagai akumulasi dari respon kognitif setelah melalui pemikiran dan respon
afektif
yang mempertimbangkan emosional seseorang.
Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa respon perilaku dipandang sebagai keputusan akhir yang
diambil seseorang secara utuh dalam menanggapi stimulus yang diberikan obyek
pengamatan. Selanjutnya, respon perilaku juga menunjukkan intensitas sikap,
yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap
obyek sikap. Ketiga komponen respon sikap tersebut, menunjukkan bahwa sikap
akan memberi arah kepada perbuatan atau tindakan seseorang.
Hal yang sama dikemukakan oleh Pickens (2005) yang mengemukakan
tentang tiga komponen model sikap yaitu perasaan, pikiran, dan tindakan.
Selengkapnya disajikan pada Gambar 2.4.
PERASAAN
PIKIRAN
TINDAKAN
Gambar 2.4
Tiga Komponen Model dari Sikap (Pickens, 2005)
Komponen perasaan menyangkut reaksi emosional terhadap obyek yaitu
senang/menyukai
atau
tidak
senang/tidak
menyukai;
komponen
pikiran
menyangkut keyakinan atau pemikiran terhadap obyek yaitu setuju/tidak setuju;
dan komponen tindakan menyangkut kecenderungan perilaku untuk melakukan
tindakan/tidak melakukan yang diterima terhadap obyek. Tiga komponen sikap
39
yaitu kognitif, afektif, dan predisposisi tindakan/konatif saling berinteraksi dalam
memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap obyek. Di samping itu, tiga
komponen sikap harusnya selaras dan konsisten untuk membentuk pola arah sikap
yang seragam menuju wujud perilaku tindakan nyata. Apabila salah satu dari
komponen sikap tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi
ketidakselarasan dalam mekanisme pengambilan keputusan sikap.
Ketiga komponen sikap menurut Olson and Maio (2003) mencirikan sifat
subyektif sikap. Sikap subyektif dimaksudkan bahwa sesuatu obyek pengamatan
belum tentu kebenarannya dan akan ditunjukkan oleh keputusan akhir yang
diambil
yaitu
dalam
bentuk
tindakan.
Selanjutnya,
Ramdhani
(2008)
mengemukakan bahwa sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal
psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap lebih merupakan proses
kesadaran yang sifatnya individual. Hal ini berarti, proses sikap terjadi secara
subyektif dan unik pada diri setiap individu. Adanya sikap subyektif dari setiap
individu dikarenakan setiap individu memiliki norma dan nilai yang melekat pada
individu.
Berkaitan dengan subyektifnya sikap,
Maio and Haddock (2010)
memberikan penegasan bahwa dua hal penting daripada sikap yaitu (1) berbeda
dalam arah sikap yaitu arah positif/negatif/netral dan (2) berbeda dalam kekuatan
sikap yaitu sangat menyenangkan/kurang menyenangkan/tidak menyenangkan.
Hal ini menunjukkan bahwa sikap sangatlah subyektif dan sangat bergantung dari
pengambilan keputusan masing-masing individu.
40
Trivedi (2012) memberikan beberapa batasan tentang karakteristik sikap
yaitu (1) Favourableness adalah sejauh mana seseorang memberikan respon
terhadap objek yaitu menyenangkan atau tidak, (2) Intensitas yaitu mengacu pada
intensitas kekuatan perasaan seseorang setelah mengamati obyek, (3) Relevansi
berarti seberapa bebas atau spontan individu mengungkapkan sikapnya.
Ini
adalah kesiapan atau ketepatan dengan mana individu memberikan pelampisan
perasaannya, (4) Sikap tidak diwarisi oleh individu tetapi diperoleh selama proses
interaksi dengan obyek, (5) Sikap menjadi stabil selama jangka waktu tertentu,
namun juga dapat permanen dan menentukan perilaku masa depan dari seseorang,
(6) Sikap tidak terbentuk dalam ruang hampa yaitu sikap terbentuk dalam
hubungan dengan beberapa objek, orang atau situasi, (7) Wujud sikap terdiri atas
afektif mengacu pada perasaan, kognitif untuk pengetahuan dan perilaku untuk
bertindak, dan (8) Sikap seseorang tidak dapat diketahui secara langsung tetapi
dapat disimpulkan dari tindakan individu, perilaku atau kata-kata/penyataan
pendapat.
Olson and Maio (2003) mengemukakan fungsi sikap, yaitu (1) penilaian
terhadap obyek pengamatan. Fungsi sikap ini mengacu pada kemampuan sikap
untuk meringkas atribut-atribut baik positif maupun negatif dari obyek
pengamatan yang ditemui pada lingkungan, (2) penyesuaian sosial.
Fungsi
penyesuaian sosial diberikan oleh sikap yang membantu seseorang untuk
mengidentifikasi orang lain dalam sistim sosial, dan (3) eksternalisasi. Fungsi
eksternalisasi ditunjukkan oleh sikap membela diri terhadap sistim internal.
Sebaliknya, Maio and Haddock (2010) mengemukakan fungsi sikap, antara lain:
41
(1) pengetahuan yaitu kemampuan sikap untuk mengatur informasi tentang obyek
sikap, (2) penyesuaian yaitu sikap dapat memaksimalkan manfaat dan
meminimalkan konsekuensi negative dari obyek sikap, (3) ego yaitu sikap dapat
berfungsi melindungi harga diri seseorang atau sikap berfungsi dalam ekspresi
diri, dan (4) nilai ekspresi yaitu sikap dapat melayani fungsi nilai ekspresi
seseorang dan nilai-nilai yang dipegangnya.
Pembentukkan sikap terbentuk melalui hasil pembelajaran sosial,
permodelan orang lain, pengalaman hidup, dan pengamatan langsung seseorang
terhadap orang lain ataupun situasi.
Secara umum, pembentukkan sikap
ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal individu berupa daya pilih
seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh yang datang dari luar), dan
faktor eksternal berupa interaksi sosial yang terjadi di dalam lingkungan sosial.
Selanjutnya melalui proses pembentukkan sikap, seseorang dituntut untuk dapat
mengambil keputusan untuk dapat menyeleksi dan menyatakan respon berupa
kecenderungan tindakan (Pickens, 2005).
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap
seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang ditujukan tentang
evaluasi obyek, dimana pernyataan tersebut bersifat negatif/tidak setuju ataupun
positif/setuju. Pernyataan negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci atau tidak menyukai obyek sikap.
Sebaliknya,
pernyataan positif menunjukkan kecenderungan mendekati, menyenangi, dan
mengharapkan obyek sikap.
Download