Makalah Sertifikas 2i

advertisement
KTSP DAN SERTIFIKASI GURU,
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN *)
Das Salirawati **)
PENDAHULUAN
Saat ini pendidikan di Indonesia nampaknya sedang mencari-cari formula yang
terbaik dan tepat dalam membawa anak-anak bangsa menuju masa depan yang lebih
baik. Hal ini terbukti dengan adanya ujicoba berbagai kurikulum yang demikian cepatnya
sehingga di lapangan banyak guru mengeluhkan “baru mau duduk sudah disuruh berdiri
lagi”. Terlepas dari itu, perubahan kurikulum adalah wajar terjadi di negara manapun,
karena sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan yang berlaku nasional harus selalu
disesuaikan dengan perkembangan IPTEK dan tuntutan masyarakat (Olivia, 1992 : 3).
KTSP yang mulai diterapkan di lapangan oleh sebagian sekolah sebenarnya tidak
lain merupakan kelanjutan dari Kurikulum 2004 maupun KBK. Apapun namanya, sebagai
guru haruslah ”tunduk” dan berusaha untuk melaksanakannya dengan baik. Hal ini karena
keberhasilan pelaksanaan kurikulum sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan
guru dalam menangkap perubahan yang terjadi (Roy Barnes, 2005).
Tak ada seorang gurupun yang tidak menginginkan anak didiknya menjadi lebih
baik dan lebih maju, namun untuk menuju ke arah itu masing-masing guru memiliki cara &
irama kerja yang berbeda. Nampaknya inilah yang dipahami Pemerintah, dengan KTSP
guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan sendiri kurikulum pada tingkat pembelajaran dalam rangka menjembatani keberagaman kemampuan guru, sehingga mereka
dapat menuangkan ide-idenya ke dalam proses pembelajaran. Dengan demikian semua
guru dapat berkembang sesuai dengan kemampuan dan tidak ada keterpaksaan dalam
melaksanakan, karena apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang direncanakan sendiri.
Dalam rangka memacu kinerja dan profesionalitas guru, saat inipun telah digulirkan kebijakan sertifikasi guru. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan dan komitmen yang
tinggi Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada
guru sebagai pelaksana pendidikan di tingkat pembelajaran yang bermuara akhir pada
peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan pengujian terhadap kompetensi guru
harapannya dapat terbentuk pribadi guru yang mantap, yang mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawab sebagai pendidik dengan baik dan profesional.
*) Makalah ini disampaikan dalam rangka Perayaan Waisak 2551 / 2007 Sekolah Tinggi Agama Buddha
Syailendra, tanggal 17 Mei 2007 di Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Kopeng, Kab. Semarang.
**) Dosen Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Negeri Yogyakarta
1
KTSP dan sertifikasi guru adalah dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan erat.
Di satu sisi pelaksanaan KTSP memerlukan guru-guru yang kreatif, inovatif, dan berpikir
maju, di sisi lain untuk mewujudkan guru yang demikian perlu pengujian terhadap kualitas
guru, yaitu melalui sertifikasi guru. Kenyataan di lapangan menunjukkan berbagai masalah
muncul berkaitan dengan pelaksanaan KTSP dan sertifikasi guru, karena kekurangjelasan
informasi yang diterima guru maupun pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan di
daerah masing-masing. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu forum untuk sharing dan
diskusi mengenai hal ini. Melalui forum inilah kita dapat saling berbagi kebingungan,
informasi dan solusi yang bermanfaat dalam memberikan pencerahan bagi kita semua.
KTSP, HARAPAN DAN KENYATAAN
KTSP tidak berbeda jauh dengan Kurikulum 2004 / KBK, baik ditinjau dari aspek
filosofi, tujuan, materi, proses pembelajaran, maupun cara penilaian. Perbedaan hanya
terletak pada pemberian panduan umum dimana pada KTSP guru hanya diberi kerangka
dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang tercantum dalam Standar Isi (satu dari delapan standar yang
ditetapkan BSNP). Oleh karena itu permasalahan yang belum tuntas dipecahkan dalam
pelaksanaan KBK tetap bergulir sebagai permasalahan pada pelaksanaan KTSP.
Ketika dilahirkan KTSP pastilah ada secercah harapan yang ingin diraih bangsa
kita dalam dunia pendidikan, diantaranya agar setiap sekolah mampu menyusun dan
mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah,
kebutuhan, kemampuan sekolah, dan karakteristik siswa, sehingga memungkinkan sekolah dapat menyesuaikan program pendidikan yang akan dilaksanakan di lapangan.
Namun untuk mencapai tujuan seperti itu tidak semudah membalik tangan, diperlukan
komitmen Kepala Sekolah dan jajarannya untuk mampu memenuhinya.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap sekolah siap untuk melaksanakan apa
yang digariskan dalam KTSP sesuai yang diterbitkan BSNP. Banyak kendala yang
dihadapi, baik yang berkaitan dengan komitmen, kemauan dan kemampuan Kepala
Sekolah maupun guru-gurunya. Mulai dari hal yang sederhana, seperti bagaimana
memotivasi guru-guru untuk mau bersama-sama menciptakan pembelajaran bernuansa
KTSP sampai pada penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk memperlancar
penerapan berbagai metode dan pendekatan yang inovatif. Mungkin Pemerintah belum
berpikir secara masak bahwa tidak semua sekolah siap menghadapi loncatan perubahan
yang mungkin dianggap draktis bagi mereka yang sama sekali belum siap. Adanya
2
kesenjangan antara harapan yang diinginkan Pemerintah dengan kenyataan di lapangan
inilah yang menimbulkan berbagai masalah.
PERMASALAHAN KTSP DAN SOLUSINYA
KTSP tidak dilengkapi dengan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP),
guru hanya diberi SK dan KD yang terdapat dalam SI. Dengan SK dan KD tersebut guru
diharapkan mampu mengembangkan silabus dan mengoperasionalkan dalam bentuk RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Namun kenyataannya pemahaman setiap guru
tentang silabus, baik mengenai cara pembuatan dan maknanya dalam pembelajaran tidak
seragam. Hal ini karena setiap ada pelatihan, lokakarya, maupun kegiatan sejenis,
pembicara yang satu dengan yang lain tidak memiliki kesamaan pola pikir dan pemaknaan
tentang silabus. Selain itu, keberadaan contoh model KTSP dalam panduan BSNP sangat
mengganggu proses otonomi sekolah dalam pengembangan silabus dan RPP, karena
meskipun BSNP ”tidak mewajibkan” sekolah untuk mengikuti contoh tersebut, namun
sekolah tetap terpaku padanya. Terlebih bagi sekolah yang belum mandiri, akan merasa
nyaman bila mengikuti contoh model itu daripada mereka membuat sendiri yang
dikhawatirkan tidak sesuai dengan yang diinginkan BSNP. Selama ini guru telah terbiasa
menyusun RPP berdasarkan format yang berlaku di sekolah mereka, sehingga hadirnya
contoh seolah-olah Pemerintah ”menginginkan keseragaman”.
Mungkin menjadi perenungan bagi kita semua, kalau memang ingin dibebaskan
dalam menyusun dan mengembangkan silabus, mengapa BSNP harus membuat contoh
model ? Apakah tidak sebaiknya hanya diberi batasan tentang apa saja yang harus ada
dalam silabus dan RPP tanpa harus memberi contoh model ? Meski Pemerintah
menyatakan bahwa itu sekedar contoh, namun yang terjadi di lapangan tidaklah demikian.
Sekolah-sekolah tetap mengacu pada model tersebut, karena takut salah jika mereka
ingin menampilkan format yang berbeda. Mungkin Anda setuju, apa arti sebuah model ?
Sebenarnya yang penting bukan yang tertulis hitam di atas putih, tetapi bagaimana
pelaksanaan di lapangan. Bukankah orang yang terlalu banyak berteori tidak lebih baik
dari orang yang tanpa teori tetapi menunjukkan tindakan nyata ?!
Mengingat untuk pelaksanaan KTSP, terutama yang menyangkut pengembangan
silabus, penyusunan SAP dan RPP nantinya sangat tergantung dari sekolah masingmasing, maka agar tidak terjadi perbedaan yang mencolok antar sekolah yang masih
dalam satu wilayah (Kabupaten / Kota) sangat diperlukan wadah pertemuan bagi mereka.
Oleh karena itu pengaktifan kembali MGMP dimaksudkan agar terjadi keseragaman
persepsi tentang konsep yang dimaksud dalam KTSP. Melalui MGMP semua perbedaan
3
yang mungkin terjadi dapat dibicarakan dan dicari jalan keluarnya dengan baik, artinya
permasalahan muncul dari mereka, dibicarakan oleh mereka, dan solusi yang dihasilkan
untuk mereka juga.
Selain mengembangkan silabus, guru juga diharapkan mampu mengembangkan
sistem penilaian, baik untuk aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Jika di saat Kurikulum
2004 pertama kali diberlakukan, guru mengalami kesulitan dalam hal penilaian, ternyata
kesulitan ini terbawa sampai berlakunya KTSP. Hal ini dapat dipahami, karena ibarat guru
belum sempat duduk sudah diminta berdiri lagi untuk menerima kehadiran kurikulum baru
(KTSP). Selain itu kendala di lapangan yang relatif sulit untuk “diakali” juga banyak
dihadapi guru-guru kita, seperti jumlah jam mengajar yang terlalu padat dan banyaknya
kelas yang harus diajar. Colin Marsh (1996 : 10) menyatakan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah kemampuannya dalam melakukan penilaian, baik
terhadap proses maupun produk pembelajaran. Oleh karena itu sebaiknya guru sesering
mungkin berdiskusi dan sharing untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan
masalah penilaian. Sesama guru harus saling “ringan sama dijinjing berat sama dipikul”
bila mengalami kesulitan, bukan malah “ringan sama dijinjing berat sama ditinggal” !.
Pada dasarnya penilaian aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah dilakukan
guru jauh sebelum KTSP dikemukakan. Ketika guru akan memberikan nilai akhir, pasti
secara tidak tersurat mempertimbangkan perilaku dan kerajinan siswa dalam keseharian
di sekolah. Bahkan dalam raport-pun tertulis penilaian terhadap kelakuan, kerajinan, dan
kerapian dimana ketiganya termasuk penilaian afektif dan psikomotor.
Jadi, sistem penilaian yang dianjurkan dalam KTSP sebenarnya sudah biasa
dalam dunia pendidikan, hanya bedanya sekarang ini semua penilaian harus tertulis dan
didokumentasikan. Hal inilah yang menjadi masalah di lapangan, karena bila kita ingin
menjadi guru yang idealis dan ingin menerapkan KTSP secara sempurna, maka harus
selalu melakukan penilaian ketiga aspek. Bagi guru yang hanya mengajar 1 – 2 kelas
mungkin tidak menjadi masalah, tetapi bagaimana dengan guru yang mengajar > 8 kelas ?
Apakah seluruh waktunya di sekolah maupun di rumah harus dihabiskan untuk membuat
soal, menyusun lembar observasi, dan mengoreksi ? Lalu kapan waktu untuk keluarga ?
Bila kita menginginkan untuk dapat melakukan penilaian ketiga aspek, sedangkan
waktu yang tersedia sedikit dan kelas yang harus diampu banyak, maka kita dapat
melakukan penilaian secara bergilir. Sebagai contoh kita mengajar 8 kelas, maka dapat
dilakukan penilaian ketiga aspek sbb :
4
No.
Materi Pokok
1.
2.
3.
4.
P
Q
R
dst
A
Kgn
Aft
Psm
B
Aft
Psm
Kgn
C
Psm
Kgn
Aft
Kelas
D
E
Kgn
Aft
Aft
Psm
Psm Kgn
F
Psm
Kgn
Aft
G
Kgn
Aft
Psm
H
Aft
Psm
Kgn
Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa untuk satu materi pokok, guru dapat
melakukan ketiga penilaian pada kelas yang berbeda, sedangkan untuk materi pokok
berikutnya dapat dilakukan jenis penilaian dari aspek lainnya. Bila masih dirasa berat, guru
dapat menggabungkan beberapa materi pokok untuk dilakukan penilaian, sehingga jumlah
penilaian tidak terlalu banyak dan kerja guru dalam mengoreksi tidak terlalu berat.
Permasalahan lainnya adalah masih minimnya sarana prasarana pendukung
pembelajaran, seperti laboratorium yang apa adanya dan buku-buku perpustakaan yang
sudah ketinggalan jaman. Oleh karena itu dalam pelaksanaan KTSP ini dianjurkan agar
guru menerapkan pendekatan kontekstual yang mampu mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
(Depdiknas, 2002 : 1). Penerapan pendekatan ini menuntut kreativitas guru untuk dapat
merancang aktivitas siswa dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.
Dengan demikian apapun materi pelajaran yang diberikan, mampu memotivasi siswa
dalam menghubungkan dengan fenomena di sekitarnya.
Ketiadaan koleksi buku yang baru dapat diatasi dengan cara guru merancang
kegiatan pembelajaran yang mampu mengaktifkan siswa untuk mengkaji pustaka sendiri
tanpa terbatas pada pustaka yang tersedia di sekolah. Semakin banyak pustaka yang
dibaca semakin menambah keluasan dan kedalaman materi yang dibahas. Hal ini sangat
menguntungkan siswa sekaligus guru, karena berarti guru telah mampu mengembangkan
materi dan siswa menjadi bertambah luas wawasannya.
PERMASALAHAN KHUSUS
KD, Materi Pokok (MP), Kegiatan Pembelajaran (KP), dan Indikator adalah
komponen dalam KTSP yang dapat dikembangkan setiap sekolah sesuai dengan kondisi
sekolah dan karakteristik siswa. Permasalahannya, bila suatu sekolah hanya melaksanakan yang tertulis dalam kurikulum, bagaimana nasib siswanya ketika ia harus mengerjakan soal Ulangan Umum yang dibuat oleh wilayah dimana sekolah tersebut berada ?
Kalau soal yang keluar mengikuti standar minimal yang tercantum dalam kurikulum tidak
5
menjadi masalah, tetapi bila soalnya berisi materi pengembangan yang dilakukan oleh
sebagian besar sekolah yang ada di wilayah tersebut, inilah yang menjadi masalah !!
Solusi terbaik yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah ini adalah perlunya
pengelompokan sekolah yang memiliki kondisi sekolah dan karakteristik yang sama yang
dilakukan oleh Dinas Pendidikan setempat, sehingga mereka dapat menetapkan batas
ketuntasan sendiri. Ketika diadakan Ulangan Umum, maka mereka juga melakukannya
sendiri. Mengenai UAN yang dibuat oleh Depdiknas, sebaiknya soal-soal yang dikeluarkan
mengacu pada batas-batas yang tercantum dalam kurikulum.
Pendekatan kontekstual sebagai salah satu pendekatan yang dianjurkan diterapkan dalam proses pembelajaran, ternyata dalam pelaksanaannya hanya sebagian guru
yang mampu memahami dan menerapkannya. Hal ini karena sosialisasi pendekatan ini
belum merata ke seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Bagi mereka yang sudah
mengikuti sosialisasipun ternyata belum memperoleh gambaran yang jelas tentang
pendekatan kontekstual, baik pengertian maupun contoh konkritnya dalam pembelajaran.
Solusi dari permasalahan ini adalah perlunya guru banyak membaca buku, sering
berdiskusi dengan teman sejawat, dan mencari acuan-acuan yang berisi tentang kegiatan
yang mungkin dapat dilaksanakan di sekolah dengan kondisi yang serba minim. Kreativitas guru sangat dituntut agar mampu menyajikan materi yang dapat menyebabkan siswa
mampu menghubungkan dengan fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Ketika guru ingin melakukan penilaian aspek kognitif, mungkin tidak mengalami
kendala, karena sudah biasa dilakukan. Namun ketika akan melakukan penilaian aspek
afektif dan psikomotorik, guru mengalami kendala dalam hal format penilaian yang akan
digunakan. Banyak contoh-contoh format penilaian aspek afektif (sikap, nilai, konsep diri,
motivasi, minat) dan aspek psikomotorik yang dapat diacu dari berbagai buku maupun
hasil penelitian, namun format penilaian tersebut tidak selalu cocok untuk kondisi sekolah
dan siswa kita, sehingga perlu dimodifikasi agar sesuai dengan informasi yang dibutuhkan
guru. Oleh karena penilaian aspek afektif digunakan sebagai umpan balik bagi guru untuk
memperbaiki proses pembelajaran, maka boleh saja dilakukan tidak sesering penilaian
kognitif. Ketika siswa mengalami penurunan nilai secara draktis, maka sangat tepat bila
dilakukan penilaian aspek afektif untuk melihat aspek afektif yang ada pada diri siswa.
Portofolio yang dianjurkan dalam KTSP pada kenyataannya di lapangan banyak
yang kesulitan untuk melakukannya. Kendala yang utama adalah kelas yang diampu oleh
guru bukanlah kelas kecil yang hanya terdiri dari 10 – 15 siswa, tetapi kelas besar dengan
jumlah siswa 30 – 50. Hal ini tentunya memerlukan kerja ekstra guru untuk mengumpulkan
setiap hasil karya dan kerja tiap-tiap siswa dalam satu file yang saling terpisah. Kerja ini
6
dapat diperingan dengan cara memberikan tugas yang sama atau sejenis, sehingga
mempermudah dalam koreksi. Hal ini karena kerja terberat dalam portofolio bukan pada
pengumpulannya, tetapi pada pengoreksian hasil karya tersebut.
Selain portofolio, pada KTSP guru juga harus mampu memberikan muatan life
skills pada setiap kegiatan belajar siswa. Masalah yang timbul terletak pada pemahaman
guru terhadap life skills itu sendiri, yang sebenarnya pengertiannya sangat sederhana
tetapi istilahnya terlalu ‘tinggi”. Padahal sebenarnya life skills yang di-Indonesia-kan
sebagai kecakapan hidup adalah segala kemampuan yang dapat ditanamkan kepada
siswa yang nantinya bermanfaat dalam menghadapi permasalahan kehidupan secara
wajar. Kecakapan berkomunikasi, menggali informasi, bekerja sama, dan mengolah
informasi adalah beberapa kecakapan yang termasuk dalam life skills.
Dengan demikian bila siswa terbiasa dengan aktivitas belajar yang dapat memunculkan berbagai bentuk kecakapan hidup akan berdampak positif terhadap perkembangan
mental maupun daya pikir mereka. Siswa beraktivitas melakukan sesuatu berarti siswa
belajar untuk menggali potensi diri. Setelah ia dapat menyelesaikan tugasnya dengan
baik, maka muncul kesadaran adanya potensi diri, dan ini berdampak pada munculnya
percaya diri. Seperti kita ketahui, percaya diri sangat diperlukan dalam menghadapi
berbagai permasalahan kehidupan. Aktivitas yang dilakukan siswa secara langsung akan
membantu perkembangan daya pikirnya. Hal inilah yang diharapkan KTSP.
SERTIFIKASI GURU, HARAPAN DAN KENYATAAN
Munculnya UU RI No.14 / 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) tak lain bertujuan
untuk mewujudkan guru yang profesional, berkualitas, bermartabat, dan sejahtera. Hal ini
karena keberadaan guru merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem, iklim, dan
praktik pendidikan yang berkualitas. Selama ini kualitas guru yang menyangkut berbagai
kompetensi yang harus dimiliki seorang guru belum pernah diuji secara langsung,
kalaupun ada hanya formalitas atasan untuk mengawasi kinerja guru secara sepintas.
Akibatnya guru sebagai ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan tidak terintervensi
untuk meningkatkan kualitas mereka, baik yang berkaitan dengan penguasaan ilmu
maupun pengajarannya.
Salah satu amanat UUGD adalah Pemerintah melaksanakan sertifikasi guru yang
bertujuan menstandarisasi kompetensi guru dan sekaligus memberikan angin segar bagi
guru untuk mendapatkan tambahan penghasilan dalam bentuk tunjangan profesi 1 bulan
gaji. Sertifikasi guru yang diamanatkan oleh UU No. 20/2003 maupun UU No. 14/2005
juga merupakan jawaban atas permasalahan rendahnya kualitas guru di Indonesia,
7
Harapannya melalui sertifikasi, kualitas guru terjamin, karena hanya guru yang profesional
yang dapat memperoleh sertifikat pendidik dan diijinkan mengelola proses pembelajaran.
Sertifikasi akan dilaksanakan dengan 2 sistem / mekanisme, yaitu untuk calon guru
melalui pendidikan profesi yang setara dengan S2 dan untuk guru sebagai sertifikasi guru
dalam jabatan. Permasalahannya, untuk sistem yang kedua, dalam pelaksanaannya
diperlukan biaya yang mahal, rumit dan sulit karena diperlukan tes tulis, portofolio, dan tes
kinerja. Mengingat bahwa waktu, geografis, tenaga, dan anggaran tidak memungkinkan
untuk melaksanakan sistem ini, maka diambil keputusan untuk melaksanakan sertifikasi
dengan portofolio saja yang pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut :
SERTIFIKAT PENDIDIK
Lulus
Guru dalam
Jabatan
Penilaian
Portofolio
(PP)
Lulus
Lulus
Tidak lulus
Diklat Profesi
Eva
Akhir
Eva
Akhir
Tidak lulus
Belajar
Mandiri
Adapun mekanisme rekruitmen peserta sertifikasi guru dalam jabatan dapat
digambarkan sebagai berikut :
Penawaran
Pendaftaran
Sertifikasi
Guru
S1 / D4
Tidak lolos
Pendaftaran
Kab / Kota
Peserta Kab
/ Kota
Seleksi
Berkas
Peserta
Propinsi
Peserta
Nasional
Kriteria yang menjadi acuan untuk penyeleksian peserta meliputi masa kerja, usia,
golongan, beban mengajar, tugas tambahan, dan prestasi kerja. Semua kriteria harus
8
terpenuhi, jika seorang guru ingin lolos mengikuti sertifikasi sampai masuk dalam daftar
peserta pada tingkat nasional.
Jika ditinjau dari tujuan sertifikasi memang sangat mulia, karena selain ingin
meningkatkan kualitas guru, juga memperhatikan kesejahteraan mereka dengan cara
pemberian tunjangan bagi yang lulus sertifikasi. Pemberian tunjangan ini sangat besar
pengaruhnya dalam memotivasi guru untuk mengikuti ujian sertifikasi, mengingat selama
ini kesejahteraan guru kurang mendapat perhatian dari Pemerintah.
Namun pada kenyataannya, apa yang diimpikan indah di depan mata kita, tak
seindah dalam pelaksanaannya. Banyak permasalahan yang muncul dengan adanya
sertifikasi ini, baik permasalahan di awal pelaksanaan yang menyangkut kesiapan seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan sertifikasi maupun model penyeleksian
yang memerlukan orang-orang yang jujur dan bertanggung jawab. Bahkan sampai saat
inipun Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan sertifikasi belum diterbitkan,
sehingga sertifikasi belum dapat dilaksanakan.
PERMASALAHAN SERTIFIKASI DAN SOLUSINYA
Permasalahan pertama yang muncul dalam rangka pelaksanaan sertifikasi guru
adalah jumlah guru di Indonesia yang luar biasa banyaknya, yaitu sekitar 2,7 juta dan
semuanya harus selesai disertifikasi dalam tempo 10 tahun (2006 – 2016). Perhatikan
tabel target penuntasan program sertifikasi guru berikut ini :
Tabel 1. Target Penuntasan Program Sertifikasi Guru dari Tahun 2006 - 2016
Thn
%
 Guru
Wajar
 Guru
Dikmen
Sasaran
Sertifikasi
/ Thn
 Guru Kumulatif yang Bersertifikasi
Biaya
Sertifikasi
(@ 2,35 jt)
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006

100
90
80
70
60
50
40
20
8,5
0
191.267
191.267
191.267
191.267
191.267
191.267
382.531
219.957
162.577
39.335
39.335
39.335
39.335
39.335
39.335
78.672
50.796
27.873
230.602
230.602
230.602
230.602
230.602
230.602
461.203
270.753
190.450
2.306.015
2.075.414
1.844.812
1.614.211
1.383.609
1.153.008
922.406
461.203
190.450
541.914
541.914
541.914
541.914
541.914
541.914
1.083.827
636.270
447.558
1.912.667
393.348
2.306.015
Biaya Tunjangan Profesi (18 jt / Th)
41.508.270
37.357.443
33.206.616
29.055.789
24.904.962
20.754.135
16.603.308
8.301.654
3.428.100
Seperti diketahui, anggaran untuk pendidikan di Indonesia hanya 20%, inipun tidak
seluruhnya dapat dialokasikan untuk pelaksanaan sertifikasi. Jadi, memang berat perma-
9
lahan yang harus dihadapi dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi ingin memajukan
guru, di sisi lain terbentur masalah pendanaan.
Permasalahan krusial lainnya adalah apakah ada jaminan bahwa sertifikasi pasti
akan meningkatkan kualitas guru ? Jangan-jangan guru-guru berbondong-bondong ikut
sertifikasi bukan karena ingin menjadi guru yang lebih baik, maju, dan berkualitas, tetapi
hanya mengejar tunjangan yang akan diberikan ketika lulus sertifikasi. Kalau demikian
yang terjadi berarti kita membuang berjuta-juta uang hanya untuk hal yang tidak
diinginkan. Bisa jadi akan muncul bentuk KKN baru, lantaran banyak guru yang ingin lulus
dan di pihak lain penguji berdalih kasihan sambil menerima uang tanda terima kasih.
Pertanyaan ini sangat penting kita jawab dengan bijaksana, kritis, dan analitis,
bukan berdasar prasangka buruk dengan kata “jangan-jangan” atau “bisa jadi”. Seperti
diketahui, bahwa uji sertifikasi dengan portofolio menghasilkan data yang sangat variatif.
Hal ini karena penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional
guru yang berupa kumpulan dokumen yang mendeskripsikan : kualifikasi akademik,
pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi, dan penghargaan di bidang pendidikan yang semua itu memerlukan pedoman penilaian yang andal dan akurat. Oleh karena
itu perlu dipersiapkan secara matang dan. mantap bagaimana cara pengolahan hasil uji
sertifikasi agar diperoleh keseragaman dalam menentukan guru yang layak dan tidak.
Ada beberapa hal yang perlu dikaji dan dipikirkan secara mendalam dalam
hubungannya dengan penjaminan hasil sertifikasi berupa peningkatan kualitas kompetensi
guru, diantaranya adalah :
1. Perlu adanya kesadaran dan pemahaman yang benar bagi semua pihak bahwa
sertifikasi merupakan sarana / instrumen untuk menuju kualitas kompetensi guru,
sehingga apapun aktivitas yang dilakukan semua mengarah pada pencapaian kualitas.
Dengan demikian ketika ikut uji setifikasi, guru akan mempersiapkan diri dengan baik
dan tidak akan mencari jalan pintas. Sebagai konsekuensinya guru akan merasakan
kepuasan batin karena merasa telah memiliki kompetensi yang disyaratkan dan
konsekuensi logisnya memperoleh tunjangan profesi.
2. Perlu konsistensi dan ketegaran Pemerintah dalam menghadapi tantangan dan
tuntutan berbagai pihak dalam pelaksanaan sertifikasi yang dapat menyebabkan
kecemburuan antar pihak, sehingga diperlukan ketegasan, kebijaksanaan, dan
objektivitas dalam menghadapi berbagai gejolak yang ada. Sebagai contoh, pada
penunjukan LPTK yang berhak melaksanakan uji sertifikasi, LPTK Swasta dan LPTK
10
Negeri di luar Jawa pasti akan menuntut diberi hak. Tuntutan juga akan datang dari
guru yang merasa senior maupun yang tidak memenuhi syarat agar diberi kemudahan.
3. Perlu ketegasan hukum, karena dalam setiap pelaksanaan kebijakan pasti ada berbagai penyimpangan dari aturan main yang ditetapkan. Penyimpangan dapat dilakukan
oleh guru untuk mencari jalan pintas agar dapat lulus sertifikasi, oknum LPTK yang
diberi hak uji sertifikasi, sehingga Pemerintah harus bertindak tegas sesuai hukum.
4. Perlu penegasan standar nasional yang harus dipenuhi tanpa memandang perbedaan
letak daerah maupun tingkat pendidikannya. Waktu transisi kemungkinan masih dapat
ditoleransi, tetapi standar tidak dapat ditawar / ditoleransi, karena ini masalah kualitas.
5. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu menyediakan anggaran yang memadai untuk
pelaksanaan sertifikasi dan pemberian tunjangan. Jika tidak, maka dapat dipastikan
sertifikasi terhenti di tengah jalan dan gejolak “kemarahan” guru akan tercetus.
PENUTUP
Dengan adanya perubahan kurikulum yang diikuti dengan diberlakukannya
sertifikasi guru di Indonesia, berarti kita telah maju selangkah lagi dalam pembenahan
pendidikan. Namun demikian perlu usaha sungguh-sungguh dari semua pihak yang
terlibat dalam pelaksanaannya, karena menciptakan sistem, iklim, dan praktik pendidikan
yang berkualitas memang diperlukan keseriusan, komitmen, kesadaran, konsistensi,
ketegaran, ketegasan, baik dari pihak Pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun
pihak-pihak yang terkait dalam menyukseskan pelaksanaannya di lapangan. Wajar
rasanya bila kita ingin meraih sesuatu yang lebih baik banyak kendala, tuntutan, tantangan
dan permasalahan yang dihadapi, karena harapan sering tidak sejalan dengan kenyataan.
Sekali melangkah pantang untuk mundur, mari kita bangun bangsa kita melalui pendidikan, agar kemakmuran masyarakat yang telah lama kita impikan terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Colin Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney : Addison Wesley
Longman Australia Pry Limited.
Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta
: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Olivia, Peter, F.. (1992). Developing the Curriculum. New York : Harper Collins Publishers.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan
11
Roy Barnes. (2005). Moving towards technology education : Factors that facilitated
teachers’ implementation of a technology curriculum. Journal of Technology
Education. 17 (1), 6 – 18.
Undang – Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang - Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
12
Sertifikat pendidik akan diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan
program pendidikan profesi pendidik dan lulus ujian sertiifikasi. Ujian inilah yang
digunakan sebagai kontrol mutu hasil pendidikan, karena hanya mereka yang diyakini
mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil
belajar siswa yang akan diberi sertifikat.
Adapun tujuan sertifikasi guru adalah untuk meningkatkan mutu dan menentukan
kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembela-jaran dan mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Sedangkan manfaat ujian sertifikasi guru adalah :
1. Melindungi profesi guru dan praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak
citra profesi guru.
2. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan
profesional.
3. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK, kontrol mutu dan jumlah guru bagi
pengguna layanan pendidikan.
4. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan
tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
5. Memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
Adanya tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi merupakan niat baik
Pemerintah agar kesejahteraan guru yang selama ini kurang mendapat perhatian menjadi
terpenuhi, sehingga mereka tidak disibukkan dengan urusan memenuhi hidup sehari-hari
dan dapat berkonsentrasi menjalankan tugas menga-jar. Hal ini dapat dipahami karena
salah satu masalah guru di Indonesia adalah gajinya yang kurang memadai untuk hidup
layak, padahal gaji adalah salah satu faktor penentu kinerja seorang guru. Bahkan
berbagai studi yang dilakukan, menunjukkan tingkat kesejahteraan merupakan penentu
yang amat penting bagi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya (Dedi Supriadi, 1998 :
7, 44). Di Amerika, Australia, Inggris, Perancis, dan Skandinavia, dalam usahanya
mening-katkan mutu pendidikan negaranya, langkah pertama yang dilakukan adalah
meningkatkan kesejahteraan guru. Dalam jurnal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris
dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru Pemerintah mulai memperhatikan
pembayaran gaji yang diseimbangkan dengan beban kerjanya.
Dalam rangka pelaksanaannya, dibuat persyaratan ujian sertifikasi, yaitu
persyaratan akademik dan non akademik. Bagi guru SMA, persyaratan akademik meliputi
kualifikasi akademik minimal D4/S1, latar belakang pendidikan tinggi dengan program
13
pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Bagi guru yang memiliki
prestasi istimewa dalam bidang akademik dapat diusul-kan mengikuti ujian sertifikasi
berdasarkan rekomendasi dari Kepala Sekolah, Dewan Guru, diketahui dan disahkan oleh
Kepala Cabang Dinas dan Kepala Dinas Pendidikan.
Sebagai persyaratan non akademik adalah prioritas keikutsertaan dalam ujian
sertifikasi bagi guru didasarkan pada jabatan fungsional, masa kerja, pangkat / golongan.
Jumlah guru yang dapat mengikuti ujian sertifikasi di tiap wilayah ditentukan oleh Ditjen
PMPTK berdasarkan prioritas kebutuhan. Adanya persya-ratan guru yang boleh mengikuti
ujian sertifikasi adalah mereka yang memiliki masa kerja lebih dari 20 tahun nampaknya
bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Pamela Grossman & Clarissa Thompson
(2004) yang meneliti tentang bagaimana peranan kebijakan distrik mengenai kurikulum,
pengembangan profe-sional, dan mentoring dalam memberikan kesempatan kepada guru
pemula belajar tentang pembelajaran. Menurut kedua peneliti ini, guru pemula seharusnya
lebih diperhatikan dalam peningkatan kualitas pendidikan, karena mereka masih muda,
lebih mudah diarahkan, lebih inovatif, antisipatif terhadap perubahan, dan umum-nya mau
diajak maju karena semangatnya yang masih tinggi. Pernyataan ini bila dihubungkan
dengan sertifikasi guru yang akan dilakukan di Indonesia, nampak-nya tidak sejalan,
dimana sertifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru dan
pendidikan lebih mengutamakan guru-guru yang termasuk senior (kelompok guru dengan
masa kerja > 20 tahun) daripada guru pemula. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan
sertifikasi guru yang akan dilakukan di Indonesia lebih mengedepankan penghargaan bagi
guru-guru yang telah mengabdi lama dibandingkan tinjauan yang dilakukan Pamela &
Clarissa.
Penyelenggaraan ujian sertifikasi guru melibatkan unsur lembaga, sumber daya
manusia, dan sarana pendukung. Lembaga penyelenggara adalah LPTK yang
terakreditasi dan ditunjuk Pemerintah yang anggotanya dari LPTK, lembaga pengguna
(Ditjen, Didasmen, Ditjen PMPTK, Dinas Pendidikan Provinsi), dan unsur asosiasi profesi
pendidik.
Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pakar dan praktisi dalam berbagai
bidang keahlian dan latar belakang pendidikan yang relevan. Sarana pendukung yang
diperlukan dalam penyelenggaraan ujian sertifikasi adalah sarana akademik, praktikum
dan administratif yang disesuaikan dengan bidang keahlian, bidang studi, rumpun bidang
studi yang menjadi tujuan ujian yang dilaksanakan.
Instrumen ujian sertifikasi terdiri atas kelompok instrumen tes dan non tes.
Kelompok instrumen tes terdiri atas tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda yang meliputi
14
kompetensi pedagogik dan profesional dan tes kinerja dalam bentuk real teaching dengan
menggunakan IPKG I dan IPKG II yang mencakup juga indi-kator untuk mengukur
kompetensi pribadi dan sosial. Kelompok instrumen non tes meliputi self-appraisal dan
portofolio, yang keduanya memberi kesempatan guru untuk menilai diri sendiri dalam
aktivitasnya sebagai guru. Setiap pernyataan dalam melakukan sesuatu atau berkarya
harus dapat dibuktikan dengan bukti fisik berupa dokumen yang relevan. Bukti fisik
tersebut menjadi bagian penilaian portofolio.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 28 UU RI No 19/2005, seorang guru
harus memiliki empat jenis kompetensi. Pertama, kompetensi pribadi yaitu kemampuan
personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kedua, kompetensi pedagogik
yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola
pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Ketiga, kompetensi profesional yaitu
kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara
luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata
pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut,
serta menam-bah wawasan keilmuan sebagai guru. Keempat, kompetensi sosial yaitu
kemam-puan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul
secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua /
wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Keempat kompetensi tersebut dibuktikan secara formal dengan sertifikat pendidik.
Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi, sedangkan sertifikat
kompetensi pendidik diperoleh setelah menyelesaikan program pendidikan profesi
pendidik dan lulus ujian sertifikasi pendidik. Ujian ini bertujuan sebagai kontrol kualitas
hasil pendidikan, sehingga harapannya seseo-rang yang dinyatakan lulus diyakini mampu
melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar
peserta didik. Menurut Houston W. R (1974 : 7), tingkat kompetensi seseorang tidak
hanya menunjuk pada kuantitas kerja, tetapi sekaligus menunjuk pada kualitas kerjanya.
Hal ini berarti seseorang yang telah lulus sertifikasi, selain kuantitas kerjanya memadai,
kualitas kerjanya juga baik.
Berdasarkan data dari Direktorat Tenaga Kependidikan 2004 (Fasli Jalal, 2006)
dikemukakan satu bukti bahwa guru kimia masih banyak yang belum layak dan kompeten
dalam mengajar. Hal ini ditunjukkan dengan hasil ujian tertulis mata uji kimia pada
beberapa guru kimia dimana dari 40 soal yang diujikan diperoleh rerata 22,33 dengan
15
Standar Deviasi 4,91, nilai terendah 8 dan nilai tertinggi 38. Penelitian yang dilakukan
Muh. Rofi & Dakir (2004) menemukan adanya sebagian kinerja guru yang belum sesuai
dengan yang diharapkan, diantaranya seperti persiapan mengajar yang tidak lengkap,
kemampuan dan keterampilan mengajar yang kurang, komitmen dan kedisiplinan yang
kurang, dan persepsi terhadap tugasnya belum seperti yang diharapkan. Berkaitan
dengan hal ini, maka tepatlah bila masalah guru menjadi sorotan bagi rencana strategis
Depdiknas tahun 2005 – 2009, terutama mengenai kelayakan seorang guru dalam
mengajar. Hal ini dapat dipahami, karena selama ini penilaian terhadap kompetensi guru
belum pernah dilakukan Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas.
Kenyataan menunjukkan banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan
kesarjanaannya dan tidak berlatar belakang dari Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan
atau LPTK (Dedi Supriadi, 1998 : 182). Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah yang
kekurangan guru, sehingga untuk mengajarkan ilmu kimia terkadang harus diampu oleh
guru yang tidak berlatar belakang sarjana kimia. Penelitian yang dilakukan Rebecca A.
Kruse & Gillian H. Roehrig menun-jukkan bahwa guru kimia yang tidak berlatar belakang
sarjana kimia mempunyai keterbatasan dan kekakuan dalam mengajar dan secara
statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan guru kimia yang berlatar
belakang sarjana kimia setelah diuji pemahamannya tentang konsep kimia. Bahkan di
Amerika terdapat sekitar 50% guru kimia yang memiliki sertifikat bidang ilmu biologi,
sehingga terjadi out of field (Constance Blasie & George Palladino, 2005). Di Indonesia,
pada jenjang SMA, persentase guru yang belum memiliki kualifikasi minimal yang
memadai sebanyak 33%. Secara nasional guru SMA yang dinyatakan tidak layak
sebanyak 15,4% untuk guru SMA Negeri dan 17,5% untuk guru SMA Swasta (Renstra
Depdiknas 2005 – 2009). Hal ini merupakan masalah yang harus ditangani dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan.
Berdasarkan permasalahan yang berkaitan dengan guru tersebut, maka sudah
sewajarnya bila Pemerintah secara serius ingin membenahi kualitas profesi-onal guru
melalui sertifikasi guru. Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
sertifikasi ini juga memberikan tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi,
sehingga kesejahteraan guru akan tercipta. Dengan adanya hubungan antara sertifikasi
dengan peningkatan kesejahteraan ini, Pemerintah berharap guru-guru terpacu dan
termotivasi untuk dapat menjadi tenaga pendidik yang profesional yang dibuktikan secara
formal melalui kelulusan sertifikasi. Layaknya guru yang bersangkutan dalam menjalankan
tugasnya sangat membantu mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Direktorat Profesi
Pendidik, 2006 : 3).
16
Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas mengemukakan adanya berbagai masalah
yang berkaitan dengan kondisi guru, diantaranya (1) adanya kebera-gaman kemampuan
guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengeta-huan, (2) belum adanya alat
ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan guru yang dilakukan
belum mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai
(Depdiknas, 2004 : 1). Oleh karena itu, komitmen Pemerintah untuk melakukan sertifikasi
guru merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah kondisi guru di
Indonesia. Profesionali-sasi jabatan guru diharapkan akan membuahkan peningkatan
mutu pendidikan dalam sistem persekolahan yang akhirnya akan menghasilkan lulusan
yang memiliki karakter yang kuat (T. Raka Joni, 2006 : 1).
Dalam rangka pelaksanaan standardisasi kompetensi guru melalui sertifikasi guru
tentunya diperlukan instrumen sertifikasi, baik yang berupa instrumen tes maupun nontes.
Kelompok instrumen tes yang harus dipersiapkan diantaranya tes tertulis yang meliputi tes
kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial, serta tes kinerja dalam bentuk
real teaching. Saat ini Depdiknas, dalam hal ini Direktorat Profesi Pendidik telah
melakukan penyusunan instrumen tes tertulis untuk mengukur keempat kompetensi dan
telah diujicobakan. Namun demikian dalam rangka pelaksanaan sertifikasi yang
sesungguhnya nampaknya instrumen tersebut masih memerlukan pembenahan. Oleh
karena itu, sumbangan pemikiran untuk perbaikan dan pembenahan instrumen tes tertulis
kemungkinan besar sangat diperlukan demi kesempurnaan instrumen tersebut, baik dari
segi isi dan kekom-prehensifan materi yang diujikan. Penelitian ini akan mencoba
mengembangkan model evaluasi berupa instrumen tes untuk mengevaluasi kompetensi
kepribadian, pedagogik, profesional, dan kepribadian yang diharapkan memenuhi kriteria
kualitas tes yang baik dan layak digunakan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui
kompetensi guru seperti yang diinginkan Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar waktu guru dihabiskan untuk mengajar dari satu kelas ke kelas lain, sehingga terkadang untuk persiapan
mengajarpun mereka merasa tidak memiliki waktu lagi. Dengan demikian satu-satunya
jalan yang dapat dilakukan adalah melalui berbagi pengalaman dengan sesama dalam
satu waktu yang terencana, sehingga mereka bisa saling sharing pengalaman tanpa harus
menghabiskan banyak energi untuk mencari inovasi dan referensi yang terkadang
memang sulit dijumpai. Oleh karena itu perlu digalakkan keberadaan MGMP dan
organisasi sejenisnya yang dapat mempertemukan guru-guru se-bidang ilmu, sehingga
permasalahan diantara mereka dapat didiskusikan dan dicarikan jalan keluarnya.
17
Menjadi golongan idealis memang ideal dan pasti mendapat pujian, sehingga
sebenanrnya kita ingin dapat masuk dalam golongan itu. Namun bila kita ingin melaksanakan KTSP secara sempurna seperti yang dianjurkan dalam kurikulum tersebut, apakah hal
itu dapat dilakukan secara wajar dan tidak merupakan beban bagi kita ? Sebaliknya,
menjadi kaum minimalis yang hanya melaksanakan tugas apa adanya, dengan prinsip
“bisaku ya hanya begini” merupakan penghambat inovasi dalam dunia pendidikan. Lalu
sebaiknya kita bersikap bagaimana ? Sebaik-baiknya perkara adalah yang di tengahtengah, artinya kita jangan menjadi golongan idealis dan juga minimalis, tetapi jadilah
diantara kedua golongan itu. Bagaimana caranya ?
KTSP tentunya menginginkan adanya perubahan di dunia pendidikan. Sebagai
guru seharusnya kita mendukung keinginan dan harapan Pemerintah dengan berusaha
melaksanakannya, namun harus sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kita
berusaha semampunya melaksanakan KTSP dengan baik, tetapi tidak perlu terlalu ngoyo
di luar kemampuan kita, sehingga tidak menjadi beban dalam menjalankan tugas
mengajar. Dengan kata lain, yang penting tidak berjalan di tempat atau masa bodoh
dengan perubahan kurikulum, tetapi juga tidak terlalu berpikir untuk melaksanakan secara
sempurna tanpa mengukur kemampuan.
Manusia adalah individu yang unik, artinya setiap manusia memiliki karakteristik
yang berbeda (motivasi, minat, kecerdasan, dan lain-lain yang berbeda), meskipun semua
diberi akal pikiran yang sama oleh Tuhan (Abdullah A dan Eny R, 2000 :2). Namun ketika
kita telah memilih pekerjaan guru sebagai profesi, maka hal ini membawa konsekuensi
pada berbagai sikap dan perilaku bahkan pola pikir yang harus berubah menjadi
profesional. Guru harus mampu meninggalkan keunikan diri yang dimiliki yang berkaitan
dengan tanggung jawab profesinya sebagai guru. Sifat guru yang unik yang tidak sesuai,
seperti acuh / tidak peduli dengan perubahan sekitar, kebal inovasi, masa bodo, egois,
dan lain-lain yang sebenarnya sah-sah saja dimiliki seseorang sebagai individu, harus
dibuang jauh-jauh ketika kita memilih profesi guru, karena sifat-sifat itu hanya akan
menghambat proses menuju peningkatan pendidikan.
Sejalan dengan profesional guru, maka saat ini dunia pendidikan juga diramaikan
oleh adanya kebijakan sertifikasi guru. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan SPN Pasal
42 UU RI No 20/2003 yang mensyaratkan pendidik (guru) harus memiliki kualifikasi
akademik minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani
dan rohani, dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
18
Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 28 ayat 1 PP No 19/ 2005 dan Pasal 8 UU RI No
14/2005 yang mengamanatkan guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1
dan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi kepribadian,
pedagogik, profesional, dan sosial.
19
Download