bab iii metode penelitian

advertisement
BAB III
METODE PENELITIAN
Untuk mendukung suatu penelitian, khususnya kegiatan lapangan, diperlukan
aspek-aspek penting, selain dari mengetahui kondisi geologi daerah penelitian. Dalam
bab ini akan dibahas mengenai materi atau objek penelitian, alat-alat yang digunakan,
data yang akan dikumpulkan, langkah – langkah penelitian, dan analisis data (gambar
3.1).
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
34
35
3.1
Objek Penelitian
Objek-objek yang diteliti dalam pelaksanaan kegiatan tugas akhir khususnya
dalam kegiatan lapangan ini adalah :
1.
Batuan, meliputi singkapan batuan yang tersingkap dipermukaan, mengamati
dan mendeskripsi singkapan dilapangan.
2.
Unsur-unsur tekstur dan struktur batuan beku, tekstur dan struktur batuan
beku ini dapat menjelaskan proses pembentukan batuan tersebut dan asal dari
batuan tersebut. Pada batuan metamorf unsur tekstur dan struktur dapat
menjelaskan pembentukan batuan asal dan temperatur serta tekanan
pembentukan batuan tersebut dengan korelasi dari komposisi mineral
penyusun batuan tersebut.
3.
3.2
Pengaruh atau hubungan antara batuan yang satu dengan yang lain.
Alat-Alat yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan untuk melakukan pengambilan data di lapangan
diantaranya adalah :
1. Peta dasar skala 1 : 12.500, hasil perbesaran peta rupabumi skala 1 :
25.000 yang diterbikan BAKOSURTANAL, lembar Bantarujeg (1309112), dan Talaga (1309-121)
2. Kompas Geologi. Merupakan kompas yang dapat digunakan untuk
mengukur komponen arah seperti azimut,jurus, dan sebagainya,juga
36
untuk mengukur komponen besar sudut seperti dip, slope,dan
sebagainya.
3. Palu Geologi. Meliputi palu batuan beku, dan palu batuan sedimen, yang
kegunaan utamanya adalah untuk mengambil sampel
4. Lup. Lup atau lensa pembesar yang umum digunakan yang memiliki
pembesaran 8%,10%,15%, dan. 20%. Digunakan untuk memperbesar
objek
agar
lebih
mudah
diamati
dan
diteliti,seperti
mineral,butiran,fosil,dll.
5. Buku Catatan Lapangan, dibuat dari kertas tahan air yang berkualitas
tinggi ,diberi sampul yang kuat ,serta dilem atau yang lebih kuat dijahit.
Buku ini harus tahan banting dan dapat tetap digunakan dalam cuaca
buruk. Sampul buku yang keras memiliki kegunaan lain yaitu dapat
digunakan sebagai alas untuk melakukan pengukuran unsur-unsur
struktur yang merupakan bidang yang tidak rata.
6. Alat-Alat Tulis , berupa :

Pensil , digunakan untuk mensketsa atau mencatat

Pensil Warna, digunakan untuk memperjelas simbol litologi pada
buku catatan lapangan maupun pada peta.

Penghapus,untuk menghapus pensil atau pensil warna.

Mistar
Panjang dan Segitiga,digunakan untuj membantu
pengeplotan posisi di peta dan untuk mengukur jarak di peta.
37

Busur derajat, digunakan untuk mengukur besarnya arah
(azimut) pada peta

Peruncing Pensil atau Rautan ,untuk meruncingkan pensil yang
tumpul atau patah.

Spidol Tahan Air (Water Proof), Digunakan untuk menulis
nomor contoh batuan dan keterangan lainnya pada kantong
sample batuan.
7. HCL 0,1 N. Digunakan untuk menguji kandungan karbonat dari contoh
batuan yang diamati (terutama batuan sedimen). Caranya dengan
meneteskan larutan HCL 0,1 N tersebut ke contoh batuan. Bila terjadi
reaksi /berbuih berarti batuan tersebut mengandung karbonatan
(CaCO3).
8. Komparator Batuan. Komparator yang digunakan adalah komparator
batuan beku dan komparator batuan sedimen (skala Wentworth).
Komparator berguna untuk membantu pemberian nama batuan , dengan
cara membandingkan contoh batuan dan mineral dengan yang terdapat
pada komparator.
9. Pita atau Tali Ukur. Digunakan untuk mengukur jarak antar lokasi
pengamatan .Jenis pita ukur yang biasa digunakan adalah yang
berukuran panjang 30-100 m dan pita ukur pendek (meteran) dengan
panjang 3-5 m.
38
10. Clip Board. Digunakan untuk mempermudah pencatatan data di
lapangan atau sebagai alas kompas geologi pada saat melakukan
pengukuran unsur struktur pada bidang lapisan batuan yang tidak rata.
11. Kantong Contoh Batuan atau Kantong Sampel. Digunakan untuk
membungkus contoh batuan yang akan dibawa. Kantong diberi tanda
untuk tiap batuan ,nomor
stasiun (titik pengamatan),
dengan
menggunakan spidol tahan air dan ditutup rapat guna menghindari
kontaminasi dengan udara bebas.
12. Kamera,
digunakan
untuk
mengambil
gambar
singkapan
dan
kenampakan geomorfologi
13. Tas Lapangan/Ransel. Digunakan untuk membawa peralatan geologi
dan perlengkapan lapangan. Sebaiknya dibedakan antara tas untuk
peralatan dan tas untuk perbekalan. Ukuran tas sebaiknya disesuaikan
dengan kondisi lapangan .
14. Global Positioning System (GPS) merek Garmin
3.3
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap pelaksanaan
untuk memperlancar
pelaksanaan pemetaan. Tahap-tahap pekerjaan secara garis besar meliputi tahap persiapan,
survey lapangan, analisis data, dan penyusunan laporan.
3.3.1 Tahap Persiapan
39
Tahap persiapan meliputi kajian pustaka untuk mengetahui gambaran keadaan
daerah pemetaan baik secara regional, maupun lokal dan untuk inventarisasi data
sekunder yang dapat diperoleh untuk mempelajari pustaka-pustaka geologi, diktatdiktat pekuliahan, laporan-laporan peneliti terdahulu, serta peta geologi regional.
Tahap persiapan lainnya sebelum terjun langsung ke lapangan adalah :
1.
Pembuatan peta dasar dengan skala 1 : 12.500, dari sebagian lembar Peta
Rupabumi No.1309-112 dan 1309-121
2.
Pengadaan perlengkapan penelitian lapangan serta penyusunan rencana
kegiatan lapangan.
3.3.2 Tahap Survei Lapangan
Di lapangan penulis melakukan pengumpulan data melalui pengamatan dan
pengukuran singkapan di sungai-sungai dan di luar sungai, termasuk bukit bila ada
batuan yang tersingkap. Untuk penelusuran singkapan-singkapan tersebut tentu saja
melibatkan metoda dan teknik tertentu antara lain :

Teknik Penentuan Titik Stasiun

Teknik Pengambilan Sampel
3.3.2.1 Teknik Penentuan Stasiun Pengamatan (ploting)
Penentuan lokasi pengamatan di lapangan yang akan dituangkan ke dalam
peta secara benar menentukan ketepatan dalam penggambaran pada peta dasar.
Teknik yang digunakan adalah teknik bidik, yaitu mengambil titik-titik patokan di
sekitar titik pengamatan dan pada peta topografi, lalu membidik titik-titik patokan
40
tersebut dengan menggunakan kompas. Sudut yang diperoleh kemudian diubah
menjadi back azimuthnya dan ditarik perpotongannya sebagai titik pengamatan.
Teknik tersebut digunakan tanpa menggunakan GPS, jika kita menggunakan GPS,
maka kita melihat koordinat yang tertera pada GPS, dan mencari koordinat tersebut di
peta, lalu kita dapat mengetahui posisi dimana kita berdiri.
3.3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel
Penulis melakukan pengambilan sampel batuan pada setiap singkapan.
Sampel batuan diambil pada setiap singkapan agar selanjutnya dapat dipilih mana
yang sekiranya akan diteliti secara mikroskopis di laboratorium, sehingga
menghindari tidak teramatinya sampel pada singkapan yang bagus.
3.3.3 Analisis Data
Pada tahap ini dilakukan lima langkah analisis data yaitu :
1. Analisis Petrografi
2. Analisis Petrokimia
3. Analisis Petrogenesis
3.3.3.1 Analisis Petrografi
Analisis petrografi dilakukan untuk menentukan jenis batuan. Analisis ini
dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan dan sifat optik mineral yang dapat
41
menunjukkan komposisi mineraloginya. Pada akhirnya, jenis dan paragenesis suatu
batuan dapat ditentukan berdasarkan komposisi jenis dan persentase mineraloginya.
Tekstur batuan beku
menggambarkan keadaan
yang
mempengaruhi
pembentukan batuan itu sendiri, misalnya :
1. Tekstur faneritik menggambarkan proses pembekuan mineral yang lambat,
2. Tekstur memberikan arti bahwa terjadi dua kali proses pembentukan
mineral,
3. Tekstur afanitik menggambarkan proses pembekuan mineral yang
cenderung cepat.
Adapun dalam penelitian ini klasifikasi petrografi yang digunakan adalah
klasifikasi batuan beku menurut Travis (1955). Klasifikasi menurut Travis lebih
mudah digunakan dengan tingkat kerincian yang sama dibandingkan dengan
klasifikasi lainnya seperti misalnya klasifikasi menurut Strekeisen (1967).
3.3.3.2 Analisis Petrokimia
Perlu diketahui bahwa batuan beku yang sama penamaannya tidak mustahil
akan memberikan komposisi kimia yang berbeda. Oleh karena itu, pengklasifikasian
batuan tidak cukup hanya dengan menggunakan analisis kimia. Namun demikian,
analisis kimia dianggap penting sebagai pengontrol terhadap ketepatan pemerian
petrografi. Analisis kimia juga dapat menentukan jenis magma secara normatif ke
42
dalam kriteria jenis magma asal, tahapan diferensiasi, dan pendugaan temperatur
magma pada saat kristalisasi pertama terbentuk.
Dalam analisis kimia batuan beku, diasumsikan bahwa batuan beku tersebut
mempunyai komposisi kimia yang sama dengan magma sebagai pembentuknya.
Untuk itu telah dilakukan analisis persentase berat senyawa oksida utama terhadap
batuan yang diangga mewakili seluruh tubuh batuan.
Secara megaskopis, batuan yang dianalisis – yaitu batuan basalt yang terdapat
pada batuan malihan memiliki teksturnya afanitik, selain itu terdapat batuan ultrabasa
yang telah mengalami serpentinisasi, dan batuan metamorf yaitu amfibolit. Untuk
batuan basalt merupakan batuan ekstrusif berbuitr halus, sehingga klasifikasi jenis
batuan yang digunakan untuk batuan ekstrusi berbutir halus yaitu klasifikasi menurut
Hutchinson (1970), Carlmichael (1974), dan Le Bas (1986).
Karena data kimia yang tersedia adalah peresentase berat 12 senyawa oksida
utama, maka klasifikasi jenis magma yang mudah dan dapat dilakukan meliputi
klasifikasi menurut Mc Donald dan Katsura (1964), Middlemost (1975), dan Kuno
(1966). Serupa dengan hal di atas, maka penentuan asal magma yang dapat dilakukan
meliputi penentuan asal magma menurut Pearce (1977 a dan b) dan Mullen (1983).
Dengan pertimbangan yang sama maka dalam penelitian ini digunakan penentuan
kedalaman magma asal (van Padang, 1951; dll)
Secara ringkas, analisis kimia yang dilakukan mencakup :
43
1. Klasifikasi jenis batuan menurut Le Bas (1986),
2. Klasifikasi jenis batuan menurut Carlmichael (1974),
3. Klasifikasi jenis magma menurut Mc Donald dan Katsura (1964),
4. Klasifikasi jenis magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976),
5. Klasifikasi jenis magma menurut Middlemost (1975),
6. Penentuan asal magma berdasarkan kandungan TiO2, K2O, dan P2O5 menurut
Pearce (1977),
7. Penentuan asal magma menurut Mullen (1983),
8. Penentuan kedalaman magma asal menurut van Padang (1951), dkk.
3.3.3.2.1 Klasifikasi Jenis Batuan Menurut Le Bas (1986)
Dalam penelitian ini digunakan diagram TAS untuk batuan beku berukuran
kristal halus menurut Le Bas (1986). Sebelum melakukan penempatan hasil analisis
kimia pada diagram TAS, hasil analisis harus dihitung dulu menjadi 100% tanpa H2O
dan CO2. Berdasarkan kandungan silikanya, batuan beku berukuran kristal
halusdibedakan menjadi empat kelompok, yaitu batuan ultrabasa, basa, menengah,
dan asam (Gambar 3.2)
44
Gambar 3.2 Klasifikasi jenis batuan menurut Le Bas (1986)
3.3.3.2.2 Klasifikasi Jenis Batuan Menurut Carlmichael (1974)
Carmichael (1974) mengelompokkan jenis batuan berdasarkan jumlah
kandungan silikanya mengikuti aturan berikut :
1. Kandungan silica (SiO2) > 66%
= batuan asam
2. Kandungan silica (SiO2) 52% - 66% = batuan menengah
3. Kandungan silica (SiO2) 45% - 52% = batuan basa
4. Kandungan silica (SiO2) < 45%
= batuan ultrabasa
3.3.3.2.3 Klasifikasi Jenis Magma Menurut Mc Donald dan Katsura (1964)
Klasifikasi ini berdasarkan atas kandungan silica dan seluruh alkalinya.
Seluruh alkali meliputi jumlah Na2O dan K2O. Dalam klasifikasi ini terdapat dua
45
jenis magma, yaitu magma alkali basalt dan magma tholeiite (gambar 3.3). Pada jenis
magma alkali basalt hanya terdapat satu jenis komposisi magma, yaitu alkali basalt.
Sedangkan dalam jenis tholeiite terdapat dua komposisi magma, yaitu picrite dan
olivine tholeiite. Dalam proses fraksinasi, magma yang berkomposisi olivine tholeiite
dapat berubah menjadi magma yang berkomposisi olivine basalt.
Gambar 3.3 Klasifikasi jenis magma menurut Mc Donald dan Katsura (1964)
3.3.3.2.4 Klasifikasi Jenis Magma Menurut Peccerillo dan Taylor (1976)
Peccerillo dan Taylor (1976) mengelompokkan jenis magma berdasarkan
kandungan potassium (K2O) dan silica (SiO2) menjadi empat golongan (Gambar 3.4),
yaitu :
1. Golongan Tholeiite
46
Memiliki kandungan potassium yang sangat rendah. Berdasarkan kandungan
silikanya golongan ini dapat dibedakan menjadi empat jenis dengan urutan :
Low K Tholeiite, Low K Basltic Andesitic, Low K Andesite, dan Low K
Dacite. Semakin ke arah low K dacite, kandungan silikanya semakin besar.
2. Golongan Calc-Alkaline
Memiliki kandungan potassium yang relatif lebih besar dari golongan tholeiite.
Berdasarkan kandungan silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi
empat jenis dengan urutan : Basalt, Basaltic Andesite, Andesite, dan Dacite.
Semakin ke arah dacite, kandungan silikanya semakin besar.
3. Golongan High K Calc-Alkaline
Memiliki kandungan potassium yang tinggi. Berdasarkan kandungan silikanya,
golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis dengan urutan : High K
basaltic Andesite, High K andesite, dan Latite. Semakin ke arahlatite,
kandungan silikanya semakin besar.
4. Golongan Shoshonite
Memiliki kandungan potassium yang sangat tinggi. Berdasarkan kandungan
silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis dengan urutan :
Absarokite, Shoshonite, dan Banakite. Semakin ke arah banakite, kandungan
silikanya semakin besar.
47
Gambar 3.4 Klasifikasi jenis magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976)
3.3.3.2.5 Klasifikasi Jenis Magma Menurut Middlemost (1975)
Middlemost
(1975)
mengelompokkan
magma
sub-alkali
berdasarkan
kandungan alumina (Al2O3) dan indeks alkali menjadi dua kelompok, yaitu basalt
tholeiite dan high alumina basalt; dengan kandungan alumina yang meningkat pada
kelompok high alumina basalt (Gambar 3.5). Nilai indeks alkali diperoleh dari
persamaan di bawah ini.
Indeks Alkali = Na2O + K2O
(SiO2 – 43) x 0,17
48
Gambar 3.5 Klasifikasi jenis magma menurut Middlemost (1975)
3.3.3.2.6 Penentuan
Asal
Magma Menurut
Pearce
(1977)
Berdasarkan
Kandungan K2O, TiO2, dan P2O5
Pearce (1977) mengemukakan penentuan asal magma suatu batuan beku
berdasarkan perbandingan nilai persentase berat senyawa K2O, TiO2, dan P2O5. Oleh
karena melibatkan tiga buah variable, klasifikasi ini ditampilkan dalam bentuk
diagram segitiga. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui asal magma suatu batuan
beku, apakah berasal dari kerak banua atau dari kerak samudera (gambar 3.6).
49
Gambar 3.6 Penentuan asal magma menurut Pearce (1977) berdasarkan kandungan
K2O, TiO2, dan P2O5
3.3.3.2.7 Penentuan Asal Magma Menurut Mullen (1983)
Penentuan asal magma ini berdasarkan pada pertimbangan nilai persentase
berat senyawa TiO2, 10 X MnO, dan 10 X P2O5, Berdasarkan analisis ini dapat
diketahui asal magma suatu batuan basaltic, apakah berasal dari pematang tengah
samudera, dari busur kepulauan, atau dari pulau samudera (Gambar 3.7). Batuan
busur kepulauan meliputi jenis tholeiite, calc alkaline basalt, dan boninite. Batuan
pulau samudera meliputi jenis tholeiite dan alkaline basalt.
50
Gambar 3.7 Penentuan asal magma menurut Mullen (1983)
3.3.3.2.8 Penentuan Kedalaman magma asal menurut Neuman van Padang
(1951), Hadikusumo (1961), dan Whitford (1975)
Persamaan – persamaan dalam pentuan kedalaman magma asal ini berlaku
untuk batuan yang bersifat andesit basaltic dan andesit dimana kandungan silikanya
sebesar 52 % - 63 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan antara
persentase kandungan potassium dan persentase kandungan silica dengan kedalaman
magma asal untuk setiap jalur orogenesa adalah berbeda.
Berdasarkan perbandingan antara kandungan potassium dan silica, Whitford
(1975) membuat suatu persamaan untuk menentukan kedalaman Zona Benioff, yaitu :
H = 379 – (5,26 x % SiO2) + 35,04 x % K2O
51
Dalam hal ini H merupakan kedalaman Zona Benioff (dalam km).
Menurut Neuman van Padang (1951) dan Hadikusumo (1961), Kedalaman Zona
Benioff dapat ditentukan dengan persamaan :
H = 284 – (2,75 x % SiO2) + (16,82 x %K2O),
Dua persamaan di atas dapat dikombinasikan menjadi :
H = 320 – (3,65 x %SiO2) + (22,52 x % K2O).
Persamaan di atas dapat ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 3.1 Hubungan Zona Benioff dengan kedalaman magma asal
Persamaan
SE (km)
CC
397 – (5.26 x % SiO2) + 35.04 x % K2O)
26
0.87
373 – (4.36 x % SiO2) + (0.73 x ppm Rb)
32
0.80
110 – (0.03 x % SiO2) + (0.14 x % ppm Sr)
30
0.83
19
0.67
24
0.76
Data menurut Whitford (1975)
Kedalaman Zona Benioff (km)
Data menurut Neuman van Padang (1951) dan
Hadikusumo (1961)
Kedalaman Zona Benioff (km)
284 – (2.75 x % SiO2) + (16.82 x % K2O)
Kombinasi data Whitford (1975), Neuman van Padang
(1951), dan Hadikusumo (1961)
Kedalaman Zona Benioff (km)
320 – (3.65 x % SiO2) + (25.52 x % K2O)
52
SE
CC
: Standard error of estimate (km)
: Correlation coefecient.
Semakin dalam Zona Benioff, maka besarnya unsur K dan Na yang terjadi
pada pencairan akan meningkat, Maka dapat disimpulkan bahwa nilai senyawa K2O
dan N2O berbanding lurus dengan kedalaman Zona Benioff.
3.3.3.3
Analisis Petrogenesis
Dalam kajian petrogenesis akan dibahas kemungkinan genesis batuan beku
berdasarkan hasil analisis petrografi dan analisis petrokimianya berdasarkan
klasifikasi tertentu yang sesuai. Kemungkinan petrogenesis yang meliputi aspek
petrografi dan geokimia ini antara lain menyinggung :
1. Asosiasi mineral pencermin tingkat kristalisasi
2. Hubungan batuan beku dengan magma pembentuknya
3.3.3.3.1 Asosiasi Mineral Pencermin Tingkat Kristalisasi
Sifat yang paling mudah diamati dari suatu batuan adalah struktur dan
teksturnya secara megaskopis. Selain itu, sifat lain yang relatif mudah untuk diamati
dari suatu batuan adalah struktur dan komposisi mineraloginya, yang dapat diamati
dengan mikroskop polarisasi. Berangkat dari komposisi mineraloginya, seorang
peneliti dapat menceritakan tingkat kristalisasi batuan yang diamati. Ada beberapa
jenis basalt menurut klasifikasi Yoder dan Tilley (1962). Namun demikian, hanya ada
dua jenis basalt yang sangat umum dijumpai pada berbagai lingkungan tektonik.
53
Kedua jenis basalt itu adalah basalt tholeiitic dan basalt alkali olivine, yang juga
dapat dibedakan berdasarkan kenampakan petrografinya (Tabel 3.2)
Tabel 3.2 Perbandingan Jenis Magma Tholeiitic Basalt dan Alkali Olivine Basalt
Tholeiitic Basalt
Alkali Olivine Basalt
Massa Dasar
Umumnya
berbutir
halus, Umumnya agak kasar, intergranular
intergranular
sampai ophitic
Tidak ada olivin
Olivin umum ditemukan
Klinopiroksen berupa augite
Klinopiroksen berupa titaniferrous
augite
Ortopiroksen umumnya ditemukan
Ortopiroksen tidak ada
Tidak ada alkali feldspar
Alkali feldspar atau feldspathoid
pengisi celah dapat ditemukan
Phenocryst
Terdapat
gelas
ataupun
kuarsa Gelas
pengisi
celah
jarang
pengisis celah
ditemukan, dan kuarsa tidak ada
Olivin jarang ada
Olivin umum ditemukan
Ortopiroksen jarang ada
Ortopiroksen tidak ada
Plagioclase umum ditemukan
Plagioclase jarang ditemukan
Klinopiroksen berupa augite cokelat Klinopiroksen berupa titaniferrous
muda
augite kemerahan
Shand (1944) mengemukakan proses kristalisasi magma yang mengalami
perubahan temperatur melalui beberapa tingkatan. Konsep ini berlaku dengan asumsi
bahwa magma mengalami perubahan temperatur secara lambat hingga agak cepat,
tidak dengan tiba – tiba. Proses kristalisasi ini meliputi tiga tingkat magmatic, yaitu :
54
1. Tingkat magmatik awal
Dicirikan oleh pengkristalan magma yang miskin air pada temperatur 7000C –
1.1000C, dan pembentukan mineral – mineral pirogenetik seperti olivin dan
piroksen.
2. Tingkat magmatik menengah
Dicirikan oleh pengkristalan magma yang kaya air pada temperatur 5000C –
7000C, dan pembentukan mineral – mineral pirogenetik yang kaya akan
kandungan air seperti amfibol dan biotit.
3. Tingkat magmatik akhir
Dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan temperaturnya, yaitu :
a. Tingkat hidrotermal tinggi atau tingkat deuterik, terjadi pada temperatur
3000C – 5000C dan menghasilkan mineral – mineral bersifat hidroksil.
b. Tingkat hidrotermal rendah, terjadi pada temperatur 1000C – 3000C,
dimana peranan gas sangat dominan dan terbantuk mineral – mineral
ubahan seperti karbonat, mineral – mineral yang berserabut, atau mineral
yang banyak mengandung air.
3.3.3.3.2 Hubungan Batuan Beku dengan Magma Pembentuknya
Evolusi magma tercermin pada variasi komposisi kimia dan mineralogi
batuan beku yang dihasilkan evolusi tersebut, berjalan mengikuti salah satu jalur
kristalisasi yang bermula dari satu jenis magma induk yang bersifat basaltis dan
ditentukan pula oleh keadaan lingkungan serta proses tektonik daerah yang
55
bersangkutan sehingga menghasilkan komposisi tertentu. Secara umum, aspek tekstur
hanya dianggap sebagai cerminan proses kristalisasi, dank arena itu dianggap tidak
dapat mencerminkan sifat magma asal.
Berdasarkan data analisis petrografi, asosiasi mineral dapat mencerminkan
tingkat kristalisasi; dan berdasarkan data analisis kimia, beberapa gambaran
mengenai hipotesis magma dapat mencerminkan proses evolusi magma. Seperti telah
diungkapkan sebelumnya, komposisi batuan beku dianggap sama dengan komposisi
magma pembentuknya.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap evolusi dan diferensiasi magma
asal menjadi batuan beku diantaranya adalah :
1. Keadaan tempat dan cara magma terbentuk
2. Keadaan tempat yang dilalui magma yang bergerak ke permukaan
3. Keadaan tempat dimana magma mengalami tingkat akhir pembekuan.
Download