I11dtr_BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
9
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perilaku yang telah Direncanakan
(Theory of Planned Behavior)
Para teoritikus sikap memiliki pandangan bahwa sikap seseorang
terhadap suatu objek sudah dapat dijadikan prediktor apakah ia akan melakukan
suatu tindakan atau tidak. Fishbein dan Ajzen (1975) berpendapat berbeda,
mereka menyatakan bahwa sikap seseorang itu belum cukup pasti untuk
memunculkan suatu perilaku. Melalui Teori Aksi Beralasan (Theory of Reasoned
Action) yang dikenal dengan singkatan TRA, keduanya kemudian menambahkan
faktor norma subjektif sebagai faktor tekanan lingkungan yang ikut andil dalam
memunculkan perilaku. Akumulasi dari faktor sikap dan norma subjektif tersebut
disebut sebagai intensi atau niat (intention).
Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan bahwa intensi seseorang
terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu sikap perilaku tertentu
(attitude toward the behavior) dan norma subjektif (subjective norms). Sikap
merupakan evaluasi atau penilaian positif atau negatif seseorang terhadap
sejumlah kepercayaan (belief) terhadap objek tertentu. Sementara itu, norma
subjektif yaitu sejauh mana keinginan individu memenuhi harapan dari sejumlah
pihak yang dianggap penting berkaitan dengan perilaku tertentu. Gambar 2 dapat
memperjelas pemahaman tentang intensi yang telah diuraikan di atas.
Sikap
Intensi
Perilaku
Norma Subjektif
Gambar 2 Model Theory of Reason Action (TRA)
(Sumber : Fishbein dan Ajzen 1975)
Selain itu juga, Ajzen (1988) menjelaskan bahwa intensi melibatkan
empat elemen penting yaitu TACT yang merupakan singkatan dari Target,
Action, Context, dan Time. Keempat elemen itu dapat diartikan sebagai objek
target pada perilaku tersebut (Target), perilaku (Action), situasi dimana perilaku
harus ditampilkan (Context) dan kapan perilaku harus ditampilkan (Time).
Semakin jelas keempat elemen ini maka semakin kuat intensi memprediksi
perilaku tertentu.
10
TRA dinilai memiliki kelemahan karena adanya penekanan pada faktor
norma subjektif yang dianggap terlalu melemahkan faktor individu sebagai
pengendali atas tingkah lakunya sendiri. Oleh karena itu, TRA dikembangkan
menjadi Theory of Planned Behavior (TPB) dengan menambahkan kontrol
perilaku (perceived behavioral control) sebagai penentu niat seseorang. TPB
menjelaskan bahwa perilaku seseorang tidak hanya dikendalikan oleh dirinya
sendiri, tetapi juga kontrol yang ketersediaan sumber daya dan kesempatan
tertentu (perceived behavioral control) (Ajzen 1988). Gambar 3 memberikan
pemahaman bahwa intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi
oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku.
Sikap
Intensi
Perilaku
Norma
Subjektif
Kontrol
perilaku
Gambar 3 Model Theory of Planned Behavior (TPB)
(Sumber : Ajzen 1988)
Berikut
ini
akan
dijelaskan
komponen-komponen
intensi
melalui
pendekatan Theory of Planned Behavioral.
Sikap
Sikap merupakan salah satu komponen dalam intensi terhadap perilaku
tertentu. Sikap atau attitude merupakan suatu faktor yang ada dalam diri
seseorang yang dipelajari untuk memberikan respon dengan cara konsisten yaitu
suka atau tidak suka pada penilaian terhadap suatu yang diberikan. Salah satu
pemahaman sikap yang juga penting adalah bahwa sikap terdiri dari tiga
komponen yang dikenal dengan trilogi sikap, yaitu sikap terdiri dari afektif,
kognitif dan konatif. Afektif berarti perasaan atau penilaian tertentu seseorang
baik terhadap suatu objek, orang, isu maupun kejadian. Kognitif terdiri dari
11
pengetahuan, opini, dan kepercayaan terhadap suatu objek. Sedangkan
komponen konatif merupakan bentuk perasaan dan evaluatif (Fishbein & Azjen
1975).
Sikap dalam teori ini memiliki dua aspek pokok, yaitu: kepercayaan
perilaku dan evaluasi. Kepercayaan perilaku adalah keyakinan individu bahwa
menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan
akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan
individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum
tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat
dari suatu obyek sikap maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap
obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya. Evaluasi adalah penilaian
seseorang terhadap hasil-hasil yang dimunculkan dari suatu perilaku. Evaluasi
akan berakibat pada perilaku penilaian yang diberikan individu terhadap tiap-tiap
akibat atau hasil yang diperoleh oleh individu. Apabila menampilkan atau tidak
menampilkan perilaku tertentu, evaluasi atau penilaian ini dapat bersifat
menguntungkan atau merugikan (Fishbein
& Ajzen 1975). Berikut ini adalah
formulasi model sikap dalam TPB.
n
AB = ∑ bi . ei
i=1
Keterangan :
AB
b
i
e
n
= sikap terhadap perilaku tertentu
= kepercayaan terhadap perilaku tersebut yang mengarahkan
pada konsekuensi atau hasil
= hasil (outcome)
= evaluasi seseorang terhadap hasil
= jumlah kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap perilaku
tertentu
Norma Subjektif
Komponen intensi lainnya dalam intensi terhadap perilaku tertentu adalah
norma subjektif. Norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap pikiran
pihak-pihak yang dianggap berperan dan memiliki harapan kepadanya untuk
melakukan sesuatu dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan
tersebut. Konsep norma subjektif merupakan representasi dari tuntutan atau
tekanan lingkungan yang dihayati individu dan menunjukkan keyakinan individu
atas adanya persetujuan atau tidak dari figur-figur sosial jika ia melakukan suatu
perbuatan. Orang lain atau figur sosial dalam norma subjektif yang dimaksud
biasanya ialah significant other bagi orang yang bersangkutan (Fishbein dan
12
Ajzen 1975). Figur-figur sosial yang penting bisa saja termasuk di dalamnya
orang tua, teman dekat, suami atau istri, rekan kerja (Wijaya 2007).
Norma subjektif dibentuk oleh dua aspek, yakni keyakinan normatif dan
motivasi untuk memenuhi tuntunan lingkungan. Keyakinan normatif merupakan
pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan
individu
untuk
menampilkan
atau
tidak
menampilkan
perilaku
tertentu.
Sementara itu, motivasi untuk memenuhi tuntunan lingkungan merupakan
kesediaan individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan pendapat atau
pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa individu harus atau tidak harus
menampilkan perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen 1975). Rumusan norma
subjektif pada intensi perilaku tertentu dirumuskan sebagai berikut.
n
SN = ∑ bi . mi
i=1
Keterangan : SN
bi
mi
= norma subjektif
= kepercayaan normatif
= motivasi untuk mengikuti sejumlah n referensi atau i
Kontrol Perilaku
Komponen ketiga dalam intensi adalah kontrol perilaku. Kontrol perilaku
ini merupakan suatu acuan adanya kesulitan atau kemudahan yang ditemui
seseorang dalam berperilaku tertentu. Kontrol perilaku berperan dalam Theory of
Planned Behavior dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung
berdasarkan kontrol-kontrol yang ada pada diri seseorang. Kontrol perilaku
berperan secara tidak langsung mempengaruhi perilaku yaitu melalui intensi
terhadap perilaku. Selain itu, kontrol perilaku juga bisa secara langsung
mempengaruhi perilaku tersebut (Ajzen 1988). Variabel ini kemudian dirumuskan
sebagai berikut.
PBC = ∑ Ci . Pi
Keterangan :
PBC
Ci
Pi
= kontrol perilaku
= control belief strength (kekuatan keyakinan seseorang bahwa
ia bisa berbuat sesuatu)
= control belief power (keyakinan seseorang akan adanya
hambatan atau dukungan untuk melakukan suatu perbuatan)
13
Intensi dan Intensi Kewirausahaan
Perilaku seseorang dapat diprediksi melalui pengukuran sikapnya
terhadap suatu objek tertentu. Pendekatan ini dapat dijembatani dengan melihat
intensi untuk menampilkan perilaku tertentu dalam diri seseorang. Intensi secara
harfiah bermakna niat. Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi atau
niat ini sebagai kemungkinan subjektif (subjective probability) individu untuk
berperilaku tertentu. Intensi merupakan dimensi probabilitas lokasi subjektif
seseorang yang menghubungkan antara dirinya dengan suatu tindakan tertentu.
Dengan kata lain, intensi merupakan besarnya dimensi probabilitas subjektif
seseorang yang akan ditampilkan dalam bentuk perilaku tertentu. Intensi
dipandang sebagai ubahan yang paling dekat dari individu untuk melakukan
perilaku, maka dengan demikian intensi dapat dipandang sebagai hal yang
khusus dari keyakinan yang obyeknya selalu individu dan atribusinya selalu
perilaku (Fishbein & Ajzen 1975). Menurut Ajzen (1988) pembentukan intensi
pada diri seseorang terikat dalam suatu perilaku tertentu. Intensi terbentuk dalam
rangka memenuhi faktor-faktor kebutuhan yang memiliki dampak pada perilaku.
Intensi juga menandakan bagaimana upaya seseorang bertekad untuk mencoba
dan berencana untuk menampilkan perilaku tertentu.
Santoso (1995) beranggapan bahwa intensi adalah hal-hal yang
diasumsikan dapat menjelaskan faktor-faktor motivasi serta berdampak kuat
pada tingkah laku. Hal ini mengindikasikan seberapa keras seseorang berusaha
dan seberapa banyak usaha yang dilakukan agar perilaku yang diinginkan dapat
dilakukan. Jika sikap positif dan individu terdorong untuk berbuat sesuai harapan
lingkungan untuk melakukan suatu perbuatan, ditambah individu melihat bahwa
tidak ada hambatan baginya untuk berperilaku maka kemungkinan munculnya
perilaku tinggi. Dengan kata lain, niatnya besar. Bila sikap negatif, individu tidak
mau menentang harapan lingkungan padanya, dan individu merasa tidak akan
mampu melakukan suatu perbuatan, maka niat menjadi lemah, yang ini berarti
kemungkinan dia berperilakupun rendah (Wijaya 2007).
Penelitian untuk melihat aspek intensi kewirausahaan seseorang telah
mendapat perhatian cukup besar dari para peneliti. Intensi kewirausahaan dapat
diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan pembentukan suatu usaha (Katz & Gartner 1988). Seseorang
dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang
lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi
14
untuk memulai usaha. Intensi kewirausahaan adalah prediksi yang reliabel untuk
mengukur perilaku kewirausahaan dan aktivitas kewirausahaan (Krueger et al.
2000). Umumnya, intensi kewirausahaan adalah keadaan berfikir yang secara
langsung dan mengarahkan perilaku individu ke arah pengembangan dan
implementasi konsep bisnis yang baru (Birds, 1988 dalam Nasrudin et al. 2009).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku dan Intensi Berwirausaha
Karakteristik Individu
Usia. Usia ketika seseorang memulai usaha menjadi kurang penting,
tetapi apabila sudah ada pelatihan dan persiapan yag memadainya sebaiknya
semakin awal memulai usaha akan semakin baik daripada menunda usaha
(Staw dalam Riyanti 2003). Hurlock (1980) berpendapat bahwa perkembangan
karier berjalan seiring dengan proses perkembangan manusia. Roe dalam
Wijaya (2007) mengatakan bahwa minat terhadap pekerjaan mengalami
perubahan sejalan dengan usia tetapi menjadi relatif stabil pada post adolescent.
Hasil penelitian Hijriyah (2004) menemukan bahwa umur mempengaruhi perilaku
wirausaha pedagang Fried Chicken kaki lima di kota Bogor.
Jenis kelamin. Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap minat
berwirausaha mengingat adanya perbedaan terhadap pandangan pekerjaan
antra pria dan wanita. Manson dan Hogg dalam Wijaya (2007) mengemukakan
bahwa kebanyakan wanita cenderung sambil lalu dalam memilih pekerjaan
dibanding dengan pria. Wanita menganggap pekerjaan bukanlah hal yang
penting. Karena wanita masih dihadapkan pada tuntutan tradisional yang lebih
besar menjadi istri dan ibu rumah tangga. Seperti yang sudah diduga, bahwa
mahasiswa laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa
perempuan. Secara umum, sektor wiraswasta adalah sektor yang didominasi
oleh kaum laki-laki. Kolvereid (1996) menyatakan bahwa laki-laki terbukti
mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (1996) pada lulusan master
di Amerika dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat
laki-laki untuk berwirausaha konsisten dibandingkan minat perempuan yang
berubah menurut waktu.
Uang Saku Bulanan. Uang saku bulanan adalah uang yang diterima
mahasiswa setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
berasal dari orang tua, beasiswa, hasil dari bekerja, berwirausaha dan lain-lain.
15
Hasil penelitian Azzahra (2009) menemukan bahwa uang saku per bulan tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap pengetahuan, sikap, tindakan, maupun
perilaku wirausaha mahasiswa IPB peserta PPKM dan PKMK. Tren wirausaha
saat ini bukan lagi ingin digeluti oleh orang yang berpenghasilan rendah, tetapi
juga yang berpenghasilan tinggi.
Suku (daerah). Hasil penelitian Azzahra (2009) menyatakan bahwa
karakteristik suku (daerah) berhubungan nyata dengan sikap dan tindakan
wirausaha. Dari sisi sikap wirausaha, hal ini disebabkan karena adanya
pandangan dan persepsi positif terhadap profesi wirausaha oleh beberapa suku
(daerah) di Indonesia seperti suku Minang, sehingga mempengaruhi sikap
wirausaha responden. Dari sisi tindakan wirausaha, adanya adat atau kebiasaan
di suku (daerah) yang lebih cepat dalam bertindak dan melakukan sesuatu
dibandingkan dengan suku (daerah) lain. Adat dan kebiasaan tersebut tentunya
mempengaruhi tindakan seseorang dalam berwirausaha.
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
merupakan angka yang menunjukkan prestasi akademik atau kemajuan belajar
mahasiswa secara kumulatif yang dicapai mulai dari semester 1 sampai dengan
semester paling akhir untuk semua mata kuliah yang ditempuh (Anonim 2009).
Penelitian yang dilakukan Azzahra (2009) menyatakan bahwa IPK tidak
berhubungan nyata dengan perilaku wirausaha maupun unsur-unsurnya yaitu
pengetahuan, sikap, dan tindakan wirausaha. Orang yang memiliki IPK tinggi
belum tentu memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan wirausaha yang baik.
Karakteristik Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik
dan dibesarkan. Segala perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan
didalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian atau
karakter seorang anak (Schikendanz dalam Megawangi 2004).
Pekerjaan Orang tua. Menurut Staw dalam Riyanti (2003) ada bukti kuat
bahwa wirausaha memiliki orang tua yang bekerja mandiri atau berbasis sebagai
wirausaha meskipun tidak ada studi banding dengan wirausaha yang orang
tuanya bukan wirausaha, relasi dengan orang tua yang wirausaha tampaknya
menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang untuk menjadi
wirausaha.
Pendidikan Orang tua. Tingkat pendidikan orang tua merupakan aspek
yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam keluarga. Tingkat pendidikan
16
yang dicapai seseorang akan membentuk cara, pola dan karakter berpikir,
presepsi, pemahaman, dan kepribadian (Guhardja et al. 1992). Menurut Gunarsa
dan Gunarsa (2004) pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap
perkembangan pendidikan anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka
semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan. Dengan
demikian, orang tua diharapkan dapat memberi stimulasi dan fasilitas yang dapat
menunjang proses belajar dan prestasi akademik anak.
Pendidikan Kewirausahaan
Pengaruh pendidikan kewirausahaan selama ini telah dipertimbangkan
sebagai salah satu faktor penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan
hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda. Pendidikan
memainkan peran penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalahmasalah dan mengoreksi penyimpangan dalam praktek bisnis (Kourilsky &
Walstad 1998).
Melalui pendidikan formal, belajar kewirausahaan dapat dilakukan melalui
Mata Kuliah Kewirausahaan yang bisa memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang proses kewirausahaan, tantangan yang dihadapi para pendiri usaha baru
dan masalah yang harus diatasi agar berhasil. Pengetahuan yang diperoleh dari
pendidikan formal tersebut terkait langsung dengan bidang usaha yang dikelola.
Semakin banyak seseorang tertarik untuk belajar dalam dunia pendidikan akan
meningkatkan dalam usahanya (Utami 2007). Rahmawati (2000) mengatakan
bahwa paket pendidikan kewirausahaan akan membentuk siswa untuk mengejar
karir kewirausahaan. Meski pendidikan formal bukan syarat untuk memulai
usaha baru, pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal memberi dasar
yang baik apalagi bila pendidikan formal tersebut terkait dengan bidang usaha
yang dikelola (Riyanti 2003).
Di sisi lain, kewirausahaan juga dapat dipelajari dari pendidikan
nonformal. Pendidikan kewirausahaan nonformal sangat penting karena
mahasiswa yang mengetahui prinsip-prinsip kewirausahaan dan pengelolaan
bisnis dari pendidikan formalnya tersebut belum tentu menjadi wirausaha yang
sukses. Mereka perlu dibekali dengan berbagai atribut, keterampilan dan perilaku
yang dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan mereka dengan pelatihan
kewirausahaan (Brockhaus dalam Bell 2008). Kram et al dalam Farzier dan
Niehm (2008) menemukan bahwa pendidikan dan pelatihan mempengaruhi
17
persepsi orang terhadap karir kewirausahaan, dengan menyediakan kesempatan
untuk mensimulasikan memulai usaha.
Kewirausahaan dan Wirausaha
John Kao dalam Sudjana (2004) menyebutkan bahwa kewirausahaan
adalah sikap dan perilaku wirausaha. Kewirausahaan yang sering dikenal
dengan
sebutan
entrepreneurship
berasal
dari
bahasa
Perancis
yang
diterjemahkan secara harfiah adalah perantara. Secara lebih luas kewirausahaan
didefinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan
menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial,
psikologi dan sosial yang menyertainya serta menerima balas jasa moneter dan
kepuasan pribadi. Namun demikian, istilah kewirausahaan dapat pula diartikan
sebagai sikap dan perilaku mandiri yang mampu memadukan unsur cipta, rasa,
dan karsa serta karya atau menggabungkan kreativitas, tantangan, kerja keras,
dan kepuasan untuk mencapai prestasi maksimal sehingga dapat memberikan
nilai tambah maksimal terhadap jasa, barang, maupun pelayanan yang
dihasilkan
dengan
mengindahkan
sendi-sendi
kehidupan
masyarakat.
Kewirausahaan merupakan suatu kualitas dari sikap seseorang daripada hanya
sekedar keahlian. Seorang wirausaha memiliki kualifikasi yang tahan banting,
selalu mencari peluang, dan memiliki visi (Sutanto 2002).
Wirausaha adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan
cara mendirikan, mengembangkan, dan melembagakan perusahaan miliknya
sendiri dan bersedia mengambil resiko pribadi dalam menentukan peluang
berusaha dan secara kreatif menggunakan potensi-potensi dirinya untuk
mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi
untuk pengadaan produk, memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya (Riyanti 2003)
Download