BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terbentuknya Pakta Pertahanan Atlantik Utara, 4 April 1949 telah membawa paradigma baru bagi dunia internasional dalam memahami postur, dinamika, dan ancaman baru terhadap keamanan internasional. Sejak terjadinya Perang Dunia I (1914-1918), menyusul Perang Dunia II (1939-1945), hingga Perang Dingin yang berakhir pada runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan kembali (reunifikasi) Jerman Barat-Timur (1990)1, serta beberapa konflik dan perang yang terjadi setelahnya, kondisi keamanan internasional telah banyak mengalami bentuk polarisasi kekuatan. Pada ketiga perang yang disebutkan di atas, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara baru terlibat dalam Perang Dingin sebab organisasi ini baru dibentuk pada pasca Perang Dunia II. Pada awal pembentukannya, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara beranggotakan dua belas negara penandatangan, yaitu Perancis, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Belgia, Denmark, Italia, Kanada, Luxemburg, Norwegia, Portugal, dan Islandia. Dua negara yang disebut paling awal –Perancis dan Amerika Serikat, merupakan dua negara yang paling memegang peranan penting dalam memobilisasi 1 Pasca Perang Dingin isu-isu tentang ancaman keamanan internasional telah mengalami pergeseran dari keamanan tradisional yang bersifat state-centered menuju ke keamanan non-tradisional yang lebih bervariasi hingga people-centered. Dalam situasi seperti ini, NATO dituntut untuk mengadakan penyesuaian. Adapun langkah yang paling efektif dilakukan adalah dengan melakukan redefenisi untuk mengetahui relevansi NATO dalam melihat bentuk-bentuk ancaman baru terhadap keamanan internasional. 1 keamanan internasional baik melalui NATO dan PBB, dan merupakan dua di antara lima negara (Amerika Serikat, Perancis, Rusia, Cina, dan Inggris) pemegang Hak Veto di PBB. Dalam konsep perjanjian ini, North Atlantic Treaty juga disebut dengan nama Washington Treaty. Perancis menyebut pakta pertahanan ini dengan nama L’organisation du Traite de L’atlantique Nord, disingkat OTAN sekaligus mewakili dominasi Perancis bersama Eropa di pakta pertahanan ini. Sedangkan, Amerika Serikat menyebutnya dengan nama North Atlantic Treaty Organization, disingkat NATO sekaligus secara tersirat mewakili dominasi Amerika Serikat. Namun, untuk lebih mempermudah dalam penguasaan literatur, penulis mencoba menggunakan istilah “NATO” dalam pembahasan sesuai dengan judul skripsi ini. Pada tahun-tahun berikutnya, keanggotaan NATO semakin bertambah yang semuanya berasal dari Eropa. Yunani dan Turki masuk menjadi anggota pada tahun 1952. Kemudian Republik Federasi Jerman atau Jerman Barat ikut masuk dalam keanggotaan pada tahun 1955. Spanyol bergabung pada tahun 1982, tetapi berada di luar struktur integrasi militer NATO hingga 1996. Cekoslovakia, Polandia, dan Hungaria menjadi anggota tahun 1999. Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia, dan Slovenia bergabung pada tahun 2004. Terakhir, Albania dan Kroasia resmi bergabung pada tanggal 1 April 2009 sesuai KTT Bucharest. Melihat secara stuktural keanggotaan NATO di atas, Perancis merupakan salah satu dari duabelas negara pemrakarsa berdirinya NATO. Namun, pada tahun 1966 Perancis menyatakan diri keluar dari struktur integrasi militer NATO walaupun masih memiliki wakil dalam pakta pertahanan ini, dan baru kembali aktif di NATO pada 2 tahun 2009.2 Selain itu, pada tahun 1966 Perancis dan Jerman membentuk pertahanan bersama di luar NATO sebagai tindak lanjut dari Elysee Treaty 1963 yang selanjutnya menjadi konsep dasar bagi pembentukan Pertahanan dan Kemanan Eropa tahun 1996.3 Kolaborasi pakta pertahanan ini menunjukkan adanya pengaruh dari dua kekuatan Eropa yang baru –Perancis dan Jerman, sekaligus membentuk kemandirian (self-determination) Eropa dalam bidang pertahanan dan keamanan. Sehubungan dengan hal di atas, secara tajam menunjukkan adanya dominasi yang ketat antara Perancis dan Amerika Serikat di tubuh NATO. Situasi ini oleh Eropa merupakan sebuah strategi untuk menghindari “psychology of dependent” 4 Perancis terhadap Amerika Serikat di NATO. Perancis mencoba mengungguli Amerika Serikat atas NATO dengan cara membentuk pakta pertahanan bersama dengan Jerman di luar NATO. Sebaliknya, Amerika Serikat mencoba mengungguli Perancis atas NATO melalui peningkatan postur kekuatan militernya. Pada persoalan kepentingan nasional negara masing-masing, maka kita akan melihat sebuah perseteruan yang tajam antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Keduanya tentu saja memiliki peluang dan kemampuan untuk saling 2 Tahun 2009 Perancis masuk kembali ke Struktur Komando Militer NATO atas usul Presiden Nicolas Sarkozy melalui persetujuan pihak Parlemen Perancis. Ia mengajukan permohonan resmi bagi Perancis untuk kembali memasuki struktur komando NATO, setelah absen selama 43 tahun. Surat Sarkozy itu diserahkan kepada Sekjen NATO Jenderal Jaap de-Hoop Scheffer dalam KTT Uni Eropa di Brussels. Parlemen Perancis menyetujui rancangan undang-undang yang mendukung Perancis kembali menjadi anggota NATO. Perdana Menteri Perancis, Francois Fillon mengatakan kepada para legislator, “kembalinya Perancis ke komando militer NATO merupakan penyesuaian yang akan memberikan pengaruh lebih besar bagi Perancis dalam NATO. Selain itu, NATO tahun 2009 berbeda dengan NATO tahun 1966.” Dikutip dari “Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009”. http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2009-03-21-voa8-85126987.html, diakses tanggal 8 November 2011 pukul 22.35 WITA. 3 Sankt Augustin, 2007, Konrad Adenauer and the European Integration, Berlin: Konrad Adenauer Fundation, Archive for Christian Democratic Policy (ACDP), hal. 19. 4 A. Agus Sriyono, dkk, 2004, Hubungan Internasional, Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 176. 3 mendominasi. Di satu sisi, Perancis memulainya dengan menyuarakan kembali semboyan leluhurnya di atas prinsip “Liberty, Egality, and Fraternity”5 dalam menjaga kedaulatan negara sebagai bentuk independensi dari kekuatan hegemoni Amerika Serikat. Prinsip tersebut sesungguhnya untuk menegaskan kembali suatu politik luar negeri Perancis yang independen yang secara turun-temurun diakui sebagai “tradisi khas Perancis” dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional Perancis ialah mengimbangi hegemoni Amerika Serikat di Eropa melalui NATO. sehingga, Perancis harus bersikap independen terhadap Amerika Serikat. Langkah ini telah dijalankan sebaik mungkin, dan oleh Presiden Perancis François Mitterrand (1999) mengilustrasikan bahwa “Amerika Serikat tidak dapat lagi dipandang sebagai partner yang dapat dipercaya, sedangkan Rusia (Uni Soviet) sedang berada dalam ketidakpastian, maka suatu ‘kekuatan baru’ harus muncul ke permukaan”.6 Kemudian, oleh Perdana Menteri Perancis, Pierre Mauroy yang pernah menjabat pada masa pemerintahan Mitterrand, bahwa kepentingan nasional Perancis tidak akan menyimpang dari warisan kebesaran raja-raja silam, khususnya dalam urusan keamanan. Selanjutnya, Presiden Nicholas Zarkozhy (2009) mengilustrasikan kepentingan Perancis dalam politik luar negerinya di bidang pertahanan, bahwa masuknya Perancis kembali di NATO merupakan sebuah langkah penyesuaian yang akan memberikan pengaruh lebih besar bagi Perancis di NATO.7 Sedangkan, Amerika Serikat dalam memperkuat posisinya, mencoba mendorong 5 Semboyan Perancis pada masa Pemerintahan Napoleon yang dijadikan politik luar negeri tak terbatas, prinsip “Liberty, Egality, and Fraternity” 6 Sriyono, Op. cit., hal. 156. 7 “Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009”, Op. cit. pukul 22.35 WITA. 4 demokrasi “standar ganda” sebagai politik luar negeri dan pada masanya menyuarakan diri sebagai polisi dunia atas “Global War againt Terrorism” melalui diplomasi “preventive war” di bawah pemerintahan George W. Bush. Sehubungan dengan hal di atas, maka persepsi kesamaan/kesetaraan (equality) dalam menjaga kedaulatan negara adalah sesuatu yang dianggap vital antara Perancis dan Amerika Serikat. Dalam kasus ini, Morgenthau mendefinisikan persepsi equality dalam menjaga kedaulatan negara, bahwa: Equality atau Persamaan tidak lain ialah suatu sinonim bagi kedaulatan yang menunjukkan suatu segi khusus kedaulatan. Jikalau semua negara mempunya kekuasaan tertinggi dalam wilayahnya, maka tidak ada negara yang dibawahi oleh negara lain dalam melaksanakan kekuasaan itu. Tidak ada negara, yang mempunyai hak kalau tidak ada kewajiban perjanjian yang bertentangan dengan itu, untuk mengatakan kepada suatu negara lain, apa saja undang-undang yang akan dibuat dan yang harus ditegakkan, apalagi untuk membuat undang-undang dan menegakkannya dalam wilayah negara... Karena negara-negara itu berdaulat, mereka tidak dapat membiarkan suatu kekuasaan yang membuat undang-undang dan menegakkannya, berada di atasnya dan beroperasi langsung dalam wilayahya.8 Dalam konteks ini, setiap negara memiliki hak yang sama dalam mejalankan pemerintahannya, membuat aturan, untuk kemudian menjaga kedaulatan negaranya9 sebagai bagian vital kepentingan nasionalnya. Demikian juga Perancis dan Amerika Serikat, sama-sama memiliki kepentingan di NATO. Dalam posisi yang sama sebagai anggota NATO, Perancis dan Amerika Serikat memiliki kepentingan yang pada dasarnya terimplementasikan dalam peran dan tujuan NATO. Adapun NATO, secara tradisional memiliki peran dan tujuan sebagai 8 Hans J. Morgentahau, 1990, Politik Antarbangsa: Perjuangan Untuk Kekuasaan dan Perdamaian, Bandung: MANNA, Lembaga Penterjemahan dan Penyaduran, hal. 367. 9 Dalam menjaga kedaulatan negara, setiap negara berhak mendapatkan penghormatan sebagai bentuk independensi dari negara lainnya. Adapun, equality kaitannya dengan kekuatan (power) suatu negara selalu mengalami pasang surut. 5 penjaga keamanan dan kemerdekaan terhadap negara-negara anggotanya seperti yang tertera dalam mukaddimah Perjanjian Atlantik Utara, yaitu: The parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and all government. They are determined to safeguard the freedom, common heritage and civilisation of their peoples, founded on the principles of democracy, individual liberty and the rule of law. They seek to promote stability and well-being in the North Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective defence and for the preservation of peace and security. They therefore agree to this North Atlantic Treaty...10 Dari peran dan tujuan di atas, NATO pada perkembangannya telah banyak melakukan reformasi dan transformasi kelembagaan NATO khususnya dalam melihat keamanan internasional. Di sisi lain, NATO juga telah melewati dan ikut terlibat pada beberapa peristiwa besar baik perang maupun konflik yang di dalamnya melibatkan kepetingan Perancis dan Amerika Serikat. Dengan demikian, dominasi dan perebutan peran antara Perancis dan Amerika Serikat menjadi tak terelakkan dalam tubuh NATO. Dalam kacamata kepentingan nasional Amerika Serikat, Perancis merupakan kunci utama bagi Amerika Serikat untuk mengendalikan kekuatan Eropa di NATO. Sebaliknya, dalam kacamata kepentingan nasional Perancis, Amerika Serikat dianggap sebagai penghambat dalam menentukan masa depan dan kemandirian Eropa di NATO, khususnya dalam menentukan sistem pertahanan Eropa. Oleh karena itu, Perancis perlu mengadakan perimbangan kekuasaan baru di NATO. Kondisi ini tentu saja akan memberi efek pada NATO dalam merespon dan menyelesaikan isu-isu keamanan, baik di tingkatan regional maupun internasional. “Text of the North Atlantic Treaty, 4 April 1949” http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_ext_17120.htm, diakses pada tanggal 7 Oktober 2011 pukul 23.30 WITA. 10 6 Sebagai contoh kasus, Krisis Libya pada awal tahun 2011 merupakan isu utama bagi NATO dalam merespon kondisi dan postur keamanan internasional. Keluarnya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1973 tanggal 17 Maret 2011 memberi leluasa kepada NATO untuk masuk ke Krisis Libya. Resolusi tersebut bertujuan untuk: melindungi warga sipil, penetapan “no fly zone”, embargo senjata, pelarangan penerbangan Libya ke luar negeri, pembekuan dan pelarangan aset Qhadafi dan koleganya, dan pembentukan panel ahli untuk menindaklanjuti resolusi. Selanjutnya, pada tanggal 19 Maret 2011, pasukan koalisi yang terdiri dari lima negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia dan Kanada dibawa kendali NATO meluncurkan “Operasi Fajar Odyssey” terhadap Libya. Operasi ini bertujuan untuk melindungi penduduk sipil dari serangan yang dilakukan oleh kekuatan proMuammar Al-Qadhafi. Serangan militer bertindak di bawah Bab VII Piagam PBB, yang mengatur penggunaan kekuatan jika diperlukan, serta Resolusi DK PBB 1973 khususnya pada poin (4) Protection of Civilians: Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting nationally or through regional organizations or arrangements, and acting in cooperation with the Secretary-General, to take all necessary measures, …, to protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the Libyan Arab Jamahiriya...11 Berdasarkan piagam PBB Bab VII, Dewan Keamanan PBB memiliki hak untuk mengambil tindakan dalam suatu kasus internal suatu negara apabila terdapat ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi terhadap negara lain yang dilakukan oleh suatu negara. Oleh PBB dan NATO, langkah ini merupakan “United Nations Resolutin 1973, 17 Maret 2011” http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10200.doc.htm, diakses pada tanggal 8 November 2011 pukul 22.30 WITA. 11 7 sebagai bentuk misi khusus untuk menjamin keamanan internasional. Namun, jika kita melihat sikap Uni Eropa terhadap penyerangan militer ke Libya, negara anggota Uni Eropa memiliki sikap berbeda-beda. Jerman ialah salah satunya. Sebagai salah satu dari anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB, Jerman berpendapat lebih memilih untuk tidak menggunakan kekerasan. Namun, semua anggota NATO sepakat untuk memberlakukan sanksi kepada Libya seperti yang tertuang dalam keputusan No. 201/2011 dan 137/2011/CFSP. Keputusan ini merupakan bentuk langkah nyata NATO dalam menjamin stabilitas dan keamanan internasional yang telah disesuaikan dengan PBB. Melihat fenomena ini, peneliti sangat tertarik untuk mengkajinya lebih dalam dengan mengangkat sebuah judul ”Rivalitas Perancis-Amerika Serikat di North Atlantic Treaty Organization Pasca Perang Dingin”, difokuskan pada Rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Penelitian ini mencoba memahami perilaku kedua negara ––Perancis dan Amerika Serikat, kemudian menelaah pengaruhnya terhadap NATO dalam melihat postur keamanan internasional di masa kekinian. Alasan utama memilih tema ini karena Kajian Eropa sangat menarik dan menantang untuk dikaji lebih dalam. Peneliti melihat betapa pentingnya pengkajian Kawasan Eropa dalam Disiplin Ilmu Hubungan Internasional di masa mendatang, mengingat masih kurangnya ahli dan pengkajian khusus Kawasan Eropa. Sejauh ini, peneliti telah banyak mendalami objek ini secara berkelanjutan, khususnya Kawasan Eropa kaitannya dengan salah satu organisasi internasional dalam hal ini NATO di Bidang Pertahanan dan Keamanan. 8 B. Batasan dan Rumusan Masalah Ketegangan struktural yang terjadi antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO membawa pengaruh signifikan bagi NATO dalam menjaga keamanan kawasan Atlantik Utara dan kerangka kerja keamanan internasional. Pada masa Perang Dingin, ketegangan ini tidak terlalu nampak karena proyeksi NATO melalui negara anggotanya masih satu, membendung arus komunisme Uni Soviet. Hal ini mampu membuat negara anggota NATO solid dalam posisisnya. Pada Pasca Perang Dingin kondisi ini tentu terlihat berbeda bagi Perancis dan Amerika Serikat, dimana musuh bersama sudah lenyap. Dengan demikian, memberi ruang bagi Perancis dan Amerika Serikat untuk kembali fokus pada kepentingan nasional masing-masing. Kepentingan Perancis tidak hanya fokus pada NATO, tetapi ikut terlibat dalam memperkuat kemandirian Eropa dalam merespon isu keamanan internasional. Sebaliknya, kepentingan Amerika Serikat di luar NATO, adalah mempertahankan dominasinya di Eropa dengan jalan merespon isu-isu kemanan baik regional maupun internasional. Dengan demikian, timbul dua pemikiran yang bertolak belakang, yaitu pertama “me-NATO-kan Amerika Serikat”, sedangkan yang kedua adalah “meng-Amerikaserikat-kan NATO”. Berangkat dari dua pemikiran ini, penulis mencoba memformulasikan pertanyaan sebagai batasan dalam penulisan skripsi ini, dengan tujuan untuk menghindari kesalahan dalam menganalisis permasalahan di atas, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO? 2. Bagaimana bentuk rivalitas Perancis-Amerika Serikat dalam mencapai kepentingan di NATO? 9 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian Sesuai dengan batasan pada perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan menjelaskan kepentingan nasional Perancis dan Amerika Serikat di NATO pasca Perang Dingin. 2. Mengetahui dan menjelaskan bentuk-bentuk rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat dalam mencapai kepentingan nasional di NATO. b. Kegunaan Penelitian Dengan adanya hasil penelitian di lapangan, maka penelitian ini diharapkan: 1. Memberi sumbangan pemikiran dan informasi bagi Akademisi Ilmu Hubungan Internasional, yaitu Dosen dan Mahasiswa dalam mengkaji dan memahami masalah hubungan kekuasaan dan keamanan internasional terkait kepentingan nasional suatu negara, dalam hal ini pembahasan rivalitas dua negara, terkhusus antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO terutama dalam merespon keamanan internasional. Tulisan ini juga menjadi bahan pengembangan keilmuan bagi penulis dalam Bidang Pertahanan. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi setiap aktor Hubungan Internasional, baik individu, organisasi, pemerintah, maupun organisasi non-pemerintah baik dalam level nasional, regional, maupun internasional tentang bagaimana menformulasikan kekuatan nasional untuk menjamin pertahanan dan keamanan negara dalam mencapai kepentingan nasional. 10 D. Kerangka Konseptual Makna kekuasaan (power) harus mampu bekerja pada kondisi perang dan damai. Morgenthau mendefenisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik, dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan segala pikiran dan tindakan aktor B. Selanjutnya, ia menjelaskan: Power ialah hubungan psikologis antara mereka yang menjalankannya dengan mereka atas siapa ia dijalankan. Ia memberikan kepada yang disebut pertama penguasaan atas tindakan tertentu dari yang disebut belakangan melalui pengaruh yang digunakan oleh yang disebut pertama kepada pikiran dari yang disebut belakangan. Pengaruh itu mungkin digunakan melalui perintah, ancaman, bujukan, atau kombinasi dari ketiganya.12 Penerapan power sebuah negara dengan segala atribut kekuatan nasional yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi, bahkan mengendalikan kebijakan secara global, maka ia dikatakan negara superpower. Mengejar kekuasaan merupakan kepentingan nasional setiap negara. Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang dapat membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerjasama. Kekuasaan dan kepentingan dipandang sebagai sarana sekaligus tujuan dari tindakan politik internasional. Adapun, defenisi power lebih luas dikemukakan oleh Jr. Chas W. Freeman: The power of states is measured by their ability to alter and chanel the behaviour of other states. It rest on their will to apply their national strength and potential in contest with other. A state’s estimate of its own power helps decide the degree to which it will insist on its views and take risks to see them prevail. 13 12 13 Morgenthau, Op. cit., hal. 16. Jr. Chas W. Freeman, dalam Sriyono, Op. cit., hal. 163. 11 Sedangkan, menurut Deutsch makna power dapat dibagi ke dalam tiga dimensi atau variabel, yaitu wilayah, intensitas, dan ruang lingkup kekuasaan. 14 Dengan melihat tiga variabel tersebut, maka kekuatan nasional dari setiap negara dapat dikuantifikasi dan disusun berdasarkan peringkatnya, baik itu kekuasaan aktual ataupun yang potensial. Untuk itu, power dibedakan atas, superpower, great power, middle power, dan small power. Adapun, konsep kepentingan nasional, Yusuf menjelaskannya sebagai berikut: Kepentingan nasional termasuk dalam visium yang diperjuangkan oleh suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional. Konsep ini adalah buatan manusia yang dirumuskan oleh para ahli teori politik dan dipatuhi oleh setiap kepentingan golongan dan juga kepentingan para perumusnya.15 Untuk mencapai kepentingan nasional, suatu negara harus melakukan interaksi dengan negara lain. Oleh karena itu, setiap negara membutuhkan serangkaian kebijakan politik luar negeri. Setiap negara dalam interaksinya dengan negara lain ialah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional menjadi alasan utama bagi tindakan yang dilakukan oleh setiap negara. Usaha-usaha interaksi yang dilakukan dapat melalui kerjasama, persaingan, ataupun konflik. Menurut Morgenthau, kepentingan nasional dari setiap negara adalah mengejar kekuasaan.16 Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang dapat membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik paksaan ataupun Karl Deutsch, dalam Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, hal. 121. 15 Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 10. 16 Morgenthau, dalam Mas’oed, Op. cit., hal. 140. 14 12 kerjasama. Morgenthau menekankan konsep kepentingan nasional pada kelangsungan hidup (survival) dari suatu negara. Setiap negara harus mampu mempertahankan integritas teritorialnya (identitas fisik), rezim ekonomi-politiknya (identitas politik) yang bisa saja demokratis, otoriter, sosialis, atau komunis, dan memelihara normanorma etnis, religius, linguistik, dan sejarahnya (identitas kultural). Berdasarkan tujuan-tujuan umum ini, para pemimpin negara dapat menurunkan kebijaksanaankebijaksanaan yang sifatnya spesifik terhadap negara lain, baik dalam bentuk kerjasama maupun konflik. Misalnya, perimbangan kekuatan, perlombaan senjata, pemberian bantuan asing, pembentukan aliansi kekuatan, dan atau perang ekonomi dan propaganda. Sedangkan, menurut Wolfers, kepentingan nasional dijelaskan sebagai berikut: Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu bangsa, kemerdekaan, dan kelangsungan hidup nasional. Namun, kelangsungan hidup nasional itu sendiri diberi bermacam-macam interpretasi oleh bermacammacam negara yang menghadapi kondisi yang berlain-lainan.17 Menurut Holsti, kepentingan nasional dapat diklasifikasi ke dalam tiga hal. Pertama, core values, sesuatu yang dianggap paling vital bagi negara menyangkut eksistensi suatu negara. Kedua, middle range objectives, tentang peningkatan derajat perekonomian suatu negara. Dan ketiga, long range goals yaitu sesuatu yang bersifat ideal misalnya, keinginan untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.18 Berbagai ahli memberikan beragam identifikasi terkait jenis-jenis kepentingan nasional. Neuchterin, membagi jenis kepentingan nasional menjadi kepentingan 17 Arnold Wolfers, dalam James E. Dougherty dan Robert L. Pfatzgraff, Jr, 1971, Contending Theories in International Relations, New York: JB.Lippncot Co, hal. 62. 18 KJ. Holsti, dalam Umar Suryadi Bakry, 1999, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta: Jayabaya University Press, hal. 63. 13 pertahanan, ekonomi, tata internasional dan kepentingan ideologi. 19 Padelfort dan Lincoln membaginya menjadi kepentingan kemanan nasional, peningkatan ekonomi, peningkatan kekuatan nasional, dan prestise nasional.20 Selanjutnya, dalam analisis, penulis juga menggunakan konsep Eropa I dan II,21 dimana Diez T. dan Wiener A. menyatakan, bahwa babak baru NATO ialah bagaimana melihat peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di NATO. Sehingga, muncul sebuah paradigma “meng-Amerikaserikat-kan NATO”, yang menitikberatkan pada usaha Amerika Serikat untuk selalu menjadi dominan di tubuh NATO. Amerika Serikat ingin memposisikan NATO dibawah pengaruh dan kendalinya “to make NATO under US”. Di sisi lain negara-negara Eropa melihat dominasi Amerika Serikat di NATO sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Eropa. Negara-negara Eropa melihat bahwa, jika dominasi Amerika Serikat dibiarkan terusmenerus, maka dominasi tersebut akan menjadi wujud kekuatan baru Amerika Serikat untuk menguasi Eropa. Sebagai akibatnya, memberi ruang untuk saling mendominasi dan celah rivalitas antara Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa berupaya untuk memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata lain, Eropa ingin “me-NATO-kan Amerika Serikat” agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa “to make US under NATO”. Selanjutnya, untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan, dalam hal ini Robert Cox dan Harold Jacobson menjelaskan bahwa, proses pengambilan keputusan 19 Donald E. Neuchterin, dalam Bakrie, Op. cit., hal. 62. Padelfort dan Lincoln, dalam Bakrie, Loc. cit. 21 Diez T., dan Wiener A., 2009, Introducing the Mosaic of Integration Theory in Wiener A., Diez T., European Integration Theory (2nd edition), London: Oxford University Press, hal. 22. 20 14 dalam suatu organisasi internasional dapat dibedakan menurut klasifikasi yaitu representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions, operating decision, rule-supervisory decisions, boundry decision, dan terakhir, symbolic decision.22 Robert Cox dan Harold Jacobson melihat bahwa, dalam setiap proses pengambilan keputusan terdapat banyak alternatif yang dapat mempengaruhi pihak pengambil keputusan. Para aktor dituntut lebih jeli dalam memilih alternatif yang ada untuk membuat, memutuskan dan mempengaruhi kebijakan. Representational decisions, merupakan keputusan yang akan mempengaruhi keanggotaan dalam suatu organisasi internasional serta merupakan perwakilan dalam badan-badan internal dalam organisasi tersebut. Keputusan ini meliputi keputusan mengenai pengakuan dan atau pengeluaran anggota dalam organisasi, pengesahan suatu mandat, penentuan wakil-wakil yang duduk dalam badan-badan eksekutif serta komite. Programatic decisions, merupakan keputusan dari suatu alokasi strategis dari sumber-sumber organisasi yaitu hasil negosiasi antaraktor menyangkut tujuan serta penekanan terhadap program-program organisasi. Rule-creating decision, keputusan ini berkenaan dengan pembentukan norma-norma atau aturan-aturan dalam ruang lingkup organisasi. Hasil dari keputusan ini biasanya bersifat formal seperti konvensi, persetujuan ataupun resolusi. Symbolic decision, merupakan suatu keputusan yang penekanannya pada isu-isu simbolik terhadap penerimaan suatu tujuan ataupun ideologi yang didukung oleh suatu kelompok aktor ataupun legitimasi yang telah diterima oleh elit-elit yang dominan. 22 T May Rudy, 2002, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung: PT. Refika Aditama, hal. 79-80. 15 Adapun, kerangka berpikir pembahasan ini digambarkan dalam bagan berikut: Bagan 1. Kerangka Pikir North Atlantic Treaty Organization dalam perspektif Perancis dan Amerika Serikat Perancis (veto right country) vs Amerika Serikat (veto right country) “decission making model and procedural” NATO Faktor Internal -Kepentingan Nasional Negara anggota -Kebijakan bidang Pertahanan dan Keamanan -Bentuk/model Pengambilan Keputusan Faktor Eksternal Perubahan Dimensi Keamanan di NATO: -Dimensi Tradisional (Periode Perang Dingin) -Non-Tradisional (Pasca Perang Dingin) contoh kasus Penyelesaian Krisis Libya Lingkungan Masyarakat Internasional Sumber: diolah sendiri berdasarkan kerangka konseptual dan batasan masalah. Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa posisi Perancis dan Amerika Serikat memiliki peran untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di NATO. Keseimbangan ini sesuai dengan kepentingan nasional negara masing-masing. Dengan demikian, memberi ruang rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO. 16 E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tipe deskriptif, yaitu penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan fakta empiris disertai argumen yang relevan. Kemudian, hasil uraian tersebut dilanjutkan dengan analisis untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik. Tipe penelitin deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena yang terjadi yang relevan dengan masalah yang diteliti. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO dan bentuk rivalitasnya, kemudian menganalisis pengaruhnya terhadap NATO. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data, penulis menelaah sejumlah literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, dokumen, artikel dalam berbagai media, baik internet maupun surat kabar harian. Adapun bahan-bahan tersebut diperoleh dari beberapa tempat yang telah penulis kunjungi, yaitu: a. Kedutaan Besar Perancis untuk Indonesia di Jakarta. b. Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. c. Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta. d. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Jakarta. e. Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta. f. Perpustakaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik LIPI di Jakarta. g. Perpustakaan Freedom Institute di Jakarta. h. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia di Depok Jakarta Selatan. 17 3. Jenis Data Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur. Seperti buku, jurnal, artikel, majalah, handbook, situs internet, institut dan lembaga terkait. Adapun, data yang dibutuhkan adalah data yang berkaitan langsung dengan penelitian penulis tentang kepentingan Perancis dan Amerika Serikat serta data tentang NATO. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis data hasil penelitian adalah teknik analisis kualitatif. Adapun dalam menganalisis permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian menghubungkan fakta tersebut dengan fakta lainnya sehingga menghasilkan sebuah argumen yang tepat. Sedangkan, data kuantitatif memperkuat analisis kualitatif. 5. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan oleh penulis ialah metode deduktif, yaitu penulis mencoba menggambarkan secara umum masalah yang diteliti, kemudian menarik kesimpulan secara khusus. 18 BAB II TELAAH PUSTAKA A. Konsep Power Konsep power telah menjadi sebuah konsep yang begitu kompleks digunakan dalam ranah politik internasional, terutama bagi penstudi hubungan internasional dewasa kini. Sejak terjadinya Perang Dunia I, menyusul Perang Dunia II, hingga pada periode Perang Dingin dan setelahnya, konsep power merupakan salah satu konsep yang paling utama digunakan untuk menjelaskan beberapa fenomena di atas. Perubahan fenomena di atas tentu saja diikuti dengan perubahan ruang lingkup hubungan internasional, dimana konsep-konsep dalam studi hubungan internasional turut mengalami perubahan dan pergeseran. Seiring dengan perkembangan tersebut, konsep tentang power turut mengalami perkembangan, dalam hal ini dari dimensi tradisional menuju dimensi non-tradisional yang semakin kompleks. Power secara harfiah berarti “kekuatan” atau “kekuasaan”. Kekuasaan yang dimaksud ialah kekuasaan atas diri sendiri dan di luarnya. Konsep power telah banyak diperdebatkan oleh para ahli dan penstudi hubungan internasional. Kaum realis menganggap bahwa power didasarkan pada kekuatan militer, sementara kaum idealis menganggap power merupakan akumulasi seluruh komponen negara untuk mencapai kesejahteraan. Menurut kaum liberal, power ditentukan oleh kekuatan ekonomi. Sedangkan, menurut Marxisme, power ditentukan oleh kepemilikan faktor produksi. Dari berbagai pandangan ini, ada baiknya peneliti menjelaskan dimensi power agar lebih memudahkan dalam menganalisis masalah. 19 1. Traditional Power Power secara tradisional mengacu pada pemahaman realisme yang menyatakan bahwa negara adalah aktor tunggal yang memiliki kekuatan untuk menjalankan politik internasional dalam usaha mencapai kepentingan nasional negara. Untuk mendukung hal tersebut, maka ia harus ditopang oleh kekuatan maksimum negara. Adapun, yang paling mendasar adalah kekuatan militer. Hal ini tentu saja sesuai dengan kondisi lingkungan internasional pada era tersebut. Pada periode Perang Dingin, power dipandang hanya melekat pada atribut negara sebagai aktor tunggal. Negaralah yang berhak mengendalikan kekuatan militer untuk kemudian menjadi tolak ukur dalam menjalankan politik luar negerinya. Kekuatan suatu negara sangat ditentukan oleh kapabilitas militer. Negara yang paling baik sistem militernya akan dengan segera menjadi aktor unggul dalam lingkungan politik internasional. Sejalan dengan pemahaman ini, K. J. Holsti, menyatakan bahwa “power merupakan kemampuan maksimum suatu negara untuk menguasai perilaku negara lain. Untuk itu, power setidaknya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu pengaruh (influence) dan kapabilitas (capability)”.23 Adapun, defenisi power lebih spesifik dikemukakan oleh Jr. Chas W. Freeman: The power of states is measured by their ability “to alter” and “to chanel” the behaviour of other states. It rest on their will to apply their national strength and potential in contest with other. A state’s estimate of its own power helps decide the degree to which it will insist on its views and take risks to see them prevail. 24 23 Anak Agung Banyu Prawita dan Y. M. Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 64. 24 Jr. Chas W. Freeman, dalam Sriyono, Loc. cit. 20 Sementara, Morgenthau, seorang tokoh realisme tradisional mendefenisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik di mana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B. Adapun subyek yang dimaksud di sini adalah negara sebagai aktor tunggal yang memiliki kepentingan nasional (national interrests). Selanjutnya, ia jelaskan bahwa: Power bisa terdiri dari apa saja yang menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang atas orang lain (dan itu) meliputi semua hubungan sosial yang mendukung tujuan (pengendalian) itu, mulai dari kekerasan fisik sampai ke hubungan psikologis yang halus yang dipakai oleh pikiran seseorang untuk mengendalikan pikiran orang lain.25 Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan memelihara kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan power meliputi seluruh hubungan sosial, mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melalui mana seseorang bisa mengontrol orang lain.26 2. Non-Traditional Power Setelah berakhirnya Perang Dingin, konsep tentang power dipandang tidak hanya melekat pada sebuah negara (state-focused), melainkan telah masuk pada ranah atribut perseorangan/individu, kelompok, dan juga organisasi internasional yang lebih bersifat flekibel (non-state-focused). Menurut Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan dalam kamus International Relations: The Key Concepts, menyatakan bahwa: National power is contextual in that it can be evaluated only in terms of all the power ‘elements’ (such as military capability, economic resources, and population size), and only in relation to another player or players and the Hans J. Morgenthau, dalam Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, hal. 117. 26 Morgenthau, Op. cit., hal. 9. 25 21 situation in which power is being exercised... Closely allied to all this is the fact that national power is dynamic, not static.27 Adapun, defenisi power yang lebih modern diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton dalam Pidatonya: We must use what has been called “smart power”, the full range of tools at our disposal ––diplomatic, economic, military, political, legal and cultural, picking the right tool or combination of tools for each situation. With smart power, dilomacy will be the vanguard of our foreign policy.28 Defenisi di atas memiliki ruang lingkup yang sangat kompleks, dimana elemenelemen power tidak hanya terletak pada kekuatan militer, namun juga dalam hal diplomasi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Adapun dalam implementasinya, setiap negara bebas memilih di antara beberapa elemen di atas atau dengan melakukan kombinasi untuk menjalankan politik luar negeri. Sedangkan, makna power menurut Director of the Governance Program of the International Diplomatic Academy Paris, Bertrand De La Chapelle, menyatakan bahwa: La puissance est la capacite a produire des effets deires. Traditionnallelement L’odre international est decrit par des expressions telles que “l’equilibre des puissances” entre diverses nations reparties selon un ordre hierarchique d’influence resultant generalement des conflits passes ou, plus recemment, de la domination economique. (Power is the capacity to produce desired effects. Traditional ways of describing the international order have used expression such as “ Balance of power”, with various nations sorted in a pecking order of influence, usually resulting from past military conflicts or ––more recently, economic dominance.)29 Defenisi di atas menjelaskan, bahwa elemen baru power tidak hanya bersumber dari kekuatan militer secara tradisional, tetapi lebih dari itu, kekuatan ekonomi telah Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, 2002, International Relations: The Key Concepts, London: Routledge, hal. 253. 28 Olivier Poivre D’Arvor, Winter, 2010, “The Smart Use of Soft Power”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2, hal. 214. 29 Bertrand De La Chapelle, Automne, 2010, “Territoire, Puissance et Gouvernance a l’ere Numerique”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 5, hal. 36. 27 22 menjadi sumber kekutan baru yang perlu dipertimbangkan oleh suatu negara. Dimana perkembangan makna power dapat dilihat dari kekuatan militer secara tradisional dan kekuatan ekonomi secara non-tradisional dewasa kini. Selanjutnya, memahami power dalam hubungan antaraktor, harus dapat dibedakan antara “kekuasaan relatif” (relative power) dan “struktur kekuakasaan” (structural power), dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Analytically, one can distinguish between four separate but related structures of power in international relations: 1.the knowledge structure refers to the power “to influence” the ideas of others; 2.the financial structure refers to the power “to restrict or facilitate” their access to credit; 3.the security structure shapes their prospects “for security”; 4.the production structure “affects their chances” of a better life as producers and as consumers.30 Dalam interaksi hubungan internasional, “kekuasaan relatif” suatu negara dapat diketahui melalui perbandingan kekuatan antar satu negara dengan negara lainnya dengan cara membandingkan elemen atau indikator sebuah kekuasaan. Penafsiran “kekuasaan relatif” bersifat dinamis dan tidak statis, dimana bobot atau level kekuasaan suatu negara dapat berubah-ubah pada setiap waktu. Dalam hal ini bergantung pada negara pembandingnya. Sedangkan, “struktur kekuasaan” merupakan elemen-elemen utama (structure shapes) yang membangun dasar kekuasaan (production structure) tersebut. Semakin baik struktur sebuah kekuasaan, maka akan semakin kuat sumber dan perolehan kekuasaannya. Selanjutnya, dalam praktiknya, siklus kekuasaan suatu negara lebih sederhana terdiri dari “penghasil kekuasaan” (producers) dan “pengguna” atau “pemakai kekuasaan” (consumers). Dalam hal ini, negara dapat sekaligus sebagai penghasil dan pemakai kekuasaan. 30 Griffiths dan O’Callaghan, Op. cit., hal. 256. 23 3. Dimensi Power: dari konsep Tradisional menuju Non-Tradisional Pandangan tentang power memiliki dimensi yang berbeda sebelum dan setelah periode Perang Dingin terjadi. Pada era Perang Dingin, power dipandang melalui kepemilikan dan postur militer negara. Sedangkan, pasca Perang Dingin, power tidak hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga berkaitan dengan kekuatan politik-ekonomi suatu negara. Sejalan dengan pemikiran ini, Michael Sheehan, “power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti yang tersebut di atas, tetapi juga menyangkut kemampuan suatu negara dalam mempengaruhi perilaku negara lain”.31 Adapun, Perilaku yang dimaksud ialah segala tindakan yang bersumber dari aktivitas suatu negara terhadap negara lain dalam segala jenis interaksi. Power secara tradisional dan non-tradisional memberikan makna yang sama dalam hal fungsi dan tujuan power tersebut dilaksanakan. Namun, konsepsi di atas juga secara jelas menunjukkan perbedaan dalam hal sumber (resource), jenis (type), dan kepemilikan (subject) kekuasaan. Bila pada masa Perang Dingin, power bersumber dari struktur dan kepemilikan militer yang canggih, dengan tipe power adalah “hard power”, maka pada dewasa kini power tidak hanya bersumber pada militer semata, tetapi juga berasal dari sumber daya alam dan manusia yang dimiliki oleh negara, baik itu yang nampak atau tidak. Selain itu, konsentrasi power pada dewasa ini cenderung lebih halus dan bersifat kooperatif. Adapun, power sebagai unit multidimensional, memiliki beberapa dimensi utama. Deutsch mengemukakan tiga dimensi power, yaitu scope (ruang lingkup 31 Michael Sheehan, 1996, The Balance of Power: History and Theory, New York: Routledge Publishing, hal. 7. 24 kekuasaan), domain (arah dan tujuan kekuasaan), dan range (intensitas kekuasaan). Dimensi power ini termasuk dalam golongan yang spesifik dan dapat diukur oleh setiap yang menjalankan kekuasaan tersebut. 32 Dimensi scope merupakan penunjukkan power atas suatu kumpulan atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu. Adapun, hubungan dan urusan ini secara efektif tunduk pada kekuasaan pemerintah, meliputi semua tipe kegiatan yang coba diatur oleh pemerintah, baik internal maupun eksternal. Ruang lingkup kekuasaan internal dapat diukur dengan seberapa banyak kegiatan yang dipengaruhi oleh pemerintah. Dalam komponen eksternal, scope ini dapat diukur dengan seberapa banyak bidang kegiatan internasional yang dipengaruhi negara tersebut. Dimensi domain terkait arah power tersebut ditujukan. Meliputi “kepada apa” (to what) dan “siapa” (to whom) power tersebut dilaksanakan. Lazimnya, power dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan. Domain kekuasaan dimaknai sebagai sekumpulan orang yang perilakunya benar-benar berubah akibat penerapan kekuasaan. Domain kekuasaan terdiri atas: internal domain meliputi wilayah dan populasi dalam batas-batas geografis suatu negara, dan eksternal domain meliputi wilayah dan populasi di luar batas geografis negara, tetapi masih dalam wilayah pengaruh. Adapun, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan atau dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di dalam domainnya. Range power juga dibagi menjadi dua komponen yaitu: komponen 32 Mas’oed, Op. cit., hal. 121. 25 internal (dalam negeri) dan eksternal (luar negeri).33 Range kekuasaan biasanya dipengaruhi oleh intensitas suatu negara dalam berinteraksi dengan negara lain, dalam hal ini juga termasuk kualitas hubungan interkasi sesuai dengan kemampuan negara tersebut dalam membangun suatu kekuasaan. Selanjutnya, dimensi power yang lainnya menurut Baldwin yaitu costs dan means. Adapun, costs merupakan biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan terhadap penilaian pengaruh.34 Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan oleh salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan. Sedangkan, means merupakan alat bagi terlaksananya suatu kekuasaan yang dapat dilihat melalui klasifikasi jalur pengaruh dalam hubungan internasional, yakni jalur simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis. Adapun, menurut Anonim, Power meliputi tangible dan intangible power. Intangible power meliputi kepimimpinan dan kepribadian, efisiensi organisasi birokrasi, tipe pemerintahan, persatuan masyarakat, reputasi, dukungan luar negeri dan ketergantungan atas negara lain. Sedangkan, tangible power meliputi wilayah, populasi, sumber daya alam, kapasitas industri, kapasitas pertanian, kekuatan militer, kekuatan ekonomi, dan mobilitas domestik.35 Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa power menyangkut adanya hubungan antara dua negara atau lebih, dimana suatu negara memiliki dan menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk diproyekskan ke 33 Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe, 1990, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power, Bandung: Abardin, hal. 94. 34 Mas’oed, Op. cit., hal. 124. 35 Anonim, 2008, Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan Internasional, Surabaya: Universitas Airlangga. 26 negara lain, dengan tujuan untuk dapat mengendalikan perilaku negara lain. Dan, dapat dikatakan pula jika suatu negara memiliki power, namun tidak menggunakannya dalam kerangka interaksi dengan negara lain, maka negara tersebut dianggap tidak memiliki power. Dengan demikian, sebuah negara agar bisa dikatakan memiliki power, maka ia harus menjalakan power tersebut menurut kebutuhan negaranya. Adapun, implementasinya akan menjadi hasil sekaligus alat penentu level kekuasaan yang dimiliki oleh negara tersebut. Dalam hubungan internasional power sangat erat kaitannya dengan kepentingan nasional dan tindakan politik suatu negara. Secara spesifik sebuah negara tentu saja memiliki kepentingan nasional. Dan, untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka negara tersebut harus memiliki power. Pada akhirnya power-lah yang menentukan tindakan politik suatu negara. Oleh karena itu, power sangatlah penting untuk mendukung penyelenggaraan politik luar negeri, terutama untuk mencapai kepentingan nasional dan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Semakin besar power yang dimiliki suatu negara, maka kemampuan negara tersebut untuk mempengaruhi negara lain semakin besar pula. Power dapat dilakukan melalui jalan kekerasan seperti paksaan, atau dengan jalan melakukan kerjasama seperti kooperasi dan persuasi. Selanjutnya, dalam perkembangan hubungan internasional dan semakin kompleksnya interaksi antarnegara, power yang dimiliki oleh setiap negara memiliki postur, bobot dan tingkatan yang berbeda-beda, sehingga suatu keseimbangan kekuasaan ––balance of power muncul sebagai konsekuensi dari perbedaan tingkatan kekuasaan dari setiap negara. 27 B. Konsep Kepentingan Nasional Morgenthau menegaskan bahwa mengejar kekuasaan merupakan kepentingan nasional dari setiap negara.36 Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang dapat membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerjasama. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dipandang sebagai sarana sekaligus sebagai tujuan dari tindakan politik internasional. Dengan demikian, kepentingan nasional seyogyanya harus diperjuangkan. Dalam pandangan Morgenthau, konsep kepentingan nasional memuat arti minimum yang inheren di dalamnya. Adapun, arti minimum yang inheren di dalam konsep kepentingan nasional ialah kelangsungan hidup (survival). Kemampuan minimum negara ialah melindungi identitas fisik, politik, dan kulturalnya dari gangguan negara-bangsa lain. Setiap negara-bangsa harus mampu mempertahankan integritas teritorialnya (identitas fisik), mempertahankan rezim ekonomi-politiknya (identitas politik) yang bisa saja demokratis, otoriter, sosialis, atau komunis, dan memelihara norma etnis, religius, linguistik, dan sejarahnya (identitas kultural). Berdasarkan tujuan ini, para pemimpin negara memiliki kemampuan untuk menurunkan kebijaksanaan yang sifatnya spesifik terhadap negara lain, baik dalam bentuk kerjasama maupun konflik. Misalnya, perimbangan kekuatan, perlombaan senjata, pemberian bantuan asing, pembentukan aliansi, persaingan dalam bidang ekonomi industri dan propaganda. 36 Mas’oed, Op. cit., hal. 140-141. 28 Adapun, menurut Holsti, kepentingan nasional dapat diklasifikasi ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, core values, sesuatu yang dianggap paling vital bagi negara dan menyangkut eksistensi suatu negara. Kedua, middle range objectives, biasanya menyangkut tentang peningkatan derajat perekonomian suatu negara. Dan yang ketiga long range goals yaitu sesuatu yang bersifat ideal misalnya, keinginan untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.37 Menurut Wolfers, konsep kepentingan nasional dijelaskan bahwa: Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu bangsa, kemerdekaan dan kelangsungan hidup nasional. Namun kelangsungan hidup nasional diberi bermacam-macam interpretasi oleh bermacam-macam negara yang menghadapi kondisi yang berlainan.38 Interaksi antarnegara bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai persoalan yang dihadapi oleh suatu negara, termasuk faktor internal maupun eksternal. Yusuf menjelaskan mengenai kepentingan nasional sebagai berikut: Kepentingan nasional termasuk dalam visium yang diperjuangkan oleh suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional. Konsep ini adalah buatan manusia yang dirumuskan oleh para ahli teori politik dan dipatuhi oleh kepentingan golongan dan kepentingan para perumusnya.39 Untuk mencapai kepentingan nasional, suatu negara dituntut untuk melakukan interaksi dengan negara lain. Berpijak pada berbagai jenis interaksi tersebut, maka setiap negara membutuhkan serangkaian kebijakan politik luar negeri. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Coulumbis dan Wolfe, bahwa “politik luar negeri merupakan 37 K. J. Holsti dalam Bakry, Loc. cit. Arnold Wolfers, dalam Robert L. Pfatzgraff, Jr dan James E. Dougherty, 1971, Contending Theories in International Relations, New York: JB. Lippncot CO, hal. 55. 39 Yusuf, Loc. cit. 38 29 sintesis dari tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas.”40 Sedangkan, Frankel, menyatakan bahwa “politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri dan tidak terpisah dari tujuan nasional dan tetap merupakan komponen atau unsur dari dalam negeri.”41 Adapun, tujuan setiap negara dalam interaksinya dengan negara lain ialah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional menjadi alasan utama bagi tindakan setiap negara. Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pencapaian kepentingan nasional yang dapat dilakukan melaui kerjasama, persaingan, ataupun konflik. Jenis kepentingan nasional menurut Donald E. Neuchterin, yaitu kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi, kepentingan tata internasional dan kepentingan ideologi.42 Sedangkan, Padelfort dan Lincoln, membagi jenis kepentingan nasional menjadi kepentingan kemanan nasional, kepentingan pengembangan sektor ekonomi, kepentingan peningkatan kekuatan nasional dan kepentingan prestise nasional.43 Selanjutnya, kepentingan nasional dalam perspektif Amerika Serikat menurut U.S. National Security terbagi dalam tiga kategori, sebagai berikut: First order: vital interests. This requirest protection of the homeland and areas and issues directly affecting this interest. This may reuire total military mobilization and resource commitment. Second order: critical interests. These are areas and issues that do not directly affect the survival of the United States or pose athreat to the homeland but in the long run have a high propensity for becoming first order priorities. Third order: serious interests. These are issues that do not critically affect First and Second order interests yet cast some shadow over such interest.44 40 R. Soeprapto, 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 187. 41 J. Frankel, 1990, Hubungan Internasional, Jakarta: terjemahan ANS Bersaudara, hal. 55. 42 Padelfort dan Lincoln, dalam Bakrie, Loc. cit. 43 Donald E. Neuchterin, dalam Bakrie, Op. cit., hal. 56. 44 Sam C. Sarkesian, John A. Williams, dan Stephen J. Cimbala, 2008, US National Security: Policymakers, Processes, and Politics, Unites States of America: Lynne Riener Publishers, Inc., hal. 9. 30 Dalam pertahanan domestik, kepentingan vital “vital interests” memerlukan upaya yang terkoordinasi dari semua instansi pemerintahan, terutama pertahanan terhadap terorisme dan perang informasi. Fokus pertahanan ini dapat dilakukan melalui penciptaan departemen tingkat kabinet keamanan dalam negeri seperti proposal Presiden George W. Bush setelah serangan 11 September 2001. Tujuannya adalah untuk mengkoordinasikan upaya sejumlah lembaga dalam melawan terorisme di Amerika Serikat. Kepentingan Kritis “Critical interests” diukur melalui sejauh mana negara menjaga, memelihara, dan memperluas sistem yang terbuka. Banyak juga yang berpendapat bahwa kekuatan moral negara sangat penting dalam membentuk kepentingan nasional. Kepentingan serius “serious interests” ialah upaya negara yang difokuskan pada penciptaan kondisi yang menguntungkan untuk mencegah agar kepentingan ketiga tetap berjalan. Semua jenis kepentingan di atas tidak memiliki dampak langsung pada urutan kepentingan, tetapi harus dilihat dalam setiap kasus atau peristiwa yang selanjutnya mendapat penyesuaian dengan jenis-jenis kepentingan ini. C. Konsep Eropa I dan II Konsep Eropa I dan II merupakan konsep baru dalam memahami konstalasi politik di Eropa. Konsep ini masih tergolong muda sebab keberadannya baru dipahami sebagai sebuah teori. Namun, dalam kasus tertentu dapat dijadikan sebagai kerangka pikir dalam memahami proses integrasi Eropa, baik dalam bidang Pertahanan, maupun Ekonomi politik internasional kontemporer Eropa. Konsep ini juga tidak terlepas dari kerangka kerja integrasi Uni Eropa yang memiliki keterkaitan 31 dengan landasan pertahanan keamanan Eropa. Dimana, isu-isu perluasan anggota Uni Eropa memiliki hubungan dekat dengan perluasan keanggotaaan aliansi di Eropa, dalam hal ini NATO. Oleh karena itu, untuk bisa memahami kedua-duanya, maka pemahaman tentang dinamika antaranggota NATO harus dapat diketahui dalam rangka memahami konsep ini. Konsep Eropa I dan II yang dikemukakan oleh Diez T. dan Wiener A.45 adalah terkait organisasi pertahanan Eropa, dalam hal ini NATO. Babak baru NATO ialah bagaimana melihat peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di NATO. Sehingga, muncul sebuah paradigma “meng-Amerikaserikat-kan NATO” yang menitikberatkan pada usaha Amerika Serikat untuk selalu mendominasi NATO “to make NATO under US”. Amerika Serikat ingin memposisikan NATO dibawah pengaruh dan kendalinya. Di sisi lain negara-negara Eropa melihat dominasi Amerika Serikat di NATO sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Eropa. Negara-negara Eropa melihat, jika dominasi Amerika Serikat dibiarkan terus-menerus, maka dominasi tersebut akan menjadi wujud kekuatan baru Amerika Serikat untuk menguasi Eropa. Sebagai akibatnya, memberi ruang untuk saling mendominasi dan rivalitas antara Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa berupaya untuk memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata lain, bahwa negara-negara integrasi Eropa di Eropa ingin “me-NATO-kan Amerika Serikat” agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa “to make US under NATO.” 45 Diez T., dan Wiener A., Loc. cit. 32 D. Decission Making Theory Setiap aktor hubungan internasional, baik sebagai pembuat ataupun hanya sebagai pelaksana suatu kebijakan dari kelembagaan internasional, maka proses pengambilan keputusan bagi masing-masing aktor memiliki model dan tujuan yang berbeda-beda. Adapun, menurut Robert Cox dan Harold Jacobson menjelaskan bahwa, proses pengambilan keputusan dapat dibedakan menurut tujuh klasifikasi, yaitu representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions, operating decision, rule-supervisory decisions, boundry decision, dan symbolic decision.46 Hal ini menujukkan bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan terdapat banyak pilihan bagi pihak pengambil keputusan. Berikut penjelasan lebih rinci dari masing-masing jenis pengambilan keputusan yang disebutkan oleh Robert Cox dan Harold Jacobson: 1. Representational decisions, merupakan keputusan yang akan mempengaruhi keanggotaan dalam suatu organisasi internasional serta merupakan perwakilan dalam badan-badan internal dalam organisasi tersebut. Keputusan ini meliputi keputusan mengenai pengakuan dan atau pengeluaran anggota dalam organisasi, pengesahan suatu mandat, penentuan wakil-wakil yang duduk dalam badan-badan eksekutif serta komite. 2. Programatic decisions, merupakan keputusan dari suatu alokasi strategis dari sumber-sumber organisasi, yaitu hasil negosiasi antar aktor menyangkut tujuan serta penekanan terhadap program-program organisasi. 46 Rudy, Loc. cit. 33 3. Rule-creating decision, yaitu keputusan yang berkenaan dengan pembentukan norma-norma atau aturan di lingkup organisasi internasional. Hasil keputusan ini biasanya bersifat formal seperti konvensi, persetujuan ataupun resolusi. 4. Operational decision, yaitu berhubungan dengan pemberian suatu pelayanan terhadap pengunaan sumber-sumber organisasi berdasarkan aturan yang disetujui serta kebijakan organisasi yang telah disetujui pula. 5. Rule-supervisory decision, yakni keputusan yang meliputi procedural baik procedural yang paling tinggi sampai paling rendah. Prosesnya melalui pengumpulan informasi, pembuktian terhadap pelaksanaan ataupun pelanggran terhadap aturan dalam organisasi serta pemberian sangsi atau hukuman terhadap pelanggran tersebut. 6. Bourdary decision, yaitu keputusan yang menekankan pada hubungan eksternal organisasi dengan struktur organisasi serta struktur regional. 7. Symbolic decision, merupakan suatu keputusan yang menekankan pada isu-isu simbolik terhadap penerimaan suatu tujuan ataupun ideologi yang didukung oleh suatu kelompok aktor ataupun legitimasi yang telah diterima oleh elit-elit yang dominan. Adapun, menurut William D. Coplin, bahwa untuk menganalisa kebijakan luar negeri suatu negara, maka fokus utamanya ialah melihat peran pemimpin negara untuk suatu kebijakan luar negeri.47 Adapun, suatu tindakan politik luar negeri negara tersebut dianggap sebagai akibat dari tiga pertimbangan yang mempengaruhi para 47 William D. Coplin, 1992, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Bandung: CV Sinar Baru, hal. 29-30. 34 pembuat keputusan. Pertama, kondisi politik domestik negara termasuk faktor budaya yang mendasari tingkah laku manusianya. Kedua, situasi ekonomi dan militer di negara tersebut termasuk faktor geografis yang menjadi pertimbangan untuk pertahanan dan keamanan. Ketiga, konteks internasional sebagai proyeksi dan manifestasi dari politik domestik terhadap negara yang menjadi tujuan politik luar negerinya. Kebijakan luar negeri dalam konteks ini merupakan keputusan sebagai bentuk dari akumulasi perilaku yang diambil oleh negara-negara dalam interaksinya dengan negara lain. Selain itu, kebijakan luar negeri merupakan suatu bentuk perumusan kebijakan di dalam negeri yang kemudian diimplementasikan keluar negeri sebagai sebuah upaya dalam mencapai kepentingan nasional. 35 BAB III NATO DALAM PERSPEKTIF PERANCIS DAN AMERIKA SERIKAT A. NATO dalam dimensi Tradisional dan Non-Tradisional 1. NATO dalam Dimensi Tradisional North Atlantic Treaty Organization (NATO) secara tradisional dipahami dalam bentuk kerangka kerja Perang Dingin. NATO pada periode Perang Dingin ialah pengimbang terhadap kekuatan blok Timur pimpinan Uni Soviet yang teraliansi dalam Pakta Warsawa. Adapun, NATO merupakan aliansi negara-negara blok Barat sekutu Amerika Serikat. Perkembangan hubungan internasional pada kurun waktu sejak berakhirnya Perang Dunia II tak lepas dari kerangka kerja Perang Dingin. NATO terbentuk pada pasca Perang Dunia II tahun 1949. Pada dasarnya, NATO merupakan suatu aliansi militer antarpemerintah yang menerapkan sistem collective defense dimana negara anggotanya setuju untuk melakukan pertahanan bersama sebagai respon terhadap ancaman eksternal. Secara tradisional, ancaman eksternal NATO ialah agresi Uni Soviet dan Pakta Warsawa. Adapun, tujuan dasar NATO secara formal terdapat dalam mukaddimah North Atlantic Treaty, yaitu: The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and all governments... They seek to promote stability and well-being in the North Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective defence and for the preservation of peace and security.48 Adapun, misi NATO selama Perang Dingin menurut Marco Rimanelli, ialah: 48 “Text of The North Atlantic Treaty, 4 April 1949”, Op. cit., pada 5 Januari 2012 pukul 07.00 WITA. 36 NATO’s slow response to outside threats reflected its consesnus-based on three missions during the Cold War period: conventional and nuclear self-defense against the Soviet-Warsaw Pact threat; regional alliance-building and forces standardisation; and integration of new members.49 Lebih spesifik lagi, Sekretaris Jenderal NATO yang pertama, Lord Ismay, menyatakan bahwa tujuan utama NATO ialah “to keep the Russians out, the Americans in, and the Germans down”.50 Bagi perspektif Eropa, tujuan original NATO ialah untuk memulihkan kepercayaan Eropa kepada Amerika Pasca-Perang Dunia II (to keep the Americans in). Bagi Amerika, fokusnya untuk menghalangi agresi Soviet, atau menjaga Rusia tetap di luar (to keep the Russians out). Selanjutnya, untuk menjaga Jerman tidak bangkit kembali secara militer (to keep the Germans down) yang diinterpretasikan secara bertahap dengan menghubungkan Jerman dalam suatu institusi multilateral Eropa dan membantu pemulihannya. Adapun, struktur NATO sebagai “Major NATO organs” terdiri atas: a. North Atlantic Council, terdiri dari Foreign, Economic, dan Defense Minister, yang memutuskan masalah-masalah terkait kebijakan politik militer; b. Military Committe, terdiri dari chief staff of member countries, yang menformulasikan kebijakan startegi militer atas pertimbangan dari Dewan; c. Staff Secretariat dikepalai oleh seorang Secretary General.51 NATO dibentuk di Washington D.C, Amerika Serikat pada tanggal 4 April 1949 dengan pasal utama persetujuan tersebut ialah Pasal 5, yang berisi: 49 Marco Rimanelli, 2009, Historical Dictionary of NATO and other International Security Organizations, United Stated of America: Scarecrow Press, Inc, hal. 21. 50 Arsi Dwinugra Firdausy, 1998, Motivasi Hongaria Masa Pemerintahan Koalisi Konservatif Untuk Bergabung Dengan NATO, Skripsi S-1, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Yogyakarta: UGM, hal. 72. 51 Laurence Ziring, Jack C. Plano, Roy Olton, 1995, International Relation: A Political Dictionary, California: ABC-CLIO, Inc., hal. 179. 37 The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or North America shal.l be considered an attack against them all and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area. Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shal.l immediately be reported to the Security Council. Such measures shal.l be terminated when the Security Council has taken the measures necessary to restore and maintain international peace and security.52 Hingga saat ini NATO memiliki 28 anggota: 1949––Norwegia, Belgia, Kanada, Denmark, Islandia, Luxembourg, Portugal Italia, Belanda, Iggris, Perancis dan Amerika Serikat; 1952––Yunani dan Turki; 1955––Jerman Barat; 1982––Sapnyol; 1999––Republik Ceko, Polandia, Hongaria; 2002-2004––Estonia, Bulgaria, Latvia, Lithuania, Rumania, Slowakia, Slovenia; 2008––Albania dan Kroasia adalah negaranegara yang tergabung dalam Aliansi terakhir pada bulan April 2008. Awal pendiriannya tahun 1949, NATO beranggotakan 12 negara pendiri. Namun, dalam perkembangannya, membuka ruang bagi pembesaran dan perluasan anggota NATO. Penyisihan untuk pembesaran didasarkan pada Pasal 10 dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara, yang menyatakan “keanggotaan yang terbuka untuk setiap negara Eropa dalam posisi untuk memajukan prinsip-prinsip perjanjian ini.” Selain itu, perluasan anggota juga bertujuan untuk memberikan kontribusi pada keamanan wilayah Atlantik Utara. Pada tanggal 4 April 1949, seluruh menteri luar negeri dari 12 negara anggota menandatangani Perjanjian Atlantik Utara di Auditorium Departemen di Washington 52 “Text of The North Atlantic Treaty, 4 April 1949”, Loc. cit. 38 DC. Lima bulan setelah upacara penandatanganan, perjanjian disahkan oleh parlemen negara terkait, kemudian penyegelan keanggotaannya. Berikut para perwakilannya: 1. Belgia: M. Paul-Henri Spaak (Sekretaris Jenderal NATO, tahun 1957-1961); 2. Perancis: M. Robert Schuman (tokoh arsitek lembaga Eropa, memprakarsai gagasan dasar-dasar pembentukan Masyarakat Pertahanan Eropa); 3. Kanada: Mr Lester B. Pearson (menegosiasikan Perjanjian dan merupakan satu dari “Tiga Pria Bijaksana” yang menyusun laporan kerjasama nonmiliter NATO, yang kemudian diterbitkan tahun 1956 di tengah krisis Suez); 4. Norwegia: Mr Hal.vard M. Lange (salah satu dari “Tiga Pria Bijaksana” yang menyusun laporan kerja sama non-militer dalam NATO); 5. Britania Raya: Mr Ernest Bevin (drive utama di balik penciptaan NATO dan sebagai Menteri Luar Negeri 1945-1951, ia menghadiri pertemuan formatif pertama dari Dewan Atlantik Utara); 6. Amerika Serikat: Mr Dean Acheson (Menteri Luar Negeri AS 1949-1953, ia menghadiri dan memimpin rapat Dewan Atlantik Utara); 7. Belanda: Dr D.U. Stikker (Sekretaris Jenderal NATO, 1961-1964); 8. Denmark: Mr Gustav Rasmussen; 9. Portugal: Dr Jose Caerio da Matta; 10. Iceland: Mr Bjarni Benediktsson; 11. Italia: Carlo Sforza Count; 12. Luxembourg: Bech Joseph M. Secara tradisional, keberadaan NATO tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian peperangan tahun 1945. Penyelesaian tahun 1945 yang mengakhiri kekerasan Perang 39 Dunia II dalam waktu yang sama menciptakan awal dari periode Perang Dingin. Adapun, secara garis besar, paradigma Perang Dingin 1949-1989 dijelaskan oleh Juwono terbagi dalam beberapa tahap perkembangan. Juwono menilai secara politis Perang Dingin terbagi atas tahap 1947-1963 dengan beberapa puncak persitiwa seperti Blokade Berlin 1949, Perang Korea 1950-1953, Krisis Kuba 1962 dan Perjanjian Proliferasi Nuklir 1963.53 Selanjutnya selama Perang Vietnam 1965-1975, paradigma Perang Dingin terbatas pada persaingan berkelanjutan antara AS dan Uni Soviet di beberapa kawasan strategis dunia. Salah satu hal terpenting dalam periode Perang Dingin menurut Juwono ialah peristiwa Perang Arab-Israel 1967-1973. Perundingan senjata strategis yang mulai dirintis dan dikukuhkan melalui Perjanjian SALT I juga menjadi salah satu ciri periode ini. Selama kurun waktu tersebut, isu-isu seperti pertentangan ideologis, perebutan wilayah pengaruh, pembentukan blok-blok militer, politik, bantuan ekonomi yang dilatarbelakangi kepentingan ideologis, spionasi militer dan pembangunan kekuatan nuklir menjadi tema penting. Namun, setelah berakhirnya Perang Dingin dengan jatuhnya Uni Soviet, maka konsep hubungan internasional berubah arah dengan tidak menitikberatkan lagi pada militer. Pada periode Perang Dingin, sistem internasional bersifat bipolar. Akan tetapi, dengan kemenangan blok barat, maka sistem internasional berubah menjadi uni polar ketika Perang Dingin berakhir. Dalam kondisi ini, isu-isu tentang hubungan internasional mengalami pergeseran di berbagai bidang. 53 Renato Mariani, 2004, “Book Review: Frank Schimmelfennig, The EU, NATO and the Integration of Europe: Rules and Rhetoric.”, dalam Journal of International Studies Vol. 33, hal. 56. 40 Pada periode Perang Dingin, dunia dibentuk dalam bipolarisasi kekuatan antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara dan Pakta Warsawa. Dalam masa ini, Amerika Serikat dan Sekutu yang berjuang bersama melawan fasisme terlibat dalam pertikaian politik yang saling bersaing memperebutkan hegemoni dan pengaruh politik di Eropa, Asia, dan dunia. Baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet sangat gencar dalam usaha memperjuangkan hegemoni dalam tatanan politik global awal tahun 1950-an sampai runtuhnya komunisme Uni Soviet tahun 1990-an. Dapat dipastikan, bahwa jika terjadi sengketa internal suatu negara atau di luarnya dikawasan manapun, maka masalah tersebut tak lepas dari campur tangan Amerika Serikat atau Uni Soviet sebagai pendukung utama. Sehingga dapat dipahami, bahwa konflik dingin dibentuk untuk memperebutkan sistem keamanan yang didasarkan pada keseimbangan simetris antara kekuasaan dan pencegahan. Aliansi Barat berpendapat bahwa nilai-nilai seperti demokrasi, hak asasi manusia dan aturan hukum serta sistem ekonomi didasarkan pada usaha bebas, sedangkan negara-negara Pakta Warsawa membela kolektivisme dan ideologi komunis. Pada Era Perang Dingin, dominasi Uni Soviet dan Amerika Serikat terhadap negara sekutunya menyebabkan konstalasi hubungan internasional diwarnai oleh kepentingan kedua negara. Persaingan antara keduanya mempertajam “balance of power” secara global pada pasca Perang Dunia II. Kepemilikan senjata nuklir oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet memastikan bahwa perang berpotensi membawa malapetaka bagi kedua blok. Sebab, mengancam kelangsungan hidup manusia dengan menggunakan senjata nuklir, strategi milter sering merujuk “balance of power 41 sebagai balance of terror.”54 Akibat dari kesimbangan ini, banyak bermunculan blok aliansi yang didasarkan pada persamaan ideologis. Hampir semua langkah diplomatik dipengaruhi oleh tema-tema ideologis yang kemudian dilengkapi dengan perangkat militer. Adapun, NATO sebagai sebuah aliansi pertahahnan militer ketika Perang Dingin harus bersaing dengan penyeimbangnya, Pakta Warsawa. Setelah berakhirnya Perang Dingin, NATO seolah kehilangan relevansi sebagai pakta pertahanan militer. NATO yang awalnya merupakan aliansi militer kini bertransformasi menjadi sebuah aliansi yang multi sektor. NATO tidak hanya fokus pada kekuatan militer, akan tetapi sudah multi fungsi. Bahkan, NATO telah menjadi pusat aliansi kerjasama ekonomipolitik pasca jatuhnya Uni Soviet. Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa. Negara anggota Pakta Warsawa sudah menyakini bahwa dengan bubarnya Uni Soviet, maka keberadaan Pakta Warsawa tidak dapat dipertahankan lagi. Untuk itu, dengan dibubarkannya Pakta Warsawa sebagai pesaing NATO di wilayah Eropa, maka NATO harus mengkaji kembali relevansi keberadaannya dan mencari peranperan baru agar para anggotanya tetap merasakan manfaat dari keanggotaan dalam aliansi ini. Oleh karena itu, beberapa perubahan secara struktur dalam kelembagaan NATO menjadi sebuah agenda baru bagi NATO dalam melihat konstalasi sistem internasional, baik yang bersifat militer maupun non-militer. Negara-negara anggota juga harus siap dalam menghadapi berbagai ancaman baru setelah periode Perang Dingin berakhir, memasuki abad 21 yang lebih kompleks. 54 Ainius Lasas, 2008, “Restituting Victims: EU and NATO Enlargements through the Lenses of Collective Guilt.”, dalam Journal of European Public Policy , hal. 98-116. 42 2. NATO dalam dimensi Non-Tradisional Keberadaan NATO pada pasca Perang Dingin sangat kompleks untuk dipahami. NATO yang pada awalnya merupakan sebuah aliansi militer (traditional pupose) berubah menjadi sebuah aliansi yang memiliki multi tujuan (non-traditional purpose). Setelah jatuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa, maka tidak terdapat lagi ancaman terhadap negara-negara anggota, sehingga NATO dianggap kehilangan relevansi. Namun, pada perkembangannya, NATO justru mengadopsi suatu agenda global dan memperluas keanggotaannya hingga memasukkan negara-negara bekas Uni Soviet lainnya melalui pertemuan KTT NATO. Perang Dingin, menurut Juwono Sudarsono (1996)55, secara resmi berakhir pada kurun waktu 1989-1990 dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur pada 3 Oktober 1990. Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991 bersamaan dengan mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara. Setelah berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya. Dalam masa ini, sektor keamanan adalah salah satu bidang yang paling terkena dampak perubahan. Pakta Warsawa runtuh, dan NATO berdiri sendiri tanpa perimbangan. Melihat ini, negaranegara anggota tidak tinggal diam. Oleh karenanya, berbagai reformasi struktur kelembagaan NATO mulai dilakukan. Perancis misalnya, di bawah pemerintahan Nicolas Sarkozi melakukan upaya modernisasi NATO. Melalui bentuk redefinisi dan pemeriksaan diri, maka dibuatlah sebuah postur NATO yang lebih baru. NATO 55 Mariani, Loc. cit. 43 diubah menjadi sebuah organisasi politik-militer dengan menambahkan dimensi politik. Adapun, struktur militer dan komando akan bertransformasi dalam usaha merespon ancaman kemanan abad ke-21. Arah NATO menjadi lebih global dengan menambah anggota baru dan menjalin kemitraan baru. Michael Ruhle,56 Senior Planning Officer dalam bidang Kebijakan Perencanaan dan Bagian Speechwriting Politik Divisi NATO, menjelaskan: NATO telah berubah dari sebuah organisasi tunggal-tujuan untuk sebuah lembaga multi-tujuan, bekerja sama untuk menciptakan lingkungan strategis yang lebih ramah. NATO memberikan kontribusi pada kemunculan arsitektur keamanan Euro-Atlantik. Hal. ini tidak benar-benar sebuah lembaga tapi arsitek. Arsitektur sebagai serangkaian proses politik penting yang membentuk lingkungan strategis, proses integrasi Eropa, evolusi dari Rusia, pengembangan hubungan transatlantik, dan evolusi manajemen krisis di wilayah EropaAtlantik. Dalam menciptakan lingkungan strategis yang lebih ramah, NATO sebagai organisasi internasional turut mengalami perkembangan. Perkembangan NATO terkait tujuan dan agenda globalnya sesuai dengan New Strategy Concept dapat dikelompokkan dalam dua hal, yaitu tujuan politik dan militer. Tujuan politik, NATO mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan mendorong usaha-usaha konsultasi dan kerja sama dalam bidang militer dan pertahanan keamanan untuk membangun kepercayaan dalam waktu yang berkepanjangan. Tujuan Militer: NATO berkomitmen menjaga perdamainan dan meresolusi konflik. Hal. ini telah dijelaskan dalam artikel 5 dari Perjanjian Atlantik Utara dan dibawah mandat PBB. Dalam operasi militer, NATO bisa saja sendiri atau bekerjasama dengan negara atau organisasi internasional 56 Joshua B. Spero, 2005, “Resensi Buku: Schimmelfennig Frank, Uni Eropa, NATO dan Integrasi Eropa dan Retorika Aturan”, dalam Review Slavia, hal. 64. 44 dalam usaha menciptakan stabilitas kawasan.57 Tujuan ini sesuai dengan hasil dari pertemuan tingkat tinggi di Roma pada tahun 199158, yaitu: 1. Menetapkan suatu dasar yang diperlukan bagi suatu lingkungan kemanan yang stabil di Eropa, yang merupakan dasar dari pertumbuhan institusi demokrasi dan merupakan tanggung jawab terhadap resolusi perdamaian untuk mencegah atau mengatasi perselisihan-perselisihan. 2. Aliansi mencoba untuk menciptakan suatu lingkungan yang mana tidak ada wilayah atau negara yang sanggup mengintimidasi atau memaksa negaranegara Eropa atau untuk menjatuhkan hegemoni terebut melalui suatu ancaman atau penggunaan kekuatan. 3. Sesuai dengan Artikel 4 dari North Atlantic Treaty, tugas aliansi sebagai suatu forum konsultasi atau dialog trans-atlantik bagi aliansi dalam berbagai pokok permasalahan yang mempengaruhi kepentingan vital dari para anggotanya, termasuk perkembangan yang mungkin memperlihatkan adanya bahaya terhadap keamanan mereka. 4. Aliansi menyelengarakan penangkalan (deterrence) dan pertahanan (defense) melawan setiap tindakan agresi yang mengancam wilayah setiap negara anggota NATO. 5. Aliansi mempertahankan suatu strategi yang seimbang dalam Eropa. 57 “NATO Programs”, http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_programs.htm, diakses pada tanggal 4 Februari 2012 pukul 07.00 WITA 58 “Declaration on Peace and Cooperation, 08 November 1991” http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_texts_23846.htm, diakses pada tanggal 6 Februari 2012 pukul 23.07 WIB. 45 Selanjutnya pada tahun 1999, konsep strategi NATO mengalami revisi untuk yang kedua kalinya. Konsep baru ini bertujuan untuk membangun komitmen aliansi tidak hanya pada pertahanan bersama tetapi juga pada perdamaian dan stabilitas wilayah Euro-Atlantic yang lebih luas. Termasuk di dalamnya adalah menyangkut perluasan tujuan NATO dalam bidang politik59, yaitu: 1. Pendekatan yang lebih luas terhadap keamanan termasuk di dalamnya faktor politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan, juga dalam bidang pertahanan. 2. Komitmen yang kuat kepada hubungan Trans-Atlantic. 3. Memperbaiki dan memelihara kapabilitas militer aliansi untuk memastikan efektifitas operasi militer. 4. Pengembangan kapabilitas negara-negara Eropa di dalam aliansi. 5. Terjaganya tindakan pencegahan konflik yang memadai dan prosedur serta srtuktur manajemen krisis yang baik. 6. Kemitraaan yang efektif dengan negara-negara Non-NATO berdasarkan kerjasam dan dialog. 7. Perluasan aliansi dan pelaksanaan kebijakan pintu terbuka pada negara yang berpotensi menjadi anggota baru. 8. Melanjutkan usaha-usaha terhadap kesepakatan yang menyangkut pengawasan, kesepakatan perlucutan senjata, dan nonpoliferasi. 59 NATO Handbook 2006, “NATO’s Public Diplomacy Division”, Brussel, hal. 19. 46 Revisis tujuan NATO untuk yang ketiga kalinya terjadi pada KTT Lisabon 201060, yang di dalamnya terdiri atas 38 point. Inti poinnya, yaitu: 1. Menegaskan ikatan antara negara anggota untuk membela satu sama lain terhadap setiap serangan, termasuk terhadap ancaman baru dengan keselamatan warga negara. 2. Berkomitmen untuk mencegah krisis, mengelola konflik dan menstabilkan situasi pasca konflik, termasuk bekerja lebih erat dengan mitra internasional, yang paling penting PBB dan Uni Eropa. 3. Menawarkan mitra di seluruh dunia melalui keterlibatan politik aliansi, dan berperan penting dalam membentuk pimpinan operasi NATO sesuai dengan berkontribusi anggota. 4. NATO berkomitmen untuk tujuan menciptakan kondisi sebuah dunia tanpa senjata nuklir, tetapi menegaskan bahwa, selama ada senjata nuklir di dunia, NATO akan tetap menjadi aliansi nuklir. 5. Menyatakan kembali komitmen perluasan keanggotan NATO terbuka bagi semua negara demokrasi Eropa yang memenuhi standar keanggotaan, karena pembesaran memberikan kontribusi untuk tujuan NATO dan keseluruhan kepentingan Eropa yang bebas dan damai. 6. NATO melakukan reformasi terus menerus menuju aliansi lebih efektif, efisien dan fleksibel, sehingga mampu menangkal ancaman untuk mencapai tingkat keamanan maksimum, untuk itu alokasi dana pertahanan perlu ditingkakan. 60 NATO New Strategic Concept, 2010, hal. 1. 47 Perjanjian di atas, menegaskan bahwa warga negara-negara anggota NATO bergantung pada NATO untuk membela negara sekutu, mengerahkan pasukan militer yang kuat di mana dan kapan diperlukan demi keamanan aliansi, dan membantu mempromosikan keamanan bersama mitra NATO di seluruh dunia. Dalam perkembangan, misi NATO akan tetap sama, yaitu memastikan aliansi tetap menjadi organisasi yang tak tertandingi dalam mempromosikan nilai-nilai kebebasan, perdamaian, keamanan dan bersama. Menurut Rimanelli, perubahan paling mendasar yang terjadi dalam struktur kelembagaan NATO pasca Perang Dingin dilihat dalam tiga hal. Pertama, integrasi regional dan perluasan keanggotaan NATO. Kedua, struktur kelembagaan keamanan yang baru, seperti North Atlantic Cooperation Council (NAC-C), Partnership for Peace (PFP), Euro Atlantic Partnership Council (EAPC), dan NATO-Russia dan NATO-Ukraina Charter. Ketiga, area misi keamanan NATO. Termasuk, keberhasilan NATO dalam menata ulang sistem pertahanan regional dan reduksi kontrol senjata NATO (arms control rduction). Lebih lanjut Marco Rimanelli menjelaskan: In the post-Cold War world, NATO’s success in regional self-defense and arms control reduction has led the alliance to a triple emphasis. Firts is “regional integration and NATO enlargements”. Second is “new security structures”, such as North Atlantic Cooperation Council (NAC-C), Partnership for Peace (PfP), Euro Atlantic Partnership Council (EAPC), dan NATO-Russia dan NATO-Ukraina Charter. Third is “out of area” peacekeeping missionss in adjoining theaters, like NATO’s Air-Naval Force of UN peacekeeping in Yugoslavia; both The International Force and Stabilisation Force in Bosnia (IFOR, SFOR); the Kosovo Implementation Force (KFOR); Albania; and briefly Makedonia; and the International Security of Afganistan Force (ISAF). Change was necessary to avoid stagnation and death, as NATO soon found out.61 61 Rimanelli, Op. cit. hal. 22. 48 NATO dalam hal reduksi kontrol senjata merupakan sebuah perubahan doktrin dan strategi militer NATO yang paling signifikan, di mana doktrin yang sebelumnya terletak pada dua pilar “forward defense” dan “flexible response”. Kemudian, dalam konferensi NATO pada Juli 1990 dan November 1991, doktrin-doktrin tersebut diubah secara radikal dari konsep forward defense menjadi “reduced forward presence” dan flexible response menjadi “reduced reliance on nuclear weapons”, dan akhirnya kemudian menjadi “truly weapons of last resort”.62 Pasca Perang Dingin, kebijakan pembesaran NATO didasarkan pada tujuan mengintegrasikan kembali Eropa yang terpecah-pecah dan strategi mendirikan basis pendukung yang luas untuk melawan ancaman yang baru terbentuk dan berkembang. Pada pertemuan puncak NATO di awal 1990-an di London dan Roma, negara-negara Eropa Tengah dan Timur yang telah memenangkan kemerdekaan menjadi bagian pelengkap bagi strategi aliansi. Pertemuan London sekaligus secara resmi mengakhiri Perang Dingin antarblok dan membangun kembali hubungan bilateral antara Amerika Serikat dengan negara bekas Uni Soviet.63 Keputusan penting yang keluar dari puncak ini adalah pembentukan Dewan Kerjasama Atlantik Utara. Pada tahun 1992, 11 negara Eropa sebagai mantan anggota Uni Soviet, termasuk Georgia dan Albania masuk dalam keanggotaan NATO. Pada KTT Brussel 1994, kebijakan kemitraan untuk Perdamaian (PFP) diperkenalkan. Di Paris tanggal 27 Mei 1997, pembuatan undang-undang hubungan kerjasama keamanan NATO dan Federasi Rusia ditandatangani, dan hasilnya pada tahun 2002 Dewan NATO-Rusia didirikan. 62 Firdausy, Op. cit., hal. 74. 63 Rimanelli, Op. cit., hal. 19. 49 Ekspansi keanggotaan NATO dan kebijakan kerjasama global setelah Perang Dingin dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, meliputi negara-negara yang telah memulai proses aksesi untuk keanggotaan penuh di NATO. Negara-negara yang memulai hubungan ini dengan menunjukkan kemauan politik mereka untuk masuk dalam keanggotaan dan memenuhi kriteria yang diperlukan dalam “Rencana Aksi Keanggotaan”, yaitu sebuah proses yang mengarah pada pembentukkan keanggotaan penuh yang selanjutnya memiliki hak untuk keanggotaan penuh NATO. Dalam masa ini, NATO telah diperluas sebanyak tiga kali terkait keanggotaan penuh setelah Perang Dingin. Gelombang pasca Perang Dingin pertama terjadi ketika pembesaran NATO pada KTT Madrid pada tanggal 8 Juli 1997 ketika Republik Ceko, Polandia, dan Hungaria diundang dalam negosiasi untuk aksesi ke Aliansi. Dan akhirnya, negara-negara ini bergabung dengan aliansi pada tanggal 12 Maret 1999. Keputusan Pembesaran NATO yang kedua dilakukan pada KTT Praha pada 2122 November 2002. Pada pertemuan ini, diputuskan bahwa Bulgaria, Estonia, Lithuania, Latvia, Rumania, Slovakia, dan Slovenia akan bergabung dengan NATO sebagai anggota penuh, dan proses aksesi mereka dimulai pada awal tahun 2005. Tahap ketiga dari pembesaran termasuk Albania, Kroasia dan Macedonia yang diputuskan pada KTT Bucharest pada bulan April 2008 untuk memberikan keanggotaan penuh bagi negara-negara yang memenuhi kriteria. Albania dan Makedonia memperoleh hak untuk keanggotaan penuh di puncak ini, tapi Yunani keberatan terhadap Makedonia dan keanggotaan Macedonia dihentikan. Pada KTT Bucharest, prinsip pemberian status Georgia dan Ukraina dalam Rencana Aksi Keanggotaan (MAP) diadopsi, tapi keputusan ditunda sampai pertemuan Menteri 50 Luar Negeri NATO pada bulan Desember 2008. Perang Rusia-Georgia pada Agustus 2008 menyebabkan penundaan keputusan. Akibatnya, hubungan NATO-Rusia kembali memburuk dan tumbuh ketegangan. Kategori kedua, dalam pembesaran NATO mengikuti kebijakan globalisasi meliputi negara-negara Partnership for Peace (PFP). Tidak ada batas geografis untuk negara-negara dalam kategori ini. Dengan status ini, negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Keamanan Eropa (OSCE) dapat bekerja sama dengan NATO. Status ini mencakup Federasi Rusia, negara-negara di Kaukasus Selatan dan negaranegara Eropa lainnya yang belum mencapai keanggotaan penuh serta beberapa negara lainnya. Kategori ketiga ialah negara-negara yang termasuk dalam kelompok pemeliharaan dialog dan kontak. Pada tahun 1994, NATO meluncurkan Dialog Mediterania. Tujuannya adalah mendorong dialog dengan negara-negara di lembah Mediterania, yaitu Mauritania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir, Israel dan Yordania, mengisolasi permusuhan dan kesalahpahaman, mengembangkan pemahaman umum dan memberikan kontribusi bagi reformasi di bidang tata pemerintahan yang baik. Pada KTT NATO yang diadakan di Istanbul Juni 2004, keputusan dibuat untuk fokus lebih mendalam terhadap Dialog Mediterania dan menciptakan mekanisme kerjasama antarnegara Timur Tengah melalui Istanbul Initiative Cooperation. Akibatnya, negara-negara Arab Teluk termasuk dalam kerjasama ini, sekaligus mendai kerjasama baru NATO di luar Eropa dalam hal ini dengan negara-negara Mediterania sebagai bentuk kerjasama dalam menjaga keamanan internaional. Dalam tatanan dunia baru yang muncul setelah runtuhnya Uni Soviet, keamanan Eropa-Atlantik menjadi lebih sulit dan kompleks. Serangan teroris 51 terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001 menyebabkan pengaruh besar bagi negara-negara anggota NATO, khususnya Amerika Serikat. Ancaman baru ini telah memberikan kepercayaan kepada Amerika Serikat sebuah gagasan bahwa tidak ada satu negara, termasuk Amerika Serikat, atau aliansi, bisa menangani semua masalah dan bahwa kerjasama komprehensif dengan negara-negara di luar aliansi menjadi sangat penting. Kebijakan pembesaran NATO tidak hanya fokus pada pembenahan negaranegara Eropa yang terpecah-pecah yang memenangkan kemerdekaan setelah runtuhnya Uni Soviet dan memperkuat keamanan Eropa, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih aman melalui penciptaan tindakan bersama terhadap setiap ancaman sesuai dengan yang tercantum di atas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong kemitraan, kerjasama dan dialog di bidang komprehensif perdamaian dan keamanan dengan negara-negara di luar Eropa. Peritiwa ini menjadi awal tantangan keamanan global di abad 21. Dimana, ancaman baru tidak lagi memiliki dasar ideologis yang menantang seperti pada masa Perang Dingin.64 Pada Perang Dingin, NATO telah menerapkan kebijakan pembesaran dan negara-negara Eropa Timur telah menjadi anggota aliansi. Motivasi utamanya adalah untuk menjadi bagian dari blok barat dan menyeimbangkan kemungkinan bangkitnya ancaman Rusia di masa mendatang. Ini merupakan salah satu celah utama dalam hal persatuan di antara anggota aliansi. Namun demikian, negara-negara yang telah menjadi anggota aliansi Euro-Atlantik dalam dua dekade terakhir relatif lebih kecil 64 Walter S. Jones, 1992, Logika Hubungan Internasional: Persepsi Nasional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 62. 52 dari segi kekuatan ekonomi dan militer. Tanggung jawab NATO telah meningkat, tetapi tidak secara seimbang. Para anggota NATO yang lebih tua masih membawa sebagian besar beban utama. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam pembuatan kebijakan dan akan mengurangi sikap bersatu anggota NATO, seperti pada perang Georgia di tahun 2008.65 Tidak meratanya distribusi kekuasaan anggota NATO, menjadi salah satu celah bagi anggota NATO. Sehingga, tidak menutup kemungkinan muncul persaingan baru dalam perebutan pengaruh di antara negara anggota NATO. Realitas ini disesuaikan dengan ruang lingkup kerja NATO yang semakin luas, tidak hanya dalam tataran regional tetapi juga secara global. Peran negara-negara anggota NATO lebih detil kembali diperhitungkan dan menjadi tolak ukur keberhasilan NATO. Di satu sisi, kepentingan negara anggota mulai berkembang dan bahkan bergeser, di sisi lain keberadaan NATO sebagai wadah bagi negara aliansi turut mengalami perkembangan secara signifikan. Perubahan-perubahan secara langsung akan berpengaruh pada kinerja NATO dalam menjalankan misinya sebagai penjaga kemanan bagi wilayah Atlantik Utara dan di luarnya. Sehubungan dengan hal di atas, Perancis dan Amerika Serikat adalah dua negara anggota NATO yang memiliki pengaruh besar dalam setiap operasi NATO. Posisi Perancis dan Amerika Serikat merupakan dua kekuatan baru di NATO pada pasca Perang Dingin. Dalam hal kepemimpinan NATO, sebenarnya secara struktural telah ada ketegangan di antara Perancis dan Amerika Serikat. Terbukti sejak NATO dibentuk pada tahun 1949, Perancis mengusulkan sebuah proposal penentangannya 65 Walter S. Jones, 1993, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi-Politik Internasional, dan Tatanan Dunia 2, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 47. 53 terhadap Amerika Serikat. Penentangan ini adalah dalam hal kepemimpinan NATO dan usaha Amerika Serikat untuk memindahkan Markas Besar NATO dari Paris ke Brussel. Sesuai dengan ulasan Jack C. Plano: The main challenges to the concpet of North Atlantic embodies in the treaty, however, came from within, and they involved a struggle for leadership betwen France and the United States. France force the departure of NATO headquarters from Paris and its relocation in Brussel. France also refused to partisipate in NATO exercises or share in its reposibilities, but it nevertheless reiterated its continuing commitment to the principles of the alliance.66 Pada perkembangan selanjutnya, Perancis dan Amerika Serikat telah kembali fokus pada kepentingan nasional negara masing-masing. Sehingga, hal ini tentu saja akan mampu mempertajam ketegangan struktural antara kedua negara di NATO. Adapaun, pertentangan yang paling tajam ialah pada masa-masa eksekusi Jerman masuk menjadi anggota NATO tahun 1955, dimana Perancis mengusulkan proposal tentang perlunya pembentukan sistem pertahanan dan keamanan Eropa yang lebih independen, mandiri dan fleksibel. Untuk mewujudkan hal ini, maka Perancis mendorong Jerman untuk bisa bersama-sama di struktur integrasi militer NATO dan di pusat pertahanan Eropa. Ketegangan struktural antara Perancis dan Amerika Serikat terus berlanjut hingga kembalinya Perancis ke dalam struktur integrasi militer NATO pada tahun 2009 di bawah masa Pemerintahan Nicholas Sarkozy. Pada perkembangannya, realisasi kepentingan Perancis di NATO telah mengalami dinamisasi terutama dalam hal pertahanan dan militeristik, sehingga reformasi militer menjadi agenda penting bagi politik luar negeri Perancis. 66 Ziring, Plano, dan Olton, Op. cit., hal. 180. 54 B. NATO dalam Perspektif Perancis Sebagai salah satu dari dua belas negara penandatangan berdirinya Pakta Pertahanan Atlantik Utara tahun 1949, keberadaan Perancis di NATO dengan baik dapat dijelaskan dalam 4 (empat) posisi. Pertama, pada periode Perang Dingin, dimana Perancis berada di dalam struktur integrasi militer NATO sejak berdirinya hingga pada periode Perang Dingin (1949-1966). Dan, berada di luar struktur integrasi militer NATO hingga periode akhir Perang Dingin (1966-1990). Kedua, pada periode pasca Perang Dingin, dimana Perancis berada di luar struktur integrasi militer NATO (1990-2009). Dan, kembali berada di dalam struktur integrasi militer NATO pada tahun 2009 hingga sekarang. Pada empat posisi di atas, tentu saja Perancis memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam melihat NATO, terutama pada periode akhir Perang Dingin hingga sekarang. Perbedaan mendasar sebagai tolak ukur hubungan Perancis dan Amerika Serikat pada periode Perang Dingin adalah tentang proyeksi NATO dalam menangkal ancaman yang sama bagi negara anggota NATO. Ancaman yang sama menjadi tolak ukur hubungan Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Selanjutnya, ketika Perang Dingin usai, maka ancaman bersama sudah tidak ada. Dengan demikian peran Perancis bersama anggota NATO lainnya juga mengalami perubahan. Perubahan dua kondisi di atas turut mempengaruhi perkembangan hubungan kedua negara. Pada pada periode Perang Dingin tahun 1963 Perancis dan Jerman menandatangani perjanjian Elysse di Paris dalam bentuk Franco-German. Adapun, pengaruh implementasi perjanjian ini terhadap postur pertahanan keamanan Perancis di masa tersebut adalah Perancis lebih leluasa membangun kemandirian Pertahanan 55 Eropa bersama dengan Jerman. Efek hubungan kerjasama ini bagi Perancis hingga sekarang yaitu sama-sama menjadi representasi terkuat negara-negara Eropa di NATO. Terlebih lagi setelah Perancis masuk kembali dalam struktur integrasi militer NATO di tahun 2009 di bawah Presiden Nicholas Sarkozy menjadikan Perancis semakin lebih kuat di NATO dan Eropa. Walaupun, dapat dipahami bahwa di tahun 1966 Perancis keluar dari struktur militer NATO atas keputusan Presiden Perancis, Charles De Gaulle. Dan, membentuk pertahanan bersama Jerman di luar NATO. Pada masa-masa diluar struktur keanggotaan NATO, kurang lebih 43 tahun, Perancis melihat NATO sebagai wadah untuk memperkuat kepentingan Perancis dalam struktur politik NATO. Hal ini sesuai dengan tradisi “khas Perancis” dalam politik luar negeri yang merupakan kepentingan vital bagi Perancis. Selanjutnya, jika kita hubungkan dengan perkembangan kepentingan Perancis di NATO. Maka, kepentingan mendasar Perancis di NATO pada perode Perang Dingin adalah menjadi motor utama sebagai penggerak bersama dengan sekutu melawan ancaman ekternal. Selanjutnya, perkembangan kepentingan Prancis di NATO setelah pasca Perang Dingin, khususnya sekarang yaitu sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Buku Putih Perancis pada Juni 2008 yang menitikberatkan pada masalah pertahanan luar negeri, domestik, dan masalah keamanan.67 Buku Putih Perancis dimaksudkan untuk memberikan strategi keamanan Perancis yang lebih komprehensif untuk jangka waktu 25 tahun ke depan, mencerminkan lingkungan keamanan yang baru pada abad ke-21, dan untuk menguraikan proposal 67 Hugues Portelli, dkk, 2005, France, Paris: La Documentation Francaise; Ministere des Affaires etrangeres, hal. 210. 56 restrukturisasi untuk membuat militer Perancis lebih fleksibel, berteknologi maju, dan lebih mampu berkoordinasi dengan sekutu seperti Amerika Serikat dan organisasiorganisasi multilateral seperti Uni Eropa, NATO, dan PBB. Konsisten dengan Buku Putih, Perancis telah melakukan restrukturisasi besar untuk mengembangkan profesionalisme militer yang lebih ramping, lebih cepat, tangguh, dan lebih berbobot yang telah disesuaikan untuk operasi di luar daratan Perancis. Adapun, elemen kunci dari restrukturisasi termasuk mengurangi personel, pangkalan, markas dan peralatan rasionalisasi dan industri persenjataan. Jumlah militer Perancis yang masih aktif dalam tugas sekitar 350.000 (termasuk gendarm). Perancis telah berhasil menyelesaikan perpindahan semua angkatan bersenjata profesional saat wajib militer berakhir pada tanggal 31 Desember 2002 lalu.68 Kepentingan Perancis di NATO telah lama dipersiapkan oleh pendahulunya. Rencana Perancis membangun pertahanan Eropa telah dirancang sejak 1966 ketika Presiden Charles De Gaulle secara tegas menarik keluar Perancis dari srtuktur integrasi militer NATO. Sejak itu, Perancis mulai fokus membangun dasar bagi pertahanan Eropa di luar NATO bersama Jerman. Keluarnya Perancis dari Struktur militer NATO, tidak berarti Perancis meningalkan kepentingannya di NATO, melainkan untuk bisa lebih leluasa dalam mencapai tujuan di atas. Pada masa yang sama, Perancis memulai berpartisipasi penuh dalam struktur politik NATO hingga akhirnya tergabung kembali dalam struktur integrasi militer NATO tahun 2009.69 68 69 Ibid, hal. 199. Portelli, Op. cit., hal. 198. 57 C. NATO dalam Perspektif Amerika Serikat Keberadaan Amerika Serikat di NATO berlangsung sejak NATO didirikan hingga hari ini. Amerika Serikat pada masa Perang Dingin memimpin NATO bersama sekutu dalam menangkal ancaman Uni Soviet dan Pakta Warsawa di Eropa. Dalam masa-masa ini, Amerika Serikat dan sekutu yang yang teraliansi dalam NATO berjuang bersama melawan fasisme yang terlibat dalam pertikaian politik untuk saling bersaing memperebutkan hegemoni dan pengaruh politik di Eropa, Asia, dan dunia. Amerika Serikat di bawah NATO gencar dalam usaha memperjuangkan hegemoni dalam tatanan politik global awal tahun 1950-an sampai runtuhnya komunisme Soviet tahun 1990-an. Runtuhnya Uni Soviet (USSR) dan dominasi Pakta Warsawa atas Eropa Timur, diikuti oleh disintegrasi Uni Soviet pada bulan Desember 1992, mengakhiri Perang Dingin (1946-1990) dan keamanan global berubah secara radikal di bidang-bidang tertentu. Dengan dinyatakannya Amerika Serikat sebagai negara adidaya tunggal sejak tahun 1992, dua fase paralel dari “akhir sejarah” dan “globalisasi”, dilihat sebagai akhir dari Perang Dingin atas kemenangan divisi militer politik Eropa dan kemenangan militer-ekonomi Barat melalui globalisasi perdagangan dan transformasi pasar bebas.70 Pada periode yang sama, di bawah kepemimpinan Amerika Serikat, NATO berusaha mempertahankan perjanjian pengawasan senjata Timur-Barat dan memperbaharui sistem pembagian kekuasaan di Eropa antara negara adidaya dengan menyatakan bahwa Uni Soviet dan Pakta Warsawa tidak lagi menjadi musuh 70 Rimanelli, Op. cit. hal. 486. 58 Amerika Serikat, sekaligus menciptakan kerjasama keamanan Timur-Barat melalui kerjasama North Atalntic cooperation-Council (NAC-C) dan Organisasi untuk keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) untuk mengikat NATO bersama dengan semua negara Eropa Timur. Adapun, pada pasca Perang Dingin, babak baru NATO ialah bagaimana melihat peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di NATO. Amerika Serikat ingin memposisikan NATO dibawah pengaruh dan kendalinya. Di sisi lain, negara-negara Eropa melihat dominasi Amerika Serikat di NATO sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Eropa. Negara-negara Eropa melihat bahwa, jika dominasi Amerika Serikat dibiarkan terus-menerus, maka dominasi tersebut akan menjadi wujud kekuatan baru Amerika Serikat untuk menguasi Eropa. Sebagai akibatnya, memberi ruang untuk saling mendominasi. Akhirmya, muncul sebuah rivalitas antara Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa berupaya untuk memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata lain, Eropa ingin “me-NATO-kan Amerika Serikat” agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa.71 Namun, Bagi Amerika Serikat, mempertahankan kepemimpinan melalui NATO merupakan satu-satunya jalan untuk tetap mempertahankan pengaruhnya di Eropa secara permanen. Di sisi lain, konsep baru NATO, jika berhasil dibuat, akan memberikan ruang manuver bagi Amerika Serikat di arena internasional yang bersifat militeristik. Sementara di sisi lain, menggerogoti kekuatan fungsional dari Dewan Keamanan PBB. 71 Diez T., dan Wiener A., Loc. cit. 59 Hal di atas merupakan sebuah konflik struktural antara Amerika Serikat dengan negara-negara Eropa, dalam hal ini Perancis. Konflik struktural ini telah lama berlangsung sejak NATO didirikan, namun masih dapat diantisipasi oleh NATO. Pada dasarnya, tantangan utama ke konsep dari Perjanjian Atlantik Utara diwujudkan dalam perjanjian itu. Dan bagaimanapun juga, konflik struktural antara Perancis dan Amerika Serikat yang terlibat dalam perjuangan untuk kepemimpinan NATO menjadi dasar dari perseteruan Perancis dan Amerika Serikat. Persiteruan ini namapak dalam hal kepemimpinan Perancis dan Amerika Serikat dalam setiap operasi NATO. Pada awal pendiriannya, Prancis menentang pemindahan markas besar NATO dari Paris ke Brussel. Sejak itu, Perancis juga menolak untuk berpartisi dalam latihan militer NATO, tetapi hal itu tetap menegaskan komitmennya terus prinsip-prinsip aliansi.72 Perkembangan konflik struktural di NATO terus berjalan seiring dengan berbagai perubahan dalam tubuh NATO dalam merespon keamanan internasional, baik regional maupun global. Dengan demikian, seiring dengan perubahan waktu, maka berbagai macam ancaman muncul. Realitas abad ke-21 ancaman keamanan lebih didasarkan pada ekonomi dan organisasi militer. Adapun, NATO telah melakukan beberapa revisi strategi dalam menghadapi berbagai ancaman yang muncul. Selain itu, dibawah kepemimpinana Amerika Serikat, dan dengan semakin bertambahnya keanggotaan NATO, akan semakin sulit bagi Amerika Serikat dalam merespon distribusi kekuasaan di NATO, sehingga mempengaruhi posisi Amerika Serikat dalam mempertahankan dominasinya di NATO. 72 Ziring, Plano, dan Olton, Loc. cit. 60 BAB IV RIVALITAS PERANCIS-AMERIKA SERIKAT DI NATO PASCA PERANG DINGIN A. Kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO 1. Revitalisasi Kepentingan Perancis di NATO Kepentingan Perancis di NATO tidak terlepas dari keikutsertaannya dalam berbagai operasi perdamaian yang dijalankan oleh NATO sejak tahun 1949. Sebagai salah satu negara pendiri NATO, Perancis telah banyak berkontribusi dalam hal pengiriman pasukan NATO. Di antara anggota NATO, Perancis merupakan negara yang paling intens dalam pengiriman pasukan luar negeri setelah Amerika Serikat.73 Perancis juga menjadi negara penting dalam berbagai reformasi kelembagaan NATO. Seiring dengan perubahan waktu, revitalisasi kepentingan Perancis di NATO menjadi agenda baru dalam politik luar negeri Perancis, khususnya di bidang pertahanan. Sebagai salah satu anggota NATO, Perancis telah bekerja secara aktif dengan sekutu untuk beradaptasi di NATO, baik internal maupun eksternal dalam lingkungan pasca Perang Dingin. Dukungan Perancis dalam upaya modernisasi struktur kelembagaan NATO dan memimpin kontributor NATO Response Force (NRF) merupakan bagian dari implementasi kepentingan Perancis di NATO. Di luar NATO, Perancis tertarik untuk membangun kemampuan pertahanan Eropa, termasuk pengembangan kelompok tentara regu-cepat Uni Eropa dan menjadi tulang punggung bagi produksi militer Eropa. 73 Portelli, Op. cit., hal. 210. 61 Pada tahun 2009, Presiden Nicholas Sarkozy mendukung penuh pengembangan pertahanan Eropa untuk melengkapi dan memperkuat NATO, yang tujuan intinya tetap pada stabilisasi keamanan trans-atlantik. Di luar misi trans-atlantik, Presiden Nicholas Sarkozy telah menggarisbawahi komitmen Perancis untuk menyelesaikan misi NATO di Afghanistan, di mana sekitar 4.000 tentara Perancis dikirim ke Afganistan pada bulan Januari 2011. Sebelumnya, pada Juni 2008 Paris sukses menjadi tuan rumah Konferensi Afghanistan. Dan, dukungan sukses bagi ketuanrumahan Perancis menunjukkan bahwa Perancis memiliki kemampuan untuk memimpin misi NATO di luar trans-atlantik, dimana dalam konferensi tersebut donor internasional telah menjanjikan bantuan total sebesar $ 21 miliar untuk membantu mengembangkan infrastruktur Afghanistan, memerangi narkoba, kekerasan, dan kemiskinan.74 Bagi Perancis, NATO merupakan simbol mata rantai strategi antara Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.75 Dalam posisinya sebagai anggota NATO, Perancis memainkan peran global yang berpengaruh sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, G-8, G-20, Uni Eropa, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE), WTO, la Francophonie, dan lembaga multilateral lainnya. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Perancis adalah anggota sebagian besar agen-agen khusus PBB. Selain itu, Perancis telah menjadi pendukung kuat dari perluasan anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk kebutuhan untuk satu atau lebih kursi permanen bagi Afrika. Dalam hubungannya sebagai anggota G20, Perancis “Background Note: France” http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3842.htm, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB. 75 Portelli, Op. cit., hal. 198. 74 62 mengambil alih kepemimpinan G-20 pada tanggal 1 November 2010, dan G-8 pada tanggal 1 Januari 2011. Prioritas Perancis selama kepresidenan G-20 ialah dalam hal reformasi struktural, seperti reformasi pensiun, investasi di bidang infrastruktur dan pendidikan, dan perbaikan regulasi sektor keuangan, termasuk reformasi global. Adapaun, Perancis hubungannya dengan Amerika Serikat merupakan sekutu tertua dalam aliansi pertahanan Atlantik Utara. Selain itu, intervensi militer Perancis berperan dalam usaha membantu mendirikan kemerdekaan bagi koloni Amerika Serikat dan Inggris. Banyak pertempuran dimana Amerika Serikat terlibat selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II berlangsung di Perancis, dimana banyak tentara Amerika Serikat telah gugur di tanah Perancis dibanding negara asing lainnya.76 Adapun, sebagai anggota Uni Eropa, Perancis adalah pemimpin di Eropa Barat karena ukurannya, lokasi, ekonomi yang kuat, keanggotaan dalam organisasi Eropa, postur militer yang kuat, dan diplomasi yang energik.77 Perancis umumnya telah bekerja untuk memperkuat pengaruh ekonomi dan politik global Uni Eropa dan perannya dalam pertahanan Eropa. Ini dilihat dalam kerjasama Franco-Jerman dan pengembangan Kebijakan Umum Pertahanan dan Keamanan (CSDP) dengan anggota Uni Eropa lainnya sebagai dasar upaya untuk meningkatkan keamanan Eropa. Keterlibatan Perancis di berbagai organisasi internasional di atas, memberikan pengaruh lebih besar bagi Perancis untuk lebih leluasa dalam menentukan masa depan pertahanan Eropa. Namun, di sisi lain dengan semakin banyaknya keterlibatan Perancis di organisasi internasional, maka Perancis dituntut untuk lebih kerja keras 76 77 “Background Note: France”, Op. cit., pukul 09.44 WIB. Loc. cit. 63 dalam mencapai kepentingan nasional negaranya, terutama kepentingan nasional Perancis di NATO. Secara garis besar, kepentingan Perancis di NATO ialah: to take following steps, in keeping with the choices it made in 1996 to move toward a professional army and to define a new model for the armed forces that gives due consideration to the requirement for France’s participation in European and Atlantic Alliances.78 Berangkat dari tujuan ini, maka Perancis dalam hubungannya dengan NATO menjalankan misi. Pertama, mempertahankan kebebasan Perancis untuk menentukan pilihan dan tindakan untuk memastikan bahwa Perancis tetap bebas untuk memilih apakah dalam setiap operasi akan terlibat dengan mitra dan atau dengan sekutu, serta mempertahankan kemampuannya untuk bertindak sendiri jika perlu; Kedua, mempertahankan pengaruhnya di aliansi dan koalisi negara Perancis, dimana Perancis bertindak sebagai “framework nation” untuk melaksanakan misi Eropa (hal ini dapat membantu negara-negara koalisi Perancis dalam melaksanakan “framework nation” sekaligus sebagai penuntun bagi negara Eropa lainnya untuk bersama menggunakan “its own national headquarter staff”, dan mempertahankan kemampuan militer yang memadai; Ketiga, mempertahankan kemutahiran teknologi memastikan kredibilitas dalam mengontrol pencegahan nuklir, mengembangkan sumber daya yang tepat untuk perlindungan terhadap ancaman baru dan mempertahankan dasar produksi bagi industri pertahanan Eropa. Strategis ini berdasarkan pada jalur penangkalan (deterrence), pencegahan (preventioan), proyeksi (projection), tindakan (action), dan perlindungan (protection).79 78 79 Portelli, Op. cit., hal 193. Loc. cit. 64 Memahami kepentingan Perancis dalam aliansi tentu saja memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan memahami kepentingan Perancis secara global. Kepentingan Perancis di NATO adalah terkhusus pada pertahanan kemanan dan kepemimpinan Perancis di NATO, sedangkan dalam ruang lingkup global yang lebih luas kepentingan Perancis tidak hanya fokus pada pertahanan, tetapi juga menyangkut seluruh nilai-nilai vital kepentingan Perancis. Termasuk meningkatkan pertahanan Eropa secara menyeluruh. Untuk itu, reformasi struktur dan postur kekuatan militer Perancis menjadi salah satu domain terpenting di NATO dan Eropa. Kepentingan Perancis dalam bidang militer adalah untuk menjamin postur militer Perancis yang lebih baik. Doktrin militer Perancis didasarkan pada konsep kemerdekaan nasional, pencegahan nuklir, dan postur militer yang mapan. Untuk itu, revitalisasi struktur militer Perancis menjadi fokus utama dalam meningkatkan kapabilitas militer Perancis. Hal ini sesuai dengan Buku Putih yang dirilis oleh Perancis pada Juni 2008 yang menitikberatkan pada masalah pertahanan luar negeri, pertahan domestik, dan masalah keamanan.80 Buku Putih itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran strategi keamanan yang lebih komprehensif untuk jangka waktu 25 tahun ke depan, mencerminkan lingkungan keamanan yang baru pada abad ke-21, dan untuk menguraikan proposal restrukturisasi untuk membuat militer Perancis lebih fleksibel, berteknologi maju, dan lebih mampu berkoordinasi dengan sekutu seperti Amerika Serikat dan organisasi-organisasi multilateral seperti Uni Eropa, NATO, dan PBB. “French White Paper on Defence and National Security, June 2008”, http://www.ambafranceca.org/IMG/pdf/, Livre_blanc_Press_kit_english_version.pdf, diakses pada tanggal 20 Januari 2012 Pukul 10.00 WIB. 80 65 Konsisten dengan Buku Putih, Perancis telah melakukan restrukturisasi besar untuk mengembangkan profesionalisme militer yang lebih ramping, lebih cepat, tangguh, dan lebih berbobot yang telah disesuaikan untuk operasi di luar daratan Perancis. Elemen kunci dalam restrukturisasi militer termasuk mengurangi personel, pangkalan, markas dan rasionalisasi industri peralatan persenjataan Perancis. Jumlah militer Perancis yang masih aktif dalam tugas sekitar 350.000 (termasuk gendarm). Selain itu, Perancis juga berhasil menyelesaikan perpindahan tugas semua angkatan bersenjata profesional saat wajib militer berakhir pada tanggal 31 Desember 2002. Adapun, kepentingan Perancis di NATO dalam bidang pertahanan telah lama dipersiapkan oleh para pendahulunya. Rencana Perancis untuk membangun pertahanan Eropa telah dirancang sejak tahun 1966 ketika Presiden Charles De Gaulle secara tegas menarik keluar keanggotaan Perancis dari srtuktur integrasi militer NATO. Sejak itu, Perancis mulai fokus membangun dasar bagi pertahanan Eropa di luar NATO bersama Jerman. Keluarnya Perancis dari Struktur militer NATO, tidak berarti Perancis meningalkan kepentingannya di NATO, melainkan untuk bisa lebih leluasa dalam mencapai tujuan tersebut di atas. Dan, pada masa yang sama, Perancis memulai dan ikut berpartisipasi penuh dalam struktur politik kelembagaan NATO.81 Seiring dengan semakin kompleksnya ancaman keamanan, tugas-tugas NATO tidak hanya terfokus pada wilayah Atlantik Utara, melainkan telah meluas dalam level global. Sehingga negara-negara anggota NATO dituntut untuk memaksimalkan perannya di NATO. Ketika Perancis berada di luar struktur integrasi militer NATO, maka pasukan Perancis yang tergabung dalam aliansi tetap ikut dalam operasi NATO, 81 Portelli, Op. cit., hal 198. 66 meskipun Perancis tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan di NATO. Pada awalnya, perihal ini tidak menjadi pertimbangan utama bagi Perancis. Namun, dalam perkembangannya, Perancis mengubah arah untuk mulai ikut dalam pengambilan keputusan pada setiap rencana operasi NATO. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Perancis untuk menaikkan postur kekuatan militer dan pertahanan di NATO. Selain itu, dominasi Amerika serikat di NATO, hari ini dilihat berbeda oleh Perancis. Jika sebelumnya, dominasi Amerika Serikat dilihat sebagai bentuk “psicology of dependent” bagi Perancis di NATO, maka hari ini tampak berbeda bagi Perancis. Perancis melihat ketidak-terlibatan Perancis dalam setiap pengambilan keputusan di struktur integrasi militer NATO, secara otomatis mengurangi pengaruh Perancis dalam posisinya sebagai anggota NATO di Eropa. Dengan demikian mengurangi pula pengaruhnya di Eropa, “More France in NATO means more Europe in the Atlantic Alliance”82, dan sebaliknya pula. Oleh karena itu, Perancis harus ikut terlibat kembali dalam setiap pengambilan keputusan di struktur integrasi militer NATO. Hal ini tidak lain untuk mengurangi dominasi Amerika Serikat di NATO dan Eropa terutama dalam menentukan kemandirian Eropa di bidang pertahanan. Sebelumnya, Perancis tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hari ini tidak demikian bagi Perancis. Keputusan Perancis untuk kembali masuk dalam struktur integrasi militer NATO merupakan langkah penting yang akan memberikan pengaruh lebih besar bagi Perancis di NATO. Reintegrasi Perancis ke dalam struktur militer NATO sebenarnya telah disambut baik oleh Presiden Barack Obama, yang Pierre Lellouche, Winter, 2010, “European Defense, a challenge for the New Europe,”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2, hal 125. 82 67 mengatakan “prinsip-prinsip keamanan Eropa ialah keamanan Amerika dan sebaliknya”, namun komitment ini tentu saja bergantung dari keputusan Perancis.83 Tujuan utama Perancis masuk kembali ke dalam srtuktur integrai militer NATO ialah untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat di NATO dan Eropa. Dengan demikian, sistem pembagian tugas dan distribusi tanggung jawab keanggotaan NATO menjadi agenda utama bagi keanggotaan NATO, khususnya Perancis dan Amerika Serikat dalam hal kepemimpinan mereka di NATO. Untuk menyempurnakan pelaksanaan dan pencapaian kepentingan Perancis di NATO, maka pada Desember 1995, Perancis mulai merubah arah kepentingannya di NATO dengan terus meningkatkan partisipasi dalam sayap militer NATO, termasuk Komite Militer. Dan pada akhirnya, pada April 2009, Presiden Nicholas Sarkozy menyelesaikan proses ini dengan mengumumkan bahwa Perancis akan sekali lagi bergabung kembali dengan komando militer NATO yang terintegrasi di Brussels. Hal ini diikuti dengan perintah transisi 900 perwira Perancis dan lebih dari 1.200 personil untuk NATO di Brussels yang dimulai segera setelah Perancis resmi terintegrasi dalam srtuktur militer NATO, dan rencana tersebut ditargetkan selesai pada tahun 2015 mendatang. Selanjutnya, untuk yang pertama kalinya, pada tahun 2011, Presiden Sarkozy memimpin panggilan untuk intervensi militer di Libya. Dalam kasus ini, Perancis mengambil peran utama dalam upaya stabilisasi keamanan internasional di Libya. Dan, sekaligus menjadi titik tolak bagi posisi Perancis sebagai pemain penting di NATO. 83 “Background Note: France”, Op. cit., pukul 09.44 WIB. 68 Kepemimpinan Perancis dalam misi perdamaian di Libya sekaligus menandai era baru keanggotaan Perancis dalam meyelesaikan misi NATO di luar wilayah Atlantik Utara. Sebelumnya, Perancis berada di luar struktur integrasi militer NATO hingga tahun 2009. Kondisi ini tentu saja memiliki efek signifikan bagi peningkatan struktur dan kualitas militer Perancis, dengan demikin telah mendorong peningkatan postur pertahanan Perancis dan Eropa secara menyeluruh. Langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah mencari strategi baru untuk mencapai kepentingan Perancis di NATO. Hal ini telah menambah pengaruh besar kepemimpinan Perancis di NATO. Hal ini untuk lebih memudahkan Perancis dalam mengimbangi dominasi Amerika Serikat di NATO bersama dengan anggota NATO lainnya yang berasal dari Eropa. 2. Revitalisasi Kepentingan Amerika Serikat di NATO Amerika Serikat berperan dalam upaya NATO menghadapi tantangan luar biasa abad 21. Tersedianya kesempatan besar di NATO, Amerika Serikat bersama anggota lainnya berencana membangun sebuah visi bersama untuk masa depan aliansi yang lebih sukses. Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di Paris, Hillary R. Clinton menyampaikan prinsip-prinsip yang memandu keterlibatan Amerika Serikat di Eropa secara keseluruhan. Ia juga berbicara secara khusus tentang NATO, menyampaikan garis besar konsep strategis baru NATO, menjelaskan beberapa pertanyaan kunci bagi dokumen strategi NATO, serta mengeksplorasi visi Amerika Serikat untuk revitalisasi aliansi pada abad 21.84 “Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar”, Remarks Hillary Rodham Clinton, Secretary of State Ritz-Carlton Hotel Washington, DC February 22, 2010” http://www.state.gov/secretary/rm/2010/02/137118.htm, diakses pada Jum’at 20 Januari 2012 pukul 10.00 WIB. 84 69 Revisi Konsep Strategis NATO merupakan domain utama Amerika Serikat dalam menilai perkembangan aliansi sekaligus merevitalisasi kepentigan Amerika Serikat di NATO. Bagi Amerika Serikat, aliansi telah bertahan karena keahlian para diplomat anggota NATO, kekuatan tentara NATO, dan paling penting ialah kekuatan prinsip-prinsip pendiriannya. Pada saat kelahiran NATO, Eropa masih belum pulih dari konflik. Di bawah ancaman perdamaian pasca perang, para pemimpin Eropa masih belum bisa memastikan masa depan Eropa. Namun, atas kondisi tersebut, aliansi dibangun untuk mengawali tujuan jangka panjang Eropa agar mampu beradaptasi dengan segala bentuk tantangan baru di masa mendatang. Aliansi dibentuk dengan tujuan utamanya: pertama, untuk membela kepentingan bangsabangsa aliansi Euro-Atlantik. Kedua, NATO sengaja dirancang untuk memperkuat hubungan negara-negara trans-atlantik. Dan ketiga, NATO diharapkan mampu membantu memfasilitasi integrasi lebih lanjut di antara bangsa-bangsa Eropa.85 Transformasi pencapaian politik luar negeri Amerika Serikat menandai bentuk baru kepentingan Amerika Serikat di NATO. Berbagai bentuk reformasi kelembagaan NATO, termasuk pertemuan tingkat tinggi dalam merevisi konsep dan strategi baru NATO dalam mengawal ancaman baru abad 21. Berbagai kemajuan tentu saja telah dicapai oleh NATO. Dan, di dalamnya tidak lepas dari campur tangan Amerika Serikat. Meskipun demikian, hari ini Amerika Serikat menghadapi tantangan yang paralel dengan masalah-masalah yang dihadapi Aliansi. Terutama, tantangan Amerika Serikat dalam menghadapi pola strategis baru NATO. Dengan demikian, teknologi baru, musuh baru, dan ideologi-ideologi baru juga ikut 85 Ibid, pukul 10.05 WIB. 70 mengancam keamanan aliansi. Namun, dasar asli dari misi NATO ––membela bangsa anggotanya, memperkuat hubungan trans-atlantik, dan mendorong integrasi Eropa, diharapkan masih terus berproses. Dengan demikian, NATO bergerak maju sesuai proses penyusunan konsep strategis baru. Negara anggota harus ingat bahwa tujuan dasar yang mendefinisikan aliansi, masih mengikat negara anggotanya hari ini.86 Namun, jika kita melihat pemahan tentang konsep aliansi, maka hal di atas akan nampak berbeda. Adapun, Brin Walt berpendapat, tujuan aliansi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, namun setelah tujuan itu tercapai, tidak menutup kemungkin terjadi pemecahan di dalamnya. Dan, hal ini bisa saja terjadi dalam tubuh NATO, seperti pada periode Perang Irak 2003. Tidak ada satupun negara NATO yang dapat menyangkal bahwa Perang Irak membawa perpecahan pada dua negara anggota NATO ––Perancis dan Amerika Serikat.87 Perpecahan ini, terkait cara pandangan Eropa melalui Perancis dan Amerika Serikat dalam menyelesaikan konflik Irak yang berkepanjangan. Lebih lanjut, Brin Walt berpendapat: bahwa semakin tinggi tingkat pelembagaan, maka akan semakin sulit untuk memecah aliansi. Dalam aliansi yang sangat birokrasi ada sekelompok aktor yang secara struktural mempertahankan sebuah aliansi, dan NATO adalah contoh yang baik. Sebagai dukungan utama, berasal dari mantan pejabat NATO, intelektual pertahanan, perwira militer, wartawan dan analis kebijakan yang kesemuanya telah membahas masalah yang dihadapi oleh kerjasama EuroAtlantik dan konflik. Selain itu, aliansi dalam sebuah organisasi yang sangat dilembagakan mungkin memang memberikan kemampuan yang diperlukan, yang akan berguna di masa depan. Terutama, dalam hal pembiayaan. NATO dapat membangun fondasi kerjasamanya yang telah dimulai sejak Perang Dingin, dan dorongan hubungan ini, dilanjutkan dalam sistem internasional kontemporer. 88 86 Loc. cit. Portelli, Op. cit., hal 210. 88 Mariani, Loc. cit. 87 71 Di sisi lain, Karl Deutsch89 berpendapat bahwa “Ketika dua negara memiliki nilai-nilai politik, sosial dan tujuan umum yang sama, maka aliansi mungkin lebih mudah untuk bertahan, bahkan setelah alasan aslinya telah musnah.” Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa sebuah aliansi akan tetap bertahan dan tetap kuat apabila memiliki sebuah nilai politik dan tujuan yang sama dalam aliansi. Pembebasan rasa egositis dan keinginan untuk mendominasi satu sama lain merupakan kunci mutlak sebuah aliansi tetap bertahan. Namun, bertolak dari pendapat di atas, keberadaan Perancis dan Amerika Serikat di NATO tampak berbeda. Pergeseran kepentingan kedua negara mengakibatkan munculnya cara pandang baru kedua negara dalam menilai NATO. Oleh karena itu, konflik kepentingan menjadi tidak terelakkan. Sebagai contoh konfliknya ialah mengenai kebijakan pencegahan nuklir NATO. Dalam hal ini, Perancis dan Amerika Serikat memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat masalah ini. Bagi Amerika Serikat, pencegahan nuklir harus terus berlanjut, dan Amerika Serikat telah menanggapi ancaman dengan tidak hanya mempertahankan penangkal nuklir, tetapi juga mengembangkan sistem pertahanan rudal yang dirancang untuk melindungi wilayah Amerika, penduduk Amerika, dan pasukan Amerika di NATO.90 Amerika Serikat percaya bahwa, NATO perlu mengembangkan rudal sendiri sebagai bentuk arsitektur pertahanan trans-atlantik, sehingga dapat membela bangsa-bangsa Eropa. Di sisi lain, pendekatan baru Pemerintah Obama tentang pertahanan rudal NATO yang adaptif, Amerika Serikat telah berkontribusi dalam membentuk arsitektur baru NATO. Fokus NATO, tidak 89 Teuku May Rudy, 1993, Teori, Etika, dan Kebijakan Hubungan Internasional, Bandung: PT. Angkasa, hal 37. 90 “Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar”, Op. cit., pukul 10.27 WIB. 72 hanya pada penangkalan ancaman baru. NATO juga perlu membuat Rusia menjadi mitra untuk mencegah proliferasi nuklir dan pertahanan rudal. Untuk itu, Amerika Serikat mengundang Rusia bergabung dengan NATO dalam mengembangkan sistem pertahanan rudal yang mampu melindungi seluruh warga Eropa dan Rusia juga. Pada periode Perang Dingin, kepentingan Amerika Serikat terlihat ambivalen terhadap NATO. Amerika Serikat melihat, NATO tidak seharusnya terlibat dalam kerjasama keamanan dengan negara-negara Uni Eropa. Namun, hari ini Amerika Serikat tidak melihat Uni Eropa sebagai pesaing NATO, tetapi melihat Uni Eropa sebagai mitra penting NATO. Amerika Serikat berharap, perjanjian Lisbon akan membantu memajukan hubungan negara-negara anggota NATO. Amerika Serikat berharap bisa bekerjasama dengan Uni Eropa dalam bidang pertahanan dan bisa saling mendukung, juga dengan PBB dalam mengatasi tantangan keamanan. Untuk itu, NATO harus mengidentifikasi ulang efektifitas senjata konvensional, nuklir, dan kemampuan pertahanan rudal. NATO juga perlu strategi baru untuk merespon secara efektif terhadap tantangan keamanan abad 21. Memperkuat pencegahannya sebagai bagian komitmen Amerika Serikat untuk menjalin keamanan bersama. Mengingat pelaksanaan KTT NATO pada bulan Mei 2012 mendatang, dimana Presiden Obama akan menjadi tuan rumah konferensi di Chicago.91 Tujuan strategis yang mendorong pendekatan Amerika Serikat ke Eropa ialah bahwa Amerika Serikat ingin menawarkan penilaian catatan selama dua tahun terakhir atas tujuan tersebut. Dan, menyodorkan solusi bagi kelangsungan aliansi di “The State Department's Role in NATO Deterrence and Defense Posture Review (DDPR) and Future Arms Control”, http://www.state.gov/t/us/176669.htm, diakses pada Jum’at 20 Januari 2012 pukul 10.30 WIB. 91 73 masa medatang. Dengan demikian, adalah suatu keharusan bagi Amerika Serikat untuk tetap fokus pada prioritas pemerintah di Eropa. Untuk itu, ada tiga tujuan mendasar yang menonjol dalam keterlibatan Amerika Serikat di Eropa. Pertama, Amerika Serikat bekerja dengan Eropa sebagai mitra dalam memenuhi tantangan global. Pada setiap isu kepentingan global, kontribusi Eropa sangat penting untuk memecahkan tantangan keamanan internasional. Dari perang di Afghanistan, tantangan nuklir Iran, dan situasi di Libya –Eropa sangat diperlukan. Amerika Serikat sangat kuat dalam hal legitimasi, sumber daya, dan ide, dan akan lebih baik lagi ketika Eropa bergabung dalam agenda global. Kedua, Amerika Serikat masih bekerja dengan Eropa di Eropa, bekerja untuk menyelesaikan proyek bersejarah, membantu untuk memperpanjang stabilitas, keamanan, kemakmuran dan demokrasi ke seluruh benua. Suatu keberhasilan yang luar biasa, bahwa Amerika Serikat dan Eropa bisa bersama-sama mempromosikan integrasi Eropa, dalam mengkonsolidasikan dan mendukung demokrasi baru di Eropa Tengah dan Timur dan mengintegrasikannya ke lembaga Euro-Atlantik. Upaya perdamaian di Balkan, Eropa timur, dan Kaukasus. Ketiga, Amerika Serikat telah berusaha mengatur hubungan dengan Rusia pada perihal yang lebih konstruktif. Presiden Obama mengakui telah mewarisi situasi yang sulit, dimana secara eksplisit kepentingan Amerika Serikat di NATO sedikti tidak dapat diketahui secara pasti. Salah satu kepentingan Amerika Serikat di NATO ialah menciptakan kerjasama dengan Rusia, Amerika Serikat juga memiliki kepentingan di luar NATO, tetapi tidak mengorbankan prinsip aliansi atau negara mitra.92 “Overview of U.S. Relations with Europe and Eurasia Testimony”, Philip H. Gordon, Assistant Secretary, Bureau of European and Eurasian Affairs, House Foreign Affairs Subcommittee on Europe 92 74 Melihat perkembangan NATO dua tahun terakhir, NATO telah menunjukkan kemajuan yang signifikan melalui peran negara masing-masing. Dalam tataran kerjasama dengan Eropa secara global, Amerika Serikat telah bekerja sama dengan Eropa yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dengan mitra Eropa di Afghanistan, Iran pada pertahanan rudal, dan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Secara khusus, kemajuan tersebut dapat dijelakskan. Pertama, Di Afghanistan, menyusul pidato West Point Presiden pada bulan November 2009, Eropa menyumbang sekitar 7.000 tentara tambahan, lebih dari 100 tim pelatihan bagi tentara Afghanistan dan polisi, dan hampir $300 juta untuk dana Tentara Nasional Afghanistan dikerahkan. Negara-negara Eropa sekarang memiliki hampir 40.000 tentara di Afghanistan dan total kontribusi Eropa di Afghanistan sejak tahun 2001 mencapai ke $ 14 miliar. Kedua, di Iran, NATO mempertahankan persatuan dalam upaya untuk terlibat dan pada saat yang sama mengadopsi sanksi berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB. Selanjutnya, menetapkan tindakan sanksi yang telah diadopsi oleh Uni Eropa. Langkah-langkah tambahan yang diambil oleh Uni Eropa mencakup berbagai bidang penting untuk rezim termasuk perdagangan, perbankan keuangan, dan asuransi, transportasi, dan sektor gas dan minyak, selain larangan visa baru dan pembekuan aset. Langkah-langkah ini telah menaikkan harga kegagalan Iran untuk memenuhi kewajibannya dan NATO berharap bisa membawa negara tersebut kembali ke dalam meja perundingan. and Eurasia, Washington, DC, March 10, 2011, http://www.state.gov/p/eur/rls/rm/2011/158214.htm, diakses pada Jum’at 20 Januari 2012 pukul 11.45 WIB. 75 Ketiga, pada Pertahanan Rudal, sekutu NATO sepakat sesuai dengan KTT Lisbon pada November 2010, bahwa pertahanan Eropa tidak bisa lagi dicapai hanya dengan tank atau bom. Sekarang, NATO perlu pertahanan baru untuk menangkal ancaman baru, khusuya menangkal rudal balistik dari rezim berbahaya. Tujuan Amerika Serikat dalam aliansi adalah untuk mengembangkan kemampuan pertahanan rudal yang akan memberikan cakupan penuh dan perlindungan dari ancaman rudal balistik untuk seluruh wilayah NATO dan Eropa, sesuai dengan jumlah populasi dan kekuatan. Kemampuan ini akan menjadi ekspresi nyata dari misi utama pertahanan kolektif NATO. Pada akhirnya, sekutu juga menyambut rudal AS di sistem pertahanan Eropa, yang dikenal sebagai Pendekatan Adaptif Eropa yang bertahap, sebagai kontribusi nasional bagi upaya pertahanan menyeluruh. Amerika Serikat berharap, NATO bisa mendapatkan tambahan kontribusi sukarela dari sekutu lainnya. Amerika Serikat tengah mencari cara lebih lanjut untuk bekerja sama dengan Rusia pada pertahanan rudal, dengan cara apapun tanpa merugikan kemampuan NATO untuk lebih mandiri dalam meningkatkan dan mempertahankan wilayahnya dari ancaman rudal. Keempat, di Afrika Utara dan Timur Tengah, Amerika Serikat berkonsultasi dan bekerja sama erat dengan NATO, Uni Eropa dan negara-negara anggota, dan sekutu Eropa lainnya sebagai situasi yang berkembang. Bekerja bersama dalam forum-forum multilateral, Amerika Serikat telah bergabung dengan negara lain untuk memberlakukan embargo senjata PBB di Libya dan untuk menangguhkan Libya dari Dewan Hak Asasi Manusia. Amerika Serikat juga telah mengkoordinasikan sanksi tambahan Libya melalui Uni Eropa dan negara anggotanya, dengan pengakuan bahwa 76 Eropa memiliki hubungan dan aset di Afrika Utara, dan bahwa persatuan akan lebih efektif untuk meningkatkan tekanan pada rezim Qadhafi. Dalam jangka panjang, Amerika Serikat akan bekerja sama dengan Eropa, Mesir, Tunisia, dan Libya untuk mendorong transisi demokrasi dan meningkatkan pola pembangunan ekonomi untuk membangun kawasan-kawasan strategis dunia.93 Termasuk dalam hal ini adalah perbaikan dan pemulihan bagi Libya. Berbagai bentuk keterlibatan dan peran Amerika Serikat seperti yang telah dijelaskan di atas, secara langsung dapat mendorong keanggotaan Amerika Serikat tetap berada dalam posisinya sebagai negara yang paling dominan di NATO. Namun, hal ini tentu saja akan menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan internal Amerika Serikat dan negara anggota NATO lainnya dalam menentukan kebijakan pertahanan NATO di masa mendatang, khususnya bagi keanggotaan Perancis di NATO. Bagi Perancis, posisi Amerika Serikat perlu diimbangi di NATO, dengan tujuan agar NATO tetap bisa bergerak sesuai kepentingan negara-negara anggota NATO dan sesuai dengan kepentingan negara-negara Eropa yang tergabung dalam aliansi. Adapun, kebijakan NATO yang menjadi prioritas utama adalah terkait pelaksanaan berbagai operasi NATO yang di dalamnya melibatkan berbagai perangkat militer, dana, dan personil pasukan perdamaian dari seluruh anggota NATO. Sebagai jalan akhir, maka dalam setiap operasi NATO, keterlibatan tentara Perancis bersama negara-negara anggota NATO lainnya menjadi semakin diperhitungkan pada era pasca Perang Dingin. 93 Ibid, pukul 11.45 WIB. 77 B. Bentuk Rivalitas Perancis-Amerika Serikat Dalam Mencapai Kepentingan Di NATO Perimbangan kekuasaan untuk memperoleh dominasi di NATO menjadi isu krusial bagi keanggotaan Perancis dan Amerika Serikat di NATO pasca Perang Dingin. Kembalinya Perancis secara penuh dalam struktur integrasi militer NATO merupakan sebuah langkah taktis bagi Perancis dalam usaha mengimbangi dominasi Amerika Serikat di NATO dan juga di Eropa. Kembalinya Perancis ke dalam srtuktur integrasi militer NATO sekaligus memberi legitimasi penuh kepada Perancis untuk memimpin Eropa dalam memperkuat sistem pertahanan dan keamanan Eropa secara menyeluruh. Kepentingan Perancis kembali ke dalam srtuktur integrasi militer NATO secara tegas termuat dalam Buku Putih Konsep Pertahanan Perancis, dimana hal ini menjadi salah satu kepentingan vital Perancis dalam membangun masa depan Pertahanan Eropa yang lebih mandiri dan independen. Dasar dari konsep Pertahanan Perancis seperti yang termuat dalam Undang-Undang Perancis 7 Januari 1959, meletakkan tiga dasar bagi tujuan Pertahanan Perancis, yaitu: To defend France’s vital interests, which are defined by the President of the Republic and include its peoples, its territory, and the fredom to exercise its sovereignty; To work for European integration and stability in Europe; and to implement a comprehenshive defence concept, which is not limited to military concern.94 Point kedua konsep pertahanan Perancis “to work for European integration and stability in Europe”, selanjutnya menjadi dasar bagi kepentingan Perancis di NATO. Bagi Perancis, salah satu cara untuk memperkuat pencapaian kepentingan nasional 94 Portelli, Op. cit., hal 192. 78 Perancis di NATO adalah dengan memperkuat posisinya di Eropa. Untuk itu, Perancis berusaha “to keep its place in the world, it will need to influence European integration and the coming change in Europe. It is European choice stems from strategic and economic considerations.”95 Selanjutnya, meskipun Perancis masih bebas menentukan persyaratan keamanan dan untuk memilih sumber daya, Perancis mengakui bahwa Aliansi Atlantik (NATO) adalah link penting antara Eropa dan Amerika, bahkan untuk menjaga misi perdamaian dilakukan atas nama PBB atau Organisasi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE). Tantangan terbesar Perancis di NATO adalah untuk memperbaharui keseimbangan kekuasan di NATO antara Perancis dan Amerika Serikat, “to strike a better balance of responsibilities between the United Stated and Europe and to put these capabilitie to work for peacekeeping missions and crisis management.”96 Oleh karena itu, untuk menjaga dan memperbaharui keseimbangan kekuasaan di NATO, maka Perancis dan Amerika Serikat harus mampu melihat dan memahami bentuk-bentuk kekuatan negara masingmasing. Termasuk dalam hal ini adalah kekuatan seluruh komponen negara dan sumber daya manusia sebagai pendukung dari sebuah kekuasaan. Komponenkomponen ini termasuk dalam golongan vital bagi suatu negara dalam membangun sumber-sumber kekuatan negara. Seperti kekuatan diplomasi, ekonomi, politik, militer, hukum dan kebudayaan. Sejalan dengan pemahaman di ini, US Secretary of State, Hillary Rodham Clinton menjelaskan, bahwa: 95 96 Ibid, hal. 192. Loc. cit. 79 Every nation should use a “smart power” as “the full range of tools at our disposal ––diplomatic, economic, military, political, legal and cultural, picking the right tool or combination of tools for each situation. With smart power, dilomacy will be the vanguard of our foreign policy.”97 AS dan Inggris harus menentang rencana Perancis dalam memperlemah NATO.98 Presiden Obama telah mengumumkan bahwa, Perancis akan kembali ke dalam struktur komando NATO, dengan diikuti oleh masuknya perwira-perwira Perancis dalam dua posisi komando senior Aliansi: Allied Command Transformation (salah satu dari dua komando tertinggi NATO, yang berbasis di Norfolk, Virginia) dan Joint Command Lisbon (salah satu dari tiga markas operasi utama NATO, yang juga termasuk Komando Pasukan Reaksi Cepat NATO).99 Ini adalah perkembangan yang sangat signifikan yang akan menempatkan Perancis di jantung perencanaan militer NATO dan proposal reformasi dan merupakan sebuah keputusan dan konsesi berisiko oleh Washington ke Pemerintah Sarkozy. Dalam pidato utama pada Konferensi Keamanan Munich pada tanggal 7 Februari100, Wakil Presiden Joe Biden menyambut baik keputusan Perancis untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam struktur NATO dan juga menjelaskan bahwa Amerika Serikat akan mendukung penguatan lebih lanjut pertahanan Eropa. Olivier Poivre D’Arvor, Winter, 2010, “The Smart Use of Soft Power”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2, hal 214. 98 “The U.S. and U.K. Must Oppose French Plans to Weaken NATO”, Nil Gardiner Ph.D. Direktur, Sally McNamara, dan Erica Munkwitz: Analis Kebijakan Senior Eropa di The Margaret Thatcher Center for Freedom di Heritage Foundation, http://www.heritage.org/research/reports/2009/02/the-us-and-uk-must-oppose-french-plans-to-weakennato, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 Pukul 15.55 WIB 99 “Command Accord Presages French Return to NATO,” Ben Hall and James Blitz, dalam Financial Times, http://www.ft.com/cms/s/0/fbc2122a-f323-11dd-abe6-0000779fd2ac.html, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB. 100 “Vice President Joseph R. Biden, speech at the 45th Munich Security Conference” ttp://www.securityconference.de/konferenzen/rede.php?menu_2009=&menu_konferenzen=&sprache= en&id=238&, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB. 97 80 Termasuk peran untuk meningkatkan misi Uni Eropa dalam memelihara perdamaian dan keamanan, kemitraan NATO-Uni Eropa secara fundamental. Pernyataan Biden menggemakan pandangan Sekretaris Pertahanan Inggris John Hutton, yang ceroboh mendukung rencana Perancis untuk tentara Uni Eropa.101 Baik Amerika Serikat dan Inggris harus mengambil langkah-langkah taktis atas proposal jangka panjang tuntutan Perancis bagi masa depan NATO. Kongres AS harus melakukan pemeriksaan untuk menilai strategi pemerintahan baru berkenaan dengan reintegrasi Perancis dalam rangka untuk menyorot bahaya yang ditimbulkan kepentingan AS. Ini akan menjadi kesalahan strategis besar penghakiman oleh Pemerintah baru AS dan pemerintah Inggris untuk terus mendukung ambisi Perancis untuk restrukturisasi arsitektur keamanan Eropa. Persetujuan seperti itu akan membawa Perancis menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa dan membawa pengaruh dalam tubuh NATO –– kekuatan dan pengaruh baik dari proporsi peran aktual militer Perancis dalam operasi Aliansi. Menyediakan Perancis dengan pengaruh tersebut pada akhirnya akan melemahkan hubungan khusus Anglo-Amerika, pergeseran kekuasaan dari Washington dan London dan menuju benua Eropa, sementara membuka jalan bagi pengembangan identitas pertahanan Uni Eropa yang terpisah yang semuanya akan melemahkan NATO. Presiden Nicholas Sarkozy, pertama kali melontarkan gagasan reintegrasi Perancis ke komando militer NATO di Juni 2007, ia menguraikan dua prasyarat: pertama pos komando dijamin untuk perwira senior Perancis dalam Aliansi, dan “John Hutton Backs European Army”, Isabel Oakeshott, dalam The Sunday Times, October 26, 2008, http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5014832.ece, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB. 101 81 kedua dukungan Amerika Serikat atas peningkatan identitas pertahanan Uni Eropa.102 Untuk itu, Perancis secara resmi menetapkan prinsip reintegrasi, Sarkozy menugaskan Buku Putih pada Pertahanan dan Keamanan Nasional Perancis, yang diterbitkan pada Maret 2008. Dirancang untuk mempromosikan sebuah identitas independen pertahanan Eropa. Kepentingan Perancis dalam Buku Putih Pertahanan dan Keamanan Nasional jelas menyatakan “Keinginana kuat Eropa berdiri sebagai prioritas semakin kuat. Membuat Uni Eropa sebagai pemain utama dalam manajemen krisis dan keamanan internasional merupakan salah satu prinsip utama kebijakan keamanan Perancis.”103 Selain itu, Perancis ingin Eropa harus dilengkapi dengan kemampuan militer dan sipil yang sesuai.104 Oleh karenyanya, redefinisi tanggung jawab pembagian antara Amerika dan Eropa merupakan sebuah penolakan eksplisit gagasan bahwa Uni Eropa bertindak sebagai pelengkap sipil untuk NATO. Dan, sebuah preferensi yang kuat untuk meningkatkan teknologi pertahanan Eropa. Bagi Perancis, prinsip-prinsip pertahanan Eropa adalah menjadi bagian dari Pertahan Perancis dan bagi negara Eropa lainnya. Pada bulan Juni 2008, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy mengumumkan dokumen tambahan yang menguraikan inisiatif kebijakan Paris untuk berintegrasi ke dalam struktur integrasi militer Eropa. Hal ini menyajikan unsur-unsur utama dari identitas pertahanan Uni Eropa, termasuk di dalamnya adalah: pertama sebuah markas operasi permanen di Brussel, kedua pendanaan untuk setiap operasi militer “Debate Still Open on NATO Integration: French Defence Officials,” Agence France-Presse, September 25, 2007. 103 “French White Paper on Defence and National Security, June 2008”, Op. cit., Pukul 10.00 WIB. 104 Loc. cit. 102 82 Umum Uni Eropa, dan ketiga, program pertukaran personil militer Eropa.105 Ketiga poin penting ini merupakan tambahan bagi kebijakan Perancis serperti yang tertuang dalam Buku Putih Perancis, sekaligus sebagai pedoman dasar dalam pelaksanaan politik luar negeri Perancis di NATO dan juga di Eropa. Sangat mungkin bahwa Pemerintahan Obama akan menganggap reintegrasi Perancis ke dalam NATO sebagai masterstroke diplomatik. Pemerintah Amerika Serikat akan mengklaim bahwa ia telah membangun kembali hubungan PerancisAmerika dengan cara yang saling menguntungkan, dan Sarkozy pada gilirannya akan mengklaim bahwa itu secara nyata menunjukkan komitmen Perancis untuk berdiri di samping Amerika. Namun, Pemerintah Amerika Serikat harus mengkaji ulang apa keuntungan Amerika Serikat terhadap perihal ini. Reintegrasi tersebut dapat mengekstrak beberapa ratus tentara Perancis tambahan untuk Afghanistan timur dan menghasilkan dukungan kuat publik Perancis untuk misi Afghanistan. Tapi Presiden Obama menjelaskan bahwa Amerika Serikat telah menyelamatkan aliansi dengan jalan meloloskan kepentingan Perancis. Perancis telah mampu melakukan reformasi militer di NATO, karena terbukti pada 2007 ketika 700 tambahan tentara Perancis dikirim ke Afghanistan), tapi 10 tahun inisiatif program keamanan Uni Eropa telah benar-benar mengalami penurunan dalam belanja pertahanan Eropa. Washington terus berpendapat bahwa mendukung Keamanan Eropa dan Kebijakan Pertahanan adalah sarana untuk memperbaiki anggaran pertahanan Eropa dan kemampuan militer. Tapi setelah 10 tahun, peningkatan tersebut belum terjadi “European HQ Heads Sarkozy Plan for Greater Military Integration,” Ian Taylor and Patrick Wintour, dalam The Guardian, June 7, 2008, http://www.guardian.co.uk/world/2008/jun/07/eu.france, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.55 WIB. 105 83 dan tidak tercermin dalam anggaran pertahanan yang diproyeksikan dari setiap kekuatan besar Eropa. Karena Uni Eropa dan NATO beroperasi di wilayah yang sama baik secara militer dan geografis, kompetisi untuk sumber daya akan menjadi ganas, dan Washington melihat permintaan untuk bantuan militer kemungkinan semakin ditolak seperti tuntutan Perancis untuk berkomitmen dalam misi pertahanan Uni Eropa.106 Setelah Amerika Serikat berhasil memberikan bantuan penciptaan struktur pertahanan Eropa yang terpisah, tidak akan ada alasan untuk memaksa Eropa untuk memilih NATO atas permintaan Uni Eropa di masa depan. Daripada benar-benar mencoba untuk meningkatkan kontribusi Eropa untuk pertahanan di panggung internasional, Perancis berusaha untuk memperluas pertahannya dan basis kekuatan Uni Eropa. Usulan Sarkozy sebagian besar bersifat politik, bukan militer. Dalam prakteknya, Perancis sudah terlibat hampir di semua struktur dan operasi NATO, termasuk semua badan politik dan juga NATO Response Force. Hal ini juga menjadi salah satu keberhasilan Perancis dalam menjalankan kepentingannya di NATO. Reintegrasi Perancis dalam struktur komando NATO menawarkan sedikit nilai tambahan bagi Washington, tapi memberikan momentum luar biasa bagi kepentingan Perancis untuk otonomi Uni Eropa terkait kebijakan luar negeri dan pertahanan. Ketika presiden Perancis berbicara tentang kebijakan luar negeri Eropa, ia lebih sering menekankan pada kebijakan luar negeri Perancis. Sama, ketika Sarkozy berbicara tentang meningkatkan kemampuan keamanan Eropa, ia berarti mengurangi keterlibatan Amerika di Eropa.107 106 107 “French White Paper on Defence and National Security, June 2008”, Op. cit., hal. 23. Loc. cit. 84 Sebagai contoh, pada Januari 2007 Uni Eropa mendirikan pusat operasi militer di Brussels, yang kemudian pada tahun itu dilakukan latihan sembilan hari yang melibatkan penyebaran virtual 2.000 tentara Eropa untuk menangani krisis di negara operasi NATO.108 Pusat operasional ini tanpa diragukan lagi menjadi markas besar komando militer Uni Eropa yang pada akhirnya akan bersaing dengan komando NATO. Usulan Perancis untuk melakukan reformasi struktur pertahanan Eropa yang independen akan dibangun di atas fondasi markas militer Uni Eropa yang baru ini. Jika Amerika Serikat setuju atas rencana Perancis, maka hal itu merupakan sebuah pembalikan pengaturan baru bagi keanggotaan Perancis dan menciptakan erosi yang lebih lanjut bagi supremasi NATO di Eropa. Dengan demikian, jika Pemerintahan Obama setuju untuk mendukung sebuah struktur pertahanan Uni Eropa yang independen sebagai bagian dari rencana Perancis untuk bergabung kembali dengan komando NATO, dukungan tersebut akan mewakili transformasi besar dalam pemikiran strategis AS yang akan memiliki dampak lebih besar dan membawa efek negatif pada masa depan aliansi. Ini akan menggeser keseimbangan politik kekuasaan dalam NATO dari Washington dan London menuju pusat-pusat utama dari kekuasaan dalam Uni Eropa: Paris, Berlin, dan Brussels. Termasuk mendorong negara-negara Eropa untuk terfokus pada misi pertahanan Eropa, itu akan menumbuhkan budaya ketergantungan yang lebih besar di dalam benua Eropa pada sumber daya NATO. Pergeseran itu juga akan menyebabkan duplikasi struktur komando NATO tanpa penggandaan tenaga kerja atau material. Sangat penting bahwa baik AS dan Inggris “EU Says NATO Will Benefit from New European Military Center,” Associated Press, dalam International Herald Tribune, June 13, 2007, http://www.iht.com/articles/ap/2007/06/13/europe/EUGEN-EU-Military.php, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.56 WIB. 108 85 menolak usulan Perancis yang didasarkan pada dukungan Amerika dan Inggris untuk sebuah organisasi pertahanan Eropa yang independen. Paris harus disambut kembali ke klub pimpinan NATO hanya pada istilah yang diterima semua anggota NATO. Ke depannya, amat sulit untuk melihat bagaimana kemampuan pertahanan Uni Eropa mampu memperkuat misi NATO secara luas. Sehingga, mendorong peran militer yang lebih besar bagi Uni Eropa hanya akan membuat tugas NATO lebih rumit. NATO telah menjadi organisasi multilateral pasca-perang yang paling sukses, dan oleh karena itu sistem pertahanan dan aliansi keamanan yang independen di negara-bangsa Eropa perlu diciptakan. Usulan Perancis untuk membangun struktur pertahanan Uni Eropa yang terpisah, yaitu sebuah pesaing bagi NATO menyedot sumber daya berharga NATO. Dan oleh karena itu, tidak dapat diterima dan harus ditolak dengan tegas oleh Amerika Serikat. Sedangkan, bagi Perancis, untuk mewujudkan hal ini, maka strategi Perancis salah satunya ialah dengan jalan memperkuat sistem pertahanan Eropa melalui peninggkatan postur militer uni Eropa di Eropa. Termasuk dalam hal ini adalah keberhasilan Perancis dalam memasukkan perwira Perancis dalam dua posisi Komando Senior Aliansi, yaitu Allied Command Transformation (ACT): satu dari dua komando tertinggi NATO yang berbasis di Norfolk, Virginia dan Joint Command Lisabon (JCL): satu dari tiga markas operasi utama NATO, juga termauk Komando Pasukan Reaksi Cepat NATO. Proses ini telah menjadi langkah penyesuaian Perancis dalam mencapai kepentingan nasional di NATO. Dengan demikian, cita-cita Eropa seperti yang tertulis dalam Buku Putih Perancis bisa terwujud. 86 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan 1. Buku Putih Perancis yang dirilis pada Juni 2008 menegaskan bahwa kepentingan Perancis adalah untuk memperbaharui keseimbangan kekuasaan antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Oleh karena itu, Perancis terfokus untuk membangun Sistem Pertahanan Eropa yang lebih kuat, berdiri sebagai prioritas, dan menjadikan Eropa sebagai pemain utama dalam manajemen krisis dan keamanan internasional. Sebaliknya, kepentingan Amerika Serikat sesuai dengan mandat US Nationl Security adalah mempertahankan posisinya sebagai negara terkuat di NATO, menjadi aktor sentral dalam arena internasional di Eropa, dan menjaga kredibilitasnya sebagai negara superpower atas NATO di Eropa. Hal ini bertujuan menjaga aliansi tetap relevan, tidak punah, dan mampu bertahan terhadap berbagai jenis ancaman baru abad 21. Pada akhirnya, persiteruan ini mempertajam rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat yang dapat dijelaskan dalam konsep Eropa I, “meng-Amerikaserikat-kan NATO” dimana munculnya keinginan besar Amerika Serikat untuk memposisikan NATO dibawah pengaruh dan kendalinya “to make NATO under US”. Sebaliknya, konsep Eropa II, dimana negara-negara Eropa berkeinginan untuk “me-NATO-kan Amerika Serikat” agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa di NATO “to make US under NATO”. 87 2. Bentuk Rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat terletak pada redefenisi tanggung jawab (Structur), pembagian tugas (Planning), dan pengambilan kebijakan (Operation) di NATO. Gagasan redefinisi tanggung jawab menjadi krusial bagi kepemimpinan Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Kembalinya Perancis di struktur integrasi militer NATO mewakili transformasi besar pemikiran strategis Amerika Serikat sekaligus membawa efek yang akan menggeser keseimbangan politik kekuasaan di NATO. Bagi Amerika Serikat, Perancis harus disambut kembali ke klub pimpinan NATO hanya pada istilah yang dapat diterima semua anggota NATO. Masuknya Perwira Perancis di dua posisi Komando Senior Aliansi: Allied Command Transformation dan Joint Command Lisbon merupakan perkembangan signifikan yang akan menempatkan Perancis di jantung perencanaan militer NATO. Hal ini menjadi konsesi berisiko bagi kepentingan Amerika Serikat di NATO, menyediakan Perancis dengan pengaruh besar yang pada akhirnya melemahkan hubungan Anglo-Amerika, memperlebar pergeseran kekuasaan dari Washington-London menuju Eropa, sementara membuka jalan bagi peningkatan identitas pertahanan Eropa yang terpisah dari NATO. Akhirnya, tantangan terbesar Amerika Serikat adalah harus mampu menjamin rencana jangka panjang Perancis dan mengakui Otonomi Eropa melalui peningkatan Identitas Pertahan Eropa sesuai mandat Buku Putih. Sebaliknya, tantangan terbesar Perancis adalah harus siap menghadapi kekuatan Amerika Serikat sebagai jalan untuk memperbaharui perimbangan kekuasaan di NATO. 88 B. Saran-Saran 1. Hendaknya Perancis di bawah pemerintahan Nicholas Sarkozy terus mengkawal perkembangan kepentingan Perancis di NATO. Sesuai dengan rencana Buku Putih Perancis untuk tetap berada dalam keseimbangan kekuasaan dengan Amerika Serikat di NATO, bisa terwujud. Dengan demikian, rencana jangka panjang Perancis dalam membangun sistem pertahan Eropa semakin menguat. Di sisi lain, Amerika Serikat hendaknya mampu mengambil peran dan strategi baru untuk menyikapi kepentingan Perancis di NATO agar kepentingan Amerika Serikat di NATO sebagai negara yang paling dominan, tetap terjaga. 2. Untuk tetap menjaga keseimbangan kekuasaan di NATO, maka Perancis dan Amerika Serikat hendaknya mampu mengkawal pembagian kerja dan tanggung jawab di struktur utama kelembagaan NATO, sekaligus memperjelas pembagian peran dalam setiap pelaksanaan misi operasi NATO, dengan harapan agar kepentingan Perancis dan Amerika Serikat tetap berjalan sesuai dengan tujuan masing-masing. 3. Perlunya kajian mendalam tentang NATO terkait konsep Eropa I dan II. Hal ini untuk lebih memperjelas dalam memahami keberadaan NATO di Eropa terkait dengan integrasi dan perluasan negara naggota NATO. Dengan demikian, mampu menambah wawasan baru dalam memahami model intregrasi dan perluasan keanggotaan NATO pada pasca Perang Dingin, khususnya terkait perkembangan NATO dalam bidang pertahanan dan kemanan di kawasan Atlantik Utara dan Global. 89 DAFTAR PUSTAKA Buku Anonim (2008). Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga. Augustin, Sankt (2007). Konrad Adenauer and the European Integration. Berlin: Konrad Adenauer Fundation. Bakry, Umar Suryadi (1999). Pengantar Hubungan Internasional. Jakarta: Jayabaya University Press. Banyu, A. A., & Yani, Y. M. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Coplin, William D. (1992). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung: CV Sinar Baru. Dougherty, James E. dan Robert L. Pfatzgraff, Jr. (1971). Contending Theories in International Relations. New York: JB.Lippncot CO. Firdausy, Arsi Dwinugra (1998). Motivasi Hongaria Masa Pemerintahan Koalisi Konservatif Untuk Bergabung Dengan NATO. Skripsi S-1, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol. Yogyakarta: UGM. Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry (2002). International Relations: The Key Concepts. London: Routledge. Hugues Portelli, dkk. (2005). France. Paris: La Documentation Francaise; Ministere des Affaires etrangeres. Jones, Walter S. (1992). Logika Hubungan Internasional: Persepsi Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. _____________(1993). Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, EkonomiPolitik Internasional, dan Tatanan Dunia 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Mas’oed, Mohtar (1990). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES. Morgentahau, Hans J. (1990). Politik Antarbangsa: Perjuangan Untuk Kekuasaan dan Perdamaian. Bandung: MANNA, Lembaga Penterjemahan dan Penyaduran. 90 Rimanelli, Marco (2009). Historical Dictionary of NATO and other International Security Organizations. United Stated of America: Scarecrow Press, Inc. Rudy, T May (2002). Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: PT. Refika Aditama. Sarkesian, Sam C., Williams, John Alens and Cimbala, Stephen J. (2008). US National Security: Policymakers, Processes, and Politics. Unites States of America: Lynne Riener Publishers, Inc. Schelling, T. C. (1966). The Diplomacy of Violence. New Haven: Yale University Press. Sheehan, Michael (1996). The Balance of Power: History and Theory. New York: Routledge Publishing. Soeprapto, R. (1997). Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sriyono, A. Agus, dkk. (2004). Hubungan Internasional, Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. T., Diez dan A., Wiener (2009). Introducing the Mosaic of Integration Theory in Wiener A., Diez T., European Integration Theory (2nd edition). London: Oxford University Press. Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe (1990). Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power. Bandung: Abardin. Yusuf, Sufri (1989). Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Ziring, Laurence., Plano, Jack C., Olton, Roy (1995). International Relation: A Political Dictionary. California: ABC-CLIO, Inc. Dokumen French White Paper on Defence and National Security, June 2008. NATO Handbook 2006, “NATO’s Public Diplomacy Division”, Brussel. NATO New Strategic Concept, 2010. 91 Jurnal Chapelle, Bertrand De La. Automne (2010). “Territoire, Puissance et Gouvernance a l’ere Numerique”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 5. D’Arvor, Olivier Poivre (Winter, 2010). “The Smart Use of Soft Power”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2. Huth, P. K. (1999). “Deterrence and International Conflict: Empirical Findings and Theoretical Debate,” dalam Annual Review of Political Science, No. 2. Jentleson, B.A., dan Whytock, C.A. (Winter 2005). “Who Won Libya”, dalam International Security, Vol. 30, No. 3. Lasas, Ainius (2008). “Restituting Victims: EU and NATO Enlargements through the Lenses of Collective Guilt”, dalam Journal of European Public Policy. Mariani, Renato (2004). “Book Review: Frank Schimmelfennig, The EU, NATO and the Integration of Europe: Rules and Rhetoric”, dalam Journal of International Studies, Vol. 33. Presse, Agence France (25 September 2007). “Debate Still Open on NATO Integration”, dalam French Defence Officials. Spero, Joshua B. (2005). “Resensi Buku: Schimmelfennig Frank, Uni Eropa, NATO dan Integrasi Eropa dan Retorika Aturan”, dalam Review Slavia. Internet “Background Note: France” http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3842.htm, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB. “Command Accord Presages French Return to NATO,” Financial Times, February 5, 2009, http://www.ft.com/cms/s/0/fbc2122a-f323-11dd-abe6-0000779fd2ac.html diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB. “Declaration on Peace and Cooperation, 08 November 1991” http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_texts_23846.htm, diakses pada hari Senin, tanggal 6 Februari 2012 pukul 23.07 WIB. “European HQ Heads Sarkozy Plan for Greater Military Integration,” The Guardian, June 7, 2008, http://www.guardian.co.uk/world/2008/jun/07/eu.france, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.55 WIB. 92 “EU Says NATO Will Benefit from New European Military Center,” International Herald Tribune, June 13, 2007, http://www.iht.com/articles/ap/2007/06/13/europe/EU-GEN-EU-Military.php. diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.56 WIB. “French White Paper on Defence and National Security, June 2008,” http://www.ambafrance-ca.org/IMG/pdf/, livre_blanc_press_kit_english_version.pdf, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 Pukul 10.00 WIB. “John Hutton Backs European Army”, The Sunday Times, October 26, 2008, http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5014832.ece diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB. “NATO’s Vision and Mission” http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_programs.htm, diakses hari Sabtu, tanggal 4 Februari 2012 pukul 07.00 WITA “Overview of U.S. Relations with Europe and Eurasia Testimony”, Philip H. Gordon, Assistant Secretary, Bureau of European and Eurasian Affairs, House Foreign Affairs Subcommittee on Europe and Eurasia, Washington, DC, March 10, 2011, http://www.state.gov/p/eur/rls/rm/2011/158214.htm, diakses pada hari Jum’at 20 Januari 2012 pukul 11.45 WIB. ”Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009.” http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2009-03-21-voa885126987.html, diakses pada hari Selasa, tanggal 8 November 2011 pukul 22.35 WITA. “Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar”, Remarks Hillary Rodham Clinton, Secretary of State Ritz-Carlton Hotel Washington, DC February 22, 2010” http://www.state.gov/secretary/rm/2010/02/137118.htm, diakses pada hari Jum’at 20 Januari 2012 pukul 10.00 WIB. “ Text of the North Atlantic Treaty, 4 April 1949.” http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_ext_17120.htm, diakses pada hari Jum’at, tanggal 7 Oktober 2011 pukul 23.30 WITA. “The State Department's Role in NATO Deterrence and Defense Posture Review (DDPR) and Future Arms Control”, http://www.state.gov/t/us/176669.htm, diakses pada hari Jum’at 20 Januari 2012 pukul 10.30 WIB. “The U.S. and U.K. Must Oppose French Plans to Weaken NATO”, Nil Gardiner Ph.D. Direktur, Sally McNamara, dan Erica Munkwitz (Analis Kebijakan Senior Eropa di The Margaret Thatcher Center for Freedom di Heritage 93 Foundation), http://www.heritage.org/research/reports/2009/02/the-us-and-ukmust-oppose-french-plans-to-weaken-nato, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 Pukul 15.55 WIB “ United Nations Resolutin 1973, 17 Maret 2011” http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10200.doc.htm, diakses pada hari Selasa, tanggal 8 November 2011 pukul 22.30 WITA. “Vice President Joseph R. Biden, speech at the 45th Munich Security Conference,” http://www.securityconference.de/konferenzen/rede.php?menu_2009=&menu_ konferenzen=&sprache=en&id=238&, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB. 94 LAMPIRAN 95 The North Atlantic Treaty Washington D.C. - 4 April 1949 The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and all governments. They are determined to safeguard the freedom, common heritage and civilisation of their peoples, founded on the principles of democracy, individual liberty and the rule of law. They seek to promote stability and well-being in the North Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective defence and for the preservation of peace and security. They therefore agree to this North Atlantic Treaty: Article 1 The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle any international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered, and to refrain in their international relations from the threat or use of force in any manner inconsistent with the purposes of the United Nations. Article 2 The Parties will contribute toward the further development of peaceful and friendly international relations by strengthening their free institutions, by bringing about a better understanding of the principles upon which these institutions are founded, and by promoting conditions of stability and well-being. They will seek to eliminate conflict in their international economic policies and will encourage economic collaboration between any or all of them. Article 3 In order more effectively to achieve the objectives of this Treaty, the Parties, separately and jointly, by means of continuous and effective self-help and mutual aid, will maintain and develop their individual and collective capacity to resist armed attack. Article 4 The Parties will consult together whenever, in the opinion of any of them, the territorial integrity, political independence or security of any of the Parties is threatened. Article 5 The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or North America shall be considered an attack against them all and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary, 96 including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area. Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shall immediately be reported to the Security Council. Such measures shall be terminated when the Security Council has taken the measures necessary to restore and maintain international peace and security. Article 6109 For the purpose of Article 5, an armed attack on one or more of the Parties is deemed to include an armed attack: on the territory of any of the Parties in Europe or North America, on the Algerian Departments of France110, on the territory of or on the Islands under the jurisdiction of any of the Parties in the North Atlantic area north of the Tropic of Cancer; on the forces, vessels, or aircraft of any of the Parties, when in or over these territories or any other area in Europe in which occupation forces of any of the Parties were stationed on the date when the Treaty entered into force or the Mediterranean Sea or the North Atlantic area north of the Tropic of Cancer. Article 7 This Treaty does not affect, and shall not be interpreted as affecting in any way the rights and obligations under the Charter of the Parties which are members of the United Nations, or the primary responsibility of the Security Council for the maintenance of international peace and security. Article 8 Each Party declares that none of the international engagements now in force between it and any other of the Parties or any third State is in conflict with the provisions of this Treaty, and undertakes not to enter into any international engagement in conflict with this Treaty. Article 9 The Parties hereby establish a Council, on which each of them shall be represented, to consider matters concerning the implementation of this Treaty. The Council shall be so organised as to be able to meet promptly at any time. The Council shall set up such subsidiary bodies as may be necessary; in particular it shall establish immediately a defence committee which shall recommend measures for the implementation of Articles 3 and 5. Article 10 The Parties may, by unanimous agreement, invite any other European State in a position to further the principles of this Treaty and to contribute to the security of the North Atlantic area to accede to this Treaty. Any State so invited may become a Party to the Treaty by depositing its instrument of accession with the Government of the 109 The definition of the territories to which Article 5 applies was revised by article 2 of the Protocol to the North Atlantic Treaty on the accession of Greece and Turkey signed on 22 October 1951. 110 On January 16, 1963, the North Atlantic Council noted that insofar as the former Algerian Departments of France were concerned, the relevant clauses of this Treaty had become inapplicable as from July 3, 1962. 97 United States of America. The Government of the United States of America will inform each of the Parties of the deposit of each such instrument of accession. Article 11 This Treaty shall be ratified and its provisions carried out by the Parties in accordance with their respective constitutional processes. The instruments of ratification shall be deposited as soon as possible with the Government of the United States of America, which will notify all the other signatories of each deposit. The Treaty shall enter into force between the States which have ratified it as soon as the ratifications of the majority of the signatories, including the ratifications of Belgium, Canada, France, Luxembourg, the Netherlands, the United Kingdom and the United States, have been deposited and shall come into effect with respect to other States on the date of the deposit of their ratifications.111 Article 12 After the Treaty has been in force for ten years, or at any time thereafter, the Parties shall, if any of them so requests, consult together for the purpose of reviewing the Treaty, having regard for the factors then affecting peace and security in the North Atlantic area, including the development of universal as well as regional arrangements under the Charter of the United Nations for the maintenance of international peace and security. Article 13 After the Treaty has been in force for twenty years, any Party may cease to be a Party one year after its notice of denunciation has been given to the Government of the United States of America, which will inform the Governments of the other Parties of the deposit of each notice of denunciation. Article 14 This Treaty, of which the English and French texts are equally authentic, shall be deposited in the archives of the Government of the United States of America. Duly certified copies will be transmitted by that Government to the Governments of other signatories. 1. The definition of the territories to which Article 5 applies wa revised by Article 2 of the Protocol to North Atlantic Treaty on the accession of Greece and Turkey signed on 22 October 1951. 2. On January 16, 1963, the North Atlantic Council noted that insofar as the former Algerian Departments of France were concerned, the relevant clause of this Treaty had become inapplicable as from July 3, 1962. 3. The Treaty came into force on 24 August 1949, after the deposition of the ratifications of all signatory states. Last updated: 23-Oct-2009 14:57 111 The Treaty came into force on 24 August 1949, after the deposition of the ratifications of all signatory states. 98