View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Terbentuknya Pakta Pertahanan Atlantik Utara, 4 April 1949 telah membawa
paradigma baru bagi dunia internasional dalam memahami postur, dinamika, dan
ancaman baru terhadap keamanan internasional. Sejak terjadinya Perang Dunia I
(1914-1918), menyusul Perang Dunia II (1939-1945), hingga Perang Dingin yang
berakhir pada runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan kembali (reunifikasi) Jerman
Barat-Timur (1990)1, serta beberapa konflik dan perang yang terjadi setelahnya,
kondisi keamanan internasional telah banyak mengalami bentuk polarisasi kekuatan.
Pada ketiga perang yang disebutkan di atas, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik
Utara baru terlibat dalam Perang Dingin sebab organisasi ini baru dibentuk pada
pasca Perang Dunia II.
Pada awal pembentukannya, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara
beranggotakan dua belas negara penandatangan, yaitu Perancis, Amerika Serikat,
Belanda, Inggris, Belgia, Denmark, Italia, Kanada, Luxemburg, Norwegia, Portugal,
dan Islandia. Dua negara yang disebut paling awal –Perancis dan Amerika Serikat,
merupakan dua negara yang paling memegang peranan penting dalam memobilisasi
1
Pasca Perang Dingin isu-isu tentang ancaman keamanan internasional telah mengalami pergeseran
dari keamanan tradisional yang bersifat state-centered menuju ke keamanan non-tradisional yang lebih
bervariasi hingga people-centered. Dalam situasi seperti ini, NATO dituntut untuk mengadakan
penyesuaian. Adapun langkah yang paling efektif dilakukan adalah dengan melakukan redefenisi
untuk mengetahui relevansi NATO dalam melihat bentuk-bentuk ancaman baru terhadap keamanan
internasional.
1
keamanan internasional baik melalui NATO dan PBB, dan merupakan dua di antara
lima negara (Amerika Serikat, Perancis, Rusia, Cina, dan Inggris) pemegang Hak
Veto di PBB.
Dalam konsep perjanjian ini, North Atlantic Treaty juga disebut dengan nama
Washington Treaty. Perancis menyebut pakta pertahanan ini dengan nama
L’organisation du Traite de L’atlantique Nord, disingkat OTAN sekaligus mewakili
dominasi Perancis bersama Eropa di pakta pertahanan ini. Sedangkan, Amerika
Serikat menyebutnya dengan nama North Atlantic Treaty Organization, disingkat
NATO sekaligus secara tersirat mewakili dominasi Amerika Serikat. Namun, untuk
lebih mempermudah dalam penguasaan literatur, penulis mencoba menggunakan
istilah “NATO” dalam pembahasan sesuai dengan judul skripsi ini.
Pada tahun-tahun berikutnya, keanggotaan NATO semakin bertambah yang
semuanya berasal dari Eropa. Yunani dan Turki masuk menjadi anggota pada tahun
1952. Kemudian Republik Federasi Jerman atau Jerman Barat ikut masuk dalam
keanggotaan pada tahun 1955. Spanyol bergabung pada tahun 1982, tetapi berada di
luar struktur integrasi militer NATO hingga 1996. Cekoslovakia, Polandia, dan
Hungaria menjadi anggota tahun 1999. Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania,
Romania, Slovakia, dan Slovenia bergabung pada tahun 2004. Terakhir, Albania dan
Kroasia resmi bergabung pada tanggal 1 April 2009 sesuai KTT Bucharest.
Melihat secara stuktural keanggotaan NATO di atas, Perancis merupakan salah
satu dari duabelas negara pemrakarsa berdirinya NATO. Namun, pada tahun 1966
Perancis menyatakan diri keluar dari struktur integrasi militer NATO walaupun masih
memiliki wakil dalam pakta pertahanan ini, dan baru kembali aktif di NATO pada
2
tahun 2009.2 Selain itu, pada tahun 1966 Perancis dan Jerman membentuk pertahanan
bersama di luar NATO sebagai tindak lanjut dari Elysee Treaty 1963 yang
selanjutnya menjadi konsep dasar bagi pembentukan Pertahanan dan Kemanan Eropa
tahun 1996.3 Kolaborasi pakta pertahanan ini menunjukkan adanya pengaruh dari dua
kekuatan Eropa yang baru –Perancis dan Jerman, sekaligus membentuk kemandirian
(self-determination) Eropa dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Sehubungan dengan hal di atas, secara tajam menunjukkan adanya dominasi
yang ketat antara Perancis dan Amerika Serikat di tubuh NATO. Situasi ini oleh
Eropa merupakan sebuah strategi untuk menghindari “psychology of dependent”
4
Perancis terhadap Amerika Serikat di NATO. Perancis mencoba mengungguli
Amerika Serikat atas NATO dengan cara membentuk pakta pertahanan bersama
dengan Jerman di luar NATO. Sebaliknya, Amerika Serikat mencoba mengungguli
Perancis atas NATO melalui peningkatan postur kekuatan militernya.
Pada persoalan kepentingan nasional negara masing-masing, maka kita akan
melihat sebuah perseteruan yang tajam antara Perancis dan Amerika Serikat di
NATO. Keduanya tentu saja memiliki peluang dan kemampuan untuk saling
2
Tahun 2009 Perancis masuk kembali ke Struktur Komando Militer NATO atas usul Presiden Nicolas
Sarkozy melalui persetujuan pihak Parlemen Perancis. Ia mengajukan permohonan resmi bagi Perancis
untuk kembali memasuki struktur komando NATO, setelah absen selama 43 tahun. Surat Sarkozy itu
diserahkan kepada Sekjen NATO Jenderal Jaap de-Hoop Scheffer dalam KTT Uni Eropa di Brussels.
Parlemen Perancis menyetujui rancangan undang-undang yang mendukung Perancis kembali menjadi
anggota NATO. Perdana Menteri Perancis, Francois Fillon mengatakan kepada para legislator,
“kembalinya Perancis ke komando militer NATO merupakan penyesuaian yang akan memberikan
pengaruh lebih besar bagi Perancis dalam NATO. Selain itu, NATO tahun 2009 berbeda dengan
NATO tahun 1966.” Dikutip dari “Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009”.
http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2009-03-21-voa8-85126987.html, diakses tanggal 8
November 2011 pukul 22.35 WITA.
3
Sankt Augustin, 2007, Konrad Adenauer and the European Integration, Berlin: Konrad Adenauer
Fundation, Archive for Christian Democratic Policy (ACDP), hal. 19.
4
A. Agus Sriyono, dkk, 2004, Hubungan Internasional, Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 176.
3
mendominasi. Di satu sisi, Perancis memulainya dengan menyuarakan kembali
semboyan leluhurnya di atas prinsip “Liberty, Egality, and Fraternity”5 dalam
menjaga kedaulatan negara sebagai bentuk independensi dari kekuatan hegemoni
Amerika Serikat. Prinsip tersebut sesungguhnya untuk menegaskan kembali suatu
politik luar negeri Perancis yang independen yang secara turun-temurun diakui
sebagai “tradisi khas Perancis” dalam mencapai kepentingan nasionalnya.
Kepentingan nasional Perancis ialah mengimbangi hegemoni Amerika Serikat
di Eropa melalui NATO. sehingga, Perancis harus bersikap independen terhadap
Amerika Serikat. Langkah ini telah dijalankan sebaik mungkin, dan oleh Presiden
Perancis François Mitterrand (1999) mengilustrasikan bahwa “Amerika Serikat tidak
dapat lagi dipandang sebagai partner yang dapat dipercaya, sedangkan Rusia (Uni
Soviet) sedang berada dalam ketidakpastian, maka suatu ‘kekuatan baru’ harus
muncul ke permukaan”.6 Kemudian, oleh Perdana Menteri Perancis, Pierre Mauroy
yang pernah menjabat pada masa pemerintahan Mitterrand, bahwa kepentingan
nasional Perancis tidak akan menyimpang dari warisan kebesaran raja-raja silam,
khususnya dalam urusan keamanan. Selanjutnya, Presiden Nicholas Zarkozhy (2009)
mengilustrasikan kepentingan Perancis dalam politik luar negerinya di bidang
pertahanan, bahwa masuknya Perancis kembali di NATO merupakan sebuah langkah
penyesuaian yang akan memberikan pengaruh lebih besar bagi Perancis di NATO.7
Sedangkan, Amerika Serikat dalam memperkuat posisinya, mencoba mendorong
5
Semboyan Perancis pada masa Pemerintahan Napoleon yang dijadikan politik luar negeri tak
terbatas, prinsip “Liberty, Egality, and Fraternity”
6
Sriyono, Op. cit., hal. 156.
7
“Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009”, Op. cit. pukul 22.35 WITA.
4
demokrasi “standar ganda” sebagai politik luar negeri dan pada masanya
menyuarakan diri sebagai polisi dunia atas “Global War againt Terrorism” melalui
diplomasi “preventive war” di bawah pemerintahan George W. Bush.
Sehubungan dengan hal di atas, maka persepsi kesamaan/kesetaraan (equality)
dalam menjaga kedaulatan negara adalah sesuatu yang dianggap vital antara Perancis
dan Amerika Serikat. Dalam kasus ini, Morgenthau mendefinisikan persepsi equality
dalam menjaga kedaulatan negara, bahwa:
Equality atau Persamaan tidak lain ialah suatu sinonim bagi kedaulatan yang
menunjukkan suatu segi khusus kedaulatan. Jikalau semua negara mempunya
kekuasaan tertinggi dalam wilayahnya, maka tidak ada negara yang dibawahi
oleh negara lain dalam melaksanakan kekuasaan itu. Tidak ada negara, yang
mempunyai hak kalau tidak ada kewajiban perjanjian yang bertentangan dengan
itu, untuk mengatakan kepada suatu negara lain, apa saja undang-undang yang
akan dibuat dan yang harus ditegakkan, apalagi untuk membuat undang-undang
dan menegakkannya dalam wilayah negara... Karena negara-negara itu
berdaulat, mereka tidak dapat membiarkan suatu kekuasaan yang membuat
undang-undang dan menegakkannya, berada di atasnya dan beroperasi langsung
dalam wilayahya.8
Dalam konteks ini, setiap negara memiliki hak yang sama dalam mejalankan
pemerintahannya, membuat aturan, untuk kemudian menjaga kedaulatan negaranya9
sebagai bagian vital kepentingan nasionalnya. Demikian juga Perancis dan Amerika
Serikat, sama-sama memiliki kepentingan di NATO.
Dalam posisi yang sama sebagai anggota NATO, Perancis dan Amerika Serikat
memiliki kepentingan yang pada dasarnya terimplementasikan dalam peran dan
tujuan NATO. Adapun NATO, secara tradisional memiliki peran dan tujuan sebagai
8
Hans J. Morgentahau, 1990, Politik Antarbangsa: Perjuangan Untuk Kekuasaan dan Perdamaian,
Bandung: MANNA, Lembaga Penterjemahan dan Penyaduran, hal. 367.
9
Dalam menjaga kedaulatan negara, setiap negara berhak mendapatkan penghormatan sebagai bentuk
independensi dari negara lainnya. Adapun, equality kaitannya dengan kekuatan (power) suatu negara
selalu mengalami pasang surut.
5
penjaga keamanan dan kemerdekaan terhadap negara-negara anggotanya seperti yang
tertera dalam mukaddimah Perjanjian Atlantik Utara, yaitu:
The parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of
the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all
peoples and all government. They are determined to safeguard the freedom,
common heritage and civilisation of their peoples, founded on the principles of
democracy, individual liberty and the rule of law. They seek to promote stability
and well-being in the North Atlantic area. They are resolved to unite their
efforts for collective defence and for the preservation of peace and security.
They therefore agree to this North Atlantic Treaty...10
Dari peran dan tujuan di atas, NATO pada perkembangannya telah banyak
melakukan reformasi dan transformasi kelembagaan NATO khususnya dalam melihat
keamanan internasional. Di sisi lain, NATO juga telah melewati dan ikut terlibat pada
beberapa peristiwa besar baik perang maupun konflik yang di dalamnya melibatkan
kepetingan Perancis dan Amerika Serikat. Dengan demikian, dominasi dan perebutan
peran antara Perancis dan Amerika Serikat menjadi tak terelakkan dalam tubuh
NATO. Dalam kacamata kepentingan nasional Amerika Serikat, Perancis merupakan
kunci utama bagi Amerika Serikat untuk mengendalikan kekuatan Eropa di NATO.
Sebaliknya, dalam kacamata kepentingan nasional Perancis, Amerika Serikat
dianggap sebagai penghambat dalam menentukan masa depan dan kemandirian Eropa
di NATO, khususnya dalam menentukan sistem pertahanan Eropa. Oleh karena itu,
Perancis perlu mengadakan perimbangan kekuasaan baru di NATO. Kondisi ini tentu
saja akan memberi efek pada NATO dalam merespon dan menyelesaikan isu-isu
keamanan, baik di tingkatan regional maupun internasional.
“Text of the North Atlantic Treaty, 4 April 1949”
http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_ext_17120.htm, diakses pada tanggal 7 Oktober 2011
pukul 23.30 WITA.
10
6
Sebagai contoh kasus, Krisis Libya pada awal tahun 2011 merupakan isu utama
bagi NATO dalam merespon kondisi dan postur keamanan internasional. Keluarnya
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1973 tanggal 17 Maret 2011 memberi
leluasa kepada NATO untuk masuk ke Krisis Libya. Resolusi tersebut bertujuan
untuk: melindungi warga sipil, penetapan “no fly zone”, embargo senjata, pelarangan
penerbangan Libya ke luar negeri, pembekuan dan pelarangan aset Qhadafi dan
koleganya, dan pembentukan panel ahli untuk menindaklanjuti resolusi.
Selanjutnya, pada tanggal 19 Maret 2011, pasukan koalisi yang terdiri dari lima
negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia dan Kanada dibawa kendali
NATO meluncurkan “Operasi Fajar Odyssey” terhadap Libya. Operasi ini bertujuan
untuk melindungi penduduk sipil dari serangan yang dilakukan oleh kekuatan proMuammar Al-Qadhafi. Serangan militer bertindak di bawah Bab VII Piagam PBB,
yang mengatur penggunaan kekuatan jika diperlukan, serta Resolusi DK PBB 1973
khususnya pada poin (4) Protection of Civilians:
Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting
nationally or through regional organizations or arrangements, and acting in
cooperation with the Secretary-General, to take all necessary measures, …, to
protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the
Libyan Arab Jamahiriya...11
Berdasarkan piagam PBB Bab VII, Dewan Keamanan PBB memiliki hak untuk
mengambil tindakan dalam suatu kasus internal suatu negara apabila terdapat
ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi terhadap negara
lain yang dilakukan oleh suatu negara. Oleh PBB dan NATO, langkah ini merupakan
“United Nations Resolutin 1973, 17 Maret 2011”
http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10200.doc.htm, diakses pada tanggal 8 November 2011
pukul 22.30 WITA.
11
7
sebagai bentuk misi khusus untuk menjamin keamanan internasional. Namun, jika
kita melihat sikap Uni Eropa terhadap penyerangan militer ke Libya, negara anggota
Uni Eropa memiliki sikap berbeda-beda. Jerman ialah salah satunya. Sebagai salah
satu dari anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB, Jerman berpendapat lebih
memilih untuk tidak menggunakan kekerasan. Namun, semua anggota NATO sepakat
untuk memberlakukan sanksi kepada Libya seperti yang tertuang dalam keputusan
No. 201/2011 dan 137/2011/CFSP. Keputusan ini merupakan bentuk langkah nyata
NATO dalam menjamin stabilitas dan keamanan internasional yang telah disesuaikan
dengan PBB.
Melihat fenomena ini, peneliti sangat tertarik untuk mengkajinya lebih dalam
dengan mengangkat sebuah judul ”Rivalitas Perancis-Amerika Serikat di North
Atlantic Treaty Organization Pasca Perang Dingin”, difokuskan pada Rivalitas
antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Penelitian ini mencoba memahami
perilaku kedua negara ––Perancis dan Amerika Serikat, kemudian menelaah
pengaruhnya terhadap NATO dalam melihat postur keamanan internasional di masa
kekinian. Alasan utama memilih tema ini karena Kajian Eropa sangat menarik dan
menantang untuk dikaji lebih dalam. Peneliti melihat betapa pentingnya pengkajian
Kawasan Eropa dalam Disiplin Ilmu Hubungan Internasional di masa mendatang,
mengingat masih kurangnya ahli dan pengkajian khusus Kawasan Eropa. Sejauh ini,
peneliti telah banyak mendalami objek ini secara berkelanjutan, khususnya Kawasan
Eropa kaitannya dengan salah satu organisasi internasional dalam hal ini NATO di
Bidang Pertahanan dan Keamanan.
8
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
Ketegangan struktural yang terjadi antara Perancis dan Amerika Serikat di
NATO membawa pengaruh signifikan bagi NATO dalam menjaga keamanan
kawasan Atlantik Utara dan kerangka kerja keamanan internasional. Pada masa
Perang Dingin, ketegangan ini tidak terlalu nampak karena proyeksi NATO melalui
negara anggotanya masih satu, membendung arus komunisme Uni Soviet. Hal ini
mampu membuat negara anggota NATO solid dalam posisisnya.
Pada Pasca Perang Dingin kondisi ini tentu terlihat berbeda bagi Perancis dan
Amerika Serikat, dimana musuh bersama sudah lenyap. Dengan demikian, memberi
ruang bagi Perancis dan Amerika Serikat untuk kembali fokus pada kepentingan
nasional masing-masing. Kepentingan Perancis tidak hanya fokus pada NATO, tetapi
ikut terlibat dalam memperkuat kemandirian Eropa dalam merespon isu keamanan
internasional. Sebaliknya, kepentingan Amerika Serikat di luar NATO, adalah
mempertahankan dominasinya di Eropa dengan jalan merespon isu-isu kemanan baik
regional maupun internasional. Dengan demikian, timbul dua pemikiran yang
bertolak belakang, yaitu pertama “me-NATO-kan Amerika Serikat”, sedangkan yang
kedua adalah “meng-Amerikaserikat-kan NATO”. Berangkat dari dua pemikiran ini,
penulis mencoba memformulasikan pertanyaan sebagai batasan dalam penulisan
skripsi ini, dengan tujuan untuk menghindari kesalahan dalam menganalisis
permasalahan di atas, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO?
2. Bagaimana bentuk rivalitas Perancis-Amerika Serikat dalam mencapai
kepentingan di NATO?
9
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan batasan pada perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan menjelaskan kepentingan nasional Perancis dan Amerika
Serikat di NATO pasca Perang Dingin.
2. Mengetahui dan menjelaskan bentuk-bentuk rivalitas antara Perancis dan
Amerika Serikat dalam mencapai kepentingan nasional di NATO.
b. Kegunaan Penelitian
Dengan adanya hasil penelitian di lapangan, maka penelitian ini diharapkan:
1. Memberi sumbangan pemikiran dan informasi bagi Akademisi Ilmu
Hubungan Internasional, yaitu Dosen dan Mahasiswa dalam mengkaji dan
memahami masalah hubungan kekuasaan dan keamanan internasional terkait
kepentingan nasional suatu negara, dalam hal ini pembahasan rivalitas dua
negara, terkhusus antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO terutama
dalam merespon keamanan internasional. Tulisan ini juga menjadi bahan
pengembangan keilmuan bagi penulis dalam Bidang Pertahanan.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi setiap aktor Hubungan Internasional, baik
individu, organisasi, pemerintah, maupun organisasi non-pemerintah baik
dalam level nasional, regional, maupun internasional tentang bagaimana
menformulasikan kekuatan nasional untuk menjamin pertahanan dan
keamanan negara dalam mencapai kepentingan nasional.
10
D.
Kerangka Konseptual
Makna kekuasaan (power) harus mampu bekerja pada kondisi perang dan
damai. Morgenthau mendefenisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor
politik, dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan segala pikiran
dan tindakan aktor B. Selanjutnya, ia menjelaskan:
Power ialah hubungan psikologis antara mereka yang menjalankannya dengan
mereka atas siapa ia dijalankan. Ia memberikan kepada yang disebut pertama
penguasaan atas tindakan tertentu dari yang disebut belakangan melalui
pengaruh yang digunakan oleh yang disebut pertama kepada pikiran dari yang
disebut belakangan. Pengaruh itu mungkin digunakan melalui perintah,
ancaman, bujukan, atau kombinasi dari ketiganya.12
Penerapan power sebuah negara dengan segala atribut kekuatan nasional yang
dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi, bahkan mengendalikan kebijakan secara
global, maka ia dikatakan negara superpower. Mengejar kekuasaan merupakan
kepentingan nasional setiap negara. Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang
dapat membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain.
Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik
paksaan maupun kerjasama. Kekuasaan dan kepentingan dipandang sebagai sarana
sekaligus tujuan dari tindakan politik internasional.
Adapun, defenisi power lebih luas dikemukakan oleh Jr. Chas W. Freeman:
The power of states is measured by their ability to alter and chanel the
behaviour of other states. It rest on their will to apply their national strength
and potential in contest with other. A state’s estimate of its own power helps
decide the degree to which it will insist on its views and take risks to see them
prevail. 13
12
13
Morgenthau, Op. cit., hal. 16.
Jr. Chas W. Freeman, dalam Sriyono, Op. cit., hal. 163.
11
Sedangkan, menurut Deutsch makna power dapat dibagi ke dalam tiga dimensi
atau variabel, yaitu wilayah, intensitas, dan ruang lingkup kekuasaan. 14 Dengan
melihat tiga variabel tersebut, maka kekuatan nasional dari setiap negara dapat
dikuantifikasi dan disusun berdasarkan peringkatnya, baik itu kekuasaan aktual
ataupun yang potensial. Untuk itu, power dibedakan atas, superpower, great power,
middle power, dan small power.
Adapun, konsep kepentingan nasional, Yusuf menjelaskannya sebagai berikut:
Kepentingan nasional termasuk dalam visium yang diperjuangkan oleh suatu
bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional.
Konsep ini adalah buatan manusia yang dirumuskan oleh para ahli teori politik
dan dipatuhi oleh setiap kepentingan golongan dan juga kepentingan para
perumusnya.15
Untuk mencapai kepentingan nasional, suatu negara harus melakukan interaksi
dengan negara lain. Oleh karena itu, setiap negara membutuhkan serangkaian
kebijakan politik luar negeri. Setiap negara dalam interaksinya dengan negara lain
ialah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional menjadi
alasan utama bagi tindakan yang dilakukan oleh setiap negara. Usaha-usaha interaksi
yang dilakukan dapat melalui kerjasama, persaingan, ataupun konflik.
Menurut Morgenthau, kepentingan nasional dari setiap negara adalah mengejar
kekuasaan.16 Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang dapat membentuk dan
mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan
atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik paksaan ataupun
Karl Deutsch, dalam Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, hal. 121.
15
Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
hal. 10.
16
Morgenthau, dalam Mas’oed, Op. cit., hal. 140.
14
12
kerjasama. Morgenthau menekankan konsep kepentingan nasional pada kelangsungan
hidup (survival) dari suatu negara. Setiap negara harus mampu mempertahankan
integritas teritorialnya (identitas fisik), rezim ekonomi-politiknya (identitas politik)
yang bisa saja demokratis, otoriter, sosialis, atau komunis, dan memelihara normanorma etnis, religius, linguistik, dan sejarahnya (identitas kultural). Berdasarkan
tujuan-tujuan umum ini, para pemimpin negara dapat menurunkan kebijaksanaankebijaksanaan yang sifatnya spesifik terhadap negara lain, baik dalam bentuk
kerjasama maupun konflik. Misalnya, perimbangan kekuatan, perlombaan senjata,
pemberian bantuan asing, pembentukan aliansi kekuatan, dan atau perang ekonomi
dan propaganda. Sedangkan, menurut Wolfers, kepentingan nasional dijelaskan
sebagai berikut:
Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu
bangsa, kemerdekaan, dan kelangsungan hidup nasional. Namun, kelangsungan
hidup nasional itu sendiri diberi bermacam-macam interpretasi oleh bermacammacam negara yang menghadapi kondisi yang berlain-lainan.17
Menurut Holsti, kepentingan nasional dapat diklasifikasi ke dalam tiga hal.
Pertama, core values, sesuatu yang dianggap paling vital bagi negara menyangkut
eksistensi suatu negara. Kedua, middle range objectives, tentang peningkatan derajat
perekonomian suatu negara. Dan ketiga, long range goals yaitu sesuatu yang bersifat
ideal misalnya, keinginan untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.18
Berbagai ahli memberikan beragam identifikasi terkait jenis-jenis kepentingan
nasional. Neuchterin, membagi jenis kepentingan nasional menjadi kepentingan
17
Arnold Wolfers, dalam James E. Dougherty dan Robert L. Pfatzgraff, Jr, 1971, Contending Theories
in International Relations, New York: JB.Lippncot Co, hal. 62.
18
KJ. Holsti, dalam Umar Suryadi Bakry, 1999, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta: Jayabaya
University Press, hal. 63.
13
pertahanan, ekonomi, tata internasional dan kepentingan ideologi. 19 Padelfort dan
Lincoln membaginya menjadi kepentingan kemanan nasional, peningkatan ekonomi,
peningkatan kekuatan nasional, dan prestise nasional.20
Selanjutnya, dalam analisis, penulis juga menggunakan konsep Eropa I dan II,21
dimana Diez T. dan Wiener A. menyatakan, bahwa babak baru NATO ialah
bagaimana melihat peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di
NATO. Sehingga, muncul sebuah paradigma “meng-Amerikaserikat-kan NATO”,
yang menitikberatkan pada usaha Amerika Serikat untuk selalu menjadi dominan di
tubuh NATO. Amerika Serikat ingin memposisikan NATO dibawah pengaruh dan
kendalinya “to make NATO under US”. Di sisi lain negara-negara Eropa melihat
dominasi Amerika Serikat di NATO sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Eropa.
Negara-negara Eropa melihat bahwa, jika dominasi Amerika Serikat dibiarkan terusmenerus, maka dominasi tersebut akan menjadi wujud kekuatan baru Amerika Serikat
untuk menguasi Eropa. Sebagai akibatnya, memberi ruang untuk saling mendominasi
dan celah rivalitas antara Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa
berupaya untuk memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata
lain, Eropa ingin “me-NATO-kan Amerika Serikat” agar berada di bawah kendali
negara-negara Eropa “to make US under NATO”.
Selanjutnya, untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan, dalam hal ini
Robert Cox dan Harold Jacobson menjelaskan bahwa, proses pengambilan keputusan
19
Donald E. Neuchterin, dalam Bakrie, Op. cit., hal. 62.
Padelfort dan Lincoln, dalam Bakrie, Loc. cit.
21
Diez T., dan Wiener A., 2009, Introducing the Mosaic of Integration Theory in Wiener A., Diez T.,
European Integration Theory (2nd edition), London: Oxford University Press, hal. 22.
20
14
dalam suatu organisasi internasional dapat dibedakan menurut klasifikasi yaitu
representational decisions, programmatic decisions,
rule-creating decisions,
operating decision, rule-supervisory decisions, boundry decision, dan terakhir,
symbolic decision.22 Robert Cox dan Harold Jacobson melihat bahwa, dalam setiap
proses pengambilan keputusan terdapat banyak alternatif yang dapat mempengaruhi
pihak pengambil keputusan. Para aktor dituntut lebih jeli dalam memilih alternatif
yang ada untuk membuat, memutuskan dan mempengaruhi kebijakan.
Representational decisions, merupakan keputusan yang akan mempengaruhi
keanggotaan dalam suatu organisasi internasional serta merupakan perwakilan dalam
badan-badan internal dalam organisasi tersebut. Keputusan ini meliputi keputusan
mengenai pengakuan dan atau pengeluaran anggota dalam organisasi, pengesahan
suatu mandat, penentuan wakil-wakil yang duduk dalam badan-badan eksekutif serta
komite. Programatic decisions, merupakan keputusan dari suatu alokasi strategis dari
sumber-sumber organisasi yaitu hasil negosiasi antaraktor menyangkut tujuan serta
penekanan terhadap program-program organisasi. Rule-creating decision, keputusan
ini berkenaan dengan pembentukan norma-norma atau aturan-aturan dalam ruang
lingkup organisasi. Hasil dari keputusan ini biasanya bersifat formal seperti konvensi,
persetujuan ataupun resolusi. Symbolic decision, merupakan suatu keputusan yang
penekanannya pada isu-isu simbolik terhadap penerimaan suatu tujuan ataupun
ideologi yang didukung oleh suatu kelompok aktor ataupun legitimasi yang telah
diterima oleh elit-elit yang dominan.
22
T May Rudy, 2002, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin,
Bandung: PT. Refika Aditama, hal. 79-80.
15
Adapun, kerangka berpikir pembahasan ini digambarkan dalam bagan berikut:
Bagan 1. Kerangka Pikir
North Atlantic Treaty Organization dalam perspektif
Perancis dan Amerika Serikat
Perancis
(veto right country)
vs
Amerika Serikat
(veto right country)
“decission making model and procedural”
NATO
Faktor Internal
-Kepentingan Nasional Negara anggota
-Kebijakan bidang Pertahanan dan Keamanan
-Bentuk/model Pengambilan Keputusan
Faktor Eksternal
Perubahan Dimensi Keamanan di NATO:
-Dimensi Tradisional (Periode Perang Dingin)
-Non-Tradisional (Pasca Perang Dingin)
contoh kasus
Penyelesaian Krisis Libya
Lingkungan Masyarakat Internasional
Sumber: diolah sendiri berdasarkan kerangka konseptual dan batasan masalah.
Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa posisi Perancis dan Amerika Serikat
memiliki peran untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di NATO. Keseimbangan ini
sesuai dengan kepentingan nasional negara masing-masing. Dengan demikian,
memberi ruang rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO.
16
E.
Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tipe deskriptif, yaitu
penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan fakta empiris disertai
argumen yang relevan. Kemudian, hasil uraian tersebut dilanjutkan dengan analisis
untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik. Tipe penelitin deskriptif
dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena yang terjadi yang
relevan dengan masalah yang diteliti. Metode deskriptif digunakan untuk
menggambarkan fakta-fakta kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO dan
bentuk rivalitasnya, kemudian menganalisis pengaruhnya terhadap NATO.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data, penulis menelaah sejumlah literatur yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, dokumen, artikel dalam
berbagai media, baik internet maupun surat kabar harian. Adapun bahan-bahan
tersebut diperoleh dari beberapa tempat yang telah penulis kunjungi, yaitu:
a. Kedutaan Besar Perancis untuk Indonesia di Jakarta.
b. Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta.
c. Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta.
d. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Jakarta.
e. Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta.
f. Perpustakaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik LIPI di Jakarta.
g. Perpustakaan Freedom Institute di Jakarta.
h. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia di Depok Jakarta Selatan.
17
3. Jenis Data
Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur. Seperti buku, jurnal, artikel,
majalah, handbook, situs internet, institut dan lembaga terkait. Adapun, data yang
dibutuhkan adalah data yang berkaitan langsung dengan penelitian penulis tentang
kepentingan Perancis dan Amerika Serikat serta data tentang NATO.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis data hasil
penelitian adalah teknik analisis kualitatif. Adapun dalam menganalisis permasalahan
digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian menghubungkan fakta
tersebut dengan fakta lainnya sehingga menghasilkan sebuah argumen yang tepat.
Sedangkan, data kuantitatif memperkuat analisis kualitatif.
5. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis ialah metode deduktif, yaitu
penulis mencoba menggambarkan secara umum masalah yang diteliti, kemudian
menarik kesimpulan secara khusus.
18
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A.
Konsep Power
Konsep power telah menjadi sebuah konsep yang begitu kompleks digunakan
dalam ranah politik internasional, terutama bagi penstudi hubungan internasional
dewasa kini. Sejak terjadinya Perang Dunia I, menyusul Perang Dunia II, hingga pada
periode Perang Dingin dan setelahnya, konsep power merupakan salah satu konsep
yang paling utama digunakan untuk menjelaskan beberapa fenomena di atas.
Perubahan fenomena di atas tentu saja diikuti dengan perubahan ruang lingkup
hubungan internasional, dimana konsep-konsep dalam studi hubungan internasional
turut mengalami perubahan dan pergeseran. Seiring dengan perkembangan tersebut,
konsep tentang power turut mengalami perkembangan, dalam hal ini dari dimensi
tradisional menuju dimensi non-tradisional yang semakin kompleks.
Power secara harfiah berarti “kekuatan” atau “kekuasaan”. Kekuasaan yang
dimaksud ialah kekuasaan atas diri sendiri dan di luarnya. Konsep power telah
banyak diperdebatkan oleh para ahli dan penstudi hubungan internasional. Kaum
realis menganggap bahwa power didasarkan pada kekuatan militer, sementara kaum
idealis menganggap power merupakan akumulasi seluruh komponen negara untuk
mencapai kesejahteraan. Menurut kaum liberal, power ditentukan oleh kekuatan
ekonomi. Sedangkan, menurut Marxisme, power ditentukan oleh kepemilikan faktor
produksi. Dari berbagai pandangan ini, ada baiknya peneliti menjelaskan dimensi
power agar lebih memudahkan dalam menganalisis masalah.
19
1.
Traditional Power
Power secara tradisional mengacu pada pemahaman realisme yang menyatakan
bahwa negara adalah aktor tunggal yang memiliki kekuatan untuk menjalankan
politik internasional dalam usaha mencapai kepentingan nasional negara. Untuk
mendukung hal tersebut, maka ia harus ditopang oleh kekuatan maksimum negara.
Adapun, yang paling mendasar adalah kekuatan militer. Hal ini tentu saja sesuai
dengan kondisi lingkungan internasional pada era tersebut.
Pada periode Perang Dingin, power dipandang hanya melekat pada atribut
negara sebagai aktor tunggal. Negaralah yang berhak mengendalikan kekuatan militer
untuk kemudian menjadi tolak ukur dalam menjalankan politik luar negerinya.
Kekuatan suatu negara sangat ditentukan oleh kapabilitas militer. Negara yang paling
baik sistem militernya akan dengan segera menjadi aktor unggul dalam lingkungan
politik internasional. Sejalan dengan pemahaman ini, K. J. Holsti, menyatakan bahwa
“power merupakan kemampuan maksimum suatu negara untuk menguasai perilaku
negara lain. Untuk itu, power setidaknya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu pengaruh
(influence) dan kapabilitas (capability)”.23 Adapun, defenisi power lebih spesifik
dikemukakan oleh Jr. Chas W. Freeman:
The power of states is measured by their ability “to alter” and “to chanel” the
behaviour of other states. It rest on their will to apply their national strength
and potential in contest with other. A state’s estimate of its own power helps
decide the degree to which it will insist on its views and take risks to see them
prevail. 24
23
Anak Agung Banyu Prawita dan Y. M. Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 64.
24
Jr. Chas W. Freeman, dalam Sriyono, Loc. cit.
20
Sementara, Morgenthau, seorang tokoh realisme tradisional mendefenisikan
power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik di mana aktor A memiliki
kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B. Adapun subyek yang
dimaksud di sini adalah negara sebagai aktor tunggal yang memiliki kepentingan
nasional (national interrests). Selanjutnya, ia jelaskan bahwa:
Power bisa terdiri dari apa saja yang menciptakan dan mempertahankan
pengendalian seseorang atas orang lain (dan itu) meliputi semua hubungan
sosial yang mendukung tujuan (pengendalian) itu, mulai dari kekerasan fisik
sampai ke hubungan psikologis yang halus yang dipakai oleh pikiran seseorang
untuk mengendalikan pikiran orang lain.25
Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan
memelihara kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan power meliputi seluruh
hubungan sosial, mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melalui mana
seseorang bisa mengontrol orang lain.26
2.
Non-Traditional Power
Setelah berakhirnya Perang Dingin, konsep tentang power dipandang tidak
hanya melekat pada sebuah negara (state-focused), melainkan telah masuk pada ranah
atribut perseorangan/individu, kelompok, dan juga organisasi internasional yang lebih
bersifat flekibel (non-state-focused). Menurut Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan
dalam kamus International Relations: The Key Concepts, menyatakan bahwa:
National power is contextual in that it can be evaluated only in terms of all the
power ‘elements’ (such as military capability, economic resources, and
population size), and only in relation to another player or players and the
Hans J. Morgenthau, dalam Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, hal. 117.
26
Morgenthau, Op. cit., hal. 9.
25
21
situation in which power is being exercised... Closely allied to all this is the fact
that national power is dynamic, not static.27
Adapun, defenisi power yang lebih modern diungkapkan oleh Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton dalam Pidatonya:
We must use what has been called “smart power”, the full range of tools at our
disposal ––diplomatic, economic, military, political, legal and cultural, picking
the right tool or combination of tools for each situation. With smart power,
dilomacy will be the vanguard of our foreign policy.28
Defenisi di atas memiliki ruang lingkup yang sangat kompleks, dimana elemenelemen power tidak hanya terletak pada kekuatan militer, namun juga dalam hal
diplomasi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Adapun dalam implementasinya,
setiap negara bebas memilih di antara beberapa elemen di atas atau dengan
melakukan kombinasi untuk menjalankan politik luar negeri. Sedangkan, makna
power menurut Director of the Governance Program of the International Diplomatic
Academy Paris, Bertrand De La Chapelle, menyatakan bahwa:
La puissance est la capacite a produire des effets deires. Traditionnallelement
L’odre international est decrit par des expressions telles que “l’equilibre des
puissances” entre diverses nations reparties selon un ordre hierarchique
d’influence resultant generalement des conflits passes ou, plus recemment, de
la domination economique. (Power is the capacity to produce desired effects.
Traditional ways of describing the international order have used expression
such as “ Balance of power”, with various nations sorted in a pecking order of
influence, usually resulting from past military conflicts or ––more recently,
economic dominance.)29
Defenisi di atas menjelaskan, bahwa elemen baru power tidak hanya bersumber
dari kekuatan militer secara tradisional, tetapi lebih dari itu, kekuatan ekonomi telah
Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, 2002, International Relations: The Key Concepts, London:
Routledge, hal. 253.
28
Olivier Poivre D’Arvor, Winter, 2010, “The Smart Use of Soft Power”, dalam MONDES; Les
Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2, hal. 214.
29
Bertrand De La Chapelle, Automne, 2010, “Territoire, Puissance et Gouvernance a l’ere
Numerique”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 5, hal. 36.
27
22
menjadi sumber kekutan baru yang perlu dipertimbangkan oleh suatu negara. Dimana
perkembangan makna power dapat dilihat dari kekuatan militer secara tradisional dan
kekuatan ekonomi secara non-tradisional dewasa kini. Selanjutnya, memahami power
dalam hubungan antaraktor, harus dapat dibedakan antara “kekuasaan relatif”
(relative power) dan “struktur kekuakasaan” (structural power), dalam hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Analytically, one can distinguish between four separate but related structures
of power in international relations: 1.the knowledge structure refers to the
power “to influence” the ideas of others; 2.the financial structure refers to the
power “to restrict or facilitate” their access to credit; 3.the security structure
shapes their prospects “for security”; 4.the production structure “affects their
chances” of a better life as producers and as consumers.30
Dalam interaksi hubungan internasional, “kekuasaan relatif” suatu negara dapat
diketahui melalui perbandingan kekuatan antar satu negara dengan negara lainnya
dengan cara membandingkan elemen atau indikator sebuah kekuasaan. Penafsiran
“kekuasaan relatif” bersifat dinamis dan tidak statis, dimana bobot atau level
kekuasaan suatu negara dapat berubah-ubah pada setiap waktu. Dalam hal ini
bergantung pada negara pembandingnya. Sedangkan,
“struktur
kekuasaan”
merupakan elemen-elemen utama (structure shapes) yang membangun dasar
kekuasaan (production structure) tersebut. Semakin baik struktur sebuah kekuasaan,
maka akan semakin kuat sumber dan perolehan kekuasaannya. Selanjutnya, dalam
praktiknya, siklus kekuasaan suatu negara lebih sederhana terdiri dari “penghasil
kekuasaan” (producers) dan “pengguna” atau “pemakai kekuasaan” (consumers).
Dalam hal ini, negara dapat sekaligus sebagai penghasil dan pemakai kekuasaan.
30
Griffiths dan O’Callaghan, Op. cit., hal. 256.
23
3.
Dimensi Power: dari konsep Tradisional menuju Non-Tradisional
Pandangan tentang power memiliki dimensi yang berbeda sebelum dan setelah
periode Perang Dingin terjadi. Pada era Perang Dingin, power dipandang melalui
kepemilikan dan postur militer negara. Sedangkan, pasca Perang Dingin, power tidak
hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga berkaitan dengan kekuatan
politik-ekonomi suatu negara. Sejalan dengan pemikiran ini, Michael Sheehan,
“power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti yang tersebut di atas, tetapi
juga menyangkut kemampuan suatu negara dalam mempengaruhi perilaku negara
lain”.31 Adapun, Perilaku yang dimaksud ialah segala tindakan yang bersumber dari
aktivitas suatu negara terhadap negara lain dalam segala jenis interaksi.
Power secara tradisional dan non-tradisional memberikan makna yang sama
dalam hal fungsi dan tujuan power tersebut dilaksanakan. Namun, konsepsi di atas
juga secara jelas menunjukkan perbedaan dalam hal sumber (resource), jenis (type),
dan kepemilikan (subject) kekuasaan. Bila pada masa Perang Dingin, power
bersumber dari struktur dan kepemilikan militer yang canggih, dengan tipe power
adalah “hard power”, maka pada dewasa kini power tidak hanya bersumber pada
militer semata, tetapi juga berasal dari sumber daya alam dan manusia yang dimiliki
oleh negara, baik itu yang nampak atau tidak. Selain itu, konsentrasi power pada
dewasa ini cenderung lebih halus dan bersifat kooperatif.
Adapun, power sebagai unit multidimensional, memiliki beberapa dimensi
utama. Deutsch mengemukakan tiga dimensi power, yaitu scope (ruang lingkup
31
Michael Sheehan, 1996, The Balance of Power: History and Theory, New York: Routledge
Publishing, hal. 7.
24
kekuasaan), domain (arah dan tujuan kekuasaan), dan range (intensitas kekuasaan).
Dimensi power ini termasuk dalam golongan yang spesifik dan dapat diukur oleh
setiap yang menjalankan kekuasaan tersebut. 32
Dimensi scope merupakan penunjukkan power atas suatu kumpulan atau
koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu. Adapun, hubungan dan urusan ini secara
efektif tunduk pada kekuasaan pemerintah, meliputi semua tipe kegiatan yang coba
diatur oleh pemerintah, baik internal maupun eksternal. Ruang lingkup kekuasaan
internal dapat diukur dengan seberapa banyak kegiatan yang dipengaruhi oleh
pemerintah. Dalam komponen eksternal, scope ini dapat diukur dengan seberapa
banyak bidang kegiatan internasional yang dipengaruhi negara tersebut.
Dimensi domain terkait arah power tersebut ditujukan. Meliputi “kepada apa”
(to what) dan “siapa” (to whom) power tersebut dilaksanakan. Lazimnya, power
dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan. Domain kekuasaan dimaknai
sebagai sekumpulan orang yang perilakunya benar-benar berubah akibat penerapan
kekuasaan. Domain kekuasaan terdiri atas: internal domain meliputi wilayah dan
populasi dalam batas-batas geografis suatu negara, dan eksternal domain meliputi
wilayah dan populasi di luar batas geografis negara, tetapi masih dalam wilayah
pengaruh. Adapun, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan
yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa
dilimpahkan atau dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di
dalam domainnya. Range power juga dibagi menjadi dua komponen yaitu: komponen
32
Mas’oed, Op. cit., hal. 121.
25
internal (dalam negeri) dan eksternal (luar negeri).33 Range kekuasaan biasanya
dipengaruhi oleh intensitas suatu negara dalam berinteraksi dengan negara lain, dalam
hal ini juga termasuk kualitas hubungan interkasi sesuai dengan kemampuan negara
tersebut dalam membangun suatu kekuasaan.
Selanjutnya, dimensi power yang lainnya menurut Baldwin yaitu costs dan
means. Adapun, costs merupakan biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan
terhadap penilaian pengaruh.34 Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan oleh
salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan.
Sedangkan, means merupakan alat bagi terlaksananya suatu kekuasaan yang dapat
dilihat melalui klasifikasi jalur pengaruh dalam hubungan internasional, yakni jalur
simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis. Adapun, menurut
Anonim, Power meliputi tangible dan intangible power. Intangible power meliputi
kepimimpinan dan kepribadian, efisiensi organisasi birokrasi, tipe pemerintahan,
persatuan masyarakat, reputasi, dukungan luar negeri dan ketergantungan atas negara
lain. Sedangkan, tangible power meliputi wilayah, populasi, sumber daya alam,
kapasitas industri, kapasitas pertanian, kekuatan militer, kekuatan ekonomi, dan
mobilitas domestik.35
Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa power
menyangkut adanya hubungan antara dua negara atau lebih, dimana suatu negara
memiliki dan menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk diproyekskan ke
33
Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe, 1990, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan
dan Power, Bandung: Abardin, hal. 94.
34
Mas’oed, Op. cit., hal. 124.
35
Anonim, 2008, Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan Internasional,
Surabaya: Universitas Airlangga.
26
negara lain, dengan tujuan untuk dapat mengendalikan perilaku negara lain. Dan,
dapat
dikatakan
pula
jika
suatu
negara
memiliki
power,
namun
tidak
menggunakannya dalam kerangka interaksi dengan negara lain, maka negara tersebut
dianggap tidak memiliki power. Dengan demikian, sebuah negara agar bisa dikatakan
memiliki power, maka ia harus menjalakan power tersebut menurut kebutuhan
negaranya. Adapun, implementasinya akan menjadi hasil sekaligus alat penentu level
kekuasaan yang dimiliki oleh negara tersebut.
Dalam hubungan internasional power sangat erat kaitannya dengan kepentingan
nasional dan tindakan politik suatu negara. Secara spesifik sebuah negara tentu saja
memiliki kepentingan nasional. Dan, untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka
negara tersebut harus memiliki power. Pada akhirnya power-lah yang menentukan
tindakan politik suatu negara. Oleh karena itu, power sangatlah penting untuk
mendukung penyelenggaraan politik luar negeri, terutama untuk mencapai
kepentingan nasional dan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Semakin besar
power yang dimiliki suatu negara, maka kemampuan negara tersebut untuk
mempengaruhi negara lain semakin besar pula. Power dapat dilakukan melalui jalan
kekerasan seperti paksaan, atau dengan jalan melakukan kerjasama seperti kooperasi
dan persuasi. Selanjutnya, dalam perkembangan hubungan internasional dan semakin
kompleksnya interaksi antarnegara, power yang dimiliki oleh setiap negara memiliki
postur, bobot dan tingkatan yang berbeda-beda, sehingga suatu keseimbangan
kekuasaan ––balance of power muncul sebagai konsekuensi dari perbedaan tingkatan
kekuasaan dari setiap negara.
27
B.
Konsep Kepentingan Nasional
Morgenthau menegaskan bahwa mengejar kekuasaan merupakan kepentingan
nasional dari setiap negara.36 Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang dapat
membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain.
Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik
paksaan maupun kerjasama. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dipandang
sebagai sarana sekaligus sebagai tujuan dari tindakan politik internasional. Dengan
demikian, kepentingan nasional seyogyanya harus diperjuangkan.
Dalam pandangan Morgenthau, konsep kepentingan nasional memuat arti
minimum yang inheren di dalamnya. Adapun, arti minimum yang inheren di dalam
konsep kepentingan nasional ialah kelangsungan hidup (survival). Kemampuan
minimum negara ialah melindungi identitas fisik, politik, dan kulturalnya dari
gangguan negara-bangsa lain. Setiap negara-bangsa harus mampu mempertahankan
integritas teritorialnya (identitas fisik), mempertahankan rezim ekonomi-politiknya
(identitas politik) yang bisa saja demokratis, otoriter, sosialis, atau komunis, dan
memelihara norma etnis, religius, linguistik, dan sejarahnya (identitas kultural).
Berdasarkan tujuan ini, para pemimpin negara memiliki kemampuan untuk
menurunkan kebijaksanaan yang sifatnya spesifik terhadap negara lain, baik dalam
bentuk kerjasama maupun konflik. Misalnya, perimbangan kekuatan, perlombaan
senjata, pemberian bantuan asing, pembentukan aliansi, persaingan dalam bidang
ekonomi industri dan propaganda.
36
Mas’oed, Op. cit., hal. 140-141.
28
Adapun, menurut Holsti, kepentingan nasional dapat diklasifikasi ke dalam tiga
klasifikasi. Pertama, core values, sesuatu yang dianggap paling vital bagi negara dan
menyangkut eksistensi suatu negara. Kedua, middle range objectives, biasanya
menyangkut tentang peningkatan derajat perekonomian suatu negara. Dan yang
ketiga long range goals yaitu sesuatu yang bersifat ideal misalnya, keinginan untuk
mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.37
Menurut Wolfers, konsep kepentingan nasional dijelaskan bahwa:
Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu
bangsa, kemerdekaan dan kelangsungan hidup nasional. Namun kelangsungan
hidup nasional diberi bermacam-macam interpretasi oleh bermacam-macam
negara yang menghadapi kondisi yang berlainan.38
Interaksi antarnegara bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional. Hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai persoalan yang dihadapi oleh suatu negara,
termasuk faktor internal maupun eksternal.
Yusuf menjelaskan mengenai kepentingan nasional sebagai berikut:
Kepentingan nasional termasuk dalam visium yang diperjuangkan oleh suatu
bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional.
Konsep ini adalah buatan manusia yang dirumuskan oleh para ahli teori politik
dan dipatuhi oleh kepentingan golongan dan kepentingan para perumusnya.39
Untuk mencapai kepentingan nasional, suatu negara dituntut untuk melakukan
interaksi dengan negara lain. Berpijak pada berbagai jenis interaksi tersebut, maka
setiap negara membutuhkan serangkaian kebijakan politik luar negeri. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Coulumbis dan Wolfe, bahwa “politik luar negeri merupakan
37
K. J. Holsti dalam Bakry, Loc. cit.
Arnold Wolfers, dalam Robert L. Pfatzgraff, Jr dan James E. Dougherty, 1971, Contending Theories
in International Relations, New York: JB. Lippncot CO, hal. 55.
39
Yusuf, Loc. cit.
38
29
sintesis dari tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas.”40
Sedangkan, Frankel, menyatakan bahwa “politik luar negeri merupakan pencerminan
dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri dan tidak terpisah dari tujuan
nasional dan tetap merupakan komponen atau unsur dari dalam negeri.”41 Adapun,
tujuan setiap negara dalam interaksinya dengan negara lain ialah untuk memenuhi
kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional menjadi alasan utama bagi tindakan
setiap negara. Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pencapaian kepentingan
nasional yang dapat dilakukan melaui kerjasama, persaingan, ataupun konflik.
Jenis kepentingan nasional menurut Donald E. Neuchterin, yaitu kepentingan
pertahanan, kepentingan ekonomi, kepentingan tata internasional dan kepentingan
ideologi.42 Sedangkan, Padelfort dan Lincoln, membagi jenis kepentingan nasional
menjadi kepentingan kemanan nasional, kepentingan pengembangan sektor ekonomi,
kepentingan peningkatan kekuatan nasional dan kepentingan prestise nasional.43
Selanjutnya, kepentingan nasional dalam perspektif Amerika Serikat menurut
U.S. National Security terbagi dalam tiga kategori, sebagai berikut:
First order: vital interests. This requirest protection of the homeland and areas
and issues directly affecting this interest. This may reuire total military
mobilization and resource commitment. Second order: critical interests. These
are areas and issues that do not directly affect the survival of the United States
or pose athreat to the homeland but in the long run have a high propensity for
becoming first order priorities. Third order: serious interests. These are issues
that do not critically affect First and Second order interests yet cast some
shadow over such interest.44
40
R. Soeprapto, 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hal. 187.
41
J. Frankel, 1990, Hubungan Internasional, Jakarta: terjemahan ANS Bersaudara, hal. 55.
42
Padelfort dan Lincoln, dalam Bakrie, Loc. cit.
43
Donald E. Neuchterin, dalam Bakrie, Op. cit., hal. 56.
44
Sam C. Sarkesian, John A. Williams, dan Stephen J. Cimbala, 2008, US National Security:
Policymakers, Processes, and Politics, Unites States of America: Lynne Riener Publishers, Inc., hal. 9.
30
Dalam pertahanan domestik, kepentingan vital “vital interests” memerlukan
upaya yang terkoordinasi dari semua instansi pemerintahan, terutama pertahanan
terhadap terorisme dan perang informasi. Fokus pertahanan ini dapat dilakukan
melalui penciptaan departemen tingkat kabinet keamanan dalam negeri seperti
proposal Presiden George W. Bush setelah serangan 11 September 2001. Tujuannya
adalah untuk mengkoordinasikan upaya sejumlah lembaga dalam melawan terorisme
di Amerika Serikat. Kepentingan Kritis “Critical interests” diukur melalui sejauh
mana negara menjaga, memelihara, dan memperluas sistem yang terbuka. Banyak
juga yang berpendapat bahwa kekuatan moral negara sangat penting dalam
membentuk kepentingan nasional. Kepentingan serius “serious interests” ialah upaya
negara yang difokuskan pada penciptaan kondisi yang menguntungkan untuk
mencegah agar kepentingan ketiga tetap berjalan. Semua jenis kepentingan di atas
tidak memiliki dampak langsung pada urutan kepentingan, tetapi harus dilihat dalam
setiap kasus atau peristiwa yang selanjutnya mendapat penyesuaian dengan jenis-jenis
kepentingan ini.
C.
Konsep Eropa I dan II
Konsep Eropa I dan II merupakan konsep baru dalam memahami konstalasi
politik di Eropa. Konsep ini masih tergolong muda sebab keberadannya baru
dipahami sebagai sebuah teori. Namun, dalam kasus tertentu dapat dijadikan sebagai
kerangka pikir dalam memahami proses integrasi Eropa, baik dalam bidang
Pertahanan, maupun Ekonomi politik internasional kontemporer Eropa. Konsep ini
juga tidak terlepas dari kerangka kerja integrasi Uni Eropa yang memiliki keterkaitan
31
dengan landasan pertahanan keamanan Eropa. Dimana, isu-isu perluasan anggota Uni
Eropa memiliki hubungan dekat dengan perluasan keanggotaaan aliansi di Eropa,
dalam hal ini NATO. Oleh karena itu, untuk bisa memahami kedua-duanya, maka
pemahaman tentang dinamika antaranggota NATO harus dapat diketahui dalam
rangka memahami konsep ini.
Konsep Eropa I dan II yang dikemukakan oleh Diez T. dan Wiener A.45 adalah
terkait organisasi pertahanan Eropa, dalam hal ini NATO. Babak baru NATO ialah
bagaimana melihat peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di
NATO. Sehingga, muncul sebuah paradigma “meng-Amerikaserikat-kan NATO”
yang menitikberatkan pada usaha Amerika Serikat untuk selalu mendominasi NATO
“to make NATO under US”. Amerika Serikat ingin memposisikan NATO dibawah
pengaruh dan kendalinya. Di sisi lain negara-negara Eropa melihat dominasi Amerika
Serikat di NATO sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Eropa. Negara-negara
Eropa melihat, jika dominasi Amerika Serikat dibiarkan terus-menerus, maka
dominasi tersebut akan menjadi wujud kekuatan baru Amerika Serikat untuk
menguasi Eropa. Sebagai akibatnya, memberi ruang untuk saling mendominasi dan
rivalitas antara Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa berupaya
untuk memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata lain,
bahwa negara-negara integrasi Eropa di Eropa ingin “me-NATO-kan Amerika
Serikat” agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa “to make US under
NATO.”
45
Diez T., dan Wiener A., Loc. cit.
32
D.
Decission Making Theory
Setiap aktor hubungan internasional, baik sebagai pembuat ataupun hanya
sebagai pelaksana suatu kebijakan dari kelembagaan internasional, maka proses
pengambilan keputusan bagi masing-masing aktor memiliki model dan tujuan yang
berbeda-beda. Adapun, menurut Robert Cox dan Harold Jacobson menjelaskan
bahwa, proses pengambilan keputusan dapat dibedakan menurut tujuh klasifikasi,
yaitu representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions,
operating decision, rule-supervisory decisions, boundry decision, dan symbolic
decision.46 Hal ini menujukkan bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan
terdapat banyak pilihan bagi pihak pengambil keputusan.
Berikut penjelasan lebih rinci dari masing-masing jenis pengambilan keputusan
yang disebutkan oleh Robert Cox dan Harold Jacobson:
1. Representational decisions, merupakan keputusan yang akan mempengaruhi
keanggotaan dalam suatu organisasi internasional serta merupakan perwakilan
dalam badan-badan internal dalam organisasi tersebut. Keputusan ini meliputi
keputusan mengenai pengakuan dan atau pengeluaran anggota dalam
organisasi, pengesahan suatu mandat, penentuan wakil-wakil yang duduk dalam
badan-badan eksekutif serta komite.
2. Programatic decisions, merupakan keputusan dari suatu alokasi strategis dari
sumber-sumber organisasi, yaitu hasil negosiasi antar aktor menyangkut tujuan
serta penekanan terhadap program-program organisasi.
46
Rudy, Loc. cit.
33
3. Rule-creating decision, yaitu keputusan yang berkenaan dengan pembentukan
norma-norma atau aturan di lingkup organisasi internasional. Hasil keputusan
ini biasanya bersifat formal seperti konvensi, persetujuan ataupun resolusi.
4. Operational decision, yaitu berhubungan dengan pemberian suatu pelayanan
terhadap pengunaan sumber-sumber organisasi berdasarkan aturan yang
disetujui serta kebijakan organisasi yang telah disetujui pula.
5. Rule-supervisory decision, yakni keputusan yang meliputi procedural baik
procedural yang paling tinggi sampai paling rendah. Prosesnya melalui
pengumpulan informasi, pembuktian terhadap pelaksanaan ataupun pelanggran
terhadap aturan dalam organisasi serta pemberian sangsi atau hukuman
terhadap pelanggran tersebut.
6. Bourdary decision, yaitu keputusan yang menekankan pada hubungan eksternal
organisasi dengan struktur organisasi serta struktur regional.
7. Symbolic decision, merupakan suatu keputusan yang menekankan pada isu-isu
simbolik terhadap penerimaan suatu tujuan ataupun ideologi yang didukung
oleh suatu kelompok aktor ataupun legitimasi yang telah diterima oleh elit-elit
yang dominan.
Adapun, menurut William D. Coplin, bahwa untuk menganalisa kebijakan luar
negeri suatu negara, maka fokus utamanya ialah melihat peran pemimpin negara
untuk suatu kebijakan luar negeri.47 Adapun, suatu tindakan politik luar negeri negara
tersebut dianggap sebagai akibat dari tiga pertimbangan yang mempengaruhi para
47
William D. Coplin, 1992, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Bandung: CV
Sinar Baru, hal. 29-30.
34
pembuat keputusan. Pertama, kondisi politik domestik negara termasuk faktor budaya
yang mendasari tingkah laku manusianya. Kedua, situasi ekonomi dan militer di
negara tersebut termasuk faktor geografis yang menjadi pertimbangan untuk
pertahanan dan keamanan. Ketiga, konteks internasional sebagai proyeksi dan
manifestasi dari politik domestik terhadap negara yang menjadi tujuan politik luar
negerinya. Kebijakan luar negeri dalam konteks ini merupakan keputusan sebagai
bentuk dari akumulasi perilaku yang diambil oleh negara-negara dalam interaksinya
dengan negara lain. Selain itu, kebijakan luar negeri merupakan suatu bentuk
perumusan kebijakan di dalam negeri yang kemudian diimplementasikan keluar
negeri sebagai sebuah upaya dalam mencapai kepentingan nasional.
35
BAB III
NATO DALAM PERSPEKTIF PERANCIS DAN
AMERIKA SERIKAT
A.
NATO dalam dimensi Tradisional dan Non-Tradisional
1.
NATO dalam Dimensi Tradisional
North Atlantic Treaty Organization (NATO) secara tradisional dipahami dalam
bentuk kerangka kerja Perang Dingin. NATO pada periode Perang Dingin ialah
pengimbang terhadap kekuatan blok Timur pimpinan Uni Soviet yang teraliansi
dalam Pakta Warsawa. Adapun, NATO merupakan aliansi negara-negara blok Barat
sekutu Amerika Serikat. Perkembangan hubungan internasional pada kurun waktu
sejak berakhirnya Perang Dunia II tak lepas dari kerangka kerja Perang Dingin.
NATO terbentuk pada pasca Perang Dunia II tahun 1949. Pada dasarnya,
NATO merupakan suatu aliansi militer antarpemerintah yang menerapkan sistem
collective defense dimana negara anggotanya setuju untuk melakukan pertahanan
bersama sebagai respon terhadap ancaman eksternal. Secara tradisional, ancaman
eksternal NATO ialah agresi Uni Soviet dan Pakta Warsawa. Adapun, tujuan dasar
NATO secara formal terdapat dalam mukaddimah North Atlantic Treaty, yaitu:
The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of
the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all
peoples and all governments... They seek to promote stability and well-being in
the North Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective
defence and for the preservation of peace and security.48
Adapun, misi NATO selama Perang Dingin menurut Marco Rimanelli, ialah:
48 “Text of The North Atlantic Treaty, 4 April 1949”, Op. cit., pada 5 Januari 2012 pukul 07.00
WITA.
36
NATO’s slow response to outside threats reflected its consesnus-based on three
missions during the Cold War period: conventional and nuclear self-defense
against the Soviet-Warsaw Pact threat; regional alliance-building and forces
standardisation; and integration of new members.49
Lebih spesifik lagi, Sekretaris Jenderal NATO yang pertama, Lord Ismay,
menyatakan bahwa tujuan utama NATO ialah “to keep the Russians out, the
Americans in, and the Germans down”.50 Bagi perspektif Eropa, tujuan original
NATO ialah untuk memulihkan kepercayaan Eropa kepada Amerika Pasca-Perang
Dunia II (to keep the Americans in). Bagi Amerika, fokusnya untuk menghalangi
agresi Soviet, atau menjaga Rusia tetap di luar (to keep the Russians out).
Selanjutnya, untuk menjaga Jerman tidak bangkit kembali secara militer (to keep the
Germans down) yang diinterpretasikan secara bertahap dengan menghubungkan
Jerman dalam suatu institusi multilateral Eropa dan membantu pemulihannya.
Adapun, struktur NATO sebagai “Major NATO organs” terdiri atas:
a. North Atlantic Council, terdiri dari Foreign, Economic, dan Defense Minister,
yang memutuskan masalah-masalah terkait kebijakan politik militer;
b. Military Committe, terdiri dari chief staff of member countries, yang
menformulasikan kebijakan startegi militer atas pertimbangan dari Dewan;
c. Staff Secretariat dikepalai oleh seorang Secretary General.51
NATO dibentuk di Washington D.C, Amerika Serikat pada tanggal 4 April
1949 dengan pasal utama persetujuan tersebut ialah Pasal 5, yang berisi:
49 Marco Rimanelli, 2009, Historical Dictionary of NATO and other International Security
Organizations, United Stated of America: Scarecrow Press, Inc, hal. 21.
50 Arsi Dwinugra Firdausy, 1998, Motivasi Hongaria Masa Pemerintahan Koalisi Konservatif Untuk
Bergabung Dengan NATO, Skripsi S-1, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Yogyakarta:
UGM, hal. 72.
51 Laurence Ziring, Jack C. Plano, Roy Olton, 1995, International Relation: A Political Dictionary,
California: ABC-CLIO, Inc., hal. 179.
37
The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe
or North America shal.l be considered an attack against them all and
consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in
exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by
Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties
so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other
Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to
restore and maintain the security of the North Atlantic area.
Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shal.l
immediately be reported to the Security Council. Such measures shal.l be
terminated when the Security Council has taken the measures necessary to
restore and maintain international peace and security.52
Hingga saat ini NATO memiliki 28 anggota: 1949––Norwegia, Belgia, Kanada,
Denmark, Islandia, Luxembourg, Portugal Italia, Belanda, Iggris, Perancis dan
Amerika Serikat; 1952––Yunani dan Turki; 1955––Jerman Barat; 1982––Sapnyol;
1999––Republik Ceko, Polandia, Hongaria; 2002-2004––Estonia, Bulgaria, Latvia,
Lithuania, Rumania, Slowakia, Slovenia; 2008––Albania dan Kroasia adalah negaranegara yang tergabung dalam Aliansi terakhir pada bulan April 2008.
Awal pendiriannya tahun 1949, NATO beranggotakan 12 negara pendiri.
Namun, dalam perkembangannya, membuka ruang bagi pembesaran dan perluasan
anggota NATO. Penyisihan untuk pembesaran didasarkan pada Pasal 10 dari Pakta
Pertahanan Atlantik Utara, yang menyatakan “keanggotaan yang terbuka untuk setiap
negara Eropa dalam posisi untuk memajukan prinsip-prinsip perjanjian ini.” Selain
itu, perluasan anggota juga bertujuan untuk memberikan kontribusi pada keamanan
wilayah Atlantik Utara.
Pada tanggal 4 April 1949, seluruh menteri luar negeri dari 12 negara anggota
menandatangani Perjanjian Atlantik Utara di Auditorium Departemen di Washington
52 “Text of The North Atlantic Treaty, 4 April 1949”, Loc. cit.
38
DC. Lima bulan setelah upacara penandatanganan, perjanjian disahkan oleh parlemen
negara terkait, kemudian penyegelan keanggotaannya. Berikut para perwakilannya:
1.
Belgia: M. Paul-Henri Spaak (Sekretaris Jenderal NATO, tahun 1957-1961);
2.
Perancis: M. Robert Schuman (tokoh arsitek lembaga Eropa, memprakarsai
gagasan dasar-dasar pembentukan Masyarakat Pertahanan Eropa);
3.
Kanada: Mr Lester B. Pearson (menegosiasikan Perjanjian dan merupakan
satu dari “Tiga Pria Bijaksana” yang menyusun laporan kerjasama nonmiliter NATO, yang kemudian diterbitkan tahun 1956 di tengah krisis Suez);
4.
Norwegia: Mr Hal.vard M. Lange (salah satu dari “Tiga Pria Bijaksana”
yang menyusun laporan kerja sama non-militer dalam NATO);
5.
Britania Raya: Mr Ernest Bevin (drive utama di balik penciptaan NATO dan
sebagai Menteri Luar Negeri 1945-1951, ia menghadiri pertemuan formatif
pertama dari Dewan Atlantik Utara);
6.
Amerika Serikat: Mr Dean Acheson (Menteri Luar Negeri AS 1949-1953, ia
menghadiri dan memimpin rapat Dewan Atlantik Utara);
7.
Belanda: Dr D.U. Stikker (Sekretaris Jenderal NATO, 1961-1964);
8.
Denmark: Mr Gustav Rasmussen;
9.
Portugal: Dr Jose Caerio da Matta;
10. Iceland: Mr Bjarni Benediktsson;
11. Italia: Carlo Sforza Count;
12. Luxembourg: Bech Joseph M.
Secara tradisional, keberadaan NATO tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian
peperangan tahun 1945. Penyelesaian tahun 1945 yang mengakhiri kekerasan Perang
39
Dunia II dalam waktu yang sama menciptakan awal dari periode Perang Dingin.
Adapun, secara garis besar, paradigma Perang Dingin 1949-1989 dijelaskan oleh
Juwono terbagi dalam beberapa tahap perkembangan. Juwono menilai secara politis
Perang Dingin terbagi atas tahap 1947-1963 dengan beberapa puncak persitiwa
seperti Blokade Berlin 1949, Perang Korea 1950-1953, Krisis Kuba 1962 dan
Perjanjian Proliferasi Nuklir 1963.53 Selanjutnya selama Perang Vietnam 1965-1975,
paradigma Perang Dingin terbatas pada persaingan berkelanjutan antara AS dan Uni
Soviet di beberapa kawasan strategis dunia.
Salah satu hal terpenting dalam periode Perang Dingin menurut Juwono ialah
peristiwa Perang Arab-Israel 1967-1973. Perundingan senjata strategis yang mulai
dirintis dan dikukuhkan melalui Perjanjian SALT I juga menjadi salah satu ciri
periode ini. Selama kurun waktu tersebut, isu-isu seperti pertentangan ideologis,
perebutan wilayah pengaruh, pembentukan blok-blok militer, politik, bantuan
ekonomi yang dilatarbelakangi kepentingan ideologis, spionasi militer dan
pembangunan kekuatan nuklir menjadi tema penting. Namun, setelah berakhirnya
Perang Dingin dengan jatuhnya Uni Soviet, maka konsep hubungan internasional
berubah arah dengan tidak menitikberatkan lagi pada militer. Pada periode Perang
Dingin, sistem internasional bersifat bipolar. Akan tetapi, dengan kemenangan blok
barat, maka sistem internasional berubah menjadi uni polar ketika Perang Dingin
berakhir. Dalam kondisi ini, isu-isu tentang hubungan internasional mengalami
pergeseran di berbagai bidang.
53 Renato Mariani, 2004, “Book Review: Frank Schimmelfennig, The EU, NATO and the Integration
of Europe: Rules and Rhetoric.”, dalam Journal of International Studies Vol. 33, hal. 56.
40
Pada periode Perang Dingin, dunia dibentuk dalam bipolarisasi kekuatan antara
Pakta Pertahanan Atlantik Utara dan Pakta Warsawa. Dalam masa ini, Amerika
Serikat dan Sekutu yang berjuang bersama melawan fasisme terlibat dalam pertikaian
politik yang saling bersaing memperebutkan hegemoni dan pengaruh politik di Eropa,
Asia, dan dunia. Baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet sangat gencar dalam usaha
memperjuangkan hegemoni dalam tatanan politik global awal tahun 1950-an sampai
runtuhnya komunisme Uni Soviet tahun 1990-an. Dapat dipastikan, bahwa jika terjadi
sengketa internal suatu negara atau di luarnya dikawasan manapun, maka masalah
tersebut tak lepas dari campur tangan Amerika Serikat atau Uni Soviet sebagai
pendukung utama. Sehingga dapat dipahami, bahwa konflik dingin dibentuk untuk
memperebutkan sistem keamanan yang didasarkan pada keseimbangan simetris
antara kekuasaan dan pencegahan. Aliansi Barat berpendapat bahwa nilai-nilai seperti
demokrasi, hak asasi manusia dan aturan hukum serta sistem ekonomi didasarkan
pada usaha bebas, sedangkan negara-negara Pakta Warsawa membela kolektivisme
dan ideologi komunis.
Pada Era Perang Dingin, dominasi Uni Soviet dan Amerika Serikat terhadap
negara sekutunya menyebabkan konstalasi hubungan internasional diwarnai oleh
kepentingan kedua negara. Persaingan antara keduanya mempertajam “balance of
power” secara global pada pasca Perang Dunia II. Kepemilikan senjata nuklir oleh
Amerika Serikat dan Uni Soviet memastikan bahwa perang berpotensi membawa
malapetaka bagi kedua blok. Sebab, mengancam kelangsungan hidup manusia dengan
menggunakan senjata nuklir, strategi milter sering merujuk “balance of power
41
sebagai balance of terror.”54 Akibat dari kesimbangan ini, banyak bermunculan blok
aliansi yang didasarkan pada persamaan ideologis. Hampir semua langkah diplomatik
dipengaruhi oleh tema-tema ideologis yang kemudian dilengkapi dengan perangkat
militer. Adapun, NATO sebagai sebuah aliansi pertahahnan militer ketika Perang
Dingin harus bersaing dengan penyeimbangnya, Pakta Warsawa. Setelah berakhirnya
Perang Dingin, NATO seolah kehilangan relevansi sebagai pakta pertahanan militer.
NATO yang awalnya merupakan aliansi militer kini bertransformasi menjadi sebuah
aliansi yang multi sektor. NATO tidak hanya fokus pada kekuatan militer, akan tetapi
sudah multi fungsi. Bahkan, NATO telah menjadi pusat aliansi kerjasama ekonomipolitik pasca jatuhnya Uni Soviet.
Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa.
Negara anggota Pakta Warsawa sudah menyakini bahwa dengan bubarnya Uni
Soviet, maka keberadaan Pakta Warsawa tidak dapat dipertahankan lagi. Untuk itu,
dengan dibubarkannya Pakta Warsawa sebagai pesaing NATO di wilayah Eropa,
maka NATO harus mengkaji kembali relevansi keberadaannya dan mencari peranperan baru agar para anggotanya tetap merasakan manfaat dari keanggotaan dalam
aliansi ini. Oleh karena itu, beberapa perubahan secara struktur dalam kelembagaan
NATO menjadi sebuah agenda baru bagi NATO dalam melihat konstalasi sistem
internasional, baik yang bersifat militer maupun non-militer. Negara-negara anggota
juga harus siap dalam menghadapi berbagai ancaman baru setelah periode Perang
Dingin berakhir, memasuki abad 21 yang lebih kompleks.
54 Ainius Lasas, 2008, “Restituting Victims: EU and NATO Enlargements through the Lenses of
Collective Guilt.”, dalam Journal of European Public Policy , hal. 98-116.
42
2.
NATO dalam dimensi Non-Tradisional
Keberadaan NATO pada pasca Perang Dingin sangat kompleks untuk
dipahami. NATO yang pada awalnya merupakan sebuah aliansi militer (traditional
pupose) berubah menjadi sebuah aliansi yang memiliki multi tujuan (non-traditional
purpose). Setelah jatuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa, maka tidak terdapat lagi
ancaman terhadap negara-negara anggota, sehingga NATO dianggap kehilangan
relevansi. Namun, pada perkembangannya, NATO justru mengadopsi suatu agenda
global dan memperluas keanggotaannya hingga memasukkan negara-negara bekas
Uni Soviet lainnya melalui pertemuan KTT NATO.
Perang Dingin, menurut Juwono Sudarsono (1996)55, secara resmi berakhir
pada kurun waktu 1989-1990 dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November
1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur pada 3 Oktober 1990. Perkembangan
itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991 bersamaan dengan
mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara. Setelah berakhirnya Perang
Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet,
Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya. Dalam masa ini, sektor
keamanan adalah salah satu bidang yang paling terkena dampak perubahan. Pakta
Warsawa runtuh, dan NATO berdiri sendiri tanpa perimbangan. Melihat ini, negaranegara anggota tidak tinggal diam. Oleh karenanya, berbagai reformasi struktur
kelembagaan NATO mulai dilakukan. Perancis misalnya, di bawah pemerintahan
Nicolas Sarkozi melakukan upaya modernisasi NATO. Melalui bentuk redefinisi dan
pemeriksaan diri, maka dibuatlah sebuah postur NATO yang lebih baru. NATO
55 Mariani, Loc. cit.
43
diubah menjadi sebuah organisasi politik-militer dengan menambahkan dimensi
politik. Adapun, struktur militer dan komando akan bertransformasi dalam usaha
merespon ancaman kemanan abad ke-21. Arah NATO menjadi lebih global dengan
menambah anggota baru dan menjalin kemitraan baru. Michael Ruhle,56 Senior
Planning Officer dalam bidang Kebijakan Perencanaan dan Bagian Speechwriting
Politik Divisi NATO, menjelaskan:
NATO telah berubah dari sebuah organisasi tunggal-tujuan untuk sebuah
lembaga multi-tujuan, bekerja sama untuk menciptakan lingkungan strategis
yang lebih ramah. NATO memberikan kontribusi pada kemunculan arsitektur
keamanan Euro-Atlantik. Hal. ini tidak benar-benar sebuah lembaga tapi
arsitek. Arsitektur sebagai serangkaian proses politik penting yang membentuk
lingkungan strategis, proses integrasi Eropa, evolusi dari Rusia, pengembangan
hubungan transatlantik, dan evolusi manajemen krisis di wilayah EropaAtlantik.
Dalam menciptakan lingkungan strategis yang lebih ramah, NATO sebagai
organisasi internasional turut mengalami perkembangan. Perkembangan NATO
terkait tujuan dan agenda globalnya sesuai dengan New Strategy Concept dapat
dikelompokkan dalam dua hal, yaitu tujuan politik dan militer. Tujuan politik, NATO
mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan mendorong usaha-usaha konsultasi dan
kerja sama dalam bidang militer dan pertahanan keamanan untuk membangun
kepercayaan dalam waktu yang berkepanjangan. Tujuan Militer: NATO berkomitmen
menjaga perdamainan dan meresolusi konflik. Hal. ini telah dijelaskan dalam artikel 5
dari Perjanjian Atlantik Utara dan dibawah mandat PBB. Dalam operasi militer,
NATO bisa saja sendiri atau bekerjasama dengan negara atau organisasi internasional
56 Joshua B. Spero, 2005, “Resensi Buku: Schimmelfennig Frank, Uni Eropa, NATO dan Integrasi
Eropa dan Retorika Aturan”, dalam Review Slavia, hal. 64.
44
dalam usaha menciptakan stabilitas kawasan.57 Tujuan ini sesuai dengan hasil dari
pertemuan tingkat tinggi di Roma pada tahun 199158, yaitu:
1.
Menetapkan suatu dasar yang diperlukan bagi suatu lingkungan kemanan
yang stabil di Eropa, yang merupakan dasar dari pertumbuhan institusi
demokrasi dan merupakan tanggung jawab terhadap resolusi perdamaian
untuk mencegah atau mengatasi perselisihan-perselisihan.
2.
Aliansi mencoba untuk menciptakan suatu lingkungan yang mana tidak ada
wilayah atau negara yang sanggup mengintimidasi atau memaksa negaranegara Eropa atau untuk menjatuhkan hegemoni terebut melalui suatu
ancaman atau penggunaan kekuatan.
3.
Sesuai dengan Artikel 4 dari North Atlantic Treaty, tugas aliansi sebagai
suatu forum konsultasi atau dialog trans-atlantik bagi aliansi dalam
berbagai pokok permasalahan yang mempengaruhi kepentingan vital dari
para anggotanya, termasuk perkembangan yang mungkin memperlihatkan
adanya bahaya terhadap keamanan mereka.
4.
Aliansi menyelengarakan penangkalan (deterrence) dan pertahanan
(defense) melawan setiap tindakan agresi yang mengancam wilayah setiap
negara anggota NATO.
5.
Aliansi mempertahankan suatu strategi yang seimbang dalam Eropa.
57 “NATO Programs”, http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_programs.htm, diakses pada tanggal 4
Februari 2012 pukul 07.00 WITA
58 “Declaration on Peace and Cooperation, 08 November 1991”
http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_texts_23846.htm, diakses pada tanggal 6 Februari 2012
pukul 23.07 WIB.
45
Selanjutnya pada tahun 1999, konsep strategi NATO mengalami revisi untuk
yang kedua kalinya. Konsep baru ini bertujuan untuk membangun komitmen aliansi
tidak hanya pada pertahanan bersama tetapi juga pada perdamaian dan stabilitas
wilayah Euro-Atlantic yang lebih luas. Termasuk di dalamnya adalah menyangkut
perluasan tujuan NATO dalam bidang politik59, yaitu:
1. Pendekatan yang lebih luas terhadap keamanan termasuk di dalamnya
faktor politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan, juga dalam bidang
pertahanan.
2. Komitmen yang kuat kepada hubungan Trans-Atlantic.
3. Memperbaiki dan memelihara kapabilitas militer aliansi untuk memastikan
efektifitas operasi militer.
4. Pengembangan kapabilitas negara-negara Eropa di dalam aliansi.
5. Terjaganya tindakan pencegahan konflik yang memadai dan prosedur serta
srtuktur manajemen krisis yang baik.
6. Kemitraaan yang efektif dengan negara-negara Non-NATO berdasarkan
kerjasam dan dialog.
7. Perluasan aliansi dan pelaksanaan kebijakan pintu terbuka pada negara yang
berpotensi menjadi anggota baru.
8. Melanjutkan
usaha-usaha
terhadap
kesepakatan
yang
menyangkut
pengawasan, kesepakatan perlucutan senjata, dan nonpoliferasi.
59 NATO Handbook 2006, “NATO’s Public Diplomacy Division”, Brussel, hal. 19.
46
Revisis tujuan NATO untuk yang ketiga kalinya terjadi pada KTT Lisabon
201060, yang di dalamnya terdiri atas 38 point. Inti poinnya, yaitu:
1. Menegaskan ikatan antara negara anggota untuk membela satu sama lain
terhadap setiap serangan, termasuk terhadap ancaman baru dengan
keselamatan warga negara.
2. Berkomitmen untuk mencegah krisis, mengelola konflik dan menstabilkan
situasi pasca konflik, termasuk bekerja lebih erat dengan mitra internasional,
yang paling penting PBB dan Uni Eropa.
3. Menawarkan mitra di seluruh dunia melalui keterlibatan politik aliansi, dan
berperan penting dalam membentuk pimpinan operasi NATO sesuai dengan
berkontribusi anggota.
4. NATO berkomitmen untuk tujuan menciptakan kondisi sebuah dunia tanpa
senjata nuklir, tetapi menegaskan bahwa, selama ada senjata nuklir di dunia,
NATO akan tetap menjadi aliansi nuklir.
5. Menyatakan kembali komitmen perluasan keanggotan NATO terbuka bagi
semua negara demokrasi Eropa yang memenuhi standar keanggotaan, karena
pembesaran memberikan kontribusi untuk tujuan NATO dan keseluruhan
kepentingan Eropa yang bebas dan damai.
6. NATO melakukan reformasi terus menerus menuju aliansi lebih efektif,
efisien dan fleksibel, sehingga mampu menangkal ancaman untuk mencapai
tingkat keamanan maksimum, untuk itu alokasi dana pertahanan perlu
ditingkakan.
60 NATO New Strategic Concept, 2010, hal. 1.
47
Perjanjian di atas, menegaskan bahwa warga negara-negara anggota NATO
bergantung pada NATO untuk membela negara sekutu, mengerahkan pasukan militer
yang kuat di mana dan kapan diperlukan demi keamanan aliansi, dan membantu
mempromosikan keamanan bersama mitra NATO di seluruh dunia. Dalam
perkembangan, misi NATO akan tetap sama, yaitu memastikan aliansi tetap menjadi
organisasi yang tak tertandingi dalam mempromosikan nilai-nilai kebebasan,
perdamaian, keamanan dan bersama.
Menurut Rimanelli, perubahan paling mendasar yang terjadi dalam struktur
kelembagaan NATO pasca Perang Dingin dilihat dalam tiga hal. Pertama, integrasi
regional dan perluasan keanggotaan NATO. Kedua, struktur kelembagaan keamanan
yang baru, seperti North Atlantic Cooperation Council (NAC-C), Partnership for
Peace (PFP), Euro Atlantic Partnership Council (EAPC), dan NATO-Russia dan
NATO-Ukraina Charter. Ketiga, area misi keamanan NATO. Termasuk, keberhasilan
NATO dalam menata ulang sistem pertahanan regional dan reduksi kontrol senjata
NATO (arms control rduction). Lebih lanjut Marco Rimanelli menjelaskan:
In the post-Cold War world, NATO’s success in regional self-defense and arms
control reduction has led the alliance to a triple emphasis. Firts is “regional
integration and NATO enlargements”. Second is “new security structures”,
such as North Atlantic Cooperation Council (NAC-C), Partnership for Peace
(PfP), Euro Atlantic Partnership Council (EAPC), dan NATO-Russia dan
NATO-Ukraina Charter. Third is “out of area” peacekeeping missionss in
adjoining theaters, like NATO’s Air-Naval Force of UN peacekeeping in
Yugoslavia; both The International Force and Stabilisation Force in Bosnia
(IFOR, SFOR); the Kosovo Implementation Force (KFOR); Albania; and
briefly Makedonia; and the International Security of Afganistan Force (ISAF).
Change was necessary to avoid stagnation and death, as NATO soon found
out.61
61 Rimanelli, Op. cit. hal. 22.
48
NATO dalam hal reduksi kontrol senjata merupakan sebuah perubahan doktrin
dan strategi militer NATO yang paling signifikan, di mana doktrin yang sebelumnya
terletak pada dua pilar “forward defense” dan “flexible response”. Kemudian, dalam
konferensi NATO pada Juli 1990 dan November 1991, doktrin-doktrin tersebut
diubah secara radikal dari konsep forward defense menjadi “reduced forward
presence” dan flexible response menjadi “reduced reliance on nuclear weapons”, dan
akhirnya kemudian menjadi “truly weapons of last resort”.62
Pasca Perang Dingin, kebijakan pembesaran NATO didasarkan pada tujuan
mengintegrasikan kembali Eropa yang terpecah-pecah dan strategi mendirikan basis
pendukung yang luas untuk melawan ancaman yang baru terbentuk dan berkembang.
Pada pertemuan puncak NATO di awal 1990-an di London dan Roma, negara-negara
Eropa Tengah dan Timur yang telah memenangkan kemerdekaan menjadi bagian
pelengkap bagi strategi aliansi. Pertemuan London sekaligus secara resmi mengakhiri
Perang Dingin antarblok dan membangun kembali hubungan bilateral antara Amerika
Serikat dengan negara bekas Uni Soviet.63 Keputusan penting yang keluar dari
puncak ini adalah pembentukan Dewan Kerjasama Atlantik Utara. Pada tahun 1992,
11 negara Eropa sebagai mantan anggota Uni Soviet, termasuk Georgia dan Albania
masuk dalam keanggotaan NATO. Pada KTT Brussel 1994, kebijakan kemitraan
untuk Perdamaian (PFP) diperkenalkan. Di Paris tanggal 27 Mei 1997, pembuatan
undang-undang hubungan kerjasama keamanan NATO dan Federasi Rusia
ditandatangani, dan hasilnya pada tahun 2002 Dewan NATO-Rusia didirikan.
62 Firdausy, Op. cit., hal. 74.
63 Rimanelli, Op. cit., hal. 19.
49
Ekspansi keanggotaan NATO dan kebijakan kerjasama global setelah Perang
Dingin dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, meliputi negara-negara
yang telah memulai proses aksesi untuk keanggotaan penuh di NATO. Negara-negara
yang memulai hubungan ini dengan menunjukkan kemauan politik mereka untuk
masuk dalam keanggotaan dan memenuhi kriteria yang diperlukan dalam “Rencana
Aksi Keanggotaan”, yaitu sebuah proses yang mengarah pada pembentukkan
keanggotaan penuh yang selanjutnya memiliki hak untuk keanggotaan penuh NATO.
Dalam masa ini, NATO telah diperluas sebanyak tiga kali terkait keanggotaan penuh
setelah Perang Dingin. Gelombang pasca Perang Dingin pertama terjadi ketika
pembesaran NATO pada KTT Madrid pada tanggal 8 Juli 1997 ketika Republik
Ceko, Polandia, dan Hungaria diundang dalam negosiasi untuk aksesi ke Aliansi. Dan
akhirnya, negara-negara ini bergabung dengan aliansi pada tanggal 12 Maret 1999.
Keputusan Pembesaran NATO yang kedua dilakukan pada KTT Praha pada 2122 November 2002. Pada pertemuan ini, diputuskan bahwa Bulgaria, Estonia,
Lithuania, Latvia, Rumania, Slovakia, dan Slovenia akan bergabung dengan NATO
sebagai anggota penuh, dan proses aksesi mereka dimulai pada awal tahun 2005.
Tahap ketiga dari pembesaran termasuk Albania, Kroasia dan Macedonia yang
diputuskan pada KTT Bucharest pada bulan April 2008 untuk memberikan
keanggotaan penuh bagi negara-negara yang memenuhi kriteria. Albania dan
Makedonia memperoleh hak untuk keanggotaan penuh di puncak ini, tapi Yunani
keberatan terhadap Makedonia dan keanggotaan Macedonia dihentikan. Pada KTT
Bucharest, prinsip pemberian status Georgia dan Ukraina dalam Rencana Aksi
Keanggotaan (MAP) diadopsi, tapi keputusan ditunda sampai pertemuan Menteri
50
Luar Negeri NATO pada bulan Desember 2008. Perang Rusia-Georgia pada Agustus
2008 menyebabkan penundaan keputusan. Akibatnya, hubungan NATO-Rusia
kembali memburuk dan tumbuh ketegangan.
Kategori kedua, dalam pembesaran NATO mengikuti kebijakan globalisasi
meliputi negara-negara Partnership for Peace (PFP). Tidak ada batas geografis untuk
negara-negara dalam kategori ini. Dengan status ini, negara-negara anggota
Organisasi Kerjasama Keamanan Eropa (OSCE) dapat bekerja sama dengan NATO.
Status ini mencakup Federasi Rusia, negara-negara di Kaukasus Selatan dan negaranegara Eropa lainnya yang belum mencapai keanggotaan penuh serta beberapa negara
lainnya. Kategori ketiga ialah negara-negara yang termasuk dalam kelompok
pemeliharaan dialog dan kontak. Pada tahun 1994, NATO meluncurkan Dialog
Mediterania. Tujuannya adalah mendorong dialog dengan negara-negara di lembah
Mediterania, yaitu Mauritania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir, Israel dan Yordania,
mengisolasi permusuhan dan kesalahpahaman, mengembangkan pemahaman umum
dan memberikan kontribusi bagi reformasi di bidang tata pemerintahan yang baik.
Pada KTT NATO yang diadakan di Istanbul Juni 2004, keputusan dibuat untuk fokus
lebih mendalam terhadap Dialog Mediterania dan menciptakan mekanisme kerjasama
antarnegara Timur Tengah melalui Istanbul Initiative Cooperation. Akibatnya,
negara-negara Arab Teluk termasuk dalam kerjasama ini, sekaligus mendai kerjasama
baru NATO di luar Eropa dalam hal ini dengan negara-negara Mediterania sebagai
bentuk kerjasama dalam menjaga keamanan internaional.
Dalam tatanan dunia baru yang muncul setelah runtuhnya Uni Soviet,
keamanan Eropa-Atlantik menjadi lebih sulit dan kompleks. Serangan teroris
51
terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001 menyebabkan pengaruh besar
bagi negara-negara anggota NATO, khususnya Amerika Serikat. Ancaman baru ini
telah memberikan kepercayaan kepada Amerika Serikat sebuah gagasan bahwa tidak
ada satu negara, termasuk Amerika Serikat, atau aliansi, bisa menangani semua
masalah dan bahwa kerjasama komprehensif dengan negara-negara di luar aliansi
menjadi sangat penting.
Kebijakan pembesaran NATO tidak hanya fokus pada pembenahan negaranegara Eropa yang terpecah-pecah yang memenangkan kemerdekaan setelah
runtuhnya Uni Soviet dan memperkuat keamanan Eropa, tetapi juga menciptakan
lingkungan yang lebih aman melalui penciptaan tindakan bersama terhadap setiap
ancaman sesuai dengan yang tercantum di atas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mendorong kemitraan, kerjasama dan dialog di bidang komprehensif perdamaian dan
keamanan dengan negara-negara di luar Eropa. Peritiwa ini menjadi awal tantangan
keamanan global di abad 21. Dimana, ancaman baru tidak lagi memiliki dasar
ideologis yang menantang seperti pada masa Perang Dingin.64
Pada Perang Dingin, NATO telah menerapkan kebijakan pembesaran dan
negara-negara Eropa Timur telah menjadi anggota aliansi. Motivasi utamanya adalah
untuk menjadi bagian dari blok barat dan menyeimbangkan kemungkinan bangkitnya
ancaman Rusia di masa mendatang. Ini merupakan salah satu celah utama dalam hal
persatuan di antara anggota aliansi. Namun demikian, negara-negara yang telah
menjadi anggota aliansi Euro-Atlantik dalam dua dekade terakhir relatif lebih kecil
64 Walter S. Jones, 1992, Logika Hubungan Internasional: Persepsi Nasional, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, hal. 62.
52
dari segi kekuatan ekonomi dan militer. Tanggung jawab NATO telah meningkat,
tetapi tidak secara seimbang. Para anggota NATO yang lebih tua masih membawa
sebagian besar beban utama. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam pembuatan
kebijakan dan akan mengurangi sikap bersatu anggota NATO, seperti pada perang
Georgia di tahun 2008.65 Tidak meratanya distribusi kekuasaan anggota NATO,
menjadi salah satu celah bagi anggota NATO. Sehingga, tidak menutup kemungkinan
muncul persaingan baru dalam perebutan pengaruh di antara negara anggota NATO.
Realitas ini disesuaikan dengan ruang lingkup kerja NATO yang semakin luas,
tidak hanya dalam tataran regional tetapi juga secara global. Peran negara-negara
anggota NATO lebih detil kembali diperhitungkan dan menjadi tolak ukur
keberhasilan NATO. Di satu sisi, kepentingan negara anggota mulai berkembang dan
bahkan bergeser, di sisi lain keberadaan NATO sebagai wadah bagi negara aliansi
turut mengalami perkembangan secara signifikan. Perubahan-perubahan secara
langsung akan berpengaruh pada kinerja NATO dalam menjalankan misinya sebagai
penjaga kemanan bagi wilayah Atlantik Utara dan di luarnya.
Sehubungan dengan hal di atas, Perancis dan Amerika Serikat adalah dua
negara anggota NATO yang memiliki pengaruh besar dalam setiap operasi NATO.
Posisi Perancis dan Amerika Serikat merupakan dua kekuatan baru di NATO pada
pasca Perang Dingin. Dalam hal kepemimpinan NATO, sebenarnya secara struktural
telah ada ketegangan di antara Perancis dan Amerika Serikat. Terbukti sejak NATO
dibentuk pada tahun 1949, Perancis mengusulkan sebuah proposal penentangannya
65 Walter S. Jones, 1993, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi-Politik Internasional,
dan Tatanan Dunia 2, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 47.
53
terhadap Amerika Serikat. Penentangan ini adalah dalam hal kepemimpinan NATO
dan usaha Amerika Serikat untuk memindahkan Markas Besar NATO dari Paris ke
Brussel. Sesuai dengan ulasan Jack C. Plano:
The main challenges to the concpet of North Atlantic embodies in the treaty,
however, came from within, and they involved a struggle for leadership betwen
France and the United States. France force the departure of NATO
headquarters from Paris and its relocation in Brussel. France also refused to
partisipate in NATO exercises or share in its reposibilities, but it nevertheless
reiterated its continuing commitment to the principles of the alliance.66
Pada perkembangan selanjutnya, Perancis dan Amerika Serikat telah kembali
fokus pada kepentingan nasional negara masing-masing. Sehingga, hal ini tentu saja
akan mampu mempertajam ketegangan struktural antara kedua negara di NATO.
Adapaun, pertentangan yang paling tajam ialah pada masa-masa eksekusi Jerman
masuk menjadi anggota NATO tahun 1955, dimana Perancis mengusulkan proposal
tentang perlunya pembentukan sistem pertahanan dan keamanan Eropa yang lebih
independen, mandiri dan fleksibel. Untuk mewujudkan hal ini, maka Perancis
mendorong Jerman untuk bisa bersama-sama di struktur integrasi militer NATO dan
di pusat pertahanan Eropa. Ketegangan struktural antara Perancis dan Amerika
Serikat terus berlanjut hingga kembalinya Perancis ke dalam struktur integrasi militer
NATO pada tahun 2009 di bawah masa Pemerintahan Nicholas Sarkozy. Pada
perkembangannya, realisasi kepentingan Perancis di NATO telah mengalami
dinamisasi terutama dalam hal pertahanan dan militeristik, sehingga reformasi militer
menjadi agenda penting bagi politik luar negeri Perancis.
66 Ziring, Plano, dan Olton, Op. cit., hal. 180.
54
B.
NATO dalam Perspektif Perancis
Sebagai salah satu dari dua belas negara penandatangan berdirinya Pakta
Pertahanan Atlantik Utara tahun 1949, keberadaan Perancis di NATO dengan baik
dapat dijelaskan dalam 4 (empat) posisi. Pertama, pada periode Perang Dingin,
dimana Perancis berada di dalam struktur integrasi militer NATO sejak berdirinya
hingga pada periode Perang Dingin (1949-1966). Dan, berada di luar struktur
integrasi militer NATO hingga periode akhir Perang Dingin (1966-1990). Kedua,
pada periode pasca Perang Dingin, dimana Perancis berada di luar struktur integrasi
militer NATO (1990-2009). Dan, kembali berada di dalam struktur integrasi militer
NATO pada tahun 2009 hingga sekarang.
Pada empat posisi di atas, tentu saja Perancis memiliki pandangan yang
berbeda-beda dalam melihat NATO, terutama pada periode akhir Perang Dingin
hingga sekarang. Perbedaan mendasar sebagai tolak ukur hubungan Perancis dan
Amerika Serikat pada periode Perang Dingin adalah tentang proyeksi NATO dalam
menangkal ancaman yang sama bagi negara anggota NATO. Ancaman yang sama
menjadi tolak ukur hubungan Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Selanjutnya,
ketika Perang Dingin usai, maka ancaman bersama sudah tidak ada. Dengan demikian
peran Perancis bersama anggota NATO lainnya juga mengalami perubahan.
Perubahan dua kondisi di atas turut mempengaruhi perkembangan hubungan
kedua negara. Pada pada periode Perang Dingin tahun 1963 Perancis dan Jerman
menandatangani perjanjian Elysse di Paris dalam bentuk Franco-German. Adapun,
pengaruh implementasi perjanjian ini terhadap postur pertahanan keamanan Perancis
di masa tersebut adalah Perancis lebih leluasa membangun kemandirian Pertahanan
55
Eropa bersama dengan Jerman. Efek hubungan kerjasama ini bagi Perancis hingga
sekarang yaitu sama-sama menjadi representasi terkuat negara-negara Eropa di
NATO. Terlebih lagi setelah Perancis masuk kembali dalam struktur integrasi militer
NATO di tahun 2009 di bawah Presiden Nicholas Sarkozy menjadikan Perancis
semakin lebih kuat di NATO dan Eropa. Walaupun, dapat dipahami bahwa di tahun
1966 Perancis keluar dari struktur militer NATO atas keputusan Presiden Perancis,
Charles De Gaulle. Dan, membentuk pertahanan bersama Jerman di luar NATO. Pada
masa-masa diluar struktur keanggotaan NATO, kurang lebih 43 tahun, Perancis
melihat NATO sebagai wadah untuk memperkuat kepentingan Perancis dalam
struktur politik NATO. Hal ini sesuai dengan tradisi “khas Perancis” dalam politik
luar negeri yang merupakan kepentingan vital bagi Perancis.
Selanjutnya, jika kita hubungkan dengan perkembangan kepentingan Perancis
di NATO. Maka, kepentingan mendasar Perancis di NATO pada perode Perang
Dingin adalah menjadi motor utama sebagai penggerak bersama dengan sekutu
melawan ancaman ekternal. Selanjutnya, perkembangan kepentingan Prancis di
NATO setelah pasca Perang Dingin, khususnya sekarang yaitu sesuai dengan mandat
yang tercantum dalam Buku Putih Perancis pada Juni 2008 yang menitikberatkan
pada masalah pertahanan luar negeri, domestik, dan masalah keamanan.67 Buku Putih
Perancis dimaksudkan untuk memberikan strategi keamanan Perancis yang lebih
komprehensif untuk jangka waktu 25 tahun ke depan, mencerminkan lingkungan
keamanan yang baru pada abad ke-21, dan untuk menguraikan proposal
67
Hugues Portelli, dkk, 2005, France, Paris: La Documentation Francaise; Ministere des Affaires
etrangeres, hal. 210.
56
restrukturisasi untuk membuat militer Perancis lebih fleksibel, berteknologi maju, dan
lebih mampu berkoordinasi dengan sekutu seperti Amerika Serikat dan organisasiorganisasi multilateral seperti Uni Eropa, NATO, dan PBB.
Konsisten dengan Buku Putih, Perancis telah melakukan restrukturisasi besar
untuk mengembangkan profesionalisme militer yang lebih ramping, lebih cepat,
tangguh, dan lebih berbobot yang telah disesuaikan untuk operasi di luar daratan
Perancis. Adapun, elemen kunci dari restrukturisasi termasuk mengurangi personel,
pangkalan, markas dan peralatan rasionalisasi dan industri persenjataan. Jumlah
militer Perancis yang masih aktif dalam tugas sekitar 350.000 (termasuk gendarm).
Perancis telah berhasil menyelesaikan perpindahan semua angkatan bersenjata
profesional saat wajib militer berakhir pada tanggal 31 Desember 2002 lalu.68
Kepentingan Perancis di NATO telah lama dipersiapkan oleh pendahulunya.
Rencana Perancis membangun pertahanan Eropa telah dirancang sejak 1966 ketika
Presiden Charles De Gaulle secara tegas menarik keluar Perancis dari srtuktur
integrasi militer NATO. Sejak itu, Perancis mulai fokus membangun dasar bagi
pertahanan Eropa di luar NATO bersama Jerman. Keluarnya Perancis dari Struktur
militer NATO, tidak berarti Perancis meningalkan kepentingannya di NATO,
melainkan untuk bisa lebih leluasa dalam mencapai tujuan di atas. Pada masa yang
sama, Perancis memulai berpartisipasi penuh dalam struktur politik NATO hingga
akhirnya tergabung kembali dalam struktur integrasi militer NATO tahun 2009.69
68
69
Ibid, hal. 199.
Portelli, Op. cit., hal. 198.
57
C.
NATO dalam Perspektif Amerika Serikat
Keberadaan Amerika Serikat di NATO berlangsung sejak NATO didirikan
hingga hari ini. Amerika Serikat pada masa Perang Dingin memimpin NATO
bersama sekutu dalam menangkal ancaman Uni Soviet dan Pakta Warsawa di Eropa.
Dalam masa-masa ini, Amerika Serikat dan sekutu yang yang teraliansi dalam NATO
berjuang bersama melawan fasisme yang terlibat dalam pertikaian politik untuk
saling bersaing memperebutkan hegemoni dan pengaruh politik di Eropa, Asia, dan
dunia. Amerika Serikat di bawah NATO gencar dalam usaha memperjuangkan
hegemoni dalam tatanan politik global awal tahun 1950-an sampai runtuhnya
komunisme Soviet tahun 1990-an.
Runtuhnya Uni Soviet (USSR) dan dominasi Pakta Warsawa atas Eropa Timur,
diikuti oleh disintegrasi Uni Soviet pada bulan Desember 1992, mengakhiri Perang
Dingin (1946-1990) dan keamanan global berubah secara radikal di bidang-bidang
tertentu. Dengan dinyatakannya Amerika Serikat sebagai negara adidaya tunggal
sejak tahun 1992, dua fase paralel dari “akhir sejarah” dan “globalisasi”, dilihat
sebagai akhir dari Perang Dingin atas kemenangan divisi militer politik Eropa dan
kemenangan militer-ekonomi Barat melalui globalisasi perdagangan dan transformasi
pasar bebas.70 Pada periode yang sama, di bawah kepemimpinan Amerika Serikat,
NATO berusaha mempertahankan perjanjian pengawasan senjata Timur-Barat dan
memperbaharui sistem pembagian kekuasaan di Eropa antara negara adidaya dengan
menyatakan bahwa Uni Soviet dan Pakta Warsawa tidak lagi menjadi musuh
70
Rimanelli, Op. cit. hal. 486.
58
Amerika Serikat, sekaligus menciptakan kerjasama keamanan Timur-Barat melalui
kerjasama North Atalntic cooperation-Council (NAC-C) dan Organisasi untuk
keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) untuk mengikat NATO bersama dengan
semua negara Eropa Timur.
Adapun, pada pasca Perang Dingin, babak baru NATO ialah bagaimana melihat
peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di NATO. Amerika
Serikat ingin memposisikan NATO dibawah pengaruh dan kendalinya. Di sisi lain,
negara-negara Eropa melihat dominasi Amerika Serikat di NATO sebagai sebuah
ancaman bagi kedaulatan Eropa. Negara-negara Eropa melihat bahwa, jika dominasi
Amerika Serikat dibiarkan terus-menerus, maka dominasi tersebut akan menjadi
wujud kekuatan baru Amerika Serikat untuk menguasi Eropa. Sebagai akibatnya,
memberi ruang untuk saling mendominasi. Akhirmya, muncul sebuah rivalitas antara
Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa berupaya untuk
memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata lain, Eropa
ingin “me-NATO-kan Amerika Serikat” agar berada di bawah kendali negara-negara
Eropa.71 Namun, Bagi Amerika Serikat, mempertahankan kepemimpinan melalui
NATO merupakan satu-satunya jalan untuk tetap mempertahankan pengaruhnya di
Eropa secara permanen. Di sisi lain, konsep baru NATO, jika berhasil dibuat, akan
memberikan ruang manuver bagi Amerika Serikat di arena internasional yang bersifat
militeristik. Sementara di sisi lain, menggerogoti kekuatan fungsional dari Dewan
Keamanan PBB.
71 Diez T., dan Wiener A., Loc. cit.
59
Hal di atas merupakan sebuah konflik struktural antara Amerika Serikat dengan
negara-negara Eropa, dalam hal ini Perancis. Konflik struktural ini telah lama
berlangsung sejak NATO didirikan, namun masih dapat diantisipasi oleh NATO.
Pada dasarnya, tantangan utama ke konsep dari Perjanjian Atlantik Utara diwujudkan
dalam perjanjian itu. Dan bagaimanapun juga, konflik struktural antara Perancis dan
Amerika Serikat yang terlibat dalam perjuangan untuk kepemimpinan NATO menjadi
dasar dari perseteruan Perancis dan Amerika Serikat. Persiteruan ini namapak dalam
hal kepemimpinan Perancis dan Amerika Serikat dalam setiap operasi NATO. Pada
awal pendiriannya, Prancis menentang pemindahan markas besar NATO dari Paris ke
Brussel. Sejak itu, Perancis juga menolak untuk berpartisi dalam latihan militer
NATO, tetapi hal itu tetap menegaskan komitmennya terus prinsip-prinsip aliansi.72
Perkembangan konflik struktural di NATO terus berjalan seiring dengan
berbagai perubahan dalam tubuh NATO dalam merespon keamanan internasional,
baik regional maupun global. Dengan demikian, seiring dengan perubahan waktu,
maka berbagai macam ancaman muncul. Realitas abad ke-21 ancaman keamanan
lebih didasarkan pada ekonomi dan organisasi militer. Adapun, NATO telah
melakukan beberapa revisi strategi dalam menghadapi berbagai ancaman yang
muncul. Selain itu, dibawah kepemimpinana Amerika Serikat, dan dengan semakin
bertambahnya keanggotaan NATO, akan semakin sulit bagi Amerika Serikat dalam
merespon distribusi kekuasaan di NATO, sehingga mempengaruhi posisi Amerika
Serikat dalam mempertahankan dominasinya di NATO.
72 Ziring, Plano, dan Olton, Loc. cit.
60
BAB IV
RIVALITAS PERANCIS-AMERIKA SERIKAT DI NATO
PASCA PERANG DINGIN
A.
Kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO
1. Revitalisasi Kepentingan Perancis di NATO
Kepentingan Perancis di NATO tidak terlepas dari keikutsertaannya dalam
berbagai operasi perdamaian yang dijalankan oleh NATO sejak tahun 1949. Sebagai
salah satu negara pendiri NATO, Perancis telah banyak berkontribusi dalam hal
pengiriman pasukan NATO. Di antara anggota NATO, Perancis merupakan negara
yang paling intens dalam pengiriman pasukan luar negeri setelah Amerika Serikat.73
Perancis juga menjadi negara penting dalam berbagai reformasi kelembagaan NATO.
Seiring dengan perubahan waktu, revitalisasi kepentingan Perancis di NATO menjadi
agenda baru dalam politik luar negeri Perancis, khususnya di bidang pertahanan.
Sebagai salah satu anggota NATO, Perancis telah bekerja secara aktif dengan
sekutu untuk beradaptasi di NATO, baik internal maupun eksternal dalam lingkungan
pasca Perang Dingin. Dukungan Perancis dalam upaya modernisasi struktur
kelembagaan NATO dan memimpin kontributor NATO Response Force (NRF)
merupakan bagian dari implementasi kepentingan Perancis di NATO. Di luar NATO,
Perancis tertarik untuk membangun kemampuan pertahanan Eropa, termasuk
pengembangan kelompok tentara regu-cepat Uni Eropa dan menjadi tulang punggung
bagi produksi militer Eropa.
73
Portelli, Op. cit., hal. 210.
61
Pada tahun 2009, Presiden Nicholas Sarkozy mendukung penuh pengembangan
pertahanan Eropa untuk melengkapi dan memperkuat NATO, yang tujuan intinya
tetap pada stabilisasi keamanan trans-atlantik. Di luar misi trans-atlantik, Presiden
Nicholas Sarkozy telah menggarisbawahi komitmen Perancis untuk menyelesaikan
misi NATO di Afghanistan, di mana sekitar 4.000 tentara Perancis dikirim ke
Afganistan pada bulan Januari 2011. Sebelumnya, pada Juni 2008 Paris sukses
menjadi tuan rumah Konferensi Afghanistan. Dan, dukungan sukses bagi ketuanrumahan Perancis menunjukkan bahwa Perancis memiliki kemampuan untuk
memimpin misi NATO di luar trans-atlantik, dimana dalam konferensi tersebut donor
internasional telah menjanjikan bantuan total sebesar $ 21 miliar untuk membantu
mengembangkan infrastruktur Afghanistan, memerangi narkoba, kekerasan, dan
kemiskinan.74
Bagi Perancis, NATO merupakan simbol mata rantai strategi antara Eropa,
Amerika Serikat, dan Kanada.75 Dalam posisinya sebagai anggota NATO, Perancis
memainkan peran global yang berpengaruh sebagai anggota tetap Dewan Keamanan
PBB, G-8, G-20, Uni Eropa, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa
(OSCE), WTO, la Francophonie, dan lembaga multilateral lainnya. Sebagai anggota
tetap Dewan Keamanan PBB, Perancis adalah anggota sebagian besar agen-agen
khusus PBB. Selain itu, Perancis telah menjadi pendukung kuat dari perluasan
anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk kebutuhan untuk satu atau lebih kursi
permanen bagi Afrika. Dalam hubungannya sebagai anggota G20, Perancis
“Background Note: France” http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3842.htm, diakses pada Jum’at,
tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.
75
Portelli, Op. cit., hal. 198.
74
62
mengambil alih kepemimpinan G-20 pada tanggal 1 November 2010, dan G-8 pada
tanggal 1 Januari 2011. Prioritas Perancis selama kepresidenan G-20 ialah dalam hal
reformasi struktural, seperti reformasi pensiun, investasi di bidang infrastruktur dan
pendidikan, dan perbaikan regulasi sektor keuangan, termasuk reformasi global.
Adapaun, Perancis hubungannya dengan Amerika Serikat merupakan sekutu tertua
dalam aliansi pertahanan Atlantik Utara. Selain itu, intervensi militer Perancis
berperan dalam usaha membantu mendirikan kemerdekaan bagi koloni Amerika
Serikat dan Inggris. Banyak pertempuran dimana Amerika Serikat terlibat selama
Perang Dunia I dan Perang Dunia II berlangsung di Perancis, dimana banyak tentara
Amerika Serikat telah gugur di tanah Perancis dibanding negara asing lainnya.76
Adapun, sebagai anggota Uni Eropa, Perancis adalah pemimpin di Eropa Barat
karena ukurannya, lokasi, ekonomi yang kuat, keanggotaan dalam organisasi Eropa,
postur militer yang kuat, dan diplomasi yang energik.77 Perancis umumnya telah
bekerja untuk memperkuat pengaruh ekonomi dan politik global Uni Eropa dan
perannya dalam pertahanan Eropa. Ini dilihat dalam kerjasama Franco-Jerman dan
pengembangan Kebijakan Umum Pertahanan dan Keamanan (CSDP) dengan anggota
Uni Eropa lainnya sebagai dasar upaya untuk meningkatkan keamanan Eropa.
Keterlibatan Perancis di berbagai organisasi internasional di atas, memberikan
pengaruh lebih besar bagi Perancis untuk lebih leluasa dalam menentukan masa
depan pertahanan Eropa. Namun, di sisi lain dengan semakin banyaknya keterlibatan
Perancis di organisasi internasional, maka Perancis dituntut untuk lebih kerja keras
76
77
“Background Note: France”, Op. cit., pukul 09.44 WIB.
Loc. cit.
63
dalam mencapai kepentingan nasional negaranya, terutama kepentingan nasional
Perancis di NATO. Secara garis besar, kepentingan Perancis di NATO ialah:
to take following steps, in keeping with the choices it made in 1996 to move
toward a professional army and to define a new model for the armed forces that
gives due consideration to the requirement for France’s participation in
European and Atlantic Alliances.78
Berangkat dari tujuan ini, maka Perancis dalam hubungannya dengan NATO
menjalankan misi. Pertama, mempertahankan kebebasan Perancis untuk menentukan
pilihan dan tindakan untuk memastikan bahwa Perancis tetap bebas untuk memilih
apakah dalam setiap operasi akan terlibat dengan mitra dan atau dengan sekutu, serta
mempertahankan kemampuannya untuk bertindak sendiri jika perlu; Kedua,
mempertahankan pengaruhnya di aliansi dan koalisi negara Perancis, dimana Perancis
bertindak sebagai “framework nation” untuk melaksanakan misi Eropa (hal ini dapat
membantu negara-negara koalisi Perancis dalam melaksanakan “framework nation”
sekaligus sebagai penuntun bagi negara Eropa lainnya untuk bersama menggunakan
“its own national headquarter staff”, dan mempertahankan kemampuan militer yang
memadai; Ketiga, mempertahankan kemutahiran teknologi memastikan kredibilitas
dalam mengontrol pencegahan nuklir, mengembangkan sumber daya yang tepat
untuk perlindungan terhadap ancaman baru dan mempertahankan dasar produksi bagi
industri pertahanan Eropa. Strategis ini berdasarkan pada jalur penangkalan
(deterrence), pencegahan (preventioan), proyeksi (projection), tindakan (action), dan
perlindungan (protection).79
78
79
Portelli, Op. cit., hal 193.
Loc. cit.
64
Memahami kepentingan Perancis dalam aliansi tentu saja memiliki ruang
lingkup yang berbeda dengan memahami kepentingan Perancis secara global.
Kepentingan Perancis di NATO adalah terkhusus pada pertahanan kemanan dan
kepemimpinan Perancis di NATO, sedangkan dalam ruang lingkup global yang lebih
luas kepentingan Perancis tidak hanya fokus pada pertahanan, tetapi juga menyangkut
seluruh nilai-nilai vital kepentingan Perancis. Termasuk meningkatkan pertahanan
Eropa secara menyeluruh. Untuk itu, reformasi struktur dan postur kekuatan militer
Perancis menjadi salah satu domain terpenting di NATO dan Eropa.
Kepentingan Perancis dalam bidang militer adalah untuk menjamin postur
militer Perancis yang lebih baik. Doktrin militer Perancis didasarkan pada konsep
kemerdekaan nasional, pencegahan nuklir, dan postur militer yang mapan. Untuk itu,
revitalisasi struktur militer Perancis menjadi fokus utama dalam meningkatkan
kapabilitas militer Perancis. Hal ini sesuai dengan Buku Putih yang dirilis oleh
Perancis pada Juni 2008 yang menitikberatkan pada masalah pertahanan luar negeri,
pertahan domestik, dan masalah keamanan.80 Buku Putih itu dimaksudkan untuk
memberikan gambaran strategi keamanan yang lebih komprehensif untuk jangka
waktu 25 tahun ke depan, mencerminkan lingkungan keamanan yang baru pada abad
ke-21, dan untuk menguraikan proposal restrukturisasi untuk membuat militer
Perancis lebih fleksibel, berteknologi maju, dan lebih mampu berkoordinasi dengan
sekutu seperti Amerika Serikat dan organisasi-organisasi multilateral seperti Uni
Eropa, NATO, dan PBB.
“French White Paper on Defence and National Security, June 2008”, http://www.ambafranceca.org/IMG/pdf/, Livre_blanc_Press_kit_english_version.pdf, diakses pada tanggal 20 Januari 2012
Pukul 10.00 WIB.
80
65
Konsisten dengan Buku Putih, Perancis telah melakukan restrukturisasi besar
untuk mengembangkan profesionalisme militer yang lebih ramping, lebih cepat,
tangguh, dan lebih berbobot yang telah disesuaikan untuk operasi di luar daratan
Perancis. Elemen kunci dalam restrukturisasi militer termasuk mengurangi personel,
pangkalan, markas dan rasionalisasi industri peralatan persenjataan Perancis. Jumlah
militer Perancis yang masih aktif dalam tugas sekitar 350.000 (termasuk gendarm).
Selain itu, Perancis juga berhasil menyelesaikan perpindahan tugas semua angkatan
bersenjata profesional saat wajib militer berakhir pada tanggal 31 Desember 2002.
Adapun, kepentingan Perancis di NATO dalam bidang pertahanan telah lama
dipersiapkan oleh para pendahulunya. Rencana Perancis untuk membangun
pertahanan Eropa telah dirancang sejak tahun 1966 ketika Presiden Charles De Gaulle
secara tegas menarik keluar keanggotaan Perancis dari srtuktur integrasi militer
NATO. Sejak itu, Perancis mulai fokus membangun dasar bagi pertahanan Eropa di
luar NATO bersama Jerman. Keluarnya Perancis dari Struktur militer NATO, tidak
berarti Perancis meningalkan kepentingannya di NATO, melainkan untuk bisa lebih
leluasa dalam mencapai tujuan tersebut di atas. Dan, pada masa yang sama, Perancis
memulai dan ikut berpartisipasi penuh dalam struktur politik kelembagaan NATO.81
Seiring dengan semakin kompleksnya ancaman keamanan, tugas-tugas NATO
tidak hanya terfokus pada wilayah Atlantik Utara, melainkan telah meluas dalam
level global. Sehingga negara-negara anggota NATO dituntut untuk memaksimalkan
perannya di NATO. Ketika Perancis berada di luar struktur integrasi militer NATO,
maka pasukan Perancis yang tergabung dalam aliansi tetap ikut dalam operasi NATO,
81
Portelli, Op. cit., hal 198.
66
meskipun Perancis tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan di NATO. Pada
awalnya, perihal ini tidak menjadi pertimbangan utama bagi Perancis. Namun, dalam
perkembangannya, Perancis mengubah arah untuk mulai ikut dalam pengambilan
keputusan pada setiap rencana operasi NATO. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
Perancis untuk menaikkan postur kekuatan militer dan pertahanan di NATO. Selain
itu, dominasi Amerika serikat di NATO, hari ini dilihat berbeda oleh Perancis. Jika
sebelumnya, dominasi Amerika Serikat dilihat sebagai bentuk “psicology of
dependent” bagi Perancis di NATO, maka hari ini tampak berbeda bagi Perancis.
Perancis melihat ketidak-terlibatan Perancis dalam setiap pengambilan keputusan di
struktur integrasi militer NATO, secara otomatis mengurangi pengaruh Perancis
dalam posisinya sebagai anggota NATO di Eropa. Dengan demikian mengurangi pula
pengaruhnya di Eropa, “More France in NATO means more Europe in the Atlantic
Alliance”82, dan sebaliknya pula. Oleh karena itu, Perancis harus ikut terlibat kembali
dalam setiap pengambilan keputusan di struktur integrasi militer NATO. Hal ini tidak
lain untuk mengurangi dominasi Amerika Serikat di NATO dan Eropa terutama
dalam menentukan kemandirian Eropa di bidang pertahanan.
Sebelumnya, Perancis tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hari
ini tidak demikian bagi Perancis. Keputusan Perancis untuk kembali masuk dalam
struktur integrasi militer NATO merupakan langkah penting yang akan memberikan
pengaruh lebih besar bagi Perancis di NATO. Reintegrasi Perancis ke dalam struktur
militer NATO sebenarnya telah disambut baik oleh Presiden Barack Obama, yang
Pierre Lellouche, Winter, 2010, “European Defense, a challenge for the New Europe,”, dalam
MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2, hal 125.
82
67
mengatakan “prinsip-prinsip keamanan Eropa ialah keamanan Amerika dan
sebaliknya”, namun komitment ini tentu saja bergantung dari keputusan Perancis.83
Tujuan utama Perancis masuk kembali ke dalam srtuktur integrai militer NATO ialah
untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat di NATO dan Eropa. Dengan
demikian, sistem pembagian tugas dan distribusi tanggung jawab keanggotaan NATO
menjadi agenda utama bagi keanggotaan NATO, khususnya Perancis dan Amerika
Serikat dalam hal kepemimpinan mereka di NATO.
Untuk menyempurnakan pelaksanaan dan pencapaian kepentingan Perancis di
NATO, maka pada Desember 1995, Perancis mulai merubah arah kepentingannya di
NATO dengan terus meningkatkan partisipasi dalam sayap militer NATO, termasuk
Komite Militer. Dan pada akhirnya, pada April 2009, Presiden Nicholas Sarkozy
menyelesaikan proses ini dengan mengumumkan bahwa Perancis akan sekali lagi
bergabung kembali dengan komando militer NATO yang terintegrasi di Brussels. Hal
ini diikuti dengan perintah transisi 900 perwira Perancis dan lebih dari 1.200 personil
untuk NATO di Brussels yang dimulai segera setelah Perancis resmi terintegrasi
dalam srtuktur militer NATO, dan rencana tersebut ditargetkan selesai pada tahun
2015 mendatang. Selanjutnya, untuk yang pertama kalinya, pada tahun 2011,
Presiden Sarkozy memimpin panggilan untuk intervensi militer di Libya. Dalam
kasus ini, Perancis mengambil peran utama dalam upaya stabilisasi keamanan
internasional di Libya. Dan, sekaligus menjadi titik tolak bagi posisi Perancis sebagai
pemain penting di NATO.
83
“Background Note: France”, Op. cit., pukul 09.44 WIB.
68
Kepemimpinan Perancis dalam misi perdamaian di Libya sekaligus menandai
era baru keanggotaan Perancis dalam meyelesaikan misi NATO di luar wilayah
Atlantik Utara. Sebelumnya, Perancis berada di luar struktur integrasi militer NATO
hingga tahun 2009. Kondisi ini tentu saja memiliki efek signifikan bagi peningkatan
struktur dan kualitas militer Perancis, dengan demikin telah mendorong peningkatan
postur pertahanan Perancis dan Eropa secara menyeluruh. Langkah selanjutnya yang
harus ditempuh adalah mencari strategi baru untuk mencapai kepentingan Perancis di
NATO. Hal ini telah menambah pengaruh besar kepemimpinan Perancis di NATO.
Hal ini untuk lebih memudahkan Perancis dalam mengimbangi dominasi Amerika
Serikat di NATO bersama dengan anggota NATO lainnya yang berasal dari Eropa.
2. Revitalisasi Kepentingan Amerika Serikat di NATO
Amerika Serikat berperan dalam upaya NATO menghadapi tantangan luar biasa
abad 21. Tersedianya kesempatan besar di NATO, Amerika Serikat bersama anggota
lainnya berencana membangun sebuah visi bersama untuk masa depan aliansi yang
lebih sukses. Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di Paris, Hillary R.
Clinton menyampaikan prinsip-prinsip yang memandu keterlibatan Amerika Serikat
di Eropa secara keseluruhan. Ia juga berbicara secara khusus tentang NATO,
menyampaikan garis besar konsep strategis baru NATO, menjelaskan beberapa
pertanyaan kunci bagi dokumen strategi NATO, serta mengeksplorasi visi Amerika
Serikat untuk revitalisasi aliansi pada abad 21.84
“Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar”,
Remarks Hillary Rodham Clinton, Secretary of State Ritz-Carlton Hotel Washington, DC February 22,
2010” http://www.state.gov/secretary/rm/2010/02/137118.htm, diakses pada Jum’at 20 Januari 2012
pukul 10.00 WIB.
84
69
Revisi Konsep Strategis NATO merupakan domain utama Amerika Serikat
dalam menilai perkembangan aliansi sekaligus merevitalisasi kepentigan Amerika
Serikat di NATO. Bagi Amerika Serikat, aliansi telah bertahan karena keahlian para
diplomat anggota NATO, kekuatan tentara NATO, dan paling penting ialah kekuatan
prinsip-prinsip pendiriannya. Pada saat kelahiran NATO, Eropa masih belum pulih
dari konflik. Di bawah ancaman perdamaian pasca perang, para pemimpin Eropa
masih belum bisa memastikan masa depan Eropa. Namun, atas kondisi tersebut,
aliansi dibangun untuk mengawali tujuan jangka panjang Eropa agar mampu
beradaptasi dengan segala bentuk tantangan baru di masa mendatang. Aliansi
dibentuk dengan tujuan utamanya: pertama, untuk membela kepentingan bangsabangsa aliansi Euro-Atlantik. Kedua, NATO sengaja dirancang untuk memperkuat
hubungan negara-negara trans-atlantik. Dan ketiga, NATO diharapkan mampu
membantu memfasilitasi integrasi lebih lanjut di antara bangsa-bangsa Eropa.85
Transformasi pencapaian politik luar negeri Amerika Serikat menandai bentuk
baru kepentingan Amerika Serikat di NATO. Berbagai bentuk reformasi
kelembagaan NATO, termasuk pertemuan tingkat tinggi dalam merevisi konsep dan
strategi baru NATO dalam mengawal ancaman baru abad 21. Berbagai kemajuan
tentu saja telah dicapai oleh NATO. Dan, di dalamnya tidak lepas dari campur tangan
Amerika Serikat. Meskipun demikian, hari ini Amerika Serikat menghadapi
tantangan yang paralel dengan masalah-masalah yang dihadapi Aliansi. Terutama,
tantangan Amerika Serikat dalam menghadapi pola strategis baru NATO. Dengan
demikian, teknologi baru, musuh baru, dan ideologi-ideologi baru juga ikut
85
Ibid, pukul 10.05 WIB.
70
mengancam keamanan aliansi. Namun, dasar asli dari misi NATO ––membela bangsa
anggotanya, memperkuat hubungan trans-atlantik, dan mendorong integrasi Eropa,
diharapkan masih terus berproses. Dengan demikian, NATO bergerak maju sesuai
proses penyusunan konsep strategis baru. Negara anggota harus ingat bahwa tujuan
dasar yang mendefinisikan aliansi, masih mengikat negara anggotanya hari ini.86
Namun, jika kita melihat pemahan tentang konsep aliansi, maka hal di atas akan
nampak berbeda. Adapun, Brin Walt berpendapat, tujuan aliansi pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama, namun setelah tujuan itu tercapai, tidak menutup
kemungkin terjadi pemecahan di dalamnya. Dan, hal ini bisa saja terjadi dalam tubuh
NATO, seperti pada periode Perang Irak 2003. Tidak ada satupun negara NATO yang
dapat menyangkal bahwa Perang Irak membawa perpecahan pada dua negara anggota
NATO ––Perancis dan Amerika Serikat.87 Perpecahan ini, terkait cara pandangan
Eropa melalui Perancis dan Amerika Serikat dalam menyelesaikan konflik Irak yang
berkepanjangan. Lebih lanjut, Brin Walt berpendapat:
bahwa semakin tinggi tingkat pelembagaan, maka akan semakin sulit untuk
memecah aliansi. Dalam aliansi yang sangat birokrasi ada sekelompok aktor
yang secara struktural mempertahankan sebuah aliansi, dan NATO adalah
contoh yang baik. Sebagai dukungan utama, berasal dari mantan pejabat
NATO, intelektual pertahanan, perwira militer, wartawan dan analis kebijakan
yang kesemuanya telah membahas masalah yang dihadapi oleh kerjasama EuroAtlantik dan konflik. Selain itu, aliansi dalam sebuah organisasi yang sangat
dilembagakan mungkin memang memberikan kemampuan yang diperlukan,
yang akan berguna di masa depan. Terutama, dalam hal pembiayaan. NATO
dapat membangun fondasi kerjasamanya yang telah dimulai sejak Perang
Dingin, dan dorongan hubungan ini, dilanjutkan dalam sistem internasional
kontemporer. 88
86
Loc. cit.
Portelli, Op. cit., hal 210.
88
Mariani, Loc. cit.
87
71
Di sisi lain, Karl Deutsch89 berpendapat bahwa “Ketika dua negara memiliki
nilai-nilai politik, sosial dan tujuan umum yang sama, maka aliansi mungkin lebih
mudah untuk bertahan, bahkan setelah alasan aslinya telah musnah.” Dari pendapat di
atas, dapat diketahui bahwa sebuah aliansi akan tetap bertahan dan tetap kuat apabila
memiliki sebuah nilai politik dan tujuan yang sama dalam aliansi. Pembebasan rasa
egositis dan keinginan untuk mendominasi satu sama lain merupakan kunci mutlak
sebuah aliansi tetap bertahan. Namun, bertolak dari pendapat di atas, keberadaan
Perancis dan Amerika Serikat di NATO tampak berbeda. Pergeseran kepentingan
kedua negara mengakibatkan munculnya cara pandang baru kedua negara dalam
menilai NATO. Oleh karena itu, konflik kepentingan menjadi tidak terelakkan.
Sebagai contoh konfliknya ialah mengenai kebijakan pencegahan nuklir NATO.
Dalam hal ini, Perancis dan Amerika Serikat memiliki cara pandang yang berbeda
dalam melihat masalah ini. Bagi Amerika Serikat, pencegahan nuklir harus terus
berlanjut, dan Amerika Serikat telah menanggapi ancaman dengan tidak hanya
mempertahankan penangkal nuklir, tetapi juga mengembangkan sistem pertahanan
rudal yang dirancang untuk melindungi wilayah Amerika, penduduk Amerika, dan
pasukan Amerika di NATO.90 Amerika Serikat percaya bahwa, NATO perlu
mengembangkan rudal sendiri sebagai bentuk arsitektur pertahanan trans-atlantik,
sehingga dapat membela bangsa-bangsa Eropa. Di sisi lain, pendekatan baru
Pemerintah Obama tentang pertahanan rudal NATO yang adaptif, Amerika Serikat
telah berkontribusi dalam membentuk arsitektur baru NATO. Fokus NATO, tidak
89
Teuku May Rudy, 1993, Teori, Etika, dan Kebijakan Hubungan Internasional, Bandung: PT.
Angkasa, hal 37.
90
“Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar”, Op. cit., pukul 10.27 WIB.
72
hanya pada penangkalan ancaman baru. NATO juga perlu membuat Rusia menjadi
mitra untuk mencegah proliferasi nuklir dan pertahanan rudal. Untuk itu, Amerika
Serikat mengundang Rusia bergabung dengan NATO dalam mengembangkan sistem
pertahanan rudal yang mampu melindungi seluruh warga Eropa dan Rusia juga.
Pada periode Perang Dingin, kepentingan Amerika Serikat terlihat ambivalen
terhadap NATO. Amerika Serikat melihat, NATO tidak seharusnya terlibat dalam
kerjasama keamanan dengan negara-negara Uni Eropa. Namun, hari ini Amerika
Serikat tidak melihat Uni Eropa sebagai pesaing NATO, tetapi melihat Uni Eropa
sebagai mitra penting NATO. Amerika Serikat berharap, perjanjian Lisbon akan
membantu memajukan hubungan negara-negara anggota NATO. Amerika Serikat
berharap bisa bekerjasama dengan Uni Eropa dalam bidang pertahanan dan bisa
saling mendukung, juga dengan PBB dalam mengatasi tantangan keamanan. Untuk
itu, NATO harus mengidentifikasi ulang efektifitas senjata konvensional, nuklir, dan
kemampuan pertahanan rudal. NATO juga perlu strategi baru untuk merespon secara
efektif terhadap tantangan keamanan abad 21. Memperkuat pencegahannya sebagai
bagian komitmen Amerika Serikat untuk menjalin keamanan bersama. Mengingat
pelaksanaan KTT NATO pada bulan Mei 2012 mendatang, dimana Presiden Obama
akan menjadi tuan rumah konferensi di Chicago.91
Tujuan strategis yang mendorong pendekatan Amerika Serikat ke Eropa ialah
bahwa Amerika Serikat ingin menawarkan penilaian catatan selama dua tahun
terakhir atas tujuan tersebut. Dan, menyodorkan solusi bagi kelangsungan aliansi di
“The State Department's Role in NATO Deterrence and Defense Posture Review (DDPR) and
Future Arms Control”, http://www.state.gov/t/us/176669.htm, diakses pada Jum’at 20 Januari 2012
pukul 10.30 WIB.
91
73
masa medatang. Dengan demikian, adalah suatu keharusan bagi Amerika Serikat
untuk tetap fokus pada prioritas pemerintah di Eropa. Untuk itu, ada tiga tujuan
mendasar yang menonjol dalam keterlibatan Amerika Serikat di Eropa. Pertama,
Amerika Serikat bekerja dengan Eropa sebagai mitra dalam memenuhi tantangan
global. Pada setiap isu kepentingan global, kontribusi Eropa sangat penting untuk
memecahkan tantangan keamanan internasional. Dari perang di Afghanistan,
tantangan nuklir Iran, dan situasi di Libya –Eropa sangat diperlukan. Amerika Serikat
sangat kuat dalam hal legitimasi, sumber daya, dan ide, dan akan lebih baik lagi
ketika Eropa bergabung dalam agenda global. Kedua, Amerika Serikat masih bekerja
dengan Eropa di Eropa, bekerja untuk menyelesaikan proyek bersejarah, membantu
untuk memperpanjang stabilitas, keamanan, kemakmuran dan demokrasi ke seluruh
benua. Suatu keberhasilan yang luar biasa, bahwa Amerika Serikat dan Eropa bisa
bersama-sama mempromosikan integrasi Eropa, dalam mengkonsolidasikan dan
mendukung demokrasi baru di Eropa Tengah dan Timur dan mengintegrasikannya ke
lembaga Euro-Atlantik. Upaya perdamaian di Balkan, Eropa timur, dan Kaukasus.
Ketiga, Amerika Serikat telah berusaha mengatur hubungan dengan Rusia pada
perihal yang lebih konstruktif. Presiden Obama mengakui telah mewarisi situasi yang
sulit, dimana secara eksplisit kepentingan Amerika Serikat di NATO sedikti tidak
dapat diketahui secara pasti. Salah satu kepentingan Amerika Serikat di NATO ialah
menciptakan kerjasama dengan Rusia, Amerika Serikat juga memiliki kepentingan di
luar NATO, tetapi tidak mengorbankan prinsip aliansi atau negara mitra.92
“Overview of U.S. Relations with Europe and Eurasia Testimony”, Philip H. Gordon, Assistant
Secretary, Bureau of European and Eurasian Affairs, House Foreign Affairs Subcommittee on Europe
92
74
Melihat perkembangan NATO dua tahun terakhir, NATO telah menunjukkan
kemajuan yang signifikan melalui peran negara masing-masing. Dalam tataran
kerjasama dengan Eropa secara global, Amerika Serikat telah bekerja sama dengan
Eropa yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dengan mitra Eropa di Afghanistan,
Iran pada pertahanan rudal, dan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Secara khusus,
kemajuan tersebut dapat dijelakskan.
Pertama, Di Afghanistan, menyusul pidato West Point Presiden pada bulan
November 2009, Eropa menyumbang sekitar 7.000 tentara tambahan, lebih dari 100
tim pelatihan bagi tentara Afghanistan dan polisi, dan hampir $300 juta untuk dana
Tentara Nasional Afghanistan dikerahkan. Negara-negara Eropa sekarang memiliki
hampir 40.000 tentara di Afghanistan dan total kontribusi Eropa di Afghanistan sejak
tahun 2001 mencapai ke $ 14 miliar.
Kedua, di Iran, NATO mempertahankan persatuan dalam upaya untuk terlibat
dan pada saat yang sama mengadopsi sanksi berdasarkan keputusan Dewan
Keamanan PBB. Selanjutnya, menetapkan tindakan sanksi yang telah diadopsi oleh
Uni Eropa. Langkah-langkah tambahan yang diambil oleh Uni Eropa mencakup
berbagai bidang penting untuk rezim termasuk perdagangan, perbankan keuangan,
dan asuransi, transportasi, dan sektor gas dan minyak, selain larangan visa baru dan
pembekuan aset. Langkah-langkah ini telah menaikkan harga kegagalan Iran untuk
memenuhi kewajibannya dan NATO berharap bisa membawa negara tersebut
kembali ke dalam meja perundingan.
and Eurasia, Washington, DC, March 10, 2011, http://www.state.gov/p/eur/rls/rm/2011/158214.htm,
diakses pada Jum’at 20 Januari 2012 pukul 11.45 WIB.
75
Ketiga, pada Pertahanan Rudal, sekutu NATO sepakat sesuai dengan KTT
Lisbon pada November 2010, bahwa pertahanan Eropa tidak bisa lagi dicapai hanya
dengan tank atau bom. Sekarang, NATO perlu pertahanan baru untuk menangkal
ancaman baru, khusuya menangkal rudal balistik dari rezim berbahaya. Tujuan
Amerika Serikat dalam aliansi adalah untuk mengembangkan kemampuan pertahanan
rudal yang akan memberikan cakupan penuh dan perlindungan dari ancaman rudal
balistik untuk seluruh wilayah NATO dan Eropa, sesuai dengan jumlah populasi dan
kekuatan. Kemampuan ini akan menjadi ekspresi nyata dari misi utama pertahanan
kolektif NATO. Pada akhirnya, sekutu juga menyambut rudal AS di sistem
pertahanan Eropa, yang dikenal sebagai Pendekatan Adaptif Eropa yang bertahap,
sebagai kontribusi nasional bagi upaya pertahanan menyeluruh. Amerika Serikat
berharap, NATO bisa mendapatkan tambahan kontribusi sukarela dari sekutu lainnya.
Amerika Serikat tengah mencari cara lebih lanjut untuk bekerja sama dengan Rusia
pada pertahanan rudal, dengan cara apapun tanpa merugikan kemampuan NATO
untuk lebih mandiri dalam meningkatkan dan mempertahankan wilayahnya dari
ancaman rudal.
Keempat, di Afrika Utara dan Timur Tengah, Amerika Serikat berkonsultasi
dan bekerja sama erat dengan NATO, Uni Eropa dan negara-negara anggota, dan
sekutu Eropa lainnya sebagai situasi yang berkembang. Bekerja bersama dalam
forum-forum multilateral, Amerika Serikat telah bergabung dengan negara lain untuk
memberlakukan embargo senjata PBB di Libya dan untuk menangguhkan Libya dari
Dewan Hak Asasi Manusia. Amerika Serikat juga telah mengkoordinasikan sanksi
tambahan Libya melalui Uni Eropa dan negara anggotanya, dengan pengakuan bahwa
76
Eropa memiliki hubungan dan aset di Afrika Utara, dan bahwa persatuan akan lebih
efektif untuk meningkatkan tekanan pada rezim Qadhafi. Dalam jangka panjang,
Amerika Serikat akan bekerja sama dengan Eropa, Mesir, Tunisia, dan Libya untuk
mendorong transisi demokrasi dan meningkatkan pola pembangunan ekonomi untuk
membangun kawasan-kawasan strategis dunia.93 Termasuk dalam hal ini adalah
perbaikan dan pemulihan bagi Libya.
Berbagai bentuk keterlibatan dan peran Amerika Serikat seperti yang telah
dijelaskan di atas, secara langsung dapat mendorong keanggotaan Amerika Serikat
tetap berada dalam posisinya sebagai negara yang paling dominan di NATO. Namun,
hal ini tentu saja akan menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan internal Amerika
Serikat dan negara anggota NATO lainnya dalam menentukan kebijakan pertahanan
NATO di masa mendatang, khususnya bagi keanggotaan Perancis di NATO. Bagi
Perancis, posisi Amerika Serikat perlu diimbangi di NATO, dengan tujuan agar
NATO tetap bisa bergerak sesuai kepentingan negara-negara anggota NATO dan
sesuai dengan kepentingan negara-negara Eropa yang tergabung dalam aliansi.
Adapun, kebijakan NATO yang menjadi prioritas utama adalah terkait pelaksanaan
berbagai operasi NATO yang di dalamnya melibatkan berbagai perangkat militer,
dana, dan personil pasukan perdamaian dari seluruh anggota NATO. Sebagai jalan
akhir, maka dalam setiap operasi NATO, keterlibatan tentara Perancis bersama
negara-negara anggota NATO lainnya menjadi semakin diperhitungkan pada era
pasca Perang Dingin.
93
Ibid, pukul 11.45 WIB.
77
B.
Bentuk Rivalitas Perancis-Amerika Serikat Dalam Mencapai Kepentingan
Di NATO
Perimbangan kekuasaan untuk memperoleh dominasi di NATO menjadi isu
krusial bagi keanggotaan Perancis dan Amerika Serikat di NATO pasca Perang
Dingin. Kembalinya Perancis secara penuh dalam struktur integrasi militer NATO
merupakan sebuah langkah taktis bagi Perancis dalam usaha mengimbangi dominasi
Amerika Serikat di NATO dan juga di Eropa. Kembalinya Perancis ke dalam srtuktur
integrasi militer NATO sekaligus memberi legitimasi penuh kepada Perancis untuk
memimpin Eropa dalam memperkuat sistem pertahanan dan keamanan Eropa secara
menyeluruh.
Kepentingan Perancis kembali ke dalam srtuktur integrasi militer NATO secara
tegas termuat dalam Buku Putih Konsep Pertahanan Perancis, dimana hal ini menjadi
salah satu kepentingan vital Perancis dalam membangun masa depan Pertahanan
Eropa yang lebih mandiri dan independen. Dasar dari konsep Pertahanan Perancis
seperti yang termuat dalam Undang-Undang Perancis 7 Januari 1959, meletakkan tiga
dasar bagi tujuan Pertahanan Perancis, yaitu:
To defend France’s vital interests, which are defined by the President of the
Republic and include its peoples, its territory, and the fredom to exercise its
sovereignty; To work for European integration and stability in Europe; and to
implement a comprehenshive defence concept, which is not limited to military
concern.94
Point kedua konsep pertahanan Perancis “to work for European integration and
stability in Europe”, selanjutnya menjadi dasar bagi kepentingan Perancis di NATO.
Bagi Perancis, salah satu cara untuk memperkuat pencapaian kepentingan nasional
94
Portelli, Op. cit., hal 192.
78
Perancis di NATO adalah dengan memperkuat posisinya di Eropa. Untuk itu,
Perancis berusaha “to keep its place in the world, it will need to influence European
integration and the coming change in Europe. It is European choice stems from
strategic and economic considerations.”95 Selanjutnya, meskipun Perancis masih
bebas menentukan persyaratan keamanan dan untuk memilih sumber daya, Perancis
mengakui bahwa Aliansi Atlantik (NATO) adalah link penting antara Eropa dan
Amerika, bahkan untuk menjaga misi perdamaian dilakukan atas nama PBB atau
Organisasi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE). Tantangan terbesar Perancis
di NATO adalah untuk memperbaharui keseimbangan kekuasan di NATO antara
Perancis dan Amerika Serikat, “to strike a better balance of responsibilities between
the United Stated and Europe and to put these capabilitie to work for peacekeeping
missions and crisis management.”96 Oleh karena itu, untuk menjaga dan
memperbaharui keseimbangan kekuasaan di NATO, maka Perancis dan Amerika
Serikat harus mampu melihat dan memahami bentuk-bentuk kekuatan negara masingmasing. Termasuk dalam hal ini adalah kekuatan seluruh komponen negara dan
sumber daya manusia sebagai pendukung dari sebuah kekuasaan. Komponenkomponen ini termasuk dalam golongan vital bagi suatu negara dalam membangun
sumber-sumber kekuatan negara. Seperti kekuatan diplomasi, ekonomi, politik,
militer, hukum dan kebudayaan. Sejalan dengan pemahaman di ini, US Secretary of
State, Hillary Rodham Clinton menjelaskan, bahwa:
95
96
Ibid, hal. 192.
Loc. cit.
79
Every nation should use a “smart power” as “the full range of tools at our
disposal ––diplomatic, economic, military, political, legal and cultural, picking
the right tool or combination of tools for each situation. With smart power,
dilomacy will be the vanguard of our foreign policy.”97
AS dan Inggris harus menentang rencana Perancis dalam memperlemah
NATO.98 Presiden Obama telah mengumumkan bahwa, Perancis akan kembali ke
dalam struktur komando NATO, dengan diikuti oleh masuknya perwira-perwira
Perancis dalam dua posisi komando senior Aliansi: Allied Command Transformation
(salah satu dari dua komando tertinggi NATO, yang berbasis di Norfolk, Virginia)
dan Joint Command Lisbon (salah satu dari tiga markas operasi utama NATO, yang
juga termasuk Komando Pasukan Reaksi Cepat NATO).99 Ini adalah perkembangan
yang sangat signifikan yang akan menempatkan Perancis di jantung perencanaan
militer NATO dan proposal reformasi dan merupakan sebuah keputusan dan konsesi
berisiko oleh Washington ke Pemerintah Sarkozy.
Dalam pidato utama pada Konferensi Keamanan Munich pada tanggal 7
Februari100, Wakil Presiden Joe Biden menyambut baik keputusan Perancis untuk
sepenuhnya berpartisipasi dalam struktur NATO dan juga menjelaskan bahwa
Amerika Serikat akan mendukung penguatan lebih lanjut pertahanan Eropa.
Olivier Poivre D’Arvor, Winter, 2010, “The Smart Use of Soft Power”, dalam MONDES; Les
Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2, hal 214.
98
“The U.S. and U.K. Must Oppose French Plans to Weaken NATO”, Nil Gardiner Ph.D. Direktur,
Sally McNamara, dan Erica Munkwitz: Analis Kebijakan Senior Eropa di The Margaret Thatcher
Center for Freedom di Heritage Foundation,
http://www.heritage.org/research/reports/2009/02/the-us-and-uk-must-oppose-french-plans-to-weakennato, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 Pukul 15.55 WIB
99
“Command Accord Presages French Return to NATO,” Ben Hall and James Blitz, dalam Financial
Times, http://www.ft.com/cms/s/0/fbc2122a-f323-11dd-abe6-0000779fd2ac.html, diakses pada Jum’at,
tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.
100
“Vice President Joseph R. Biden, speech at the 45th Munich Security Conference”
ttp://www.securityconference.de/konferenzen/rede.php?menu_2009=&menu_konferenzen=&sprache=
en&id=238&, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB.
97
80
Termasuk peran untuk meningkatkan misi Uni Eropa dalam memelihara perdamaian
dan keamanan, kemitraan NATO-Uni Eropa secara fundamental. Pernyataan Biden
menggemakan pandangan Sekretaris Pertahanan Inggris John Hutton, yang ceroboh
mendukung rencana Perancis untuk tentara Uni Eropa.101 Baik Amerika Serikat dan
Inggris harus mengambil langkah-langkah taktis atas proposal jangka panjang
tuntutan Perancis bagi masa depan NATO. Kongres AS harus melakukan
pemeriksaan untuk menilai strategi pemerintahan baru berkenaan dengan reintegrasi
Perancis dalam rangka untuk menyorot bahaya yang ditimbulkan kepentingan AS. Ini
akan menjadi kesalahan strategis besar penghakiman oleh Pemerintah baru AS dan
pemerintah Inggris untuk terus mendukung ambisi Perancis untuk restrukturisasi
arsitektur keamanan Eropa. Persetujuan seperti itu akan membawa Perancis menjadi
sebuah kekuatan yang luar biasa dan membawa pengaruh dalam tubuh NATO ––
kekuatan dan pengaruh baik dari proporsi peran aktual militer Perancis dalam operasi
Aliansi. Menyediakan Perancis dengan pengaruh tersebut pada akhirnya akan
melemahkan
hubungan
khusus
Anglo-Amerika, pergeseran kekuasaan dari
Washington dan London dan menuju benua Eropa, sementara membuka jalan bagi
pengembangan identitas pertahanan Uni Eropa yang terpisah yang semuanya akan
melemahkan NATO.
Presiden Nicholas Sarkozy, pertama kali melontarkan gagasan reintegrasi
Perancis ke komando militer NATO di Juni 2007, ia menguraikan dua prasyarat:
pertama pos komando dijamin untuk perwira senior Perancis dalam Aliansi, dan
“John Hutton Backs European Army”, Isabel Oakeshott, dalam The Sunday Times, October 26,
2008, http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5014832.ece, diakses pada Jum’at, tanggal
20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB.
101
81
kedua dukungan Amerika Serikat atas peningkatan identitas pertahanan Uni Eropa.102
Untuk itu, Perancis secara resmi menetapkan prinsip reintegrasi, Sarkozy
menugaskan Buku Putih pada Pertahanan dan Keamanan Nasional Perancis, yang
diterbitkan pada Maret 2008. Dirancang untuk mempromosikan sebuah identitas
independen pertahanan Eropa. Kepentingan Perancis dalam Buku Putih Pertahanan
dan Keamanan Nasional jelas menyatakan “Keinginana kuat Eropa berdiri sebagai
prioritas semakin kuat. Membuat Uni Eropa sebagai pemain utama dalam manajemen
krisis dan keamanan internasional merupakan salah satu prinsip utama kebijakan
keamanan Perancis.”103 Selain itu, Perancis ingin Eropa harus dilengkapi dengan
kemampuan militer dan sipil yang sesuai.104 Oleh karenyanya, redefinisi tanggung
jawab pembagian antara Amerika dan Eropa merupakan sebuah penolakan eksplisit
gagasan bahwa Uni Eropa bertindak sebagai pelengkap sipil untuk NATO. Dan,
sebuah preferensi yang kuat untuk meningkatkan teknologi pertahanan Eropa. Bagi
Perancis, prinsip-prinsip pertahanan Eropa adalah menjadi bagian dari Pertahan
Perancis dan bagi negara Eropa lainnya.
Pada bulan Juni 2008, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy mengumumkan
dokumen tambahan yang menguraikan inisiatif kebijakan Paris untuk berintegrasi ke
dalam struktur integrasi militer Eropa. Hal ini menyajikan unsur-unsur utama dari
identitas pertahanan Uni Eropa, termasuk di dalamnya adalah: pertama sebuah
markas operasi permanen di Brussel, kedua pendanaan untuk setiap operasi militer
“Debate Still Open on NATO Integration: French Defence Officials,” Agence France-Presse,
September 25, 2007.
103
“French White Paper on Defence and National Security, June 2008”, Op. cit., Pukul 10.00 WIB.
104
Loc. cit.
102
82
Umum Uni Eropa, dan ketiga, program pertukaran personil militer Eropa.105 Ketiga
poin penting ini merupakan tambahan bagi kebijakan Perancis serperti yang tertuang
dalam Buku Putih Perancis, sekaligus sebagai pedoman dasar dalam pelaksanaan
politik luar negeri Perancis di NATO dan juga di Eropa.
Sangat mungkin bahwa Pemerintahan Obama akan menganggap reintegrasi
Perancis ke dalam NATO sebagai masterstroke diplomatik. Pemerintah Amerika
Serikat akan mengklaim bahwa ia telah membangun kembali hubungan PerancisAmerika dengan cara yang saling menguntungkan, dan Sarkozy pada gilirannya akan
mengklaim bahwa itu secara nyata menunjukkan komitmen Perancis untuk berdiri di
samping Amerika. Namun, Pemerintah Amerika Serikat harus mengkaji ulang apa
keuntungan Amerika Serikat terhadap perihal ini. Reintegrasi tersebut dapat
mengekstrak beberapa ratus tentara Perancis tambahan untuk Afghanistan timur dan
menghasilkan dukungan kuat publik Perancis untuk misi Afghanistan. Tapi Presiden
Obama menjelaskan bahwa Amerika Serikat telah menyelamatkan aliansi dengan
jalan meloloskan kepentingan Perancis. Perancis telah mampu melakukan reformasi
militer di NATO, karena terbukti pada 2007 ketika 700 tambahan tentara Perancis
dikirim ke Afghanistan), tapi 10 tahun inisiatif program keamanan Uni Eropa telah
benar-benar mengalami penurunan dalam belanja pertahanan Eropa.
Washington terus berpendapat bahwa mendukung Keamanan Eropa dan
Kebijakan Pertahanan adalah sarana untuk memperbaiki anggaran pertahanan Eropa
dan kemampuan militer. Tapi setelah 10 tahun, peningkatan tersebut belum terjadi
“European HQ Heads Sarkozy Plan for Greater Military Integration,” Ian Taylor and Patrick
Wintour, dalam The Guardian, June 7, 2008, http://www.guardian.co.uk/world/2008/jun/07/eu.france,
diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.55 WIB.
105
83
dan tidak tercermin dalam anggaran pertahanan yang diproyeksikan dari setiap
kekuatan besar Eropa. Karena Uni Eropa dan NATO beroperasi di wilayah yang sama
baik secara militer dan geografis, kompetisi untuk sumber daya akan menjadi ganas,
dan Washington melihat permintaan untuk bantuan militer kemungkinan semakin
ditolak seperti tuntutan Perancis untuk berkomitmen dalam misi pertahanan Uni
Eropa.106 Setelah Amerika Serikat berhasil memberikan bantuan penciptaan struktur
pertahanan Eropa yang terpisah, tidak akan ada alasan untuk memaksa Eropa untuk
memilih NATO atas permintaan Uni Eropa di masa depan. Daripada benar-benar
mencoba untuk meningkatkan kontribusi Eropa untuk pertahanan di panggung
internasional, Perancis berusaha untuk memperluas pertahannya dan basis kekuatan
Uni Eropa. Usulan Sarkozy sebagian besar bersifat politik, bukan militer. Dalam
prakteknya, Perancis sudah terlibat hampir di semua struktur dan operasi NATO,
termasuk semua badan politik dan juga NATO Response Force. Hal ini juga menjadi
salah satu keberhasilan Perancis dalam menjalankan kepentingannya di NATO.
Reintegrasi Perancis dalam struktur komando NATO menawarkan sedikit nilai
tambahan bagi Washington, tapi memberikan momentum luar biasa bagi kepentingan
Perancis untuk otonomi Uni Eropa terkait kebijakan luar negeri dan pertahanan.
Ketika presiden Perancis berbicara tentang kebijakan luar negeri Eropa, ia lebih
sering menekankan pada kebijakan luar negeri Perancis. Sama, ketika Sarkozy
berbicara tentang meningkatkan kemampuan keamanan Eropa, ia berarti mengurangi
keterlibatan Amerika di Eropa.107
106
107
“French White Paper on Defence and National Security, June 2008”, Op. cit., hal. 23.
Loc. cit.
84
Sebagai contoh, pada Januari 2007 Uni Eropa mendirikan pusat operasi militer
di Brussels, yang kemudian pada tahun itu dilakukan latihan sembilan hari yang
melibatkan penyebaran virtual 2.000 tentara Eropa untuk menangani krisis di negara
operasi NATO.108 Pusat operasional ini tanpa diragukan lagi menjadi markas besar
komando militer Uni Eropa yang pada akhirnya akan bersaing dengan komando
NATO. Usulan Perancis untuk melakukan reformasi struktur pertahanan Eropa yang
independen akan dibangun di atas fondasi markas militer Uni Eropa yang baru ini.
Jika Amerika Serikat setuju atas rencana Perancis, maka hal itu merupakan sebuah
pembalikan pengaturan baru bagi keanggotaan Perancis dan menciptakan erosi yang
lebih lanjut bagi supremasi NATO di Eropa. Dengan demikian, jika Pemerintahan
Obama setuju untuk mendukung sebuah struktur pertahanan Uni Eropa yang
independen sebagai bagian dari rencana Perancis untuk bergabung kembali dengan
komando NATO, dukungan tersebut akan mewakili transformasi besar dalam
pemikiran strategis AS yang akan memiliki dampak lebih besar dan membawa efek
negatif pada masa depan aliansi. Ini akan menggeser keseimbangan politik kekuasaan
dalam NATO dari Washington dan London menuju pusat-pusat utama dari kekuasaan
dalam Uni Eropa: Paris, Berlin, dan Brussels. Termasuk mendorong negara-negara
Eropa untuk terfokus pada misi pertahanan Eropa, itu akan menumbuhkan budaya
ketergantungan yang lebih besar di dalam benua Eropa pada sumber daya NATO.
Pergeseran itu juga akan menyebabkan duplikasi struktur komando NATO tanpa
penggandaan tenaga kerja atau material. Sangat penting bahwa baik AS dan Inggris
“EU Says NATO Will Benefit from New European Military Center,” Associated Press, dalam
International Herald Tribune, June 13, 2007, http://www.iht.com/articles/ap/2007/06/13/europe/EUGEN-EU-Military.php, diakses pada Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.56 WIB.
108
85
menolak usulan Perancis yang didasarkan pada dukungan Amerika dan Inggris untuk
sebuah organisasi pertahanan Eropa yang independen. Paris harus disambut kembali
ke klub pimpinan NATO hanya pada istilah yang diterima semua anggota NATO.
Ke depannya, amat sulit untuk melihat bagaimana kemampuan pertahanan Uni
Eropa mampu memperkuat misi NATO secara luas. Sehingga, mendorong peran
militer yang lebih besar bagi Uni Eropa hanya akan membuat tugas NATO lebih
rumit. NATO telah menjadi organisasi multilateral pasca-perang yang paling sukses,
dan oleh karena itu sistem pertahanan dan aliansi keamanan yang independen di
negara-bangsa Eropa perlu diciptakan. Usulan Perancis untuk membangun struktur
pertahanan Uni Eropa yang terpisah, yaitu sebuah pesaing bagi NATO menyedot
sumber daya berharga NATO. Dan oleh karena itu, tidak dapat diterima dan harus
ditolak dengan tegas oleh Amerika Serikat. Sedangkan, bagi Perancis, untuk
mewujudkan hal ini, maka strategi Perancis salah satunya ialah dengan jalan
memperkuat sistem pertahanan Eropa melalui peninggkatan postur militer uni Eropa
di Eropa. Termasuk dalam hal ini adalah keberhasilan Perancis dalam memasukkan
perwira Perancis dalam dua posisi Komando Senior Aliansi, yaitu Allied Command
Transformation (ACT): satu dari dua komando tertinggi NATO yang berbasis di
Norfolk, Virginia dan Joint Command Lisabon (JCL): satu dari tiga markas operasi
utama NATO, juga termauk Komando Pasukan Reaksi Cepat NATO. Proses ini telah
menjadi langkah penyesuaian Perancis dalam mencapai kepentingan nasional di
NATO. Dengan demikian, cita-cita Eropa seperti yang tertulis dalam Buku Putih
Perancis bisa terwujud.
86
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A.
Kesimpulan
1. Buku Putih Perancis yang dirilis pada Juni 2008 menegaskan bahwa
kepentingan Perancis adalah untuk memperbaharui keseimbangan kekuasaan
antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Oleh karena itu, Perancis
terfokus untuk membangun Sistem Pertahanan Eropa yang lebih kuat, berdiri
sebagai prioritas, dan menjadikan Eropa sebagai pemain utama dalam
manajemen krisis dan keamanan internasional. Sebaliknya, kepentingan
Amerika Serikat sesuai dengan mandat US Nationl Security adalah
mempertahankan posisinya sebagai negara terkuat di NATO, menjadi aktor
sentral dalam arena internasional di Eropa, dan menjaga kredibilitasnya
sebagai negara superpower atas NATO di Eropa. Hal ini bertujuan menjaga
aliansi tetap relevan, tidak punah, dan mampu bertahan terhadap berbagai
jenis ancaman baru abad 21. Pada akhirnya, persiteruan ini mempertajam
rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat yang dapat dijelaskan dalam
konsep Eropa I, “meng-Amerikaserikat-kan NATO” dimana munculnya
keinginan besar Amerika Serikat untuk memposisikan NATO dibawah
pengaruh dan kendalinya “to make NATO under US”. Sebaliknya, konsep
Eropa II, dimana negara-negara Eropa berkeinginan untuk “me-NATO-kan
Amerika Serikat” agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa di
NATO “to make US under NATO”.
87
2. Bentuk Rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat terletak pada
redefenisi tanggung jawab (Structur), pembagian tugas (Planning), dan
pengambilan kebijakan (Operation) di NATO. Gagasan redefinisi tanggung
jawab menjadi krusial bagi kepemimpinan Perancis dan Amerika Serikat di
NATO. Kembalinya Perancis di struktur integrasi militer NATO mewakili
transformasi besar pemikiran strategis Amerika Serikat sekaligus membawa
efek yang akan menggeser keseimbangan politik kekuasaan di NATO. Bagi
Amerika Serikat, Perancis harus disambut kembali ke klub pimpinan NATO
hanya pada istilah yang dapat diterima semua anggota NATO. Masuknya
Perwira Perancis di dua posisi Komando Senior Aliansi: Allied Command
Transformation dan Joint Command Lisbon merupakan perkembangan
signifikan yang akan menempatkan Perancis di jantung perencanaan militer
NATO. Hal ini menjadi konsesi berisiko bagi kepentingan Amerika Serikat
di NATO, menyediakan Perancis dengan pengaruh besar yang pada akhirnya
melemahkan hubungan Anglo-Amerika, memperlebar pergeseran kekuasaan
dari Washington-London menuju Eropa, sementara membuka jalan bagi
peningkatan identitas pertahanan Eropa yang terpisah dari NATO. Akhirnya,
tantangan terbesar Amerika Serikat adalah harus mampu menjamin rencana
jangka panjang Perancis dan mengakui Otonomi Eropa melalui peningkatan
Identitas Pertahan Eropa sesuai mandat Buku Putih. Sebaliknya, tantangan
terbesar Perancis adalah harus siap menghadapi kekuatan Amerika Serikat
sebagai jalan untuk memperbaharui perimbangan kekuasaan di NATO.
88
B.
Saran-Saran
1. Hendaknya Perancis di bawah pemerintahan Nicholas Sarkozy terus
mengkawal perkembangan kepentingan Perancis di NATO. Sesuai dengan
rencana Buku Putih Perancis untuk tetap berada dalam keseimbangan
kekuasaan dengan Amerika Serikat di NATO, bisa terwujud. Dengan
demikian, rencana jangka panjang Perancis dalam membangun sistem
pertahan Eropa semakin menguat. Di sisi lain, Amerika Serikat hendaknya
mampu mengambil peran dan strategi baru untuk menyikapi kepentingan
Perancis di NATO agar kepentingan Amerika Serikat di NATO sebagai
negara yang paling dominan, tetap terjaga.
2. Untuk tetap menjaga keseimbangan kekuasaan di NATO, maka Perancis dan
Amerika Serikat hendaknya mampu mengkawal pembagian kerja dan
tanggung jawab di struktur utama kelembagaan NATO, sekaligus
memperjelas pembagian peran dalam setiap pelaksanaan misi operasi
NATO, dengan harapan agar kepentingan Perancis dan Amerika Serikat
tetap berjalan sesuai dengan tujuan masing-masing.
3. Perlunya kajian mendalam tentang NATO terkait konsep Eropa I dan II. Hal
ini untuk lebih memperjelas dalam memahami keberadaan NATO di Eropa
terkait dengan integrasi dan perluasan negara naggota NATO. Dengan
demikian, mampu menambah wawasan baru dalam memahami
model
intregrasi dan perluasan keanggotaan NATO pada pasca Perang Dingin,
khususnya terkait perkembangan NATO dalam bidang pertahanan dan
kemanan di kawasan Atlantik Utara dan Global.
89
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anonim (2008). Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan
Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga.
Augustin, Sankt (2007). Konrad Adenauer and the European Integration. Berlin:
Konrad Adenauer Fundation.
Bakry, Umar Suryadi (1999). Pengantar Hubungan Internasional. Jakarta: Jayabaya
University Press.
Banyu, A. A., & Yani, Y. M. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Coplin, William D. (1992). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: CV Sinar Baru.
Dougherty, James E. dan Robert L. Pfatzgraff, Jr. (1971). Contending Theories in
International Relations. New York: JB.Lippncot CO.
Firdausy, Arsi Dwinugra (1998). Motivasi Hongaria Masa Pemerintahan Koalisi
Konservatif Untuk Bergabung Dengan NATO. Skripsi S-1, Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, Fisipol. Yogyakarta: UGM.
Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry (2002). International Relations: The Key
Concepts. London: Routledge.
Hugues Portelli, dkk. (2005). France. Paris: La Documentation Francaise; Ministere
des Affaires etrangeres.
Jones, Walter S. (1992). Logika Hubungan Internasional: Persepsi Nasional. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____________(1993). Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, EkonomiPolitik Internasional, dan Tatanan Dunia 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Mas’oed, Mohtar (1990). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES.
Morgentahau, Hans J. (1990). Politik Antarbangsa: Perjuangan Untuk Kekuasaan
dan Perdamaian. Bandung: MANNA, Lembaga Penterjemahan dan
Penyaduran.
90
Rimanelli, Marco (2009). Historical Dictionary of NATO and other International
Security Organizations. United Stated of America: Scarecrow Press, Inc.
Rudy, T May (2002). Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca
Perang Dingin. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sarkesian, Sam C., Williams, John Alens and Cimbala, Stephen J. (2008). US
National Security: Policymakers, Processes, and Politics. Unites States of
America: Lynne Riener Publishers, Inc.
Schelling, T. C. (1966). The Diplomacy of Violence. New Haven: Yale University
Press.
Sheehan, Michael (1996). The Balance of Power: History and Theory. New York:
Routledge Publishing.
Soeprapto, R. (1997). Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi dan Perilaku.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sriyono, A. Agus, dkk. (2004). Hubungan Internasional, Percikan Pemikiran
Diplomat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
T., Diez dan A., Wiener (2009). Introducing the Mosaic of Integration Theory in
Wiener A., Diez T., European Integration Theory (2nd edition). London:
Oxford University Press.
Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe (1990). Pengantar Hubungan
Internasional: Keadilan dan Power. Bandung: Abardin.
Yusuf, Sufri (1989). Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Ziring, Laurence., Plano, Jack C., Olton, Roy (1995). International Relation: A
Political Dictionary. California: ABC-CLIO, Inc.
Dokumen
French White Paper on Defence and National Security, June 2008.
NATO Handbook 2006, “NATO’s Public Diplomacy Division”, Brussel.
NATO New Strategic Concept, 2010.
91
Jurnal
Chapelle, Bertrand De La. Automne (2010). “Territoire, Puissance et Gouvernance a
l’ere Numerique”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 5.
D’Arvor, Olivier Poivre (Winter, 2010). “The Smart Use of Soft Power”, dalam
MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2.
Huth, P. K. (1999). “Deterrence and International Conflict: Empirical Findings and
Theoretical Debate,” dalam Annual Review of Political Science, No. 2.
Jentleson, B.A., dan Whytock, C.A. (Winter 2005). “Who Won Libya”, dalam
International Security, Vol. 30, No. 3.
Lasas, Ainius (2008). “Restituting Victims: EU and NATO Enlargements through the
Lenses of Collective Guilt”, dalam Journal of European Public Policy.
Mariani, Renato (2004). “Book Review: Frank Schimmelfennig, The EU, NATO and
the Integration of Europe: Rules and Rhetoric”, dalam Journal of International
Studies, Vol. 33.
Presse, Agence France (25 September 2007). “Debate Still Open on NATO
Integration”, dalam French Defence Officials.
Spero, Joshua B. (2005). “Resensi Buku: Schimmelfennig Frank, Uni Eropa, NATO
dan Integrasi Eropa dan Retorika Aturan”, dalam Review Slavia.
Internet
“Background Note: France” http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3842.htm, diakses pada
hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.
“Command Accord Presages French Return to NATO,” Financial Times, February 5,
2009, http://www.ft.com/cms/s/0/fbc2122a-f323-11dd-abe6-0000779fd2ac.html
diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.
“Declaration on Peace and Cooperation, 08 November 1991”
http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_texts_23846.htm, diakses pada hari
Senin, tanggal 6 Februari 2012 pukul 23.07 WIB.
“European HQ Heads Sarkozy Plan for Greater Military Integration,” The Guardian,
June 7, 2008, http://www.guardian.co.uk/world/2008/jun/07/eu.france, diakses
pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.55 WIB.
92
“EU Says NATO Will Benefit from New European Military Center,” International
Herald Tribune, June 13, 2007,
http://www.iht.com/articles/ap/2007/06/13/europe/EU-GEN-EU-Military.php.
diakses pada hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.56 WIB.
“French White Paper on Defence and National Security, June 2008,”
http://www.ambafrance-ca.org/IMG/pdf/,
livre_blanc_press_kit_english_version.pdf, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20
Januari 2012 Pukul 10.00 WIB.
“John Hutton Backs European Army”, The Sunday Times, October 26, 2008,
http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5014832.ece diakses pada
hari Jum’at, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB.
“NATO’s Vision and Mission”
http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_programs.htm, diakses hari Sabtu,
tanggal 4 Februari 2012 pukul 07.00 WITA
“Overview of U.S. Relations with Europe and Eurasia Testimony”, Philip H. Gordon,
Assistant Secretary, Bureau of European and Eurasian Affairs, House Foreign
Affairs Subcommittee on Europe and Eurasia, Washington, DC, March 10,
2011, http://www.state.gov/p/eur/rls/rm/2011/158214.htm, diakses pada hari
Jum’at 20 Januari 2012 pukul 11.45 WIB.
”Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009.”
http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2009-03-21-voa885126987.html, diakses pada hari Selasa, tanggal 8 November 2011 pukul
22.35 WITA.
“Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar”, Remarks Hillary Rodham
Clinton, Secretary of State Ritz-Carlton Hotel Washington, DC February 22,
2010” http://www.state.gov/secretary/rm/2010/02/137118.htm, diakses pada
hari Jum’at 20 Januari 2012 pukul 10.00 WIB.
“ Text of the North Atlantic Treaty, 4 April 1949.”
http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_ext_17120.htm, diakses pada hari
Jum’at, tanggal 7 Oktober 2011 pukul 23.30 WITA.
“The State Department's Role in NATO Deterrence and Defense Posture Review
(DDPR) and Future Arms Control”, http://www.state.gov/t/us/176669.htm,
diakses pada hari Jum’at 20 Januari 2012 pukul 10.30 WIB.
“The U.S. and U.K. Must Oppose French Plans to Weaken NATO”, Nil Gardiner
Ph.D. Direktur, Sally McNamara, dan Erica Munkwitz (Analis Kebijakan
Senior Eropa di The Margaret Thatcher Center for Freedom di Heritage
93
Foundation), http://www.heritage.org/research/reports/2009/02/the-us-and-ukmust-oppose-french-plans-to-weaken-nato, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20
Januari 2012 Pukul 15.55 WIB
“
United Nations Resolutin 1973, 17 Maret 2011”
http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10200.doc.htm, diakses pada hari
Selasa, tanggal 8 November 2011 pukul 22.30 WITA.
“Vice President Joseph R. Biden, speech at the 45th Munich Security Conference,”
http://www.securityconference.de/konferenzen/rede.php?menu_2009=&menu_
konferenzen=&sprache=en&id=238&, diakses pada hari Jum’at, tanggal 20
Januari 2012 pukul 09.59 WIB.
94
LAMPIRAN
95
The North Atlantic Treaty
Washington D.C. - 4 April 1949
The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the
Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and
all governments. They are determined to safeguard the freedom, common heritage
and civilisation of their peoples, founded on the principles of democracy, individual
liberty and the rule of law. They seek to promote stability and well-being in the North
Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective defence and for
the preservation of peace and security. They therefore agree to this North Atlantic
Treaty:
Article 1
The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle any
international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a
manner that international peace and security and justice are not endangered, and to
refrain in their international relations from the threat or use of force in any manner
inconsistent with the purposes of the United Nations.
Article 2
The Parties will contribute toward the further development of peaceful and friendly
international relations by strengthening their free institutions, by bringing about a
better understanding of the principles upon which these institutions are founded, and
by promoting conditions of stability and well-being. They will seek to eliminate
conflict in their international economic policies and will encourage economic
collaboration between any or all of them.
Article 3
In order more effectively to achieve the objectives of this Treaty, the Parties,
separately and jointly, by means of continuous and effective self-help and mutual aid,
will maintain and develop their individual and collective capacity to resist armed
attack.
Article 4
The Parties will consult together whenever, in the opinion of any of them, the
territorial integrity, political independence or security of any of the Parties is
threatened.
Article 5
The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or
North America shall be considered an attack against them all and consequently they
agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of
individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the
United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith,
individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary,
96
including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North
Atlantic area.
Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shall immediately be
reported to the Security Council. Such measures shall be terminated when the
Security Council has taken the measures necessary to restore and maintain
international peace and security.
Article 6109
For the purpose of Article 5, an armed attack on one or more of the Parties is deemed
to include an armed attack: on the territory of any of the Parties in Europe or North
America, on the Algerian Departments of France110, on the territory of or on the
Islands under the jurisdiction of any of the Parties in the North Atlantic area north of
the Tropic of Cancer; on the forces, vessels, or aircraft of any of the Parties, when in
or over these territories or any other area in Europe in which occupation forces of any
of the Parties were stationed on the date when the Treaty entered into force or the
Mediterranean Sea or the North Atlantic area north of the Tropic of Cancer.
Article 7
This Treaty does not affect, and shall not be interpreted as affecting in any way the
rights and obligations under the Charter of the Parties which are members of the
United Nations, or the primary responsibility of the Security Council for the
maintenance of international peace and security.
Article 8
Each Party declares that none of the international engagements now in force between
it and any other of the Parties or any third State is in conflict with the provisions of
this Treaty, and undertakes not to enter into any international engagement in conflict
with this Treaty.
Article 9
The Parties hereby establish a Council, on which each of them shall be represented, to
consider matters concerning the implementation of this Treaty. The Council shall be
so organised as to be able to meet promptly at any time. The Council shall set up such
subsidiary bodies as may be necessary; in particular it shall establish immediately a
defence committee which shall recommend measures for the implementation of
Articles 3 and 5.
Article 10
The Parties may, by unanimous agreement, invite any other European State in a
position to further the principles of this Treaty and to contribute to the security of the
North Atlantic area to accede to this Treaty. Any State so invited may become a Party
to the Treaty by depositing its instrument of accession with the Government of the
109
The definition of the territories to which Article 5 applies was revised by article 2 of the Protocol to
the North Atlantic Treaty on the accession of Greece and Turkey signed on 22 October 1951.
110
On January 16, 1963, the North Atlantic Council noted that insofar as the former Algerian
Departments of France were concerned, the relevant clauses of this Treaty had become inapplicable as
from July 3, 1962.
97
United States of America. The Government of the United States of America will
inform each of the Parties of the deposit of each such instrument of accession.
Article 11
This Treaty shall be ratified and its provisions carried out by the Parties in accordance
with their respective constitutional processes. The instruments of ratification shall be
deposited as soon as possible with the Government of the United States of America,
which will notify all the other signatories of each deposit. The Treaty shall enter into
force between the States which have ratified it as soon as the ratifications of the
majority of the signatories, including the ratifications of Belgium, Canada, France,
Luxembourg, the Netherlands, the United Kingdom and the United States, have been
deposited and shall come into effect with respect to other States on the date of the
deposit of their ratifications.111
Article 12
After the Treaty has been in force for ten years, or at any time thereafter, the Parties
shall, if any of them so requests, consult together for the purpose of reviewing the
Treaty, having regard for the factors then affecting peace and security in the North
Atlantic area, including the development of universal as well as regional
arrangements under the Charter of the United Nations for the maintenance of
international peace and security.
Article 13
After the Treaty has been in force for twenty years, any Party may cease to be a Party
one year after its notice of denunciation has been given to the Government of the
United States of America, which will inform the Governments of the other Parties of
the deposit of each notice of denunciation.
Article 14
This Treaty, of which the English and French texts are equally authentic, shall be
deposited in the archives of the Government of the United States of America. Duly
certified copies will be transmitted by that Government to the Governments of other
signatories.
1. The definition of the territories to which Article 5 applies wa revised by Article 2
of the Protocol to North Atlantic Treaty on the accession of Greece and Turkey
signed on 22 October 1951.
2. On January 16, 1963, the North Atlantic Council noted that insofar as the former
Algerian Departments of France were concerned, the relevant clause of this Treaty
had become inapplicable as from July 3, 1962.
3. The Treaty came into force on 24 August 1949, after the deposition of the
ratifications of all signatory states.
Last updated: 23-Oct-2009 14:57
111
The Treaty came into force on 24 August 1949, after the deposition of the ratifications of all
signatory states.
98
Download