BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perspektif / Paradigma Kajian
Paradigma (paradigm) dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai
dengan sudut pandang setiap orang. Ada yang menyatakan bahwa paradigma
merupakan suatu citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu.
Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan
apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti
dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Dengan demikian paradigma
adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang
bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world-view). Namun, secara
umum paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan
dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak di kehidupan sehari-hari (Salim,
2001: 33).
Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata. Paradigma atau dalam bidang keilmuan sering disebut sebagai
perspektif atau terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought).
Paradigma menunjukkan pada peneliti apa yang penting, absah, dan masuk akal.
Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada peneliti apa yang harus
dilakukan tanpa perlu pertimbangan yang panjang. Banyak paradigma yang
berkembang dalam ilmu sosial dan masing-masing paradigma tersebut berbeda,
namun bukan berarti paradigma yang satu benar dan lainnya keliru. Sebelum
menentukan paradigma yang akan dipakai dalam sebuah penelitian, harus
diterapkan terlebih dahulu kriterianya. Misalnya seorang peneliti memakai teori
agung psikologi humanistik dari Carl Rogers tetapi metode yang digunakan
ternyata bersifat kuantitatif dengan menggunakan statistik inferensial. Pendekatan
humanistik menuntut metode penelitian yang bersifat kualitatif (fenomenologis).
Dalam meneliti sutau fenomena, peneliti menggunakan suatu paradigma yang
dianggap akurat dalam menjelaskan fenomena yang diteliti (Mulyana, 2001: 8-13).
Universitas Sumatera Utara
Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang
meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya; nilai, makna, emosi
manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, persitiwa sejarah,
simbol-simbol atau artefak tertentu. Penelitian kualitatif menghindari metode
matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek
penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu
mengandung makna. Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi
teori, analisis, maupun tindakan peneliti. Paradigma tersebut menjelaskan asumsiasumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam
bidang yang bersangkutan. Menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2001: 10)
menyatakan bahwa paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin
kita lihat, dan tidak ingin diketahui. Paradigma yang digunakan seorang peneliti
secara otomatis akan mempengaruhi persepi dan tindak komunikasi seseorang.
2.1.1
Paradigma Interpretif
Interpretif memandang ilmu sosial sebagai analisis sistem terhadap
“socially meaningful action” melalui pengamatan langsung dan terperinci
terhadap pelaku sosial dalam setting kehidupan sehari-hari yang wajar atau
alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial
yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka
(Salim, 2001: 42).
Paradigma ini muncul karena ketidakpuasan terhadap teori post-positivis.
Positivis dianggap terlalu umum, terlalu mekanis, dan tidak mampu menangkap
keruwetan, nuansa dan kompleksitas dari interaksi manusia. Interpretif mencari
sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melalui dunia
interaksi dan bagaimana kita berperilaku terhadap dunia yang kita bentuk. Dalam
pencarian jenis pemahaman, interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan
cara yang sangat berbeda dengan cara teori post-positivis (Ardianto dan Q-Anees,
2007: 124).
Paradigma interpretif mengkaji interpretasi terhadap aktivitas-aktivitas
simbolik dari pelaku sosial (social actors). Paradigma ini digunakan untuk
melakukan interpretasi dan memahami alasan-alasan dari para pelaku terhadap
Universitas Sumatera Utara
tindakan sosial yang mereka lakukan, yaitu cara-cara dari para pelaku untuk
mengkonstruksikan kehidupan mereka dan makna yang mereka berikan kepada
kehidupan tersebut. Tindakan sosial tidak dapat diamati, tetapi lebih diarahkan
pada pemaknaan subjektif terhadap tindakan sosial tersebut (Rahardjo, 2005: 9394).
Menurut Alfred Schutz (dalam Soemaryono, 1999: 23), manusia secara
terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi
dengan yang lain. Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis
realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk
memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami
pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan
objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh
pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam
mungkin. Hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan
kedalaman
temuan
penelitian.
Pendekatan
interpretif
mengajak
untuk
menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan deduktif serta logika
materil dan logika probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan
teori dan konsep yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna
etika dalam berteori dan berkonsep.
Pandangan-pandangan interpretif berpijak pada asumsi bahwa gambaran
realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu
makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan
dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang
membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan
interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang
menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna
tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau
proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia
(sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut
pemahaman (Bryman, 2008: 16).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1
Komunikasi Antar Budaya
Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya tidak dapat dielakkan dari
pengertian kebudayaan (budaya). Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa
sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal”. Dengan demikian ke-budayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal ini
berarti bahwa seluruh tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah
kebudayaan karena sangat sedikit tindakan manusia yang tidak perlu dibiasakan
dengan belajar. Bagaimana manusia makan, minum, berjalan, berinteraksi dengan
manusia lainnya itu semua berpengaruh pada budaya individu itu sendiri. Ada
sarjana lain yang mengartikan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa
(Koentjaraningrat, 2002: 180-181).
Komunikasi dan kebudayaan seperti sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Edward T. Hall (dalam Liliweri, 2004: 21) mengatakan “komunikasi
adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi.” Dalam kebudayaan ada
sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol
komunikasi, dan juga hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol
dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi. William
menekankan bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi
yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.
Definisi komunikasi antarbudaya menurut para pakar :
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan
Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas
sosial.
2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang
kebudayaannya berbeda.
3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang melibatkan peserta
komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok dengan
Universitas Sumatera Utara
tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi
perilaku komunikasi para peserta.
4. Intercultural Communication yang disingkat “ICC” mengartikan
komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara
seseorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayan.
5. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan
fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2004: 10-11).
Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan
sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat
perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk
merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Ketika kita
berkomunikasi dengan seseorang yang berbeda budaya, maka kita memiliki
perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat ambiguitas,
kebingungan, bahkan nampak tidak bersahabat. Perilaku komunikasi manusia
bergantung pada budaya dimana ia dibesarkan (Liliweri, 2004: 12).
Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi
antarbudaya adalah bahwa individu-invidu yang memiliki budaya yang sama pada
umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar
belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang
berbeda. Perbedaan-perbedaan kultural bersama dengan perbedaan lain dalam diri
orang (seperti kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi
kontribusi kepada sifat problematik yang melekat dalam proses komunikasi
antarmanusia. Studi ini juga memberi penekanan kepada perbedaan-perbedaan
kultural yang sesungguhnya maupun perbedaan-perbedaan kultural yang
dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi
antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi,
komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia
lainnya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka komunikasi antarbudaya merujuk
pada fenomena komunikasi di mana para partisipan yang berbeda latar belakang
kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan
dan perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik
Universitas Sumatera Utara
kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari
komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan
individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 53-54).
Komunikasi
antarbudaya
lebih
menekankan
aspek
utama
yakni
antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.
Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah
dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara
langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke
dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali
dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi
dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya.
Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada
dalam situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi
balik dalam budaya lain.
Komunikasi antarbudaya terjadi apabila pemberi dan penerima pesan
berasal dari budaya yang berbeda. Budaya mempengaruhi orang yang
berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif dan makna yang dimiliki oleh setiap orang. Konsekuensinya,
perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda yang dapat
menimbulkan berbagai macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).
Tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi ketidakpastian tentang
orang lain. Gudykunst dan Kim (dalam Liliweri, 2004: 19) menunjukkan bahwa
orang-orang yang tidak saling mengenal selalu berusaha mengurangi tingkat
ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antrapribadi. Usaha untuk
mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap reaksi,
yaitu:
1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun
non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari
komunikasi)
2. Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang
muncul dari kontak awal tersebut
Universitas Sumatera Utara
3. Closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi
dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar
kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi
atas suatu perilaku atau tindakan seseorang.
Apabila individu dapat mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang
lain maka ia akan mempunyai peluang yang makin besar untuk memahami orang
tersebut. Selain tingkat ketidakpastian (uncertainty) maka seseorang akan
menghadapi tingkat kecemasan tertentu ketika berkomunikasi dengan seseorang
dari kebudayaan lain. Kecemasan adalah suatu perasaan yang kurang
menyenangkan, tekanan batin, perasaan bersalah atau ragu-ragu tentang orang
yang sedang dihadapi. Kecemasan mengandung suasana emosional yang tidak
bersifat kognitif dan perilaku.
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi
dan fungsi sosial. Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas
sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi
melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungi sosial meliputi fungsi pengawasan,
fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi menghibur
(Liliweri, 2004: 35).
Menurut Proser komunikasi antarbudaya juga merupakan komunikasi
antrapribadi pada tingkat individu dari anggota kelompok-kelompok budaya yang
berbeda, maka efektivitas komunikasi antarbudaya pun sama dengan efektivitas
komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus
memperhatikan empat syarat, yakni :
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai anggota manusia
2. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak
3. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi
hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 170-171).
Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya
ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2)
empati (3) merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang
Universitas Sumatera Utara
terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik
(Liliweri, 2001: 173).
Dalam suatu proses komunikasi antabudaya, terdapat hambatan yang
menjadi penghalang agar terjadinya komunikasi yang efektif. Hambatan
komunikasi antarbudaya terbagi menjadi dua yakni di atas air (above waterline)
dan di bawah air (below waterline). Maksud hambatan di bawah air (below
waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang.
Biasanya hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan
karena tidak terlihat dari penampilan luar. Jenis-jenis hambatan ini adalah
persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai, dan grup cabang.
Sedangkan hambatan yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena
hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan ini
adalah :
1. Fisik, yang berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dam
juga media fisik.
2. Budaya, berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan
sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
3. Persepsi, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda
mengenai suatu hal setelah berinteraksi dan berkomunikasi. Jadi untuk
mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang
berbeda-beda.
4. Motivasi, berkaitan dengan tingkat motivasi dari komunikan, apakah
komunikan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak
punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
5. Pengalaman, setiap individu memiliki pengalaman hidup yang berbedabeda sehingga individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang
berbeda-beda dalam melihat sesuatu.
6. Emosi, ketika emosi komunikan sedang buruk maka hambatan komunikasi
yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
7. Bahasa, ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan
dengan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak
dimengerti oleh komunikan.
Universitas Sumatera Utara
8. Nonverbal, bahasa dalam bentuk nonverbal yang bisa terlihat dari ekspresi
wajah dan gerak tubuh.
9. Kompetisi, hambatan yang muncul ketika komunikan sedang melakukan
kegiatan lain sambil mendengarkan (Lubis, 2012: 6-8).
Komunikasi oleh setiap kebudayaan memberikan makna yang beraneka
ragam. Masing-masing kebudayaan memiliki sub sistem kebudayaan yang
berbeda dan dengan makna yang berbeda pula. Hambatan komunikasi sebagai
sesuatu yang menjadi penghalang untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang
efektif merupakan faktor penyebab kesalahpahaman dalam memandang perbedaan
antarbudaya tersebut.
2.2.1.1 Interaksi Simbolik
George Herbert Mead dikenal sebagai peletak dasar teori ini. Meskipun
beberapa orang ilmuwan mempunyai andil utama sebagai perintis teori ini seperti
James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Cooley, John Dewy,
William I. Thomas. Mead mengembangkan teori interaksi simbolik pada tahun
1920-an dan 1930-an ketika menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago.
Gagasan-gagasan Mead mengenai interaksi simbolik berkembang pesat setelah
para mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan kuliahnya melalui buku Mind,
Self, and Society (1934). Buku ini terbit tak lama setelah Mead meninggal dan
menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik. Salah satu murid Mead yang
bernama Herbert Blumer menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun
1937 dan mempopulerkannya di kalangan akademis (Mulyana, 2001: 68).
Teori ini menekankan pentingnya maksud dan penafsiran sebagai proses
yang hakiki-manusiawi sebagai reaksi terhadap behavioralisme dan psikologi
stimulus-respons yang mekanistis. Individu menciptakan makna bersama melalui
interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitasnya (Suyanto
dan Sutinah, 2008: 180).
Esensi teori ini adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik
berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini
mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri
mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat
digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan
peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas
objek-objek di sekililing mereka.
Dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan
kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturanaturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks
ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah
suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan
perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial
dan kekuatan sosial. Bagi interkasi simbolik, masyarakat adalah proses interaksi
simbolik.
Kehidupan
menggunakan
sosial
simbol-simbol.
pada
dasarnya
Simbol
yang
interaksi
digunakan
manusia
dengan
oleh
individu
mempresentasikan apa yang dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol
tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Pada
dasarnya manusia adalah perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka
atas dunia di sekeliling mereka.
Interaksi simbolik didasarkan premis-premis berikut. Pertama, individu
merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek
fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang
dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Inividulah
yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Kedua,
makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang
diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan
perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan
bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif
individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang
berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu
Universitas Sumatera Utara
sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh
definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi
(Mulyana, 2001: 69-73).
Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis
yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksi simbolik.
Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain. Dari itu, pikiran manusia
(mind) dan interaksi soisal (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk
menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup.
Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama
“pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal
balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi
penelahaan dalam tradisi interaksi simbolik (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 136).
Teori interaksi simbolik adalah hubungan antara simbol dan interaksi.
Orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam sebuah situasi
tertentu. Simbol dalam interaksi komunikasi dipertukarkan melalui bahasa verbal
dan non verbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang menggunakan kata-kata
sedangkan bahasa non verbal lebih menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa
isyarat.
2.2.1.1.1
Bahasa Verbal
Dalam komunikasi verbal bahasa digunakan sebagai alat untuk
mengekspresikan diri. Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah
semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua
rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal
disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan
dengan orang lain secara sengaja. Sistem kode verbal tersebut adalah bahasa.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan
berbagai aspek realitas individual. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud yang ingin disampaikan (Mulyana,
2007: 260-261). Menurut Hafied Cangara, bahasa dapat didefiniskan seperangkat
Universitas Sumatera Utara
kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat
yang mengandung arti (Cangara, 2006: 95).
Kemampuan berbahasa manusia merupakan akibat dari pembesaran dan
perkembangan otak manusia. Salah satu pandangan mengatakan bahwa orangorang yang hidup di berbagai dunia merasa perlu merancang solusi untuk
memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dalam hal ini, mereka menciptakan
berbagai cara hidup, dan bersama hal itu bahasa-bahasa berlainan untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Kita sering tidak menyadari betapa pentingnya
bahasa karena kita menggunakannya sepanjang hidup. Kita baru sadar bahasa itu
penting ketika kita berjumpa dengan individu dari daerah yang berbeda. Banyak
orang yang tidak sadar bahwa bahasa itu terbatas. Porsi komunikasi verbal hanya
35% dari keseluruhan komunikasi manusia (Mulyana, 2007: 265-269).
Bahasa merupakan aspek yang penting dalam mempelajari komunikasi
antarbudaya. Melalui bahasa individu belajar nilai dan perilaku budaya orang lain.
Sejalan dengan pernyataan Salzmann yang menyatakan bahwa budaya manusia
dengan segala kerumitannya tidak akan berkembang dan tidak dapat dipikirkan
tanpa bantuan bahasa. Bahasa dan budaya bekerja sama dalam hubungan yang
saling menguntungkan yang menjamin keberadaan dan kelangsungan keduanya.
Bahasa dibutuhkan untuk memiliki suatu budaya sehingga anggota suatu
kelompok dapat berbagi kepercayaan, nilai dan perilaku dan terlibat dalam usaha
komunal. Sebaliknya, budaya dibutuhkan untuk mengatur pribadi yang berlainan
ke dalam kelompok yang kompak, sehingga kepercayaan, nilai, perilaku dan
aktivitas komunikasi dapat terbangun. Jelas bahwa bahasa dan budaya tidak dapat
dipisahkan. Konsep mengenai hubungan simbiosis antara budaya dan bahasa
disimpulkan oleh Carroll ketika mengatakan “sepanjang bahasa berbeda caranya
dalam menyimbolkan suatu pengalaman objektif, pengguna bahasa cenderung
untuk memilih dan membedakan pengalaman secara berbeda sesuai dengan
kategori yang ada pada bahasa mereka masing-masing” (Samovar, Porter, dan
McDaniel, 2010: 273-275).
2.2.1.1.2
Bahasa Nonverbal
Dalam berkomunikasi manusia tidak hanya menggunakan bahasa verbal
tetapi juga menggunakan bahasa nonverbal. Manusia dipersepsikan tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
melalui bahasa verbal (halus, kasar, intelektual, dan sebagainya) namun juga
melalui perilakunya. Lewat perilaku nonverbalnya, individu dapat mengetahui
suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia atau sedih. Kesan awal
pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya yang mendorong kita
mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal diartikan sebagai
semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh
dalam komunikasi. Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga
tidak universal, melainkan terikat oleh budaya yang dipelajari bukan bawaan.
Hanya sedikit isyarat nonverbal yang bawaan seperti bagaimana tersenyum
(Mulyana, 2007: 342-343).
Manusia menggunakan pesan nonverbal untuk menjelaskan keadaan sosial
dan emosi dari hubungan dan interaksi. Banyak arti penting yang dihasilkan
dalam interaksi manusia dapat diperoleh dari sentuhan, lirikan, nuansa vokal,
gerakan atau ekspresi wajah dengan atau tanpa pertolongan kata-kata. Mulai dari
saat bertemu dan berpisah, orang-orang saling mengamati dengan semua indra
mereka, intonasi, cara berpakaian dan sikap diri, mengamati lirikan dan
ketegangan wajah, juga memilih kata-kata. Setiap tanda keharmonisan dan
ketidak harmonisan mengarah pada interpretasi dari suasana hati yang ada. Di luar
evaluasi kinetis, vokal, dan isyarat verbal, keputusan dibuat untuk disetujui atau
dibantah, untuk ditertawakan atau dipermalukan, untuk beristirahat atau ditentang,
untuk melanjutkan atau memotong suatu pembicaraan.
Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam
suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan
serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal
mempunyai fungsi-fungsi berikut :
1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal
2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi
perilaku verbal
3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal; dapat menggantikan perilaku
verbal
4. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal
Universitas Sumatera Utara
5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau
bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2007: 350).
Jika antara pesan verbal dan pesan nonverbal terdapat pertentangan, kita
biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal yang menunjukkan pesan yang
sebenarnya karena pesan nonverbal lebih sulit untuk dikendalikan daripada pesan
verbal. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap-muka adalah
bahasa nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian 93% dari semua makna
sosial dalam komunikasi tatap-muka diperoleh dari isyarat-isyarat nonverbal
(Mulyana, 2007: 351).
Pada dasarnya bahasa verbal dan bahasa nonverbal tidak terlepas dari
konteks budaya. Dengan memahami perbedaan budaya dalam perilaku nonverbal,
individu tidak hanya akan dapat memahami beberapa pesan yang dihasilkan
selama interaksi, namun juga akan dapat mengumpulkan petunjuk mengenai
tindakan dan nilai yang mendasarinya. Komunikasi nonverbal terkadang
menunjukkan sifat dasar dari suatu budaya. Terdapat kesamaan antara budaya dan
perilaku nonverbal adalah bahwa keduanya dikerjakan menurut naluri dan
dipelajari. Walaupun banyak perilaku individu merupakaan bawaan (seperti
senyuman, gerakan, sentuhan dan kontak mata), tetapi invidu tidak lahir dengan
pengetahuan mengenai dimensi komunikasi yang diasosiasikan dengan pesan
nonverbal (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 297-298).
Pesan-pesan nonverbal ini dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara.
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi kedalam dua kategori besar,
yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan
postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa;
kedua, ruang, waktu, dan sikap diam. Klasifikasi ini sejajar dengan klasifikasi
John R. Wenburg dan William W. Wilmot, yakni isyarat-isyarat nonverbal
perilaku dan isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik seperti ukuran ruangan dan
sifat-sifat situsional lainnya (Mulyana, 2007: 352-353).
2.2.2 Culture Shock
Proses individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai
pada masa awal kehidupan manusia. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan,
Universitas Sumatera Utara
pola-pola budaya ditanamkan ke dalam diri individu dan menjadi kepribadian dan
perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan
individu untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga
memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian
oleh individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138).
Enkulturasi mengacu pada proses dimana budaya ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Individu mempelajari budaya, bukan
mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar bukan melalui gen.
Enkulturasi terjadi melalui orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga
keagamaan, dan lembaga pemerintahan.
Individu yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi
yang kedua yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu
proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana suatu nilai masuk ke dalam
diri indiividu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 139). Akulturasi mengacu pada proses dimana budaya seseorang
dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan budaya lain.
Misalnya sekelompok imigran yang tinggal di Jerman (budaya tuan rumah), maka
budaya kelompok imigran tersebut akan dipengaruhi oleh budaya tuan rumah.
Lambat laun, nilai-nilai, cara berperilaku serta kepercayaan dari budaya tuan
rumah akan menjadi bagian dari budaya kelompok imigran tersebut (Lubis, 2012:
21-22).
Proses
akulturasi
adalah
suatu
proses
yang
interaktif
dan
berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan dalam
akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi adalah komunikasi
personal yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan
individu tentang budaya baru, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang
meliputi komunikasi antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan
komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140).
Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individuinvidu yang berinteraksi dalam pertemuan budaya tersebut. Fenomena ini
diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Pengalaman-pengalaman
Universitas Sumatera Utara
komunikasi dengan kontak antarpersona secara langsung seringkali menimbulkan
frustasi. Istilah culture shock diperkenalkan oleh seorang antropolog yang
bernama Kalvero Oberg pada tahun 1960. Kalvero Oberg memberikan definisi
yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut :
Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari
hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam
hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di
mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan seharihari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli sesuatu,
kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini dapat berupa
kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlukan
oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari
budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan dan
kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan
pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyakan tidak
kita sadari.
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kejutan budaya adalah rasa
cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda dengan
budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah melekat pada diri
individu ketika memasuki budaya baru akan tidak efektif karena setiap budaya
mempunyai caranya tersendiri. Mulyana mendefinisikan culture shock sebagai
kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau
petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam
mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari (Mulyana
dan Rakhmat, 2005: 174).
Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu
ketidakmampuan
menyesuaikan
diri
(personality
mal-adjustment)
bentuk
yang
merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan orang-orang baru. Sedangkan menurut P. Harris dan R.
Moran, gegar budaya adalah trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu
budaya yang baru dan berbeda karena ia harus belajar dan mengatasi begitu
banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nilai budaya dan
pengharapan budayanya yang lama tidak lagi sesuai. Meskipun gegar budaya
sering dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya (yang identik dengan
negara) asing, lingkungan budaya baru yang dimaksud di sini sebenarnya bisa
Universitas Sumatera Utara
juga merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan (sekolah atau universitas)
baru, lingkungan kerja baru, atau keluarga besar baru yang dimasuki lewat
perkawinan (mertua, ipar, dan sebagainya). Bennet menyebut fenomena yang
diperluas ini dengan sebutan transition shock, suatu konsekuensi alamiah yang
disebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan
baru dan berubah dalam berbagai situasi, seperti perceraian, relokasi, kematian
seseorang yang dicintai, dan perubahan nilai yang berkaitan dengan inovasi sosial
yang cepat, juga kehilangan kerangka rujukan yang dikenal dalam memasuki
budaya lain.
Pada dasarnya gegar budaya adalah berbenturan persepsi, yang
diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai
budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru
yang nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Individu biasanya menerima
begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa sejak lahir, yang juga
dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, ketika individu
memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang membuatnya
mempertanyakan kembali asumsi-asumsinya, tentang apa yang disebut kebenaran,
moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan, dan sebagainya. Benturanbenturan persepsi itu yang kemudian menimbulkan konflik dalam diri individu,
dan menyebabkannya merasa tertekan dan menderita stres. Efek stres inilah yang
disebut gegar budaya (Mulyana, 2007: 247-249).
Ketika memasuki suatu lingkungan yang baru, seseorang tidak langsung
mengalami gegar budaya. Fenomena itu dapat digambarkan dalam beberapa tahap.
Peter S. Adler (dalam Mulyana, 2007: 249) mengemukakan lima tahap dalam
pengalaman transisional ini: kontak, disintregasi, reintegrasi, otonomi, dan
independensi. Tahap kontak biasanya ditandai dengan kesenangan, keheranan, dan
kekagetan, karena seseorang melihat hal-hal yang eksotik, unik, dan luar biasa.
Setelah tahap “bulan madu” ini, individu mulai memasuki tahap kedua yang
ditandai dengan kebingungan dan disorientasi. Perbedaan menjadi lebih nyata
ketika perilaku, nilai, dan sikap yang berbeda mengganggu realitas perseptual
individu. Individu semakin jengkel, cemas, dam frustasi menghadapi perbedaan
budaya itu. Lalu ia pun merasa terasing dan tidak mampu mengatasi situasi yang
Universitas Sumatera Utara
baru ini. Kebingungan, keterasingan, dan depresi lalu menimbulkan disintegrasi
kepribadian individu ketika kebingungan mengenai identitasnya dalam skema
budaya yang baru itu terus meningkat.
Tahap reintegrasi, ditandai dengan penolakan atas budaya kedua. Individu
menolak kemiripan dan perbedayaa budaya melalui penstereotipan, generalisasi,
evaluasi, perilaku dan sikap yang serba menilai. Individu membenci apa yang
dialaminya tanpa alasan yang jelas. Pada tahap transisi ini, individu akan mencari
hubungan dengan orang-orang yang berasal dari budaya yang sama. Munculnya
perasaan negatif ini dapat merupakan tanda akan tumbuhnya kesadaran budaya
kita yang baru, kalau seseorang masih bertahan. Kembali ke budaya lama
merupakan pilihan lain untuk mengatasi dilema ini. Pilihan yang diambil
seseorang bergantung pada intensitas pengalamannya, daya tahan, atau
interpretasi dan bimbingan yang diberikan orang-orang penting disekitarnya.
Tahap otonomi dalam transisi ini ditandai dengan kepekaan budaya dan
keluwesan pribadi yang meningkat, pemahaman atas budaya baru, dam
kemampuan menyesuaikan diri dengan budaya baru seseorang. Seseorang menjadi
lebih santai dan mampu memahami orang lain secara verbal dan non verbal. Ia
merasa nyaman dengan perannya sebagai orang dalam – orang luar dalam dua
budaya yang berbeda. Akhirnya, menurut Adler pada tahap independensi, individu
menghargai perbedaan dan kemiripan budaya, bahkan menikmatinya. Seseorang
menjadi ekspresif, humoris, kreatif dan mampu mengaktualisasikan dirinya. Hal
terpenting ialah ia mampu menjalani transisi lebih jauh dalam kehidupan melewati
dimensi-dimensi baru dan menemukan cara-cara baru menjelajahi keberagaman
manusia.
Pada tahap inilah individu dapat menjadi manusia yang disebut “manusia
antarbudaya” yang memahami berbagai budaya, mampu bergaul dengan orangorang dari berbagai budaya lain, tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya sendiri.
Manusia antarbudaya adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam
proses antarbudaya yang atribut-atribut internalnya tidak didefinisikan secara
kaku, namun terus berkembang melewati parameter-parameter psikologi suatu
budaya. Manusia antarbudaya dilengkapi dengan kemampuan berfungsi secara
Universitas Sumatera Utara
efektif dalam lebih dari satu budaya dan memiliki kepekaan budaya yang
berkaitan erat dengan kemampuan menunjukkan empati budaya.
Taft (dalam Mulyana, 2007: 251) meringkas berbagai reaksi psikologis,
sosial, dan fisik yang menandai gegar budaya, meliputi :
•
Kelelahan fisik, seperti diwujudkan oleh kedongkolan, insomnia (sulit
tidur), dan gangguan psikosomatik lainnya.
•
Perasaan kehilangan karena tercerabut dari lingkungan yang dikenal.
•
Penolakan individu terhadap anggota-anggota lingkungan baru.
•
Perasaan tak berdaya karena tidak mampu menghadapi lingkungan asing.
Gegar budaya ini dalam berbagai bentuknya adalah fenomena yang
alamiah saja. Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya
terbagi dua, yakni faktor internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan)
dan faktor eksternal (kerumitan budaya atau lingkungan baru yang dimasuki).
Tidak ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak individu
memasuki budaya lain. Itu bergantung pada sejauh mana perbedaan budaya yang
ada dan apakah individu memiliki ciri-ciri kepribadian yang kondusif untuk
mengatasi gegar budaya tersebut. Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar dan
kita mempunyai kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin
tidak akan mengalamai gegar budaya yang berarti. Sebaliknya, bila perbedaan
budaya bersifat ekstrem, sementara kita lembek, penakut, dan kurang percaya diri,
kemungkinan besar kita akan mengalami gegar budaya. Berbagai penelitian
empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal
untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat
menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan orang-orang
dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri.
Dalam hidupnya manusia pasti akan menghadapi komunikasi antarbudaya
dimana komunikator dan komunikan berasal dari budaya yang berbeda. Ketika
individu memasuki lingkungan baru berarti melakukan kontak antarbudaya.
Individu tersebut juga akan berhadapan deng an orang-orang dalam lingkungan
baru yang ia kunjungi maka komunikasi antarbudaya menjadi tidak terelakkan.
Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam prakteknya bukanlah
persoalan yang sederhana. Individu harus menyandi pesan dan menyandi balik
Universitas Sumatera Utara
pesan dengan cara tertentu sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima
dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi (Lubis, 2010: 177).
Dalam membahas mengenai culture shock harus dipahami perbedaan
antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk
tinggal secara permanen (settlers). Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam
Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 474), perhatian mereka terhadap
pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.
Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya,
sedangkan sojouners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraan
bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun.
Dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Dedy Mulyana mengatakan
bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah
merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan suatu arena petualangan,
bukan merupakan materi kuliah tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan,
bukan suatu alat utnuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu
problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman komunikasi
dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang yang berbeda
latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi merasa
kikuk dan terasa sing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan
budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143).
Reaksi antara individu yang satu dengan individu lainnya terhadap culture
shock bervariasi dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi
yang mungkin terjadi, antara lain:
1. Permusuhan terhadap lingkungan yang baru
2. Perasaan disorientasi / rasa kehilangan arah
3. Rasa penolakan
4. Gangguan pada lambung dan sakit kepala
5. Homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. Rindu pada teman dan keluarga
7. Perasaan kehilangan status dan pengaruh
8. Menarik diri
Universitas Sumatera Utara
9. Menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar,
Porter, dan Mcdaniel, 2010: 476-477)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan
bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock . Keempat
tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-curve
(Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 477-478)
1. Fase Optimistik (Optimisthic Phase), fase pertama yang digambarkan
sebagai ujung sebelah kiri dalam kurva-U. Fase ini berisi kegembiraan,
harapan dan euforia sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya
baru.
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan
bahasa, kehidupan sosial yang baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini
biasanya ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan segala
sesuatunya mengerikan. Individu menjadi bingung dan tercengang dengan
sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap
bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak
kompeten. Ini adalah periode krisis dalam culture shock
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana individu mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu secara bertahap
membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi untuk menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai
dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir yang berada pada
ujung sebelah kanan atas dari kurva-U. Individu telah mengerti elemen
kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, dan
lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda,
biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa
ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya yang berbeda,
seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh budaya dimana individu lahir dan
berkembang. Setiap daerah memiliki kata-kata tertentu dan bisa bermakna lain di
daerah tertentu. Berbagai bahasa yang dipergunakan di daerah lain sering tersisip
dalam komunikasi. Karena bahasa yang dipakai itu terasa asing dan tidak pernah
didengar, seseorang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara.
Akibatnya komunikasi mengalami hambatan dan pembicaraan tidak komunikatif.
Bila dapat teratasi secara berangsur, maka semuanya akan berjalan lancar. Dengan
demikian proses hubungan antar manusia sudah dapat dimulai yang ditandai
dengan munculnya landasan daya tarik manusia, karakteristik hubungan, siklus
suatu hubungan dan pemeliharaan hubungan.
2.3 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang pernah meneliti mengenai culture shock
yaitu :
2.3.1
Penelitian Emma Violita Pinem
Penelitian yang berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi
Antarbudaya pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus pada Mahasiswa
Malaysia di Universitas Sumatera Utara) bertujuan untuk mengetahui culture
shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU,
dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang
memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya
sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang
merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut
klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal.
Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan
yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah
mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU
yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Malaysia memiliki
kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa
menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa
masalah adaptasi seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan
Universitas Sumatera Utara
penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, dan masih kurang
nyaman dengan perbedaan budaya yang ada. Dalam hal terpaan dan upaya
mengatasinya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap.
Perempuan lebih tinggi culture shocknya dan cenderung lebih lambat dalam
beradaptasi, sedangkan laki-laki lebih ringan terpaan culture shock dan lebih cepat
dalam beradaptasi. Mahasiswa di Fakultas Kedokteran cenderung lebih berkelompok
dan tidak akrab dengan mahasiswa Indonesia, sedangkan di Fakultas Kedokteran Gigi,
mahasiswa Malaysia lebih berbaur dengan mahasiswa Indonesia, meskipun ada yang
juga masih sering berkumpul dengan sesamanya, tetapi kedekatan dan intensitas
interaksi dengan mahasiswa Indonesia baik untuk urusan kampus atau di luar kampus
lebih sering terjadi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Ini mempengaruhi
proses adaptasi mereka. Selain itu, faktor lama menetap juga turut mempengaruhi.
Mahasiswa yang lebih lama menetap di Medan memiliki penyesuaian yang lebih
menyeluruh.
2.3.2
Penelitian Fadhli Friandes
Penelitian yang berjudul Culture Shock Pelajar Minang di Universitas
Sumatera Utara (Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi AntarBudaya) bertujuan
untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada
mahasiswa Minang di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi
culture shock tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan
mempelajarinya sebagai suatu kasus.
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan
pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau
kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui
pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang
bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa
Minangkabau yang berada di Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
dan Fakultas Kesehatan Masyarakat yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di
Medan selama kurang lebih dua tahun melalui pendekatan kualitatif. Data yang
diperoleh dari lapangan diambil kesimpulannya yang bersifat khusus kepada yang
bersifat umum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Minangkabau
memiliki kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka
Universitas Sumatera Utara
sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami
beberapa masalah adaptasi seperti merasa bahwa nilai-nilai budaya yang diajarkan
ditempat asal dari Sumatera Barat cukup memiliki perbedaan baik dari norma seharihari dan tata cara bergaul dengan lingkungan baru. Penggunaan Bahasa Indonesia
juga menjadi masalah ketika pertama datang di kota Medan, karena mereka telah
terbiasa dengan Bahasa Minang yang telah menjadi bahasa utama, ketika berada di
daerah asal dan penggunaan Bahasa Indonesia hanya di pergunakan dalam
lingkungan formal seperti di sekolah dan instansi pemerintahan.Dalam hal terpaan
dan upaya mengatasinya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, asal fakultas dan lama
menetap. Perempuan lebih tinggi culture shocknya dan cenderung lebih lambat dalam
beradaptasi, sedangkan laki-laki lebih ringan terpaan culture shock dan lebih cepat
dalam beradaptasi. Mahasiswa asal minang lebih cendrung bergaul dengan sesama
mereka yang terikat dalam sebuah organisasi kedaerahan, serta lebih tertarik dengan
sesama agama. Akan tetapi seiring proses perjalanan waktu dan adaptasi penerimaan
terhadap culture masyarakat kota medan yang multikultural telah dapat dimengerti
dan pengaplikasian tanpa meninggalkan culture minangkabau.
2.4 Model Teoritis
Mahasiswa
Papua
Mahasiswa
non Papua
Interaksi
Komunikasi Antarbudaya
Culture Shock
-
Bahasa (percakapan)
-
Pertemanan
-
Makanan
Gambar 1.1 Model Teoritis
Universitas Sumatera Utara
Download