1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini, akan diuraikan konsep yang mendukung penelitian. Kajian tersebut terdiri atas stroke, Asuhan Keperawatan Keluarga pada anggota keluarga dengan pasca stroke, dan pelayanan home care. 2.1.1. Kajian tentang stroke 2.1.1.1. Pengertian stroke. Stroke atau cedera cerebrovaskular adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/ atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata mata disebabkan – oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000). Menurut Price & Wilson (2006) stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Berdasarkan pengertian di atas peneliti menyimpulkan pengertian stroke adalah suatu serangan mendadak yang terjadi di otak yang melibatkan pembuluh darah di otak (tersumbat atau pecah), dan akhirnya bermanifestasi dalam beragam 2 gejala (mulai dari kelumpuhan, bicara pelo, gangguan menelan, dan sebagainya). 2.1.1.2. Etiologi Berdasarkan etiologi, Feigin (2009) membagi stroke menjadi dua : (1) stroke hemoragik yaitu suatu gangguan fungsi saraf yang disebabkan kerusakan pembuluh darah otak sehingga menyebabkan pendarahan pada area tersebut. (2) stroke non hemoragik yaitu gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah otak sehingga distribusi oksigen dan nutrien ke area yang mendapat suplai terganggu. Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat kejadian yaitu: (1). thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher; (2). embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain; (3). iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak ; (4). hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Akibat dari keempat kejadian di atas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi. Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke non haemoragik dibagi menjadi empat, yaitu: (1) TIA (transient ischemik attack) merupakan serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam; (2) RIND (reversible ischemic neurologic deficit) merupakan gejala neurologis yang akan menghilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari; (3) progressing stroke atau stroke in evolution merupakan kelainan atau defisit neurologis yang berlangsung secara bertahap dari 3 yang ringan sampai menjadi berat; (4) complete stroke atau stroke komplit merupakan kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi (Junaidi, 2006). Faktor resiko stroke menurut Sofwan (2010) dibagi menjadi dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin dan kecenderungan genetik,. Faktor resiko yang terpenting adalah : 1) Hipertensi ( Tekanan darah tinggi) Tekanan darah yang meningkat terus secara perlahan akan merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisme, yang pada akhirnya akan menyebabkan stroke, terutama pada orang berusia di atas 45 tahun. 2) Diabetes melitus (Kencing manis) Diabetes menyebabkan perubahan pada sistem pembuluh darah, dan berperan dalam proses ateresklerosis yang pada akhirnya akan menyebabkan stroke. Pada orang dengan diabetes, darah menjadi lebih kental dan beban pada dinding pembuluh darah menjadi lebih besar sehingga dikhawatirkan lebih kental dan beban pada dinding pembuluh darah menjadi lebih besar sehingga dikhawatirkan lebih muda tersumbat (terutama di pembuluh darah yang kecil seperti di otak dan jantung) 3) Penyakit jantung Pada orang yang menderita penyakit jantung (misalnya kelainan pada 4 katup jantung) oleh karena fungsi jantung yang terganggu, akan timbul embolus/gumpalan darah. Embolus tersebut akan berjalan mengikuti peredaran hingga keotak, dan menyumbat karena ukuran diameter pembuluh darah di otak sangat kecil, sehingga terjadilah stroke iskemik (non haemoragik).. 4) Kegemukan (obesitas) Berat badan dan indeks massa tubuh berhubungan erat dengan tekanan darah. Distribusi lemak pada tubuh juga merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan hiprtensi, yang pada akhirnya juga bisa memicu stroke. 5) Kebiasaan merokok Merokok bukan hanya merupakan faktor risiko stroke, melainkan juga juga merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dan penyakit-penyakit lainnya. Seperti diketahui asap rokok mengandung banyak zat kimia seperti ter, nikotin, karbonmonoksida. Merokok menyebabkan aliran darah di dalam tubuh menjadi lebih lambat, menyebabkan darah lebih mudah menggumpal, dan mendorong terjadinya ateresklorosis pada pembuluh darah otak, jantung dan tungkai. 6) Kebiasaan makan makanan yang mengandung kolesterol tinggi. Kolesterol berlebih dalam darah, istilah kedokterannya disebut hiperlipidemia, merupakan faktor risiko tidak langsung dari stroke. Mengapa disebut demikian? Karena kolesterol yang berlebihan dalam darah ini tidak langsung menyebabkan stroke, tetapi lebih pada meningkatnya risiko pembentukan plak ateresklorosis pada pembuluh darah. Seperti diketahui, 5 plak ateresklorosis ini bertanggung jawab pada proses terjadinya stroke karena sumbatan (stroke iskemik). 6 Faktor resiko terjadinya stroke yang tidak dapat di modifikasi menurut Mansjoer (2000) adalah: (1). Stroke dapat menyerang siapa saja laki-laki dan perempuan mulai dari usia anak sampai dewasa. Tidak ada patokan mengenai usia berapa seseorang rawan terkena stroke, walaupun memang biasanya stroke menyerang seseorang yang berusia di atas 65 tahun ( stroke pada anak sangat jarang dan biasanya dihubungkan dengan kelainan bawaaan/kongenital). Sekarang ini, dengan pola hidup tidak sehat di perkotaan , stroke bahkan dapat menyerang seseorang yang berusia 30 tahun; (2). Stroke dapat disebabkan oleh faktor keturunan karena faktor-faktor risiko terjadinya stroke seperti hipertensi dan kencing manis umunya menurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya dan dalam beberapa penelitian memang ditemukan kaitan keturunan dengan angka kejadian stroke. 2.1.1.3. Patofisiologi Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis interna. Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme, yaitu : (1). penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan- 7 perubahan iskemik otak; (2). pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah kejaringan (hemorhage); (3). pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak; (4). edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak. Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen. Patofisiologi berbentuk skema dapat dilihat pada gambar 2.1, berikut. 8 Perdarahan/Oklusi Penurunan tekanan perfusi vaskularisasi distal Iskemik Edema dan nekrosis jaringan Pelebaran kontra lateral 9 Perfusi jaringan serebral Sel mati secara progresif (defisit fungsi otak ) Gambar 2.1. Skema Fatofisiologi Stroke (Sumber : Satyanegara, 1998 dikutip oleh Wanhari, 2008). 2.1.1.4. Tanda dan gejala Menurut Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala 1 0 mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih. 2.1.1.5. Penatalaksanaan medis Penatalaksanaan Medis menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi: (1). diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral; (2). antikoagulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskuler; (3). antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi. 2.1.1.6. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah: (1). hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan; (2). penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera; (3). embolisme serebral, dapat terjadi 1 1 setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombus lokal, selain itu disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki. Menurut Mansjoer (2000) bahwa berbagai komplikasi lanjut stroke akibat imobilisasi adalah sebagai berikut: (1). ulkus dekubitus merupakan komplikasi iatrogenik yang dapat dihindari dengan prosedur rehabilitasi yang baik; (2). kontraktur dan nyeri bahu. Shoulder hand syndrome terjadi pada 27% pasien stroke; (3). penekanan saraf peroneus dapat menyebabkan drop foot. Selain itu dapat terjadi kompresi saraf ulnar dan kompresi saraf femoral; (4). osteopenia dan osteoporosis yaitu berkurangnya densitas mineral pada tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap sinar matahari; (4). depresi dan efek psikologis lain karena kepribadian penderita atau karena umur tua. 25% menderita depresi mayor pada fase akut dan 31% menderita depresi pada 3 bulan paska stroke. Depresi harus ditengarai sebagai penyebab pemulihan yang tidak wajar, tidak kooperatif saat rehabilitasi dan keadaan emosi yang tidak stabil; (5). Inkontinensia alvi dan konstipasi diakibatkan karena imobilitas dan kekurangan cairan. 2.1.1.7. Prognosis Apabila pasien dapat mengatasi serangan stroke recovery, prognosis untuk kehidupannya baik. Dengan rehabilitasi yang aktif, banyak penderita dapat berjalan lagi dan mengurus dirinya. Prognosis buruk, bagi penderita yang disertai 1 2 dengan aphasia sensorik. Prognosis trombosis serebri ditentukan oleh lokasi dan luasnya infark, juga keadaan umum pasien. Makin lambat penyembuhannya maka akan semakin buruk prognosisnya, pada emboli serebri prognosis juga ditentukan oleh adanya emboli dalam organ-organ lain, disamping itu penanganan yang tepat dan cepat serta kerjasama tim kesehatan termasuk dokter, perawat dan fisioterafis dengan penderita mempengaruhi prognosis dari stroke. Oleh karena itu, stroke yang ringan dengan penanganan yang tepat sedini mungkin dengan kerjasama yang baik antara tim kesehatan dan penderita akan menjadikan prognosis yang baik, sedangkan pada kondisi sebaliknya prognosis akan menjadi buruk karena dapat menimbulkan kecacatan yang permanen bahkan juga kematian.(Chusid, 2003) 2.1.2. Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Anggota Keluarga Dengan Stroke 2.1.2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Keluarga 2.1.2.1.1. Pengertian Keluarga. Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari tiap anggota keluarga ( Duval, 1972 dalam Setiadi, 2010 ). Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1989). Setiadi (2010) menambahkan keluarga adalah bagian dari masyarakat yang 1 3 peranannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dari keluarga inilah pendidikan kepada individu dimulai dan dari keluarga inilah akan tercipta tatanan masyarakat yang baik. Berdasarkan pengertian di atas, peneliti menyimpulkan, keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri dari 2 orang atau lebih dengan adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah dan hidup dalam satu rumah tangga serta di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga yang mana berinteraksi di antara sesama anggota keluarga dan setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing untuk menciptakan dan mempertahankan suatu kebudayaan 2.1.2.1.2. Keluarga sebagai unit pelayanan yang dirawat Secara empiris disadari bahwa kesehatan para anggota keluarga sudah ditanggulangi secara insidental, tetapi keluarga belum dilihat sebagai klien dari keperawatan. Keluarga dalam hal ini tidak dipandang dari jumlah anggotanya, tetapi kesatuannya yang unik dalam menghadapi masalah, keunikannya terlihat dari cara berkomunikasi, mengambil keputusan, sikap, nilai, cita- cita, hubungan dengan masyarakat luas dan gaya hidup yang tidak sama antara satu keluarga dan keluarga lainnya. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, zaman dan geografis; keluarga di desa sangat berbeda dengan di kota dalam hal besarnya keluarga, struktur, nilai dan juga gaya hidupnya. Pendekatan keperawatan keluarga dapat melalui berbagai teori, yang paling berkaitan dengan fungsi perawatan kesehatan adalah pendekatan secara teori struktural fungsional (Friedman, 2002). Teori struktural fungsional dapat 4 menganalisis karakteristik struktural keluarga pengaturan bagian-bagiannya yang 1 1 5 membentuk secara keseluruhan, dan fungsi yang dilakukan baik untuk masyarakat maupun subsistemnya. Struktur keluarga ini menunjukkan cara pengaturan keluarga, cara pengaturan unit-unit dan bagaimana unit-unit ini saling mempengaruhi (Friedman, 2002). Parad dan Caplan, (1965), dalam Friedman, (2002), menganalisis sebuah keluarga yang sedang mengalami stres, telah mengidentifikasi tiga dimensi struktural, yang mereka sebut sebagai gaya hidup keluarga. Gaya hidup keluarga mengarah kepada permulaan organisasi keluarga yang stabil dan masuk akal yang dibagi menjadi tiga unsur yang saling bergantung yaitu sistem nilai, jaringan komunikasi dan sistem peran. Friedman, (2002), menambahkan tiga dimensi ini dengan struktur keluarga ke empat yaitu stuktur kekuasaan dan pengambilan keputusan. Struktur keluarga berfungsi untuk memfasilitasi pencapaian fungsi keluarga, karena penghematan dan alokasi sumber daya adalah tugas utama struktur keluarga. Karena hubungan yang penting ini, fungsi harus dipandang berurutan dengan struktur keluarga. Fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir atau akibat dari struktur keluarga atau apa yang dikerjakan oleh keluarga. Fungsi dasar keluarga adalah memenuhi kebutuhan anggota keluarga itu sendiri dan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Tujuan terpenting adalah menghasilkan anggota baru (fungsi reproduksi) dan melatih individu tersebut menjadi bagian dari anggota masyarakat (fungsi sosialisasi) (Kingsburg & Scanzoni, 1993, dalam Friedman, 1 6 2002). Menurut Friedman (2002), secara umum terdapat lima fungsi keluarga yang paling erat saat mengkaji dan mengintervensi keluarga yaitu : 1) Fungsi Afektif (the affective function); Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. 2) Fungsi Sosial dan tempat bersosialisasi ( socialization and social placement function); Fungsi sosial merupakan fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. 3) Fungsi Perawatan Kesehatan ( the health care function) Fungsi perawatan kesehatan merupakan fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan, dan asuhan kesehatan/keperawatan. Kemampuan keluarga melakukan asuhan keperawatan atau pemeliharaan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga dan individu. Melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental, spiritual dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali kondisi sakit 1 7 tiap anggota keluarga. 4) Fungsi Reproduksi (the reproductive function) Fungsi reproduksi merupakan fungsi mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. 5) Fungsi Ekonomi (the economic function) Fungsi ekonomi merupakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 2.1.2.1.3. Interaksi antara Sehat/Sakit dan Keluarga Status sehat /sakit para anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi satu sama lainnya, keluarga cenderung menjadi reaktor terhadap masalah kesehatan dan menjadi faktor dalam menentukan masalah kesehatan anggota keluarga. Menurut Suchulan (1965), Doberty dan Canphell (1988), yang disederhanakan oleh Friedman (1998), ada 6 (enam) tahap interaksi antara sehat/sakit dan keluarga : 1) Tahap Pencegahan Sakit dan Penurunan Resiko Keluarga dapat memainkan peran vital dalam upaya peningkatan kesehatan dan penurunan resiko, misalnya mengubah gaya hidup kurang sehat ke arah lebih sehat, misalnya mengatur pola makan dan aktivitas yang teratur dan sehat. 2) Tahap Gejala Penyakit yang dialami keluarga Setelah gejala diketahui, diinterpretasikan keparahannya, penyebabnya 1 8 dan urgensinya, beberapa masalah dapat ditentukan. Tidak sedikit masalah kesehatan yang ditemukan pada keluarga yang kacau atau tertekan. 3) Tahap mencari perawatan Apabila keluarga telah menyatakan anggota keluarganya sakit dan membutuhkan pertolongan, setiap orang mulai mencari informasi tentang penyembuhan, kesehatan dan validitas profesional dari keluarga besar, teman, tetangga dan nonprofesional lainnya. Setelah informasi terkumpul, keluarga melakukan perundingan untuk mencari penyembuhan/perawatan klinik, rumah sakit, di rumah dan lain-lain. 4) Tahap kontak keluarga dengan institusi kesehatan Setelah keputusan untuk mencari perawatan, dilakukan kontak dengan institusi kesehatan baik profesional atau nonprofesional sesuai dengan tingkat kemampuan, misalnya kontak dengan rumah sakit, puskesmas, praktik dokter swasta, paranormal/dukun dan lain-lain. 5) Tahap respons sakit terhadap keluarga dan pasien Setelah pasien menerima perawatan kesehatan dari praktisi, tentu ia menyerahkan beberapa hak istimewanya dan keputusannya kepada orang lain dan menerima peran baru sebagai pasien. Ia harus mengikuti aturan atau nasehat dari tenaga profesional yang merawatnya dengan harapan agar cepat sembuh. Oleh karena itu, terjadi respon dari keluarga dan pasien terhadap perubahan peran tersebut. 6) Tahap adaptasi terhadap penyakit dan pemulihan 1 9 Adanya suatu penyakit yang serius dan kronis pada diri seorang anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada sistem keluarga, khususnya pada sektor perannya dan pelaksanaan fungsi keluarga. Untuk mengatasi hal tersebut, pasien/keluarga harus mengadakan penyesuaian atau adaptasi. Besarnya daya adaptasi yang diperlukan dipengaruhi oleh keseriusan penyakitnya dan sentralitas pasien dalam unit keluarga. Apabila keadaan serius (sangat tidak mampu/semakin buruk) atau pasien tersebut orang penting dalam keluarga, pengaruh kondisinya pada keluarga semakin besar. Berdasarkan tingkat sehat sakit tersebut maka peran keluarga terhadap kesehatan sebagai berikut: keluarga sebagai penyebab/sumber penyakit; keluarga sebagai faktor yang mempengaruhi lintasan penyakit seorang anggota masyarakat ketika penyakit tersebut menyerang; keluarga sebagai tempat penyebara penyakit dari satu anggota keluarga keluarga ke anggota keluarga lainnya; keluarga sebagai faktor penentu penggunaan layanan kesehatan; keluarga sebagai faktor penentu sejauh mana anggota keluarga yang sakit atau tidak berdaya beradaptasi dengan keadaannya. 2.1.2.1.4. Fungsi Perawatan Kesehatan Keluarga Fungsi perawatan kesehatan keluarga adalah cara-cara tertentu yang dipunyai keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan dengan baik yaitu kesanggupan untuk melaksanakan pemeliharaan atau tugas kesehatan tertentu (Bailon dan Maglaya, 1978, dalam Friedman, 2002). Tinkham dan Voorhies, (1984), dalam Friedman, (2002), menyatakan 2 0 keluarga merupakan peran penting dalam perawatan karena keluarga menyediakan sumber-sumber yang penting untuk memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan bagi dirinya dan orang lain dalam keluarga. Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Karena pada hakikatnya individu dan keluarga harus mampu mengatasi masalah kesehatan mereka sendiri. Menurut Friedman, (2002), terdapat 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yaitu 1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya Sehat secara optimal merupakan tujuan utama keluarga dalam siklus biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Tetapi keadaan sehat selalu berubah setiap saat sesuai dengan kemampuan individu keluarga tersebut. Sesuai dengan kontinum sehat-sakit tingkat kesehatan selalu bergerak ke kanan dan ke kiri. Jika ke kiri (arah sehat optimal), orang dikatakan sehat atau sebaliknya, jika bergerak ke kanan, orang dikatakan sakit. Perbedaan persepsi keluarga tentang sehat sakit berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya setempat. Perbedaan persepsi tersebut menimbulkan perbedaan dalam cara atau tingkat pemecahan masalah, perbedaan tersebut bergantung pada tingkat pengetahuan, kemauan dan kemampuan individu dan keluarga. Proses mengenal masalah kesehatan berkaitan dengan persepsi, pandangan dan pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga. Semakin tinggi pengetahuan keluarga maka proses mengenal masalah akan lebih cepat dilakukan oleh keluarga. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota 2 1 keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, 2 2 maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya. Ketidaksanggupan keluarga dalam mengenal masalah diungkapkan oleh Bailon dan Maglaya (1978), dalam Friedman, 2002, dapat diakibatkan oleh adanya ketidaktahuan tentang fakta-fakta, rasa takut akan akibat jika masalah diketahui baik secara sosial (cap dari masyarakat, hilangnya penghargaan), ekonomi-ongkos dan fisik/psikologis, sikap dan falsafah hidup. 2) Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat Menurut Bailon dan Maglaya, (1978), dalam Friedman, 2002, bagaimanapun miskin atau tidak berdayanya sebuah keluarga, keluarga tetap mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil keputusan. Perasaan dan pendapat keluarga terhadap masalah mereka dan cara-cara bagaimana mereka sendiri memecahkannya perlu diperhatikan dan diberikan kesempatan. Dalam perawatan pasien sebagai individu, keluarga berperan sebagai pengambil keputusan. Hal ini jelas sekali pada masyarakat timur yaitu bukan hanya anggota keluarga inti saja yang mengambil keputusan, anggota keluarga jauh (misalnya nenek, kakek, paman) juga ikut serta dalam pengambilan keputusan pada keluarga berpenghasilan rendah karena ketidakmampuannya. Jika keluarga mempunyai keterbatasan seyogyanya meminta bantuan orang lain di lingkungan sekitar keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan 2 3 siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk 24 menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Pengambilan keputusan adalah proses pencapaian persetujuan dan komitmen anggota keluarga untuk melakukan serangkaian tindakan atau menjaga status quo. Dengan kata lain, pembuatan keputusan merupakan “alat untuk menyelesaikan segala sesuatu” (Scanzoni dan Szinovacs, 1980 dalam Friedman, 1998). Proses pengambilan keputusan dalam keluarga terdapat beberapa tipe seperti yang dijelaskan berikut ini : (1) Konsensus Merupakan cara yang sehat untuk membuat keputusan. Urutan tindakan tertentu secara bersama disetujui oleh semua yang terlibat. Terdapat tanggung jawab seimbang pada keputusan serta kepuasan oleh anggota keluarga atau rekanan. Keputusan konsensus disetujui sepanjang keputusan dan negosiasi. Karena derajat substansial dari saling ketergantungan dan egalitarianisme di antara anggota keluarga diperlukan serta kemampuan untuk mendiskusikan dan mengatasi masalah, bentuk keputusan ini membuat lebih sulit, kompleks dan tak dapat diperkirakan. (2) Akomodasi Akomodasi adalah selalu suatu perjanjian untuk setuju, untuk menggunakan keputusan umum dalam menghadapi perbedaan yang tidak dapat disatukan (Turner, 1970, dalam Friedman, 1998). 25 Di sini perasaan awal anggota keluarga tentang isu-isu ditentang satu atau lebih anggota keluarga membuat kelonggaran baik diinginkan atau tidak diinginkan. Beberapa anggota menyetujui agar memungkinkan keputusan dicapai. (3) Defacto Defacto adalah pembuatan keputusan yang dibiarkan tanpa perencanaan dimana keputusan dipaksakan oleh kejadian-kejadian pada tak adanya pembuat keputusan yang aktif, volunter atau efektif. Keputusan defacto dapat dibuat bila terjadi perdebatan, tidak ada resolusi dan tidak mampu berdiskusi. Pembuatan keputusan ini terlihat pada adanya disorganisasi, keluarga banyak masalah dan meyakini ketidakberdayaan dalam mengendalikan takdir mereka sendiri. Pembuatan keputusan defacto ini terbatas pada situasional. Dalam keluarga proses pengambilan keputusan erat kaitannya dengan struktur kekuasaan keluarga. Kekuasaan yang dimaksud adalah kemampuan potensial maupun aktual dari seorang individu untuk mengontrol, mempengaruhi, dan mengubah tingkah laku seseorang, atau dapat dipandang sebagai sebuah karakteristik dari sistem keluarga yang berupa kemampuan, baik potensial maupun aktual dari anggota individu untuk mengubah tingkah laku anggota keluarga (Olson dan Romwell, 1975 dalam Friedman, 1998). Kekuasaan merupakan suatu fenomena yang bersifat abstrak, kompleks dan multi dimensional dan tidak dapat diobservasi secara 26 langsung. Oleh karena itu, kekuasaan harus disimpulkan dari tingkah laku yang dapat diobservasi dan/atau laporan pribadi dari anggota keluarga, dilakukan lewat wawancara yang diarahkan kepada tujuan. Pola-pola komunikasi mengungkapkan peran keluarga dimensi kekuasaan. 3) Memberikan perawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. Anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Seringkali keluarga telah mengambil tindakan kesehatan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri. Sehingga perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah jika keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama. Keluarga merawat anggota keluarga yang sakit dilakukan selama anggota keluarga dirawat di institusi pelayanan kesehatan ataupun pada kondisi setelah perawatan. Dalam fase rehabilitasi keluarga dituntut untuk mempertahankan kondisi kesehatan anggota keluarga sehingga anggota keluarga yang sakit dapat tetap mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Suprajitno, (2004), menyampaikan bahwa dalam melakukan perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan penting untuk diketahui pengetahuan keluarga tentang penyakit yang dialami anggota keluarga (sifat, penyebaran, komplikasi, kemungkinan setelah tindakan dan cara perawatan), pemahaman keluarga tentang perawatan yang perlu dilakukan, pengetahuan 27 keluarga tentang peralatan, cara dan fasilitas untuk merawat anggota keluarga, pengetahuan keluarga tentang sumber yang dimiliki keluarga (keluarga yang mampu dan dapat bertanggung jawab, sumber keuangan/finansial, fasilitas fisik, dukungan psikososial) dan bagaimana sikap keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit dan membutuhkan bantuan. Kemampuan merawat anggota keluarga yang sakit dapat terhambat jika keluarga tidak mengetahui keadaan penyakit (sifat, penyebaran, komplikasi, prognosa, dan perawatannya), tidak mengetahui tentang sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan, tidak adanya fasilitas yang diperlukan untuk perawatan, kurang pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan prosedur perawatan/pengobatan, ketidakseimbangan sumber-sumber yang ada pada keluarga untuk perawatan (anggota keluarga yang bertanggung jawab, sumber keuangan/finansial dan fasilitas fisik), sikap negatif terhadap yang sakit, adanya konflik individu, sikap/pandangan hidup dan perilaku mementingkan diri sendiri, Bailon & Maglaya, (1978), dalam Friedman, (2002). 4) Memodifikasi lingkungan rumah Lingkungan sehat pada hakikatnya dalah suatu kondisi atau keadaan lingkunga yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula (Notoatmojo, 2010). Dalam hal memiliki anggota keluarga yang sakit, keluarga harus mampu untuk mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. 28 Kondisi lingkungan yang harus diperhatikan secara fisik adalah pentingnya hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya pencegahan penyakit yang dilakukan keluarga, upaya pemeliharaan lingkungan yang dilakukan keluarga, kekompakan anggota keluarga dalam menata lingkungan dalam dan luar rumah yang berdampak terhadap kesehatan keluarga. Selain hal di atas, perlu juga diperhatikan lingkungan psikologis yang dapat mendukung terhadap peningkatan kesehatan anggota keluarga. Keluarga harus mampu untuk memahami proses tumbuh kembang individu keluarga yang sakit karena lingkungan psikologis yang diberikan akan berbeda. Pengasuhan balita di keluarga yang mengalami sakit tentu akan berbeda dengan pengasuhan lansia. Dalam memodifikasi lingkungan rumah, Suprajitno, (2004), menyampaikan bahwa penting bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan tentang sumber yang dimiliki oleh keluarga di sekitar lingkungan rumah, kemampuan keluarga melihat keuntungan dan manfaat pemeliharaan lingkungan, pengetahuan keluarga tentang pentingnya dan sikap keluarga terhadap sanitasi lingkungan yang hygienis sesuai syarat kesehatan, pengetahuan keluarga tentang upaya pencegahan penyakit yang dapat dilakukan keluarga, dan kebersamaan anggota keluarga untuk meningkatkan dan memelihara lingkungan rumah yang menunjang kesehatan keluarga. Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan dapat mengalami hambatan dikarenakan sumber-sumber keluarga tak seimbang/tidak cukup (keuangan, tanggung jawab/wewenang anggota keluarga, dan fisik (isi rumah 29 tidak teratur), sempit/berjejal, kurang dapat melihat keuntungan/manfaat pemeliharaan lingkungan dimasa yang akan datang, adanya konflik persona/psikologis (krisis identitas: ketidaktepatan peranan, rasa iri dan merasa bersalah/tersiksa), ketidaktahuan tentang usaha pencegahan penyakit, sikap/pandangan hidup dan ketidakkompakkan keluarga (sifat mementingkan diri sendiri, tidak ada kesepakatan dan acuh terhadap anggota keluarga yang mengalami krisis (Bailon & Maglaya, 1978, dalam Friedman 2002). 5) Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada Faktor utama lainnya yang teridentifikasi sebagai praktik yang mempengaruhi kesehatan adalah keyakinan kesehatan individu dan keluarga tentang pencarian perawatan dan tindakan kesehatan. Pencarian perawatan dan tindakan kesehatan ini berkaitan dengan perilaku pencarian penyembuhan (health seeking behaviour) yaitu bagaimana orang sakit memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Perilaku ini melewati beberapa tahapan yaitu mengenali gejala penyakit dengan menggunakan caranya sendiri, melakukan penyembuhan atau pengobatan sendiri sesuai dengan pengetahuan, keyakinan atau kepercayaannya, melakukan upaya memperoleh kesembuhan dan pemulihan dari luar, sesuai dengan pemahaman dan persepsi terhadap penyakitnya tersebut (Notoatmodjo, 2010). Pelayanan kesehatan sebagai tempat pencarian penyembuhan atau pengobatan seharusnya dilakukan sesuai dengan urutan di bawah ini : 30 (1) Pelayanan kesehatan primer, bentuknya puskesmas, dokter praktek, bidan atau mantri praktek. Apabila pelayanan kesehatan primer ini tidak berhasil menanganinya, maka baru mencari pelayanan kesehatan rujukan (2) Pelayanan kesehatan rujukan tingkat pertama (rumah sakit tipe D/C). Bagi masyarakat pedesaan, dimana bidan praktek atau mantri praktek, maka dokter praktek atau puskesmas merupakan pelayanan kesehatan rujukan tingkat pertama. (3) Pelayanan kesehatan rujukan tingkat dua (rumah sakit tipe B atau A) adalah pelayanan kesehatan rujukan yang mempunyai sarana prasarana lengkap, serta mempunyai tenaga medis maupun para medis yang lebih ahli. Bagi masyarakat pedesaan dimana kesehatan primer yang digunakan bidan atau mantri praktek maka rumah sakit kabupaten tipe C sudah merupakan pelayanan rujukan kesehatan yang paling tinggi. Sebaliknya bagi golongan orang mampu utamanya di kota besar, maka pelayanan rujukan yang digunakan adalah rumah sakit internasional, baik yang ada di Jakarta, maupun luar negeri. Dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, keluarga harus mempunyai pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau, pemahaman keluarga tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari fasilitas kesehatan, tingkat kepercayaan keluarga terhadap fasilitas dan petugas kesehatan yang dilayani, pengalaman yang kurang menyenangkan tentang fasilitas dan petugas kesehatan yang melayani dan keterjangkauan keluarga terhadap fasilitas kesehatan dan bila tidak dapat apa penyebabnya. 31 Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada ini dapat mengalami hambatan jika keluarga tidak tahu atau tidak sadar bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan itu ada, tidak memahami keuntungan -keuntungan yang diperoleh dari fasilitas kesehatan, kurang percaya terhadap petugas kesehatan dan fasilitas kesehatan, adanya pengalaman yang kurang baik dari petugas kesehatan, rasa takut akibat dari tindakan terhadap fisik/psikologis, keuangan dan sosial, tidak terjangkaunya fasilitas kesehatan dikarenakan ongkos, fisik dan lokasi, tidak adanya fasilitas kesehatan yang diperlukan, tidak ada atau kurangnya sumber daya keluarga, rasa asing atau tidak adanya dukugan dari masyarakat dan sikap/filsafat hidup ( Bailon, Maglaya, 1978, dalam Friedman, 2002). 2.1.2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga dengan stroke Menurut Friedman (2002), mengemukakan bahwa proses keperawatan pada pasien stroke terdiri dari : 2.1.2.2.1. Pengkajian; Pengkajian merupakan tahapan paling awal dari pemberian asuhan keperawatan keluarga, agar diperoleh data pengkajian yang akurat dan sesuai dengan keadaan keluarga, berikut langkah-langkah yang harus dilakukan: 1) Menciptakan hubungan yang baik dengan keluarga. Guna mencapai hubungan yang berkualitas antara perawat dan keluarga, maka harus mampu menerapkan komunikasi terapeutik dengan memperhatikan halhal dibawah ini: (1) Perkenalkan diri dengan ramah dan sopan 32 (2) Jelaskan tujuan kunjungan saat itu (3) Yakinkan keluarga bahwa kehadiran perawat adalah untuk membantu keluarga menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di keluarga. (4) Jelaskan batasan kesanggupan perawat yang dapat dilakukan (5) Jelaskan kepada keluarga siapa saja tim kesehatan yang menjadi tim kerja perawat. 2) Melakukan pengkajian awal. Pada tahap ini pengkajian terfokus pada data yang diperoleh pada waktu awal yang dapat berupa informasi kesehatan klien dari unit pelayanan kesehatan dan data dasar lainnya. 3) Pengkajian lanjutan (tahap kedua). Pengkajian lanjutan dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap sesuai masalah kesehatan keluarga yang berorientasi pada pengkajian awal. Kaji secara rinci hal-hal yang dapat mengungkap masalah keluarga hingga penyebab timbulnya masalah. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk pengambilan data keluarga, diantaranya: wawancara, observasi lingkungan rumah, dan pemeriksaan fisik pada seluruh anggota keluarga. Menurut Friedman (1998), data-data yang perlu dikaji dalam keluarga yaitu data umum keluarga dan anggota keluarga meliputi; nama, pekerjaan, pendidikan kepala keluarga, komposisi keluarga, tipe keluarga, agama, suku bangsa, kebiasaan sehari-hari keluarga, dan aktifitas keluarga; riwayat dan tahap perkembangan keluarga meliputi tahap perkembangan tertinggi yang saat ini dicapai oleh keluarga, dan riwayat keluarga sebelumnya; lingkungan meliputi 33 karakteristik rumah, karakteristik tetangga dan komunitas RW, mobilitas geografis keluarga, perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat dan sistem pendukung keluarga, struktur keluarga meliputi : pola komunikasi keluarga, struktur kekuatan keluarga, struktur peran, dan nilai atau norma keluarga; fungsi keluarga meliputi fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi perawatan keluarga; stres koping keluarga meliputi stresor jangka pendek dan panjang, kemampuan keluarga berespon terhadap situasi/stressor, strategi koping yang digunakan, strategi adaptasi disfungsional, Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga dan harapan keluarga. Pengkajian pada anggota keluarga dengan pasca stroke memfokuskan pada kerusakan fungsi pada aktivitas sehari-hari pasien karena kualitas hidup setelah stroke sangat berkaitan dengan status fungsi pasien. 2.1.2.2.2. Diagnosa Keperawatan keluarga Diagnosa Keperawatan pada dasarnya adalah pernyataan tentang faktorfaktor yang mempertahankan respon/tanggapan yang tidak sehat dan menghalangi perubahan yang diharapkan. Penegakkan diagnosa keperawatan keluarga, ditetapkan berdasarkan faktor resiko dan faktor potensial terjadinya penyakit atau masalah kesehatan keluarga, serta mempertimbangkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya. Rumusan PES ( Problem, Etiologi dan Sign) tetap digunakan dalam menegakkan diagnosa keperawatan keluarga. Berdasarkan data pengkajian, diagonis keperawatan utama pasien stroke meliputi hal berikut : 1) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan ketidakmampuan 34 keluarga merawat anggota keluarga dengan masalah kerusakan mobilitas fisik. 2) Nyeri ( bahu nyeri) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan hemiplagia dan disuse; 3) Kurang perawatan diri (higiene, toileting, berpindah, makan) berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan masalah kurang perawatan diri akibat gejala sisa stroke; 4) Inkontinensia urin dan fecal berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan masalah kandung kemih flaksid, ketidakstabilan detrusor, kesulitan dalam berkomunikasi; 5) Perubahan proses berpikir berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kerusakan otak, konfusi, ketidak mampuan untuk mengikuti instruksi; 6) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga akibat kerusakan otak; 7) Risiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga masalah kerusakan integritas kulit akibat hemiparesis/hemiplegia, penurunan mobilitas; 8) Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga mengambil keputusan untuk mengatasi masalah penyakit berat dan beban pemberian perawatan. 35 2.1.2.2.3. Perencanaan Dalam penyusunan rencana keperawatan perlu dirumuskan tujuan keperawatan baik tujuan jangka panjang (umum) dan tujuan jangka pendeknya (khusus) serta rencana tindakannya. Persiapan yang dilakukan meliputi persiapan keluarga dengan seluruh anggotanya, persiapan lingkungan termasuk persiapan alat, bahan dan sumber daya yang lain yang diperlukan. Perencanaan dibuat sejelas mungkin untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pemberian tindakan. Perencanaan disusun bersama keluarga, melibatkan seluruh anggota keluarga, memfasilitasi keluarga untuk membuat pilihan jenis intervensi keperawatan dan meyakinkan bagaimana intervensi akan dilaksanakan. Jika keluarga tidak mampu membuat pilihan, maka perawat berperan membantu keluarga mengidentifikasi alternatif, memahami konsekuensi dan membuat keputusan yang dapat diterima oleh semua anggota keluarga. 2.1.2.2.4. Implementasi Menurut Friedman, (1998), pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah direncanakan dengan menerapkan teknik komunikasi terapeutik. Dalam pelaksanakan tindakan perlu melibatkan seluruh anggota keluarga dan selama tindakan perawat perlu memantau respon verbal dan non verbal keluarga. Tindakan keperawatan keluarga mencakup beberapa langkah yang meliputi: menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah dan kebutuhan kesehatan, menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat, memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit, membantu keluarga untuk menemukan cara bagaimana membuat 36 lingkungan menjadi sehat, menemukan sumber-sumber yang dapat digunakan keluarga, melakukan perubahan lingkungan keluarga seoptimal mungkin, dan memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada. Selama melakukan tindakan tetap mengumpulkan data baru, seperti respon klien, perubahan-perubahan situasi, pada keadaan ini perawat harus fleksibel dalam menerapkan tindakan. Beberapa kendala dalam implementasi adalah ide yang tidak mungkin, label negatif terhadap keluarga, kurang perhatian terhadap kekuatan dan sumber-sumber yang dimiliki keluarga serta penyalahgunaan budaya atau gender. Sasaran utama pasien dan keluarga meliputi perbaikan mobilitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri, mendapatkan kontrol kandung kemih, perbaikan proses pikir, pencapaian beberapa bentuk kominikasi, pemeliharaan integritas kulit, perbaiakan fungsi keluarga, dan tidak adanya komplikasi. 1) Memperbaiki mobilitas dan mencegah deformitas; Pasien hemiplegia mengalami paralisis unilateral (paralisis pada satu sisi). Ketika kontrol otot volunter hilang, otot fleksor yang kuat melakukan kontrol terhadap ekstensor. Lengan cenderung adduksi (otot adduktor lebih kuat dari pada abduktor) dan rotasi internal. Siku dan pergelangan tangan cenderung fleksi, kaki yang sakit cenderung rotasi eksternal pada sendi panggul dan fleksi pada lutut, dan kaki pada sendi pergelangan kaki supinasi dan cenderung ke arah fleksi plantar. 37 (1) Pemberian posisi; Pemberian posisi yang benar penting untuk mencegah kontraktur, tindakan dilakukan untuk meredakan tekanan, membantu mempertahankan kesejajaran tubuh yang baik, dan mencegah neuropati kompresif, khususnya terdapat syaraf ulnar dan peronal. (2) Posisi tidur yang tepat; Papan tempat tidur di bawah matras memberi sokongan kuat untuk tubuh. Pasien harus tetap datar di tempat tidur kecuali ketika melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Mempertahankan posisi tegak di tempat tidur selama periode lama memperberat deformitas fleksi panggul dan pembentukan dekubitus di sakrum. (3) P a p a n k a k i Papan kaki dapat digunakan sesuai interval selama periode flaksid setelah stroke untuk mempertahankan kaki pada sudut yang benar terhadap tungkai ketika pasien posisi terlentang (dorsal). Hal ini mencegah footdrof dan korda tumit menjadi pendek akibat kontraktur otot gastroknemius. Sepatu karet tinggi juga dapat digunakan untuk tujuan ini, tetapi harus diperhatikan untuk menghindari tekanan pada tumit dan pergelangan kaki. (4) Mencegah adduksi bahu; Untuk mencegah adduksi bahu yang sakit, satu bantal ditempatkan di aksila ketika terdapat keterbatasan rotasi eksternal, hal ini mempertahankan lengan menjauh dari dada. Satu bantal ditempatkan di bawah lengan, dan lengan ini ditempatkan dalam posisi netral (agak 38 fleksi), dengan sendi distal diposisikan lebih tinggi dari pada sendi proksimal. Sehingga, siku lebih tinggi dari pada bahu dan pergelangan tangan lebih tinggi dari siku. Hal ini membantu mencegah edema dan fibrosis yang akan mencegah rentang gerak normal bila pasien telah dapat melakukan kontrol lengan. (5) Mencegah rotasi panggul Roll trokhanter yang direntangkan dari krista ilium sampai paha tengah digunakan untuk mencegah rotasi eksternal, karena gerakan ini berasal dari pangkal dan kantung sendi panggul. Lutut tidak mengalami fungsi rotasi ini. Roll trokhanter bertindak sebagai baji mekanis di bawah projeksi trokhanter mayor dan mencegah femur berguling. (6) Posisi tangan dan jari. Jari- jari diposisikan sehingga mengalami sedikit fleksi. Tangan ditempatkan agak supinasi (telapak tangan menghadap ke atas), yang adalah posisi paling fungsional. Bila ekstremitas atas flaksid, bebat volar resting dapat digunakan untuk menyokong pergelangan tangan dan tangan dalam posisi fungsional. Bila ekstremitas atas spastik, roll tangan tidak digunakan karena merangsang refleks menggenggam. Pada keadaan ini bebat pergelangan tangan dorsal bermanfaat dalam memungkinkan telapak tangan bebas dari tekanan. Setiap upaya yang dilakukan untuk mencegah edema tangan. 39 (7) Mengubah posisi Posisi pasien harus dirubah tiap 2 jam. Untuk menempatkan pasien pada posisi lateral atau miring, satu bantal ditempatkan di antara kaki sebelum pasien dibalik. Paha atas tidak boleh di fleksikan secara tiba-tiba. Pasien dapat diubah posisinya dari sisi ke sisi lain, tetapi jumlah waktu yang digunakan pada sisi yang sakit harus dibatasi karena adanya kerusakan sensasi. Berbaring pada sisi yang sakit, dianggap meningkatkan kesadaran pasien terhadap sisi tersebut dan memungkinkan penggunaan tangan yang tidak sakit. Posisi lateral (miring). Bila mungkin, pasien ditempatkan pada posisi telungkup selama 15 sampai 30 menit beberapa kali sehari. Satu bantal atau penyokong ditempatkan di bawah pelvis, yang direntangkan dari setinggi umbilikus sampai sepertiga atas paha. Hal ini membantu meningkatkan hiperekstensi sendi panggul, yang esensial untuk berjalan normal dan membantu mencegah kontraktur fleksi lutut dan panggul. Posisi telungkup juga membantu mengalirkan sekresi bronkial dan mencegah deformitas kontraktur bahu dan lutut. Selama pemberian posisi ini penting untuk mengurangi tekanan dan mengubah posisi dengan sering untuk mencegah pembentukan dekubitus. (8) L a t i h a n ; Ekstremitas yang sakit dilatih secara pasif dan berikan rentang gerak penuh empat atau lima kali sehari, untuk mempertahankan mobilitas sendi, mengembalikan kontrol motorik, mencegah terjadinya kontraktur 40 pada ekstremitas yang mengalami paralisis, mencegah bertambah buruknya sistem neuromuskuler dan meningkatkan sirkulasi. latihan menolong dalam mencegah terjadinya statis vena, yang dapat mengakibatkan adanya trombus dan emboli paru.. Pasien diobservasi untuk tanda dan gejala yang dapat mengidentifikasi emboli paru atau kelebihan beban kerja jantung selama latihan, hal ini meliputi napas pendek, nyei dada, sianosis, dan peningkatan frekuensi nadi selama periode latihan. Latihan periode singkat dan sering selalu lebih disukai dari pada periode lama dan interval jarang. Regularitas dalam latihan paling penting. Perbaikan kekuatan otot dan pemeliharaan rentang gerak dapat dicapai hanya melalui latihan harian. (9) Menyiapkan ambulasi. Pasien sesegera mungkin dibantu turun dari tempat tidur. Biasanya, bila hemiplegia akibat trombus, aktivitas program rehabilitasi dimulai segera saat pasien kembali sadar, pasien yang mengalami hemoragi serebral tidak dapat berpatisipasi aktif sampai seluruh hemoragi hilang. Pertama-tama, ajarkan pasien untuk mempertahankan keseimbangan pada saat duduk dan belajar untuk keseimbangan pada saat berdiri. Jika pasien mempunyai kesulitan dalam melakukan keseimbangan saat berdiri, tilt table dapat digunakan untuk menyokong perlahan-lahan sampai pada posisi yang benar. Tilt table merupakan alat bantuan khusus 41 untuk pasien yang tirah baring dalam periode yang lama dan mengalami perubahan tekanan darah ortostatik. Jika pasien membutuhkan kursi roda, tipe-tipe pegangan menggunakan rem tangan merupakan bagian terpenting untuk dilatih karena hal ini membantu pasien untuk menguasai kursi tersebut. Kursi harus cukup rendah untuk mempermudah pasien saat menggerakkannya dengan tidak melibatkan kaki dan cukup baik untuk digunakan di rumah. Jika pasien dipindahkan dari kursi roda pegangan di tempatkan pada kedua sisi kursi. Pasien selalu siap untuk berjalan segera setelah keseimbangan berdiri dicapai. Pegangan paralel digunakan dalam usaha pertama ini. Kursi atau kursi roda harus siap tersedia jika pasien tiba-tiba menjadi lelah dan merasa pusing. Periode latihan ambulasi harus singkat dan sering. Saat pasien memperoleh kekuatan dan kepercayaan diri, tongkat yang dapat diatur dapat digunakan untuk penyokong. Umumnya tiga atau empat kali ganti tongkat akan memberikan dudkungan yang stabil, pada fase-fase awal program latihan. 2) Mencegah nyeri bahu. Diatas 70% pasien stroke mengalami nyeri berat pada bahu yang menghalangi mereka melakukan aktivitas, karena fungsi bahu memberikan keseimbangan dan melakukan berpindah tempat serta aktivitas perawatan diri. 42 Tiga masalah yang dapat terjadi: nyeri bahu, subluksasio bahu, sindrom tangan-bahu. Sendi bahu yang flaksid dapat diregangkan maksimal oleh penggunaan kekuatan berlebihan pada saat membalik pasien atau karena peregangan berlebihan pada lengan dan gerakan bahu. Untuk mencegah nyeri bahu, perawat tidak boleh mengangkat pasien pada bahunya yang flaksid atau menarik lengan atau bahu yang sakit. Masalah-masalah ini dapat dicegah dengan menggerakkan dan memberi posisi yang benar. Lengan yang flaksid diletakkan di atas meja atau bantal sementara pasien duduk. Beberapa dokter menganjurkan menggunakan sling saat pertama kali menggerakkan ekstremitas untuk mencegah paralisis ekstremitas karena terjuntai saat digerakkan. Latihan rentang gerak penting dalam mencegah nyeri bahu. Hindari gerakan-gerakan yang berat. Instruksikan pasien membuat gerakan menjalin pada jari-jari menempatkan telapak tangan bersama-sama dan dorong perlahan-lahan ke depan dengan mengenggam tangan ke arah bagian depan skapula, mengankat kedua tangan ke atas kepala. Kegiatan ini diulang seluruhnya setiap hari. Pasien diinstruksikan melakukan fleksi pergelangan tangan pada tangan yang terpengaruh dan mengerakkan seluruh sendi-sendi pada jari-jari. Anjurkan mereka untuk melakukan gerakan menyentuh, menggosok, dan memukul lihat gerakan kedua tangan. Tumit mendorong tangan ke arah bawah dengan kuat. Peninggian lengan dan tangan adalah penting untuk mencegah edema pada tangan. Pasien dengan nyeri terus menerus setelah gerakan dan perubahan posisi diberi pengobatan analgetik. 43 3)Mencapai kemampuan perawatan diri. Segerah setelah pasien dapat duduk, lakukan aktivitas kebersihan diri. Pasien dibantu untuk merencanakan tujuan yang realistis dan jika mungkin kegiatan baru ditambah setiap hari. Tahap pertama adalah mengikutsertakan sisi yang sakit dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seperti menyisir rambut, menggosok gigi, mencukur dengan alat cukur listrik, mandi dan makan dengan satu tangan dan perawatan diri yang sesuai. Perawat harus meyakinkan bahwa pasien tidak mengabaikan sisi yang sakit. Alat bantu akan membantu pasien melakukan aktivitas pada bagian defisit pasien. handuk kecil lebih mudah dikontrol saat mengeringkan tubuh setelah mandi, dan tisu kertas dalam kotak lebih mudah digunakan daripada tisu gulungan. . Pakaian dipakaikan pada sisi yang sakit sesuai dengan bentuk pakaian. Dengan menggunakan cermin besar sambil berpakaian dapat menolong pasien sadar akan apa yang dipakainya pada bagian tubuh yang sakit. Setiap pakaian dipakaikan pada sisi yan sakit lebih dulu. Pasien harus membuat banyak gerakan kompensasi ketika berpakaian yang dapat menimbulkan keletihan dan puntiran yang nyeri dari otot interkostal. Dukungan dan dorongan diberikan untuk mencegah pasien menjadi sangat letih dan menolak. 4)Mendapatkan kontrol kandung kemih; Kebanyakan pasien stoke mengalami masalah kandung kemih pada tahap awal, tetapi kontrol kandung kemih biasanya cepat pulih. Pola berkemih dianalisis dengan penggunaan urinal dan badpan diberikan pada pola ini atau 44 terjadwal. Posisi tubuh tegak lurus dan berdiri membantu pasien wanita selama rehabilitasi. 5) Memperbaiki proses berpikir; Setelah stroke pasien mengalami masalah kognitif, perilaku, dan penurunan emosi akibat kerusakan otak. Pada beberapa kejadian, kadangkadang derajat fungsi yang penting dapat kembali pulih karena tidak semua daerah otak rusak bersama-sama, beberapa yang tersisa lebih utuh dan berfungsi dari pada yang lain. Setelah prosedur pengkajian yang menggambarkan dan menunjukkan masalah-masalah pasien, bila memungkinkan ahli neuropsikologi berinteraksi dengan dokter primer, pskiatri, perawat dan profesional lainnya, membentuk program latihan yang menggunakan latihan kembali persepsi-kognitif, kesan penglihatan, orientasi realitas dan prosedur yang memberi petunjuk untuk mengompensasi kehilangan. Peran perawat bersifat suportif. Perawat memeriksa hasil pemeriksaan neuropsikologik, catatan, dan bentuk observasi pasien kemudian meberikan umpan balik positif dan lebih penting lagi, menyampaikan sikap percaya dan berpengharapan. Intervensi dengan menggunakan kekuatan dan kemampuan pasien yang ada sambil beruasaha untuk meningkatkan kinerja fungsi dari bagian yang sakit. 6) Mencapai komunikasi; Afasia merusak kemampuan pasien untuk berkomunikasi, baik dalam memahami apa yang dikatakan dan dalam kemampuan mengekspresikan diri 45 sendiri. Ahli terapi wicara-bahasa mengkaji komunikasi, kebutuhan pasien stroke, gambaran penurunan dengan tepat. Banyak terdapat strategi intervensi bahasa untuk orang afasia dewasa, dan program ini diterima secara indiviual. Sasarannya ditetapkan bersama saat pasien diperkirakan mengambil bagian secara aktif. Intervensi keperawatan mencakup melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk membuat lingkungan konduktif dalam berkomunikasi. Hal ini meliputi sensitif terhadap reaksi dan kebutuhan pasien dan berespons terhadap mereka dalam cara yang tepat, selalu memperlakukan pasien sebagai orang dewasa. Perawat memberikan dukungan moral yang kuat dan memahami pasien yang cemas. Jadwal yang konsisten, rutin, dan berulang-ulang dapat menolong pasien berfungsi meskipun dalam keadaan defisit bermakna. Catatan tertulis mengenai jadwal sehari-hari, berkas informasi pribadi (tanggal lahir, alamat, nama kerabat), daftar periksa, dan daftar audio tape menolong ingatan dan konsentrasi pasien. benda-benda yang dikenal, yang ada di sekitarnya dan foto akan menentramkan hati. 7) Mempertahankan integritas kulit Pasien stroke mempunyai risiko terhadap kerusakan kulit dan jaringan karena perubahan sensasi dan ketidak mampuan berespons terhadap tekanan dan ketidak mampuan bergerak. Dengan demikian pencegahan kerusakan jaringan dan kulit membutuhkan pengkajian yang sering pada kulit, dengan penekanan khusus pada area penonjolan dan bagian tubuh yang dependen. Selama fase akut tempat tidur khusus (misalnya tempat tidur beraliran udarah 46 rendah) dapat digunakan sampai pasien mampu bergerak mandiri atau dibantu dalam bergerak. Jadwal mengubah posisi dan membalik tubuh secara teratur harus diikuti dengan meminimalkan tekanan dan mencegah kerusakan kulit. Alat penghilang tekanan dapat dipakai tetapi mungkin tidak digunakan pada aktivitas membalik tubuh (sedikitnya setiap 2 jam) harus ditaati meskipun alat pereda tekanan digunakan untuk mencegah kerusakan kulit dan jaringan. Ketika pasien diposisikan atau dibalik, harus hati-hati untuk meminimalkan gesekan dan friksi, yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan mencetuskan kerusakan kulit pasien. 8) Meningkatkan koping keluarga melalui penyuluhan kesehatan Anggota keluarga pasien penting memainkan peran dalam penyembuhan pasien. beberapa cara konseling dan sistem pendukung harus tersedia bagi mereka untuk mencegah penggunaan yang bermakna pada kesehatan mereka dan mempengaruhi gaya hidup mereka secara radikal. Jeda perawatan jangka pendek terencana untuk memudahkan beban keluarga dalam memberikan perawatan 24 jam terus-menerus. Koping keluarga juga dipermudah dengan melibatkan orang lain dalam perawatan pasien dan mengajarkan teknik manajemen stres dan metode untuk mempertahankan kesehatan pribadi. Keluarga membutuhkan informasi bahwa rehabilitasi hemiplegia membutuhkan bebarapa bulan dan dengan kemajuan yang lambat. Kemajuan yang dibuat oleh pasien selama menghabiskan waktu di rumah sakit atau di unit rehabilitasi stroke harus dipertahankan. Semua pendekatan pada pasien 47 harus dengan sikap mendukung dan optimistik, yang berfokus pada kemampuan yang ada. Tim rehabilitasi, dokter dan tim perawat, pasien dan keluarganya harus terlibat dalam pengembangan tujuan yang dicapai pasien di rumah. 2.1.2.2.5. Evaluasi Sesuai dengan rencana tindakan yang telah diberikan, dilakukan penilaan untuk melihat keberhasilannya. Bila tidak/belum berhasil perlu disusun rencana baru yang sesuai. Semua tindakan keperawatan mungkin tidak dapat dilaksanakan dalam satu kali kunjungan keluarga. Untuk itu dapat dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan waktu dan kesediaan keluarga. Hasil yang diharapkan pada keluarga yaitu terjadi kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan stroke. Menurut PPNI Provinsi Jawa Barat, Kriteria Keluarga Mandiri terdiri dari 3 bagian yaitu : 1) Keluarga mengetahui masalah kesehatan (Keluarga Mandiri I), dengan kriteria (1) Keluarga dapat menyebutkan pengertian stroke, tanda dan gejala dari stroke. (2) Keluarga dapat menyebutkan penyebab dari stroke. (3) Keluarga dapat menyebutkan faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke (4) Keluarga memiliki persepsi yang positif terhadap masalah penyakit stroke 2) Keluarga mau mengambil keputusan untuk mengatasi masalah (Keluarga Mandiri II), dengan kriteria : (5) Masalah anggota keluarga stroke dirasakan oleh keluarga. (6) Keluarga dapat mengungkapkan/menyebutkan akibat dari masalah anggota 48 keluarga tersebut. (7) Keluarga dapat membuat keputusan yang tepat tentang penanganan masalah anggota keluarga stroke. 3) Keluarga mampu merawat anggota keluarga dengan masalah stroke (Keluarga Mandiri III), dengan kriteria : (8) Keluarga terampil melaksanakan perawatan sederhana pada anggota keluarga stroke (preventif, promotif, dan caretive). (9) Keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang mendukung kesehatan pada anggota keluarga stroke (10) Keluarga mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya keluarga dan fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk perawatan anggota keluarga pasca stroke. Untuk kategori keluarga mandiri, simpulan dibuat berdasarkan penjumlahan kriteria di atas, masing-masing kriteria memiliki nilai satu. Pembagian kategori berdasarkan pengelompokkan sebagai berikut : 1) Keluarga Mandiri I (KM I) : jumlah/skornya 1 4 – 2) Keluarga Mandiri II (KM II) : jumlah/skornya 5 7 – 3) Keluarga Mandiri III (KM III) : jumlah/skornya 8 10 – 49 2.1.3. Kajian tentang home care. 2.1.3.1.Pengeritan pelayanan home care Pelayanan home care adalah komponen dari rentang pelayanan kesehatan yang komprehensif yang di dalamnya terdapat pelayanan kesehatan untuk individu dan keluarga di tempat tinggal mereka dengan tujuan meningkatkan, memelihara atau memulihkan kesehatan atau meningkatkan kemandirian, meminimalkan akibat dari ketidakmampuan dan penyakit terminal (Warhola, 1980, Serwen, 1991), Menurut ANA (1992) pelayanan home care adalah perpaduan perawat kesehatan masyarakat dan keterampilan teknis yang terpilih dari perawat spesialis yang terdiri dari kumpulan perawat komunitas, seperti perawat gerontologi, perawat psikiatri, perawat ibu dan anak, perawat kesehatan masyarakat, dan perawat medikal bedah. Ditambahkan oleh Stuart (1998) menjabarkan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian dari proses keperawatan di rumah sakit, yang merupakan kelanjutan dari rencana pemulangan (discharge planning), bagi klien yang sudah waktunya pulang dari rumah sakit. Perawatan di rumah ini biasanya dilakukan oleh perawat dari rumah sakit semula, dilaksanakan oleh perawat komunitas dimana klien berada, atau dilaksanakan oleh tim khusus yang menangani perawatan di rumah. Berdasarkan pengertian di atas peneliti berpendapat bahwa pelayanan home care adalah layanan kesehatan yang dilakukan oleh profesional dengan tujuan membantu memenuhi kebutuhan pasien dalam mengatasi kesehatan yang dilaksanakan oleh tim kesehatan profesional dengan melibatkan anggota keluarga sebagai pendukung di dalam proses dan penyembuhan pasien. 50 2.1.3.2.Peran Perawat home care. Perawat sebagai seorang profesional dalam melakukan pekerjaan di suatu organisasi tidak terlepas dari identitas profesional yang melekat pada pekerjaanya sebagai ciri profesi. Identitas profesional dalam keperawatan menurut Douglas (1992) tergambar pada karakteristik peran tenaga keperawatan. Peran diartikan sebagai perilaku unik dari posisi sesorang yang mereflesikan kelompok personal, sosial atau pekerjaan (Creasia & Parker, 2001). Peran tenaga keperawatan tidak terlepas dari aspek; 1). penerimaan seseorang terhadap peran perawat dan ditunjukkan dalam perilaku, 2). berimplikasi terhadap interaksi sosial dengan orang lain, 3). melibatkan persepsi dan harapan antara kedua orang yang berinteraksi (perawat pasien), 4). bergantung pada norma sosial, nilai, pertimbangan dan perasaan, 5). memberikan kenyamanan dalam lingkup praktik keperawatan yang diberikan, 6). Mungkin menempatkan permintaan individu yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berdasarkan kemampuannya. Menurut warhola, (1998), dalam Depkes, (2002), Peran dan fungsi perawat home care yaitu : 1) Peran sebagai manajer kasus yaitu mengelola dan mengkolaborasikan pelayanan denan fungsi : (1) mengidentifikasi kebutuhan pasien dan keluarga; (2). Menyusun rencana pelayanan; (3) mengkoordinir aktifitas tim; (4). memantau kualitas pelayanan; 2) Peran Pelaksana yaitu memberi pelayanan langsung dan mengevaluasi pelayanan dengan fungsi : (1). melakukan pengkajian komprehensif; (2). menetapkan masalah; (3). menyusun rencana keperawatan; (4). melakukan 51 3) tindakan perawatan; (5). melakukan observasi terhadap kondisi pasien; (6). membantu pasien dalam mengembangkan prilaku koping yang efektif; (7). melibatkan keluarga dalam pelayanan. Menurut Sumijatun, dkk (2006), bahwa Perawat home care terlibat dalam perawatan langsung dan perawatan tidak langsung. Dalam melaksanakan tugasnya, perawat home care menjalankan beberapa macam peran. 1) Perawatan langsung Perawatan yang diberikan mengacu pada aspek fisik yang nyata yang diperoleh melalui interaksi perawat-klien meliputi pengkajian fisik klien, mengganti balutan luka, memberikan injeksi, memasang kateter dan atau memberikan injeksi intravena. Selain itu perawat memberikan pendidikan kesehatan pada klien dan anggota keluarga yang memberikan pelayanan kesehatan (care provider), tentang cara-cara melakukan prosedur tertentu. Perawat dapat membantu klien dan keluarga untuk mengembangkan sikap yang positif. Kemampuan dan kecakapan teknis harus diperlihatkan oleh perawat pelayanan kesehatan rumah sehingga dapat menerima pembayaran jasa yang telah diberikan oleh pihak ketiga. contoh dari pelayanan kesehatan membantu petugas keperawatan untuk meyakinkan mereka tentang objektivitas pelayanan yang diberikan : (1) observasi dan evaluasi keadaan fisik dan emosional; (2) menyediakan perawatan langsung seperti aturan dalam keperawatan, latihan rehabilitasi, pemasangan kateter, irigasi kolostomi dan perawatan luka; (3) membantu klien dan keluarga dalam mengembangkan perilaku yang positif dalam kesehatan; (4) membantu klien dan keluarga untuk 52 memberikan pengobatan jika diperlukan; (5) ajarkan klien dan keluarga untuk menjalankan diet yang dianjurkan dokter, mempertimbangkan masalah budaya, keuangan dan hal yang terkait dengan privasi; (6) laporkan ke dokter jika muncul tanda/gejala baru yang berhubungan dengan status kesehatan klien dan kelanjutan pengobatan yang sedang dijalani; (7) membantu klien dan keluarga untuk mengidentifikasi sumber daya yang akan membantu klien mencapai fungsi kesehatan optimal. 2) Perawatan tidak langsung. Perawatan tidak langsung dilakukan ketika klien tidak mempunyai kontak langsung dengan perawat. Perawatan cenderung pada perawatan tidak langsung lebih ke arah kegiatan konsultasi. Perawat pelayanan kesehatan rumah dihubungi oleh perawat rumah sakit untuk melanjutkan kegiatan yang telah dilakukan klien dan keluarga misalnya dalam hal merawat ostomi. Perawat pelayanan kesehatan rumah berfungsi sebagai tenaga konsultan, nasihat yang diberikan tentang bagaimana cara mengatur klien dengan permasalahan tertentu melalui kerja sama dengan anggota lain dalam tim. Pertemuan tim secara berkala yang memberikan perawatan tidak langsung di pelayanan kesehatan rumah dilakukan secara teratur. Ini merupakan waktu yang ideal untuk meningkatkan kordinasi dan kesinambungan pelayanan perawatan klien dan menggunakan sumber daya secara optimal. Pengawasan terhadap asieten/pembantu perawat kesehatan rumah dilakukan secara tidak langsung, melalui evaluasi yang dilakukan terhadap klien, dilakukan dua minggu sekali. Banyak tindakan keperawatan yang 53 dilakukan di rumah, mungkin tidak secara langsung kelihatan oleh klien, tetapi dapat dinilai melalui kualitas pelayanan kesehatan rumah. Sebagai perawat klinis, pendidik, peneliti, administrator dan konsultan dapat menerapkan ilmu dan pengalaman mereka sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Dikatakan sebagai pendidik karena mereka mengajarkan klien dan kelaurga bagaimana cara melakukan sesuatu dan mengajarkan cara dan tahapan perawatan diri sendiri (self care). Secara formal mereka (para perawat) mengajarkan topik-topik pendidikan kesehatan kepada kelompok masyarakat. Peran peneliti dapat diterapkan pada penelitian untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan di masa mendatang. 2.1.3.3.Standar praktik pelayanan kesehatan rumah Standar praktik merupakan salah satu perangkat yang diperlukan oleh setiap tenaga profesional. Standar praktik keperawatan mengidentifikasi harapan minimal bagi para perawat profesional dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman efektif dan etis (Sumijatun, dkk, 2002). Standar praktik pelayanan kesehatan rumah yang dikembangkan oleh American Nurse Association (1986) yang dikutip oleh Sumijatun, dkk (2002), memperlihatkan hubungan proses keperawatan dengan standar praktik seperti terlihat pada Tabel 2.1, berikut. 54 Tabel 2.1. Hubungan antara proses keperawatan dan standar praktik ANA. (Diadabtasi dari American Nurse Association Standard Of Health Nursing Practice, 1986). Proses Keperawatan Pengkajian Perencanaan Implementasi Evaluasi Standar I. Organisasi Deskripsi Seluruh pelayanan kesehatan rumah direncanakan, diorganisir langsung oleh perawat profesional yang mempunyai pengalaman di kesehatan komunitas dan kepengurusan organisasi pelayanan kesehatan rumah II. Teori Perawat menerapkan konsep teori sebagai dasar pengambilan keputusan III. Pengumpulan Secara berkelanjutan perawat mengumpulkan dan Data mereka data secara menyeluruh, akurat dan sistematis. IV. Diagnosis Perawat menggunakan data pengkajian kesehatan untuk menentukan diagnosis keperawatan V. Perencanaan Perawat mengembangkan rencana keperawatan menetapkan tujuan, rencana keperawatan dibuat berdasarkan diagnosis keperawatan dan meliputi pengobatan yang diperoleh klien, pencegahan dan tindakan keperawatan rehablitasi VI. Intervensi Perawat dipandu oleh rencana keperawatan untuk memberikan kenyamanan, pemulihan, perbaikan, pendidikan kesehatan, mencegah komplikasi, kecacatan akibat efek penyakit dan rehabilitasi.. VII. Evaluasi Secara berkelanjutan perawat mengevaluasi respon klien dan keluarga untuk menentukan kemajuan pencapaian tujuan dan memperbaiki data dasar, diagnosis dan rencana keperawatan VIII. Keperawatan Perawat bertanggungjawab terhadap kenyamanan klien berkelanjutan dan tidak adanya gangguan dalam keperawatan berkelanjutan oleh karena itu gunakan discharge. Rencana pulang, penataan kasus dan koordinasi dengan sumber daya di masyarakat. IX. Kerjasama antar Perawat memulai kerja sama dan memelihara hubungan disiplin dengan semua pelaksana pelayanan kesehatan sehingga mereka (tim) secara bersama-sama berusaha untuk menuju tujuan yang efektif. X. Pengembangan Perawat diasumsian bertanggung jawab untuk profesional pengembangan profesional dan berkonstribusi pada pengembangan profesional. XI. Riset Perawat berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang memberikan konstribusi terhadap pengembangan profesional. XI I. E tika Perawat menggunakan kode etik yang dibentuk oleh 55 ANA sebagai petunjuk untuk pengambilan keputusan etikal dalam praktik. 56 2.1.3.4. Jenis pelayanan kesehatan di rumah Menurut Rice (2001) jenis kasus yang dapat dilayani pada perawatan kesehatan di rumah meliputi kasus-kasus yang umum pasca perawatan di rumah sakit dan kasus-kasus khusus yang dijumpai di komunitas. Kasus umum yang merupakan pasca perawatan di rumah sakit adalah: Klien dengan penyakit gagal jantung; klien dengan gangguan oksigenasi; klien dengan perlukaan kronis; klien dengan diabetes; klien dengan gangguan fungsi perkemihan; klien dengan kondisi pemulihan kesehatan atau rehabilitasi; klien dengan terapi cairan infus di rumah; klien dengan gangguan fungsi persyarafan; klien dengan HIV/AIDS. Sedangkan kasus dengan kondisi khusus meliputi : klien dengan post partum; klien dengan gangguan kesehatan mental; klien dengan kondisi usia lanjut; klien dengan kondisi terminal; dan klien dengan penyakit obstruktif paru kronis. 57 2.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran pengaruh pelayanan home care terhadap tingkat kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga pasca stroke, dimodifikasi dari model asuhan keperawatan keluarga oleh Friedman (2002) seperti terlihat pada gambar 2.2, berikut. Kualitas hidup pasien pasca stroke meningkat Gambar 2.2. Kerangka pemikiran dengan memodifikasi Model Asuhan Keperawatan Keluarga, ( Friedman, 2002) 2.3. Hipotesis Terdapat pengaruh pelayanan home care terhadap tingkat kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga pasca stroke di Kota Samarinda. 58