BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, akan diuraikan konsep yang mendukung penelitian.
Kajian tersebut terdiri atas stroke, Asuhan Keperawatan Keluarga pada anggota
keluarga dengan pasca stroke, dan pelayanan home care.
2.1.1. Kajian tentang stroke
2.1.1.1. Pengertian stroke.
Stroke atau cedera cerebrovaskular adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare,
2002). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/ atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata mata disebabkan
–
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000). Menurut
Price & Wilson (2006) stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang
terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri
otak.
Berdasarkan pengertian di atas peneliti menyimpulkan pengertian stroke
adalah suatu serangan mendadak yang terjadi di otak yang melibatkan pembuluh
darah di otak (tersumbat atau pecah), dan akhirnya bermanifestasi dalam beragam
2
gejala (mulai dari kelumpuhan, bicara pelo, gangguan menelan, dan sebagainya).
2.1.1.2. Etiologi
Berdasarkan etiologi, Feigin (2009) membagi stroke menjadi dua : (1)
stroke hemoragik yaitu suatu gangguan fungsi saraf yang disebabkan kerusakan
pembuluh darah otak sehingga menyebabkan pendarahan pada area tersebut. (2)
stroke non hemoragik yaitu gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh
tersumbatnya pembuluh darah otak sehingga distribusi oksigen dan nutrien ke
area yang mendapat suplai terganggu.
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah
satu empat kejadian yaitu: (1). thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh
darah otak atau leher; (2). embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material
lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain; (3). iskemia yaitu
penurunan aliran darah ke area otak ; (4). hemoragi serebral yaitu pecahnya
pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang
sekitar otak. Akibat dari keempat kejadian di atas maka terjadi penghentian suplai
darah ke otak yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan,
berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke non haemoragik dibagi menjadi
empat, yaitu: (1) TIA (transient ischemik attack) merupakan serangan stroke
sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam; (2) RIND (reversible ischemic
neurologic deficit) merupakan gejala neurologis yang akan menghilang antara >
24 jam sampai dengan 21 hari; (3) progressing stroke atau stroke in evolution
merupakan kelainan atau defisit neurologis yang berlangsung secara bertahap dari
3
yang ringan sampai menjadi berat; (4) complete stroke atau stroke komplit
merupakan kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi
(Junaidi, 2006).
Faktor resiko stroke menurut Sofwan (2010) dibagi menjadi dua yaitu
faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan faktor resiko yang
tidak dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin dan kecenderungan genetik,.
Faktor resiko yang terpenting adalah :
1) Hipertensi ( Tekanan darah tinggi)
Tekanan darah yang meningkat terus secara perlahan akan merusak
dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan mendorong
terbentuknya bekuan darah dan aneurisme, yang pada akhirnya akan
menyebabkan stroke, terutama pada orang berusia di atas 45 tahun.
2) Diabetes melitus (Kencing manis)
Diabetes menyebabkan perubahan pada sistem pembuluh darah, dan
berperan dalam proses ateresklerosis yang pada akhirnya akan menyebabkan
stroke. Pada orang dengan diabetes, darah menjadi lebih kental dan beban
pada dinding pembuluh darah menjadi lebih besar sehingga dikhawatirkan
lebih kental dan beban pada dinding pembuluh darah menjadi lebih besar
sehingga dikhawatirkan lebih muda tersumbat (terutama di pembuluh darah
yang kecil seperti di otak dan jantung)
3) Penyakit jantung
Pada orang yang menderita penyakit jantung (misalnya kelainan pada
4
katup jantung) oleh karena fungsi jantung yang terganggu, akan timbul
embolus/gumpalan darah. Embolus tersebut akan berjalan mengikuti
peredaran hingga keotak, dan menyumbat karena ukuran diameter pembuluh
darah di otak sangat kecil, sehingga terjadilah stroke iskemik (non
haemoragik)..
4) Kegemukan (obesitas)
Berat badan dan indeks massa tubuh berhubungan erat dengan tekanan
darah. Distribusi lemak pada tubuh juga merupakan faktor penting dalam
hubungannya dengan hiprtensi, yang pada akhirnya juga bisa memicu stroke.
5) Kebiasaan merokok
Merokok bukan hanya merupakan faktor risiko stroke, melainkan juga
juga merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dan penyakit-penyakit
lainnya. Seperti diketahui asap rokok mengandung banyak zat kimia seperti
ter, nikotin, karbonmonoksida. Merokok menyebabkan aliran darah di dalam
tubuh menjadi lebih lambat, menyebabkan darah lebih mudah menggumpal,
dan mendorong terjadinya ateresklorosis pada pembuluh darah otak, jantung
dan tungkai.
6) Kebiasaan makan makanan yang mengandung kolesterol tinggi.
Kolesterol berlebih dalam darah, istilah kedokterannya disebut
hiperlipidemia, merupakan faktor risiko tidak langsung dari stroke. Mengapa
disebut demikian? Karena kolesterol yang berlebihan dalam darah ini tidak
langsung menyebabkan stroke, tetapi lebih pada meningkatnya risiko
pembentukan plak ateresklorosis pada pembuluh darah. Seperti diketahui,
5
plak ateresklorosis ini bertanggung jawab pada proses terjadinya stroke
karena sumbatan (stroke iskemik).
6
Faktor resiko terjadinya stroke yang tidak dapat di modifikasi menurut
Mansjoer (2000) adalah: (1). Stroke dapat menyerang siapa saja laki-laki dan
perempuan mulai dari usia anak sampai dewasa. Tidak ada patokan mengenai usia
berapa seseorang rawan terkena stroke, walaupun memang biasanya stroke
menyerang seseorang yang berusia di atas 65 tahun ( stroke pada anak sangat
jarang dan biasanya dihubungkan dengan kelainan bawaaan/kongenital). Sekarang
ini, dengan pola hidup tidak sehat di perkotaan , stroke bahkan dapat menyerang
seseorang yang berusia 30 tahun; (2). Stroke dapat disebabkan oleh faktor
keturunan karena faktor-faktor risiko terjadinya stroke seperti hipertensi dan
kencing manis umunya menurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya dan
dalam beberapa penelitian memang ditemukan kaitan keturunan dengan angka
kejadian stroke.
2.1.1.3. Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang
terjadi pada stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan
kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif
total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri
karotis interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau
cedera pada otak melalui empat mekanisme, yaitu : (1). penebalan dinding arteri
serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran darah dan suplainya ke
sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-
7
perubahan iskemik otak; (2). pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan
bocornya darah kejaringan (hemorhage); (3). pembesaran sebuah atau sekelompok
pembuluh darah yang menekan jaringan otak; (4). edema serebri yang merupakan
pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan
pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas
kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak
akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya
yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah
melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada
korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena,
penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole.
Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa
ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif
segala perubahan tekanan darah arteri. Berkurangnya aliran darah serebral sampai
ambang tertentu akan memulai serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi
kerusakan jaringan secara permanen. Patofisiologi berbentuk skema dapat dilihat
pada gambar 2.1, berikut.
8
Perdarahan/Oklusi
Penurunan tekanan perfusi vaskularisasi distal
Iskemik
Edema dan nekrosis jaringan
Pelebaran kontra lateral
9
Perfusi jaringan serebral
Sel mati secara progresif (defisit fungsi otak )
Gambar 2.1. Skema Fatofisiologi Stroke (Sumber : Satyanegara, 1998 dikutip
oleh Wanhari, 2008).
2.1.1.4. Tanda dan gejala
Menurut Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke adalah
kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh,
hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau
kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala
1
0
mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau
mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh,
ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian terhadap kandung
kemih.
2.1.1.5. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan Medis menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi: (1).
diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3
sampai 5 hari setelah infark serebral; (2). antikoagulan untuk mencegah terjadinya
thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskuler; (3).
antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam
pembentukan thrombus dan embolisasi.
2.1.1.6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah: (1). hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi
oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan
oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan
membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan; (2). penurunan aliran
darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan
hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera; (3). embolisme serebral, dapat terjadi
1
1
setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung
prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan
menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung
tidak konsisten dan penghentian trombus lokal, selain itu disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
Menurut Mansjoer (2000) bahwa berbagai komplikasi lanjut stroke akibat
imobilisasi adalah sebagai berikut: (1). ulkus dekubitus merupakan komplikasi
iatrogenik yang dapat dihindari dengan prosedur rehabilitasi yang baik; (2).
kontraktur dan nyeri bahu. Shoulder hand syndrome terjadi pada 27% pasien
stroke; (3). penekanan saraf peroneus dapat menyebabkan drop foot. Selain itu
dapat terjadi kompresi saraf ulnar dan kompresi saraf femoral; (4). osteopenia dan
osteoporosis yaitu berkurangnya densitas mineral pada tulang. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap sinar matahari; (4).
depresi dan efek psikologis lain karena kepribadian penderita atau karena umur
tua. 25% menderita depresi mayor pada fase akut dan 31% menderita depresi pada
3 bulan paska stroke. Depresi harus ditengarai sebagai penyebab pemulihan yang
tidak wajar, tidak kooperatif saat rehabilitasi dan keadaan emosi yang tidak stabil;
(5). Inkontinensia alvi dan konstipasi diakibatkan karena imobilitas dan
kekurangan cairan.
2.1.1.7. Prognosis
Apabila pasien dapat mengatasi serangan stroke recovery, prognosis untuk
kehidupannya baik. Dengan rehabilitasi yang aktif, banyak penderita dapat
berjalan lagi dan mengurus dirinya. Prognosis buruk, bagi penderita yang disertai
1
2
dengan aphasia sensorik. Prognosis trombosis serebri ditentukan oleh lokasi dan
luasnya infark, juga keadaan umum pasien. Makin lambat penyembuhannya
maka akan semakin buruk prognosisnya, pada emboli serebri prognosis juga
ditentukan oleh adanya emboli dalam organ-organ lain, disamping itu penanganan
yang tepat dan cepat serta kerjasama tim kesehatan termasuk dokter, perawat dan
fisioterafis dengan penderita mempengaruhi prognosis dari stroke. Oleh karena
itu, stroke yang ringan dengan penanganan yang tepat sedini mungkin dengan
kerjasama yang baik antara tim kesehatan dan penderita akan menjadikan
prognosis yang baik, sedangkan pada kondisi sebaliknya prognosis akan menjadi
buruk karena dapat menimbulkan kecacatan yang permanen bahkan juga
kematian.(Chusid, 2003)
2.1.2. Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Anggota Keluarga Dengan Stroke
2.1.2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Keluarga
2.1.2.1.1. Pengertian Keluarga.
Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan
perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan
budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan
sosial dari tiap anggota keluarga ( Duval, 1972 dalam Setiadi, 2010 ). Keluarga
adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan
dan adopsi dalam satu rumah tangga yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam
peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya,
1989). Setiadi (2010) menambahkan keluarga adalah bagian dari masyarakat yang
1
3
peranannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dari keluarga
inilah pendidikan kepada individu dimulai dan dari keluarga inilah akan tercipta
tatanan masyarakat yang baik.
Berdasarkan pengertian di atas, peneliti menyimpulkan, keluarga adalah unit
terkecil masyarakat yang terdiri dari 2 orang atau lebih dengan adanya ikatan
perkawinan dan pertalian darah dan hidup dalam satu rumah tangga serta di bawah
asuhan seorang kepala rumah tangga yang mana berinteraksi di antara sesama
anggota keluarga dan setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing
untuk menciptakan dan mempertahankan suatu kebudayaan
2.1.2.1.2. Keluarga sebagai unit pelayanan yang dirawat
Secara empiris disadari bahwa kesehatan para anggota keluarga sudah
ditanggulangi secara insidental, tetapi keluarga belum dilihat sebagai klien dari
keperawatan. Keluarga dalam hal ini tidak dipandang dari jumlah anggotanya,
tetapi kesatuannya yang unik dalam menghadapi masalah, keunikannya terlihat dari
cara berkomunikasi, mengambil keputusan, sikap, nilai, cita- cita, hubungan dengan
masyarakat luas dan gaya hidup yang tidak sama antara satu keluarga dan keluarga
lainnya. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, zaman dan geografis;
keluarga di desa sangat berbeda dengan di kota dalam hal besarnya keluarga,
struktur, nilai dan juga gaya hidupnya.
Pendekatan keperawatan keluarga dapat melalui berbagai teori, yang paling
berkaitan dengan fungsi perawatan kesehatan adalah pendekatan secara teori
struktural fungsional (Friedman, 2002). Teori struktural fungsional dapat
4
menganalisis karakteristik struktural keluarga pengaturan bagian-bagiannya yang
1
1
5
membentuk secara keseluruhan, dan fungsi yang dilakukan baik untuk masyarakat
maupun subsistemnya. Struktur keluarga ini menunjukkan cara pengaturan
keluarga, cara pengaturan unit-unit dan bagaimana unit-unit ini saling
mempengaruhi (Friedman, 2002).
Parad dan Caplan, (1965), dalam Friedman, (2002), menganalisis sebuah
keluarga yang sedang mengalami stres, telah mengidentifikasi tiga dimensi
struktural, yang mereka sebut sebagai gaya hidup keluarga. Gaya hidup keluarga
mengarah kepada permulaan organisasi keluarga yang stabil dan masuk akal yang
dibagi menjadi tiga unsur yang saling bergantung yaitu sistem nilai, jaringan
komunikasi dan sistem peran.
Friedman, (2002), menambahkan tiga dimensi ini dengan struktur keluarga
ke empat yaitu stuktur kekuasaan dan pengambilan keputusan. Struktur keluarga
berfungsi untuk memfasilitasi pencapaian fungsi keluarga, karena penghematan dan
alokasi sumber daya adalah tugas utama struktur keluarga. Karena hubungan yang
penting ini, fungsi harus dipandang berurutan dengan struktur keluarga.
Fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir atau akibat
dari struktur keluarga atau apa yang dikerjakan oleh keluarga. Fungsi dasar
keluarga adalah memenuhi kebutuhan anggota keluarga itu sendiri dan kebutuhan
masyarakat yang lebih luas. Tujuan terpenting adalah menghasilkan anggota baru
(fungsi reproduksi) dan melatih individu tersebut menjadi bagian dari anggota
masyarakat (fungsi sosialisasi) (Kingsburg & Scanzoni, 1993, dalam Friedman,
1
6
2002).
Menurut Friedman (2002), secara umum terdapat lima fungsi keluarga yang
paling erat saat mengkaji dan mengintervensi keluarga yaitu :
1) Fungsi Afektif (the affective function);
Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan
segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan
orang lain.
2) Fungsi Sosial dan tempat bersosialisasi ( socialization and social placement
function);
Fungsi sosial merupakan fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak
untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan
dengan orang lain di luar rumah.
3) Fungsi Perawatan Kesehatan ( the health care function)
Fungsi perawatan kesehatan merupakan fungsi untuk mempertahankan
keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.
Keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan, dan asuhan
kesehatan/keperawatan. Kemampuan keluarga melakukan asuhan keperawatan
atau pemeliharaan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga dan
individu. Melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta
menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental, spiritual dengan
cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali kondisi sakit
1
7
tiap anggota keluarga.
4) Fungsi Reproduksi (the reproductive function)
Fungsi reproduksi merupakan fungsi mempertahankan generasi dan
menjaga kelangsungan keluarga.
5) Fungsi Ekonomi (the economic function)
Fungsi ekonomi merupakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga
secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam
meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2.1.2.1.3. Interaksi antara Sehat/Sakit dan Keluarga
Status sehat /sakit para anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi
satu sama lainnya, keluarga cenderung menjadi reaktor terhadap masalah kesehatan
dan menjadi faktor dalam menentukan masalah kesehatan anggota keluarga.
Menurut Suchulan (1965), Doberty dan Canphell (1988), yang
disederhanakan oleh Friedman (1998), ada 6 (enam) tahap interaksi antara
sehat/sakit dan keluarga :
1) Tahap Pencegahan Sakit dan Penurunan Resiko
Keluarga dapat memainkan peran vital dalam upaya peningkatan
kesehatan dan penurunan resiko, misalnya mengubah gaya hidup kurang sehat
ke arah lebih sehat, misalnya mengatur pola makan dan aktivitas yang teratur
dan sehat.
2) Tahap Gejala Penyakit yang dialami keluarga
Setelah gejala diketahui, diinterpretasikan keparahannya, penyebabnya
1
8
dan urgensinya, beberapa masalah dapat ditentukan. Tidak sedikit masalah
kesehatan yang ditemukan pada keluarga yang kacau atau tertekan.
3) Tahap mencari perawatan
Apabila keluarga telah menyatakan anggota keluarganya sakit dan
membutuhkan pertolongan, setiap orang mulai mencari informasi tentang
penyembuhan, kesehatan dan validitas profesional dari keluarga besar, teman,
tetangga dan nonprofesional lainnya. Setelah informasi terkumpul, keluarga
melakukan perundingan untuk mencari penyembuhan/perawatan klinik, rumah
sakit, di rumah dan lain-lain.
4) Tahap kontak keluarga dengan institusi kesehatan
Setelah keputusan untuk mencari perawatan, dilakukan kontak dengan
institusi kesehatan baik profesional atau nonprofesional sesuai dengan tingkat
kemampuan, misalnya kontak dengan rumah sakit, puskesmas, praktik dokter
swasta, paranormal/dukun dan lain-lain.
5) Tahap respons sakit terhadap keluarga dan pasien
Setelah pasien menerima perawatan kesehatan dari praktisi, tentu ia
menyerahkan beberapa hak istimewanya dan keputusannya kepada orang lain
dan menerima peran baru sebagai pasien. Ia harus mengikuti aturan atau
nasehat dari tenaga profesional yang merawatnya dengan harapan agar cepat
sembuh. Oleh karena itu, terjadi respon dari keluarga dan pasien terhadap
perubahan peran tersebut.
6) Tahap adaptasi terhadap penyakit dan pemulihan
1
9
Adanya suatu penyakit yang serius dan kronis pada diri seorang
anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada sistem
keluarga, khususnya pada sektor perannya dan pelaksanaan fungsi keluarga.
Untuk mengatasi hal tersebut, pasien/keluarga harus mengadakan penyesuaian
atau adaptasi. Besarnya daya adaptasi yang diperlukan dipengaruhi oleh
keseriusan penyakitnya dan sentralitas pasien dalam unit keluarga. Apabila
keadaan serius (sangat tidak mampu/semakin buruk) atau pasien tersebut orang
penting dalam keluarga, pengaruh kondisinya pada keluarga semakin besar.
Berdasarkan tingkat sehat sakit tersebut maka peran keluarga terhadap
kesehatan sebagai berikut: keluarga sebagai penyebab/sumber penyakit;
keluarga sebagai faktor yang mempengaruhi lintasan penyakit seorang anggota
masyarakat ketika penyakit tersebut menyerang; keluarga sebagai tempat
penyebara penyakit dari satu anggota keluarga keluarga ke anggota keluarga
lainnya; keluarga sebagai faktor penentu penggunaan layanan kesehatan;
keluarga sebagai faktor penentu sejauh mana anggota keluarga yang sakit atau
tidak berdaya beradaptasi dengan keadaannya.
2.1.2.1.4. Fungsi Perawatan Kesehatan Keluarga
Fungsi perawatan kesehatan keluarga adalah cara-cara tertentu yang
dipunyai keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan dengan baik yaitu
kesanggupan untuk melaksanakan pemeliharaan atau tugas kesehatan tertentu
(Bailon dan Maglaya, 1978, dalam Friedman, 2002).
Tinkham dan Voorhies, (1984), dalam Friedman, (2002), menyatakan
2
0
keluarga merupakan peran penting dalam perawatan karena keluarga menyediakan
sumber-sumber yang penting untuk memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan
bagi dirinya dan orang lain dalam keluarga.
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di
bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Karena pada hakikatnya
individu dan keluarga harus mampu mengatasi masalah kesehatan mereka sendiri.
Menurut Friedman, (2002), terdapat 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yaitu
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya
Sehat secara optimal merupakan tujuan utama keluarga dalam siklus
biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Tetapi keadaan sehat selalu berubah
setiap saat sesuai dengan kemampuan individu keluarga tersebut. Sesuai dengan
kontinum sehat-sakit tingkat kesehatan selalu bergerak ke kanan dan ke kiri. Jika
ke kiri (arah sehat optimal), orang dikatakan sehat atau sebaliknya, jika bergerak
ke kanan, orang dikatakan sakit.
Perbedaan persepsi keluarga tentang sehat sakit berbeda-beda. Hal
tersebut dipengaruhi oleh budaya setempat. Perbedaan persepsi tersebut
menimbulkan perbedaan dalam cara atau tingkat pemecahan masalah, perbedaan
tersebut bergantung pada tingkat pengetahuan, kemauan dan kemampuan
individu dan keluarga.
Proses mengenal masalah kesehatan berkaitan dengan persepsi,
pandangan dan pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga. Semakin tinggi
pengetahuan keluarga maka proses mengenal masalah akan lebih cepat
dilakukan oleh keluarga.
Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan
yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota
2
1
keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga,
2
2
maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya,
perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya.
Ketidaksanggupan keluarga dalam mengenal masalah diungkapkan oleh
Bailon dan Maglaya (1978), dalam Friedman, 2002, dapat diakibatkan oleh
adanya ketidaktahuan tentang fakta-fakta, rasa takut akan akibat jika masalah
diketahui baik secara sosial (cap dari masyarakat, hilangnya penghargaan),
ekonomi-ongkos dan fisik/psikologis, sikap dan falsafah hidup.
2) Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Menurut Bailon dan Maglaya, (1978), dalam Friedman, 2002,
bagaimanapun miskin atau tidak berdayanya sebuah keluarga, keluarga tetap
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil keputusan. Perasaan dan
pendapat keluarga terhadap masalah mereka dan cara-cara bagaimana mereka
sendiri memecahkannya perlu diperhatikan dan diberikan kesempatan.
Dalam perawatan pasien sebagai individu, keluarga berperan sebagai
pengambil keputusan. Hal ini jelas sekali pada masyarakat timur yaitu bukan
hanya anggota keluarga inti saja yang mengambil keputusan, anggota keluarga
jauh (misalnya nenek, kakek, paman) juga ikut serta dalam pengambilan
keputusan pada keluarga berpenghasilan rendah karena ketidakmampuannya.
Jika keluarga mempunyai keterbatasan seyogyanya meminta bantuan orang lain
di lingkungan sekitar keluarga.
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan
2
3
siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk
24
menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat agar
masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi.
Pengambilan keputusan adalah proses pencapaian persetujuan dan
komitmen anggota keluarga untuk melakukan serangkaian tindakan atau
menjaga status quo. Dengan kata lain, pembuatan keputusan merupakan “alat
untuk menyelesaikan segala sesuatu” (Scanzoni dan Szinovacs, 1980 dalam
Friedman, 1998).
Proses pengambilan keputusan dalam keluarga terdapat beberapa tipe
seperti yang dijelaskan berikut ini :
(1) Konsensus
Merupakan cara yang sehat untuk membuat keputusan. Urutan
tindakan tertentu secara bersama disetujui oleh semua yang terlibat.
Terdapat tanggung jawab seimbang pada keputusan serta kepuasan oleh
anggota keluarga atau rekanan. Keputusan konsensus disetujui sepanjang
keputusan dan negosiasi. Karena derajat substansial dari saling
ketergantungan dan egalitarianisme di antara anggota keluarga diperlukan
serta kemampuan untuk mendiskusikan dan mengatasi masalah, bentuk
keputusan ini membuat lebih sulit, kompleks dan tak dapat diperkirakan.
(2) Akomodasi
Akomodasi adalah selalu suatu perjanjian untuk setuju, untuk
menggunakan keputusan umum dalam menghadapi perbedaan yang tidak
dapat disatukan (Turner, 1970, dalam Friedman, 1998).
25
Di sini perasaan awal anggota keluarga tentang isu-isu ditentang
satu atau lebih anggota keluarga membuat kelonggaran baik diinginkan atau
tidak diinginkan. Beberapa anggota menyetujui agar memungkinkan
keputusan dicapai.
(3) Defacto
Defacto adalah pembuatan keputusan yang dibiarkan tanpa
perencanaan dimana keputusan dipaksakan oleh kejadian-kejadian pada tak
adanya pembuat keputusan yang aktif, volunter atau efektif.
Keputusan defacto dapat dibuat bila terjadi perdebatan, tidak ada
resolusi dan tidak mampu berdiskusi. Pembuatan keputusan ini terlihat pada
adanya
disorganisasi,
keluarga
banyak
masalah
dan
meyakini
ketidakberdayaan dalam mengendalikan takdir mereka sendiri. Pembuatan
keputusan defacto ini terbatas pada situasional.
Dalam keluarga proses pengambilan keputusan erat kaitannya
dengan struktur kekuasaan keluarga. Kekuasaan yang dimaksud adalah
kemampuan potensial maupun aktual dari seorang individu untuk
mengontrol, mempengaruhi, dan mengubah tingkah laku seseorang, atau
dapat dipandang sebagai sebuah karakteristik dari sistem keluarga yang
berupa kemampuan, baik potensial maupun aktual dari anggota individu
untuk mengubah tingkah laku anggota keluarga (Olson dan Romwell, 1975
dalam Friedman, 1998).
Kekuasaan merupakan suatu fenomena yang bersifat abstrak,
kompleks dan multi dimensional dan tidak dapat diobservasi secara
26
langsung. Oleh karena itu, kekuasaan harus disimpulkan dari tingkah laku
yang dapat diobservasi dan/atau laporan pribadi dari anggota keluarga,
dilakukan lewat wawancara yang diarahkan kepada tujuan. Pola-pola
komunikasi mengungkapkan peran keluarga dimensi kekuasaan.
3) Memberikan perawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu
dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.
Anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu
memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah
tidak terjadi. Seringkali keluarga telah mengambil tindakan kesehatan yang tepat
dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh
keluarga sendiri. Sehingga perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan
kesehatan atau di rumah jika keluarga telah memiliki kemampuan melakukan
tindakan untuk pertolongan pertama.
Keluarga merawat anggota keluarga yang sakit dilakukan selama anggota
keluarga dirawat di institusi pelayanan kesehatan ataupun pada kondisi setelah
perawatan. Dalam fase rehabilitasi keluarga dituntut untuk mempertahankan
kondisi kesehatan anggota keluarga sehingga anggota keluarga yang sakit dapat
tetap mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Suprajitno, (2004), menyampaikan bahwa dalam melakukan perawatan
anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan penting untuk diketahui
pengetahuan keluarga tentang penyakit yang dialami anggota keluarga (sifat,
penyebaran, komplikasi, kemungkinan setelah tindakan dan cara perawatan),
pemahaman keluarga tentang perawatan yang perlu dilakukan, pengetahuan
27
keluarga tentang peralatan, cara dan fasilitas untuk merawat anggota keluarga,
pengetahuan keluarga tentang sumber yang dimiliki keluarga (keluarga yang
mampu dan dapat bertanggung jawab, sumber keuangan/finansial, fasilitas fisik,
dukungan psikososial) dan bagaimana sikap keluarga terhadap anggota keluarga
yang sakit dan membutuhkan bantuan.
Kemampuan merawat anggota keluarga yang sakit dapat terhambat jika
keluarga tidak mengetahui keadaan penyakit (sifat, penyebaran, komplikasi,
prognosa, dan perawatannya), tidak mengetahui tentang sifat dan perkembangan
perawatan yang dibutuhkan, tidak adanya fasilitas yang diperlukan untuk
perawatan, kurang pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan prosedur
perawatan/pengobatan, ketidakseimbangan sumber-sumber yang ada pada
keluarga untuk perawatan (anggota keluarga yang bertanggung jawab, sumber
keuangan/finansial dan fasilitas fisik), sikap negatif terhadap yang sakit, adanya
konflik individu, sikap/pandangan hidup dan perilaku mementingkan diri sendiri,
Bailon & Maglaya, (1978), dalam Friedman, (2002).
4) Memodifikasi lingkungan rumah
Lingkungan sehat pada hakikatnya dalah suatu kondisi atau keadaan
lingkunga yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya
status kesehatan yang optimal pula (Notoatmojo, 2010).
Dalam hal memiliki anggota keluarga yang sakit, keluarga harus mampu
untuk mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga.
28
Kondisi lingkungan yang harus diperhatikan secara fisik adalah
pentingnya hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya pencegahan penyakit yang
dilakukan keluarga, upaya pemeliharaan lingkungan yang dilakukan keluarga,
kekompakan anggota keluarga dalam menata lingkungan dalam dan luar rumah
yang berdampak terhadap kesehatan keluarga.
Selain hal di atas, perlu juga diperhatikan lingkungan psikologis yang
dapat mendukung terhadap peningkatan kesehatan anggota keluarga. Keluarga
harus mampu untuk memahami proses tumbuh kembang individu keluarga yang
sakit karena lingkungan psikologis yang diberikan akan berbeda. Pengasuhan
balita di keluarga yang mengalami sakit tentu akan berbeda dengan pengasuhan
lansia.
Dalam
memodifikasi
lingkungan
rumah,
Suprajitno,
(2004),
menyampaikan bahwa penting bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan
tentang sumber yang dimiliki oleh keluarga di sekitar lingkungan rumah,
kemampuan keluarga melihat keuntungan dan manfaat pemeliharaan
lingkungan, pengetahuan keluarga tentang pentingnya dan sikap keluarga
terhadap sanitasi lingkungan yang hygienis sesuai syarat kesehatan, pengetahuan
keluarga tentang upaya pencegahan penyakit yang dapat dilakukan keluarga, dan
kebersamaan anggota keluarga untuk meningkatkan dan memelihara lingkungan
rumah yang menunjang kesehatan keluarga.
Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan dapat mengalami
hambatan dikarenakan sumber-sumber keluarga tak seimbang/tidak cukup
(keuangan, tanggung jawab/wewenang anggota keluarga, dan fisik (isi rumah
29
tidak teratur), sempit/berjejal, kurang dapat melihat keuntungan/manfaat
pemeliharaan lingkungan dimasa yang akan datang, adanya konflik
persona/psikologis (krisis identitas: ketidaktepatan peranan, rasa iri dan merasa
bersalah/tersiksa), ketidaktahuan tentang usaha pencegahan penyakit,
sikap/pandangan hidup dan ketidakkompakkan keluarga (sifat mementingkan
diri sendiri, tidak ada kesepakatan dan acuh terhadap anggota keluarga yang
mengalami krisis (Bailon & Maglaya, 1978, dalam Friedman 2002).
5) Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada
Faktor utama lainnya yang teridentifikasi sebagai praktik yang
mempengaruhi kesehatan adalah keyakinan kesehatan individu dan keluarga
tentang pencarian perawatan dan tindakan kesehatan.
Pencarian perawatan dan tindakan kesehatan ini berkaitan dengan
perilaku pencarian penyembuhan (health seeking behaviour) yaitu bagaimana
orang sakit memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Perilaku ini melewati
beberapa tahapan yaitu mengenali gejala penyakit dengan menggunakan caranya
sendiri, melakukan penyembuhan atau pengobatan sendiri sesuai dengan
pengetahuan, keyakinan atau kepercayaannya, melakukan upaya memperoleh
kesembuhan dan pemulihan dari luar, sesuai dengan pemahaman dan persepsi
terhadap penyakitnya tersebut (Notoatmodjo, 2010).
Pelayanan kesehatan sebagai tempat pencarian penyembuhan atau
pengobatan seharusnya dilakukan sesuai dengan urutan di bawah ini :
30
(1) Pelayanan kesehatan primer, bentuknya puskesmas, dokter praktek, bidan
atau mantri praktek. Apabila pelayanan kesehatan primer ini tidak berhasil
menanganinya, maka baru mencari pelayanan kesehatan rujukan
(2) Pelayanan kesehatan rujukan tingkat pertama (rumah sakit tipe D/C). Bagi
masyarakat pedesaan, dimana bidan praktek atau mantri praktek, maka
dokter praktek atau puskesmas merupakan pelayanan kesehatan rujukan
tingkat pertama.
(3) Pelayanan kesehatan rujukan tingkat dua (rumah sakit tipe B atau A) adalah
pelayanan kesehatan rujukan yang mempunyai sarana prasarana lengkap,
serta mempunyai tenaga medis maupun para medis yang lebih ahli. Bagi
masyarakat pedesaan dimana kesehatan primer yang digunakan bidan atau
mantri praktek maka rumah sakit kabupaten tipe C sudah merupakan
pelayanan rujukan kesehatan yang paling tinggi. Sebaliknya bagi golongan
orang mampu utamanya di kota besar, maka pelayanan rujukan yang
digunakan adalah rumah sakit internasional, baik yang ada di Jakarta,
maupun luar negeri.
Dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, keluarga harus
mempunyai pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat
dijangkau, pemahaman keluarga tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari
fasilitas kesehatan, tingkat kepercayaan keluarga terhadap fasilitas dan petugas
kesehatan yang dilayani, pengalaman yang kurang menyenangkan tentang
fasilitas dan petugas kesehatan yang melayani dan keterjangkauan keluarga
terhadap fasilitas kesehatan dan bila tidak dapat apa penyebabnya.
31
Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada ini dapat mengalami
hambatan jika keluarga tidak tahu atau tidak sadar bahwa fasilitas-fasilitas
kesehatan itu ada, tidak memahami keuntungan -keuntungan yang diperoleh dari
fasilitas kesehatan, kurang percaya terhadap petugas kesehatan dan fasilitas
kesehatan, adanya pengalaman yang kurang baik dari petugas kesehatan, rasa
takut akibat dari tindakan terhadap fisik/psikologis, keuangan dan sosial, tidak
terjangkaunya fasilitas kesehatan dikarenakan ongkos, fisik dan lokasi, tidak
adanya fasilitas kesehatan yang diperlukan, tidak ada atau kurangnya sumber
daya keluarga, rasa asing atau tidak adanya dukugan dari masyarakat dan
sikap/filsafat hidup ( Bailon, Maglaya, 1978, dalam Friedman, 2002).
2.1.2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga dengan stroke
Menurut Friedman (2002), mengemukakan bahwa proses keperawatan
pada pasien stroke terdiri dari :
2.1.2.2.1. Pengkajian;
Pengkajian merupakan tahapan paling awal dari pemberian asuhan
keperawatan keluarga, agar diperoleh data pengkajian yang akurat dan sesuai
dengan keadaan keluarga, berikut langkah-langkah yang harus dilakukan:
1) Menciptakan hubungan yang baik dengan keluarga.
Guna mencapai hubungan yang berkualitas antara perawat dan keluarga, maka
harus mampu menerapkan komunikasi terapeutik dengan memperhatikan halhal dibawah ini:
(1) Perkenalkan diri dengan ramah dan sopan
32
(2) Jelaskan tujuan kunjungan saat itu
(3) Yakinkan keluarga bahwa kehadiran perawat adalah untuk membantu
keluarga menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di keluarga.
(4) Jelaskan batasan kesanggupan perawat yang dapat dilakukan
(5) Jelaskan kepada keluarga siapa saja tim kesehatan yang menjadi tim kerja
perawat.
2) Melakukan pengkajian awal.
Pada tahap ini pengkajian terfokus pada data yang diperoleh pada waktu awal
yang dapat berupa informasi kesehatan klien dari unit pelayanan kesehatan dan
data dasar lainnya.
3) Pengkajian lanjutan (tahap kedua).
Pengkajian lanjutan dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap
sesuai masalah kesehatan keluarga yang berorientasi pada pengkajian awal.
Kaji secara rinci hal-hal yang dapat mengungkap masalah keluarga hingga
penyebab timbulnya masalah.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk pengambilan data keluarga,
diantaranya: wawancara, observasi lingkungan rumah, dan pemeriksaan fisik pada
seluruh anggota keluarga. Menurut Friedman (1998), data-data yang perlu dikaji
dalam keluarga yaitu data umum keluarga dan anggota keluarga meliputi; nama,
pekerjaan, pendidikan kepala keluarga, komposisi keluarga, tipe keluarga, agama,
suku bangsa, kebiasaan sehari-hari keluarga, dan aktifitas keluarga; riwayat dan
tahap perkembangan keluarga meliputi tahap perkembangan tertinggi yang saat
ini dicapai oleh keluarga, dan riwayat keluarga sebelumnya; lingkungan meliputi
33
karakteristik rumah, karakteristik tetangga dan komunitas RW, mobilitas
geografis keluarga, perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat dan
sistem pendukung keluarga, struktur keluarga meliputi : pola komunikasi
keluarga, struktur kekuatan keluarga, struktur peran, dan nilai atau norma
keluarga; fungsi keluarga meliputi fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi
reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi perawatan keluarga; stres koping keluarga
meliputi stresor jangka pendek dan panjang, kemampuan keluarga berespon
terhadap situasi/stressor, strategi koping yang digunakan, strategi adaptasi
disfungsional, Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga dan
harapan keluarga.
Pengkajian pada anggota keluarga dengan pasca stroke memfokuskan pada
kerusakan fungsi pada aktivitas sehari-hari pasien karena kualitas hidup setelah
stroke sangat berkaitan dengan status fungsi pasien.
2.1.2.2.2. Diagnosa Keperawatan keluarga
Diagnosa Keperawatan pada dasarnya adalah pernyataan tentang faktorfaktor yang mempertahankan respon/tanggapan yang tidak sehat dan menghalangi
perubahan yang diharapkan. Penegakkan diagnosa keperawatan keluarga,
ditetapkan berdasarkan faktor resiko dan faktor potensial terjadinya penyakit atau
masalah kesehatan keluarga, serta mempertimbangkan kemampuan keluarga
dalam mengatasi masalah kesehatannya. Rumusan PES ( Problem, Etiologi dan
Sign) tetap digunakan dalam menegakkan diagnosa keperawatan keluarga.
Berdasarkan data pengkajian, diagonis keperawatan utama pasien stroke
meliputi hal berikut :
1) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan ketidakmampuan
34
keluarga merawat anggota keluarga dengan masalah kerusakan mobilitas
fisik.
2) Nyeri ( bahu nyeri) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat
anggota keluarga dengan hemiplagia dan disuse;
3) Kurang perawatan diri (higiene, toileting, berpindah, makan) berhubungan
dengan ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan
masalah kurang perawatan diri akibat gejala sisa stroke;
4) Inkontinensia urin dan fecal berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga
merawat anggota keluarga dengan masalah kandung kemih flaksid,
ketidakstabilan detrusor, kesulitan dalam berkomunikasi;
5) Perubahan proses berpikir berhubungan dengan ketidak mampuan keluarga
mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kerusakan otak, konfusi,
ketidak mampuan untuk mengikuti instruksi;
6) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidak mampuan
keluarga merawat anggota keluarga akibat kerusakan otak;
7) Risiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan ketidak
mampuan keluarga merawat anggota keluarga masalah kerusakan integritas
kulit akibat hemiparesis/hemiplegia, penurunan mobilitas;
8) Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan ketidak mampuan
keluarga mengambil keputusan untuk mengatasi masalah penyakit berat dan
beban pemberian perawatan.
35
2.1.2.2.3. Perencanaan
Dalam penyusunan rencana keperawatan perlu dirumuskan tujuan
keperawatan baik tujuan jangka panjang (umum) dan tujuan jangka pendeknya
(khusus) serta rencana tindakannya. Persiapan yang dilakukan meliputi persiapan
keluarga dengan seluruh anggotanya, persiapan lingkungan termasuk persiapan
alat, bahan dan sumber daya yang lain yang diperlukan. Perencanaan dibuat
sejelas mungkin untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pemberian tindakan.
Perencanaan disusun bersama keluarga, melibatkan seluruh anggota
keluarga, memfasilitasi keluarga untuk membuat pilihan jenis intervensi
keperawatan dan meyakinkan bagaimana intervensi akan dilaksanakan. Jika
keluarga tidak mampu membuat pilihan, maka perawat berperan membantu
keluarga mengidentifikasi alternatif, memahami konsekuensi dan membuat
keputusan yang dapat diterima oleh semua anggota keluarga.
2.1.2.2.4. Implementasi
Menurut Friedman, (1998), pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah
direncanakan dengan menerapkan teknik komunikasi terapeutik. Dalam
pelaksanakan tindakan perlu melibatkan seluruh anggota keluarga dan selama
tindakan perawat perlu memantau respon verbal dan non verbal keluarga.
Tindakan keperawatan keluarga mencakup beberapa langkah yang meliputi:
menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah dan
kebutuhan kesehatan, menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan
yang tepat, memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang
sakit, membantu keluarga untuk menemukan cara bagaimana membuat
36
lingkungan menjadi sehat, menemukan sumber-sumber yang dapat digunakan
keluarga, melakukan perubahan lingkungan keluarga seoptimal mungkin, dan
memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada.
Selama melakukan tindakan tetap mengumpulkan data baru, seperti
respon klien, perubahan-perubahan situasi, pada keadaan ini perawat harus
fleksibel dalam menerapkan tindakan. Beberapa kendala dalam implementasi
adalah ide yang tidak mungkin, label negatif terhadap keluarga, kurang perhatian
terhadap kekuatan dan sumber-sumber yang dimiliki keluarga serta
penyalahgunaan budaya atau gender.
Sasaran utama pasien dan keluarga meliputi perbaikan mobilitas,
menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri, mendapatkan kontrol
kandung kemih, perbaikan proses pikir, pencapaian beberapa bentuk kominikasi,
pemeliharaan integritas kulit, perbaiakan fungsi keluarga, dan tidak adanya
komplikasi.
1) Memperbaiki mobilitas dan mencegah deformitas;
Pasien hemiplegia mengalami paralisis unilateral (paralisis pada satu
sisi). Ketika kontrol otot volunter hilang, otot fleksor yang kuat melakukan
kontrol terhadap ekstensor. Lengan cenderung adduksi (otot adduktor lebih
kuat dari pada abduktor) dan rotasi internal. Siku dan pergelangan tangan
cenderung fleksi, kaki yang sakit cenderung rotasi eksternal pada sendi
panggul dan fleksi pada lutut, dan kaki pada sendi pergelangan kaki supinasi
dan cenderung ke arah fleksi plantar.
37
(1) Pemberian posisi;
Pemberian posisi yang benar penting untuk mencegah kontraktur,
tindakan dilakukan untuk meredakan tekanan, membantu mempertahankan
kesejajaran tubuh yang baik, dan mencegah neuropati kompresif,
khususnya terdapat syaraf ulnar dan peronal.
(2) Posisi tidur yang tepat;
Papan tempat tidur di bawah matras memberi sokongan kuat untuk
tubuh. Pasien harus tetap datar di tempat tidur kecuali ketika melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Mempertahankan posisi tegak di tempat
tidur selama periode lama memperberat deformitas fleksi panggul dan
pembentukan dekubitus di sakrum.
(3) P a p a n k a k i
Papan kaki dapat digunakan sesuai interval selama periode flaksid
setelah stroke untuk mempertahankan kaki pada sudut yang benar terhadap
tungkai ketika pasien posisi terlentang (dorsal). Hal ini mencegah footdrof
dan korda tumit menjadi pendek akibat kontraktur otot gastroknemius.
Sepatu karet tinggi juga dapat digunakan untuk tujuan ini, tetapi harus
diperhatikan untuk menghindari tekanan pada tumit dan pergelangan kaki.
(4) Mencegah adduksi bahu;
Untuk mencegah adduksi bahu yang sakit, satu bantal ditempatkan
di aksila ketika terdapat keterbatasan rotasi eksternal, hal ini
mempertahankan lengan menjauh dari dada. Satu bantal ditempatkan di
bawah lengan, dan lengan ini ditempatkan dalam posisi netral (agak
38
fleksi), dengan sendi distal diposisikan lebih tinggi dari pada sendi
proksimal. Sehingga, siku lebih tinggi dari pada bahu dan pergelangan
tangan lebih tinggi dari siku. Hal ini membantu mencegah edema dan
fibrosis yang akan mencegah rentang gerak normal bila pasien telah dapat
melakukan kontrol lengan.
(5) Mencegah rotasi panggul
Roll trokhanter yang direntangkan dari krista ilium sampai paha
tengah digunakan untuk mencegah rotasi eksternal, karena gerakan ini
berasal dari pangkal dan kantung sendi panggul. Lutut tidak mengalami
fungsi rotasi ini. Roll trokhanter bertindak sebagai baji mekanis di bawah
projeksi trokhanter mayor dan mencegah femur berguling.
(6) Posisi tangan dan jari.
Jari- jari diposisikan sehingga mengalami sedikit fleksi. Tangan
ditempatkan agak supinasi (telapak tangan menghadap ke atas), yang
adalah posisi paling fungsional. Bila ekstremitas atas flaksid, bebat volar
resting dapat digunakan untuk menyokong pergelangan tangan dan tangan
dalam posisi fungsional. Bila ekstremitas atas spastik, roll tangan tidak
digunakan karena merangsang refleks menggenggam. Pada keadaan ini
bebat pergelangan tangan dorsal bermanfaat dalam memungkinkan telapak
tangan bebas dari tekanan. Setiap upaya yang dilakukan untuk mencegah
edema tangan.
39
(7) Mengubah posisi
Posisi pasien harus dirubah tiap 2 jam. Untuk menempatkan pasien
pada posisi lateral atau miring, satu bantal ditempatkan di antara kaki
sebelum pasien dibalik. Paha atas tidak boleh di fleksikan secara tiba-tiba.
Pasien dapat diubah posisinya dari sisi ke sisi lain, tetapi jumlah waktu
yang digunakan pada sisi yang sakit harus dibatasi karena adanya
kerusakan sensasi. Berbaring pada sisi yang sakit, dianggap meningkatkan
kesadaran pasien terhadap sisi tersebut dan memungkinkan penggunaan
tangan yang tidak sakit. Posisi lateral (miring).
Bila mungkin, pasien ditempatkan pada posisi telungkup selama 15
sampai 30 menit beberapa kali sehari. Satu bantal atau penyokong
ditempatkan di bawah pelvis, yang direntangkan dari setinggi umbilikus
sampai sepertiga atas paha. Hal ini membantu meningkatkan hiperekstensi
sendi panggul, yang esensial untuk berjalan normal dan membantu
mencegah kontraktur fleksi lutut dan panggul. Posisi telungkup juga
membantu mengalirkan sekresi bronkial dan mencegah deformitas
kontraktur bahu dan lutut. Selama pemberian posisi ini penting untuk
mengurangi tekanan dan mengubah posisi dengan sering untuk mencegah
pembentukan dekubitus.
(8) L a t i h a n ;
Ekstremitas yang sakit dilatih secara pasif dan berikan rentang
gerak penuh empat atau lima kali sehari, untuk mempertahankan mobilitas
sendi, mengembalikan kontrol motorik, mencegah terjadinya kontraktur
40
pada ekstremitas yang mengalami paralisis, mencegah bertambah
buruknya sistem neuromuskuler dan meningkatkan sirkulasi. latihan
menolong dalam mencegah terjadinya statis vena, yang dapat
mengakibatkan adanya trombus dan emboli paru..
Pasien diobservasi untuk tanda dan gejala yang dapat
mengidentifikasi emboli paru atau kelebihan beban kerja jantung selama
latihan, hal ini meliputi napas pendek, nyei dada, sianosis, dan
peningkatan frekuensi nadi selama periode latihan.
Latihan periode singkat dan sering selalu lebih disukai dari pada
periode lama dan interval jarang. Regularitas dalam latihan paling penting.
Perbaikan kekuatan otot dan pemeliharaan rentang gerak dapat dicapai
hanya melalui latihan harian.
(9) Menyiapkan ambulasi.
Pasien sesegera mungkin dibantu turun dari tempat tidur. Biasanya,
bila hemiplegia akibat trombus, aktivitas program rehabilitasi dimulai
segera saat pasien kembali sadar, pasien yang mengalami hemoragi
serebral tidak dapat berpatisipasi aktif sampai seluruh hemoragi hilang.
Pertama-tama, ajarkan pasien untuk mempertahankan
keseimbangan pada saat duduk dan belajar untuk keseimbangan pada saat
berdiri. Jika pasien mempunyai kesulitan dalam melakukan keseimbangan
saat berdiri, tilt table dapat digunakan untuk menyokong perlahan-lahan
sampai pada posisi yang benar. Tilt table merupakan alat bantuan khusus
41
untuk pasien yang tirah baring dalam periode yang lama dan mengalami
perubahan tekanan darah ortostatik.
Jika pasien membutuhkan kursi roda, tipe-tipe pegangan
menggunakan rem tangan merupakan bagian terpenting untuk dilatih
karena hal ini membantu pasien untuk menguasai kursi tersebut. Kursi
harus cukup rendah untuk mempermudah pasien saat menggerakkannya
dengan tidak melibatkan kaki dan cukup baik untuk digunakan di rumah.
Jika pasien dipindahkan dari kursi roda pegangan di tempatkan pada kedua
sisi kursi.
Pasien selalu siap untuk berjalan segera setelah keseimbangan
berdiri dicapai. Pegangan paralel digunakan dalam usaha pertama ini.
Kursi atau kursi roda harus siap tersedia jika pasien tiba-tiba menjadi lelah
dan merasa pusing.
Periode latihan ambulasi harus singkat dan sering. Saat pasien
memperoleh kekuatan dan kepercayaan diri, tongkat yang dapat diatur
dapat digunakan untuk penyokong. Umumnya tiga atau empat kali ganti
tongkat akan memberikan dudkungan yang stabil, pada fase-fase awal
program latihan.
2) Mencegah nyeri bahu.
Diatas 70% pasien stroke mengalami nyeri berat pada bahu yang
menghalangi mereka melakukan aktivitas, karena fungsi bahu memberikan
keseimbangan dan melakukan berpindah tempat serta aktivitas perawatan diri.
42
Tiga masalah yang dapat terjadi: nyeri bahu, subluksasio bahu, sindrom
tangan-bahu.
Sendi bahu yang flaksid dapat diregangkan maksimal oleh penggunaan
kekuatan berlebihan pada saat membalik pasien atau karena peregangan
berlebihan pada lengan dan gerakan bahu. Untuk mencegah nyeri bahu,
perawat tidak boleh mengangkat pasien pada bahunya yang flaksid atau
menarik lengan atau bahu yang sakit.
Masalah-masalah ini dapat dicegah dengan menggerakkan dan memberi
posisi yang benar. Lengan yang flaksid diletakkan di atas meja atau bantal
sementara pasien duduk. Beberapa dokter menganjurkan menggunakan sling
saat pertama kali menggerakkan ekstremitas untuk mencegah paralisis
ekstremitas karena terjuntai saat digerakkan. Latihan rentang gerak penting
dalam mencegah nyeri bahu. Hindari gerakan-gerakan yang berat. Instruksikan
pasien membuat gerakan menjalin pada jari-jari menempatkan telapak tangan
bersama-sama dan dorong perlahan-lahan ke depan dengan mengenggam
tangan ke arah bagian depan skapula, mengankat kedua tangan ke atas kepala.
Kegiatan ini diulang seluruhnya setiap hari. Pasien diinstruksikan melakukan
fleksi pergelangan tangan pada tangan yang terpengaruh dan mengerakkan
seluruh sendi-sendi pada jari-jari. Anjurkan mereka untuk melakukan gerakan
menyentuh, menggosok, dan memukul lihat gerakan kedua tangan. Tumit
mendorong tangan ke arah bawah dengan kuat. Peninggian lengan dan tangan
adalah penting untuk mencegah edema pada tangan. Pasien dengan nyeri terus
menerus setelah gerakan dan perubahan posisi diberi pengobatan analgetik.
43
3)Mencapai kemampuan perawatan diri.
Segerah setelah pasien dapat duduk, lakukan aktivitas kebersihan diri.
Pasien dibantu untuk merencanakan tujuan yang realistis dan jika mungkin
kegiatan baru ditambah setiap hari. Tahap pertama adalah mengikutsertakan
sisi yang sakit dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seperti menyisir rambut,
menggosok gigi, mencukur dengan alat cukur listrik, mandi dan makan dengan
satu tangan dan perawatan diri yang sesuai. Perawat harus meyakinkan bahwa
pasien tidak mengabaikan sisi yang sakit. Alat bantu akan membantu pasien
melakukan aktivitas pada bagian defisit pasien. handuk kecil lebih mudah
dikontrol saat mengeringkan tubuh setelah mandi, dan tisu kertas dalam kotak
lebih mudah digunakan daripada tisu gulungan. .
Pakaian dipakaikan pada sisi yang sakit sesuai dengan bentuk pakaian.
Dengan menggunakan cermin besar sambil berpakaian dapat menolong pasien
sadar akan apa yang dipakainya pada bagian tubuh yang sakit. Setiap pakaian
dipakaikan pada sisi yan sakit lebih dulu. Pasien harus membuat banyak
gerakan kompensasi ketika berpakaian yang dapat menimbulkan keletihan dan
puntiran yang nyeri dari otot interkostal. Dukungan dan dorongan diberikan
untuk mencegah pasien menjadi sangat letih dan menolak.
4)Mendapatkan kontrol kandung kemih;
Kebanyakan pasien stoke mengalami masalah kandung kemih pada
tahap awal, tetapi kontrol kandung kemih biasanya cepat pulih. Pola berkemih
dianalisis dengan penggunaan urinal dan badpan diberikan pada pola ini atau
44
terjadwal. Posisi tubuh tegak lurus dan berdiri membantu pasien wanita selama
rehabilitasi.
5)
Memperbaiki proses berpikir;
Setelah stroke pasien mengalami masalah kognitif, perilaku, dan
penurunan emosi akibat kerusakan otak. Pada beberapa kejadian, kadangkadang derajat fungsi yang penting dapat kembali pulih karena tidak semua
daerah otak rusak bersama-sama, beberapa yang tersisa lebih utuh dan
berfungsi dari pada yang lain.
Setelah prosedur pengkajian yang menggambarkan dan menunjukkan
masalah-masalah pasien, bila memungkinkan ahli neuropsikologi berinteraksi
dengan dokter primer, pskiatri, perawat dan profesional lainnya, membentuk
program latihan yang menggunakan latihan kembali persepsi-kognitif, kesan
penglihatan, orientasi realitas dan prosedur yang memberi petunjuk untuk
mengompensasi kehilangan.
Peran perawat bersifat suportif. Perawat memeriksa hasil pemeriksaan
neuropsikologik, catatan, dan bentuk observasi pasien kemudian meberikan
umpan balik positif dan lebih penting lagi, menyampaikan sikap percaya dan
berpengharapan. Intervensi dengan menggunakan kekuatan dan kemampuan
pasien yang ada sambil beruasaha untuk meningkatkan kinerja fungsi dari
bagian yang sakit.
6)
Mencapai komunikasi;
Afasia merusak kemampuan pasien untuk berkomunikasi, baik dalam
memahami apa yang dikatakan dan dalam kemampuan mengekspresikan diri
45
sendiri. Ahli terapi wicara-bahasa mengkaji komunikasi, kebutuhan pasien
stroke, gambaran penurunan dengan tepat. Banyak terdapat strategi intervensi
bahasa untuk orang afasia dewasa, dan program ini diterima secara indiviual.
Sasarannya ditetapkan bersama saat pasien diperkirakan mengambil bagian
secara aktif.
Intervensi keperawatan mencakup melakukan segala sesuatu yang
mungkin untuk membuat lingkungan konduktif dalam berkomunikasi. Hal ini
meliputi sensitif terhadap reaksi dan kebutuhan pasien dan berespons terhadap
mereka dalam cara yang tepat, selalu memperlakukan pasien sebagai orang
dewasa. Perawat memberikan dukungan moral yang kuat dan memahami
pasien yang cemas. Jadwal yang konsisten, rutin, dan berulang-ulang dapat
menolong pasien berfungsi meskipun dalam keadaan defisit bermakna. Catatan
tertulis mengenai jadwal sehari-hari, berkas informasi pribadi (tanggal lahir,
alamat, nama kerabat), daftar periksa, dan daftar audio tape menolong ingatan
dan konsentrasi pasien. benda-benda yang dikenal, yang ada di sekitarnya dan
foto akan menentramkan hati.
7) Mempertahankan integritas kulit
Pasien stroke mempunyai risiko terhadap kerusakan kulit dan jaringan
karena perubahan sensasi dan ketidak mampuan berespons terhadap tekanan
dan ketidak mampuan bergerak. Dengan demikian pencegahan kerusakan
jaringan dan kulit membutuhkan pengkajian yang sering pada kulit, dengan
penekanan khusus pada area penonjolan dan bagian tubuh yang dependen.
Selama fase akut tempat tidur khusus (misalnya tempat tidur beraliran udarah
46
rendah) dapat digunakan sampai pasien mampu bergerak mandiri atau dibantu
dalam bergerak.
Jadwal mengubah posisi dan membalik tubuh secara teratur harus diikuti
dengan meminimalkan tekanan dan mencegah kerusakan kulit. Alat penghilang
tekanan dapat dipakai tetapi mungkin tidak digunakan pada aktivitas membalik
tubuh (sedikitnya setiap 2 jam) harus ditaati meskipun alat pereda tekanan
digunakan untuk mencegah kerusakan kulit dan jaringan. Ketika pasien
diposisikan atau dibalik, harus hati-hati untuk meminimalkan gesekan dan
friksi, yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan mencetuskan
kerusakan kulit pasien.
8) Meningkatkan koping keluarga melalui penyuluhan kesehatan
Anggota keluarga pasien penting memainkan peran dalam penyembuhan
pasien. beberapa cara konseling dan sistem pendukung harus tersedia bagi
mereka untuk mencegah penggunaan yang bermakna pada kesehatan mereka
dan mempengaruhi gaya hidup mereka secara radikal. Jeda perawatan jangka
pendek terencana untuk memudahkan beban keluarga dalam memberikan
perawatan 24 jam terus-menerus. Koping keluarga juga dipermudah dengan
melibatkan orang lain dalam perawatan pasien dan mengajarkan teknik
manajemen stres dan metode untuk mempertahankan kesehatan pribadi.
Keluarga membutuhkan informasi bahwa rehabilitasi hemiplegia
membutuhkan bebarapa bulan dan dengan kemajuan yang lambat. Kemajuan
yang dibuat oleh pasien selama menghabiskan waktu di rumah sakit atau di
unit rehabilitasi stroke harus dipertahankan. Semua pendekatan pada pasien
47
harus dengan sikap mendukung dan optimistik, yang berfokus pada
kemampuan yang ada. Tim rehabilitasi, dokter dan tim perawat, pasien dan
keluarganya harus terlibat dalam pengembangan tujuan yang dicapai pasien di
rumah.
2.1.2.2.5. Evaluasi
Sesuai dengan rencana tindakan yang telah diberikan, dilakukan penilaan
untuk melihat keberhasilannya. Bila tidak/belum berhasil perlu disusun rencana
baru yang sesuai. Semua tindakan keperawatan mungkin tidak dapat dilaksanakan
dalam satu kali kunjungan keluarga. Untuk itu dapat dilaksanakan secara bertahap
sesuai dengan waktu dan kesediaan keluarga.
Hasil yang diharapkan pada keluarga yaitu terjadi kemandirian keluarga
dalam merawat anggota keluarga dengan stroke. Menurut PPNI Provinsi Jawa
Barat, Kriteria Keluarga Mandiri terdiri dari 3 bagian yaitu :
1) Keluarga mengetahui masalah kesehatan (Keluarga Mandiri I), dengan kriteria
(1) Keluarga dapat menyebutkan pengertian stroke, tanda dan gejala dari
stroke.
(2) Keluarga dapat menyebutkan penyebab dari stroke.
(3) Keluarga dapat menyebutkan faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke
(4) Keluarga memiliki persepsi yang positif terhadap masalah penyakit stroke
2) Keluarga mau mengambil keputusan untuk mengatasi masalah (Keluarga
Mandiri II), dengan kriteria :
(5) Masalah anggota keluarga stroke dirasakan oleh keluarga.
(6) Keluarga dapat mengungkapkan/menyebutkan akibat dari masalah anggota
48
keluarga tersebut.
(7) Keluarga dapat membuat keputusan yang tepat tentang penanganan
masalah anggota keluarga stroke.
3) Keluarga mampu merawat anggota keluarga dengan masalah stroke (Keluarga
Mandiri III), dengan kriteria :
(8) Keluarga terampil melaksanakan perawatan sederhana pada anggota
keluarga stroke (preventif, promotif, dan caretive).
(9) Keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang mendukung kesehatan
pada anggota keluarga stroke
(10) Keluarga mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya keluarga dan
fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk perawatan anggota keluarga
pasca stroke.
Untuk kategori keluarga mandiri, simpulan dibuat berdasarkan
penjumlahan kriteria di atas, masing-masing kriteria memiliki nilai satu.
Pembagian kategori berdasarkan pengelompokkan sebagai berikut :
1) Keluarga Mandiri I (KM I)
: jumlah/skornya 1 4
–
2) Keluarga Mandiri II (KM II) : jumlah/skornya 5 7
–
3) Keluarga Mandiri III (KM III) : jumlah/skornya 8 10
–
49
2.1.3. Kajian tentang home care.
2.1.3.1.Pengeritan pelayanan home care
Pelayanan home care adalah komponen dari rentang pelayanan kesehatan
yang komprehensif yang di dalamnya terdapat pelayanan kesehatan untuk
individu dan keluarga di tempat tinggal mereka dengan tujuan meningkatkan,
memelihara atau memulihkan kesehatan atau meningkatkan kemandirian,
meminimalkan akibat dari ketidakmampuan dan penyakit terminal (Warhola,
1980, Serwen, 1991), Menurut ANA (1992) pelayanan home care adalah
perpaduan perawat kesehatan masyarakat dan keterampilan teknis yang terpilih
dari perawat spesialis yang terdiri dari kumpulan perawat komunitas, seperti
perawat gerontologi, perawat psikiatri, perawat ibu dan anak, perawat kesehatan
masyarakat, dan perawat medikal bedah. Ditambahkan oleh Stuart (1998)
menjabarkan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian dari proses
keperawatan di rumah sakit, yang merupakan kelanjutan dari rencana pemulangan
(discharge planning), bagi klien yang sudah waktunya pulang dari rumah sakit.
Perawatan di rumah ini biasanya dilakukan oleh perawat dari rumah sakit semula,
dilaksanakan oleh perawat komunitas dimana klien berada, atau dilaksanakan oleh
tim khusus yang menangani perawatan di rumah.
Berdasarkan pengertian di atas peneliti berpendapat bahwa pelayanan
home care adalah layanan kesehatan yang dilakukan oleh profesional dengan
tujuan membantu memenuhi kebutuhan pasien dalam mengatasi kesehatan yang
dilaksanakan oleh tim kesehatan profesional dengan melibatkan anggota keluarga
sebagai pendukung di dalam proses dan penyembuhan pasien.
50
2.1.3.2.Peran Perawat home care.
Perawat sebagai seorang profesional dalam melakukan pekerjaan di suatu
organisasi tidak terlepas dari identitas profesional yang melekat pada pekerjaanya
sebagai ciri profesi. Identitas profesional dalam keperawatan menurut Douglas
(1992) tergambar pada karakteristik peran tenaga keperawatan. Peran diartikan
sebagai perilaku unik dari posisi sesorang yang mereflesikan kelompok personal,
sosial atau pekerjaan (Creasia & Parker, 2001). Peran tenaga keperawatan tidak
terlepas dari aspek; 1). penerimaan seseorang terhadap peran perawat dan
ditunjukkan dalam perilaku, 2). berimplikasi terhadap interaksi sosial dengan
orang lain, 3). melibatkan persepsi dan harapan antara kedua orang yang
berinteraksi (perawat pasien), 4). bergantung pada norma sosial, nilai,
pertimbangan dan perasaan, 5). memberikan kenyamanan dalam lingkup praktik
keperawatan yang diberikan, 6). Mungkin menempatkan permintaan individu
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berdasarkan kemampuannya.
Menurut warhola, (1998), dalam Depkes, (2002), Peran dan fungsi
perawat home care yaitu :
1) Peran sebagai manajer kasus yaitu mengelola dan mengkolaborasikan
pelayanan denan fungsi : (1) mengidentifikasi kebutuhan pasien dan keluarga;
(2). Menyusun rencana pelayanan; (3) mengkoordinir aktifitas tim; (4).
memantau kualitas pelayanan;
2) Peran Pelaksana yaitu memberi pelayanan langsung dan mengevaluasi
pelayanan dengan fungsi : (1). melakukan pengkajian komprehensif; (2).
menetapkan masalah; (3). menyusun rencana keperawatan; (4). melakukan
51
3) tindakan perawatan; (5). melakukan observasi terhadap kondisi pasien; (6).
membantu pasien dalam mengembangkan prilaku koping yang efektif; (7).
melibatkan keluarga dalam pelayanan.
Menurut Sumijatun, dkk (2006), bahwa Perawat home care terlibat
dalam perawatan langsung dan perawatan tidak langsung. Dalam melaksanakan
tugasnya, perawat home care menjalankan beberapa macam peran.
1) Perawatan langsung
Perawatan yang diberikan mengacu pada aspek fisik yang nyata yang
diperoleh melalui interaksi perawat-klien meliputi pengkajian fisik klien,
mengganti balutan luka, memberikan injeksi, memasang kateter dan atau
memberikan injeksi intravena. Selain itu perawat memberikan pendidikan
kesehatan pada klien dan anggota keluarga yang memberikan pelayanan
kesehatan (care provider), tentang cara-cara melakukan prosedur tertentu.
Perawat dapat membantu klien dan keluarga untuk mengembangkan
sikap yang positif. Kemampuan dan kecakapan teknis harus diperlihatkan oleh
perawat pelayanan kesehatan rumah sehingga dapat menerima pembayaran jasa
yang telah diberikan oleh pihak ketiga. contoh dari pelayanan kesehatan
membantu petugas keperawatan untuk meyakinkan mereka tentang objektivitas
pelayanan yang diberikan : (1) observasi dan evaluasi keadaan fisik dan
emosional; (2) menyediakan perawatan langsung seperti aturan dalam
keperawatan, latihan rehabilitasi, pemasangan kateter, irigasi kolostomi dan
perawatan luka; (3) membantu klien dan keluarga dalam mengembangkan
perilaku yang positif dalam kesehatan; (4) membantu klien dan keluarga untuk
52
memberikan pengobatan jika diperlukan; (5) ajarkan klien dan keluarga untuk
menjalankan diet yang dianjurkan dokter, mempertimbangkan masalah budaya,
keuangan dan hal yang terkait dengan privasi; (6) laporkan ke dokter jika
muncul tanda/gejala baru yang berhubungan dengan status kesehatan klien dan
kelanjutan pengobatan yang sedang dijalani; (7) membantu klien dan keluarga
untuk mengidentifikasi sumber daya yang akan membantu klien mencapai
fungsi kesehatan optimal.
2) Perawatan tidak langsung.
Perawatan tidak langsung dilakukan ketika klien tidak mempunyai
kontak langsung dengan perawat. Perawatan cenderung pada perawatan tidak
langsung lebih ke arah kegiatan konsultasi. Perawat pelayanan kesehatan
rumah dihubungi oleh perawat rumah sakit untuk melanjutkan kegiatan yang
telah dilakukan klien dan keluarga misalnya dalam hal merawat ostomi.
Perawat pelayanan kesehatan rumah berfungsi sebagai tenaga konsultan,
nasihat yang diberikan tentang bagaimana cara mengatur klien dengan
permasalahan tertentu melalui kerja sama dengan anggota lain dalam tim.
Pertemuan tim secara berkala yang memberikan perawatan tidak langsung di
pelayanan kesehatan rumah dilakukan secara teratur. Ini merupakan waktu
yang ideal untuk meningkatkan kordinasi dan kesinambungan pelayanan
perawatan klien dan menggunakan sumber daya secara optimal.
Pengawasan terhadap asieten/pembantu perawat kesehatan rumah
dilakukan secara tidak langsung, melalui evaluasi yang dilakukan terhadap
klien, dilakukan dua minggu sekali. Banyak tindakan keperawatan yang
53
dilakukan di rumah, mungkin tidak secara langsung kelihatan oleh klien, tetapi
dapat dinilai melalui kualitas pelayanan kesehatan rumah.
Sebagai perawat klinis, pendidik, peneliti, administrator dan konsultan
dapat menerapkan ilmu dan pengalaman mereka sesuai dengan kompetensi
yang dimiliki. Dikatakan sebagai pendidik karena mereka mengajarkan klien
dan kelaurga bagaimana cara melakukan sesuatu dan mengajarkan cara dan
tahapan perawatan diri sendiri (self care). Secara formal mereka (para perawat)
mengajarkan topik-topik pendidikan kesehatan kepada kelompok masyarakat.
Peran peneliti dapat diterapkan pada penelitian untuk meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan di masa mendatang.
2.1.3.3.Standar praktik pelayanan kesehatan rumah
Standar praktik merupakan salah satu perangkat yang diperlukan oleh
setiap tenaga profesional. Standar praktik keperawatan mengidentifikasi harapan
minimal bagi para perawat profesional dalam memberikan asuhan keperawatan
yang aman efektif dan etis (Sumijatun, dkk, 2002).
Standar praktik pelayanan kesehatan rumah yang dikembangkan oleh
American Nurse Association (1986) yang dikutip oleh Sumijatun, dkk (2002),
memperlihatkan hubungan proses keperawatan dengan standar praktik seperti
terlihat pada Tabel 2.1, berikut.
54
Tabel 2.1. Hubungan antara proses keperawatan dan standar praktik ANA.
(Diadabtasi dari American Nurse Association Standard Of Health
Nursing Practice, 1986).
Proses
Keperawatan
Pengkajian
Perencanaan
Implementasi
Evaluasi
Standar
I. Organisasi
Deskripsi
Seluruh pelayanan kesehatan rumah direncanakan,
diorganisir langsung oleh perawat profesional yang
mempunyai pengalaman di kesehatan komunitas dan
kepengurusan organisasi pelayanan kesehatan rumah
II. Teori
Perawat menerapkan konsep teori sebagai
dasar
pengambilan keputusan
III. Pengumpulan Secara berkelanjutan perawat mengumpulkan dan
Data
mereka data secara menyeluruh, akurat dan sistematis.
IV. Diagnosis
Perawat menggunakan data pengkajian kesehatan
untuk
menentukan diagnosis keperawatan
V. Perencanaan
Perawat mengembangkan rencana keperawatan
menetapkan tujuan, rencana keperawatan dibuat
berdasarkan diagnosis keperawatan dan meliputi
pengobatan yang diperoleh klien, pencegahan dan
tindakan keperawatan rehablitasi
VI. Intervensi
Perawat dipandu oleh rencana keperawatan untuk
memberikan kenyamanan, pemulihan, perbaikan,
pendidikan kesehatan, mencegah komplikasi, kecacatan
akibat efek penyakit dan rehabilitasi..
VII. Evaluasi
Secara berkelanjutan perawat mengevaluasi respon
klien dan keluarga untuk menentukan kemajuan
pencapaian tujuan dan memperbaiki data dasar,
diagnosis dan rencana keperawatan
VIII. Keperawatan
Perawat bertanggungjawab terhadap kenyamanan klien
berkelanjutan
dan tidak adanya gangguan dalam keperawatan
berkelanjutan oleh karena itu gunakan discharge.
Rencana pulang, penataan kasus dan koordinasi dengan
sumber daya di masyarakat.
IX. Kerjasama antar
Perawat memulai kerja sama dan memelihara hubungan
disiplin
dengan semua pelaksana pelayanan kesehatan sehingga
mereka (tim) secara bersama-sama berusaha untuk
menuju tujuan yang efektif.
X. Pengembangan
Perawat diasumsian bertanggung jawab untuk
profesional
pengembangan profesional dan berkonstribusi pada
pengembangan profesional.
XI.
Riset
Perawat berpartisipasi dalam kegiatan
penelitian yang
memberikan konstribusi terhadap pengembangan
profesional.
XI I.
E tika
Perawat menggunakan kode etik yang
dibentuk oleh
55
ANA sebagai petunjuk untuk pengambilan keputusan
etikal dalam praktik.
56
2.1.3.4. Jenis pelayanan kesehatan di rumah
Menurut Rice (2001) jenis kasus yang dapat dilayani pada perawatan
kesehatan di rumah meliputi kasus-kasus yang umum pasca perawatan di rumah
sakit dan kasus-kasus khusus yang dijumpai di komunitas.
Kasus umum yang merupakan pasca perawatan di rumah sakit adalah:
Klien dengan penyakit gagal jantung; klien dengan gangguan oksigenasi; klien
dengan perlukaan kronis; klien dengan diabetes; klien dengan gangguan fungsi
perkemihan; klien dengan kondisi pemulihan kesehatan atau rehabilitasi; klien
dengan terapi cairan infus di rumah; klien dengan gangguan fungsi persyarafan;
klien dengan HIV/AIDS. Sedangkan kasus dengan kondisi khusus meliputi :
klien dengan post partum; klien dengan gangguan kesehatan mental; klien dengan
kondisi usia lanjut; klien dengan kondisi terminal; dan klien dengan penyakit
obstruktif paru kronis.
57
2.2. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran pengaruh pelayanan home care terhadap tingkat
kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga pasca stroke, dimodifikasi
dari model asuhan keperawatan keluarga oleh Friedman (2002) seperti terlihat
pada gambar 2.2, berikut.
Kualitas hidup
pasien pasca
stroke
meningkat
Gambar 2.2. Kerangka pemikiran dengan memodifikasi Model Asuhan
Keperawatan Keluarga, ( Friedman, 2002)
2.3. Hipotesis
Terdapat pengaruh pelayanan home care terhadap tingkat kemandirian
keluarga dalam merawat anggota keluarga pasca stroke di Kota Samarinda.
58
Download