HAK TANGGUNGAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR SKRIPSI OLEH : HUSNI NPM : 28120002 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 HAK TANGGUNGAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya OLEH : HUSNI NPM : 28120002 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 HAK TANGGUNGAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR NAMA : HUSNI FAKULTAS : HUKUM JURUSAN : ILMU HUKUM NPM : 28120002 DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : Pembimbing TRI WAHYU ANDAYANI,.SH,.CN,.MH. i Telah diterima dan disetujui oleh tim penguji skripsi serta di nyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan syah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Surabaya………Agustus 2012 Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua : Tri Wahyu Andayani,.SH,.CN,.MH ( ) ( ) : 1. Dr. H. Sugeng Repowijoyo, SH,.M,Hum ( ) Dekan 2. Sekretaris : Tri Wahyu Andayani, SH,.CN,.MH Pembimbing 3. Anggota Penguji I 2. Djasim Siswojo, SH,.MH Penguji II ( ) ii Motto Di saat kita mengambil sebuah keputusan atau tindakan hati dan pikiran akan selalu bertentangan, namun hati kita tidak bisa di bohongin dan tidak akan bisa di pengaruhi oleh apapun, tetapi pikiran yang paling cepat dan paling gampang untuk di pengaruhi, maka dari itu setiap kita ingin mengambil keputusan atau tindakan ikutilah kata hati kita. KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dengan judul Hak Tanggungan Dan Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Kreditur. Di susun oleh penulis sebagai salah satu syarat agar dapat memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Universitas Wijaya Putra Surabaya. Penulis juga menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat di harapkan. Skripsi ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang ikut membantu serta memberikan bimbingan dan informasi tentang data-data yang diperlukan oleh penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak H. Budi Endarto. SH,.M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 2. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman, SH.,M,.Hum. Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 3. Ibu Tri Wahyu Andayani. SH,.CN,.M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Sekaligus dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan dan petunjuk kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 4. Seluruh dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya, yang telah memberikan ilmu selama penulis menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum/Jurusan Ilmu Hukum di Universitas Wijaya Putra Surabaya. 5. Ibu penulis FATIMAH dan Ayah penulis M. ALI kakak-kakak penulis MAHANI, ASMAH,SUMARNI SYAFRUDIN,HAJRAH serta semua maupun keluarga adik-adik penulis yang penulis selalu memberikan semangat, Do,a serta bantuan baik moril maupun materiil selama penulis menuntut ilmu di Universitas Wijaya Putra Surabaya. 6. Teman-Teman penulis RIDWAN OBET PANDJAITAN, SAHRIN, RANGGA SETIO BUDI, SULTON SULAEMAN, PURWONO, SIMON HENDRO TAROB, serta teman-teman penulis yang lainnya, yang telah ikut serta membantu penulis memberikan masukan dan saran kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang di harapkan. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………………………………… i DAFTAR ISI…………………………………………………………………… ii BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah………………………………................ 1 2. Rumusan Masalah…………………………………………………. 8 3. Penjelasan Judul…………………………………………………… 8 4. Alasan Pemilihan Judul…………………………………………… 10 5. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 10 6. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 11 7. Metode Penelitian………………………………………………….. 11 8. Sistematika Pertanggung Jawaban……………………………… 13 BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR 1. Pengertian Hak Tanggungan…………………………………… 15 2. Obyek dan Subyek Hukum Dalam Hak Tanggungan………. 18 3. Tujuan Hak Tanggungan……………………………………….. 20 4. Eksekusi Hak Tanggungan………………………………. …… 24 5. Eksekusi Hak Tanggungan Yang Dilakukan Kreditur Tanpa Persetujuan dari Pihak Debitur Maupun Atas Persetujuan Dari Pihak Debitur……………………………………………… 25 a. Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pelelangan Umum….. 25 b. Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Penjualan Di Bawah Tangan…………………………………………………………. 27 BAB III : PROSES EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR 1. Pengertian Eksekusi……………………………………… …….. 29 2. Macam-Macam Eksekusi Hak Tanggungan…………… …….. 31 1. Berdasarkan Titel Eksekutorial………………………. ……. 31 2. Pelelangan Umum……………………………………………. 32 3. Penjulan Di Bawah Tangan………………………………….. 33 3. Proses Eksekusi Hak Tanggungan Yang Di Lakukan Oleh Bank-Bank Swasta Maupun Bank-Bank Pemerintah……….. 35 4. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Dan Upaya Pemecahannya……………………. 37 a. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan…………………………………………….. 37 b. Upaya Pemecahan Terhadap Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan………… 39 BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………… 46 B. Saran………………………………………………………………… 48 DAFTAR BACAAN………………………………………………………………49 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan berkembangnya usaha yang di lakukan oleh masyarakat, biasanya pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya selalu berupaya menambah modal usahanya dengan cara melakukan pinjaman atau kredit langsung dengan perbankan. Dimana kredit yang banyak berkembang dalam masyarakat adalah kredit dengan hak tanggungan, meskipun di dalam hukum jaminan dikenal juga beberapa lembaga jaminan seperti fidusia, gadai.1 Lembaga perbankan mempunyai peranan strategis untuk mendorong perputaran roda perekonomian melalui kegiatan utamanya, yaitu menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk mendukung pembangunan. Dalam praktek saat ini, bank menyalurkan berbagai macam kredit sesuai kebutuhan dan kegiatan masyarakat. Adanya hak milik perorangan tanah menjadi lebih bermakna pada nilai Kapital Aset, salah satunya bisa di jadikan jaminan suatu Kredit. Akan tetapi, tanah hak milik yang merupakan salah satu bentuk hak tanggungan yang di jadikan jaminan kredit itu mengekor pada kreditnya bila kreditnya macet, maka konsekuensinya menjadi pelunasan kredit tersebut, yaitu dengan cara menguangkan apa yang menjadi jaminan kredit itu 1 Bachtiar jajuli,Eksekusi perkara perdata segi hukum dan penegakan hukum, Akademika pressindo, Jakarta, 1987, hal 43. 2 sendiri dalam hal ini adalah tanah yang di jadikan sebagai jaminan atas kredit yang diajukan oleh Debitur kepada Kreditur. Secara umum, Undang-undang yang ada saat ini berlaku di Indonesia telah memberikan jaminan atau perlindungan hukum kepada kreditur sebagai penyalur dana dan penghimpun dana dalam berbagai bentuk transaksi-transaksi keuangan di masyarakat. Hal ini dirumuskan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata, yaitu : “Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang yang sekarang maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-hutangnya”. Dalam aturan ini bahwa jaminan yang di atur dalam Pasal 1131 KUH Perdata tersebut masih bersifat umum atau dengan kata lain benda jaminan itu tidak di tunjuk secara khusus dan tidak di peruntukkan bagi seorang kreditur tertentu, sehingga apabila jaminan tersebut dijual maka hasilnya dibagi secara seimbang sesuai besarnya piutang masing-masing kreditur (konkurent). Dalam praktek perbankan dewasa ini, jaminan yang bersifat umum tersebut belum memberikan perlindungan hukum (kurang menimbulkan rasa aman) secara maksimal dalam memberikan perlindungan bagi Kreditur selaku pemberi pinjaman kepada Debitur untuk menjamin kredit yang telah di berikan selama ini. Pihak Lembaga Perbankan (Bank) memerlukan jaminan yang di tunjuk dan diikat secara khusus untuk menjamin hutang-hutang yang harus dibayarkan oleh Debitur kepada Kreditur. Jaminan ini di kenal dengan jaminan khusus yang timbul karena adanya perjanjian khusus antara pihak Kreditur/Bank dengan Debitur/Nasabahnya. Dalam hal ini, kerap yang terjadi adalah Debitur dengan jaminan berupa tanahnya yang kemudian dibebani dengan konsekuensi bahwa 3 Hak Tanggungan adalah sebagai jaminan atas pinjaman kreditnya kepada Kreditur/Bank. Biasanya jaminan yang diberikan oleh Debitur kepada Kreditur adalah sebagai salah satu syarat baku untuk memberikan suatu perlindungan bagi Kreditur apabila dikemudian hari dan atau sewaktu-waktu terjadi pengingkaran atas pembayaran yang wajib dibayarkan oleh Debitur kepada Kreditur sesuai dengan klausula-klausula perjanjian kredit yang disepakati bersama sebelumnya. Berbagai bentuk-bentuk pengingkaran akan kewajiban Debitur dalam melaksanakan pembayaran kepada Kreditur yaitu biasanya disebut sebagai perbuatan Wanprestasi atau Cidera Janji, misalnya adalah disebabkan karena Kredit Macet. Adapun pengertian dari Wanprestasi/Cidera Janji adalah dimana suatu keadaan seseorang tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya yang di dasarkan pada suatu perjanjian/kontrak sebelumnya dalam bentuk kesepakatan. Wanprestasi juga dapat berarti tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi secara tidak baik. Dalam hal ini, berkaitan dengan adanya kesepakatan Kreditur dan Debitur akan muncul suatu bentuk perjanjian utang piutang. Biasanya menggunakan suatu badan lembaga Hak Tanggungan sebagai bentuk atas jaminan kredit dari pihak Debitur. Hal ini dimaksudkan yakni bahwa Hak Tanggungan itu sendiri bisa menjadi suatu bentuk jaminan dalam hal alternatif penyelesaian/pelunasan hutang-hutang yang dimiliki oleh Debitur. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UU NO. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang di maksud dengan hak tanggungan adalah : “Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya di sebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang 4 di bebankan kepada hak atas tanah sebagai mana dimaksud dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang di utamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lainnya”.2 Dari ketentuan di atas, maka Hak Tanggungan pada dasarnya hanya di bebankan kepada hak atas tanah dan juga seringkali terdapat benda-benda diatasnya bisa berupa bangunan, tanaman dan hasil-hasil lainnya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan sebagaimana yang dimaksud dalam perjanjian yang dibuat bersama sebelumnya. Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, obyek hak tanggungan harus berupa hak atas tanah yang dapat di alihkan oleh pemegang haknya yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, serta Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dapat juga di bebani Hak Tanggungan. Hak Tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UndangUndang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Pasal 3 disebutkan bahwa Hak Tanggungan mempunyai ciri-ciri yaitu sebagai berikut : a) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya. b) Selalu mengikuti obyek yang di jaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada. 2 Undang-undang no. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan 5 c) Memenuhi asas spesialis dan pubisitas sehingga dapat mengikat pihak ke tiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi Dengan adanya ciri-ciri tersebut di atas di harapkan hak tanggungan atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan menjadi kuat kedudukannya dalam hukum jaminan mengenai tanah. Kredit yang di jamin dengan hak atas tanah tersebut, apabila debitur tidak lagi mampu membayarnya dan terjadi adanya wanprestasi dan kredit menjadi macet, maka pihak kreditur tentunya tidak mau dirugikan dan akan mengambil pelunasan utang debitur tersebut dengan cara mengeksekusi jaminan kredit tersebut dengan cara menjualnya melalui sistem pelelangan umum agar debitur juga tidak terlalu di rugikan karena kemungkinan masih ada sisa atas penjualan dan atau hasil pelelangan jaminan yang diberikannya kepada Kreditur.3 Eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yag menang dalam berperkara di pengadilan. Sedangkan Hukum Eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan Hakim. Dalam hal ini, sebagaimana biasanya Eksekusi Hak Tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil, akan tetapi yang berhubungan dengan penjualan cara lelang obyek Hak Tanggungan, dan apabila ada sisanya dikembalikan kepada debitur. Eksekusi Hak Tanggungan melalui pelelangan umum sebagaimana yang telah di atur dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ditentukan bahwa : 3 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika,2008,hal, 186 6 “Obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang di butuhkan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditur –kreditur lainnya”. Dari ketentuan ini terlihat bahwa, Eksekusi atas Hak Tanggungan (jaminan), tidaklah termasuk eksekusi riil, tetapi eksekusi yang mendasarkan pada alas hak eksekusi yang bertitel atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, maka Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai titel Eksekutorial, yang berlaku adalah Peraturan mengenai Eksekusi yang di kenal dengan Parate Eksekusi yang di atur dalam pasal 224 HIR/pasal 258 Rbg. Akhir-akhir ini, berbagai proses pelaksanaan-pelaksanaan Eksekusi atas Hak Tanggungan sebagaI jaminan kredit masih banyak memiliki berbagai kendala-kendala dalam praktek yang justru menjadi pemicu terkendalanya perlindungan akan kepentingan pihak Kreditur atas Hak Tanggungan tersebut. Misalnya, Seseorang Debitur sebagai pihak yang memberikan Hak Tanggungan mempermasalahkan jumlah besarnya hutang yang di jaminkan dengan Hak Tanggungan, dan alasan-alasan seperti ini sudah menjadi suatu hal yang tidak asing lagi dilakukan oleh Debitur sebagai alasan dan upaya-upaya untuk menghambat pelaksanaan Eksekusi atas Hak Tanggungan tersebut. Selain itu juga, dalam praktek kerap sering di jumpai adanya Debitur yang keberatan dan tidak bersedia secara sukarela mengosongkan obyek Hak Tanggungan sebagaimana yang ada dalam perjanjian yang dibuat sebelumnya bahkan banyak sekali Debitur berusaha untuk mempertahankan dengan mencari perpanjangan kredit atau melalui gugatan perlawanan Eksekusi Hak Tanggungan 7 kepada Pengadilan Negeri yang tujuannya untuk menunda-nunda bahkan membatalkan proses Ekeskusi Hak Tanggungan tersebut. Sikap seperti ini jelas mengganggu tatanan kepastian dalam upaya penegakan hukum di Indonesia yang mengakibatkan runtuhnya keaktifan dan fungsi, maksud dan tujuan adanya jaminan Hak Tanggungan. Dalam proses pemberian kredit, sering terjadi bahwa pihak Kreditur di rugikan ketika pihak Debitur melakukan suatu wanprestasi sehingga di perlukan suatu aturan hukum dalam pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit, yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait, khususnya dari pihak Kreditur yang memberikan pinjaman kredit kepada Debitur dengan kata lain yaitu apabila Debitur melakukan suatu bentuk perbuatan Wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah yang jelas-jelas adalah sebagai Pelaksana dan Pembuat Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Dari ulasan diatas, maka hal-hal sebagaimana yang dijabarkan diatas yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang bagaimana ketentuan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan sebagai wujud untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditur, khususnya apabila Debitur melakukan perbuatan Wanprestasi/Cidera Janji/Kredit Macet dan sebagainya yang merugikan kepentingan-kepentingan hukum pihak Kreditur sebagaimana kesepakatan perjanjian kredit yang sebelumnya telah dibuat secara bersama-sama oleh para pihak yaitu Pihak Kreditur dan Pihak Debitur dengan menggunakan Hak Tanggungan. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah di jelaskan tersebut, maka penulis menggambil, memilih dan 8 menyusun skripsi ini dengan judul : “HAK TANGGUNGAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR“. 2. Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis akan membahas permasalahan sebagai berikut : a) Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur? b) Bagaimana proses Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur? 3. Penjelasan judul Penulis sangat tertarik sekali terhadap judul skripsi yaitu : “ Hak Tanggungan dan Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Kreditur”. Oleh sebab itu penulis angkat dalam penulisan skripsi ini. Seperti kita ketahui bersama bahwa di berbagai daerah di indonesia, kerap terjadi berbagai penjaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur kepada lembaga keuangan/perbankan/kreditur. Atas hal tersebut, disamping memberikan keuntungan dalam peningkatan perekonomian masyarakat dalam mendapatkan modal, lembaga keuangan/kreditur berhasil menjalankan usahanya dalam penyaluran dana yang dimilikinya kepada masyarakat luas yang membutuhkan pinjaman. Hal ini tentu saja memberikan suatu keuntungan yang sangat prosfek dalam meningkatkan taraf hidup seluruh bangsa indonesia secara umum. Akan tetapi dalam hal ini, ada juga kerugian dan kerancuan yang menjadi kendala tersendiri bagi lembaga keuangan/perbankan/kreditur dalam mendapatkan kepastian hukum atas hak-hak yang akan didapatkan dalam suatu 9 pinjaman yang diberikan kepada debitur. Misalnya saja, saat ini bukan menjadi rahasia lagi bahwa masih banyak debitur yang melakukan wanprestasi/cidera janji yang telah di buatnya bersama kreditur dalam akta perjanjian yang dibuat selama ini, akibat hal ini tentunya mengakibatkan berbagai kerugian yang besar bagi kepentingan kreditur sebagai peminjam dana kepada debitur misalnya bila seorang debitur yang melakukan wanprestasi/ingkar janji ( tidak mampu membayar hutang-hutangnya) kepada kreditur yang akhirnya membuat kreditur merasa di rugikan dengan perbuatan debitur tersebut. Oleh sebab itu pelaksanaan proses eksekusi hak tanggungan merupakan jalan satu-satunya atau pilihan terakhir yang di pilih oleh kreditur untuk melunasi utang-utang debitur sesuai jaminan yang diberikan/diagunkan/dijaminkan kepada kreditur guna untuk mencapai, memenuhi dan atau mendapatkan hak-hak kreditur seperti yang telah di perjanjikan sebelumnya dalam perjanjian kredit antara kreditur dan debitur tersebut. Hal-hal seperti inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam memberikan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemamfaatan hukum yang dicita-citakan dan di impikan selama ini dalam mewujudkan peningkatan perekonomian bangsa dan negara indonesia dan khususnya bagi pihak-pihak yang melakukan suatu bentuk perjanjian kredit antara individu dengan individu, individu dengan lembaga keuangan dan antara individu dengan lembaga negara yang melakukan penegakan akan kepastian hukum dalam perjanjian yang dibuat. Dalam hal ini bertujuan disamping memberikan suatu pengembangan perekonomian masyarakat/debitur dalam mendapatkan modal guna dipergunakan dalam kebutuhannya ( modal usaha/modal kerja ) tetapi disisi lain juga sangat diperlukan suatu kebijakan hukum yang bisa melindungi 10 kepentingan-kepentingan kreditur selaku badan usaha/pelaku usaha yang bergerak dibidang keuangan yang memberikan pinjaman berupa uang kepada debitur sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya. Hal-hal seperti inilah yang harus segera dilakukan suatu kebijakan hukum untuk menegakkan keadilan hukum dan kepastian hukum antara pihak-pihak yang dimaksud dalam hal pinjaman kredit sebagaima yang disepakati bersama sebelumnya. Agar tidak menimbulkan kerugian-kerugian yang tidak diinginkan oleh semua pihak khususnya kreditur selaku pemberi pinjaman. 4. Alasan pemilihan judul Dalam praktek sering di jumpai debitur keberatan dan tidak bersedia secara sukarela mengosongkan obyek hak tanggungan itu bahkan berusaha mempertahankan dengan mencari perpanjangan kredit atau melalui gugatan perlawanan eksekusi hak tanggungan kepada pengadilan negeri yang tujuannya untuk menunda eksekusi hak tanggungan tersebut, sikap seperti ini menggangggu tatanan kepastian penegakkan hukum. Atas sikap debitur yang seperti inilah, sehingga membuat penulis termotivasi untuk mengangkat dalam skripsi ini guna memberikan gambaran dan solusi untuk memecahkan masalahmasalah yang berkaitan dengan eksekusi hak tanggungan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan dan Undang-Undang yang terkait lainnya. 5. Tujuan penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 11 a) Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi kreditur ketika debitur melakukan suatu wanprestasi dalam suatu perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan menurut kententuan Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. b) Untuk mengetahui proses eksekusi hak tanggungan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur. 6. Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Untuk penulis akan menerapkan ilmu-ilmu yang di peroleh dari teori kemudian diterapkan di lapangan atau praktek. b) Untuk Universitas Wijaya putra Khususnya Fakultas Hukum untuk di jadikan perbendaharaan di perpustakaan yang di mungkinkan dapat di pakai sebagai referensi atau Mahasiswa yang tertarik dan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan proses Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur. c) Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul pada pelaksanaan eksekusi hak tanggugan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur. 7. Metode penelitian a. Tipe Penelitian Penelitian mengenai hak tanggungan dan eksekusi hak tanggungan sebagai perlindungan hukum bagi kreditur merupakan penelitian hukum 12 normatif dengan menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan hak tanggungan. b. Pendekatan Masalah Untuk menyusun skripsi ini penulis menggunakan penellitian hukum normatif, dengan melakukan pendekatan peraturan perundang-undangan (state approach) dan pendekatan kasus (cases pendekatan ini di harapkan dapat approach).Gabungan memberikan gambaran dan pembahasan yang komprehensif terhadap permasalahan eksekusi hak tanggungan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur. c. Bahan Hukum Penelitian ini di titikberatkan pada studi kepustakaan sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih di utamakan dari pada data primer. Bahan Hukum primer bersumber dari berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan penelitian ini yang meliputi antara lain: Undang-Undang Dasar tahun 1945,Hukum Acara Perdata/HIR, Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa tulisan para pakar ahli hukum mengenai hak tanggungan, serta tanggungan. pelaksanaan eksekusi hak 13 Bahan hukum tertier adalah yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain meliputi kamus hukum, kamus bahasa indonesia, jurnal hukum yang berkaitan dengan permasalahan ini. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum primer dan bahan sekunder serta bahan hukum tertier, ketiganya dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan tahapan- tahapan berfikir secara sistematis dari aturan-aturan yang lebih tinggi menuruni semua aturan yang lebih rendah. Guna memberikan jawaban dan solusi pada pokok permasalahan penelitian ini. Adapun pengolahan bahan hukum tersebut menggunakan penalaran deduksi yaitu memaparkan keadaan yang terjadi dan disesuaikan dengan kajian dari peraturan perundang-undangan serta materi-materi yang berkaitan dengan permasalahan dan pada akhirnya pembahasan skripsi ini di tarik kesimpulan dari uraian di atas. 8. Sistematika Pertanggung Jawaban Dalam sistematika skripsi ini penulis sengaja disusun secara runtut agar lebih mudah diketahui dan dipahami isi materinya skripsi ini dengan jelas. BAB I Pendahuluan Bagian ini merupakan pendahuluan dari konsep materi yang akan dibahas. Bagian pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggung jawaban. 14 BAB II Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Bab ini penulis akan membahas tentang pengertian Hak Tanggungan, Objek dan Subjek hukum dalam hak tanggungan Tujuan Hak Tanggungan, Eksekusi Hak tanggungan dan Hak-hak kreditur yang di lindungi oleh undang-undang atas hak tangungan terhadap wanprestasi yang di lakukan oleh debitur, meliputi hak untuk melakukan eksekusi hak tanggungan, baik eksekusi yang di lakukan dengan persetujuan dari pihak debitur maupun eksekusi yang di lakukan tanpa persetujuan dari pihak debitur sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur. BAB III Proses Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai pengertian eksekusi hak tanggungan, macam-macam eksekusi hak tanggungan, dan tata cara pelaksanaan proses eksekusi hak tanggungan baik yang di lakukan oleh lembaga perbankan yang di kelolah oleh pemerintah maupun lembaga perbankan swasta di indonesia, serta mengkaji berbagai hambatan-hambatan yang di alami oleh kreditur untuk kepentingan secara hukum atas hak tanggungan yang telah di jaminkan oleh debitur dalam perjanjian kredit. BAB IV penutup merupakan akhir dari penulisan skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan dan tidak lupa memberikan saran sebagai masukan terhadap lembaga-lembaga perbankan dan instansi-instansi terkait lainnya. 15 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR 1. Pengertian Hak Tanggungan Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah salah satu jenis dari hak jaminan di samping hipotik, Gadai dan Fidusia. Hak jaminan tersebut dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitur yang memberikan hak utama kepada seorang kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain, maksud dari kreditur tertentu disini yaitu kreditur yang memegang hak jaminan itu, untuk di dahulukan terhadap kreditur-kreditur lain apabila debitur cidera janji. Pengertian hak tanggungan yang di kemukakan oleh St. Remy Shahdeini, bahwa Hak Tanggungan memberikan definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya di sebut Hak Tanggungan. Ini mengartikan hak tanggungan adalah Penguasaan atas Hak Tanggungan yang merupakan kewenangan bagi kreditur tertentu untuk berbuat sesuatu mengenai Hak Tanggungan yang dijadikan agunan.Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan,melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.4 4 Sutan Remy sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan MasalahMasalah yang di Hadapi Oleh Perbankan, Air Langga University Press, hal 3 16 Sedangkan menurut pendapat ahli hukum lainnya, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang diberikan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang di utamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur yang lain. Dari definisi tentang Hak Tanggungan di atas dapat di simpulkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang didahulukan/diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan memberikan Definisi tentang Hak Tanggungan yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya di sebut dengan Hak Tanggungan. Sesuai dengan penjelasan dalam (pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan) “Hak tanggungan adalah Hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang di utamakan kepada kreditur-kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”. Bahwa maksud dari pasal 1 ayat (1) tersebut adalah Hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan yang dapat di bebani dengan hak tanggungan untuk mendapatkan pinjaman kredit pada bank. 17 Sedangkan yang di maksud dengan pelunasan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain adalah kreditur tersebut mempunyai hak istimewa yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap jaminan yang di pegang kreditur tersebut adalah bilamana hasil penjualan jaminan tersebut diutamakan untuk pelunasan kreditur yang mempunyai hak istimewa, kemudian bila masih ada sisanya dibayarkan pada kreditur-kreditur yang lain atau berdasarkan presentasi hutangnya.5 Beranjak dari definisi di atas, dapat di tarik unsur-unsur pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut : a) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang. b) Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai undang-undang pokok-pokok agraria. Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur,yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut, dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur lain. c) Hak Tangungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya. 5 Supriadi,ibid, hal. 119 18 d) Utang yang di jamin adalah suatu utang tertentu.Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur. e) Memberikan kedudukan yang di utamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediutr-kreditur lain. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, atau yang lazim disebut droit de preference . Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) danPasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi : “apabila debitur wanprestasi/cidera janji, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminanmelalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku danmengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut,dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain yang bukanpemegang Hak Tanggungan atau kreditur pemegang Hak Tanggungandengan peringkat yang lebih rendah.Karenahak yang istimewa yang di berikan Undang-Undang ini tidakdipunyai oleh kreditur bukan pemegang Hak Tanggungan”. 2. Obyek Dan Subyek Hukum Dalam Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria mengenai hak jaminan atas tanah, yang dinamakan Hak Tanggungan. Menurut UUPA. Hak tanggungan itu dapat di bebankan di atas tanah hak milik (pasal 25) Hak Guna Usaha (pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (pasal 39). Menurut pasal 51 UUPA. Hak Tamggungan akan diatur dengan Undang-Undang, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, hal tersebut terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang diamanatkan di dalam pasal 51 UUPA tersebur. Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, obyek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda- 19 benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut di jelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagi berikut: a) Hak milik b) Hak GunaUsaha c) Hak Guna Bangunan d) Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat di pindah tangankan e) Hak-Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akanada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanan harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Sementara itu, dalam Hak Tanggungan juga terdapat subyek hukum yang menjadi Hak Tanggungan yang terkait dengan perjanjian Pemberi Hak Tanggungan. Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri yaitu sebagai berikut: a) Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan obyek Hak Tanggungan. b) Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan Hak Tanggunag sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan memuat ketentuan mengenai subyek hukum Hak Tanggungan dalam pasal 8 dan pasal 9, yaitu sebagi berikut: 20 1. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hokum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan, Kewenangan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap obyek hak tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu di lakukan 2. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangana atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.6 3. Tujuan Hak Tanggungan a. Tujuan Hak Tanggungan Menurut undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan Hak tanggungan adalah bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang hak tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cidera janji, tanah (hak atas tanah) yang di bebani dengan hak tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang hak tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan obyek Hak Tanggungan tersebut.Terhadap jaminan berupa hak atas tanah dapat memberikan perlindunngan dan kepastian hukum bagi penerima hak tanggungan/kreditur, karena dapat memberikan keamanan bagi penerima jaminan/bank baik dari segi hukum maupun dari nilai ekonomisnya yang pada umumnya mengikat terus. Penerimaan Hak Tanggungan sebagai agunan yang diterima/dipegang menjamin oleh kreditor/bank pelunasan kredit melalui tentunya mempunyai tujuan untuk penjualan agunan lelang maupun di bawah tangan dalam hal debitor cidera janji. 6 Sutan Remy Sjahdeini, ibid, hal. 41 baik secara 21 Tujuan hak tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur yang menjadi pemegang Hak Tanggungan untuk di dahulukan dari kreditur-kreditur lain. Apabila terhadap hak tanggungan itu di mungkinkan di sita oleh pengadilan, maka berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang di utamakan dari kreditur pemegang hak tanggungan. Penegasan dalam UUHT bahwa terhadap hak tanggungan tidak dapat di letakkan sita, dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. b. Tujuan Hak tanggungan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Weetboek) Menurut pasal 1131 KUH Perdata, segala harta kekayaan seorang debitur, baik yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada akan di kemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan utangnya. Dengan berlakunya ketentuan pasal 1131 KUH Perdata tersebut, maka dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan debitur itu.Permasalahan yang timbul apabila terdapat beberapa kreditur dan ternyata debitur cidera janji terhadap salah satu kreditur atau beberapa kreditur itu. Atau debitur jatuh pailit dan harta kekayaanya harus dilikuidasi. Sudah barang tertentu masing-masing kreditur merasa mempunyai hak terhadap harta kekayaan debitur itu sebagai jaminan piutangnya masingmasing. Menurut ketentuan pasal 1132 KUH Perdata, harta kekayaan debitur itu menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberi utang kepada debitur yang bersangkutan. Menurut pasal 1132 KUH Perdata tersebut, hasil dari penjualan bendabenda yang menjadi kekayaan debitur itu dibagi kepada semua krediturnya 22 secara seimbang atau proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing. Namun pasal 1132 KUH Perdata tersebut adalah alasan-alasan yang di tentukan oleh undang-undang. Di antara alasan-alasan yang dimaksudkan oleh pasal 1132 KUH Perdata tersebut, di berikan oleh pasal 1133 KUH Perdata tersebut, hak untuk di dahulukan bagi seorang kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain timbul dari hak istimewa, Gadai dan Hipotik. Urutan dari hak yang di dahulukan yang timbul dari ke tiga hak yang di sebut dalam pasal 1133 KUH Perdata tersebut, menurut dalam pasal 1134 KUH Perdata, Gadai dan hipotik lebih tinggi dari pada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal yang oleh undang-undang ditentukan sebaliknya. Dari ketentuan pasal 1132 KUH Perdata tersebut jika di hubungkan dengan ketentuan pasal 1133 KUH Perdata dan pasal 1134 KUH Perdata, maka para kreditur yang tidak mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana telah di tentukan dalam pasal 1132 KUH Perdata, hak mereka untuk memperoleh dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, dalam hal debitur cidera janji, adalah berimbang secara proporsional menurut besarnya masing-masing piutang mereka. Pembagian menurut keseimbangan itu mendapat penegasan kembali dalam pasal 1136 KUH Perdata. Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang kreditur menginginkan untuk tidak berkedudukan yang sama dengan kreditur-kredditur lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, apabila debitur cidera janji, sebagai mana menurut ketentuan pasal 1132 dan pasal 1136 KUH Perdata. Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditur yang bersangkutan tidak akan pernah tau akan adanya kreditur-kreditur 23 lain yang mungkin muncul kemudian hari. Makin banyak kreditur dari debitur yang bersangkutan, maka makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitur menjadi dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar utang-utangnya). Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang, seperti Hipotik dan Gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditur tertentu untuk di dahulukan terhadap kreditur-kreditur lain. Itulah pula tujuan dari eksistensi Hak Tanggungan yang di atur oleh Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Kreditur-Kreditur yang tidak mempunyai hak untuk di dahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur konkurent, sedangkan kreditur yang mempunyai hak untuk di dahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur preferen. Tujuan dari Hak Tanggungan yang bersifat kebendaan adalah bermaksud memberikan hak verhal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya. Jaminan yang bersifat perorangan adalah memberikan hak verhaal kepada kreditur, terhadap benda keseluruhan, terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya.Dari jaminan Hak tanggungan yang bersifat kebendaan adalah dapat di pertahankan (dimintakan pemenuhan) terhadap siapapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak yang umum maupun pada hak yang khusus, juga terhadap para kreditur dan pihak lawannya. Hak tersebut selalu mengikuti bendanya dalam arti bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak hanya 24 haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan hak melakukan eksekusi.7 4. Eksekusi Hak Tanggungan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-Irah yang di cantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan tersebut maka obyek Hak tanggungan siap untuk di lakukan eksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap melalui tata cara yang telah di tentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Karena salah ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika suatu saat debitur cidera janji. Dalam ketentuan pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan ditetapkan bahwa apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan Hak Tanggungan yang ada pada pemegang Hak Tanggungan yaitu janji untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan/debitur (Penjelasan pasal 6 Undang-Undang Hak 7 Sutan Remy Sjahdeini, op,cit….hal 5-7 25 Tanggungan) dan irah-irah yang tercancum tercantum dalam Hak Tanggungan yang merupakan title eksekutorial yang sama kekuatannya dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hokum yang tetap, kreditur dapat melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan tersebut.8 5. Eksekusi Hak Tanggungan Yang di lakukan Kreditur Tanpa persetujuan dari pihak Debitur Maupun atas persetujuaan Dari pihak Debitur. Eksekusi Hak Tanggungan merupakan suatu upaya bagi Pemegang Hak Tanggungan untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitor melakukan wanprestasi. Untuk itu Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah memberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Sebagaimana di ketahui Hak tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang di berikan oleh pemegang hak tanggungan kepada debitur. Apabila debitur wanprestasi/cidera janji kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menjual obyek Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum menurut tata cara yang di tentukan menurut peraturan perundang-undangan dan berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya yang di jaminkan dengan hak tanggungan tersebut, dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor yang lain. a. Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pelelangan Umum Hak pemegang hak tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan tidak perlu meminta persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan. 8 Adrian Sutedi. Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika,Cetakan Pertama,….hal. 118 26 Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan Pemegang Hak Tanggungan Kepada Debitur. Apabila debitur cidera janji, maka tanah (hak atas tanah) yang di bebani dengan hak tanggungan itu berhak untuk di jual oleh pemegang hak tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. Eksekusi Hak Tanggungan harus melalui pelelangan umum. Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), maka UndangUndang Hak Tanggungan mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai yang di tentukan oleh pasal 20 ayat (1) UUHT. Dalam pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan yang di jadikan jaminan tersebut. Pemegang Hak Tanggungan Pertama tersebut cukup mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelelangan Umum (KKPU) dalam rangka eksekusi obyek Hak Tanggungan yang telah di jadikan jaminan oleh debitur. Oleh karena kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama tersebut 27 merupakan kewenangan yang di berikan oleh undang-undang (kewenangan tersebut dipunyai demi hukum), maka Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut. b. Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Penjualan Di Bawah Tangan Di mungkinkan penjualan di bawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atas dasar kesepakatan antara pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan. Apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat di laksanakan di bawah tangan jika demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Sesuai yang di tentukan dalam pasal 20 ayat (2) UUHT. Oleh karena penjualan di bawah tangan dari obyek hak tanggungan hanya dapat di laksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, maka Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitur tidak menyetujuinya. Apabila kredit sudah menjadi macet, sering terjadi karena sulit bagi Bank untuk dapat memperoleh persetujuan dari nasabah/debitur untuk menjual obyek Hak Tanggungan tersebut melelui penjualan di bawah tangan. Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan Bank lebih baik agunan itu di jual di bawah tangan dari pada di jual di pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah/kreditur tersebut dapat terjadi 28 misalnya karena nasaba/debitur yang tidak lagi beritikad baik tidak bersedia ditemui oleh Bank, atau telah tidak di ketahui lagi dimana keberadaannya. Agar Bank kelak setelah kredit yang di berikan tidak mengalami kesulitan yang demikian itu, bank pada waktu kredit diberikan, mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan. Dengan di cantumkannya secara tegas dalam pasal 20 ayat (2) UndangUndang Hak Tanggungan bahwa penjualan obyek Hak Tanggungan dapat di laksanakan di bawah tangan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Dalam hal penjualan di lakukan di bawah tangan, harga seyogyanya tidak di tetapkan sendiri oleh bank, tetapi berdasarkan kesepakatan antara pemegang dan pemberi hak tanggungan atau berdasarkan penilaian harga oleh suatu perusahaan penilai yang independen, atau seyogyanya, sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet nasabah/debitor. .9 9 Sutan Remy Sjahdeini, loc, cit, hal.119 29 . BAB III PROSES EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR 1. Pengertian Eksekusi Yang dimaksud dengan eksekusi adalah merupakan suatu upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yag menang dalam berperkara di pengadilan. Sedangkan Hukum Eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan Hakim. Dalam hal ini, sebagaimana biasanya Eksekusi Hak Tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil, akan tetapi yang berhubungan dengan penjualan cara lelang obyek Hak Tanggungan, dan apabila ada sisanya dikembalikan kepada debitur. Dalam membicarakan masalah eksekusi tentunya tidak terlepas dari pengertian eksekusi itu sendiri, oleh karena itu ada beberapa pendapat ahli hukum dari beberapa literature seperti terurai di bawah ini : a) sesuai pendapat dari Ridwan Sahrani, bahwa eksekusi/pelaksanaan putusan pengadilan tidak lain adalah realisasi dari pada apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang di kalahkan untuk memenuhi suatu prestasi yang merupakan hak dari pihak yang di menangkan, sebagai mana tercantum dalam putusan pengadilan. b) Pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa pelaksanaan putusan hakim atau eksekkusi pada hakikatnya adalah realisasi dari pada kewajiban dari pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. 30 c) Pendapat M. Yahya Harahap, bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang di lakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara oleh karena itu eksekusi tidak lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dan keseluruhan proses hukum perdata. Jadi eksekusi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib berita acara yang terkandung dalam HIR atau RBG. d) Pendapat Soepomo, bahwa hukum eksekusi mengatur cara dan syaratsyarat yang di pakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila yang kalah tidak bersedia dengan suka rela memenuhi putusan yang telah di tentukan oleh Undang-Undang. Dari beberapa definisi di atas jelaslah bahwa eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam perkara di pengadilan dengan melalui kekuasaan pengadilan sedangkan hukum eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan hakim. Namun yang dimaksud dengan eksekusi dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan tidaklah termasuk dalam pengertian apa yang dinamakan eksekusi riil, karena eksekusi riil hanya di lakukan setelah adanya pelelangan. Eksekusi dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil akan tetapi yang berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang obyek Hak Tanggungan yang kemudian hasil perolehannya dari penjualan obyek Hak 31 Tanggungan tersebut dibayarkan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, apabila ada sisanya di kembalikan kepada debitur.10 2. Macam-Macam Eksekusi Hak Tanggungan Menurut pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan ada tiga cara eksekusi yang dapat di lakukan terhadap obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, yaitu : a) Menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum berdasarkan Titel eksekutorial. b) Menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum atas kekuasaan sendiri dari pemegang Hak Tanggungan pertama. c) Menjual obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. 1. Berdasarkan Titel Eksekutorial Yang dimaksud dengan Titel eksekutorial adalah pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tanpa melalui bantuan pengadilan Negeri setempat. Apabila debitur cidera janji, kreditur berhak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangna umum menurut tata cara yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Karena dengan cara melalui pelelangan umum ini di harapkan dapat di peroleh harga yang paling tinggi untuk menjual obyek hak tanggungan. 10 M.Yahya Harahap, Ruang lingkup permasalahan eksekusi bidang perdata, Jakarta, PT. Gramedia, 1988….. hal. 1 32 Dari hasil penjualan obyek hak tanggungan tersebut, Kreditur berhak mengambil pelunasan piutangnya.Dalam hasil penjualan itu lebih besar dari pada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi hak tanggungan. Pada asasnya, pelaksanaan eksekusi harus melalui penjualan di muka umum atau melalui lelang (pasal 1 ayat (1) UUHT). Dasar pikirannya adalah diperkirakan, bahwa melalui suatu penjualan lelang terbuka, dapat di harapkan akan di peroleh harga yang wajar atau paling tidak mendekati wajar, karena dalam suatu lelang tawaran yang rendah bisa di harapkan akan memancing peserta lelang lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. Hal ini merupakan salah satu wujud bagi perlindungan undang-undang kepada pemberi jaminan. 2. Pelelangan Umum. Hal ini merupakan perwujudan dari kemudahan yang di sediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan bagi para kreditur pemegang hak tanggungan yang akan melakukan ekseksi Hak Tanggungan. Pelelangan Umum Hak Tanggungan adalah bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan Pemegang Hak Tanggungan Kepada Debitur. Apabila debitur cidera janji, maka tanah (hak atas tanah) yang di bebani dengan Hak Tanggungan itu berhak untuk di jual oleh pemegang hak tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. Eksekusi Hak Tanggungan harus melalui pelelangan umum. Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), maka Undang- 33 Undang Hak Tanggungan mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai yang di tentukan oleh pasal 20 ayat (1) UUHT. Dalam pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan yang di jadikan jaminan tersebut. Pemegang Hak Tanggungan Pertama tersebut cukup mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelelangan Umum (KKPU) dalam rangka eksekusi obyek Hak Tanggungan yang telah di jadikan jaminan oleh debitur. Oleh karena kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama tersebut merupakan kewenangan yang di berikan oleh undang-undang (kewenangan tersebut dipunyai demi hukum). 3. Penjualan di bawah tangan Apabila dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud diatas diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan. Dengan penjualan di bawah tangan ini dimaksudkan 34 untuk mempercepat penjualan obyek hak tanggungan dengan harga penjualan dan menguntungkan semua pihak. Pelaksanaan penjualan sendiri obyek Hak Tanggungan hanya dapat di lakukan apabila di sepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Selanjutnya pasal 20 ayat (2) dan penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menentukan bahwa; Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek hak Tanggungan dapat di laksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan di peroleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam hasil melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di beri kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut di sepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan syarat-syarat yang di tentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan obyek Hak Tanggungan dengan penjualan harga tertinggi. Dengan adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat di laksanakan di bawah tangan, jika dengan cara itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Karena penjualan di bawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat di laksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitur tidak menyetujuinya. 35 Apabila kredit sudah macet, sering bank menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari nasabah debitur.Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan di jual di bawah tangan dari pada di jual di pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah tersebut dapat terjadi misalnya karena nasabah debitur yang tidak lagi beritikad baik tidak bersedia di temui oleh bank, atau telah tidak di ketahui lagi keberadaannya. Agar bank kelak setelah kredit diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, bank pada waktu kredit di berikan/mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.11 Dengan di cantumkannya secara tegas dalam pasal 20 ayat (2) UndangUndang Hak Tanggungan, bahwa penjualan obyek Hak Tangggungan dapat di laksanakan di bawah tangan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. 3. Proses Eksekusi Hak Tangggungan Yang Di Lakukan Oleh Bank-Bank Swasta Maupun Bank-Bank Pemerintah 11 Adrian Sutedi,ibid….. hal. 128 36 Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku Eksekusi Hak Tanggungan Kredit macet pada bank-bank swasta harus di selesaikan melalui jalur pengadilan negeri. Eksekusi menurut pasal 224 HIR atau pasal 258 RBG dapat di laksanakan oleh Pengadilan Negeri untuk memenuhi isi perjanjian yang telah di buat oleh pihak debitur dan pihak kreditur dalam bentuk Gross Akte, maupun pengakuan hutang, bilamana pihak debitur tidak melaksanakannya secara sukarela. Gross Akte Hak Tanggungan yang dapat di eksekusi bila telah berira-irah dan berkepala : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Maka kekuatan Gross Akte Hak Tanggungan secara Hukum sudah pasti, atau sama kedudukannya seperti keputusan dari hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Adapun khusus kredit macet pada bank-bank pemerintah, selama ini proses penagihannya dilakukan lewat Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), yang di bentuk dengan Undang-Undang Nomor 49 Prp 1960, Badan Usaha Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), yang di bentuk dengan keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991. Pasal 2 dari Kepres ini menentukan bahwa Badan Usaha Piutang Negara (BUPN), mempunyai tugas menyelenggarakan pelaksanaan tugas Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), maupun yang lainnya. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), bertugas menyelesaikan piutanng Negara yang telah diserahkan oleh instansi-instansi pemerintah atau badanbadan Negara. Dengan demikian bagi bank milik Negara menyelesaikan kredit macetnya harus di lakukan melelui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), di mana dengan adanya penyerahan piutang macet kepada badan tersebut secara hukum wewenang penguasaan atas hak tagih dialihkan kepadanya.12 12 Adrian Sutedi, op, cit….hal.221 37 4. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Dan Upaya Pemecahannya Secara teoritis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan sudah mengatur secara tegas dan terperinci dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, namun dalam praktek masih banyak hambatanhambatan yang dapat menghambat jalannya eksekusi tersebut. Dari sekian banyak permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang di tujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, ada sebagian pemohon dapat di terima dan ada juga yang tidak dapat di terima untuk di laksanakan eksekusinya. Hal ini di sebabkan karena adanya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam eksekusi Hak Tanggungan di pengadilan maupun dalam penjualan lelang baik secara yuridis maupun non yuridis. a. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan 1. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan Adapun beberapa kendala yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan eksekusi secara yuridis adalah : a. Adanya penjelasan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang dapat di simpulkan bahwa Kreditur berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tangungan dalam hal hasil penjualan itu lebih besar dari pada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan. Dari ketentuan 38 tersebut berarti utang yang harus dibayar dari uang hasil penjualan lelang obyek Hak Tanggungan milik Debitur setinggi-tingginya/maksimal adalah sebesar nilai tanggungan yang di sebut dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut. Sedangkan biasanya Kreditur menetapkan jumlah lebih besar dari apa yang tertuang dalam sertifikat Hak Tanggungan, hal ini di karenakan pada pembebanan Hak Tanggungan ada syarat-syarat, bahwa Debitur sepanjang mengenai besarnya jumlah yang tergantung itu termasuk bunga dan denda, sehingga jumlahnya bisa melebihi apa yang tersebut dalam Sertifikat Hak Tanggungan. b. Kendala lain yang berhubungan dengan janji yang terdapat dalam pasal 11 ayat (2) yaitu janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Janji seperti ini oleh Kreditur selalu di masukan dalam Sertifikat Hak Tanggungan akan tetapi kebanyakan Debitur tidak akan secara sukarela mengosongkan obyek Hak Tanggungan itu baik pada saat obyek Hak Tanggungan akan di eksekusi, sebelum pelelangan maupun setelah pelelangan dilaksanakan. c. Kendala lain yang sering terjadi adalah adanya gugatan perlawanan oleh pihak debitur itu sendiri maupun kreditur-kreditur yang lainnya terhadap eksekusi atas permohonan pemegang Hak Tanggungan pertama. Namun masalah ini tidak di atur di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan tetapi ada dalam Undang-Undang Hukum Acara Perdata. 2. Hambatan non yuridis 39 a. Dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, sering timbul hambatanhambatan diluar prediksi yaitu pihak-pihak tereksekusi dengan sengaja mengerahkan masanya untuk menghambat jalannya eksekusi, dengan cara-cara mengerahkan masanya untuk memblokade dan memblokir jalan dan letak obyek Hak Tanggunga yang akan di eksekusi agar team/pelaksana eksekusi tidak bisa masuk kedalam/kelokasi obyek Hak Tanggungan tersebut, serta menghalangi aparat keamanan dengan membakar ban-ban mobil bekas dan ada pula yang sengaja mabukmabukan sehingga membuat keadaan manjadi gaduh dan kacau, sehingga keadaan menjadi tidak kondusif karena jumlah massa yang lebih banyak dari pada aparat keamanan yang bertugas untuk mengamankan jalannya eksekusi. Keadan yang demikian ini membuat repot pelaksanaan eksekusi dan aparat keamanan, sehingga jelas eksekusi tidak bisa di laksanakan bahkan harus dilakukan penundaan, karena bila pelaksanaan eksekusi di paksakan atau tetap di laksanakan bisa-bisa pelaksana eksekusi menjadi bulan-bulanan massa pendukung dari pihak tereksekusi. Penundaan pelaksanaan eksekusi dimaksudkan untuk menghindari terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. b. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi oleh pihak termohon eksekusi. b. Upaya-Upaya Pemecahan Terhadap Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan 1. Upaya Pemecahan Hambatan Yuridis a. Upaya pemecahan terhadap kendala pertama mendasarkan kepada ketentuan perjanjian Kredit yang menetapkan jumlah Utang dan 40 bunga serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan perjanjian kredit harus di bayarkan oleh Debitur sebagai utang. Yang dimaksud disini adalah jumlah utang yang harus dibayar Oleh Debitur atau dalam hubungannya hutang piutang, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam mengatasi masalah tersebut dapat mendasarkan kepada ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang berbunyi sebagai berikut: “Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah di perjanjiakan yang jumlahnya tertentu atau pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan, jadi utang Debitur dapat berupa utang pokok, bunga yang di perjanjikan dan denda yang di perjanjikan” Walaupun masalah utang tersebut pada umumnya berkaitan dengan masalah besarnya hutang maksimal yang disebut dalam sertifikat Hak Tanggungan. Pasal 20 ayat (1) yang dalam praktek sering dipermasahkan oleh debitur selaku pemberi Hak Tanggungan, dengan alasan atau dalih untuk melumpuhkan eksekusi Hak Tanggungan, namun dengan adanya ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan diharapkan Ketua Pengadilan Negeri/Hakim tidak akan mengabulkan atas keberatan yang dilakukan oleh pihak debitur tersebut, dan tetap menjalankan/melaksanakan eksekusinya, sehingga kepentingan kreditur dalam memperoleh kembali uangnya benar-benar dapat terlindungi. b. Dalam memecahkan berhubungan dengan masalah janji sebagai pemberi kendala Hak kedua yang Tanggungan akan 41 mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Karena hal tersebut sudah disebut dalam perjanjian, maka Kreditur dan Debitur timbullah hak dan kewajiban yang harus di laksanakan apabila Debitur wanprestasi, di antaranya adanya Hak Kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya dari penjualan obyek Hak Tanggungan baik yang berupa tanah atau tanah dan bangunan tersebut dan bagi Debitur harus atau wajib mengosongkan tanah dan bangunan tersebut sebelum obyek Hak Tanggungan dieksekusi melalui penjualan lelang. Dan apabila Debitur tidak mau secara sukarela mengosongkan obyek Hak Tanggungan tersebut, maka agar Ketua Pengadilan Negeri agar supaya tetap melaksanakan eksekusi dan mengajukan permohonan penjualan lelang obyek Hak Tanggungan kepada Kantor Lelang Negara/Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Atas permohonan tersebut yang telah di lengkapi dengan syarat-syarat yang di perlukan maka pelelangan dilaksanakan. Setelah obyek Hak Tanggungan di lelang dan telah di beli oleh pemenang lelang, maka pengosongan obyek Hak Tanggungan tersebut dapat lakukan dengan 2 (dua) cara yaitu : 1. Dengan cara persuasip yaitu cara pendekatan antara pemilik baru, dalam hal ini pemenang lelang dengan pemilik lama atau penghuni yang lama, dengan cara memberikan kompensasi (ganti rugi, biaya pengosongan atau biaya-biaya lain yang di butuhkannya). 42 2. Pemilik baru/pemenang lelang mengajukan permohonan pengosongan kepada Ketua Pengadilan Negeri sebagai pelaksana eksekusi Hak Tanggungan dan atas permohonan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri membuat surat penetapan yang memerintahkan panitera sekretaris/juru sita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan pengosongan secara paksa atas obyek Hak Tanggungan itu berada, apabila perlu dengan dibantu oleh kepolisian setempat. Sebagai dasar hukum bagi Ketua Pengadilan Negeri dalam melaksanakan eksekusi obyek Hak Tanggungan yang menjadi kewenangannya adalah ketentuan dalam pasal 200 ayat (1) HIR dan penjelasan dalam pasal 11 butir ke 12 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Jadi untuk pengosongan obyek Hak Tanggungan sematamata merupakan kewenangan Ketua Pengadilan Negeri. Pengosongan obyek Hak tanggungan oleh pemenang lelang/pembeli obyek Hak Tanggungan lewat pelelangan adalah suatu yang sangat masuk akal, hal ini berarti melakukan setelah penjualan lelang obyek Hak Tanggungan tersebut, dan hal ini juga dapat di pergunakan untuk menghindari adanya suatu gugatan, selain itu dari uraian di atas apabila pengosongan dilakukan setelah obyek Hak Tanggungan di lelang adalah sanagat masuk akal, karena sebelum obyek Hak Tanggungan di lelang berarti Hak Milik masih berada pada Debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan, akan tetapi setelah jaminan di lelang berarti Hak Milik atas obyek Hak Tanggungan sudah beralih kepada pemilik yang baru, sehingga pemilik yang baru berhak mengajukan permohonan 43 pengosongan obyek Hak Tanggungan, hal ini yang dimaksud dengan eksekusi riil setelah adanya pelelangan. Akan tetapi dalam praktek sering juga terjadi, Ketua Pengadilan Negeri berani mengosongkan obyek Hak Tanggungan sebelum di lakukan pelelangan, dengan demikian halnya yang terjadi maka resikonya Kreditur selaku pemohon eksekusi bisa di gugat dengan adanya pengosongan terhadap obyek Hak Tanggungan yang masih menjadi Hak Debitur selaku pemberi Hak Tanggungan. c. Untuk memcahkan masalah/kendala adanya perlawanan oleh Debitur maupun pemegang Hak Tanggungan ini biasanya dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan yang lainnya (Hak Tanggungan ke,II atau ke III) dan seterusnya atas tanah yang dijaminkan Hak Tanggungan yang telah di sita untuk dan atas kepentingan Kreditur pertama atau Kreditur lainnya, dan untuk Pemegang Hak Tanggungan ke II dan Ke III dan seterusnya mengajukan perlawanan perlawanan atas eksekusi tersebut. Untuk menghadapi perlawanan yang demikian ini Hakim/Ketua Pengadilan Negeri harus menolak atas perlawanan tersebut karena perlawanan terhadap sita eksekusi tersebut hanya dapat di lakukan oleh pihak ke tiga atas dasar dalil tentang kepemilikan, pemegang Hak Tanggungan bukanlah pemilik, sehingga ia hanya mempunyai hak untuk memohon pelunasan piutangnya yang juga dijamin atas tanah yang disita eksekusi tersebut, dan caranya juga mengajukan permohonan eksekusi atas Hak Tanggungan tersebut. 44 Sedangkan perolehan uang dari hasil lelang eksekusi Hak Tanggungan tersebut dibayarkan terlebih dahulu kepada pemegang Hak Tanggungan pertama, dan sisanya jika masih ada di bayarkan kepada Kreditur lain atau sisanya diserahkan kepada kreditur lainnya yang kedudukannya sebagai kreditur konkuren. Jadi apabila Kreditur ke II dan ke III dan seterusnya mengetahui tanah sebagai jaminan sudah disita eksekusi oleh kreditur lain, dan ia tidak segera ikut mengajukan permohonan eksekusi maka ia akan mendapatkan kerugian, karena dengan disitanya obyek Hak Tanggungan sebagai jaminan oleh kreditur lain, berarti hutang-hutang yang lain ikut jatuh tempo sebelum waktunya. Oleh karena itu dari pada pemegang Hak Tanggungan mengajukan perlawanan atas sita eksekusi Hak Tanggungan, lebh baik sama-sama mengajukan permohonan eksekusi, sehingga apabila eksekusi benar-benar di jalankan, maka pelunasan-pelunasan atas piutang-piutangnya akan dapat di bayarkan, sehingga perlindungan hukum terhadap kreditur benarbenar sama-sama terlindungi. 2. Upaya pemecahan non yuridis a. Dalam pelaksanaan eksekusi dilakukan koordinasi antara kepala Desa, Pelaksana Eksekusi dan aparat keamanan terkait sebelum eksekusi dilakukan supaya lokasi obyek eksekusi diamankan/disterilkan lebih dahulu dari kemungkinan-kemungkinan pihak tereksekusi mengerahkan massa untuk menghalang-halangi jalannya eksekusi dan menambah jumlah aparat keamanan, sehingga kalau lokasi obyek eksekusi sudah di amankan terlebih dahulu maka 45 pelaksanaan eksekusi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai seperti yang di harapkan. b. Mengadakan sosialisasi masalah eksekusi kepada masyarakat melalui penyuluhan hukum dengan lembaga-lembaga terkait, agar masyarakat bisa mengerti dan memahami tentang hukum itu sendiri sehingga tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dengan mengadakan pendekatan kepada pihak termohon eksekusi, agar termohon eksekusi menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya, serta agar tidak menghalang-halangi jalannya eksekusi, hal ini sangat baik sekali apabila termohon eksekusi akhirnya bersedia menyerahkan eksekusi obyek Hak Tanggungan dengan sukarela dan ikhlas, sehingga tidak harus ada upaya pemaksaan atas pelaksanaan eksekusinya. 13 Ngadenan, Tesis, hal.....101 13 46 BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Tentang Hak Tanggungan, yang selama ini berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi acuan bagi banyak pihak salah satunya adalah pihak debitur dan kreditur. Dengan adanya Hak Tanggungan memungkinkan para pihak yang mengadakan suatu perjanjian khususnya dalam hal ini adalah perjanjian kredit dimana pihak debitur harus memberikan suatu jaminan kepada pihak kreditur dalam bentuk Agunan/jaminan kepada pihak kreditur untuk mendapatkan suatu pinjaman kredit. Dengan adanya suatu perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, maka sangat di mungkinkan akan terdapat beberapa klausula-klausula akan hak-hak dan kewajibannya masing-masing pihak yang melakukan perjanjian kredit tersebut. Keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan adalah bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang hak tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cidera janji, tanah (hak atas tanah) yang di bebani dengan hak tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang hak tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan obyek Hak Tanggungan tersebut. Terhadap jaminan berupa hak atas tanah dapat memberikan perlindunngan dan kepastian hukum bagi penerima hak tanggungan/kreditur, karena dapat 47 memberikan keamanan bagi penerima jaminan/bank baik dari segi hukum maupun dari nilai ekonomisnya yang pada umumnya mengikat terus. Penerimaan Hak Tanggungan sebagai agunan yang diterima/dipegang oleh kreditor/bank tentunya mempunyai tujuan untuk menjamin pelunasan kredit melalui penjualan agunan baik secara lelang maupun di bawah tangan dalam hal debitor cidera janji. Karena Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan mempunyai ciri khas eksekusi mudah dan pasti pelaksanaannya. b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, memang di rancang sebagai jaminan yang kuat, dengan ciri khas eksekusi “mudah dan passti”. Akan tetapi, prakteknya tidak demikian. Beberapa ketentuan UUHT tidak tegas, tidak lengkap, serta tidak memperhatikan konfigurasi peraturan dalam sistem hukum yang berlaku, termasuk tentang banyaknya upaya hukum yang di salahgunakan untuk menangguhkan lelang eksekusi obyek Hak Tanggungan, sehingga justru memicu ketidakpastian hukum. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak tanggungan yang seharusnya memberikan perlindungan penuh terhadap kreditur, ternyata masih mempunyai kelemahan-kelemahan, karena dalam praktek eksekusi yang di laksanakan oleh kreditur terhadap obyek yang di jadikan jaminan/agunan oleh debitur terhadap kreditur dengan jenis Hak Tanggungan masih banyak hambatan-hambatan yang di hadapi oleh kreditur, di antaranya adanya perlawanan yang di lakukan oleh debitur maupun pihak ke tiga yang berkepentingan dalam obyek Hak Tanggungan tersebut. 48 Hal-hal seperti ini sangat merugikan pihak-pihak kreditur sebagai pemberi pinjaman kepada debitur yang telah beritikad baik untuk membantu debitur yang membutuhkan Dana/modal untuk mengembangkan usahanya. Dengan banyaknya hambatan-hambatan eksekusi Hak Tanggungan yang di hadapi oleh pihak kreditur, maka di perlukan adanya perhatian dari pihak pemerintah maupun dari pihak legislatif sebagai pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat Undang-Undang dan merubah Undang-Undang, agar apa yang menjadi hak-hak kreditur bisa terpenuhi seluruhnya dan mendapatkan kembali uang yang telah di pinjamkan kepada pihak debitur. 2. Saran a. Di perlukan adanya Amandemen/perubahan, karena UUHT tersebut belum mampu untuk melindungi sepenuhnya apa yang menjadi hak-hak kreditur. b. Di perlukan adanya tambahan ketentuan, terutama yang menegaskan bahwa lelang obyek Hak Tanggungan parate eksekusi di laksanakan tanpa fiat pengadilan. 49 DAFTAR BACAAN Adrian Sutedi. Hukum Hak Tanggungan, Cetakan Pertama, Jakarta, Sinar Grafika. 2010 Bachtiar Jajuli, Eksekusi Perkara Perdata Segi Hukum Dan Penegakan Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1987. M.Yahya Harahap. Ruang lingkup permasalahan eksekusi bidang perdata, Jakarta, PT. Gramedia. 1988. Ngadenan, Tesis, Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai konsekuensi Jaminan Kredit Untuk Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Kreditur, Universitas Diponegoro.2009. Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Keempat,Bandung, CV. Alfabeta. 2008. pada Bank. Cetakan Sutan Remy Sjahdeini. Hak Tanggungan, Asas-Asas, ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah-Masalah yang di Hadapi Oleh Perbankan, Air Langga University Press. 1996. Supriadi. Hukum Agraria, Jakarta, Sinar Grafika. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indoesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 49 prp Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Weetboek). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. 50 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1976 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara Dan Badan Urusan Piutang Negara. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1991 Tentang Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara.