Vol.13.No.2.Th.2006 Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunasi Segar dan Waktu Inkubasi Terhadap Degradasi Bahan Kering, Bahan Organik, dan Produks Fermentasi Secra In Vitro S. Putra* * Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fak. Peternakan, UNUD. Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali The Effects of Fresh Defaunating Agents Supplementation and Time of Incubation on the In Vitro Degradability of Dry Matter, Organic Matter, and Products of Fermentation ABSTRACT Background : In Vitro experiment was carried out to study the effect of fresh defaunating agent’s supplementation and time of incubation on the degradability of dry matter, organic matter and products of fermentation. Methods : A completely randomized design with split in time arrangement (3 x 5) on two replicates was used in this experiment. The first (main) factor was time of incubation (1.5, 3,0 and 4.5 hours respectively) and the second factor was no supplement of defaunating agent ( A, as a control), a supplement of 10% sweet potatoes (Ipomeas batatas) leaves (B); a supplement of Hibiscus tilliaceus leaves (C), a supplement of 10% Hibiscus rosasinensis leaves (D), and a supplement of 2% corn oil (E). Result : Results of the experiment indicated that defaunating agents supplementation (B, C, D, and E) increased DM and OM degradability, which the highest were on the corn oil (E) 22.83 vs. 15.96% and 22.49 vs. 15.17%, respectively (P<0.001) than without supplementation (A). Defaunating agents supplementation also increased products of fermentation (VFA and N-ammonia), which the highest were on the treatment E (88.33 vs. 61.67 mM) and (4.83 vs. 4.23 mM), respectively (P<0,004) than treatment A. DM, OM degradability and VFA during incubation (1.5 to 4.5 hours) were significant different statistically (P<0.001), which the highest were on the 4.5 hours, respectively. A while the highest and the lowest N-ammonia found at 3.0 and 4.5 hours incubation, respectively. This is due to the utilization of N-ammonia during 4.5 hours more increased for microbial protein synthesis and their physiological activities. It was concluded that supplementation of defaunating agents increased significantly different on the DM, OM degradability and products of fermentation (VFA and N-ammonia), which the best defaunating agent was on the corn oil. Time of incubation from 1.5 to 4.5 hours increased DM, OM degradability and VFA, but N-ammonia was decreased from 3.0 to 4.5 hours, particularly. Key words: Defaunating agents, Time of incubation, DM and OM Degradability, Products of fermentation ABSTRAK Latar Belakang : Suatu penelitian in vitro telah dilaksanakan untuk mempelajari pengaruh suplementasi agensia defaunasi segar dan waktu inkubasi terhadap degradasi bahan kering (DM), bahan organik (OM), dan produks fermentasi (VFA dan N-amonia). Metode : Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola split in time (3 x 5 x 2). Perlakuan utama adalah waktu inkubasi (1,5; 3,0; dan 4,5 jam) dan perlakuan kedua adalah suplementasi agensia defaunasi: tampa suplementasi (kontrol = A); 10% daun ubi jalar (Ipomea batatas = B); 10% daun waru (Hibiscus tilliacius = C); 10% daun kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis = D); dan 2% minyak jagung (E) yang masing-masing diulang dua kali. Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi agensia defaunasi (B, C, D, dan E) nyata meningkatkan degradasi DM, OM dengan nilai tertinggi terdapat pada suplementasi minyak jagung (E) masing-masing 22,83 vs 15,96% dan 22,49 vs 15,17% (P<0,001) daripada tampa suplementasi (A). Suplementasi agensia defaunasi juga nyata meningkatkan produks fermentasi (VFA dan N-amonia) dengan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan E masing-masing 88,33 vs 61,17 mM dan 4,83 vs 3,23 mM (P<0,004) daripada perlakuan A. DM, OM terdegradasi, dan VFA selama waktu inkubasi (1,5 – 4,5 jam) secara statistik berbeda nyata (P<0,001) dengan nilai tertinggi terdapat pada 4,5 jam inkubasi. Namun, N-amonia tertinggi dan terendah masing-masing terdapat pada 3,0 dan 4,5 jam inkubasi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi agensia defaunasi nyata meningkatkan degradasi DM, OM, dan produks fermentasi (VFA dan N-amonia) dengan agensia defaunasi terbaik terdapat pada minyak jagung. Waktu inkubasi dari 1,5 sampai 4,5 jam nyata meningkatkan degradasi DM, OM, dan VFA, tetapi N-amonia menurun terutama dari 3,0 ke 4,5 jam inkubasi. Kata kunci: Agensia defaunasi, waktu inkubasi, degradasi DM, OM, dan produks fermentasi 113 Putra PENDAHULUAN Proses pencernaan fermentatif di dalam rumen pada ternak ruminansia pada dasarnya dtentukan oleh faktor internal, eksternal, dan interaksi keduanya. Faktor internal tersebut ditekankan pada kapasitas rumen (± 70%) dari keseluruhan kapasitas saluran pencernaan dan juga ekosistem rumen serta aktivitas mikroba rumen itu sendiri (Orskov, E. R. and M. Ryle, 1990). Faktor eksternal yang dimaksud adalah jenis pakan yang diberikan pada ternak ruminansia, baik yang berhubungan dengan sifat fisik, kemis, dan biologis yang nantinya dapat berpengaruh terhadap aktivitas mikroba rumen mendegradasi pakan. Dalam hal ini, pencernaan pakan secara fermenatif, baik bahan kering (DM) atau pun bahan organik (OM) yang terdegradasi semakin tinggi sejalan dengan lamanya proses fermentasi berlangsung. Kondisi fisiologis ini menunjukkan bahwa pada waktu yang bersamaan aktivitas mikroba rumen mendegradasi pakan semakin meningkat, sehingga produk fermentasi juga semakin tinggi. Waktu fermentasi (inkubasi) dalam rumen 3-4 jam setelah ternak diberi makan dapat dijadikan sebagai patokan dalam menentukan pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen dengan mengukur produksi biomasa sintesis protein mikroba (Sutardi, T., 1980). Lebih lanjut juga ditegaskan bahwa 1 jam setelah ternak diberi makan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penentuan produksi asam lemak volatil (VFA) dan amonia sesuai dengan solubelitasnya. Sehubungan dengan itu, dalam upaya meningkatkan kemampuan mikroba rumen mendegradasi pakan, sudah selayaknya memperhatikan jenis pakan dasar dan kandungan nutriennya, agar dapat memenuhi mikroba rumen akan VFA dan amonia. Salah satu pakan yang dapat dijadikan sebagai sumber protein mudah terdegradasi adalah daun gamal (Gliricidia sepium), 66% dari total protein yang dikandungnya dapat memacu sintesis protein tubuh mikroba (Sutardi, T., 1995). Selain pakan tersebut rumput gajah dapat menghasilkan VFA yang nantinya dimanfaatkan sebagai sumber energi, baik oleh mikroba rumen atau pun hewan inang (Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman, 1990). Pakan lain yang tak kalah pentingnya adalah lamtoro (Leucaena leucocephala) berfungsi sebagai sumber protein yang lolos degradasi (UIP), yaitu 67% (Sutardi, T., 1995). Selanjutnya Nisbah DIP/UIP sepatutnya (2- 114 Jurnal Protein 3) : 1. Dengan merujuk sumber informasi tersebut pakan dasar untuk ternak ruminansia selayaknya minimal terdiri atas 3 bahan pakan, yakni rumput gajah atau rumput alami, daun gamal, dan daun lamtoro (Sutardi, T. , N.A. Sigit dan T. Toharmat, 1983). Pengujian beberapa bahan pakan yang potensial sebagai agensia defaunasi telah banyak dilakukan baik, secara in vivo, maupun secara in vitro (Sutardi, T., 1995). Daun ubi jalar, minyak jagung, daun kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis), minyak ikan, minyak kedele, dan minyak kelapa daya defaunasinya berturut-turut 92, 85, 69, 58, 57, dan 44%. Namun demikian, penyusutan protozoanya masing-masing adalah 63, 58, 53, 44, 37, 36, dan 28%. Informasi mengenai hasil penelitian secara in vitro tersebut belum lengkap, karena keberhasilan agensia defaunasi tersebut belum cukup hanya menyusutkan protozoa, jika belum mampu meningkatkan populasi bakteri. Dengan peningkatan populasi bakteri ini nantinya diharapkan meningkatkan kecernaan DM, OM, dan nutrien Pada penelitian secara in vivo penggunaan 10% daun kembang pada ransum sapi jantan FH berkonsentrat mampu menurunkan 54,86% protozoa dan meningkatkan 5,36% populasi bakteri rumen (Jalaludin, 1994). Daripada tampa kembang sepatu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kondisi rumen seperti itu dpat meningkatkan 5,30% produksi VFA. Menurut Putra, S. (2006a), daun waru (Hibiscus tilliaceus) juga dapat dijadikan sebagai agensia defaunasi, selain mampu menurunkan 32,31% populasi protozoa juga dapat meningkatkan 11,24% populasi bakteri rumen, 9,77% sintesis protein mikroba, dan 10,96% VFA jika dibandingkan dengan tanpa daun waru. Pada penelitian yang lain, yaitu suplementasi beberapa agensia defaunasi: waru, kembang sepatu, minyak jagung, dan minyak kelapa secara in vitro berbasis pada bahan pakan kering udara (dry weight) dihasilkan DM, OM terdegradasi, VFA, dan amonia tertinggi pada kembang sepatu, yaitu masing-masing 25,01%; 23,59%; 111,67 mM; dan 4,11 mM (Putra, S., 2006b). Berdasarkan informasi hasil penelitian tersebut dibutuhkan penelitian lanjutan tentang suplementasi beberapa agensia defaunasi segar seperti daun ubi jalar, daun waru, kembang sepatu, dan minyak jagung pada ransum basal segar sapi Bali secara in vitro dengan memperhatikan waktu inkubasi. Penelitian ini Vol.13.No.2.Th.2006 bertujuan untuk mempelajari pengaruh suplementasi agensia defaunasi segar terhadap degradasi DM, OM, produksi VFA, dan Namonia. Pada penelitian ini diharapkan menemukan agensia defaunasi terbaik dalam upaya meningkatkan DM, OM terdegradasi dan produks fermentasi. MATERI DAN METODE PENELITIAN Bahan Ransum Pakan dasar (based diets) yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas tiga hijauan pakan yakni rumput alami, daun gamal (Gliricidia sepium), dan daun lamtoro (Leucaena leucocephala). Bahan pakan dasar ini diperoleh di sekitar Farm Sesetan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Denpasar. Agernsia defaunasi yang diteliti adalah empat macam yakni daun ubi jalar (Ipomea batatas), daun waru (Hibiscus tilliaceus), daun kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis) yang diperoleh di sekitar Farm Sesetan, sedangkan agensia defaunasi minyak jagung diperoleh dari supermarket terdekat. Keseluruhan bahan-bahan tersebut, baik hijauan pakan dasar maupun agensia defaunasi disusun sedemikian rupa berdasarkan bahan kering (Kearl, L.C., 1982), sehingga kandungan nutriennya sesuai dengan kebutuhan sapi Bali yang ditampilkan pada Tabel 2. Namun demikian, keseluruhan sampel bahan ransum yang digunakan pada penelitian ini, baik bahan pakan dasar maupun bahan agensia defaunasi berbasis pada bahan segar (fresh weight based). Cairan Rumen Ternak donor yang digunakan dalam penelitian sebagai sumber cairan rumen adalah sapi Bali milik Fakultas Peternakan di Farm Sesetan Denpasar, dimana seminggu sebelum pengambilannya sapi tersebut telah diberikan ransum basal yang akan diujikan. Pengambilan cairan rumen tersebut dilakukan 3-4 jam setelah sapi diberikan makan menggunakan stomach tube dengan bantuan beberapa alat yakni pompa vakum, selang, kain nylon penyaring, termos, tabung erlemeyer, dan thermometer . Alat-alat dan Reagensia Alat-alt yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah sesuai dengan peubah yang diamati dan metode yang digunakan yakni penentuan bahan kering (DM) dan bahan organik (OM) ransum Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar sesuai dengan metode (Assosiation of Official Analytical Chemist, 1970). seperti: timbangan sartorius kapasitas 100 g dengan kepekaan 0,0001 g , cawan porselin, loyang aluminium dan oven dengan suhu 60-70 0C dan 105-110 0C serta tanur listrik. Alat dan reagensia yang dibutuhkan dalam penentuan degradasi DM dan OM sesuai dengan metode Telley dan Terry (1963) di antaranya: shaker bath, larutan Mc Dougall dan HgCl2. Pada penentuan VFA (Volatile Fatty Acid) dengan steam distilation dibutuhkan reagensia seperti: H2SO4 15%, NaOH 0,5 N, indikator phenolptalin, dan HCl 0,5N. Selanjutnya pada penentuan Namonia dengan metode spektrophotometer dibutuhkan beberapa reagensia di antaranya: larutan phenol-alkohol, Natrium nitropruside 0,5%, larutan alkali, larutan Natrium hipoklorit, larutan pengoksidasi, HCl 2%, H2SO4 pekat, dan (NH4) 2SO4. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan pola Split in time sesuai dengan pendekatan metode dengan perlakuan utama adalah waktu fermentasi (inkubasi) yakni 1,5; 3,0; dan 4,5 jam inkubasi (Gomez, K.A. and A.A Gomez, 1995). Perlakuan kedua adalah suplementasi agensia defaunasi dengan lima perlakuan yakni A = Ransum kotrol; B = A + daun ubi jalar; C = A + daun waru; D = A + daun kembang sepatu; dan E = A + minyak jagung;. Keseluruhan perlakuan, baik perlakuan utama atau perlakuan yang kedua diulang masingmasing dua kali. Peubah yang Diamati Ada empat peubah yang diamati pada penelitian ini, baik pada perlakuan utama yakni 1,5; 3,0; dan 4,5 jam waktu inkubasi atau pun pada perlakuan ke dua yakni suplementasi agensia defaunasi (ransum kontrol; suplementasi daun waru, kembang sepatu, minyak jagung, dan minyak kelapa). Adapun keempat peubah tersebut adalah jumlah bahan kering (DM) dan bahan organik (OM) yang terdegradasi serta produksi VFA dan produksi N-amonia. Penentuan keempat peubah ini secara in vitro berdasarkan pada bahan pakan segar (fresh weight based), baik pada ransum kontrol maupun ransum yang disuplementasi agensia defaunasi. Sebelum dilakukan penentuan ke empat peubah tersebut perlu dilakukan penentuan bahan kering dan bahan anorganik (abu) ke lima ransum 115 Putra perlakuan berdasarkan metode (Assosiation of Official Analytical Chemist, 1970). Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung kadar DM dan OM; DM dan OM terdegradasi; asam lemak volatil (VFA total) dan N-amonia dengan metode Phenolhypochloride berdasarkan dengan reaksi warna yang ditentukan oleh jumlah amonia yang ada pada supernatan masing-masing ransum adalah sebagai berikut: 1. Kadar bahan kering (DM, %) ditentukan dengan jalan mengurangi berat cawan berisi sampel setelah dioven (g) dengan berat cawan kosong konstan (g) dan hasilnyaa dibagi berat sampel (g) selanjutnya dikalikan dengan 100%. 2. Kadar abu (%) ditentukan dengan jalan mengurangi berat cawan berisi sampel setelah diabukan dalam tanur (g) dengan berat cawan kosong konstan (g) dan hasilnyaa dibagi berat sampel (g) selanjutnya dikalikan dengan 100%. 3. Kadar bahan organik (OM, %) ditentukan dengan jalan mengurangi 100% (DM) dengan kadar abu (%) 4. Bahan kering (DM) terdegradasi (%) ditentukan dengan jalan mengurangi berat DM asal (g) dengan berat DM residu (g) hasilnya dibagi dengan berat DM asal (g) selanjutnya dikalikan dengan 100%. 5. Bahan organik (OM) terdegradasi (%) ditentukan dengan jalan mengurangi berat OM asal (g) dengan berat OM residu (g) hasilnya dibagi dengan berat OM asal (g) selanjutnya dikalikan dengan 100%. 6. VFA total (mM) = (a – b) x Normalitas HCl x 1000/5, dimana a = volume titran blangko, dan b = volume titran sampel 7. N-amonia (mM) dapat dihitung dengan rumus kadar amonia (ppm) dibagi dengan 14. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. 116 Degradasi Bahan Kering dan Bahan Organik Di antara agensia defaunasi yang disuplementasikan ke dalam ransum kontrol, minyak jagung dapat meningkatkan bahan kering (DM) yang terdegradasi, yakni 43,05% (Tabel 3; P<0,001) dibandingkan dengan ransum kontrol. DM terdegradasi pada agensia defaunasi yang lainnya (waru, kembang sepatu, dan ubi jalar) masing- Jurnal Protein masing 26,32; 12,28; dan 10,71% lebih tinggi (P<0.001) daripada ransum kontrol. Ransum yang disuplementasi ubi jalar dan kembang sepatu DM terdegradsinya hampir sama. Selanjutnya untuk bahan organik (OM) terdegradasi secara kuantitatif mempunyai tren yang sama seperti pada degradasi DM, yaitu suplementasi minyak jagung dan waru 48,25 dan 28,02% lebih tinggi (P<0,001) jika dibandingkan dengan ransum kontrol. Agensia defaunasi (kembang sepatu dan ubi jalar) dapat meningkatkan 13,51 dan 11,60% OM terdegradasi jika dibandingkan dengan ransum kontrol, namun secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,001). OM terdegradasi antara ransum yang disuplementasi dengan daun ubi jalar, waru, dan kembang sepatu berbeda tidak nyata (P>0,001). DM tedegradasi semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya waktu inkubasi dengan jumlah tertinggi terdapat pada 4,5 jam inkubasi, yakni 15,88% (Tabel 4; P<0,001) dibandingkan dengan 1,5 jam inkubasi. Pada 3 jam inkubasi DM terdegradasi 12,58% lebih tinggi (P<0,001) daripada 1,5 jam inkubasi dan 2,85% lebih rendah (P>0,001) daripada 4,5 jam inkubasi. Pada OM terdegradasi menunjukkan tren yang sama seperti pada DM terdegradasi. Semakin meningkat waktu inkubsi dari 3,0 sampai 4,5 jam disertai dengan meningkatnya OM terdegradasi, yaitu 10,75% sampai 14,23% nyata lebih tinggi (P<0,001) jika dibandingkan dengan 1,5 jam waktu inkubasi, namun OM terdegrdasi tersebut keduanya berbeda tidak nyata. Secara kuantitatif rataan degradasi DM dan OM berbsis sampel segar (FW) pada penelitian ini relatif lebih rendah, jika dibandingkan dengan hasil penelitian berbasis pada sampel kering udara (Putra, S., 2006b). DM terdegradasi pada ransum kontrol dan ransum disuplementasi agensia defaunsi berbasis pada sampel FW lebih rendah, yaitu masing-msing (15,96 vs 22,60%) dan (19,65 vs 24,11%), jika dibandingkan dengan ransum berbasis DW. Demikian juga OM terdegradasi pada ransum kontrol dan ransum yang disuplementasi agensia defaunasi berbasis FW lebih rendah, yaitu masing-masing (15,17 vs 20,48%) dan Vol.13.No.2.Th.2006 (19,02 vs 22,60%), jika dibandingkan dengan ransum yang berbasis DW. Perbedaan hasil penelitian ini, pada hakikatnya terletak pada perbedaan kemampuan mikroba donor dari cairan rumen dalam mendegradasi DM dan OM ransum, terutama yang berhubungan dengan sifat fisik yang disebabkan oleh ikatan lignoselulosiknya. Ikatan lignoselulosik pada ransum yang berbasis FW partikelnya lebih panjang dan relatif lebih sukar dirombak atau didegradasi oleh mikroba cairan rumen, sehingga DM dan OM terdegradasi relatif lebih rendah. Berbeda halnya dengan ransum yang berbasis sampel DW partikelnya relatif lebih kecil dan pendek serta ikatan lignoselulosiknya relatif longgar, sehingga lebih mudah didegradsi oleh mikroba cairan rumen. Selain faktor itu, proses pemanasan atau pun pengeringan sampai menjadi DW, barangkali dapat melonggarkan atau pun memutuskan ikatan lignoselulosik yang kuat dan kompleks tersebut. Lebih tingginya DM dan OM terdegradasi pada ransum yang disuplementasi agensia defaunasi dibandingkan dengan ransum kontrol disebabkan oleh lebih baiknya ekosistem mikroba dan aktivitas biofermentasinya. Menurut Putra, S. (1999), pada dasarnya suplementasi agensia defaunasi tersebut dapat menurunkan populasi protozoa dalam rumen, sehingga pada waktu yang bersamaan dapat meningkatkan populasi bakteri rumen, terutama selulotik bakteria. Dalam hal ini, bakteri selulotik tersebut dapat mendegradasi pakan atau zat-zat makanan secara lebih efektif, karena ditunjang oleh ketersediaan energi (VFA) dan nitrogen dari (N-amonia) yang cukup sebagai akibat fraksi terlarut yang tinggi, sehingga hasil degradasinya lebih tinggi. Dengan ketersediaan VFA dan N-amonia yang cukup dapat meningkatkan sintesis protein mikroba (Sutardi, T., 1979), sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan degradasi DM dan OM. Semakin meningkat sintesis protein mikroba pada sapi Bali bunting, yaitu dari 13,3 sampai 20,8 mg/l/jam), DM tercernanya juga semakin meningkat, yaitu dari 53,3 sampai 58,8% (Putra, S., 2006a). Ditinjau dari jenis agensia defaunasi, minyak jagung ternyata paling tinggi Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar degradasi DM dan OM-nya. Dalam hal ini, walaupun daya defaunasi minyak jagung lebih rendah (85 vs 95%) jika dibandingkan dengan ubi jalar (Sutardi, T., 1995), namun mungkin minyak jagung dapat menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan antara mikroba cairan rumen. Selain faktor itu, salah satu indikator penting dalam keberhasilan pelaksanaan defaunasi adalah terjadinya peningkatan populasi bakteri, terutama bakteri selulolitik. Dengan ditunjang produksi VFA total dan N-amonia yang tertinggi, berarti bakteri selulolitik dapat melakukan fungsi biodegradasinya secara lebih efisien, sehingga DM dan OM yang terdegradasi juga tertinggi. Sebaliknya daya defaunasi daun ubi jalar tertinggi, namun DM dan OM terdegradasinya relatif lebih rendah. Dalam hal ini, barangkali ubi jalar dari Bali yang digunakan pada penelitian ini tidak seefektif dengan ubi jalar dari Bogor yang digunakan dalam hal menurunkan populasi protozoa (Sutardi, T., 1995). Kondisi fisiologis ini belum mampu menciptakan ekosistem mikroba cairan rumen yang kondusif, terutama interaksinya yang saling menguntungkan, sehingga DM dan OM terdegrdasi relatif rendah. Selanjutnya DM dan OM terdegradasi pada ansum yang disuplementasi daun waru berada pada peringkat kedua setelah minyak jagung. Hasil penelitian ini tidak terlepas dari kemampuan defaaunasinya seperti yang dihasilkan, bahwa daun waru mampu menurunkan 32,31% protozoa dan meningkatkan 11,24% bakteri rumen; 9,77% protein mikroba; serta 10,96% VFA (Putra, S., 2006a). Secara keseluruhan semakin meningkat waktu inkubasi, terutama pada 1,5 – 4,5 jam, maka DM dan OM terdegradasi juga semakin tinggi. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan dua pendekatan: Pertama ditinjau dari kelarutan bahan pakan/ransum itu sendiri, terutama pada 0-1 jam inkubasi, semakin tinggi daya larut (solubilitas) suatu bahan pakan akan memberi kontribusi positif (tinggi) terhadap meningkatnya DM dan OM terdegradasi. Produk fermentasi pada 1 jam inkubasi ditentukan oleh solubilitas dari bahan pakan, baik ditinjau dari bahan kering dan bahan organiknya (Sutardi, T., 1980). Kedua pada 3-4,5 jam inkubasi merupakan 117 Putra puncak aktivitas mikroba cairan rumen dalam mendegradasi pakan, karena itu semakin tinggi DM dan OM terdegradasi lebih banyak ditentukan oleh aktivitas mikroba rumen itu sendiri, terbukti prduksi VFA-nya tertinggi juga. 2. 118 Produksi VFA Total Produksi VFA total pada ransum kontrol adalah terendah, yaitu 61,67 mM, sebaliknya VFA total tertinggi terdapat pada ransum yang disuplementasi minyak jagung, yaitu 88,33 mM (Tabel 3; P<0,07). VFA total pada ransum yang disuplementasi kembang sepatu 40,54% nyata lebih tinggi (P<0,007), jika dibandingkan dengan ransum kontrol, tetapi berbeda tidak nyata dibandingkan dengan ransum yang disuplementasi minyak jagung. Suplementasi ubi jalar dan waru meningkatkan 11,22 dan 21,62% VFA total daripada ransum kontrol. Namun, secara statistik VFA tersebut berbeda tidak nyata, baik dibandingkan dengan ransum kontrol maupun ransum yang disuplementasi dengan kembang sepatu dan minyak jagung. Produksi VFA total nyata semakin meningkat seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi, yakni dari 49 – 109 mM (Tabel 4; P<0,001). Produksi VFA total pada 3 jam inkubasi berada di antara 1,5 dan 4,5 jam inkubasi, yakni 46,94% lebih tinggi daripada 1,5 jam inkubasi dan 33,94% lebih rendah daripada 4,5 jam inkubasi (P<0,001). Antara agensia defaunasi dengan waktu inkubasi terjadi interaksi terhadap produksi VFA total. Produksi VFA total pada suplementasi agensia defaunasi dan waktu inkubasi nyata bervariasi, yakni antara 40 – 120 mM (Tabel 5; P<0,01). Produksi VFA total tertinggi pada suplementasi agensia defaunasi terdapat pada minyak jagung, sedangkan pada waktu inkubasi, VFA tertinggi terdapat pada 4,5 jam inkubasi. Ini berarti kombinasi terbaik antara agensia defaunasi dengan waktu inkubasi terhadap produksi VFA total terdapat pada minyak jagung dengan waktu inkubasi.4,5 jam. Variasi produksi VFA secara kuantitatif pada ransum kontrol dan ransum yang disuplementasi agensia defaunasi pada penelitian ini (berbasis pakan segar atau FW) Jurnal Protein lebih rendah, yaitu (61,67 – 88,33 mM) vs (106 – 111 mM; Putra, 2006b), jika dibandingkan dengan ransum berbasis sampel kering udara (DW). Hal ini terjadi sebagai akibat perbedaan kemampuan mikroba cairan rumen mendegradasi DM dan OM ransum. Hasil penelitian ini dapat diperjelas dengan merujuk DM dan OM terdegradasi pada ransum berbasis sampel FW relatif lebih rendah, yaitu (15,96 – 19,65%) vs (22,60 – 24,11%) dan (15,17 – 19,02%) vs (20,48 – 22,60%), jika dibandingkan dengan ransum berbasis sampel DW. Secara keseluruhan variasi produksi VFA pada penelitian ini dapat dikatakan sebagai produksi minimal yakni 80-160 mM (Sutardi, T., 1980). Kenyataan ini dapat dikatakan sebagai suatu proses fisiologis yang rasional, mengingat substrat yang dirombak dan mikroba yang merombaknya berbeda. Perbedaan mikroba mencerna substrat yang sama dan atau berbeda hasil akhir atau produknya berbeda pula, baik jumlah ataupun jenisnya (Ogimoto, K. dan S. Imai. 1981). Produksi VFA pada ransum yang disuplementasi minyak jagung dan kembang sepatu dapat ditetapkan sebagai produksi tertinggi, baik dibandingkan dengan ransum kontrol maupun dengan suplementasi ubi jalar dan waru. Penelahaan hasil penelitian ini dapat didekati berdasarkan peranan dan esensi dari suplementasi agensia defaunasi, yakni untuk menurunkan populasi protozoa yang sering mengganggu bakteri dan pada saat yang bersamaan juga dapat meningkatkan populasi bakteri. Dalam hal ini, jika ditinjau dari daya defaunasi atau kemampuan minyak jagung menyusutkan protozoa relatif lebih rendah, yaitu 85 vs 95% dibandingkan dengan ubi jalar (Sutardi, T., 1995), namun barangkali kemampuan minyak jagung meningkatkan bakteri paling tinggi. Semakin meningkatnya bakteri, terutama bakteri selulolitik dapat semakin meningkatkan DM dan OM terdegradasi, sehingga menghasilkan VFA total tertinggi. Produksi VFA semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya waktu inkubasi dari 1,5 sampai 4,5 jam inkubasi. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan dengan beberapa pendekatan: (1) Pada 1,5 jam Vol.13.No.2.Th.2006 inkubasi VFA yang diproduksi pada kelima macam ransum dipengaruhi oleh solubilitas ransum itu sendiri dan belum dipengaruhi oleh aktivitas mikroba, mengingat pada saat itu merupakan langkah awal bagi mkroba untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang ada. Kondisi fisiologis ini diperjelas bahwa proses pencernaan pakan secara fermentatif pada 1-1,5 jam inkubasi merupakan awal penentu dari produksi VFA dan atau amonia suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari pakan itu sendiri (Sutardi, T., 1980); (2) Produksi VFA pada 3,0 jam inkubasi meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan mikroba sudah mulai meningkat sejalan dengan kondisi ekologi yang lebih mantap, sehingga aktivitasnya dalam mendegradasi pakan juga meningkat. Proses fermentasi berjalan optimal bila seluruh rangkaian reaksi berjalan selaras (coupled reaction) (Erwanto, 1995); dan (3) Pada 4,5 jam inkubasi juga terjadi peningkatan produksi VFA sejalan dengan semakin meningkatnya aktivitas mikroba mendegrasi pakan atau ransum. Pada 3 sampai 4 jam setelah ternak ruminansia diberi makan secara in vivo dapat dijadikan sebagai patokan dalam penentuan populasi mikroba rumen dan aktivitas puncak fermentasinya serta produk yang dihasilkannya seperti VFA dan atau ammonia (Sutardi, T., 1979). 3. Produksi N-amonia Produksi N-amonia pada ransum kontrol adalah terendah, yaitu 4,23 mM, sebaliknya tertinggi terdapat pada ransum yang disuplementasi minyak jagung, yaitu 4,83 mM (Tabel 3; P<0,004). Ransum yang disuplementasi waru produksi N-amonianya 9,46% nyata lebih tinggi (P<0,004) daripada ransum kontrol dan 4,14% lebih rendah daripada ransum yang disuplementasi minyak jagung, tetapi perbedaan tersebut tidak nyata. Produksi N-amonia pada ransum yang disuplementasi ubi jalar dan kembang sepatu masing-masing 3,78 dan 6,38% lebih tinggi daripada ransum kontrol. Namun, secara statistik perbedaan tersebut tidak nyata, baik dibandingkan dengan ransum kontrol maupun ransum yang disuplementasi waru. Produksi N-amonia pada 3,0 jam waktu inkubasi tertinggi (4,70 mM; Tabel 4), yaitu 5,15% dan 7,31% nyata lebih tinggi Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar (P<0,001), jika dibandingkan dengan 1,5 jam dan 4,5 jam inkubasi. Produksi N-amonia pada 4,5 jam inkubasi menurun sampai lebih rendah dibandingkan dengan produksi Namonia pada 1,5 jam inkubasi, tetapi perbedaannya tidak nyata. Antara agensia defaunasi dengan waktu inkubasi terjadi interaksi terhadap produksi N-amonia. Produksi N-amonia pada suplementasi agensia defaunasi dan waktu inkubasi nyata bervariasi, yakni antara 4,24 – 5,20 mM (Tabel 6; P<0,01). Produksi Namonia tertinggi pada suplementasi agensia defaunasi terdapat pada minyak jagung, sedangkan pada waktu inkubasi, produksi Namonia tertinggi terdapat pada 3,0 jam inkubasi. Ini berarti kombinasi terbaik antara agensia defaunasi dengan waktu inkubasi terhadap produksi N-amonia terdapat pada minyak jagung dengan waktu inkubasi 3,0 jam. Secara keseluruhan produksi N-amonia pada ransum kontrol dan ransum yang disuplementasi agensia defaunasi pada penelitian ini (berbasis sampel FW) menunjukkan tren yang berbeda seperti pada DM, OM terdegradasi dan produksi VFA, yaitu lebih tinggi (4,23–4,83 mM) vs (3,56– 4,11 mM) (Putra, S., 2006b), jika dibandingkan dengan ransum kontrol dan ransum yang disuplementasi agensia defaunasi berbasis sampel DW. Walaupun demikian, kisaran N-amonia ini tergolong produksi yang minimal (Sutardi, T., 1976), kisaran produksi N-amonia yang normal, yaitu 4–16 mM. Menelaah lebih lanjut tingginya produksi N-amonia pada ransum yang disuplementasi minyak jagung dan daun waru disebabkan oleh daya defaunasinya, selain menurunkan protozoa juga dapat meningkatkan populasi bakteri. Dalam hal ini, barangkali peningkatan populasi bakteri salah satunya yang menonjol adalah bakteri proteolitik. Argumentasi ini dipertegas kurang lebih 35% mikroba rumen (Sutardi, T., 1976), adalah bakteri proteolitik yang mampu mendegradasi protein ransum menjadi amonia yang selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan sisanya didaurulang menjadi urea darah ataupun saliva atau diekskresikan ke urin. Demikian juga suplementasi 10% daun waru pada sapi Bali 119 Putra laktasi dapat menurunkan protozoa (Putra, S., 1999), yaitu (8,04 vs 9,83 x 104 sel/ml)); meningkatkan populasi bakteri, yaitu (3,43 vs 2,95 x 108 kol/ml); meningkatkan kecernaan protein, yaitu 7(5,3 vs 67,8%); dan meningkatkan produksi amonia, yaitu (4,87 vs 2,54 mM), jika dibandingkan dengan ransum tampa suplementasi daun waru. Proses degradasi bahan pakan akan menghasilkan N-amonia yang fungsinya untuk menumbuhkan mikroba dan aktivitas fisiologisnya, dimana N-amonia ini kemungkinan besar berkorelasi positif terhadap sintesis protein mikroba. Secara kuantitatif produksi N-amonia ransum yang disuplementasi agensia defaunasi lebih tinggi daripada ramsum tampa suplementasi agensia defaunasi. Hasil penelitian ini dapat dibahas dengan beberapa pendekatan di antaranya: (1) Lebih tingginya produksi N-amonia ransum yang disuplementasi agensia defaunasi sebagai konsekwensi logis dari keberhasilan agensia defaunasi meningkatkan populasi bakteri. Dalam hal ini, walaupun hampir 82% mikroba rumen mampu menggunakan N-amonia (Shaefer, D.M., C.L. Davis and M.P. Bryant, 1980), namun karena proses pembentukannya berjalan secara kuantitatif, yakni mikroba rumen terus-menerus melakukan deaminasi terhadap protein atau asam amino pakan,, sehingga Namonia selalu tersedia bagi mikroba rumen; dan (2) Menurunnya produksi N-amonia pada 4,5 jam inkubasi disebabkan oleh pada waktu inkubasi tersebut merupakan puncak kegiatan mikroba dalam mendegradasi DM dan OM pakan atau ransum. Ini berarti, untuk memacu pertumbuhan mikroba cairan rumen dan aktivitas enzim yang dihasilkannya, maka sudah sepatutnya membutuhkan Namonia yang cukup sebagai nutrien utama, selain VFA, terutama pada 4 jam inkubasi. Pernyataan ini pada 3 sampai 4 jam setelah ternak ruminansia diberi makan secara in vivo dapat dijadikan sebagai patokan dalam penentuan populasi mikroba rumen dan aktivitas puncak fermentasinya serta produk yang dihasilkannya seperti VFA dan atau ammonia (Sutardi, T., 1976). Jurnal Protein KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Suplementasi agensia defaunasi berpengaruh nyata terhadap degradasi bahan kering, bahan organik, produksi VFA, dan produksi N-amonia. Makin tinggi waktu inkubasi (fermentasi) dari 1,5 sampai 4,5 jam makin tinggi bahan kering dan bahan organik terdegradasi serta produksi VFA, namun sebaliknya menurunkan produksi N-amonia, terutama dari 3,0 ke 4,5 jm inkubasi. Minyak jagung dan daun waru dapat dijadikan sebagai agensia defaunasi terbaik peringkat I dan II dalam meningkatkan bahan kering, bahan organik terdegradasi dan produks fermentasi (VFA dan N-amonia). Antara suplementasi agensia defaunasi dengan waktu inkubasi terjadi interaksi terhadap VFA dan Namonia dengan produksi tertinggi masing-masing terdapat pada kombinasi minyak jagung dengan 4,5 jam waktu inkubasi dan kombinsi antara minyak jagung dengan 3,0 jam inkubasi. Saran Pengujian atau evaluasi nilai nutrisi ransum pada ternak ruminansia, terutama yang berhubungan dengan agensia defaunasi sebaiknya dilakukan dalam keadaan segar, baik dengan cara digiling segar ataupun dengan diblender, agar hasilnya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Assosiation of Official Analytical Chemist. 1970. Official Methods Of Analysis 11th ed. AOAC, Washington, D.C. Eddey, T. N., A.C. Bray, R.S. Copland and T.O. Shea. 1981. A Course Manual in Tropical and Goat Production Asian – Australian Universities Cooperative Scheme-University of Brawijaya Malang. pp. 39-41. Erwanto, 1995. Optimalisasi Sistem Fermen-tasi Rumen melalui Suplement-asi Sulfur, Redukai Emisi Metan dan Stimulsi Pertumbuhan Mikroba pada Ternak Ruminansia. Disrtasi Doktor Program Pascasarjana IPB Bogor. Gomez, K.A. and A.A Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian (Terjemahan) Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press. 120 Vol.13.No.2.Th.2006 Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gajah Mada University Press. Jalaludin, 1994. Uji Banding Gamal dan Angsana sebagai Sumber Protein, Daun Kembang Sepatu dan Minyak Kelapa sebagai Agensia Defaunasi, dan Suplementasi Analog Hidroksi Methionin dan Amonium Sulfat dalam Ransum Pertumbuhan Sapi jantan. Thesis Magister Program Pascasarjana IPB Bogor. Kearl, L.C. 1982. Nutrition Requirement of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuff Institute Utah Agric. Exp. Station Utah State Univ. Logan Utah. USA. Ogimoto, K. and S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. Orskov, E. R. and M. Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminant Elsevier Applied Science, London. Putra, S. 1999. Peningkatan Performans Sapi Bali melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplementasi Seng Asetat. Disertasi Doktor Program Pascasarjana IPB Bogor. Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar Ternak (Animal Production), Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman. 8 (2): 121-130. Shaefer, D.M., C.L. Davis and M.P. Bryant. 1980. Ammonia saturation constant for predominant species of rumen bacteria. J. Dairy. Sci. 63:1248. Sutardi, T. 1976. Metabolism of Some Essential Amino Acid by Rumen Microbes with Special Reffrence to Alfa-keto Acid. Ph.D. Thesis Uiniv. of Wisconsin Madison. Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein Bahan Makanan Ternak terhadap Degradasi oleh Mikroba Rumen dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produksi Ternak. Procceding Seminar dan Penunjang Peternakan. LPP. Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan.. IPB Bogor Sutardi, T. , N.A. Sigit dan T. Toharmat. 1983. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh Mikroba Rumen. Laporan Penelitian Direktorat Pembinaan dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan. Putra, S. 2006a. Perbaikan mutu pakan yang disuplementasi seng setat dalam upaya meningkatkan populasi bakteri dan protein mikroba di dalam rumen, kecernaan bahan kering, dan nutrien ransum sapi Bali bunting. Majalah Ilmiah Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar. 9 (1): 1-6. Sutardi, T. 1995. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi dalam Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing I/4 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1995/1996. Fapet IPB. Putra, S. 2006b. Pengaruh suplementasi gensia defaunasi dan waktu inkubasi terhadap bahan kering, bahan organik terdegradasi, dan produks fermeentasi secara in vitro. Jurnal Produksi Yokohama, M.T. and K.A. Johnson. 1988. Microbiology of The Rumen and Intestine. D.C. Church (ed). Digestive Physiology And Nutritional of Ruminant. New Jersey. 121 Putra Jurnal Protein Tabel 1. Komposisi bahan pakan pada masing-masing ransum perlakuan Ransum Perlakuan Bahan pakan (%) A B C D Rumput lapangan 35 30 30 30 Gamal 60 55 55 55 Lamtoro 5 5 5 5 Ubi jalar 10 Waru 10 Kembang sepatu 10 Minyak jagung Total 100 100 100 100 Tabel 2. Kandungan nutrien pada masing-masing ransum perlakuan Ransum Perlakuan Nutrien (%) A B C Bahan kering 24,75 24,03 24,76 TDN 68,15 67,60 68,26 Protein kasar 20,13 20,44 20,70 Serat kasar 18,49 18,34 18,13 Lemak kasar 3,21 3,40 3,26 Abu 9,79 10,07 9,78 BETN 48,40 47,78 48,10 D 24,22 68,30 20,14 18,45 3,18 9,95 48,27 E 34 59 5 2 100 E 24,27 68,84 19,78 18,08 3,59 9,58 48,86 Tabel 3. Pengaruh suplementasi agensia defaunasi terhadap produks fermentasi Defaunasi DM terdegradasi, % OM terdegradasi, % VFA total mM Kontrol 15,96 d 15,17 c 61,67 b c bc Ubi jalar 17,67 16,93 71,67 ab b b Waru 20,16 19,42 75,00 ab Kembang sepatu 17,92 c 17,22 bc 86,67 a a a Minyak jagung 22,83 22,49 88,33 a P<0,001 P<0,001 P<0,007 Signifikansi Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata Tabel 4. Pengaruh lama waktu inkubasi terhadap produks fermentasi Waktu DM OM VFA total, Inkubasi (jam) terdegradasi, % terdegradasi, % mM 1,5 17,25 b 16,83 b 49,00 c 3,0 19,42 a 18,64 a 72,00 b 4,5 19,99 a 19,24 a 109,00 a P<0,001 P<0,001 P<0.001 Signifikansi Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata 122 N-Amonia mM 4,23 c 4,39 bc 4,63 ab 4,50 bc 4,83 a P<0,004 N-Amonia, MM 4,47 b 4,70 a 4,38 b P<0,001 Vol.13.No.2.Th.2006 Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar Tabel 5. Interaksi antara suplementasi agensia defaunasi dan lama inkubasi terhadap produksi VFA total Waktu inkubasi, jam Signifikansi Defaunasi 1,5 3,0 4,5 Kontrol 40,00 B a 50,00 B b 95,00 A b B B Ubi jalar 50,00 a 55,00 b 110,00 A ab Waru 50,00 B a 65,00 B b 110,00 A ab P<0.01 B A Kembang sepatu 55,00 a 95,00 a 110,00 A ab Minyak jagung 50,00 B a 95,00 A a 120,00 A a Signifikansi P<0,01 Superskrip (huruf besar) yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata Superskrip (huruf kecil) yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata Tabel 6. Interaksi antara suplementasi agensia defaunasi dan lama inkubasi terhadap produksi N-amonia Waktu inkubasi, jam Defaunasi Signifikansi 1,5 3,0 4,5 Kontrol 4,24 AB b 4,40 Ac 4,05 B c A A Ubi jalar 4,42 ab 4,51 bc 4,25 A bc A A Waru 4,56 a 4,78 b 4,56 A a P<0.01 A A A Kembang sepatu 4,45 ab 4,60 bc 4,45 ab Minyak jagung 4,67 B a 5,20 A a 4,63 B a Signifikansi P<0,01 Superskrip (huruf besar) yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata Superskrip (huruf kecil) yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata 123