BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Berkembang pesatnya kegiatan ekonomi keuangan yang menggunakan prinsip syariah telah menarik banyak pihak untuk mengetahui lebih dalam ekonomi keuangan syariah, bukan saja dari sisi manajemen bisnis dan ekonominya, namun terlebih lagi dari sisi landasan fikih, analisis fikih, dan penerapan fikih dalam kegiatan ekonomi keuangan tersebut. Salah satu kegiatan tersebut yakni menanamkan modalnya dalam bentuk investasi. Salah satu bentuk investasi adalah menanamkan hartanya di pasar modal syariah. Pasar modal merupakan salah satu pilar penting dalam perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Instrumen pasar modal adalah semua surat berharga yang diperdagangkn di bursa. Instrumen pasar modal ini umumnya bersifat jangka panjang. Beberapa instrumen yang diperdagangkan dipasar modal diantaranya adalah saham, obligasi dan sertifikat. Sekuritas yang diperdagangkan dibursa efek adalah saham dan obligasi, sedangkan sertifikat diperdagangkan diluar bursa melalui bank pemerintah. Makalah ini menitikberatkan pada pembahasan tentang saham, dan tidak membahas instrumen pasar modal lainnya. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : 1. Apa itu Saham dan Saham Syariah 2. Bagaimana sejarah Saham Syariah 3. Bagaimana jenis-jenis Saham 4. Bagaimana karakteristik Saham Syariah 5. Apa perbedaan saham syariah dengan saham konvensional. 1 C. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah: 1. Mengetahui pengertian saham syariah 2. Mengetahui sejarah saham syariah 3. Mengetahui jenis-jenis saham 4. Mengetahui karakteristik saham syariah 5. Mengetahui perbedaan antara saham syariah dengan saham konvensional. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Saham Syariah Istilah saham dapat diartikan sebagai sertifikat penyertaan modal dari seseorang atau badan hukum terhadap suatu perusahaan. Saham merupakan tanda bukti tertulis bagi para investor terhadap kepemilikan suatu perusahaan yang telah go public[1]. Melalui pembelian saham dalam jumlah tertentu, pihak pemegang saham (shareholder) memiliki hak dan kewajiban untuk berbagi hasil dan resiko (profit and loss sharing) dengan para pengusaha, menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan bahkan mengambil alih kepemilikan perusahaan. Saham adalah tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan tertentu pada perusahaan penerbit saham bersangkutan. Bentuk fisik saham berupa selembar kertas yang menjelaskan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan kertas tersebut. Pemilik saham akan mendapatkan keuntungan dari penyertaannya di perusahaan tersebut, namun hal tersebut sangat tergantug pada perkembangan perusahaan penerbit saham[2]. Saham (stock) merupakan salah satu instrumen surat berharga yang paling dominan dalam pasar modal. Menerbitkan saham menjadi salah satu pilihan bagi pihak manajemen perusahaan untuk mendapatkan sumber pendanaan. Bagi para pengusaha, keberadaan sumber dana dapat berfungsi sebagai modal untuk mendirikan perusahaan dan atau pengembangan usaha. Sedangkan bagi investor, saham merupakan instrument investasi yang menarik karena keberadaannya dinilai menjanjikan keuntungan tertentu. Keuntungan tersebut biasanya dapat diperoleh dari hasil selisih harga pembelian dengan penjualan saham (capital gain) atau melalui pembagian keuntungan (dividen) dari hasil usaha yang dijalankan oleh perusahaan pada periode tertentu. Dalam Islam, saham pada hakikatnya merupakan modifikasi sistem persekutuan [1] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),h. 135 [2] Ade Arthesa dan Edia Handiman. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (Jakarta: Indeks. 2009), h. 229 3 modal dan kekayaan, yang dalam istilah fiqh dikenal dengan nama syirkah. Pemegang saham dalam syirkah disebut syarik. Pada kenyataannya, bahwa para syarik ada yang sering bepergian sehingga tidak dapat terjun langsung dalam persekutuan. Karenanya, bentuk syirkah dimana para syarik dapat mengalihkan kepemilikannya tanpa sepengetahuan pihak lain disebut syirkah musahamah. Sedangkan bukti kepemilikannya disebut saham[3]. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, mendefinisikan saham syariah merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah[4]. Menurut Kurniawan (2008), saham syariah adalah saham-saham yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam. Menurut Soemitra, saham syariah merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan. Penyertaan modal dilakukan pada perusahaanperusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Akad yang berlangsung dalam saham syariah dapat dilakukan dengan akad mudharabah dan musyarakah[5]. Pada sistem mudharabah, pihak yang menyetorkan dana tidak terlibat dalam pengelolaan perusahaan. Investor (mudharib) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada pihak lain. Sementara pada sistem musyarakah, dua atau beberapa pihak bekerja sama saling menyetorkan modalnya. Bagi hasilnya disesuaikan secara proporsional dengan dana yang disetorkan. Dalam musyarakah, pihak-pihak yang terlibat boleh menjadi mitra diam (tidak ikut mengelola) atau menjadi mitra aktif (ikut mengelola perusahaan) [6]. [3] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 135-136 [4] http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2013/01/04/artikel-saham-syariah/ (diakses pada tgl 11 November 2014) [5] Andri Soemitra. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana. 2009),h. 138 [6] Nafik HR, Muhammad. Bursa Efek dan Investasi Syariah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2009),h. 245 4 B. Sejarah Saham Syariah Secara praktis instrument saham belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau. Pada masa tersebut yang dikenal hanyalah perdagangan barang riil seperti layaknya yang terjadi pada pasar biasa. Pengakuan kepemilikan sebuah perusahaan pada masa itu belum dinyatakan dalam bentuk saham seperti sekarang. Dengan demikian pada masa itu, bukti kepemilikan dan atau jual beli atas sebuah aset hanya melalui mekanisme jual beli biasa dan belum melalui Initial Public Offering (IPO) dengan saham sebagai instrumennya. Pada saat itu yang terbentuk hanyalah pasar riil biasa yang mengadakan pertukaran barang dengan uang dan pertukaran barang (barter). Dikarenakan belum adanya pembahasan dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang menyatakan secara jelas dan pasti tentang keberadaan saham maka para ulama berusaha untuk menemukan rumusan kesimpulan hukun tersendiri untuk saham. Usaha tersebut lebih dikenal dengan ijtihad. Meskipun begitu terdapat perbedaan pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum khususnya dalam jual beli. Ada sebagian mereka yang memperbolehkan transaksi jual beli saham ada pula yang tidak membolehkan[7]. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kalangan ulama yang memandang kegiatan jual beli saham sebagai kegiatan yang dihalalkan. Para ulama membolehkan jual beli saham mengatakan bahwa saham merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Para ulama kontemporer yang merekomendasikan perihal tersebut diantaranya Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan, dan Khalaf sebagaimana dituangkan oleh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Zakah halaman 527. Meskipun begitu terdapat aturan dan norma jual beli saham yang perlu tetap mengacu pada pedoman jual beli barang pada umumnya dan sesuai dengan syariah Islam. Fatwa DSN Indonesia telah memutuskan akan bolehnya jual beli saham. (Fatwa DSNMUI No. 40/DSN-MUI/2003). Dalam perkembangannya mulai tahun 2007 Bapepam –LK sudah mengeluarkan daftar efek syariah yang berisis emiten-emiten yang sahamnya sesuai dengan ketentuan Islam berdasarkan keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan No. Kep 325/BI/2007 tentang Daftar Efek Syariah tanggal 12 September 2007 yang berisi 174 saham syariah. Dalam hal ini, di Indonesia usaha untuk melakukan investasi pada saham syariah [7] Mohammad Heykal. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), h. 42-44 5 diwujudkan dengan adanya index syariah yang saat ini diwakili oleh Jakarta Islamic Index. Index ini sendiri merupakan indeks 30 saham yang sudah mendapatkan pengesahan dari DSN-MUI serta PT Bursa Efek Jakarta (saat itu) dan PT Danareksa Invesment Management. Adapun tujuan dari dikeluarkannya indeks JII adalah sebagai sarana pengukuran akan kinerja saham yang dianggap memiliki basis syariah. Penentuan kriteria dari komponen yang terdapat dalam JII disusun berdasarkan persetujuan dari DSN dan PT. DIM. C. Jenis-Jenis Saham Pada umumnya saham yang diterbitkan oleh sebuah perusahaan (emiten) yang melakukan penawaran umum (Initial Public Offering) ada dua macam, yaitu saham biasa (common stock) dan saham istimewa/preferen (preferred stock). a. Saham biasa(common stock), adalah saham yang menempatkan pemiliknya paling terakhir terhadap pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi karena pemilik saham biasa ini tidak memiliki hak-hak istimewa. Pemilik saham biasa juga tidak akan memperoleh pembayaran dividen selama perusahaan tidak memperoleh laba. Setiap pemilik saham memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang saham /RUPS dengan ketentuan one share one vote. Pemegang saham biasa memiliki tanggung jawab terbatas terhadap klaim pihak lain sebesar proporsi sahamnya dan memiliki hak untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain. b. Saham preferen, merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obligasi). Persamaan saham preferen dengan obligasi terletak pada 3 (tiga) hal yaitu ada klaim atas laba dan aktiva sebelumnya, dividen tetap selama masa berlaku dari saham dan memiliki hak tebus dan dapat dipertukarkan dengan saham biasa. Saham preferen lebih aman dibandingkan dengan saham biasa karena memiliki hak klaim terhadap kekayaan perusahaan dan pembagian dividen terlebih dahulu Akan tetapi saham preferen mempunyai kelemahan yaitu sulit untuk diperjualbelikan seperti saham biasa, karena jumlahnya yang sedikit. Adapun ciri-ciri saham preferen selengkapnya sebagai berikut: [8] [8] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi Pada Pasar Modal Syariah (Jakarta: Kencana. 2007), h.59-60. 6 1. Hak utama atas dividen, artinya saham istimewa mempunyai hak terlebih dahulu dalam hal menerima dividen. 2. Hak utama atas aktiva perusahaan, artinya dalam hak likuidasi berhak menerima pembayaran maksimum sebesar nilai nominal saham istimewa setelah semua kewajiban perusahaan dilunasi. 3. Penghasilan tetap, artinya pemegang saham istimewa memperoleh penghasilan dalam jumlah yang tetap. 4. Jangka waktu yang tidak terbatas, saham istimewa yang diterbitkan mempunyai jangka waktu yang tidak terbatas, akan tetapi dengan syarat bahwa perusahaan mempunyai hak untuk membeli kembali saham istimewa tersebut dengan harga tertentu. 5. Tidak memiliki hak suara, artinya pemegang saham istimewa tidak mempunyai suara dalam RUPS. 6. Saham istimewa kumulatif, artinya dividen yang tidak dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham tetap menjadi hak pemegang saham istimewa tersebut. Jika suatu perusahaan tidak membagikan dividen, maka perusahaan harus membayarkan dividen terutang tersebut sebelum membagikannya kepada pemegang saham biasa. Para ahli fikih kontemporer memandang saham preferen ini harus dihindari karena tidak sesuai dengan ketentuan secara Islam, karena pemilik saham ini mempunyai hak mendapatkan bagian dari kelebihan yang dapat dibagikan sebelum dibagikan kepada pemilik saham biasa (Ibrahim, 2003). Konsep preferred stock atau saham istimewa tidak diperbolehkan secara Islam karena dua alasan yang dapat diterima secara konsep Islam, dua alasan tersebut adalah: a. Adanya keuntungan tetap, yang dikategorikan oleh kalangan ulama sebagai riba. b. Pemilik saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat perusahaan dilikuidasi. Hak tersebut dianggap mengandung unsur ketidakadilan. ` 7 Selain dari saham biasa dan preferen, saham memiliki macam dan jenis yang cukup beragam, berikut adalah tipe macam saham[9]: 1. Saham yang dicap (assented shares), penyetempelan saham dapat terjadi dalam hal perseroan mengalami kerugian besar, yang tidak dapat dihapuskan dari cadangan perseroan. Jika terjadi hal demikian perseroan harus mengadakan perubahan pada anggaran dasar perseroan, dengan menurunkan nilai nominal dari sahamnya menjadi sama dengan kekayaan (equity) dan dari nilai nominal sahamnya diturunkan secara proporsional. 2. Saham tukar, yaitu jenis saham yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan jenis saham lain, biasanya saham preferen dengan saham biasa. 3. Saham tanpa suara, yaitu jenis saham yang pemiliknya tidak diberi hak suara pada RUPS. 4. Saham tanpa pari, yaitu saham yang tidak memiliki nilai nominal atau pari, tetapi hak pemilikannya dapat diketahui dengan cara menjumlahkan seluruh kekayaan dan kemudian dibagi dengan jumlah saham yang dikeluarkan. 5. Saham preferen unggul, yaitu saham preferen yang hak prioritasnya lebih besar dari preferen lain. 6. Saham preferen tukar, yaitu saham preferen yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan saham biasa. 7. Saham preferen partisipasi, yaitu saham yang disamping hak prioritasnya masih dapat turut serta dalam pembagian dividen selanjutnya. 8. Saham preferen kumulatif, yaitu saham preferen yang memberikan hak untuk mendapatkan dividen yang belum dibayarkan pada tahun-tahun yang lalu secara kumulatif. 9. Saham pendiri, yaitu jasa yang diberikan oleh perusahaan, baik berupa penyertaan [9]Nurul Huda dan Moh Heykal. Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Kencana. 2010) , h. 228-229 8 modal yang bersumberkan dari penarikan beberapa peserta lainnya atau dari relasi penting lain, biasanya dihargai perseroan dengan memberikan kepada yang bersangkutan (memiliki saham). 10. Saham pegawai, yaitu kesempatan yang diberikan oleh perseroan kepada para pegawainya untuk memiliki saham perusahaan. 11. Saham bonus, pada saat perbandingan antara cadangan dan saham modal yang tidak berimbang pada suatu perseroan dapat dihilangkan dengan jalan memberikan saham bonus kepada para pemegang saham dengan cuma-cuma. Secara umum saham yang beredar pada Bursa Efek Jakarta dapat ditinjau dari beberapa segi: [10] 1. • Ditinjau dari segi bentuknya saham dapat dikategorikan atas: Saham atas nama, yaitu saham yang menyebut nama pemiliknya. Pencatatan saham ini dicatat dalam daftar khusus. Para ahli fikih kontemporer yang menghalalkan saham jenis ini sependapat bahwa penyebutan nama pemilik saham pada dokumen saham menetapkan kepemilikan pemiliknya dan memberikan perlindungan atas haknya. Hal ini berarti saham jenis ini diperbolehkan secara fikih Islam (Ibrahim, 2003). • Saham atas unjuk, yaitu saham yang tidak menyebut nama pemiliknya. Ada ahli fikih kontemporer memandang saham ini batal. Karena ketidaktahuan siapa pembelinya. Ketidaktahuan ini akan melenyapkan hak pemiliknya. Bagaimanapun juga, saham seperti ini dihindari karena akan menimbulkan problema tentang kepemilikannya atau pemulangannya kembali apabila hilang (Ibrahim. 2003). D. Karakteristik Saham Syariah Data saham merupakan bagian dari Daftar Efek Syariah (DES) yang dikeluarkan oleh Bapepam-LK. Terdapat beberapa pendekatan untuk menyeleksi suatu saham apakah [10] Ibid, 229-231 9 bisa dikategorikan sebagai saham syariah atau tidak, yaitu: [11] 1. Pendekatan jual beli. Dalam pendekatan ini diasumsikan saham adalah asset dan dalam jual beli ada pertukaran asset ini dengan uang. Juga bisa dikategorikan sebagai sebuah kerja sama yang memakai prinsip bagi hasil (profit-loss sharing). 2. Pendekatan aktivitas keuangan atau produksi. Dengan menggunakan pendekatan produksi ini, sebuah saham bisa diklaim sebagai saham yang halal ketika produksi dari barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan bebas dari element-element yang haram yang secara eksplisit disebut di dalam Al-Quran seperti riba, judi, minuman yang memabukkan, zina, babi dan semua turunan-turunannya. 3. Pendekatan pendapatan. Metode ini lebih melihat pada pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut. Ketika ada pendapatan yang diperoleh dari bunga (interest) maka secara umum kita bisa mengatakan bahwa saham perusahaan tersebut tidak syariah karena masih ada unsur riba disana. Oleh karena itu seluruh pendapatan yang didapat oleh perusahaan harus terhindar dan bebas dari bunga atau interest. 4. Pendekatan struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Dengan melihat ratio hutang terhadap modal atau yang lebih dikenal dengan debt/equity ratio. Dengan melihat ratio ini maka diketahui jumlah hutang yang digunakan untuk modal atas perusahaan ini. Semakin besar ratio ini semakin besar ketergantungan modal terhadap hutang. Akan tetapi untuk saat ini bagi perusahan agak sulit untuk membuat rasio ini nol, atau sama sekali tidak ada hutang atas modal. Oleh karena itu ada toleransi-toleransi atau batasan seberapa besar “Debt to Equity ratio“ ini. Dan masing masing syariah indeks di dunia berbeda dalam penetapan hal ini. Namun secara keseluruhan kurang dari 45% bisa diklaim sebagai perusahaan yang memiliki saham syariah. Kriteria saham-saham yang masuk dalam indeks syariah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 20 adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan [11] http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2013/01/04/artikel-saham-syariah/ (diakses pada tgl 11 November 2014) 10 dengan syariah seperti[12]: 1. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang. 2. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional. 3. Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram. 4. Usaha yang memproduksi, mendistribusi dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. Selain kriteria di atas, kriteria emiten dilihat dari resiko keuangannya yang termasuk dalam investasi Islami berdasarkan fatwa DSN adalah sebagai berikut[13]: 1. Perusahaan yang mendapatkan dana pembiayaan atau sumber dana dari utang tidak lebih dari 30% dari rasio modalnya. 2. Pendapatan bunga yang diperoleh perusahaan tidak lebih dari 15%. Dalam Islam, barang haram dengan halal tidak dapat dicampuradukkan. 3. Perusahaan yang memiliki aktiva kas atau piutang yang jumlah piutang dagangnya atau total piutangnya tidak lebih dari 50%. Dengan mengacu pada proses seleksi yang dilakukan terhadap saham-saham yang tercatat pada JII, terlihat bahwa saham-saham JII tidak hanya sesuai dengan kriteria syariah tetapi juga merupakan saham-saham pilihan[14]. Karena proses penyaringan yang ketat, tidak jarang emiten-emiten yang masuk kategori blue chip ditolak masuk JII. Contohnya adalah saham Gudang Garam dan H. M Smpoerna, meskipun kedua perusahaan rokok ternama ini memiliki nilai kapitalisasi yang [12] Indah Yuliana. Investasi Produk Keuangan Syariah. (Malang: UIN Maliki Press. 2010),h. 83 [13] Ibid,h. 84 [14] Edwin Nasution, Mustafa, et.al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana. 2007), h. 308 11 besar (mencapai 17-20 % dari total kapitalisasi pasar BEJ). Ia tidak lolos uji syariah karena tergolong usaha produk barang yang bersifat mudarat[15]. E. Keuntungan Dalam Saham Pada dasarnya, ada dua keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli atau memiliki saham: 1. Dividen. Dividen merupakan pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan dan berasal dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan dividen. Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai – artinya kepada setiap pemegang saham diberikan dividen berupa uang tunai dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap saham atau dapat pula berupa dividen saham yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut. 2. Capital Gain Capital Gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya Investor membeli saham ABC dengan harga per saham Rp 3.000 kemudian menjualnya dengan harga Rp 3.500 per saham yang berarti pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp 500 untuk setiap saham yang dijualnya [15] Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim. 2008), 146 12 F. Resiko Dalam Saham Resiko adalah kenyataan yang tidak sesuai dengan yang dengan yang diharapkan. Sebagai instrument investasi, saham memiliki risiko, antara lain: 1. Capital Loss. Merupakan kebalikan dari Capital Gain, yaitu suatu kondisi dimana investor menjual saham lebih rendah dari harga beli. Misalnya saham PT. XYZ yang di beli dengan harga Rp 2.000,- per saham, kemudian harga saham tersebut terus mengalami penurunan hingga mencapai Rp 1.400,- per saham. Karena takut harga saham tersebut akan terus turun, investor menjual pada harga Rp 1.400,- tersebut sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 600,- per saham. 2. Risiko Likuidasi Perusahaan yang sahamnya dimiliki, dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan. Dalam hal ini hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir setelah seluruh kewajiban perusahaan dapat dilunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan). Jika masih terdapat sisa dari hasil penjualan kekayaan perusahaan tersebut, maka sisa tersebut dibagi secara proporsional kepada seluruh pemegang saham. Namun jika tidak terdapat sisa kekayaan perusahaan, maka pemegang saham tidak akan memperoleh hasil dari likuidasi tersebut. Kondisi ini merupakan risiko yang terberat dari pemegang saham. Untuk itu seorang pemegang saham dituntut untuk secara terus menerus mengikuti perkembangan perusahaan. Sedangkan risiko dari investasi pada saham biasa adalah[16]: 1. Kemungkinan tidak mendapatkan dividen, bila operasional perusahaan yang menerbitkan saham mengalami kerugian. 2. Adanya kemungkinan capital loss, karena melakukan penjualan saham dengan harga yang akhirnya lebih rendah dari harga beli sahamnya. [16] Mohammad Heykal, Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah (Jakarta: Elex Media Komputindo. 2012), h. 41. 13 3. Kemungkinan perusahaan penerbit saham mengalami kebangkrutan atau dilikuidasi, yang mengakibatkan perusahaan tersebut dihapuskan dari papan perdagangan di Bursa Efek. 4. Perdagangan saham dihentikan secara sementara, disuspensi yang menyebabkan pihak investor bisa untuk sementara tidak melakukan aksi jual dan beli saham. G. Perbedaan Saham Syariah dan Saham Konvensional Perbedaanya antara saham syariah dan saham konvensional adalah: a. Saham yang ditransaksikan secara konvensional, tidak memperhatikan apakah transaksi tersebut bersifat spikulatif atau tidak dan demikian juga dengan jenis instrument yang ditransaksikan tidak melihat apakah emitennya comply secara Syariah ataupun tidak. b. Sementara saham syariah, emiten atau instrumennya haruslah comply dengan syariah. Adapun instrument maupun saham yang sesuai syariah tersebut dapat mengacu pada fatwa MUI yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Bagi yang ingin menerapkan syariah dalam transaksi keuangannya, cukup pilih lembaga keuangan syariah sesuai dengan kebutuhannya. Tidak perlu memperdapatkan antara apakah hal itu termasuk yang syariah atau konvensional, karena hal itu pastinya sudah ada yang mengurusinya yakni MUI, tugas kita adalah menjalankannya dan memberikan masukanmasukan untuk perbaikan. H. Gambar Saham Syariah 14 BAB III Penutup A. Kesimpulan Allah menghalalkan yang baik-baik kepada para HambaNya dan mengharamkan bagi mereka yang buruk-buruk. Seorang usahawan muslim tentu saja tidak bisa dikeluar dari bingkai aturan ini, meskipun tampak ada keuntungan dan hal yang menarik serta menggiurkan baginya. Seorang usahawan muslim tidak seharusnya tergelincir hanya karena mengejar keuntungan sehingga membuatnya berlari yang dihalalkan oleh Allah. Untuk mengatasi itu semua Islam hadirlah pasar modal syariah. Beberapa instrumen yang diperdagangkan dipasar modal diantaranya adalah saham Syariah. Tapi sayangnya saham syariah ini belum terlalu dikenal banyak orang karena Tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang pasar modal syariah masih minim,hal ini dikarenakan: 1. Ketersediaan informasi tentang pasar modal syariah ; 2. Minat pemodal atas efek syariah ; 3. Kerangka peraturan tentang penerbitan efek syariah ; 4. Pola pengawasan (dari sisi syariah) oleh lembaga terkait ; 5. Pra-proses (persiapan) penerbitan Efek syariah ; 6. Kelembagaan atau Institusi yang mengatur dan mengawasi kegiatan pasar modal syariah di Indonesia. Semoga hal itu menjadi wacana kita bersama sehingga kedepannya akan bisa lebih berkembang dengan memberikan masukan untuk perbaikan sehingga kita tidak terjerumus kedalam praktik usaha yang tidak sesuai dengan syariah.. B. Saran Sudah jelas bahwa saham syariah adalah saham yang memenuhi karaktaristik berdasarkan syariah islam, maka hendaklah sebagai muslim yang ingin berinvestasi dalam pasar modal, pilihlah saham-saham syariah, yaitu saham-saham yang telah diseleksi oleh Dewan Syariah Nasional. 15 DAFTAR PUSTAKA Ade Arthesa dan Edia Handiman. 2009, “Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank” ,Jakarta: Indeks. Andri Soemitra, 2009. “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah” , Jakarta: Kencana. Burhanudin, 2010, “Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah” .Yogyakarta: Graha Ilmu, Mohammad Heykal, 2012. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah. Jakarta: Elex Media Komputindo . Nafik HR, Muhammad. 2009, “Bursa Efek dan Investasi Syariah”, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. http://economy.okezone.com/read/2013/01/16/278/747126/makin-diminati-investor-sahamsyariah-melambung-62, diakses pada 11 November 2014 http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2013/01/04/artikel-saham-syariah/ (diakses pada tgl 11 November 2014) 16