Kecelakaan Pesawat

advertisement
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Bab 1. Sejarah dan Latar Belakang Investigasi (Penyidikan)
Kecelakaan Pesawat
ditulis oleh Hadi Winarto BE (USyd), M Eng Sc, Ph D (UNSW), SMAIAA
Awal Juni 2012 di Attadale, Western Australia 6156
Investigasi kecelakaan pesawat telah dilakukan dari sejak awal penerbangan, saat para
perancang masih bergelut untuk memahami dinamika gerak terbang pesawat dan apa
saja yang dibutuhkan untuk menjadikan penerbangan sebuah kenyataan bukannya
sekedar harapan. Peristiwa yang mendorong agar investigasi kecelakaan pesawat
dilakukan secara serius adalah saat penerbangan dijadikan salah satu alat transportasi,
karena untuk membuat penerbangan lebih aman bagi masyarakat umum, kita harus
memahami mengapa kecelakaan terjadi, sehingga kita dapat berusaha supaya
kecelakaan yang sama tidak terulang lagi.
Dibawah ini kita akan membahas sejarah singkat dan perkembangan investigasi
kecelakaan pesawat, sehingga kita bisa menelusuri asal usul investigasi kecelakaan
pesawat dan perkembangan yang telah dicapai selama ini. Prinsip atau dasar dan
standar yang diterapkan dalam investigasi kecelakaan pesawat telah dijadikan tolok
ukur dan aturan dalam investigasi kecelakaan untuk jenis transportasi dibidang lain2
seperti kecelakaan kereta api, kapal laut dlsbnya.
Konvensi dan prinsip yang mendasari investigasi kecelakaan pesawat penting untuk
dipelajari asal usulnya, karena itulah yang memberikan kerangka kerjasama
internasional dalam investigasi kecelakaan pesawat, yang telah membuahkan hasil
dalam perbaikan terus menerus dari operasi aviasi atau angkutan udara, khususnya
untuk operasi airline atau maskapai penerbangan.
Pada awal sejarahnya, para pionir penerbangan telah mampu melihat potensi
penerbangan sebagai alat transportasi, tetapi politik dan birokrasi agak lamban dalam
mengantisipasi dan memahami masalah2 yang ditimbulkan oleh penerbangan karena
kemampuannya untuk dengan mudah menembus batas2 negara dengan begitu
cepatnya.
Negara2 di Eropa terletak sangat berdekatan satu dengan lainnya, jadi disanalah
muncul kesadaran tentang sisi dunia penerbangan yang bersifat antar bangsa untuk
pertama kalinya. Kemudahan pesawat menembus batas negara telah menyadarkan
bangsa2 Eropa mengenai perlunya diadakan perjanjian mengenai penerbangan, dan
konferensi pertama untuk membahas masalah ini telah diselenggarakan pada tahun
1910. Ada 18 negara yang menghadiri konferensi tersebut dan sejumlah prinsip dasar
telah disepakati. Tetapi kemudian Perang Dunia Kedua (PD II) telah menghentikan
perkembangan lebih lanjut dari undang2 maupun perjanjian tentang penerbangan
internasional.
Aviasi meningkat dengan sangat pesat selama PD I dan ada banyak perkembangan
yang telah mendorong kemungkinan transportasi udara secara besar2an. Inilah
perubahan paradigma kita yang pertama dalam dunia penerbangan.
Seusai PD I teknologi telah berkembang cukup untuk mendukung banyak perusahaan
yang memulai jasa transportasi internasional, seperti antara Paris dan London.
page 1
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Masalah aviasi mendapat perhation yang memadai di Konferensi Perdamaian Paris di
tahun 1919 dan selanjutnya diteruskan kepada sebuah Komisi Khusus Aeronotika,
yang berasal muasal dari Komite Aviasi Antar Sekutu, yang didirikan pada tahun
1917.
Tahun 1919 merupakan tahun penting dengan adanya Konferensi Perdamaian Paris,
Alcock & Brown terbang untuk pertama kalinya dari Barat ke Timur melintasi lautan
Atlantik Utara, dan Pesawat yang lebih ringan dari udara Dirigible R34 berhasil
terbang dari Skotlandia ke New York dan kembali ke Skotlandia; semuanya itu adalah
prestasi orang2 Eropa.
Sekelompok penerbang mendesak dikembangkannya kerjasama internasional yang
pada awalnya muncul karena kebutuhan perang, supaya lebih mantap untuk aviasi
pasca perang. Mereka yakin bahwa aviasi harus bersifat internasional atau tidak ada
sama sekali.
Perancis menanggapi usulan tersebut dan mengusulkannya ke para penguasa sekutu
untuk mendapat persetujuan. Usulan Konvensi Udara Internasional dirancang dan
kemudian ditandatangani oleh 26 dari 32 penguasa sekutu dan rekan2nya yang hadir
di Konferensi Perdamaian Paris. Pada akhirnya konvensi udara tersebut diratifikasi
oleh 38 negara. Konvensi itu mengandung 43 artikel yang membahas aspek2 aviasi
sipil dari segi teknik, operasi dan organisasi. Disamping itu juga menjadi cikal bakal
didirikannya International Commission for Air Navigation (ICAN) atau Komisi
Navigasi Udara Internasional untuk memantau perkembangan dibidang aviasi sipil
dan mengusulkan kepada setiap negara anggota untuk mencari solusi dari isu2 yang
bermunculan. Konvensi tersebut mengesahkan semua semua prinsip2 yang telah
dirumuskan di Konferensi Paris tahun 1910. Sebuah sekretariat yang permanen
didirikan untuk menunjang komisi tersebut pada tahun 1922.
Tahun2 diantara PD I dan PD II ditandai oleh pertumbuhan berkesinambungan
dibidang aviasi, baik dari segi teknik maupun komersil, termasuk perkembangan
layanan jasa pos udara baik didalam negeri maupun antar negara. Namun demikian
aviasi saat itu masih bersifat transportasi pribadi dan belum menjadi transportasi
umum; cuaca selalu menjadi masalah di Eropa dipandang dari segi reliabilitas
sedangkan teknologinya belum matang untuk membuat jasa ini harganya terjangkau
oleh umum. Iptek Amerika belum cukup maju untuk menumbuhkan industri bidang
ini menjadi kekuatan yang disegani di pentas internasional.
Tetapi, dalam kurun waktu antara kedua Perang Dunia, upaya pengembangan
kecepatan terbang yang lebih tinggi, reliabilitas yang meningkat dan jarak jangkau
yang lebih jauh dilanjutkan terus menerus secara berkelanjutan.
PD II telah menyaksikan pertumbuhan yang bahkan lebih cepat lagi dibidang aviasi
dibandingkan dengan saat PD I. Aviasi militer tumbuh dengan pesatnya dan
pemanfaatan serta pengembangannya yang meluas, mendorong tumbuhnya aviasi
komersil; untuk pertama kalinya sejumlah besar kargo atau barang dan penumpang
diangkut untuk jarak jauh. Aksi angkatan laut dan blokade oleh kapal selam dan juga
kebutuhan untuk mengangkut orang dan peralatan diseluruh penjuru dunia dengan
cepat, memaksa diakui dan diterimanya kenyataan betapa pentingnya penerbangan
jarak jauh internasional.
page 2
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Sebagai hasil, PD II telah menelurkan pergeseran paradigma berikutnya dengan
adanya lompatan teknologi dan konsep2.
Aviasi militer tumbuh sangat cepat dan memberi dorongan pada aviasi sipil, sehingga
penerbangan antar benua menjadi kenyataan. Rancangan pesawat dengan badan
terbuat dari logam berbentuk monocoque, mesin yang lebih terpercaya, mesin pancar
gas (jet engine) yang pertama, pesawat terbang amfibi, radar, navigasi dengan radio,
dan autopilot adalah beberapa contoh dari kemajuan teknologi yang terjadi saat itu.
Pesawat DC-3 atau Dakota yang tersohor itu, menandai terjadinya perubahan pesawat
dari angkutan militer menjadi angkutan sipil.
Selama PD II USA telah mengembangkan sebuah industri berikat, yang berlanjut
dengan pengembangan kemampuan untuk membuat pesawat besar dengan cepat,
sehingga akhirnya terlibat erat dengan aviasi internasional. Pada tahun 1943 USA
memulai studi tentang isu2 aviasi yang muncul yang menegaskan bahwa aviasi tak
bisa tidak harus bersifat internasional.
Pada tahun 1944 USA mengundang 55 negara dan otorita untuk menghadiri ICAC
atau International Civil Aviation Conference (Konferensi Aviasi Sipil Internasional)
pada bulan November 1944. Ada 54 negara yang hadir dan sebuah Konvensi tentang
Aviasi Sipil Internasional diresmikan dan disetujui oleh 32 negara. Inilah yang
kemudian dikenal sebagai Konvensi Chicago.
ICAO didirikan
Konvensi tersebut diatas membentuk International Civil Aviation Organisation
(ICAO) atau Organisasi Aviasi Sipil Internasional untuk menciptakan peraturan dan
standar, dan juga prosedur dan standar yang seseragam mungkin diantara negara2,
Sekali lagi itulah yang terjadi yaitu sebuah pergeseran paradigma, yang bersejarah.
Konvensi Chicago meletakkan fondasi dari satu set peraturan (rules) dan pengaturan
(regulation) untuk navigasi udara, yang menjadikan keselamatan terbang sebagai
prioritas utama. ICAO dijadikan badan yang permanen pada tahun 1947 setelah
sekitar setahun berbentuk badan sementara (provisional) dan menjadi badan khusus
bagian dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa).
Standar dan praktek yang diusulkan (Standard and Recommended Practices), pertama
kali disetujui pada tanggal 11 April 1951 sebagai bagian dari Artikel 37dari Konvensi
Chicago. Itu disebut Annex 13 Konvensi dimana Investigasi Kecelakaan diuraikan
dalam Artikel 26 konvensi, yang menekankan keharusan pada negara anggota dimana
kecelakaan terjadi untuk memulai sebuah penyidikan. Annex2 lainnya menjelaskan
persyaratan2 khusus, misalnya Annex 11 menjelaskan perlunya disediakan dan
adanya standar tentang Air Traffic Service (Layanan Lalulintas Udara) atau Annex 2
yang membahas Aturan2 tentang Ruang Udara atau Rules of the Air.
Kerangka yang mengatur standar2 aviasi sipil internasional tidak berubah banyak
sejak 1951. Memang aturan dan standar mengalami perubahan, tetapi kerangkanya
tetap sama. Annex 13 membahas fondasi dari investigasi kecelakaan dan dalam
tulisan ini annex itulah yang disebut dalam rangka membahas masalah investigasi
page 3
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
(penyidikan) kecelakaan udara. Annex 13 adalah “kitab suci” yang harus sepenuhnya
dikuasai oleh penyidik kecelakaan udara.
Kecelakaan Comet menandai awal dari teknik2 moderen
Teknik dan prinsip2 penyidikan pada dasarnya tidak berubah sampai terjadinya
kecelakaan pesawat De Havilland Comet diawal 1950an. Pesawat Comet adalah
pesawat angkutan sipil jet yang pertama dan menggunakan banyak teknologi terbaru
untuk pertama kalinya; dimulai dengan mesin jet sampai penerbangan yang sangat
tinggi diatas bumi dan tak berubah-ubah, dan semuanya itu adalah lompatan teknologi
ke tingkat yang tak dikenal sebelumnya. Para perancang dan insinyur2 dihadapkan
pada persoalan2 baru terkait dengan material dan metoda produksi; hal2 yang
sekarang ini dianggap sebagai masalah biasa.
Sukses pesawat Comet dinodai oleh terjadinya beberapa kecelakaan dan kesungguhan
sifat ke- internasional-an investigasi kecelakaan pesawat terbukti dalam peristiwa ini.
Kecelakaan terjadi di India, Italia, Turki, Thailand, Ethiopia, Spanyol dan bahkan di
Libya. Sebelum terjadinya kecelakaan pesawat Comet, investigasi kecelakaan
cenderung menyebutkan terjadinya “pilot error” atau kesalahan pilot sebagai faktor
dominan penyebab kecelakaan.
Memang mudah sekali mencari-cari kesalahan pada manusia yang menjadi benteng
pertahanan akhir pencegah kecelakaan. Misalnya, kecelakaan pertama terjadi di Roma
dimana pesawat tergelincir keluar ujung landasan dan pada awalnya kapten pilot
disalahkan karena melakukan putaran atau rotasi pesawat terlalu awal saat akan
tinggal landas. Tetapi pada akhirnya ditemukan adanya kesalahan rancangan sayap
sebagai penyebab utama kecelakaan, khususnya setelah pesawat kedua mengalami
nasib yang sama 6 bulan kemudian.
Bulan Januari 1954, ada beberapa saksi mata yang mengatakan mendengar 3 kali
ledakan dan melihat sebuah pesawat yang baru saja tinggal landas di Roma dan
berada pada ketinggian 30 ribu kaki pecah ber-keping2. Kepingan pesawat jatuh
kelaut sedalam 150 m. Karena tidak ada bukti petunjuk lainnya maka anggapannya
adalah bahwa mesin telah meledak atau ada sebuah bom dipesawat yang meledak.
Sebagai akibat, ada 60 perubahan dilakukan pada rancangan mesin termasuk pipa
bahan bakar baru, detektor asap, dan proteksi dari mesin yang meledak.
Tetapi investigasi yang sungguh2 berbasis ilmiah baru dilakukan setelah satu lagi
pesawat Comet mengalami kecelakaan; dan saat itulah yang bisa disebut sebagai titik
awal sejarah penggunaan metoda ilmiah dalam penyidikan kecelakaan pesawat, yang
terus dikembangkan lebih lanjut sampai saat ini. Pesawat kedua ini juga hancur berkeping2 diudara dan serpihannya tenggelam didasar laut pada kedalaman lebih dari
1000 m. Sebuah program uji terbang dilakukan tanpa kesimpulan akhir yang
memuaskan.
Kemudian bangkai pesawat pertama yang berada dilaut yang lebih dangkal diangkat
ke permukaan dan di rekonstruksi, dan sebuah airframe lain dipersiapkan untuk diuji
stress dibawah air. Dari pengujian tersebut ditemukan bahwa ada 2 keretakan
ditempat yang berbeda, dan ini membuat para penyidik menyadari bahwa kelelahan
logam (metal fatigue) adalah penyebab kecelakaan. Kelelahan logam tersebut
page 4
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
disebabkan oleh perubahan bentuk struktur kristal logam dikulit pesawat yang
diperparah oleh kecepatan dan ketinggian terbang yang tinggi. Keretakan itu berakibat
pesawat bocor dan mengalami dekompresi dan akhirnya fuselage (badan) pesawat
mengalami kegagalan total. Perlu dimaklumi bahwa kelelahan logam sering menjadi
penyebab utama kecelakaan pesawat.
Setelah itu pesawat Comet diperbolehkan terbang lagi (setelah dikandangkan selama
pengujian berlangsung), dan ternyata beberapa pesawat Comet mengalami kecelakaan
lagi, termasuk karena CFIT (Controlled Flight Into Terrain), terjadinya ledakan bom
saat pesawat sedang terbang, dan juga kecelakaan saat tinggal landas dan mendarat
dan terjadinya kebakaran. Semua masalah tersebut pada akhirnya memberi
kesempatan kepada Boeing untuk menyaingi Comet dengan pesawat jet barunya yaitu
pesawat Boeing B-707. Douglas juga mulai mengoperasikan pesawat DC-8 nya, dan
kecelakaan yang dialami serta persaingan ketat dari Boeing dan Douglas akhirnya
menghabisi riwayat pesawat dan perusahaan De Havilland Comet.
Kecelakaan pesawat tetap berlangsung dalam jumlah yang relatif tinggi selama tahun
1960an dan 1970an. Pada tahun 1977 terjadilah kecelakaan pesawat yang melibatkan
jumlah kehilangan jiwa terbesar sepanjang sejarah. Kecelakaan yang terjadi
melibatkan 2 pesawat Boeing B-747 yang sedang tinggal landas, dan mendorong
dimulainya program pelatihan yang disebut CRM atau Crew Resource Management.
Dalam kecelakaan ini sebuah B-747 milik KLM sedang dalam proses tinggal landas
dalam kondisi cuaca buruk berkabut tebal di bandara Los Rodeos, Tenerife, sebuah
pulau bagian dari Spanyol. Kapten pesawat tersebut lupa atau tidak menyadari bahwa
ada pesawat B-747 milik Pan Am yang sedang lari untuk tinggal landas dilandasan
yang sama, tetapi berlawanan arah dan terjadilah kecelakaan itu yang menelan korban
583 jiwa. Ada bukti yang mengindikasikan bahwa kapten pesawat KLM sangat
bernafsu untuk secepat mungkin meninggalkan landasan, dan memang ada
kebingungan dalam interaksi antara kru kedua pesawat, dan juga dengan menara
ATC. Black box CVR (Cockpit Voice Recorder) menunjukkan bahwa kopilot yang
jauh lebih junior dibanding kapten pilot, sebetulnya tidak yakin bahwa mereka telah
diberi ijin untuk mulai take-off oleh menara, tetapi karena kurang berani menyatakan
pendapat yang bertentangan dengan kapten pilotnya, maka kopilot hanya memberi
pernyataan lemah tentang apa yang didengarnya menara mengatakan, bukannya
secara jelas mengingatkan kapten pilot bahwa menara belum memberi ijin untuk
mulai tinggal landas. Rincian dari laporan tentang kecelakaan ini dapat dibaca di
artikel lain yang dapat diunduh dari internet.
Pada tahun 1988 terjadilah kecelakaan di Lockerbie, Skotlandia, yang menghebohkan
itu, dimana Presiden Libya, Kolonel Gaddafi, diduga ikut terlibat memberikan dana
kepada kelompok teroris yang meledakkan bom dalam pesawat naas itu. Dalam kasus
ini, ada beberapa teknik penyidikan, termasuk rekonstruksi dan simulasi pengulangan
peristiwa, yang dikembangkan untuk pesawat Comet, telah diterapkan untuk
memecahkan rahasia apa yang sebenarnya terjadi yang berakhir dengan hancurnya
pesawat Pan Am 747. Rekonstruksi juga sangat membantu menguak faktor2 yang
terlibat dalam kecelakaan pesawat B747 milik TWA ditahun 1996, dan pesawat
Swissair MD-11 tahun 1998.
page 5
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Kecelakaan yang penyidikannya melibatkan peran organisasi adalah kecelakaan
pesawat Ansett Airlines di bandara Sydney tahun 1994. Hasil penyidikan
menunjukkan bahwa memang ada kesalahan teknis yang menjadi pemicu, yaitu
kebocoran oli yang disebabkan oleh kegagalan baut bergerigi yang berfungsi
mengencangkan tutup gearbox mesin. Tutup itu menjadi lepas dan menyebabkan oli
bocor ke-mana2. Sesungguhnya ada kesempatan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan yaitu seandainya petunjuk kerja dalam service bulletin dilakukan, yang
pasti akan mencegah kebocoran oli terjadi. Tetapi itu tidak dilakukan.
Walaupun jenis mesin yang sama digunakan pada sejumlah pesawat yang diberi ijin
untuk beroperasi pada jarak yang lebih jauh untuk pengoperasian diatas air, tetapi
pihak manufacturer tidak mengharuskan bahwa yang direkomendasikan dalam service
bulletin harus dilakukan. Pemilik pesawat kemudian mengabaikan saja hal tersebut
karena memang tidak ada keharusan, hanya sekedar saran.
Laporan juga menunjukkan bahwa kru terbang gagal mengenali dan mengoreksi
masalah landing gear sebelum melakukan pendaratan, dan apa yang dilakukan kru
membuktikan bahwa mereka tidak mengerti tentang CRM, juga tidak memahami
prosedur perusahaan tentang pengoperasian B-747, dan juga kekurangan pengalaman
flight engineer dan kopilot dengan B-747, serta kemampuan tetap tenang dan tidak
gugup dalam menghadapi situasi yang gawat atau kondisi stress.
Tetapi laporan itu juga menarik karena dalam tinjauan ulang (review) peristiwa2 yang
terkait dengan masuknya B747 dalam armada perusahaan, ternyata ada faktor2
organisatoris yang melibatkan baik Ansett maupun Civil Aviation Authority, yang
berperan neningkatkan kemungkinan kecelakaan jenis ini terjadi. Penyidikan
menunjukkan bahwa faktor2 tersebut mencakup kekurangan dalam perencanaan dan
penerapan dari program pengenalan pada pesawat baru, khususnya dalam kaitan
dengan manual, prosedur dan pelatihan dimedan kerja (dibengkel etc). Selanjutnya,
ternyata semua persyaratan pengaturan tidak diberlakukan dan tidak diharuskan. Ini
bisa dibaca dilaporan ATSB accident Report 199403038 (bisa dilihat diinternet pada
alamat berikut)
https://www.atsb.gov.au/publications/investigation_reports/1994/aair/aair199403038.aspx
Sebagai kelanjutan dari kemajuan dalam teknik penyidikan yang menemukan faktor2
penting yang terlibat dalam kecelakaan2 tersebut diatas, sekarang ini metoda
konstruksi pesawat telah bertambah baik, kita jauh lebih memahami perilaku material
(logam), juga pada akhirnya disadari bahwa faktor manusia itu juga berperan penting,
dan lebih belakangan ini peran organisasi sebagai faktor penyebab kecelakaan mulai
diakui dan dimengerti.
Yang perlu dipahami adalah bahwa kunci sukses dalam memecahkan masalah
mencari penyebab kecelakaan adalah Annex 13. Dokumen tersebut memberi kerangka
untuk persetujuan, tanggung jawab dan konvensi untuk bekerjasama, bekerja
berdasarkan standar tertentu, dan mengumpulkan serta berbagi pengalaman dan
pengetahuan.
page 6
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Tujuan akhir dari semuanya itu adalah untuk membuat angkutan udara menjadi jauh
lebih aman dari sebelumnya, dan masyarakat mempercayai professional dibidang
aviasi sipil untuk bertugas secara professional sehingga keselamatan mereka terjamin
saat mereka bepergian naik pesawat terbang.
page 7
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Annex 13 Konvensi Chicago
Ditulis oleh Hadi Winarto BE (USyd), M Eng Sc, Ph D (UNSW), SMAIAA
Awal Agustus 2012 di Beeliar, Western Australia 6164
Annex 13 Konvensi ICAO adalah dokumen dasar mengenai investigasi atau penyidikan
kecelakaan pesawat terbang angkutan sipil. Ada banyak negara yang telah menyerap isi
dari Annex 13 dan memasukkannya kedalam undang-undang negara tersebut. Pada
dasarnya Annex 13 dirumuskan untuk menangani masalah kecelakaan pesawat yang
bersifat internasional atau antar bangsa, tetapi dalam prakteknya kebanyakan negara juga
menerapkannya untuk kasus2 penyidikan kecelakaan pesawat dalam negeri, yang tidak
melibatkan bangsa lain.
Ada beberapa hal yang perlu dibahas yang berkaitan dengan Annex 13, yang telah
membuatnya begitu bermanfaat dalam memastikan sebisa mungkin agar penerbangan
angkutan sipil menjadi aman selamat dan calon penumpang tidak ragu-ragu untuk
menggunakan jasa transportasi ini. Hal-hal yang perlu dibahas diantaranya adalah
•
•
•
•
Tujuan penyidikan
Kewajiban negara2 terkontrak atau negara2 penanda tangan konvensi Chicago,
anggota ICAO
Definisi kosa kata yang digunakan
Standar dan Praktek2 yang disarankan atau SARP (Standard and
Recommended Practices)
Seperti telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, kunci sukses dalam memecahkan masalah
mencari penyebab kecelakaan adalah Annex 13. Dokumen tersebut memberi kerangka
untuk persetujuan, tanggung jawab dan konvensi untuk bekerjasama, bekerja
berdasarkan standar tertentu, dan mengumpulkan data serta berbagi pengalaman dan
pengetahuan.
Sekarang marilah kita pelajari secara lebih rinci apa saja hak dan kewajiban dari setiap
negara terkontrak yang mungkin saja terlibat dalam penyidikan kecelakaan pesawat.
Tentu saja kita harus menyadari bahwa dalam penyidikan kecelakaan pesawat pasti saja
terdapat masalah2 yang berkaitan dengan emosi, bukan saja dengan iptek, ataupun logika
dan penalaran yang tepat. Semua hal tersebut tentu saja harus diakomodasi oleh Annex 13.
Konvensi Chicago di tahun 1951 adalah momen yang sangat menentukan dalam
perkembangan dunia penerbangan sipil internasional yang masih terus berkelanjutan
sampai kini. Calon penumpang tidak akan bersedia terbang naik pesawat bila mereka
meragukan keselamatan diri mereka kalau naik pesawat. Annex 13 telah memungkinkan
dilakukannya penyidikan kecelakaan pesawat yang pada akhirnya berhasil membuat
perjalanan naik pesawat jauh lebih aman selamat dibandingkan dengan transportasi jenis
lainnya. Artikel 26 dari Konvensi mewajibkan adanya persyaratan untuk melakukan
penyidikan kecelakaan pesawat terbang, dan Annex 13 tumbuh berkembang dari
persyaratan konvensi tersebut, sesuai dengan perkembangan jaman. Annex 13 selalu
page 8
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
diperbarui disesuaikan dengan tuntutan jaman dan perkembangan iptek mutakhir
dibidang keselamatan terbang. Sejarah perubahan2 dan perbaikan yang dilakukan pada
Annex 13 dapat dibaca di prakata Annex, termasuk perubahan2 yang dibuat pada setiap
edisi.
Sebaiknya perlu diingat disini bahwa Konvensi Chicago itu mencakup banyak hal, bukan
sekedar Annex 13, dan diantaranya adalah standar tentang airport (bandara), perijinan
yang bersangkutan dengan penerbangan sipil dan lain sebagainya, Informasi tentang
semua annex dari Konvensi Chicago dapat dibaca langsung di situs web ICAO di alamat
http://www.icao.int/Pages/default.aspx , sedangkan disini kita hanya akan membahas
Annex13 secara lebih rinci.
Seperti telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, para pionir dan perintis dunia
penerbangan angkutan sipil dari sejak awalnya telah menyadari bahwa penerbangan pasti
bersifat antar bangsa, karena pesawat bisa melintasi batas negara dengan begitu mudah
dan cepatnya, berbeda dari angkutan darat maupun angkutan laut, Hal ini menimbulkan
banyak masalah baru yang perlu ditangani dan dicarikan solusinya, termasuk bagaimana
cara melakukan penyidikan kecelakaan pesawat, yang bermanfaat dalam memenuhi
kebutuhan untuk secara terus menerus, berkesinambungan, memperbaiki keselamatan
terbang diseluruh dunia.
Annex 13 menjadi dasar untuk penyidikan kecelakaan pesawat, dan sejarah menunjukkan
mengapa perjanjian dan kesepakatan yang tertuang dalam Annex 13 itu memang sangat
diperlukan. Diantara banyak alasan mengenai perlunya Annex 13 adalah kenyataan
bahwa penyidikan kecelakaan pesawat membutuhkan keahlian yang hanya dimiliki secara
bersama oleh semua negara didunia. Sebagai sebuah perjanjian internasional, memang
semua negara terkontrak (penanda tangan Konvensi Chicago) punya kewajiban untuk
menghormati semua butir yang telah disepakati bersama. Namun demikian perjanjian
Konvensi Chicago tersebut tentu saja tidak bisa menggantikan undang2 yang berlaku
dinegara terkontrak. Itulah sebabnya mengapa setiap negara terkontrak harus membuat
undang2 yang sedapat mungkin membuat negara tersebut mampu menghormati
kesepakatan bersama yang tertuang dalam Annex 13 dan tidak bertentangan dengan
undang2 dalam negeri yang berlaku dinegara tersebut.
Tujuan Penyidikan Kecelakaan Pesawat
Supaya bermanfaat, Annex 13 harus menjabarkan sejelas-jelasnya mengenai tujuan dari
penyidikan kecelakaan pesawat, yaitu untuk mencegah terjadinya kecelakaan pesawat dan
bukan untuk mencari kambing hitam menuding siapa yang bersalah. Hal ini selalu ditulis
dibagian depan dari setiap laporan resmi mengenai penyidikan kecelakaan pesawat oleh
otorita yang berwewenang, misalnya NTSB di Amerika Serikat atau KNKT di Indonesia.
Ini sangat penting untuk diperhatikan, khususnya oleh para penegak hukum dan pembuat
undang2. Polisi tidak boleh memaksa penyidik KNKT atau NTSB misalnya untuk
menyerahkan hasil wawancara penyidik dengan mereka2 yang terlibat dalam kecelakaan,
misalnya pilot dan kru terbang pesawat naas itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka
yang bersalah tidak bisa dituntut ke pengadilan, hanya saja polisi harus melakukan
penyidikan mereka sendiri yang memang berusaha untuk menentukan siapa yang bersalah
page 9
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
dan apakah ada tindakan pidana yang telah dilakukan. Penyidikan polisi ini bisa
dilakukan pada saat bersamaan dengan penyidikan oleh KNKT misalnya. Biasanya dalam
masalah kecelakaan ada masalah asuransi yang terlibat. Perusahaan asuransi biasanya
juga mengirim penyidik mereka sendiri untuk menentukan apakah ada yang berhak
mendapat asuransi, yaitu untuk menentukan bahwa yang terjadi adalah murni kecelakaan
dan tidak ada unsur kriminalitas yang terlibat. Jadi dalam penyidikan kecelakaan pesawat
bisa jadi ada 3 tim yang terlibat melakukan penyidikan, yaitu tim KNKT (atau sejenis dari
negara lain), polisi dan penyidik asuransi. Annex 13 secara jelas menegaskan bahwa
penyidik KNKT (atau sejenis) HARUS diberi prioritas untuk mengumpulkan dan
memeriksa barang bukti serta para saksi dlsbnya. Seringkali memang terjadi tabrakan
kepentingan dan polisi akan berusaha mengintimidasi para penyidik KNKT (atau sejenis)
supaya memberikan semua laporan hasil wawancara dengan saksi dlsbnya kepada polisi
untuk digunakan sebagai barang bukti dipengadilan. Annex 13 secara jelas menegaskan
bahwa itu tidak diperbolehkan dan negara harus memiliki undang2 yang
memperbolehkan dan melindungi para penyidik KNKT (atau sejenis) untuk melakukan
penyidikan tanpa interferensi dari pihak kepolisian ataupun pihak berwajib terkait
lainnya, dan punya prioritas terhadap akses ke barang bukti.
Memang sangat disayangkan bahwa kebanyakan negara memiliki undang2 yang sering
berseberangan dengan kesepakatan Konvensi Chicago yang ditandatanganinya. Kita tahu
bahwa dalam kasus kecelakaan pesawat Garuda yang tergelincir di landasan bandara di
Jogjakarta beberapa tahun yang lalu, polisi telah menahan pilot yang dianggap bersalah
dan melakukan tindakan pidana, sebelum para penyidik KNKT selesai melakukan tugas
penyidikan mereka. Perlu diketahui bahwa ini tidak terjadi hanya di Indonesia ataupun
negara2 Asia lainnya, tetapi juga di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris
dlsbnya.
Negara2 Eropa juga bermasalah dengan hal ini. Misalnya saja, Perancis yang undang2nya
telah dibuat sejak jaman Napoleon, jauh sebelum ada pesawat terbang, juga punya
masalah ini. Kalau Indonesia punya KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi),
Amerika punya NTSB (National Transportation Safety Board), Australia punya ATSB
(Australian Transport Safety Bureau), Inggris Raya punya AAIB (Air Accidents
Investigation Branch), maka Perancis punya BEA (Bureau Enquêtes-Accidents). Pada
bulan Juli tahun 2000 telah terjadi kecelakaan pada pesawat supersonik Concorde. Sesuai
undang2 Perancis yang sudah ada sejak jaman Napoleon, pengadilan negeri Perancis
punya prioritas dalam melakukan penyidikan pada kasus kecelakaan pesawat ini, dan tim
penyidik BEA terpaksa melakukan negosiasi dengan pihak pengadilan negeri untuk
mendapatkan akses ke barang bukti. Tentu saja ini bertentangan dengan kesepakatan
Konvensi Chicago yang telah ditanda tangani Perancis! Konflik dengan pengadilan negeri
Perancis itu telah digaris bawahi oleh para penyidik Inggris yang menjadi anggota tim
penyidik BEA tersebut, yang menegaskan bahwa Perancis tidak sepenuhnya menghormati
kesepakatan Konvensi Chicago (lihat laporan UK Participant Report BEA Report fsc000725a). Hal yang sama juga terjadi di Selandia Baru dimana polisi berusaha
memanfaatkan rekaman CVR (Cockpit Voice Recorder) untuk menuntut para pilot
pesawat Dash 8 yang mengalami musibah. Konflik antara pengadilan negeri dengan ATSB
juga terjadi di Australia, apalagi karena hukum dan undang2 mengenai penyidikan
page 10
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
kecelakaan disetiap state (negara bagian) Australia itu ber-beda2. Konflik pernah terjadi
di Western Australia dimana pengadilan negeri menuntut agar hasil penyidikan ATSB
diserahkan ke pengadilan negeri, tetapi ini ditolak oleh ATSB. Untuk menghindari
masalah serupa ATSB membuat sebuah memorandum saling pengertian (MOU) dengan
pengadilan negeri negara bagian Tasmania (lihat laporan di alamat
http://www.atsb.gov.au/media/48048/tas_coroner.pdf
Di Australia penyidikan kecelakaan pesawat diatur dalam undang2 pemerintah Federal
yaitu Transport Safety Act and Regulations 2003 yang secara jelas menegaskan
persyaratan yang harus dipenuhi Australia dalam memenuhi kewajibannya sebagai
penandatangan Konvensi Chicago. Namun demikian ada banyak pengadilan negeri negara
bagian yang sangat curiga dengan konsep tidak mencari kambing hitam menentukan siapa
yang salah dari Annex 13, dan oleh karena itu konflik dengan ATSB dalam melakukan
penyidikan, terutama dimana ada penumpang atau kru pesawat yang meninggal dunia,
masih bisa saja terjadi.
Kebanyakan negara panandatangan Konvensi Chicago memang telah mengadopsi tujuan
Annex 13. Misalnya saja peraturan atau undang2 Inggris menyebutkan bahwa: “Tujuan
dasar dari penyidikan kecelakaan yang dimaksud dalam undang2 ini adalah untuk
menentukan situasi dan kondisi penyebab kecelakaan, dengan maksud untuk
menyelamatkan kehidupan dan menghindari terjadinya kecelakaan dimasa depan; tujuan
ini bukan untuk menentukan siapa yang bersalah dan bertanggung jawab”. Undang2
Australia mengatakan bahwa: “Kekuasaan dalam undang2 ini yang terkait dengan
navigasi dan pesawat udara, hanya boleh digunakan untuk tujuan:
(a) Memperbaiki keselamatan navigasi udara yang dilakukan dalam perdagangan atau
untuk tujuan komersial dengan negara lain ataupun antara negara2 bagian Australia
(b) Memperbaiki keselamatan navigasi udara
(i)
diluar Australia
(ii)
didalam Territory, atau dari dan ke Territory
(iii) diwilayah pemerintah Federal atau ke dan dari wilayah pemerintah Federal
(iv)
pada pesawat yang dimiliki atau dioperasikan oleh sebuah korporasi yang
konstitusional ataupun merupakan lembaga Commonwealth
(v)
sehubungan dengan dimana penerapan kekuasaan negara bagian berlaku
(vi)
sehubungan dengan hal2 lain yang terkait dimana Parlemen Federal berhak
untuk membuat undang2
(c) terkait dengan menghormati sebuah perjanjian internasional atau
(d) hal2 yang menjadi masalah internasional
Penyidik harus mawas diri dan selalu waspada supaya tidak bertindak semena mena dan
sekaligus menjadi hakim, juri serta algojo; khususnya dimana pihak pengadilan negeri
kadang2 menghimbau agar penyidik keselamatan terbang melakukan tugas penyidik polisi
dan kejaksaan. Pihak pengadilan negeri sering menekan para penyidik keselamatan
terbang untuk mengikuti kehendak mereka seperti memberikan hasil rekaman penyidikan
dan tata cara mengumpulkan data rekaman penyidikan. Para penyidik juga harus
page 11
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
menerima kenyataan bekerja dalam ruang lingkup sistem hukum dan politik yang berlaku
didalam negeri, yang mungkin saja tidak “terbuka” ataupun “tidak menuduh” seperti
yang dijabarkan oleh ICAO ataupun Annex 13.
Definisi kosa kata yang digunakan
Annex 13 menggunakan istilah “contracting state” atau negara terkontrak, yaitu negara
yang menanda tangani Konvensi Chicago dan menjadi anggota ICAO. Kalau terjadi suatu
kecelakaan pesawat yang melibatkan lebih dari 1 negara, Annex 13 menyebutkan bahwa
“contracting state” itu diberi sebutan yang berbeda tergantung dari peran masing2, yaitu
“state of occurrence”, “state of registry”, “state of operator”, “state of design” dan “state
of manufacture”. Arti dari sebutan tersebut diberikan dibawah ini
State of Occurrence atau Negara Tempat Kejadian Kecelakaan (NTKK)
NTKK adalah negara diwilayah siapa terjadi kecelakaan pesawat. Biasanya ini cukup jelas
dan mudah dimengerti, tetapi kadang2 cukup membingungkan. Sebagai contoh adalah
Timor Leste saat menjadi UN Protectorate atau negara dalam perlindungan PBB. Untuk
kasus ini siapa yang menjadi NTKK? Demikian juga seandainya terjadi kecelakaan
pesawat terbang di Irak saat telah diduduki oleh Amerika Serikat dan belum memiliki
pemerintahan sendiri. Kalau terjadi kecelakaan di Libya saat terjadi perang saudara
disana, siapa yang menjadi NTKK? Demikian juga dengan situasi di Siria saat ini.
Disamping itu walaupun hampir semua negara yang memiliki maskapai penerbangan atau
airlines, biasanya adalah negara terkontrak atau anggota ICAO karena kalau tidak maka
airlines nya pasti tak boleh beroperasi dinegara lain, tetapi ada juga negara seperti Taiwan
yang bukan negara terkontrak. Taiwan oleh dunia internasional dianggap sebagai provinsi
dari negara Cina, dan oleh karena itu tidak bisa menjadi anggota ICAO. Namun demikian
Taiwan dalam kenyataannya memang berdiri sebagai sebuah negara tersendiri, terlepas
dari RRC dan kecelakaan terbang bisa saja terjadi disana. Tentu saja untuk kasus ini
secara resmi mestinya RRC adalah negara terkontrak, tetapi dalam prakteknya ya tidak
ada negara terkontrak! Taiwan memang bukan negara terkontrak, tetapi supaya airlines
nya bisa beroperasi diseluruh dunia, maka Taiwan dalam prakteknya bertindak sebagai
negara terkontrak. Kalau terjadi kecelakaan pesawat di Taiwan, maka walaupun secara
resmi Taiwan bukan NTKK, namun Taiwan bertindak se-olah2 dia adalah NTKK.
State of Registry atau negara tempat registrasi pesawat disingkat negara registrasi
Setiap pesawat yang beroperasi di dunia pasti diregistrasikan disebuah negara, seperti
halnya juga dengan mobil. Misalnya saja Air Asia yang merupakan perusahaan Malaysia
memiliki pesawat yang beroperasi di Indonesia dibawah naungan Air Asia Indonesia
misalnya, dan pesawat tersebut diregistrasikan di Indonesia, maka untuk pesawat tersebut
negara registrasi adalah Indonesia dan bukan Malaysia.
State of Operator atau negara pengoperasi pesawat disingkat sebagai negara operator
Ini adalah negara tempat berbisnis utama bagi pengoperasian pesawat, atau kalau tempat
seperti itu tidak jelas atau tidak ada maka ini adalah tempat dimana operator pesawat
bertempat tinggal secara permanen. Negara operator ini kadang2 cukup membingungkan.
page 12
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Sebagai contoh, pada bulan Januari 2003 terjadi kecelakaan pesawat IL75 di Timor Leste.
Laporan tentang kecelakaan ini bisa dibaca dialamat berikut
http://legacy.icao.int/fsix/sr/reports/03000200_final_report.pdf
Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa pemilik pesawat bertempat tinggal di UAE dan
pesawat tersebut disewakan (leased) ke sebuah perusahaan yang beroperasi di Laos,
dimana Department of Civil Aviation nya telah menerbitkan sebuah AOC (Air Operator
Certificate) atau Ijin Pengoperasian Pesawat kepada sebuah perusahaan Laos. Operator
Laos itu kemudian menyewakan ulang (subleased) ke sebuah perusahaan yang berbasis di
Kamboja. Tetapi pemilik pesawat kemudian mengatakan bahwa mereka belum
memberikan ijin untuk sewa ulang atau sublease itu, jadi secara resmi sublease itu belum
terjadi dan ini kemudian dkonfirmasikan oleh operator Laos dan Kamboja yang
bersangkutan. Jadi pertanyaannya adalah: siapa sebenarnya negara operator dalam kasus
ini? Walaupun pada akhirnya setelah ditelusuri secara cermat ditentukan bahwa negara
operator adalah Laos, tetapi jelas bahwa penentuan siapa negara operator itu kadang2
bisa cukup membingungkan.
State of Design atau negara perancang (negara desain)
Negara perancang adalah negara yang membawahi secara hukum organisasi yang
bertanggung jawab untuk “type design” pesawat. Misalnya saja Amerika Serikat adalah
negara perancang untuk pesawat Boeing B-737. Tetapi kadang2 bisa saja terjadi sedikit
kerancuan. Misalnya saja siapa negara perancang untuk pesawat CN-235? Secara resmi
mungkin negara perancang adalah Spanyol karena Spanyol lah yang mengantongi
sertifikat jenis pesawat (type certificate) dari FAA, tetapi dalam prakteknya penyidik akan
mengatakan bahwa negara perancang adalah Spanyol dan Indonesia karena pesawat CN235 memang dirancang bersama oleh Spanyol dan Indonesia. Contoh lain adalah Bell
Helicopter, yang telah memindahkan tanggung jawab perancangan dan sertifikasi
helikopter tua nya ke Kanada, walaupun sebagian besar perancangannya telah
diselesaikan di Amerika Serikat. Dalam kasus ini secara resmi Kanada adalah negara
perancang tetapi dalam prakteknya penyidik akan mengatakan bahwa negara perancang
adalah Amerika Serikat dan Kanada. Pesawat terbaru seperti Boeing B-787 dlsbnya itu
juga dirancang dibanyak negara. Walaupun B-787 secara menyeluruh dirancang oleh
Amerika Serikat, tetapi sayapnya dirancang oleh Jepang dan komponen trailing edge dari
sayapnya di rancang oleh Australia. Pesawat Airbus juga tidak jelas siapa perancangnya,
karena melibatkan Perancis, Inggris, Jerman dan Spayol dan mungkin negara lainnya lagi.
State of Manufacture atau negara manufaktur
Negara manufaktur adalah negara yang membawahi secara hukum organisasi yang
bertanggung jawab untuk “final assembly” atau perakitan akhir pesawat, dimana
komponen2 pesawat bisa saja didatangkan dari berbagai negara lain. Jadi yang perlu
dipertimbangkan adalah dimana perakitan akhir pesawat itu dilakukan, bukan dimana
komponen2nya dibuat. Walaupun kelihatannya ini cukup jelas, tetapi kadang2 bisa jadi
ada kerancuan juga. Misalnya saja komponen2 pesawat CN-235 itu dibuat di Indonesia
dan di Spanyol, dan ada pesawat CN-235 yang dirakit di Indonesia, tetapi ada juga yang
dirakit di Spanyol. Pesawat Boeing kebanyakan di rakit akhir di Amerika Serikat, tetapi
page 13
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
ada juga yang di rakit akhir di Cina. Contoh yang lain adalah helikopter EC120 produksi
Eurocopter, yang boleh jadi di rakit akhir di Perancis, tetapi bisa jadi juga di rakit akhir
di Australia atau di Cina.
Karena Annex 13, dan juga laporan hasil penyidikan kecelakaan pesawat internasional
oleh KNKT atau NTSB dlsbnya adalah dokumen resmi yang berkekuatan hukum, maka
setiap perkataan yang digunakan didalamnya harus dirumuskan dan memiliki arti yang
jelas dan tidak menimbulkan kerancuan tentang apa yang dimaksud. Itulah sebabnya
mengapa perkataan2 tersebut harus dirumuskan dengan jelas.
Ada 2 jenis kecelakaan pesawat terbang yaitu aksiden (accident) dan insiden (incident).
Aksiden adalah kejadian dimana:
Bila seseorang naik pesawat dengan maksud akan terbang, sampai semua orang
(penumpang) telah turun dari pesawat dan salah satu atau kombinasi dari kejadian
berikut terjadi, yaitu
-Seorang atau lebih meninggal dunia atau luka parah, kecuali karena hal yang sewajarnya
terjadi atau sengaja dilakukan pada dirinya sendiri atau oleh orang lain, atau terjadi pada
penumpang gelap
-Kerusakan berat yang terjadi pada pesawat telah berpengaruh pada keutuhan struktur
pesawat atau pada karakteristik terbangnya atau memerlukan perbaikan/ penggantian
komponen secara besar2an
-Pesawat itu hilang atau tidak bisa diakses (misalnya jatuh dipegunungan yang terjal atau
dilaut walaupun letaknya diketahui)
Insiden serius adalah kejadian dimana suatu aksiden nyaris atau hampir saja terjadi
Insiden adalah kejadian yang dapat berpengaruh pada keselamatan terbang selain dari
aksiden
Investigasi atau penyidikan adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya aksiden dengan cara mengumpulkan dan menganalisa informasi,
mengambil kesimpulan, menentukan penyebab kecelakaan dan memberikan rekomendasi
perbaikan keselamatan terbang.
Accredited Representative atau Wakil berakreditasi adalah orang yang ditunjuk oleh
negara yang berwewenang untuk ikut berperan serta dalam sebuah penyidikan yang
dilakukan oleh negara lain
Adviser atau Penasihat adalah orang yang ditunjuk oleh negara untuk membantu Wakil
berakreditasi (Wakil Resmi)
Penyebab kecelakaan adalah tindakan atau tak adanya tindakan, kejadian dan kondisi
yang pada akhirnya membuat kecelakaan (aksiden atau insiden) terjadi.
page 14
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Perlu dicatat bahwa ada negara seperti Australia yang tidak menganut pendapat atau
menggunakan istilah “penyebab”, tetapi menggunakan istilah “faktor2 yang
berkontribusi”. Alasan yang digunakan untuk menggunakan istilah faktor adalah karena
perkataan penyebab terlalu menjurus secara khusus sehingga mungkin mengalihkan
perhatian dari perlunya melakukan pemeriksaan pada “sistem” yang mungkin lebih
relevan. Perkataan penyebab bisa jadi juga punya implikasi legal yang kurang tepat dan
tidak diinginkan.
Flight recorder atau Perekam Data Penerbangan adalah semua jenis perekam yang
dipasang dipesawat untuk tujuan melengkapi penyidikan. Flight recorder ini lebih dikenal
oleh masyarakat umum sebagai “black box” atau kotak hitam, walaupun warna
sebenarnya adalah oranye menyala, supaya lebih mudah ditemukan seandainya pesawat
mengalami kecelakaan. Ada 2 jenis perekam data yaitu FDR (Flight Data Recorder) atau
Perekam Data Penerbangan dan CVR (Cockpit Voice Recorder) atau Perekam Suara di
Kokpit.
Dari segi konflik dengan pihak pengadilan negeri, rekaman data penerbangan bisa jadi
merupakan sumber masalah dalam situasi2 tertentu. Penyidik kecelakaan biasanya punya
hak akses terhadap semua bukti yang dapat membantu mengungkap mengapa kecelakaan
terjadi. Annex 13 menegaskan bahwa penyidik harus diberi akses untuk memeriksa dan
menganalisis dan mengumpulkan data yang terekam dalam CVR dan FDR. Undang2
negara terkontrak pada umumnya juga mengikuti Annex 13 dan memberikan garansi
bahwa penyidik punya hak akses pada data yang terekam dalam CVR dan FDR. Namun
demikian ada juga QAR (Quick Access Recorder) yang dipasang oleh airlines untuk
kepentingan mereka sendiri, termasuk untuk tujuan perawatan pesawat dlsbnya. Annex
13 tidak mengatakan apapun tentang QAR, jadi penyidik tidak punya hak legal yang
diberikan secara tertulis oleh Annex 13 untuk mendapatkan akses ke data yang terekam
dalam QAR. Namun demikian karena data dalam QAR adalah data yang dapat membantu
mengungkap mengapa kecelakaan terjadi, maka secara tidak langsung Annex 13 juga
memberi hak legal kepada penyidik untuk mendapat akses ke data dalam QAR. Data yang
terekam dalam QAR bersifat teknis yang sangat rinci dan lebih lengkap dari data yang
terekam dalam CVR dan FDR, walaupun tidak ada persyaratan legal yang mengharuskan
airlines untuk memasang QAR dipesawat. QAR dipasang dipesawat karena airlines
membutuhkan data tersebut. Disisi lain CVR dan FDR harus dipasang oleh airlines
sebagai persyaratan resmi dalam mengoperasikan pesawat. Kalau airlines merasa bahwa
data yang terekam dalam QAR merupakan data rahasia perusahaan yang tak boleh
diberikan pada pihak lain, termasuk para penyidik kecelakaan pesawat, boleh jadi mereka
akan melakukan perlawanan hukum untuk mencegah data QAR diakses oleh penyidik. Di
Australia hal ini dapat diatasi dengan menggunakan istilah OBR (Onboard Recording)
dalam undang2nya, dimana OBR mencakup semua alat perekam yang dipasang di
pesawat. Disisi lain undang2 keselamatan transportasi udara (TSI Act) Australia itu juga
mengatur secara ketat tentang bagaimana informasi yang terekam dalam OBR itu bisa
dan boleh dimanfaatkan, sedemikian rupa sehingga data OBR, termasuk data QAR, itu
tidak bisa disalah gunakan oleh pihak manapun. Dengan demikian hak rahasia
perusahaan juga dapat dijamin. Pemanfaatan data OBR yang tidak disahkan oleh TSI Act
dianggap sebagai pelanggaran hukum, dan penyebaran atau penyalinan data OBR seperti
page 15
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
itu dianggap sebagai tindakan pidana atau kriminil. TSI Act juga mencegah data OBR
digunakan sebagai bukti yang memberatkan melawan anggota kru terbang yang dituntut
dalam sebuah persidangan pidana, dan juga tidak bisa digunakan oleh maskapai
penerbangan sebagai dasar untuk menerapkan tindakan disipliner ke kru tersebut.
Pemanfaatan data OBR juga sangat dibatasi dalam persidsangan perdata. Sebelum data
OBR bisa digunakan dalam persidangan perdata, Direktur Eksekutif ATSB (KNKT nya
Australia) harus menerbitkan sebuah sertifikat yang menegaskan bahwa pemberitaan
umum isi data OBR itu sangat kecil kemungkinannya akan berpengaruh terhadap
penyidikan yang sedang berlangsung. Persyaratan yang ketat tadi berarti bahwa kecil
sekali kemungkinan bahwa data atau informasi yang terekam dalam OBR itu akan
digunakan dalam persidangan perdata.
IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Penanggung Jawab adalah penyidik yang
bertanggung jawab untuk mengorganisir, melaksanakan dan mengendalikan penyidikan.
IIC adalah seorang manager yang mengelola sejumlah lumayan besar aset dan pekerja,
dan juga harus cukup paham dengan politik setempat disamping politik dalam negeri di
negara kejadian kecelakaan. IIC memegang peran yang sangat penting dalam
menuntaskan penyidikan dengan hasil yang memuaskan.
Dalam Annex 13 ada hal2 yang disebut “standard” dan ada juga yang disebut
Recommended Practices. Ini akan dcijelaskan secara lebih rinci dibawah ini.
SARPs (Standards and Recommended Practices)
Standar (bahasa Indonesia dari standard) adalah semua hal yang harus dipenuhi oleh
setiap negara terkontrak (anggota ICAO), sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam
Konvensi Chicago. Kalau ada hal2 tertentu yang karena satu dan lain hal tidak mungkin
bisa dilakukan oleh negara terkontrak, maka negara tersebut harus memberitahu secara
resmi kepada ICAO apa yang didefinisikan sebagai “difference” atau “perbedaan”. Pada
dasarnya ICAO mengharapkan semua negara terkontrak untuk melaksanakan semua
standar yang telah disepakati dalam konvensi Chicago. Namun demikian dalam
kenyataannya bisa jadi bahwa ada standar2 tertentu yang tidak sepenuhnya bisa
diterapkan dinegara terkontrak, karena situasi politik dalam negeri ataupun kondisi
birokrasi dinegara tersebut tidak memungkinkan standar tersebut diterapkan. Sebagai
contoh Australia telah menyampaikan adanya beberapa “difference”. Ini akan dijelaskan
lebih lanjut dibawah ini.
Recommended Practices atau Praktek yang disarankan adalah praktek2 tertentu yang
ICAO mengharapkan setiap anggota (negara terkontrak) sebaiknya menerapkannya.
Tetapi bila situasi dan kondisi dalam negeri negara terkontrak tidak memungkinkan
dilaksanakannya praktek2 tersebut, maka negara terkontrak tidak perlu menyampaikan
secara resmi daftar dari “difference” antara praktek yang disarankan dan yang bisa
dilakukan dalam kenyataannya. Jadi boleh dikatakan bahwa “recommended practices”
adalah praktek2 terbaik yang disarankan tetapi negara terkontrak tidak akan dikenakan
sanksi (sanction) atau hukuman bila tidak melaksanakannya. Ini berbeda dari standar,
yang HARUS diterapkan dan kalau ada perbedaan dengan apa yang mampu dilakukan
page 16
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
oleh negara terkontrak maka perbedaan tersebut harus dilaporkan secara resmi ke ICAO.
Kalau ini dilanggar maka negara terkontrak akan dikenakan sanksi.
Setiap negara terkontrak jelas mengharapkan bahwa negara terkontrak lainnya akan
memenuhi semua standar dan recommended practices dan kalau ada perbedaan
diharapkan itu bisa ditekan sesedikit mungkin, sehingga penyidikan kecelakaan pesawat
dalam prakteknya bisa dilaksanakan secara mulus.
Annex 13 menegaskan bahwa kewajiban terbesar berada dipundak negara terkontrak
tempat kejadian kecelakaan (NTKK). Sesuai kesepakatan Konvensi Chicago NTKK
diwajibkan melakukan hal2 berikut:
1. Melindungi barang bukti, termasuk pesawat (atau sisa2 pesawat) lengkap dengan
seluruh isinya, dimana barang bukti tersebut diperlukan untuk melengkapi informasi
penyidikan, misalnya dokumentasi penerbangan, rekaman radar, rekaman data tentang
bahan bakar dalam tanki pesawat dlsbnya.
2. Mengirimkan laporan pemberitahuan resmi kepada negara registrasi, negara operator,
negara desain dan negara manufaktur, yaitu umumnya semua pihak yang terkait dan
berkepentingan dengan pesawat yang naas itu. Format dan informasi apa saja yang perlu
dicantumkan diberikan dalam Annex 13 butir 4.2
3. Melaksanakan tugas penyidikan, kecuali bila negara terkontrak tidak memiliki sarana
maupun kemampuan teknis untuk melakukannya. Sebagai contoh adalah kecelakaan yang
menimpa pesawat IL76 di Timor Leste. Annex 13 memperbolehkan NTKK untuk minta
bantuan kepada negara terkontrak lainnya untuk melakukan penyidikan dengan
mengatasnamakan NTKK. Dalam kasus kecelakaan pesawat IL76, Timor Leste minta
bantuan kepada Australia untuk melakukan penyidikan atas nama Timor Leste. Jadi
laporan yang disiapkan adalah laporan Otorita Keselamatan Terbang Timor Leste (KNKT
nya Timor Leste) walaupun yang melakukan penyidikan dan membuat laporan adalah
ATSB nya Australia. Tetapi perlu dicatat bahwa Timor Leste punya hak untuk
memberikan persetujuan final tentang isi dan format laporan, sesuai dengan undang2
Timor Leste, bukan sesuai dengan isi dan format laporan ATSB pada umumnya.
Bagaimanapun juga dengan berusaha mengikuti standar yang disepakati dalam Annex 13,
semua negara terkontrak diharapkan mampu melakukan penyidikan walaupun dengan
bantuan negara lain, dan penyidikan tersebut bisa berlangsung mulus dengan hasil yang
bermanfaat dalam usaha mencegah terjadinya kecelakaan yang mirip dikelak kemudian
hari.
Perbedaan dari standar memang boleh diajukan secara resmi ke ICAO, tetapi ini sebisa
mungkin harus dihindari. Sebagai contoh, Australia telah mengajukan perbedaan yang
disebabkan oleh keterbatasan dana yang dimiliki Australia untuk tujuan ini. Undang2 dan
peraturan yang dikenal sebagai “The Transport Safety Investigation Act 2003, Transport
Safety Investigation (Consequential Amendments) Act 2003” dan “The Transport Safety
Investigation Regulations” diundangkan dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2003. Menurut
ATSB, walaupun undang2 tersebut tidak sepenuhnya sama dengan yang disepakati di
page 17
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Konvensi Chicago, namun secara garis besar dan menyeluruh berusaha mengikuti apa
yang tercantum dalam Annex 13 dengan se-bisa2 nya.
Perbedaan yang dilaporkan adalah sebagai berikut:
5.1 State of Occurrence
“Australia may not institute an investigation into ‘domestic’ accidents where the aircraft
concerned is on the Australian Register. Decisions on whether a particular domestic
accident will be investigated will depend on resources and the likely benefit to future safety,
particularly in the general aviation sector. Serious incidents involving either foreign or
Australian-registered aircraft may also not be investigated depending on resources and the
likely benefit to future safety. “
Penjelasan yang diberikan mengenai mengapa Australia tidak bisa memenuhi kesepakatan
dalam kasus ini, adalah sebagai berikut:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety
studies (investigations involving occurrence databases). After meeting Article 26
obligations, Australia normally gives priority to investigations involving regular public
transport aircraft (especially with fare-paying passengers) and accidents involving fatalities
other than those involving ultralights and sport aviation. “
Perbedaan:
5.4 Responsibility of the State Conducting the Investigation
“With respect to 5.4(a) resources may constrain Australia from ‘gathering, recording and
analysing all available information on that accident or incident’. “
Penjelasan mengenai perbedaan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety
studies (investigations involving occurrence databases) and will prioritise evidence
gathering, recording and analysis depending on the likely safety value of the investigation
and hence its resourcing and scope. “
Perbedaan:
7.1 Accidents to aircraft over 2250 kg
“Australia will comply with the standard for the more complex accidents. However, for
some less complex investigations Australia does not prepare a Preliminary Report.”
Penjelasan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety
studies (investigations involving occurrence databases) and for less complex investigations
may release only a short final report. “
Perbedaan:
page 18
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
7.2 Accidents to aircraft of 2250 kg or less
“Australia will comply with the standard for the more complex accidents. However, for
some less complex investigations Australia does not prepare a Preliminary Report.”
Penjelasan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety
studies (investigations involving occurrence databases) and for less complex investigations
may release only a short final report. “
Perbedaan:
7.5 Accidents/Incident Data Report: Accidents to aircraft over 2250 kg
“If Australia does not investigate a ‘domestic’ accident it will send ICAO only the initial
notification details it has with regard to the accident. If an accident investigation is
undertaken, the final report will be sent to ICAO. “
Penjelasan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety
studies (investigations involving occurrence databases) and may not investigate accidents
not required by Article 26. If a ‘domestic’ accident is investigated, this may involve a less
comprehensive investigation (see difference re 5.4 above).”
Seperti dapat dilihat, Australia memang telah berusaha se-baik2nya untuk memenuhi
seluruh isi kesepakatan Konvensi Chicago, tetapi karena masalah keterbatasan dana,
maka tidak semua yang disepakati dalam Konvensi Chicago dapat dilakukan oleh
Australia.
Seandainya kecelakaan terjadi di negara yang bukan anggota ICAO, yang tidak
berkeinginan untuk melakukan penyidikan, maka praktek yang disarankan (rcommended
practice) adalah bagi Negara Registrasi untuk melakukan penyidikan. ICAO tidak
berwewenang untuk memaksa negara yang bukan anggota untuk melakukan SARPs yang
tercantum dalam Konvensi Chicago, jadi dalam contoh kasus ini Negara Registrasi (yang
anggota ICAO) disarankan untuk melakukan penyidikan. Tetapi dalam kenyataannya,
setiap negara yang memiliki airlines, tentu akan berperilaku sebagai NTKK dan akan
melakukan penyidikan. Misalnya saja ini selalu dilakukan oleh Taiwan termasuk
kecelakaan pesawat Singapore Airlines di Taiwan tahun 2000, walaupun Taiwan bukanlah
anggota ICAO. Mau tak mau Taiwan harus melakukan penyidikan, sebab kalau tidak
maka Taiwan akan dikenal dunia sebagai negara yang tak peduli dengan keselamatan
terbang dan tak akan ada penumpang yang bersedia naik pesawat milik airline Taiwan.
Annex 13 juga menyebutkan bahwa seandainya kecelakaan terjadi dinegara yang bukan
anggota ICAO dan tidak berniat melakukan penyidikan, maka disarankan bahwa salah
satu dari negara terkontrak yang dalam kasus ini menjadi Negara Operator, Negara
Desain atau Negara Manufaktur, bertindak melakukan penyidikan. Jadi pada dasarnya
ICAO menghendaki agar setiap kecelakaan terbang itu selalu diselidiki, supaya alasan2
page 19
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
yang menjadi penyebab atau berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan, itu diketahui dan
dimengerti supaya dapat diambil tindakan2 yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan
yang mirip dimasa depan.
Apabila kecelakaan terjadi dikawasan internasional, misalnya pesawat jatuh di laut diluar
wilayah atau teritori negara manapun, maka Negara Registrasi juga diberi kewajiban
untuk melakukan penyidikan, walaupun Negara Registrasi tersebut diperbolehkan minta
kepada negara terkontrak lainnya untuk mewakilinya dalam melakukan penyidikan.
Salah satu contoh dimana pesawat jatuh ke laut internasional adalah pesawat Airbus milik
Air France yang jatuh dilautan diantara Brasil dan Eropa, yang terjadi beberapa tahun
lalu. Dalam kasus tersebut, Perancis sebagai Negara Registrasi, bertanggung jawab
sebagai negara (diwakili oleh BEA) yang melakukan penyidikan.
Semua pihak menginginkan agar penerbangan sipil bisa menjadi modus (jenis)
transportasi yang sangat aman dengan tingkat keselamatan terbang yang sangat tinggi.
Untuk mencapai tujuan tersebut Annex 13 pada dasarnya menginginkan agar semua
kecelakaan pesawat, tanpa mempedulikan berat ataupun operasi pesawat, selalu diselidiki
sebab2 terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu semua negara yang berusaha memenuhi
semua kesepakatan Konvensi Chicago pasti berusaha sebisanya untuk menyelidiki semua
kecelakaan pesawat yang terjadi dinegara itu, baik untuk pesawat jenis General Aviation
(pesawat olah raga dan pribadi lainnya), ataupun agrikultur (misalnya penyemprot hama)
dan angkutan sipil.
Urutan prioritas negara yang diwajibkan melakukan penyidikan adalah NTKK, kemudian
Negara Registrasi, Negara Operator, Negara Desain dan akhirnya Negara Manufaktur.
Demi suksesnya upaya pencegahan terjadinya kecelakaan terbang semua negara
terkontrak dihimbau untuk melakukan kerjasama internasional dengan se-baik2 nya.
Annex 13 juga memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai beberapa hal sebagai
berikut:
IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Penanggung Jawab
Annex 13 menekankan bahwa IIC harus bersifat independen dan dalam melakukan
tugasnya diberi akses tanpa batasan untuk mengumpulkan barang bukti, menyampaikan
rekomendasi, menentukan penyebab kecelakaan dan menerbitkan laporan akhir (final
report). Tetapi dalam kenyataannya hal ini sangat sulit tercapai, khususnya dibeberapa
negara tertentu yang memiliki undang2 yang sudah berlaku jauh hari sebelum ada
pesawat terbang didunia. Sebagai contoh, para penyidik dari AAIB (Inggris) dan BEA
(Perancis) harus bernegosiasi dengan pengadilan negeri lokal, yang berdasarkan undang2
yang telah diundangkan sejak jaman Napoleon, diberi hak dan wewenang sepenuhnya
untuk melakukan penyidikan.
ICAO memang menganjurkan agar proses hukum dan administratif untuk menentukan
pihak2 yang bersalah dan bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan perlu dilakukan
terpisah dari penyidikan kecelakaan, namun dalam kenyataannya dibutuhkan seorang
pimpinan penyidik yang berwibawa dan pemerintah yang sungguh2 berkeinginan untuk
mematuhi Annex 13 supaya penyidikan kecelakaan pesawat bisa dilakukan tanpa terlalu
page 20
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
banyak masalah berbenturan dengan pengadilan negeri setempat. Walaupun Australia
berkeinginan untuk memisahkan penyidikan kecelakaan dari proses penyidikan siapa
yang terbukti bersalah dan harus bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan , tetapi
dalam kenyatannya masalah konflik dengan pihak pengadilan negeri setempat masih
sering terjadi. Hal yang sama juga terjadi dinegara2 terkontrak lainnya termasuk
Amerika Serikat, Eropa dan juga di Indonesia seperti sering kita baca masalahnya di
koran dan majalah yang membahas tentang kecelakaan pesawat terbang. Salah satu cara
yang biasanya ditempuh adalah dengan memisahkan otorita untuk melakukan penyidikan
dari otorita yang membuat dan harus menegakkan peraturan2 tentang penerbangan sipil.
Misalnya saja , walaupun FAA (Federal Aviation Administration) dan NTSB (National
Transportation Safety Board) ke-dua2nya berada dibawah Kementerian Transportasi
Amerika Serikat, tetapi mereka saling independen satu dari yang lain, dan masing2 punya
peran, fungsi dan tanggung jawab yang berbeda. FAA membuat peraturan dan
pengaturan dibidang penerbangan sipil, tetapi tidak punya hak untuk melakukan
penyidikan kecelakaan, sedangkan NTSB ditugaskan untuk melakukan penyidikan,
mengumpulkan, menganalisa dan mengolah data, menentukan faktor2 apa saja yang
terlibat sehingga kecelakaan terjadi, serta membuat laporan dan memberikan masukan
serta rekomendasi tentang apa saja yang perlu diperbaiki atau perlu dilakukan seandainya
belum pernah dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan dlsbnya. Namun demikian NTSB
tidak berhak membuat atau mengubah peraturan dan pengaturan, hanya boleh
merekomendasikan saja dan FAA tidak diharuskan melakukan semua rekomendasi yang
disampaikan oleh NTSB, walaupun tentu saja FAA harus melakukan introspeksi dan
mempelajari secara sungguh2 semua rekomendasi NTSB.
Pemisahan wewenang tersebut memang dianggap perlu dan penting untuk dilakukan,
tetapi ada kalanya bisa juga menimbulkan konflik. NTSB bisa jadi sangat menginginkan
peraturan dan pengaturan tertentu diubah/diperbaiki sesuai rekomendasinya yang
berdasarkan hasil kerja susah payah mereka dalam melakukan penyidikan, tetapi FAA
menolak melakukannya atau membuat perubahan/perbaikan dalam peraturan dan
pengaturan yang tidak tepat sama dengan yang direkomendasikan NTSB, dan membuat
NTSB frustrasi.
Pemisahan wewenang seperti itu juga dilakukan disetiap negara. Misalnya saja pembuat
aturan diAustralia adalah CASA (Civil Aviation Safety Authority) sedangkan penyidikan
kecelakaan dilakukan oleh ATSB (Australian Transport Safety Bureau). Padanan FAA di
Inggris adalah CAA (Civil Aviation Authority) sedangkan padanan NTSB adalah AAIB
(Air Accidents Investigation Branch). Di Indonesia padanan FAA adalah DGCA
(Directorate General of Civil Aviation) sedangkan NTSC (National Transportation Safety
Committee) atau KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) adalah padanan
dari NTSB.
Orang yang paling pusing dengan tanggung jawab yang begitu berat dan permasalahan
yang begitu rumit adalah IIC atau Penyidik Penanggung Jawab, yang harus berwibawa,
disegani, pintar bernegosiasi, seorang manager yang handal dan tidak bisa ditakut-takuti
oleh pihak yang berwajib seperti kepolisian ataupun kejaksaan, pak Menteri bahkan
Presiden sekalipun dlsbnya. IIC diangkat oleh negara dan bersifat ad hoc alias sementara
page 21
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
selama dibutuhkan untuk penyidikan kecelakaan tertentu dan bukan pangkat atau
jabatan tetap. IIC biasanya adalah seorang staf yang dianggap paling senior dan
berpengalaman diantara para staf di ATSB, atau NTSB atau NTSC dlsbnya. Cara kerja
dan susunan organisasi badan seperti NTSB, ATSB atau KNKT dlsbnya tentu saja
berbeda disetiap negara dan diatur oleh undang2 masing2 negara. Badan seperti itu tentu
saja diberi dana operasi untuk menggaji staf dan melakukan tugas2 penyidikan. IIC begitu
dilantik harus segera bertindak. Hal pertama yang harus dilakukan oleh IIC adalah segera
terbang ke tempat kejadian dan melakukan negosiasi dengan polisi setempat untuk
mengamankan barang bukti (bangkai pesawat misalnya) atau kalau pihak kepolisian tidak
punya staf dalam jumlah yang cukup maka IIC harus segera menyewa staf sekuriti pribadi,
misalnya dari perusahaan sekuriti lokal. Bersamaan dengan itu IIC harus menyiapkan
laporan pemberitahuan kepada negara2 terkontrak lain yang terlibat yaitu pihak2 yang
berwewenang dari negara2 registrasi, operator, desain dan manufaktur. Barang bukti,
apalagi yang “perishable” atau cepat hilang misalnya karena busuk ataupun dicuri orang,
harus segera diamankan atau disegel. Sebuah “garis polisi” harus segera dibentuk
disekeliling barang bukti dan staf sekuriti harus menjaganya 24 jam sehari, hanya orang2
yang diberi wewenang dan punya kartu ID yang jelas saja yang boleh melewati garis polisi.
Wartawan biasanya dilarang masuk ke kawasan barang bukti kecuali bila diberi ijin
khusus dan dikawal selama berada dikawasan barang bukti.
Negara terkontrak terkait dengan kecelakaan pesawat begitu mendapat berita (mungkin
awalnya lewat telepon yang disusul oleh surat resmi) dari IIC, segera mengangkat seorang
Accredited Representative (AR) atau seorang wakil resmi yang mewakili negara tersebut
dalam proses penyidikan kecelakaan pesawat, membantu IIC dalam sebuah tim. AR itu
memimpin dan dibantu oleh sejumlah penyidik dari negara yang bersangkutan, yang
diberi sebutan Adviser (Penasihat) yang bisa jadi adalah ahli metalurgi, ahli aerodinamika,
struktur, engine, avionik dlsbnya yang punya keahlian khusus tentang pesawat terbang
yang naas itu.
IIC juga harus membuat sebuah pengumuman resmi kepada pihak2 media (koran,
majalah, televisi etc) memberikan penjelasan singkat mengenai kecelakaan yang telah
terjadi dan menjanjikan akan memberikan laporan berkala bila ada hal2 yang perlu
disampaikan kepada pihak media. Kerjasama dan saling menghormati/ menghargai
dengan pihak media itu sangat penting, karena pihak medialah yang akan membuat berita
yang dibaca/didengar oleh khlayak ramai termasuk keluarga korban kecelakaan pesawat.
Kalau IIC tidak mau bekerjasama dengan pihak media, maka media akan memberitakan
bahwa pihak yang berwewenang (IIC) sengaja menutup-tutupi hal2 yang berkaitan
dengan kecelakaan dan dengan demikian IIC akan mendapat serangan dari semua pihak
khususnya keluarga para korban. Tentu saja ini sama sekali tidak diinginkan.
IIC kemudian bertanggung jawab untuk menyusun organisasi penyidikan dan
menentukan penyidik yang mana harus bertugas/ bertanggung jawab menyelidiki masalah
tertentu. Tim penyidik dibawah komando IIC terdiri dari para AR dan penasihat2 mereka
serta staf dari badan penyidik (seperti KNKT kalau NTKK nya adalah Indonesia misalnya)
ataupun ahli2 dari luar badan penyidik yang memiliki keahlian tertentu yang tak dimiliki
oleh staf badan penyidik dan diperlukan dalam penyidikan. Inilah sebabnya mengapa IIC
page 22
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
haruslah seorang yang senior baik dari segi usia, maupun, kepangkatan atau keahlian
dibidang penyidikan. Sebagai contoh, salah seorang IIC yang sering ditunjuk oleh KNKT
adalah Prof. Marjono Siswosuwarno, yang seorang ahli kelas wahid untuk Indonesia
dibidang metalurgi atau ilmu logam. Beliau adalah seorang ahli dibidangnya yang disegani
oleh para ahli lain dibidang nya dan adalah seorang anggota AIPI (Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia) yaitu kehormatan ilmiah paling puncak di Indonesia. Di negara2
lain, khususnya dinegara berkembang seperti di Asia dan Afrika, seringkali yang diangkat
menjadi IIC adalah seorang Jendral Angkatan Udara yang sudah kenyang makan garam,
menerbangkan berbagai jenis pesawat dan tentu saja disegani oleh pihak kejaksaan
ataupun kepolisian dlsbnya yang punya potensi akan berusaha memanipulasi IIC supaya
mengikuti aturan main mereka, bukannya mengikuti aturan main yang sudah ditetapkan
oleh Annex 13 Konvensi Chicago. IIC bertanggung jawab untuk menentukan para
penyidik siapa saja yang menjadi anggota tim penyidik yang membantu IIC dalam
menjalankan tugasnya. Ini adalah wewenang IIC dan IIC tidak boleh diinterferensi oleh
siapa saja termasuk pimpinan puncak badan penyidik (seperti Ketua KNKT) ataupun
Menteri Transportasi, bahkan juga oleh Presiden. Tim penyidik yang dipimpin IIC harus
bersifat independen dan dilihat masyarakat sebagai tim independen yang hanya punya
satu tujuan saja yaitu mengumpulkan data, menganalisis data dan menentukan secara
jujur dan adil apa yang sebenarnya terjadi yang bisa dikatakan menjadi faktor yang
berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan. Kalau masyarakat mendapat kesan bahwa tim
penyidik itu terlalu banyak diinterferensi oleh pihak2 luar, maka kesannya adalah adanya
hal2 yang ingin ditutup-tutupi dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan bahwa
pemerintah sebenarnya tidak peduli pada keselamatan terbang, jadi orang akan berpikir 2
kali sebelum memutuskan untuk bepergian naik pesawat. Jumlah penumpang airlines
akan menurun drastis dan airlines bisa jadi akan menjadi bangkrut. Di negara2 ketiga
atau yang belum begitu maju, dimana korupsi dan masalah sogok menyogok masih
merajalela, memang ada masalah persepsi bahwa pihak yang “bersalah” akan menyogok
penyidik sehingga kesalahan mereka akan disembunyikan. Inilah sebabnya mengapa
integritas seorang IIC benar2 sudah harus teruji dan sama sekali tak diragukan.
Hal yang sangat membantu dalam menuntaskan penyidikan kecelakaan pesawat adalah
rekaman data yang direkam oleh OBR atau Onboard Recorder (istilahAustralia) yang
mencakup blackbox yang diwajibkan oleh ICAO, yaitu CVR (Cockpit Voice Recorder)
dan FDR (Flight Data Recorder), dan juga QAR (Quick Access Recorder) yang dipasang
oleh airline untuk kepentingannya sendiri. Annex 13 butir 5.7 dan 5.8 menentukan bahwa
CVR dan FDR harus segera dibaca begitu ditemukan tanpa ditunda tunda lagi. Apabila
NTKK tidak memiliki fasilitas untuk membaca CVR dan/atau FDR maka mereka harus
segera minta bantuan kepada negara terkontrak lain yang memiliki fasilitas tersebut.
Sebagai contoh Indonesia dulunya selalu minta bantuan kepada Australia dan Amerika
Serikat untuk membaca CVR dan FDR yang terlibat dalam kecelakaan yang terjadi di
Indonesia, sampai akhirnya Indonesia memiliki fasilitas dan kemampuan teknis sendiri.
Seperti telah disinggung sebelumnya masalah penanganan atau akses ke rekaman CVR
dan FDR seringkali merupakan sumber sengketa antara Badan Penyidik (yang diwakili
oleh IIC dan tim nya) dan pihak kepolisian serta kejaksaan atau pengadilan negeri
setempat. Salah satu contoh yang terkenal adalah kecelakaan pada tahun 1995 di Selandia
page 23
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Baru dimana CVR dan FDR pesawat Dash 8 yang mengalami kecelakaan CFIT diambil
paksa oleh pihak pengadilan negeri dan digunakan sebagai barang bukti dalam
persidangan pidana menuntut para pilot yang terlibat. Dalam kasus ini jelas bahwa
pemerintah Selandia Baru tidak menghormati kesepakatan Konvensi Chicago yang telah
ditanda tanganinya, dan Selandia Baru pun menjadi negara yang dikenal sebagai negara
yang tak begitu peduli dengan keselamatan terbang. Tentu saja pemerintah Selandia Baru
yang sekarang ini sudah mengubah undang2 mereka sehingga hal yang sama tidak akan
terjadi lagi. Indonesia pun pernah menahan seorang pilot sebelum penyidikan KNKT
selesai tuntas. Mudah2an saja undang2 transportasi udara yang diundangkan di Indonesia
belum lama lalu sudah mampu mencegah kejadian yang sama terulang lagi.
CVR merekam semua suara termasuk percakapan para pilot didalam kokpit dan bunyi
kebisingan engine serta ledakan yang mungkin terdengar dalam kokpit, sedangkan FDR
merekam data2 teknis seperti parameter ketinggian terbang, kecepatan terbang, arah
terbang, jumlah bahan bakar yang tersisa dlsbnya. Pada awalnya mesin2 perekam bersifat
sebagai perekam rekaman analog dan jumlah parameter yang bisa direkam serta lama
rekamannya sangat terbatas. Tetapi belakangan ini sistem rekaman yang digunakan
adalah rekaman digital sehingga jumlah parameter yang bisa direkam menjadi jauh lebih
banyak sedangkan lama rekaman juga bisa ber-jam2 bukan hanya sekian menit saja.
Perekam data biasanya diletakkan ditempat yang paling aman dipesawat kalau terjadi
kecelakaan, yaitu dibagian ekor. Perekam data juga dirancang untuk tahan goncangan
akibat tabrakan saat pesawat mengalami kecelakaan dan jatuh menimpa bumi atau laut.
Perekam data dilengkapi dengan alat yang disebut ULB (Underwater Locator Beacon)
atau Pemancar Sinyal Penunjuk Lokasi dibawah laut supaya perekam data dapat
ditemukan walaupun pesawat jatuh tercebur kelaut. Alat tersebut dikenal sebagai “pinger”
karena memancarkan sinyal yang berbunyi ping ping ping……… yang ditransmisikan
lewat gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 37.5 KHz yang dapat dideteksi oleh
sebuah alat khusus tertentu penerima sinyal. Pinger akan secara otomatis mulai bekerja
begitu perekam data tercebur kedalam air. Pemancar sinyal atau pinger ini dapat
memancarkan sinyal dari kedalaman laut sampai sedalam 14 ribu kaki, dan bisa tetap
beroperasi sampai paling tidaknya 30 hari sampai akhirnya batere yang terpasang
kehabisan muatan listrik.
Memang Annex 13 tidak secara tegas melarang negara anggota menggunakan hasil
rekaman data yang ada diperekam data sebagai barang bukti dalam persidangan pidana,
tetapi kalau ini dilakukan maka penyidikan keselamatan terbang menjadi lebih sulit dan
rumit. Misalnya saja kalau para pilot merasa bahwa data yang terekam dalam alat
perekam dpat digunakan melawan mereka dalam persidangan pidana, maka sangat
mudah bagi pilot untuk tidak menyalakan alat perekam data yang terpasang. Tentu saja
ini sangat menyulitkan penyidikan seandainya terjadi kecelakaan karena sukses
penyidikan pada dasarnya memang sangat tergantung pada adanya rekaman data
penerbangan. NTSB Amerika Serikat mengatakan bahwa: “ Bila CVR atau transkripnya
digunakan tidak pada tempatnya, yaitu untuk tujuan selain penyidikan keselamatan
terbang, maka bisa jadi bahwa dimasa depan rekaman data seperti itu, yang sangat
dibutuhkan oleh para penyidik, mustahil akan bisa diperoleh (karena penggunaan nya
akan diboikot oleh para pilot). Tidak adanya akses bebas ke rekaman CVR dan FDR jelas
page 24
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
akan menghambat proses penyidikan kecelakaan pesawat terbang dan pada akhirnya
akan menghambat upaya untuk secara berkesinambungan, terus menerus memperbaiki
keselamatan terbang. Inilah sebabnya mengapa kebanyakan negara anggota ICAO
berusaha keras untuk memperbaiki / memperbarui undang2 transportasi udara mereka
sedemikian rupa sehingga isi kesepakatan Annex 13 dapat diselaraskan dengan undang2
negara. Sebagai contoh, Australia telah mengundangkan TSI Act 2003 dimana tercantum
aturan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang dalam hal pemanfaatan isi
rekaman OBR, namun demikian konflik juga masih saja terjadi
Bisa dimengerti bahwa sangat penting untuk mencapai kesepakatan tentang informasi apa
dan bagaimana prosedur yang harus diterapkan sebelum informasi yang berada dalam
rekaman “blackbox” boleh dijadikan bahan berita untuk konsumsi publik. Kalaupun ada
informasi rekaman “blackbox” yang boleh disampaikan kepada publik (masyarakat
umum), saat2 kapan informasi itu boleh diumumkan itu juga sangat penting untuk
dipertimbangkan. Tak bisa diragukan bahwa pihak media massa dan juga para politisi
yang ingin cari muka, pasti menginginkan bahkan menuntut supaya mereka diberi akses
ke informasi yang terekam dalam “blackbox”. Tetapi prinsip dasar yang dianut dan
disepakati dalam Konvensi Chicago adalah bahwa hanya informasi yang bersifat fakta
saja yang boleh disampaikan kepada masyarakat umum, sebelum proses penyidikan telah
selesai dilakukan secara tuntas dan sebuah laporan resmi dikeluarkan. Para penyidik
harus menahan diri, mencegah godaan untuk membuat pernyataan didepan publik yang
sifatnya adalah berspekulasi mengenai skenario2 apa saja yang mungkin terjadi dalam
kasus kecelakaan yang sedang diselidiki. Para wartawan pasti berusaha keras untuk
mendapatkan berita-berita hangat yang dapat menjual koran atau majalah dlsbnya
langsung dari mulut penyidik. Annex 13 juga memberikan rincian dari hal-hal yang tidak
boleh diberitakan kepada umum, termasuk pernyataan, komunikasi antara pihak2 yang
terlibat, informasi medis dan rekaman dalam kokpit serta pendapat yang diutarakan serta
analisis dari informasi yang telah dikumpulkan. Annex 13 juga memberikan panduan
mengenai bagaimana hal2 yang dibahas tadi sebaiknya ditangani didepan pengadilan
(lihat butir 5.12).
Memang konflik kepentingan antara penyidikan keselamatan terbang dan penyidikan
pengadilan negeri itu tidak dapat dielakkan, karena tujuan akhirnya yang berbeda. Tetapi
Konvensi Chicago menghimbau agar hubungan kerjasama yang baik antara kedua belah
pihak harus ditemukan dan diterapkan agar tujuan dari masing2 pihak tetap bisa dicapai.
Jadi masing2 tim penyidik bekerja sendiri2 walaupun menggunakan barang bukti yang
sama, atau tim penyidik keselamatan terbang harus melakukan tugasnya sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu barang bukti dan tim penyidik pengadilan negeri tetap bisa
melakukan penyidikannya dengan menggunakan barang bukti yang sama yang tetap
tersedia dalam kondisi tak terusik walaupun sudah diselidiki sebelumnya oleh penyidik
keselamatan terbang. Disisi lain hasil2 penyidikan tim penyidik keselamatan terbang tetap
terjaga kerahasiannya dan tidak boleh diambil paksa oleh pengadilan negeri. Ada kalanya
tim penyidik keselamatan terbang harus melakukan uji laboratorium yang bersifat
menghancurkan atau memusnahkan barang bukti (misalnya dalam uji kelelahan logam).
Untuk kasus seperti itu, tim penyidik keselamatan terbang harus berkoordinasi dengan
pihak penyidik pengadilan negeri, dan mencari jalan keluar dimana kepentingan kedua
page 25
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
belah pihak tetap bisa terpenuhi. Namun demikian pada akhirnya yang paling
menentukan adalah undang2 yang berlaku setempat. Perlu juga dimengerti bahwa
seandainya dari hasil penyidikan awal telah bisa disimpulkan bahwa kecelakaan pesawat
itu disebabkan oleh tindakan kriminal (misalnya teroris meledakkan bom didalam
pesawat), maka IIC harus segera menghentikan penyidikan dan menyerahkan penyidikan
kasus kecelakaan itu sepenuhnya kepada pihak kepolisian (FBI di Amerika Serikat atau
Polisi Federal Australia misalnya). IIC harus segera memberitahu Otorita Keselamatan
Terbang. Di Ausralia IIC harus segera menghentikan penyidikan, tetapi seandainya
diminta oleh pihak kepolisian maka para penyidik dibawah pimpinan IIC itu akan
bersedia membantu dengan memberikan saran2 teknis dan juga dengan memanfaatkan
keahlian mereka. Tetapi penyidikan yang dilakukan bukanlah penyidikan keselamatan
terbang dan merupakan penyidikan tindakan kriminalitas.
Hasil investigasi, yang diharapkan dapat membantu memperbaiki keselamatan terbang,
tentu saja harus dilaporkan secara tertulis dan selengkap mungkin. Laporan harus
disampaikan dalam bentuk formal tertentu sesuai dengan tujuan penyidikan kecelakaan
pesawat. Ini tidaklah semudah itu. Supaya bisa dipercaya atau punya kredibilitas, maka
semua pernyataan dari para saksi seharusnya dalam bentuk tertulis dan ditandatangani
oleh saksi. Tetapi penyataan saksi, yang bisa jadi adalah salah satu kru terbang, yang
resmi dan ditandatangani, itu berarti sebuah pernyataan resmi yang dapat digunakan
melawan saksi dalam persidangan pengadilan negeri ataupun dalam pemeriksaan
displiner oleh perusahaan. Ini berarti bahwa seorang saksi yang kesaksiannya dapat
mencelakakan dirinya atau rekan sekerjanya sendiri pasti akan ragu untuk memberikan
kesaksian, yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk menuntaskan analisis mengenai
mengapa kecelakaan pesawat itu terjadi. Kesaksian seorang saksi itu tidak bisa
dipaksakan, hanya dapat dihimbau dan himbauan itu pasti tak akan didengar kalau calon
saksi merasa bahwa kesaksiannya harus dalam bentuk tertulis dan harus
ditandatanganinya, padahal mungkin ada bagian2 tertentu dari cerita kesaksiannya yang
punya implikasi untuk menjeratnya dituntut dipengadilan. Disisi lain kalau kesaksian itu
hanya diberikan secara lisan, maka saksi bisa mangkir kalau nantinya misalnya saja dia
diperiksa ulang di pengadilan. Dengan demikian nilai sebuah kesaksian yang diberikan
hanya dalam bentuk lisan itu bisa dicurigai sebagai sebuah kesaksian yang tak dapat
dipercaya, dan akan memberikan kesimpulan yang salah dalam penyidikan kecelakaan
pesawat kalau dijadikan tumpuan dari kesimpulan akhir yang diambil dan dengan
demikian membuat nilai laporan penyidikan menjadi tidak begitu bermanfaat untuk
tujuan memperbaiki keselamatan terbang dimasa depan. Ini adalah dilema atau kesulitan
yang dihadapi oleh para pembuat undang2 dan aturan2 yang berkaitan dengan
keselamatan penerbangan sipil. Annex 13 memang sangat bermanfaat, tetapi tidak dapat
berbuat banyak mengenai hal ini. Para anggota DPR sebaiknya menyadari, memahami
dan memaklumi hal ini dan harus sangat bijaksana dalam merumuskan kalimat2 dalam
undang2 yang perlu diundangkan mengenai keselamatan terbang.
Ada satu hal yang Annex 13 dapat membantu mencegah terjadinya kejadian yang tak
diingini. Di negara2 maju, sebuah kasus yang telah dibawa ke pengadilan dan mendapat
keputusan pengadilan (apapun juga hasilnya) itu tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan
dengan tuntutan yang sama. Tetapi misalnya saja ada barang bukti baru yang ditemukan
page 26
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
setelah penyidikan dan sidang pengadilan selesai, maka bisa jadi akan ada tuntutan
pengadilan baru, berdasarkan bukti2 baru itu. Annex 13 menegaskan bahwa hal ini
diperbolehkan, tetapi hanya kalau disetujui secara resmi oleh negara yang bertanggung
jawab dan telah melakukan penyidikan, yaitu NTKK atau negara registrasi kalau
kecelakaan terjadi dikawasan internasional atau dinegara yang bukan negara terkontrak.
Partisipasi atau Keikutsertaan dalam penyidikan
Annex 13 menegaskan bahwa negara terkontrak yang melakukan penyidikan atau negara
penyidik (biasanya NTKK) itu diwajibkan untuk melibatkan personil dari negara2
terkontrak lainnya yang punya kepentingan berkaitan dengan kecelakaan yang terjadi.
Bisa jadi bahwa negara penyidik itu punya masalah dengan salah satu atau lebih negara
terkontrak terkait. Misalnya saja seandainya ada pesawat milik operator Israel yang jatuh
di Indonesia, maka KNKT harus memberitahu otorita Israel dan harus bersedia
mengikutsertakan Wakil resmi (Accredited Representative) dari Israel berikut para
penasihat dan para ahli pesawat yang jatuh itu. Hal ini bisa jadi bermasalah karena
Indonesia (paling tidaknya dijaman dulu) tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel
dan ada banyak rakyat Indonesia (biasanya dari pihak garis keras Islam) yang akan
berdemonstrasi menentang kehadiran perwakilan dari Israel itu di Indonesia. Dalam hal
ini kalau Indonesia sebagai penanda tangan Konvensi Chicago ingin mematuhi aturan
main yang telah disepakati dan perjanjian internasionalnya sudah ditandatangani, maka
mau tak mau KNKT harus melibatkan para personil dari Israel itu. Contoh lain adalah
seandainya ada pesawat Taiwan yang jatuh di Indonesia, maka KNKT harus melibatkan
para ahli pesawat dari Taiwan, walaupun ini menimbulkan masalah dengan RRC yang
akan memaksa Indonesia untuk tidak berhubungan resmi dengan Taiwan yang menurut
mereka adalah sebuah provinsi yang mbalelo.
Annex 13 memberikan rincian mengenai negara2 mana saja yang punya hak untuk ikut
serta atau berpartisipasi dalam penyidikan kecelakaan pesawat, yaitu negara2 Registrasi,
Operator, Desain dan Manufaktur. Masing2 negara tersebut berhak untuk mengangkat
seorang AR (Accredited Representative) atau Wakil Resmi, dibantu oleh beberapa
penasihat dan ahli2 pesawat bidang2 tertentu.
Negara2 pembuat komponen2 pesawat yang naas boleh juga mengajukan permohonan
untuk diperbolehkan berpartisipasi dalam penyidikan, tetapi mereka tidak punya hak
otomatis untuk diundang ikut berpartisipasi.
Negara2 Registrasi dan Operator boleh mengangkat satu atau lebih Penasihat untuk
membantu AR atau Wakil Resmi nya, yang diusulkan oleh negara operator. Negara2
Desain dan Manufaktur boleh mengangkat Wakil Resmi yang dibantu oleh satu atau lebih
Penasihat, yang diusulkan oleh organisasi2 yang bertanggung jawab melakukan “type
certificate” (perancangan jenis pesawat) dan Final Assembly (Perakitan Akhir).
Seandainya negara desain dan manufaktur, karena alasan apapun tidak mengangkat
Wakil Resmi, maka Annex 13 memberi hak kepada organisasi yang bertanggung jawab
untuk perancangan jenis dan perakitan akhir pesawat (yang naas itu) untuk mengangkat
AR atau Wakil Resmi beserta para penasihatnya.
page 27
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
AR punya hak untuk mengunjungi lokasi kejadian kecelakaan, memeriksa rongsokan
pesawat yang hancur dan mewawancarai para saksi kecelakaan, dan juga memberikan
saran tentang pertanyaan2 apa saja yang perlu ditanyakan, berhak punya akses
sepenuhnya pada semua barang bukti terkait selekas mungkin, menerima semua dokumen,
terlibat pada saat pembacaan data dalam “blackbox”, ikut serta dalam kegiatan2 diluar
tempat kejadian kecelakaan, berpartisipasi dalam rapat2 berkala termasuk melontarkan
saran2 dalam acara tukar pendapat, dan juga mengajukan usulan resmi. Hal2 tersebut
diatas bisa jadi menimbulkan perdebatan sengit, apalagi bila ada negara yang ingin
memastikan lebih dulu bahwa negara2 lain itu tidak punya daftar “differences” atau
perbedaan resmi yang diajukan ke ICAO, sebelum mereka boleh minta hak mereka seperti
yang tertera dalam Annex 13.
Disamping punya hak, para wakil resmi (AR) juga punya kewajiban yang harus mereka
patuhi, termasuk: memberikan informasi yang mereka miliki, yang terkait dengan
kecelakaan yang sedang diselidiki, dan tidak boleh menyampaikan informasi kepublik
mengenai jalannya penyidikan dan kesimpulan2 sementara apa saja yang sedang dibahas,
tanpa persetujuan resmi dari negara penyidik.
Sebagai penutup kata, perlu dijelaskan bahwa negara2 yang warganegaranya menderita
luka parah (serious injury), bahkan meninggal dunia, dalam kecelakaan terkait diberi hak
untuk mengangkat seorang ahli yang boleh mengunjungi lokasi kejadian kecelakaan,
punya akses pada informasi tentang kenyataan yang ada (factual information bukan hasil
analisis atau kesimpulan sementara), berpartisipasi dalam mengidentifikasi para korban
dan menerima sebuah salinan dari laporan akhir (final report).
Seperti dapat dilihat, Annex 13 itu sangat komprehensif dan mencakup semua hal yang
perlu dipikirkan yang terkait dengan penyidikan kecelakaan pesawat. Namun demikian
Annex 13 hanya dapat diterapkan kalau setiap negara terkontrak menghormati isi
perjanjian yang telah mereka tandatangani, yaitu Konvensi Chicago. Kerjasama semua
negara anggota sangat dibutuhkan supaya setiap kecelakaan pesawat yang terjadi dapat
diselidiki faktor2 yang berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya kecelakaan. Analisis
mendalam dari semua barang bukti, hasil pengujian laboratorium, data di “blackbox” dan
wawancara para saksi, diharapkan dapat mengidentifikasi penyebab kecelakaan sehingga
ada hal2 yang perlu dan bisa dilakukan akan dilakukan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan yang sama atau mirip dimasa depan.
page 28
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Bab 3. Prosedur Penyidikan Kecelakaan Pesawat Terbang
Ditulis oleh Hadi Winarto BE (USyd), M Eng Sc, Ph D (UNSW), SMAIAA
Awal Oktober 2012 di Beeliar, Western Australia 6164
Dalam tulisan sebelumnya, kita telah membahas topik tentang Annex 13 Konvensi Chicago, yang
merupakan hasil akhir dari perjalanan panjang sejarah masalah penerbangan sebagai alat transportasi
untuk umum. Supaya penerbangan dapat diterima sebagai alat transportasi oleh publik, pertama-tama
harus dibuktikan lebih dulu kepada masyarakat bahwa penerbangan adalah moda transportasi yang
aman selamat, disamping nyaman, cepat, dapat diandalkan jadwalnya dan dengan harga tiket yang
terjangkau oleh sebagian besar anggota masyarakat. Pada awalnya, keselamatan penerbangan tidak bisa
dijamin dan penerbangan hanya dilakukan oleh para pionir yang berjiwa petualang dan berani
mengambil risiko, walaupun nyawalah yang menjadi taruhannya.
Bagi kebanyakan orang, penerbangan hanya bermanfaat sebagai alat transportasi jarak jauh yang sangat
cepat apabila keselamatan terbang dapat dijamin. Itulah sebabnya mengapa para pionir penerbangan
dari sejak awalnya telah memikirkan bagaimana cara membuat penerbangan terjamin keselamatannya
sehingga bisa diterima oleh publik sebagai salah satu pilihan moda transportasi khususnya untuk jarak
menengah dan jarak jauh. Iptek penerbangan pada awalnya masih sangat terbatas dan kecelakaan
pesawat sering terjadi. Untuk mencegah terulangnya kejadian kecelakaan yang sama, para perancang
pesawat harus memahami faktor2 apa saja yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan.
Dengan pengertian yang dimiliki, para perancang kemudian bisa berusaha mencari solusi2 teknis yang
apabila diterapkan dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang sama.
Untuk mendapatkan pengertian mengenai faktor2 penyebab kecelakaan, para perancang dan insinyur
harus menerapkan iptek2 terbaru yang telah dikuasai, dalam proses perancangan dan produksi pesawat.
Pada awalnya iptek yang sudah dikuasai masih sangat terbatas dan kekurang pengertian mengenai hal2
teknis tertentu sangat berpengaruh terhadap faktor2 yang berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan.
Dengan mengumpulkan semua data yang diperkirakan berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan
pesawat terbang dan menganalisis data tersebut, pengetahuan manusia tentang iptek penerbangan
sedikit demi sedikit mulai meningkat dan keselamatan penerbangan sedikit demi sedikit dapat
diperbaiki sehingga akhirnya penerbangan telah menjadi moda transportasi yang paling aman selamat
bila dibandingkan dengan moda2 transportasi darat dan laut. Itulah sebabnya mengapa sebuah sistem
atau prosedur penyidikan kecelakaan pesawat merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
membuat penerbangan menjadi alat transportasi yang aman selamat dan diterima oleh publik.
Karena pesawat terbang dapat bergerak dengan sangat cepat dan dengan mudah dapat melintasi batas2
negara, maka kebanyakan penerbangan sipil melibatkan beberapa negara dan mau tidak mau
penyidikan keselamatan terbang harus didukung oleh sebuah kesepakatan bersama oleh negara2
didunia. Konvensi Chicago adalah kesepakatan bersama dari negara2 didunia yang mengatur tentang
penerbangan internasional. Annex 13 adalah bagian dari Konvensi Chicago yang mengatur tentang
bagaimana penyidikan kecelakaan pesawat terbang harus dilakukan supaya mendapat hasil yang
maksimal dan paling bermanfaat dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan yang sama dimasa yang
akan datang.
Dalam tulisan ini kita akan mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian dari prosedur dan
teknik penyidikan kecelakaan pesawat terbang, yang secara garis besarnya telah dibahas dalam 2 tulisan
sebelumnya.
page 29
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Proses Penyidikan
Tujuan penyidikan hanya dapat diperoleh secara optimal apabila penyidikan dilakukan secara teratur
dan terorganisir dengan baik. Penyidikan dilakukan dibawah pimpinan seorang IIC (Investigator In
Charge) atau Penyidik Utama. Dialah yang bertanggung jawab untuk mengorganisir dan merencanakan
penyidikan, yang dari sejak awalnya harus sudah ditentukan luas dan besaran ruang lingkupnya, dan
secara berkesinambungan harus dikaji ulang untuk menentukan sumberdaya manusia (personil) dan
sumberdaya lainnya, termasuk dana, yang dibutuhkan dan paling tepat untuk mencapai tujuan
penyidikan.
Penyidikan kecelakaan pesawat terbang pada dasarnya sama saja dengan penyidikan dalam cerita
detektif, yaitu pada awalnya penyidik perlu membuat sebuah daftar dari semua hal yang mungkin
berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan, kemudian mengumpulkan bukti2 dan mengkaji semua fakta
baik yang mendukung maupun yang bertentangan dengan anggapan yang dibuat waktu membuat daftar.
Faktor2 yang tercantum dalam daftar kemudian dikaji dan yang tidak didukung oleh fakta kemudian
dicoret. Faktor2 yang masih tersisa kemudian diuji lagi dengan mengumpulkan data2 tambahan. Para
penyidik harus mengkaji semua informasi yang sedang dikumpulkan secara berurutan dan hasilnya
digunakan untuk menentukan arah dan kedalaman ruang lingkup penyidikan. Kalau pesawat yang naas
adalah sebuah pesawat besar pengangkut penumpang sipil, kemungkinannya adalah bahwa penyidikan
harus dilakukan secara besar2an, membutuhkan sumberdaya yang besar dan melibatkan sekelompok
penyidik. Kecelakaan yang melibatkan sebuah pesawat kecil boleh jadi hanya perlu dilakukan oleh
seorang penyidik saja, yang memanfaatkan fasilitas2 yang dimiliki badan penyidikan ataupun
organisasi luar, untuk tujuan2 khusus tertentu sesuai kebutuhan.
Penyidik Utama (IIC) dilantik untuk bertanggung jawab secara menyeluruh untuk mengorganisir,
melaksanakan dan mengendalikan jalannya penyidikan. IIC yang diberi beban seberat itu harus
didukung sepenuhnya oleh badan penyidikan (seperti KNKT atau ATSB etc) yang melantiknya untuk
kurun waktu terbatas yaitu sampai penyidikan telah dituntaskan. Untuk penyidikan berskala besar, IIC
sesungguhnya lebih berperan sebagai seorang manager upaya penyidikan, bukannya se-mata2
melakukan tugas penyidikan secara teknis saja. Itulah sebabnya mengapa IIC harus segera bertemu
dengan para AR (Accredited Representative) atau Wakil Resmi dari negara2 terkontrak yang terlibat.
Selanjutnya IIC harus memastikan bahwa semua kebutuhan sumberdaya terpenuhi dan berada ditempat
yang seharusnya, bahwa semua personil (AR dan para penasehat mereka) telah diberitahu semua hak
dan kewajiban mereka, semua dokumentasi yang relevan telah disediakan khususnya bagi para wakil
dari luar negeri tersebut, dan secara mendasar IIC harus secara tegas langsung mengambil kendali
untuk pelaksanaan penyidikan dengan mengorganisir semua personil yang terlibat. Untuk penyidikan
berskala besar, IIC harus diberi dukungan administratif untuk memulai pelaksanaan penyidikan. Pada
umumnya penyidikan berskala besar selalu mendapat perhatian dari media masa dunia dan sebaiknya
IIC mengeluarkan pernyataan resmi mengenai fakta2 yang telah dikumpulkan secara berkala, tetapi ini
sebaiknya hanya dilakukan setelah IIC berkonsultasi dengan para wakil resmi (AR) dan sesuai dengan
kebijakan dan prosedur resmi yang berlaku setempat.
Di Australia undang2 dan prosedur mengenai masalah penyidikan tercakup dalam Transport
Investigation Act (TSI) Act 2003, the Transport Investigation Regulations dan the ATSB Procedures
Manual. Hal2 yang dibahas lebih lanjut dibawah ini berlaku khususnya di Australia, tetapi secara umum
juga berlaku di negara2 terkontrak (anggota ICAO ) lainnya.
page 30
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Kalau sebuah kecelakaan pesawat terbang terjadi, tanggapan oleh pihak yang berwajib tentu saja
tergantung pada skala besar kecelakaan dan penyidikan yang diperlukan. Penyidikan bisa berskala kecil,
yang melibatkan hanya seorang penyidik saja, yang tidak mengunjungi lokasi kecelakaan, tetapi hanya
melakukan penyidikan lewat telpon. Tentu saja cakupan penyidikan seperti itu jelas sangat terbatas,
walaupun birokrasi pemerintahan cenderung menyukai pendekatan ini, karena membutuhkan biaya
yang tidak besar. Masalahnya adalah tidak adanya kesempatan untuk verifikasi kebenaran informasi
yang diperoleh ataupun untuk memeriksa hal2 yang tak terduga. Untuk penyidikan berskala besar,
prosedur yang diterapkan biasanya melibatkan “Group System” yang melibatkan banyak orang ataupun
kelompok2 penyidik dari seluruh dunia disamping para penyidik lokal.
Saat seorang penyidik diberi tugas untuk melakukan penyidikan yang pertama kali baginya, itu adalah
sebuah pengalaman yang cukup menegangkan karena memang mustahil untuk sepenuhnya
mempersiapkan diri untuk mengantisipasi apa saja yang akan dihadapi, seperti harus berkoordinasi
dengan badan2 pengendali keadaan gawat darurat (emergency services), berhadapan dengan para
anggota keluarga para korban yang sedang berduka ataupun yang sedang ber-harap2 cemas ingin tahu
apakah keluarga mereka selamat atau tidak, dengan penduduk setempat, dan dengan para reporter.
Satu2nya cara untuk mengurangi ketegangan bagi penyidik pemula adalah dengan “bersiap diri”,
“terorganisir”, “berpengetahuan” dan “ber-hati2”. Dibawah ini kita akan membahas apa yang dimaksud
dengan kata2 tersebut.
“Bersiap Diri”
Seorang penyidik harus siap dipanggil untuk melaksanakan tugas kapan saja. Untuk tujuan tersebut
seorang penyidik harus mempunyai “perlengkapan siap pakai” atau dalam bahasa Inggrisnya “go kit”.
Ini terdiri dari sebuah tas punggung (back pack) berkualitas yang dilengkapi dengan sebuah tas kecil
yang sebaiknya dapat dicopot. Dalam tas tersebut penyidik harus punya pakaian, kaos kaki, dan sepatu
bot. Barang2 tersebut harus cocok untuk cuaca dilokasi dimana penyidik akan bekerja. Di Australia ini
berarti segala macam cuaca, mulai dari kelembaban tropis dan panas gurun, sampai kedinginan daerah
pegunungan yang mungkin bersalju. Disamping keperluan pribadi, tas harus berisi peralatan dasar
untuk penyidikan seperti alat tulis, telpon genggam, alat perekam, alat pengukur kemiringan
(inclinometer), timbangan, kamera, kompas, penyimpan sampel, pengukur panjang, peralatan
keselamatan (topeng gas, sarung tangan, baju luar sekali pakai, baju luar terbuat dari katun), air minum,
dan formulir2 resmi (salinan undang2, salinan Annex 13, manual, kwitansi, formulir pemesanan barang
dlsbnya). Sebuah laptop, walau agak berat, sebaiknya juga dibawa, disamping kamera digital.
Sambungan ke internet lewat satelit harus disiapkan. Foto2 digital yang diambil sebaiknya bisa dikirim
langsung ke kantor pusat lewat internet kalau memungkinkan. Kalau foto2 yang diambil membutuhkan
memori yang terlalu besar untuk bisa dikirim lewat internet, maka foto2 tersebut harus dibakar dalam
CD (Compact Disc) atau DVD (Digital Video Disc) dan dikirim lewat pos kilat khusus, supaya kantor
pusat dapat mengikuti perkembangan mutakhir dari penyidikan. Jadi beberapa cakram CD atau DVD
harus disimpan dalam tas, dan laptop yang dibawa harus dilengkapi dengan pembakar CD atau DVD
atau Blue Ray. Dengan adanya “cloud computing” belakangan ini, data sampai puluhan Gigabytes bisa
disimpan dalam sistem penyimpan yang bisa diakses dari mana saja, oleh semua orang yang diberi
akses, jadi dimasa depan mungkin CD atau DVD penyimpan data tidak diperlukan lagi. Semua
peralatan yang disimpan dalam tas harus secara rutin diperiksa untuk memastikan bahwa semuanya
dalam kondisi bekerja dengan baik, batere2 yang disimpan semuanya berisi muatan penuh, dan tidak
ada komponen sekecil apapun yang hilang atau tidak berfungsi.
page 31
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Untuk penyidikan skala kecil, sebuah “go kit” yang lengkap akan memungkinkan penyidik mulai
bekerja dengan segera. Untuk penyidikan skala besar atau kasus kecelakaan yang rumit tentu saja
dibutuhkan sumberdaya peralatan dan manusia yang jauh lebih banyak, dan disesuaikan dengan
kebutuhan yang muncul.
“Terorganisir”
Seorang penyidik harus senantiasa berada dalam kondisi “terorganisir”, karena biasanya seorang
penyidik hanya punya waktu beberapa jam setelah panggilan untuk memulai tugas sampai dia siap naik
pesawat untuk terbang kemana saja dinegara tempat kejadian kecelakaan, yang jauh dari tempat dia
tinggal. Penyidik harus punya paspor yang masih berlaku dan siap dibawa lengkap dengan visa dan
semua persyaratan kesehatan (kalau ditugaskan ke negara yang sedang punya wabah penyakit), dan
tentu saja penyidik harus mampu secepatnya membukukan tiket untuk terbang. Penyidik harus tahu
pasti tentang “apa”, “dimana” dan “bagaimana” dari setiap hal yang harus dilakukan, seperti siapa yang
sudah berada di lokasi kejadian kecelakaan, dimana letak lokasi dan bagaimana cara mencapai lokasi
tersebut (yang mungkin berada ditempat terpencil dipegunungan dlsbnya).
Sebaiknya penyidik juga punya langganan tempat membeli barang2 seperti pita pengukur panjang, alat
pembatas pencegah orang2 tak berkepentingan memasuki kawasan kecelakaan dan bahkan kalau
diperlukan juga “portable toilets” atau WC sementara siap pakai. Dalam hal ini kalau otorita penyidikan
punya kantor cabang pembantu didekat lokasi kecelakaan, itu tentu sangat membantu karena mereka
bisa diandalkan untuk punya hubungan dengan toko atau supplier lokal. Kalau tidak ada kantor cabang
pembantu, maka penyidik harus minta pertolongan kepada polisi dan badan2 pengelola kondisi gawat
darurat setempat.
“Berpengetahuan”
Yang dimaksud dengan pengetahuan disini adalah pengetahuan umum mengenai kondisi setempat,
yang dapat membantu penyidik untuk tidak melakukan tindakan2 ceroboh yang boleh jadi akan
membuat banyak orang setempat menjadi gusar dan tersinggung. Dalam peristiwa kecelakaan, apalagi
bila ada korban yang meninggal dunia, orang akan merasa tegang, sedih dan mudah marah, reporter
akan berkeliaran mencari berita2 menarik yang dapat menjual medianya seperti koran, radio dan TV
dlsbnya, termasuk reporter amatir yang menulis dalam blognya di internet. Politik lokal juga akan
menjadi sorotan perhatian dan akan ada banyak politisi yang mencari muka dengan bersikap memusuhi
penyidik yang dianggap mewakili mereka yang bertanggung jawab mengapa kecelakaan terjadi. Inilah
sebabnya mengapa pengetahuan tentang sikon setempat akan sangat membantu penyidik dalam
bersikap hati2 dan tidak berlaku ceroboh dan membuat musuh dari orang2 setempat yang seharusnya
justru dibutuhkan untuk membantu menuntaskan penyidikan kecelakaan. Dalam hal ini, penyidik bisa
mendapat bantuan dari pihak kepolisian dan juga dari badan pengelola kondisi gawat darurat setempat,
yang dapat memberi informasi mengenai sikon setempat.
“Ber-hati2”
Penyidik harus selalu ber-hati2 karena kecelakaan pesawat terbang selalu menarik perhatian banyak
orang. Penyidik harus selalu ber-hati2 kepada siapa mereka bicara dan yang lebih penting lagi adalah
apa yang mereka bicarakan. Penyidik harus selalu tahu dengan siapa mereka berbicara, misalnya
penyidik harus selalu menelpon kembali sesorang penelpon untuk meyakinkan identitas penelpon, yang
mungkin saja ingin mengecoh penyidik dengan memberikan informasi palsu dlsbnya. Polisi dan pihak
page 32
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
pengadilan negeri setempat bisa jadi juga merasa tersaingi, bahkan terancam dengan keberadaan
penyidik, jadi sebaiknya penyidik telah mempelajari dengan se-baik2nya batasan2 dari hak2 mereka
sebelum berangkat ke lokasi kecelakaan, supaya tidak menjadi bermusuhan dengan otorita setempat.
Awal Penyidikan dan Laporan
Penyidikan kecelakaan pesawat berawal dengan adanya laporan tentang terjadinya kecelakaan, yang
dilaporkan ke Badan Penyidikan Keselamatan Transportasi (BPKT) seperti ATSB atau KNKT di
Indonesia. Bagian 3 dari undang2 Australia TSI Act 2003 dan bagian 2 dari Transport Safety
Investigation Regulations menyatakan bahwa seorang penduduk yang merasa punya tanggung jawab
sosial dan mengetahui terjadinya suatu kecelakaan yang patut dilaporkan, diharuskan melaporkan hal
tersebut ke ATSB. Artikel 2.4 sampai 2.7 dari peraturan dan Section 3 dari undang2 tadi memberikan
petunjuk tentang persyaratan bagaimana cara memberikan laporan kepada ATSB. Setiap negara
anggota ICAO atau negara terkontrak diwajibkan memberikan laporan tentang terjadinya kecelakaan
pesawat kepada ICAO sesuai dengan yang tercantum dalam Annex 13 Chapter 4 mengenai kecelakaan
yang bersifat aksiden ataupun insiden yang serius. Chapter 7 dari Annex 13 menyatakan bahwa negara
anggota ICAO diwajibkan untuk menyampaikan ADREPs (Accident/Incident Data Report) atau
Laporan Data Aksiden/Insiden, tergantung pada sifat kecelakaan, yang perinciannya diberikan lebih
lanjut di Attachment B dari Annex 13. Sesuai dengan isi Attachment tersebut, Kejadian Internasional
(International Occurences) adalah Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi diwilayah negara terkontrak
dan dialami oleh sebuah pesawat terbang yang diregistrasikan dinegara terkontrak lainnya, sedangkan
Kejadian Domestik adalah Aksiden atau Insiden Serius yang terjadi diwilayah negara terkontrak
dimana pesawat diregistrasikan. Kejadian2 lainnya yang mungkin terjadi adalah Aksiden dan Insiden
Serius yang terjadi diwilayah negara tak terkontrak (negara yang bukan anggota ICAO) atau diluar
wilayah negara manapun juga (misalnya di laut internasional).
ATSB mempunyai sebuah prosedur pelaporan resmi yang memberitahukan kepada ICAO tentang
aksiden dan insiden yang terjadi di Australia, sebagai wujud kewajibannya dalam memenuhi
kesepakatan Konvensi Chicago, kecuali untuk kasus2 dimana Australia telah menyampaikan nota resmi
menjelaskan “differences” atau perbedaan2 antara apa yang diminta ICAO dan apa yang bisa dilakukan
oleh Australia karena keterbatasan yang ada di Australia.
Jenis2 laporan yang mungkin diminta oleh ICAO diantaranya adalah:
Laporan Awal (Preliminary Report)
Laporan Data Aksiden/Insiden atau ADREP (Accident/Incident Data Report)
Laporan Akhir (Final Report) dan
Ringkasan Laporan Akhir (Summary of the Final Report).
Notifikasi (Notification) wajib dilaporkan oleh negara terkontrak dimana kecelakaan terjadi atau
Negara Tempat Kejadian Kecelakaan (NTKK) untuk semua Kejadian Internasional yang melibatkan
pesawat apapun, dan disampaikan kepada Negara2 Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur, dan
juga ke ICAO (kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg). Negara Registrasi diwajibkan menyampaikan
Notifikasi kepada Negara2 Operator, Desain dan Manufaktur, dan juga ICAO (kalau berat pesawat
lebih dari 2250 kg) untuk kecelakaan2 yang termasuk dalam Kejadian Domestik atau Kejadian lainnya
(kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg).
Disamping notifikasi, negara yang melakukan penyidikan juga diharuskan untuk menyampaikan
Laporan Awal (Preliminary Report) untuk semua Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi dinegara
page 33
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
tersebut. Laporan awal mencakup informasi awal berdasarkan fakta dan hal2 yang terkait tentang
kecelakaan yang terjadi, dan harus disampaikan se-lambat2nya 30 hari setelah terjadinya kecelakaan.
Aksiden yang terjadi pada pesawat dengan berat lebih dari 2250 kg harus dilaporkan kepada ICAO
dalam bentuk Laporan Awal, dan juga kepada Negara2 Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur
dan Negara2 lain yang memberikan informasi, dan fasilitas yang signifikan atau tenaga ahli. Untuk
kasus aksiden yang melibatkan pesawat dengan berat kurang dari 2250 kg, atau apabila melibatkan
masalah kelaikan terbang dan hal2 lain yang dipandang penting, Laporan Awal juga harus disampaikan
kepada semua pihak seperti disebutkan sebelumnya, dengan perkecualian bahwa ICAO tidak perlu
diberi laporan tersebut. Format laporan dapat dibaca rinciannya dibuku petunjuk ICAO yaitu ICAO
Accident/Incident Reporting Manual. Laporan awal berbentuk laporan data yang dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam database komputer. Informasi yang tersimpan kemudian dijadikan database
tentang kecelakaan pesawat terbang diseluruh dunia dan dapat dimanfaatkan oleh setiap negara yang
menginginkan data statistik bulanan atau tahunan.
Laporan Data Aksiden/Insiden atau ADREP harus diserahkan setelah Laporan Akhir disetujui oleh
otorita yang berwewenang, yang untuk Australia adalah Direktur Pelaksana (Executive Director) ATSB,
sedangkan di Inggris Raya oleh Kepala Penyidik (Chief Investigator) AAIB. Manfaat ADREP adalah
sebagai sebuah standar metoda pelaporan yang memberikan informasi yang akurat dan lengkap tentang
kecelakaan yang terjadi.
Baik Laporan Akhir maupun Ringkasan dari Laporan Akhir adalah Laporan Kisah yang bercerita
tentang apa yang dilaporkan, bukan sekedar sejumlah data teknis saja. Ringkasan dari Laporan Akhir
diserahkan oleh Negara Penyidik apabila negara tersebut berpendapat bahwa informasi yang tercantum
dalam laporan dinilai sangat penting dalam mempromosikan keselamatan penerbangan, mungkin
karena melibatkan sebuah teknik penyidikan baru ataupun menyampaikan saran tentang beberapa
tindakan pencegahan yang diperkirakan akan dapat mencegah terulangnya kembali kecelakaan yang
sama atau mirip.
Hubungan kerja (Liaison)
Mengingat bahwa aviasi itu bersifat antar bangsa, jadi walaupun melakukan penyidikan untuk kasus
Kecelakaan Domestik, seorang penyidik harus selalu mengingat persyaratan Annex 13 dalam
melakukan penyidikannya. Sebagai contoh, penyidik yang ingin menghubungi perusahaan yang
memproduksi pesawat, tidak boleh begitu saja langsung menghubungi perusahaan tersebut, tetapi harus
menghubungi dulu BPKT (Badan Penyidik Kecelakaan Transportasi) negara dimana perusahaan
tersebut berada (misalnya NTSB di Amerika Serikat atau AAIB di Inggris Raya). Seorang penyidik
yang bijaksana kemudian menyitir perwakilan BPKT dalam laporannya, dan dengan cara tersebut dia
akan mendapatkan perlindungan untuk informasi yang disampaikan yang diberikan oleh Annex 13
Konvensi Chicago. Disamping itu, BPKT biasanya juga dapat memperlancar terjadinya kerjasama
antara penyidik dengan misalnya perusahaan produsen pesawat, ataupun dengan perusahaan2 lainnya.
Misalnya saja Boeing akan lebih cepat menanggapi sebuah permintaan untuk data2 teknis tertentu, bila
yang memintanya adalah NTSB dibandingkan dengan kalau yang minta adalah penyidik KNKT yang
secara langsung menghubungi Boeing untuk minta data.
Setelah menyampaikan notifikasi, BPKT negara tempat kejadian kecelakaan (NTKK) harus membuat
keputusan untuk melakukan penyidikan atau tidak. ICAO memang mengharuskan semua NTKK agar
menyidik semua kecelakaan yang terjadi dinegara tersebut. Tetapi, dalam prakteknya ini tidak
dilakukan. Sebagai contoh, seperti telah disebut sebelumnya Australia telah menyampaikan keberatan
page 34
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
atau “difference” formalnya, yaitu bahwa Australia hanya akan melakukan penyidikan untuk
kecelakaan yang terjadi pada pesawat angkutan sipil, sedangkan untuk pesawat lainnya seperti pesawat
agrikultur, pesawat kecil pribadi atau pesawat olah raga, penyidikan hanya akan dilakukan apabila
Australia memandang bahwa hasil penyidikan pada kecelakaan yang terjadi akan sangat bermanfaat
didunia internasional dan Australia memiliki dana untuk melakukan penyidikan. Kalau diputuskan
untuk melakukan penyidikan, Penyidik Utama (IIC) harus segera menghubungi otorita lokal ditempat
terjadinya kecelakaan, dan berusaha menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis dengan otorita2
setempat tersebut kedepannya. IIC harus segera mengorganisir sekuriti untuk mengamankan barang2
bukti ditempat terjadinya kecelakaan.
Sekuriti Situs Kecelakaan
Petugas2 sekuriti jelas dibutuhkan untuk mengamankan barang2 bukti ditempat terjadinya kecelakaan,
yang mungkin saja akan dicuri atau diambil secara tidak sengaja oleh penduduk setempat disekitar
lokasi kecelakaan. Disamping itu, reruntuhan pesawat bisa berbahaya bagi penduduk setempat yang
kurang ber-hati2 dan berjalan disekeliling reruntuhan pesawat yang tidak dijaga, dan dapat dengan
mudah menjadi terluka ataupun terkena radiasi, atau menghirup gas beracun dlsbnya. Perimeter atau
garis batas lokasi kecelakaan (“police line”) harus segera ditentukan dan dipatok serta dijaga oleh
petugas2 sekuriti. Semua personil, yaitu penyidik dan petugas2 lain yang bekerja dilokasi kecelakaan
harus mengenakan tanda pengenal yang sah, dan harus memakai seragam yang memadai supaya tidak
cedera selama bertugas disitu. Orang2 lain yang tak berwewenang, termasuk para reporter, harus
dicegah memasuki lokasi tersebut.
Barang Bukti
Barang bukti seringkali bersifat sangat mudah untuk menjadi musnah, baik karena cuaca (hujan, angin
dlsbnya), dan juga karena manusia ataupun binatang yang berlalu lalang secara bebas dilokasi
kecelakaan. Hal2 tersebut juga bisa saja menyebarkan bahan2 berbahaya dari lokasi ketempat lain
diluar lokasi, yang mungkin saja adalah sebuah kota dengan penduduk yang berjumlah cukup banyak.
Bahan berbahaya atau hazard tersebut bisa jadi adalah bio-hazard alias kuman dan virus misalnya,
ataupun racun dan gas berbahaya dari penyimpan gas yang meledak, dan tentu saja kemungkinan
mendapat luka yang cukup parah dari reruntuhan yang tajam ataupun tertimpa benda berat dlsbnya.
Korban Selamat
Apabila ditemukan adanya korban yang masih hidup, tentu saja korban tersebut harus segera dilarikan
ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis secepatnya supaya hidupnya dapat
diselamatkan dan luka2nya diobati dan dirawat. Dari segi penyidikan memang tidak ada desakan untuk
sesegera mungkin mengangkat jenasah ataupun bagian2 tubuh korban yang berserakan, tetapi dari segi
kemanusiaan dan tuntutan para keluarga korban tentu saja jenasah2 tersebut harus diamankan diangkut
dari lokasi kejadian ketempat yang lebih tepat untuk pengurusan korban, misalnya dirumah sakit
terdekat ataupun tenda2 medis darurat yang perlu dibangun didekat lokasi kejadian. Hal ini juga perlu
dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit ataupun kemungkinan sisa2
para korban dimakan oleh binatang2 liar yang mungkin berada didaerah sekitar lokasi yang mungkin
adalah hutan belukar dlsbnya.
Namun demikian, sebelum para korban dievakuasi harus dulu diambil foto2 yang menggambarkan
skenario kecelakaan secara umum sebelum skenario tersebut berubah karena adanya barang bukti yang
page 35
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
sudah dipindahkan. Penyidik harus dari sejak awal berkoordinasi dengan para ahli forensik untuk
mengumpulkan informasi dari hasil “post mortem” atau pembedahan untuk menentukan penyebab
kematian etc, yang nantinya dibutuhkan untuk analisis penyidikan. Kalau penyidik terpaksa minta
pertolongan pihak kepolisian untuk mengambil foto2 dari lokasi kejadian, penyidik harus secara tegas
minta supaya polisi mengambil foto2 yang memberikan gambaran menyeluruh tentang lokasi kejadian,
dan bukannya hanya foto2 jarak dekat dan foto2 “close up” saja, yang biasanya diambil fotonya oleh
polisi dalam penyidikan mereka.
Hal2 tersebut diatas bisa dilakukan sebelum IIC mencapai lokasi, yaitu lewat telpon minta pertolongan
pihak kepolisian dan badan penanggulangan bencana setempat dlsbnya. Begitu IIC sampai dilokasi
kejadian biasanya otorita setempat langsung mendesak IIC untuk secepat mungkin mengambil alih
tanggung jawab penyidikan, dimana IIC bertanggung jawab sepenuhnya untuk semua permasalahan
yang menyangkut sekuriti, keamanan dan keselamatan. Itulah sebabnya mengapa IIC tidak boleh
gegabah mengambil alih begitu saja, tetapi sebaiknya serah terima tanggung jawab baru dilakukan
setelah IIC meyakinkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan sekuriti dan keselamatan telah dibahas
dan disetujui bersama dan IIC merasa yakin mampu mengurusnya. IIC harus menyiapkan secara tuntas
segala hal yang menyangkut konsumsi dan kebersihan, dan membuat jadwal kerja bagi semua personil
yang bekerja dilokasi kejadian. Biasanya para personil harus bekerja keras dengan jam kerja yang
sangat panjang dan melelahkan, dengan kondisi kerja yang penuh tantangan, jadi IIC harus bisa
memberikan tempat istirahat yang memadai, minuman dan makanan bergizi, dan air bersih untuk mandi
dan keperluan lainnya.
Memulai Penyidikan
Setelah menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah sekuriti dan keselamatan, IIC
disarankan untuk menjauhi tempat kecelakaan dan mencoba menyerap sikon secara keseluruhan dan
tidak menjadi terbawa emosi oleh suasana yang mencekam, terfokus pada detil yang dapat membuat
arah penyidikan menjadi kabur. IIC harus menyimak suasana kawasan lokasi secara menyeluruh dan
menyerap seluruh informasi yang diperoleh lewat pancainderanya. Setelah mendapatkan gambaran
besar dari suasana lokasi kecelakaan, barulah IIC mulai memfokuskan diri pada hal2 yang bersifat lebih
rinci dari dekat.
Lokasi kecelakaan sebenarnya bukan hanya dimana reruntuhan pesawat berada, tetapi jauh lebih luas,
yaitu mencakup hanggar atau bengkel perawatan dan juga perkantoran operator pesawat. Kecelakaan
hanya terjadi setelah serangkaian peristiwa terjadi dan yang terakhir adalah pilot yang tak mampu
mengelakkan terjadinya kecelakaan. Tetapi bisa jadi bahwa kecelakaan dimulai sejak pesawat
meninggalkan landasan saat take-off, mungkin karena teknisi perawatan telah melakukan kesalahan
dalam merawat ataupun mereparasi pesawat.
Bisa jadi juga cara kerja organisasi operator pesawat lah yang punya andil besar dalam terjadinya
kecelakaan. Semua faktor ini harus diperhitungkan, dan IIC tidak boleh gegabah menganggap bahwa
hanya pilot dan kru terbang pesawat saja yang harus langsung dicurigai sebagai penyebab kecelakaan.
IIC harus menyadari bahwa dia tidak bisa begitu saja langsung masuk ke kawasan kerja operator
pesawat dan minta segala macam dokumen yang mungkin berkaitan dengan kecelakaan pesawat. IIC
harus menghormati undang2 dan peraturan2 yang berlaku setempat dan apapun juga yang dilakukan
IIC harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
page 36
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Di Australia ada pasal2 yang mengatur mengenai perlunya dan bagaimana cara mendapatkan
“Investigation Warrants” atau ijin penyitaan barang bukti untuk tujuan penyidikan sebelum memasuki
kawasan kerja operator pesawat. Disamping minta dan kalau perlu menyita dokumen2 kerja yang
diperlukan sebagai barang bukti, penyidik juga harus meyakinkan bahwa data2 meteorologi, rekaman
radar dan pita suara, komputer, dokumen2 rencana penerbangan (flight plan), perawatan (maintenance)
dan pelatihan (training) karyawan dikumpulkan dan diamankan untuk dianalisis lebih lanjut.
Menyurvei Suasana Lokasi
Para penyidik harus membuat catatan dan mengambil foto dari suasana dilokasi kecelakaan yang dapat
memberikan gambaran besar dari suasana kecelakaan disamping mengambil foto2 “close up” yang
lebih rinci. Ini mencakup hal2 seperti kondisi geografis setempat, apakah ber-bukit2, dan ada banyak
bebatuan besar2 yang berserakan, ataukah tanahnya berpasir atau berlumpur dlsbnya. Rincian dari
tanda2 goresan dibumi dari pesawat yang jatuh harus dipelajari secara rinci, termasuk kedalaman dari
amblesnya reruntuhan kedalam bumi, luas dan arah dari tersebarnya reruntuhan pesawat dlsbnya. Kalau
ada kertas dari dalam pesawat yang tersebar dikawasan reruntuhan, sebaran dari kertas2 akan dapat
memberikan gambaran tentang arah dan kencangnya angin yang berhembus dilokasi saat kecelakaan
terjadi. Penyidik harus memeriksa apakah ada kobaran api yang pernah terjadi tetapi sudah padam atau
yang masih berkobar saat disidik, karena ini bisa memberikan informasi tentang penyebab terjadinya
kecelakaan (misalnya kalau terjadi kebakaran didalam pesawat saat terbang). Tetapi bisa jadi juga
bahwa kebakaran terjadi setelah pesawat jatuh dan bahan bakar dipesawat tumpah dan kalau ada
pemicunya maka kebakaran pasti terjadi. Hal lain yang perlu diperiksa adalah kemungkinan bahwa
kecelakaan terjadi sebagai akibat dari “bird strike” atau ada beberapa burung besar (paling tidaknya
sebesar ayam) yang bertabrakan dengan pesawat dan terhisap masuk ke engine pesawat dan
menyebabkan engine menjadi tak berfungsi dan pesawat jatuh karena tidak ada daya pendorongnya lagi.
Seluruh sikon kecelakaan harus diamati dan dicatat secara hati2 dan sangat rinci, baik dengan
menggunakan buku catatan ataupun direkam dengan perekam suara (tape recorder atau digital solid
state recorder). Tetapi penyidik harus ber-hati2 untuk tidak menyentuh, membalikkan atau mengambil
sesuatu yang bisa jadi adalah barang bukti yang sangat penting. Survei seperti yang dijelaskan
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, sebelum ada barang bukti yang letak dan posisinya berubah,
atau diubah oleh manusia ataupun binatang yang berkeliaran dikawasan itu sebelum sekuriti diterapkan.
Hal2 penting yang dapat diamati dengan mudah, seperti kondisi dan bentuk propeler yang rusak dan
bengkok, adanya permukaan kendali (control surface) yang hilang, arah dan kondisi pohon2 yang
tumbang karena ditabrak oleh pesawat yang naas, goresan ditanah yang disebabkan oleh pesawat yang
tergelincir disitu, semuanya harus direkam dengan cermat dan seakurat mungkin.
Kondisi dilokasi kecelakaan harus direkam seperti apa adanya, sesaat setelah reruntuhan pesawat
menghantam bumi atau tergeletak didasar laut (bila pesawat jatuh ke laut). Semua bagian dari
reruntuhan pesawat harus difoto dimana dia berada seperti apa adanya, sebelum barang tersebut
nantinya diangkut ke laboratorium atau tempat dimana barang tersebut akan diperiksa lebih lanjut.
Setelah barang diangkat dari lokasi, tak ada seorangpun yang akan bisa ingat dimana barang tadi berada
sesaat setelah kecelakaan terjadi. Jadi situasi disekitar kawasan kecelakaan dan kondisi barang2 bukti
yang berupa serpihan pesawat dlsbnya harus direkam dalam bentuk foto dan juga dalam bentuk catatan,
yang bisa jadi tertulis atau direkam dalam bentuk rekaman suara penyidik yang menceritakan rincian
dari apa yang dia lihat dan amati saat itu.
page 37
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Keadaan dilokasi kecelakaan jelas sangat berbeda untuk pesawat kecil dan untuk pesawat angkutan
sipil yang besar, dimana serpihan2 atau reruntuhan bagian2 pesawat bisa jadi tersebar di areal yang
sangat luas, ratusan kilometer persegi atau lebih. Situasi dan kondisi reruntuhan pesawat yang jatuh
dilaut bisa diabadikan dengan bantuan sonar ataupun dengan bantuan ROV (Remotely Operated
Vehicle) alias kapal selam robot kecil yang bisa beroperasi dilautan yang sangat dalam dan mampu
mengambil foto2 dari dekat dan gelap.
Disamping barang2 bukti yang dikumpulkan dari lokasi kejadian, penyidik juga perlu mengumpulkan
semua barang bukti lainnya, seperti data2 dari produsen pesawat atau komponen pesawat, rekaman
kegiatan “engineering” dari operator, pernyataan2 dari para teknisi dan staf engineering lainnya, sampel
atau contoh dari bahan bakar (yang bisa jadi terkontaminasi dan berkontribusi dalam terjadinya
kecelakaan) dan juga rekaman informasi tentang jasa angkutan yang telah dilakukan oleh operator.
Kalau penyidik mengalami kesulitan, baik teknis maupun non-teknis, penyidik tidak boleh ragu2 untuk
minta bantuan dari pihak2 luar yang lebih berkompetensi di bidang2 tertentu yang terkait. Bantuan
tersebut bisa diperoleh dalam bentuk nasihat oleh produsen pesawat atau para ahlinya, dari konsultan
dibidang aeronotika ataupun peralatan2 yang digunakan dalam pesawat terbang, dan juga dari pihak
militer jika memang diperlukan.
Teknik2 Penyidikan
Penyidikan kecelakaan pesawat terbang harus dilakukan secermat dan selengkap mungkin, dan
memerlukan pengumpulan barang2 bukti dari sumber2 yang se-luas2nya. Penyidik harus cermat dan
tidak boleh hanya tergantung pada satu sumber informasi saja dalam mengambil kesimpulan. Informasi
harus dikumpulkan dari sebanyak mungkin sumber, sehingga kebenaran informasi dapat diuji dan di
verifikasi, sebelum informasi tersebut digunakan dalam mengambil kesimpulan. Dibawah ini kita akan
membahas masalah2 yang berkaitan dengan pengumpulan barang bukti dan bagaimana barang bukti
tersebut sebaiknya dimanfaatkan supaya memberikan hasil2 yang paling bermanfaat.
Jenis2 Barang Bukti
Penyidik tidak boleh tergantung pada satu sumber saja untuk bukti2 tertentu. Sebuah bukti dari satu
sumber harus bisa dibandingkan dengan bukti untuk hal yang sama dari sumber yang lain. Dengan cara
tersebut, penyidik bisa merasa sangat yakin akan kebenaran bukti tersebut, atau sebalinya bukti tersebut
harus dibuang karena bukti dari satu sumber ternyata sangat berbeda, bahkan bertentangan dengan bukti
yang diperoleh dari sumber lainnya. Hanya bukti2 yang telah diuji keabsahannya saja, yaitu dengan
membandingkan bukti tentang hal yang sama dari beberapa sumber, yang boleh digunakan oleh
penyidik dalam melakukan analisis selanjutnya.
Salah satu contoh dari barang bukti adalah struktur patahan (“fracture”) dari sebuah struktur komponen
pesawat tertentu, atau apakah ada tanda2 kebakaran pada struktur tersebut misalnya. Komponen
struktur yang patah harus dikumpulkan dan segera dikirim ketempat pengumpulan barang bukti dimana
analisis lanjutan akan dilakukan. Kalau ada patahan struktur yang menarik perhatian, sebaiknya bagian
yang patah diperiksa secara teliti dengan bantuan kaca pembesar untuk menentukan apakah patahan
struktur tersebut perlu diperiksa secara lebih teliti dan rinci dilaboratorium analisis bukti atau tidak.
Bentuk atau tanda2 yang ada pada permukaan patahan bisa menentukan apakah struktur tersebut patah
karena “fatigue” (kelelahan logam) atau karena alasan lain. Hal tersebut hanya dapat diputuskan oleh
page 38
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
seorang ahli metalurgi yang memeriksa barang bukti tersebut dengan peralatan laboratorium yang
canggih dan tepat, misalnya mikroskop elektron, yang sangat akurat dan mahal sekali dan hanya dapat
dioperasikan oleh seorang ahli dibidang tersebut. Pemeriksaan yang teliti seperti itu tidak bisa
dilakukan dilokasi kejadian, tetapi hanya dapat dilakukan dilaboratorium dimana kondisi pengujian
dapat diatur dengan baik, menggunakan peralatan yang sepadan.
Barang bukti berupa reruntuhan pesawat dapat diperiksa untuk menentukan apakah api merupakan
kemungkinan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan atau tidak, yaitu apakah terjadi kebakaran dalam
pesawat saat sedang terbang dan kobaran api menjadi tak terkendali sehingga akhirnya menjadi sebab
dari terjadinya kecelakaan. Kalau kerangka dan kulit pesawat terbuat dari logam (aluminium misalnya),
maka aluminium akan meleleh dan membuat untaian yang memanjang mirip benang atau tali kalau
terkena panas yang hebat dari kebakaran saat pesawat melayang dilangit. Sebaliknya, bila kebakaran
terjadi saat pesawat tidak bergerak (karena sudah jatuh menghujam kebumi) maka lelehan logam akan
terkumpul membentuk sebuah gundukan. Jadi analisis cepat akan bisa memberikan informasi mengenai
apakah pesawat terbakar saat masih terbang diudara, ataukah pesawat menjadi terbakar saat pesawat
jatuh menghantam bumi dan tangki bahan bakar pecah atau bocor dan dengan sangat mudahnya
menjadi terbakar apabila ada percikan api, yang bisa saja terjadi saat pesawat menghantam bumi dan
hancur ber-keping2.
Pola asap kebakaran, yang dapat ditentukan dengan mengamati bentuk pola bekas2 kebakaran atau abu
dan jelaga, dapat digunakan untuk menyimpulkan apakah kebakaran terjadi saat pesawat masih
melayang diudara. Kalau dilokasi kejadian dapat dilihat adanya pola bekas kebakaran yang
menunjukkan bahwa api menyebar dari titik tepat sebelum pesawat menyentuh bumi sampai ke lokasi
reruntuhan, maka jejak kebakaran dapat ditelusuri untuk menentukan sumber asal api. Disamping itu
jenis jelaga yang terbentuk dapat diperiksa untuk menentukan sumber terjadinya kebakaran. Jenis
jelaga dan bau kebakaran yang masih ada dilokasi bisa membantu untuk menentukan apakah kebakaran
terjadi akibat adanya “sirkit pendek” (“short circuit”) arus listrik, yang dapat disimpulkan terjadi saat
pesawat masih melayang diudara, atau apakah bau yang tercium adalah bau rerumputan yang terbakar
karena adanya tumpahan avtur yang kemudian menyala karena adanya percikan api saat pesawat
menghantam bumi.
Apabila ditemukan komponen struktur pesawat atau permukaan kendali (rudder, aileron dan elevator
dlsbnya) yang rusak atau bengkok, maka komponen tersebut harus dibawa ke laboratorium untuk
diperiksa secara seksama. Pemeriksaan sekilas dengan menggunakan indera penglihatan saja, pasti
tidak cukup, karena sangat sulit untuk menentukan apakah kerusakan terjadi sebelum pesawat menjadi
tak terkendali dan akhirnya jatuh, ataukah karena komponen tersebut menjadi rusak atau bengkok
karena pesawat menghantam bumi, jadi bukan merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan.
Contoh lain adalah posisi tuas pengendali gaya dorong engine pesawat (“engine throttle”) yang tidak
seperti seharusnya pada pesawat yang beroperasi normal, sangat sulit ditentukan apakah terjadi saat
pesawat masih melayang diudara (sehingga bisa dicurigai sebagai salah satu faktor yang mungkin
menyebabkan terjadinya kecelakaan) atau karena kabel yang terhubung pada tuas tersebut menjadi
tertarik karena terjadinya tabrakan dengan bumi dan dengan demikian mengubah posisi tuas.
Sebelum engine pesawat dibongkar dan dibawa ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut, semua cairan
yang masih ada didalamnya harus dikuras untuk kemudian diperiksa dilaboratorium. Kalau hasil
pemeriksaan menunjukkan adanya tanda2 bahwa ada air tercampur dengan avtur, tentu saja dapat
disimpulkan bahwa ada kemungkinan bahwa engine menjadi tak beroperasi karena avtur yang tercemar
air itu tidak bisa menyala dan api dalam engine menjadi padam sehingga engine tak berfungsi.
page 39
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Pada akhirnya kepastian tentang penyebab terjadinya kecelakaan tidak bisa dilakukan tanpa melakukan
rekonstruksi seluruh pesawat. Semua komponen pesawat yang berhasil ditemukan dan dikumpulkan
harus dipasang pada sebuah kerangka yang khusus dibuat sehingga menjadi bentuk pesawat selengkap
mungkin pada saat terjadinya kerusakan awal yang akhirnya menyebabkan pesawat jatuh. Salah satu
contoh kasus dimana rekonstruksi pesawat akhirnya berhasil menentukan penyebab jatuhnya pesawat
adalah kasus pesawat Boeing 747-121 N739PA pada tahun 1990 yang jatuh di Lockerbie, Skotlandia.
Rekonstruksi tersebut berhasil menentukan bahwa pesawat jatuh akibat meledaknya sebuah bom
didalam pesawat yang ditaruh oleh para teroris yang didanai oleh Muamar Gadafi, Presiden Libya saat
itu. Informasi selengkapnya tentang kecelakaan tersebut dapat dibaca dalam artikel yang dapat diunduh
dari internet di alamat2 berikut
http://www.aaib.gov.uk/publications/formal_reports/2_1990_n739pa.cfm
http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/2-1990%20N739PA.pdf
http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/dft_avsafety_pdf_503158.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Pan_Am_Flight_103
http://aviation-safety.net/database/record.php?id=19881221-0
Alamat berikut berisi informasi tambahan mengenai penyidikan kecelakaan pesawat terbang yang disimpan
diperpustakaan Hunt Library Universitas Embry Riddle.
http://library.erau.edu/worldwide/find/online-full-text/non-ntsb.htm
Kerusakan yang terjadi pada lingkungan disekitar reruntuhan pesawat juga dapat dijadikan sebagai
barang bukti tambahan. Kalau pesawat atau helikopter jatuh dalam trajektori turun dengan kemiringan
tertentu dan ini terjadi didaerah yang penuh dengan pepohonan, maka kerusakan pada pohon2 dilokasi
tersebut dapat digunakan untuk membantu menentukan dari mana menuju arah mana dan seberapa
tajam turun melayangnya pesawat yang naas itu sebelum akhirnya menghujam bumi. Kalau dedaunan
di pohon2 tersebut terbakar, pola terbakarnya daun2 tersebut dapat digunakan untuk membantu
menentukan bagaimana avtur menyebar dari tangki bahan bakar yang rusak muncrat keluar ke pohon2
yang ditabrak pesawat. Kalau tangki bahan bakar pesawat ditemukan dalam kondisi pecah dan kosong
(tak ada avtur didalamnya), dan dilokasi tidak terjadi kebakaran, ini memberi kesan bahwa tangki bahan
bakar pesawat itu kosong saat pesawat masih melayang diudara, sehingga engine tidak menerima avtur
dan berhenti beroperasi dan sebagai akibatnya pesawat menjadi tak terkendali dan jatuh ke bumi. Tetapi
penyidik tidak boleh gegabah langsung mengambil kesimpulan tersebut, karena bila tanah dilokasi
kejadian berpasir, maka avtur akan cepat terserap masuk dalam pasir dan tidak meninggalkan tanda2
bahwa ada avtur yang tumpah disitu. Demikian juga kalau bumi disitu ber-batu2 dan cuaca sangat
panas, maka avtur akan cepat menguap dan memberi kesan bahwa tidak pernah ada avtur yang
tertumpah disitu. Jadi penyidik harus sangat ber-hati2, pikirannya terbuka untuk menerima segala
macam kemungkinan, dan kesimpulan hanya dapat diperoleh dengan benar setelah mempertimbangkan
semua barang bukti yang ber-macam2 itu.
page 40
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Otopsi
Salah satu sumber barang bukti yang bisa jadi sangat bermanfaat adalah hasil otopsi. Tetapi bila
penyidik kurang cermat dan teliti, ada kemungkinan bahwa otopsi akan memberikan petunjuk menuju
kesimpulan yang sama sekali salah. Otopsi adalah pemeriksaan medis dari mayat2 korban untuk
menentukan secara tepat dan akurat apa yang menjadi penyebab kematian korban. Informasi ini bisa
membantu penyidik dalam menentukan faktor2 apa saja yang berkontribusi pada terjadinya kecelakaan.
Tentu saja otopsi harus dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat dan korban harus
dihormati dengan memperlakukan mayatnya secara sensitif tidak asal main potong sana sini begitu saja.
Sebuah contoh adalah seandainya tubuh para pilot hancur ber-keping2 dan tak dapat dikenali, tetapi ada
sepotong tangan yang ditemukan berada dituas pengegas engine (“throttle”). Pertanyaannya adalah,
tangan siapa yang sebenarnya berada dituas itu, apakh pilot atau kopilot atau siapa? Seandainya terjadi
ledakan dalam pesawat, maka serpihan logam akibat ledakan yang menancap ke tubuh para korban
dapat digunakan untuk menentukan apakah sumber ledakan berada dibawah tempat duduk atau berada
dirak tempat barang diatas kepala penumpang. Mayat yang membusuk juga selalu mengandung alkohol
dan kadar alkohol tersebut semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu antara korban
meninggal sampai saat otopsi dilakukan. Jadi kalau ditemukan kadar alkohol yang cukup tinggi dalam
tubuh mayat pilot, ini tidak selalu berarti bahwa pilot mengoperasikan pesawat dalam kondisi mabuk.
Jadi penyidik harus memberi tahu dokter ahli otopsi (bedah mayat) berapa lama korban yang diperiksa
diperkirakan telah meninggal dunia sampai saat otopsi dilakukan, atau sebelum mayat dimasukkan
kedalam peti es untuk mencegah terjadinya pembusukan. Kandungan alkohol dalam cairan yang
diambil dari kawasan sekitar mata korban akan memberikan hasil yang lebih bisa dipercaya karena
tidak begitu terpengaruh oleh proses pembusukan.
Keadaan dan luka2 yang diderita oleh korban yang selamat juga dapat memberikan informasi yang
bermanfaat, misalnya untuk menentukan besaran dan arah gaya penyebab luka2 yang mungkin
disebabkan oleh rak penyimpan barang diatas kepala penumpang yang terbuka (misalnya karena
kelalaian pramugara atau bisa jadi karena salah desain).
Rekaman Informasi
Rekaman yang dimaksud mencakup data radar dan radio yang direkam oleh ATC (Aircraft Traffic
Controller) atau oleh pengelola bandara, yang mungkin merekam semua percakapan radio dari pesawat
ke ATC etc, untuk menentukan berapa biaya yang harus dibayar oleh operator pesawat ke pengelola
bandara untuk menggunakan semua fasilitas bandara demi keperluan operasinya. Peralatan untuk FMS
(Flight Management System atau Sistem Manajemen Penerbangan) dan Navigasi (termasuk GPS
dlsbnya) biasanya merekam semua data penerbangan, walaupun penyidik harus minta bantuan ahli
khusus bidang ini untuk membaca informasi apa saja yang terekam didalamnya dalam analisis
terperinci dilaboratorium.
Data atau informasi yang terekam dalam rekaman radar dan navigasi dapat digunakan sebagai input
(masukan) ke sebuah perangkat lunak (software) buatan NASA, yang membutuhkan beberapa asumsi
dasar tentang lift (gaya angkat) dan drag (gaya hambat), untuk menentukan attitude atau posisi terbang,
dan sudut serang serta “g-loading” ( besaran gaya yang beraksi pada saat terjadinya kecelakaan dibagi
besaran gaya yang beraksi bila pesawat beroperasi secara normal). Ini dapat memberikan informasi
tentang situasi terbang pesawat pada saat2 terakhirnya sebelum jatuh menghujam bumi. Informasi yang
diperoleh kemudian bisa dimasukkan kedalam sebuah perangkat lunak untuk mensimulasikan kondisi
page 41
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
terbang pesawat selama beberapa menit terakhirnya, dan ini bisa jadi akan bermanfaat dalam
menentukan faktor2 apa saja yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan.
Pihak militer biasanya juga memiliki fasilitas radar yang mungkin secara tak sengaja mengambil
rekaman data radar yang dapat dimanfaatkan dalam penyidikan kecelakaan pesawat, seandainya
informasi tersebut tidak bisa diperoleh dari ATC etc karena satu dan lain hal.
Pada masa kini semua pesawat sipil internasional (dan juga domestik) pasti dilengkapi dengan “black
box” atau “kotak hitam” yang sebenarnya dicat berwarna merah oranye menyala. Ada 2 jenis kotak
hitam yang diwajibkan oleh ICAO yaitu FDR (Flight Data Recorder atau Perekam Data Penerbangan)
dan CVR (Cockpit Voice Recorder atau Perekam Suara didalam Kokpit). Dijaman dulu baik FDR
maupun CVR adalah dari jenis analog yaitu informasi direkam dalam bentuk data analog pada pita
magnetik, yang hanya mampu merekam data yang sangat terbatas baik dalam jumlah jenis data yang
bisa direkam maupun panjang waktu rekamannya. Disamping itu blackbox dijaman dulu juga seringkali
menjadi rusak dan tak dapat dibaca karena rusak akibat pesawat menghujam kebumi dengan gaya
tabrak (“impact”) yang terlalu besar. Pada jaman sekarang, peralatan analog tersebut sudah diganti oleh
perekam digital (seperti hard disk) yang bisa merekam jauh lebih banyak data dengan panjang waktu
rekaman yang jauh lebih panjang, dan mampu bertahan tidak rusak atau masih dapat dibaca walaupun
menderita gaya tabrak (impact) yang luar biasa saat pesawat menghujam bumi. Catatan rekaman suara
di kokpit (CVR) dapat memberikan informasi mengenai kondisi dalam kokpit, apa saja yang dikatakan
pilot dan kopilot dan komunikasi mereka dengan menara ATC dan suara apa saja (misalnya ledakan
atau percikan api) yang terdengar dikokpit.
Untuk kecelakaan yang terjadi pada helikopter, data penerbangan pasti terekam dalam sistem
perekaman yang disebut HUMS (Health and Usage Monitoring System atau yang lebih moderen Health
and Usage Management System), yang digunakan sebagai alat bantu dalam manajemen perawatan
helikopter. Informasi yang terekam oleh HUMS biasanya diunduh oleh operator pada akhir hari setelah
helikopter beroperasi terakhir kalinya hari itu. Data tersebut dapat diminta oleh penyidik dan tentunya
bermanfaat dalam pelaksanaan penyidikan. Informasi tambahan tentang HUMS dapat diperoleh dari
internet dialamat berikut
http://www.dsto.defence.gov.au/HUMS2009/
Kecelakaan bisa terjadi pada helikopter sipil yang sedang mencoba mendarat dikapal atau dianjungan lepas
pantai pengeboran minyak, yang sedang oleng karena adanya ombak yang cukup besar. Contoh dari kecelakaan
seperti itu bisa dibaca diinternet dialamat berikut
http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/3-2004%20G-BKZE.pdf
Diawal abad ke 21 ini, hampir semua pesawat (paling tidaknya yang terbaru) pasti dilengkapi dengan
Quick Access Recorder yang dipasang dan dimanfaatkan oleh airline, yang mengoperasikan pesawat
dengan tujuan merekam percakapan kru terbang dalam rangka meyakinkan bahwa setiap anggota kru
terbang akan mengikuti peraturan tentang tata cara kerja yang telah ditentukan oleh manajemen airline.
Disamping itu, untuk tujuan perawatan pesawat, manajemen airline biasanya juga memasang komputer
untuk merekam data2 teknis yang dibutuhkan untuk perawatan pesawat yang efektif dan efisien. Data2
tersebut dikirim lewat satelit dari pesawat ke kantor pusat manajemen airline dan direkam dikomputer
perekam disitu. Informasi tersebut tentu saja tidak akan hilang walaupun pesawat hancur ber-keping2
dan blackbox rusak berat ataupun tak bisa ditemukan (misalnya kalau tenggelam dilautan yang sangat
dalam). Masalah utama dalam pemanfaatan data yang terekam adalah melakukan sinkronisasi waktu
diantara rekaman2 yang direkam oleh perekam yang berbeda. Seringkali ini bisa menjadi sangat
page 42
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
penting karena menentukan apakah suatu kejadian terjadi sebelum atau sesudah kejadian yang lain
dimana ke-dua2nya merupakan faktor penyebab kecelakaan, dan urutan kejadian bisa memberikan 2
skenario yang berbeda. Itulah sebabnya mengapa pembacaan data dari alat perekam adalah tugas sulit
yang hanya bisa dilakukan secara profesional oleh ahli yang berpengalaman dibidang tersebut.
Informasi Saksi Mata
Salah satu sumber informasi yang penting adalah laporan dari para saksi mata. Informasi ini sangat
tergantung kepada keakuratan tentang uraian urutan terjadinya kecelakaan yang disampaikan oleh saksi
mata. Orang yang menjadi saksi mata bisa jadi adalah orang yang sangat ber-hati2 dalam
menyampaikan laporannya, tetapi bisa jadi juga dia adalah orang yang agak ceroboh, dan kesaksiannya
patut dipertanyakan kebenarannya. Disamping itu daya ingat setiap orang tentu saja ber-beda2, jadi
sebuah kejadian bisa saja dilaporkan oleh 2 orang saksi mata yang menyaksikan kejadian secara
bersama tetapi laporan yang diberikan bisa saja cukup berbeda. Saksi mata bisa jadi berada dibumi dan
menyaksikan pesawat yang sedang terbang tiba2 mengalami sesuatu yang menyebabkannya jatuh
kebumi, mungkin meledak saat masih diudara atau meledak saat menghantam bumi. Saksi mata bisa
jadi juga berada didalam pesawat yang naas dan selamat setelah pesawat jatuh. Bisa jadi juga bahwa
saksi mata itu adalah petugas ATC (Air Traffic Controller) yang berkomunikasi lewat radio dengan
pilot, menuntun pilot untuk melakukan persiapan pendaratan saat kecelakaan tiba2 saja terjadi.
Para saksi mata sebaiknya diwawancarai selekas mungkin setelah kecelakaan terjadi, yaitu saat ingatan
saksi mata mengenai terjadinya kecelakaan masih segar dibenaknya, sehingga bisa menceritakan
kejadian yang sebenarnya secara seakurat mungkin, tidak tercemar oleh kenyataan bahwa saksi mata
mungkin telah lupa tentang sesuatu yang berkaitan dengan kecelakaan, yang mungkin adalah informasi
penting. Ada kecenderungan bahwa saksi mata akan begitu saja membenarkan kesaksian dari saksi
mata lain yang berkepribadian lebih tegas, walaupun ini sebenarnya bukanlah ingatan saksi mata itu,
yang mungkin ingatannya tidak terlalu baik, apalagi bila wawancara dilakukan cukup lama setelah
terjadinya kecelakaan.
Penyidik harus ber-hati2 untuk tidak mengajukan pertanyaan atau memberi pernyataan yang merupakan
pendapat pribadinya (yang belum tentu didukung oleh fakta yang ada), yang mungkin saja akan
diiyakan oleh saksi mata yang mungkin sedikit terguncang perasaannya oleh terjadinya kecelakaan
yang disaksikannya, dan merasa lebih baik mengiyakan apa saja yang ditanyakan padanya. Jadi
penyidik harus mengajukan pertanyaan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga saksi mata harus
menyampaikan ingatannya sendiri tentang apa yang didengar dan dilihatnya, dengan menggunakan
kata2nya sendiri, tanpa disetir oleh pertanyaan penyidik. Kalau memungkinkan, sebaiknya saksi mata
diwawancarai dilokasi yang sama seperti dimana dia berada saat menyaksikan terjadinya kecelakaan.
Dengan berada dilingkungan yang sama seperti saat dia menyaksikan terjadinya kecelakaan, saksi mata
mungkin akan tergugah ingatannya dan bisa menceritakan kejadian sebenarnya yang dia saksikan.
Untuk mencegah terjadinya salah pengertian, sebaiknya penyidik mengucapkan ulang apa yang
dikatakan oleh saksi mata dan menanyakan apakah itu yang dikatakan oleh saksi mata sebelumnya.
Kalau pernyataan saksi mata agak kabur atau tidak jelas, penyidik harus menanyakan kepada saksi mata
apakah bisa menjelaskan pernyataannya sehingga bisa dimengerti oleh penyidik dan penyidik tidak
membuat kesalahan dalam merekam hasil wawancara dengan saksi mata.
Semua pernyataan saksi mata tentu saja harus direkam dan dibacakan ulang ke saksi mata untuk
meyakinkan kebenarannya. Setelah saksi mata menyetujui bahwa apa yang direkam secara tertulis
memang adalah rekaman yang akurat dari apa yang diceritakannya, kemudian untuk meyakinkan
page 43
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
bahwa saksi mata tidak omong sembarang omong, dan kesaksian yang tertulis bisa dipercaya
kebenarannya oleh siapapun juga yang membacanya, sebaiknya kesaksian tertulis itu ditandatangani
oleh saksi mata. Tetapi kalau saksi mata tahu bahwa dia akan diminta menandatangani pernyataannya,
besar kemungkinannya bahwa dia tidak akan memberikan pernyataannya secara se-jujur2nya, karena
bisa jadi itu akan memberikan kesulitan pada dirinya sendiri ataupun pada teman dekat nya. Bila saksi
mata tidak diberitahu bahwa dia akan diminta menandatangani pernyataannya yang telah direkam
secara tertulis, bisa jadi saksi mata akan menolak untuk menandatangani pernyataan tertulisnya itu,
bahkan bisa jadi dia akan menarik semua pernyataannya dan memungkiri bahwa dia telah memberikan
keterangan seperti yang terekam. Ini adalah masalah dasar yang dihadapi penyidik, sebab pernyataan
tertulis yang tidak ditandatangani biasanya tidak bisa dijadikan sebagai kesaksian yang bisa dipercaya,
sedangkan disisi lain bisa jadi penyidik akan mendapat kesulitan untuk meyakinkan saksi mata untuk
menandatangani pernyataan tertulisnya itu.
Dibawah ini disampaikan sebuah contoh kasus yang benar2 terjadi yang memberikan gambaran tentang
sulitnya mendapatkan kesaksian yang benar2 dapat dipercaya. Di Australia terjadi kecelakaan yang
melibatkan sebuah pesawat kecil yang mengakibatkan tewasnya 2 orang pensiunan warga negara
Inggris di WA (Western Australia). Kecelakaan ini dianggap cukup penting untuk disidik oleh ATSB.
Suami istri yang pensiunan itu tewas saat pesawat Cessna 421 yang dinaikinya jatuh dikawasan wisata
terpencil, El Questro, disebelah barat kota kecil Kunnunurra. Para saksi mata memberikan kesaksian
kepada pihak otorita bahwa mereka menyaksikan pesawat Cessna itu mendapat masalah yaitu engine
sebelah kirinya tak berfungsi saat pesawat sedang tinggal landas (take-off). Para saksi mata tersebut
mengatakan bahwa engine kiri pesawat itu kemudian terbakar dan sebagai akibat pesawat langsung
jatuh. Selanjutnya ada 4 orang ahli keselamatan terbang yang datang dari Canberra untuk melakukan
penyidikan. Pada awalnya para saksi mata mengatakan bahwa engine pesawat mengalami kerusakan
dan kemudian terbakar dan oleh karena itu pesawat kemudian jatuh. Tetapi para ahli keselamatan
terbang yang melakukan penyidikan menemukan bahwa pesawat memang mengalami kerusakan engine,
dan oleh karena itu langsung jatuh menghujam bumi dan setelah menghantam bumi pesawat meledak
dan terbakar. Setelah diberi tahu tentang hasil penyidikan, para saksi mata kemudian mengubah
kesaksiannya dan mengatakan bahwa penyidik lah yang benar. Memang pesawat jatuh dulu baru
meledak dan terbakar. Hanya saja waktu diwawancarai, logika mereka mengatakan bahwa pesawat itu
jatuh karena engine nya rusak dan terbakar, bukan sebaliknya jatuh dulu baru meledak dan terbakar.
Mereka tidak bermaksud menipu atau memberikan kesaksian yang palsu, tetapi logika mereka
membuat mereka mengubah ingatannya tentang urutan kejadian, disesuaikan dengan cara berpikir
logika mereka. Jadi kesaksian seorang saksi mata tidaklah bisa dipercaya kebenarannya 100 persen,
tetapi harus diverifikasi dengan membandingkan kesaksian2 dari sebanyak mungkin saksi mata yang
ada, dan juga dengan menggunakan kesaksian dari semua sumber barang bukti yang terdapat dilokasi
kecelakaan.
Pengujian Laboratorium
Misalnya saja dalam sebuah penyidikan diperkirakan bahwa salah satu faktor penyebab kecelakaan
adalah engine yang gagal berfungsi karena satu dan lain hal, sedemikian rupa sehingga pesawat tidak
memiliki gaya dorong dan akhirnya jatuh ke bumi. Pertanyaannya adalah apakah ada bukti yang
mendukung anggapan ini, dan bagaimana cara mengujinya supaya benar2 yakin pada hasil pengujian.
Ini tidak mudah. Per-tama2 seluruh komponen engine yang bisa dikumpulkan harus dikumpulkan dan
masing2 komponen perlu duji dilaboratorium atau perlu dilakukan uji lab pada komponen tersebut.
Seandainya ada salah satu komponen yang di uji lab ternyata gagal berfungsi dan ini menyebabkan
seluruh engine tak berfungsi, maka ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa pesawat jatuh gara2
page 44
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
komponen tertentu itu gagal berfungsi seperti seharusnya. Tetapi penyidik tidak boleh secara gegabah
mengambil kesimpulan tersebut. Bisa jadi komponen tersebut sebenarnya berfungsi dengan baik saat
pesawat melayang diudara, tetapi karena pesawat jatuh ke bumi (karena faktor penyebab yang lain)
maka komponen tersebut menjadi rusak dan gagal berfungsi saat di uji lab. Disisi lain, seandainya saja
komponen yang di uji lab itu ternyata berfungsi dengan baik saat di uji, ini tidak berarti bahwa
komponen itu berfungsi dengan baik saat berada dipesawat yang sedang terbang. Masalahnya adalah
sebagai berikut. Sebelum di uji lab, komponen itu harus dibersihkan dan secara umum dipersiapkan
supaya bisa di uji dengan baik. Saat dipersiapkan itulah komponen yang saat berada dipesawat yang
sedang terbang berfungsi dengan baik, kemudian berubah menjadi gagal berfungsi saat di uji lab.
Sebalinya komponen yang tadinya tidak berfungsi didalam pesawat, mungkin karena dibersihkan etc
kemudian berubah menjadi berfungsi dengan baik saat di uji lab. Jadi hasil uji lab tidak boleh dianggap
sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, tetapi harus dipertimbangkan juga kemungkinan bahwa hasil
uji lab itu tidak sepenuhnya benar, dan kajian berdasarkan barang bukti lainnya harus dilakukan untuk
mengambil kesimpulan yang benar.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa komponen yang di uji lab itu mungkin secara struktural
sudah menjadi sangat lemah dan waktu diuji (misalnya propeler yang sedang diputar) bisa jadi akan
patah dan berbahaya bagi penguji yang berada didekat mesin penguji. Jadi petugas uji lab harus berhati2 saat melakukan pengujian laboratorium supaya terhindar dari malapetaka.
Uji Simulasi dan Rekonstruksi
Pengertian mengenai mengapa kecelakaan terjadi bisa diperjelas dengan mengadakan simulasi situasi
dan kondisi terbang pesawat pada menit2 terakhir penerbangannya sebelum jatuh. Biasanya ini
dilakukan lewat simulasi digital dengan bantuan sebuah software simulasi, dimana input yang
dimasukkan adalah data2 teknis yang diperoleh dari kotak hitam (“black box”). Hasil simulasi tentu
saja sangat tergantung pada keakuratan model matematis yang menjadi dasar software simulasi dalam
mewakili gerakan pesawat yang naas itu. Disamping itu, hasil simulasi juga tergantung pada keakuratan
input data yang dimasukkan ke simulator. Bisa jadi bahwa data dari black box tidak dapat dibaca secara
akurat dan mengandung “error” atau kesalahan, yang menyebabkan hasil simulasi tidak bisa dipercaya.
Dimana simulasi terbang tidak bisa dilakukan secara digital (dengan model komputer) karena tidak ada
software yang bisa mewakili gerak terbang pesawat yang jatuh, simulasi bisa dilakukan dengan
menggunakan pesawat terbang dari jenis yang sama (misalnya saja sesama Boeing-737-800) yang
diterbangkan dengan permukaan kendali dan tuas pengegas engine berada pada posisi yang sama
dengan yang tercatat dalam black box pesawat yang jatuh. Kondisi terbang pesawat kemudian diamati
dan direkam, dan dari pengamatan tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai apa yang
sebenarnya terjkadi pada pesawat yang naas itu pada detik2 terakhirnya. Tetapi uji terbang seperti ini
harus dilakukan dengan sangat hati2, sebab selalu saja ada kemungkinan pesawat yang digunakan
dalam uji terbang itu juga akan memberikan respon yang sama seperti pesawat yang naas, dan ikutan
jatuh juga!
Rekonstruksi adalah dimana sebuah kerangka besi dipersiapkan, dimana serpihan2 pesawat yang
terkumpul kemudian dipasang pada kerangka tersebut sehingga memberikan bentuk yang semirip
mungkin dengan bentuk pesawat sebelum mengalami kecelakaan. Ini dapat digunakan untuk
memahami bagaimana terjadinya awal dari faktor penyebab kecelakaan. Metoda ini sangat bermanfaat
untuk menentukan urutan terjadinya peristiwa2 yang terjadi secara beruntun dengan hasil akhirnya
adalah pesawat jatuh menghujam bumi. Tetapi metoda ini melibatkan dana yang sangat besar dan
waktu yang sangat lama untuk menuntaskannya. Namun demikian seringkali, walaupun merupakan
page 45
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
pilihan terakhir, ini merupakan satu2nya cara untuk meyakinkan kebenaran dari kesimpulan yang
diambil mengenai faktor2 penyebab kecelakaan. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah
kecelakaan yang terjadi pada pesawat Boeing 747 yang jatuh di Lockerbie.
Beberapa Kosa Kata yang digunakan dalam Penyidikan
Perancangan pesawat menuntut agar pesawat bisa terbang semakin lebih cepat, lebih jauh dan
membutuhkan lebih sedikit avtur yang perlu dibakar dalam engine nya, dibandingkan dengan pesawat2
yang desainnya lebih tua. Pesawat2 yang terbaru bisa dibuat lebih efisien dengan menggunakan bahan
komposit sebagai bahan baku untuk badan (“fuselage”) pesawat, bahkan juga untuk struktur primer
seperti sayap dan ekor. Pesawat Boeing 787 itu lebih dari separo beratnya adalah berat bahan komposit
yang digunakan dalam pembuatannya. Pesawat2 dimasa depan akan menggunakan lebih banyak lagi
bahan komposit, baik komposit karbon ataupun komposit serat gelas. Keuntungan menggunakan bahan
komposit adalah lebih ringan tetapi lebih kuat dan lebih kaku dibandingkan dengan aluminium. Karena
lebih kaku maka pesawat yang terbuat dari bahan komposit bisa lebih tahan terhadap masalah kelelahan
logam alias “fatigue”, jadi umur pesawat bisa diperpanjang. Pesawat juga bisa dibuat menjadi lebih
ringan sehingga secara keseluruhan menjadi lebih efisien. Informasi lebih lanjut mengenai bahan
komposit bisa diperoleh dari Composite Material Handbook, US Departement of Defence yang dapat
diunduh dari internet dialamat berikut
http://www.lib.ucdavis.edu/dept/pse/resources/fulltext/HDBK17-1F.pdf
Salah satu masalah yang penting dan belum begitu dipahami mengenai sifat2 bahan komposit adalah
bagaimana bahan tersebut berperilaku bila dihadapkan pada temperatur tinggi, yang bisa terjadi kalau
pesawat jatuh dan terbakar. Perilaku kebakaran yang terjadi pada pesawat yang terbuat dari logam
(aluminium) sudah cukup dimengerti, tetapi hal yang sama tak bisa dikatakan mengenai bahan
komposit. US Navy tahun lalu memberikan dana penelitian sebesar $1 juta (satu juta dolar US) pada
RMIT Aerospace Engineering untuk melakukan penelitian selama 3 tahun mempelajari bagaimana
menanggulangi kebakaran yang terjadi pada kapal milik US Navy. Salah satu pertanyaan yang harus
dijawab adalah berapa lama setelah kebakaran dimulai sampai sebelum struktur kapal menjadi begitu
lemah dan akan ambruk. Ini akan memberi informasi yang harus diberikan kepada kru kapal supaya
secepat mungkin meninggalkan kapal yang terbakar, tak boleh lebih dari sekian menit dlsbnya. Masalah
lainnya adalah mengenai sifat kimia dari gas yang terbentuk dari bahan komposit yang terbakar, apakah
beracun atau paling tidaknya berbahaya bila masuk ke saluran pernapasan para awak kapal, dan
seberapa ganas pengaruhnya. Indonesia punya pengalaman pahit tentang kebakaran kapal yang terbuat
dari bahan komposit yaitu terbakarnya KRI Klewang belum lama lalu. Diharapkan bahwa para peneliti
ahli dari ITB dlsbnya akan mempelajari masalah tersebut dan mengambil hikmah se-besar2nya dari
kecelakaan yang tak diharapkan itu.
Pembuatan badan pesawat dari bahan komposit membutuhkan waktu yang lebih pendek dan biaya
produksi bisa dikurangi, karena “kulit pesawat” tidak terbuat dari lembaran yang kemudian perlu
dipasangkan pada struktur pesawat dengan menggunakan paku2 keling (rivet) yang berjumlah sangat
besar. Tetapi kerugiannya adalah kalau terjadi kerusakan disatu tempat pada kulit pesawat, maka
seluruh kulit pesawat harus diganti, berbeda dari kalau kulit tersebut terbuat dari aluminium, dimana
hanya lembaran aluminium yang retak itu saja yang perlu diganti. Reparasi dari struktur yang terbuat
dari bahan komposit belumlah semaju seperti untk struktur yang terbuat dari logam, dan masih perlu
diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam lagi. Mungkin Prof. Mardjono Siswosuwarno bersedia
memberikan komentar mengenai hal ini.
page 46
Investigasi Kecelakaan Pesawat
Hadi Winarto
Struktur yang terbuat dari logam biasanya sangat rawan terhadap korosi atau karatan, khususnya
dimana dua logam yang berbeda, misalnya aluminium dan besi, menempel satu ke yang lain. Bahan
komposit jauh lebih tahan terhadap masalah korosi dibandingkan dengan logam. Tetapi disisi lain
bahan komposit lebih rawan terhadap masalah erosi.
Bahan karbon komposit ternyata rawan terhadap panas dan kelembaban udara, yang dapat mengurangi
kekuatan struktur, apalgi bila struktur tersebut sudah mengalami keretakan mikro, yang kemudian bisa
merambat dengan cepat dan akhirnya patah.
Seorang penyidik, apalagi IIC, sebaiknya memiliki pengetahuan yang luas mengenai bahan2 yang
digunakan untuk membuat pesawat, walaupun dia tak perlu menguasai sepenuhnya ilmu logam dan
ilmu material pada umumnya, tetapi sebaiknya punya cukup pengetahuan untuk bisa berkomunikasi
dengan ahli metalurgi, yang akan dia minta untuk membantunya dalam melakukan penyidikan.
page 47
Download