BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain. Menjalin hubungan dengan orang lain, berinteraksi, serta berkomunikasi menjadi cara bagi manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Wood, 2010). Menangis merupakan salah satu contoh dari bentuk komunikasi yang dilakukan seorang bayi untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya akan rasa lapar dan haus. Seseorang menjalin hubungan dengan orang lain, berbicara, dan mendengarkan orang lain menjadi cara baginya untuk dapat memenuhi kebutuhannya akan rasa cinta. Tidak hanya pada itu saja, tingkatan tertinggi dalam kehidupan manusia yang disebutkan Maslow sebagai kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri tentu tidak terlepas dari bantuan orang lain. Abraham Maslow (dalam Feist & Feist, 2009) memberikan penjelasan bahwa melakukan komunikasi serta berinteraksi dengan orang-orang di sekitar membantu manusia untuk dapat memenuhi lima tingkatan kebutuhan dasar yang dijelaskan olehnya, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan dilindungi, kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan untuk dihargai, serta kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Komunikasi menyediakan ruang bagi manusia untuk dapat mengembangkan diri (Wood, 2010). Sahabat, teman, keluarga, guru, serta orang lain disekitar kehidupan dapat menjadi sumber bantuan bagi manusia untuk dapat mengenal dirinya sehingga aktualisasi diri dapat tercapai dan itu semua diperantarai oleh adanya komunikasi. Komunikasi merupakan proses utama bagi manusia dalam memaknai pengalaman dalam hidup (Craig, 1999; Littlejohn & Foss, 2008). John Stewart (dalam Baxter & Braithwaite, 2008) juga mengungkapkan bahwa komunikasi memberikan bantuan kepada manusia dalam membangun sebuh makna dan realita dalam hidup. Dunia manusia tidaklah 1 2 terbentuk dari kumpulan benda atau objek, melainkan respon manusia terhadap objek dan respon tersebut dinegosiasi melalui komunikasi. Komunikasi juga dapat menjadi sarana bagi manusia untuk dapat mengungkapkan perasaan hati yang terdalam, seperti cinta, kebahagiaan, ataupun kehilangan (Book, dkk., 1980). Melalui komunikasi manusia belajar untuk memahami dirinya, orang lain, dan juga dunianya, oleh karenanya komunikasi merupakan komponen vital dalam mendukung keberlangsungan hidup manusia. Terdapat berbagai bentuk dan cara manusia dalam melakukan komunikasi dengan sesamanya. Bentuk komunikasi antar manusia berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi empat, yaitu komunikasi secara tatap muka (face to face), komunikasi melalui media (mediated), komunikasi verbal (oral dan tulisan), dan komunikasi nonverbal (isyarat dan gambar) (Effendy, 1994). Empat bentuk komunikasi tersebut biasa dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari saat berinteraksi dengan sesamanya. Salah satu bentuk komunikasi yang umum dilakukan manusia ialah komunikasi secara tatap muka. Proses komunikasi tersebut berlangsung secara primer, artinya proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dimediasi oleh lambang sebagai medianya (Effendy, 1994). Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi tatap muka dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, atau warna yang secara langsung mampu menyampaikan serta menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan saat berkomunikasi. Komunikasi yang dilakukan secara tatap muka memudahkan manusia untuk dapat secara langsung menerima dan melihat pesan yang disampaikan. Tanggapan komunikasi dapat segera diketahui dan proses penyampaian umpan balikpun dapat langsung diterima serta diberikan oleh komunikator (Effendy, 1994). Komunikasi secara tatap muka memudahkan terjalinnya interaksi sosial antar manusia, dimana manusia dapat menjalin 3 hubungan serta bertukar informasi secara langsung tanpa memerlukan media sebagai perantaranya. Namun, seiring berkembangnya zaman proses komunikasi yang terjadi antar manusiapun dapat mengalami perubahan. Perkembangan teknologi dan informasi beberapa abad terakhir membawa perubahan yang besar bagi masyarakat. Proses komunikasi yang semula banyak dilakukan secara primer atau tatap muka saja, saat ini juga mengalami pergeseran. Perkembangan tekonologi seperti hadirnya telepon, telegram, fax, komputer, serta alat komunikasi lainnya menjadi salah satu pendukungnya. Jarak dan waktu sudah tidak lagi menjadi penghalang bagi berlangsungnya proses sosial di masayarakat untuk dapat berkomunikasi dan bertukar informasi, terlebih dengan hadirnya sebuah sistem jaringan yang bernama internet. Sejak hadirnya internet pada tahun 1960-an dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini, internet telah memberikan banyak kemudahan bagi manusia. Banyak kebutuhan manusia yang saat ini dapat dipenuhi dengan hadirnya internet, terlebih kebutuhan untuk menjalin komunikasi dan interaksi dengan sesama. Hal tersebut juga memberikan dampak pada penggunaan internet yang terus mengalami peningkatan. Di Indonesia, berdasarkan data riset yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia diketahui bahwa pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan. Terdapat 16 juta pengguna internet pada tahun 2005 dan terdapat 88,1 juta pengguna internet pada tahun 2014 dengan penetrasi sebesar 34.9%. Alasan terbesar masyarakat Indonesia dalam menggunakan internet ialah sebagai sarana sosialisasi dan komunikasi sebanyak 71,7% (APJII, 2015). Media yang paling banyak digunakan untuk mengakses internet ialah telepon genggam sebanyak 85%, laptop atau netbook sebanyak 32%, PC atau komputer sebanyak 14%, dan tablet sebanyak 13%. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa proses komunikasi yang terdapat pada 4 masyarakat saat ini tidak hanya berlangsung secara primer atau tatap muka saja, melainkan juga berlangsung secara sekunder dengan menggunakan media atau alat sebagai perantara dalam berkomunikasi (Effendy, 1994). Komunikasi yang terjalin dengan perantara media tersebut dikenal dengan istilah computer-mediated communication (CMC). Istilah computer-mediated communication (CMC) muncul sejak tahun 1960-an saat komputer elektronik digital mulai ditemukan (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004). Momen tersebut membuat masyarakat mulai menjalin komunikasi melalui media komputer. Perkembangan komputer yang semakin pesat pada pertengahan tahun 1990-an memunculkan ketertarikan akademisi untuk mengetahui bagaimana manusia berinteraksi dan berkomunikasi melalui media komputer. Komputer yang kemudian mengalami perkembangan menjadi sebuah media yang lebih personal (terutama saat muncul e-mail, chat, dan web) menyebabkan penggunaan CMC semakin bertambah dan hal tersebut memunculkan banyaknya penelitian yang berkaitan dengan CMC. Computer-mediated communication (CMC) didefinisikan sebagai sebuah sistem pesan dan pertemuan elektronik yang dilengkapi dengan penghubung audio dan juga video (Derks, Fischer, & Bos, 2008), yang dapat tersinkronasi (seperti chat) atupun tidak (seperti email) dan pesannya sebagian besar berupa ketikan (Adrianson, 2001; Derks, Fischer, & Bos, 2008). Perkembangan CMC dari tahun ke tahun membuatnya dapat menjadi sebuah media yang terkoneksi dengan internet, sehingga manfaat pengunaannya pun semakin bertambah. Sejak tahun 1990-an dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, internet memegang peran tersendiri, khususnya bagi kehidupan anak-anak generasi Z (Turner, 2015). Anak-anak generasi Z merupakan anak yang lahir pada era tahun 1990-an sampai akhir tahun 2010 yang sudah terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan kecanggihan teknologi, 5 seperti tablet, smartphone, media sosial, atau televisi layar datar yang selalu terhubung dengan dunia luar sepanjang waktu (Turner, 2015). Dampak dari perkembangan teknologi tersebut pun membuat anak-anak pada generasi Z terbiasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara tidak langsung melalui media. Anak-anak generasi Z juga memiliki sebuah ikatan digital (digital bond) dengan internet yang membuat mereka terikat secara emosional dengannya. Sebuah penelitian menemukan bahwa lebih dari 90% partisipan merasa lebih sedih jika mendapatkan hukuman tidak diperbolehkan untuk mengakses internet dibandingkan tidak menerima uang jajan (Palley, 2012). Bagi anak-anak generasi Z, smartphone merupakan sarana hiburan yang memiliki makna “segalanya” bagi mereka (Palley, 2012). Salah satu bentuk CMC yang saat ini populer dan banyak digunakan pada smartphone ialah instant messaging (seperti Yahoo messanger, Google Talk, Facebook, Whats app, Line, dll) dimana hadirnya aplikasi tersebut memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk terlibat dalam percakapan secara langsung waktu itu juga dengan seseorang, beberapa orang, atau bahkan dalam sebuah kelompok percakapan (Garrison, Remley, Thomasa, & Wierszewski, 2011). Kemudahan yang diberikan dengan adanya instant messaging kini membuat masyarakat banyak menggunakannya sebagai media untuk bertukar informasi dan berkomunikasi. Saat ini, instant messaging sudah menjadi bagian dari media komunikasi sehari-hari, seperti membantu dalam komunikasi pekerjaan, pertukaran informasi pada keluarga, mempermudah arus informasi tugas bagi para siswa, dan masih banyak pertukaran sosial lainnya, tetapi disisi lain CMC sering diasumsikan kurang sosial dikarenakan kurangnya isyarat sosial (Kiesler, Siegel, & McGuire, 1984). 6 Deficit Approach memuat tiga model kelemahan yang terdapat saat berkomunikasi melalui CMC, khususnya pada komunikasi CMC yang berbasis tulisan. Pendekatan tersebut menyebutkan bahwa CMC memiliki keterbatasan kualitas komunikasi dibandingkan dengan komunikasi secara tatap muka, yang pertama ialah kehadiran sosial (social presence), yang kedua minimnya isyarat (cuelessness), dan terakhir ialah kekayaan media (media richness) (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004). Pertama, Social presence model menjelaskan bahwa komunikasi melalui CMC memiliki keterbatasan untuk dapat berkomunikasi secara interpersonal, kurang melibatkan keintiman, serta minimnya isyarat visual seperti ekspresi wajah, sikap tubuh, dan kontak mata. Kedua, cuelessness model menjelaskan bahwa CMC menyebabkan ketiadaan seluruh isyarat nonverbal (seperti: sikap tubuh, ekspresi wajah, nada suara, penampilan) dan identitas (seperti: status, usia, dan gender), dimana hal tersebut penting dalam mengkomunikasikan jarak sosial dan memberikan informasi emosi saat berkomunikasi. Terakhir adalah media richness model yang memberikan penjelasan bahwa seseorang akan cenderung menggunakan media yang lebih kaya untuk mendapatkan informasi secara efektif dan efisien untuk memahami sesamanya, dan komunikasi melalui CMC khususnya yang berbasis tekstual memiliki keterbatasan untuk memfasilitasi interaksi yang melibatkan komponen emosi yang kompleks (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004). Hal diatas memaparkan bahwa perbedaan nyata antara komponen komunikasi secara tatap muka dengan CMC ialah keterbatasan penyampaian komponen nonverbal, padahal komponen tersebut ialah salah satu komponen terpenting dalam penyampaian pesan. Ketiadaannya khususnya dalam interaksi tekstual dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman emosi secara lebih mudah (Kato, Kato, & Akahori, 2007). Jika hal tersebut dibiarkan begitu saja maka kesalahpahaman yang terjadi dapat membuat perasaan emosi yang tidak enak dan buruknya dapat merusak sebuah hubungan yang sudah terjalin. 7 Pada komunikasi tatap muka, kesalahpahaman penyampaian pesan dapat diminimalisir karena adanya lingkungan fisik serta isyarat nonverbal yang ditunjukkan, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada komunikasi CMC. Absensi dari komunikasi nonverbal (Krohn, 2004), rendahnya kehadiran sosial, serta adanya jarak secara psikologis yang terbentuk (Rice & Love, 1987) dirasakan sebagai kekurangan dari CMC, karena manusia bergantung pada elemen-elemen nonverbal untuk menginterpretasi makna. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa rendahnya pancaran isyarat emosional antara pengirim dan penerima pesan melalui e-mail dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman saat mengirimkan pesan melalui media e-mail (Kato, Kato, & Akahori, 2007). Hal tersebut menjelaskan bahwa kehadiran emosi menjadi hal yang penting dalam menjalin komunikasi, tidak hanya secara tatap muka saja, namun juga saat berkomunikasi melalui media lainnya. Penelitian lain mengungkapkan bahwa ternyata terdapat celah perbedaan dari hasil laporan diri (self report) kondisi emosi antara penerima dan pengirim pesan melalui media e-mail (Kato, Sugimura, & Akahori, 2001). Kato & Akahori (2004) juga melakukan penelitian dengan membandingkan ketepatan seseorang dalam menilai kondisi emosi orang lain saat berkomunikasi secara tatap muka dan melalui CMC. Hasil menemukan bahwa seseorang kurang tepat dalam menilai kondisi emosi orang lain saat berkomunikasi melalui e-mail, ada kecenderungan salah dalam menilai kondisi emosi negatif dari pasangan menjadi sebuah kondisi emosi permusuhan saat berkomunikasi melalui e-mail (Kato & Akahori, 2004). Melihat pada hal tersebut, maka kehadiran isyarat nonverbal menjadi komponen yang penting dalam mendukung terjalinnya komunikasi yang baik serta efektif saat berkomunikasi melalui CMC. Menjawab ketiadaan isyarat nonverbal pada komunikasi melalui CMC beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat suatu simbol yang dapat mewakili isyarat nonverbal pada komunikasi CMC yang dikenal dengan sebutan emoticon. Emoticon yang merupakan 8 singkatan dari emotion icon didefinisikan sebagai sebuah grafik yang merepresentasikan ekspresi wajah yang menempel pada pesan elektronik (Walther & D’ Addario, 2001; Tossell, Kortum, Shepard, Walkow, Rahmati, & Zhong, 2012) yang didalamnya sering digunakan tanda baca dan huruf untuk membuat beberapa ekspresi, seperti senang, sedih, marah, atau takut. Berbagai bentuk dan jenis emoticon pada era kini pun sudah semakin banyak ditemukan diberbagai media sosial ataupun layanan instant messaging. Tidak hanya tersusun dari beberapa tanda baca yang membentuk wajah orang tersenyum “:)“ atau sedih saja “:(“ seperti pada awal perkembangannya, saat ini berbagai bentuk emoticon pun dihadirkan oleh penyedia layanan instant message atau sosial media bagi para penggunanya. Pada layanan instant messaging seperti whatsapp, yahoo messanger, blackberry messanger pengguna disajikan pada banyak pilihan emoticon yang menggambarkan beberapa ekspresi wajah manusia yang dapat mereka gunakan saat chatting pada layanan tersebut. Layanan instant messaging lain seperti LINE bahkan memiliki layanan stiker (serupa dengan emoticon) yang berbentuk wajah asli manusia yang dapat bergerak dan mengeluarkan suara. Perkembangan CMC serta emoticon yang semakin pesat beberapa tahun terakhir menyebabkan banyaknya penelitian yang membahas mengenai keduanya. Sebuah penelitian mengenai emoticon yang dilakukan pada 105 siswa di Belanda menunjukkan bahwa emoticon memiliki dampak pada penginterpretasian pesan. Emoticon berguna untuk menguatkan pesan verbal yang disampaikan melalui CMC, tetapi kehadirannya juga memungkinkan untuk dapat membuat ambiguitas ataupun sindiran. Secara keseluruhan peneliti mengungkapkan bahwa emoticon menyediakan fungsi yang sama seperti perilaku nonverbal saat berkomunikasi secara tatap muka (Derks, Bos, & Grumbkow, 2007). Penggunaan emoticon juga dapat membuat seseorang menjadi lebih ekspresif dan hal 9 tersebut dapat membuat hubungan yang lebih interpersonal saat berkomunikasi melalui CMC (Walther & D'addario, 2001). Penelitian lain mengenai emoticon mengungkapkan bahwa emoticon dalam CMC dapat digunakan sebagai alat pencegah untuk menghindari kemarahan pasangan atau penerima pesan, pemilihan untuk menggunakan emoticon berhubungan positif dengan kondisi emosi yang dirasakan pada saat pesan dibuat, dan ternyata terdapat tendensi penuruan penggunaan emoticon saat seseorang mengalami emosi yang sangat kuat (Kato, Kato, & Scott, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Kang Lo (2008) mengungkankan bahwa terdapat perbedaan antara pesan yang menggunakan dan tidak menggunakan emoticon. Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa emoticon membantu penerima pesan untuk memahami secara lebih benar level dan arah dari ekspresi emosi, sikap, dan perhatian. Sebuah studi pendahuluan yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka kepada 73 responden mahasiswa yang aktif menggunakan instant messaging diketahui bahwa sebanyak 54.9% responden menggunakan emoticon untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi melalui instant messaging supaya pesan yang diberikan tidak menyinggung lawan bicara. Sebanyak 29.41% berbahasa dengan baik, 3.92% dengan memberikan sapaan, 1.96% menggunakan tanda baca yang sesuai, dan sebesar 1.96% merespon dengan cepat. Motif seseorang dalam menggunakan emoticon pun beragam, diantaranya untuk menguatkan pesan yang disampaikan, mengekspresikan emosi, meletakkan sebuah perspektif, dan untuk meregulasi interaksi (Derks, Bos, & Grumbkow, 2007). Disisi lain, bentuk emoticon pun memiliki makna yang ambigu (Derks, Bos, & Grumbkow, 2007). Terdapat beberapa pengirim pesan yang menginterpretasikan bentuk emoticon kurang sesuai dengan ekspresi yang ditampilkan. Sebuah perusahaan penerjemah 10 online terbesar di dunia melakukan tes untuk mengetahui keuniversalan dari bentuk emoticon yang terdapat dalam layanan instant messaging dan didapatkan hasil yang cukup menarik. Sebuah bentuk emoticon yang menunjukkan ekspresi wajah terdiam, diinterpretasi secara salah sebagai sebuah ungkapan “Tidak sama sekali!” atau “Terkejut”, bentuk emoticon lainnya yang menunjukkan bentuk perempuan menyilangkan tangannya yang memiliki arti “menjauh dari saya” diinterpretasikan sebagai sebuah ungkapan “jangan bermain-main dengan saya” “berhenti sekarang atau bahkan sebagai sebuah bentuk jurus dalam kungfu (Griffiths, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa emoticon yang ada dapat diinterpretasikan secara berbeda dan kurang menunjukkan keuniversalannya. Penelitian lain juga menemukan bahwa penggunaan emoticon ternyata dapat pula menyebabkan ambiguitas serta sindiran pada pesan, terutama jika emoticon yang digunakan tidak sesuai dengan pesan verbal yang disampikan saat berkomunikasi (Derks, Bos, & Grumbkow, 2007). Pesan negatif yang dipasangkan dengan emoticon tersenyum dirasa lebih ambigu dan mengandung sindiran dibandingkan dengan pesan negatif dan positif tanpa adanya emoticon. Begitu pula dengan pesan positif yang dipasangkan dengan emoticon wajah yang sedang mengerutkan dahi dirasa lebih amibigu dan mengandung sindiran dibandingkan dengan pesan positif dan negatif tanpa adanya emoticon (Derks, Bos, & Grumbkow, 2007). Wawancara juga dilakukan oleh peneliti kepada dua narasumber yang aktif menggunakan layanan instant messaging dalam berkomunikasi sehari-hari untuk mengetahui emoticon yang digunakan dalam konteks situasi tertentu. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa terkadang emoticon yang digunakan memang tidak sesuai dengan kondisi emosi yang dirasakan, sebagaimana yang diungkapkan oleh narasumber 1, yaitu: “Hmm…..jadi emoticon itu bisa buat nyembunyiin perasaan. Jadi bisa pura-pura seneng atau happy. Kadang lagi banyak masalah tapi pake 11 emoticon yang ngga sesuai sama yang dirasain, lagi sedih tapi pake emoticon yang ada senyumnya” (narasumber 1, 2016) Narasumber kedua juga mengungkapkan hal yang serupa, yaitu: “Emoticon itu bisa dipake buat mencairkan suasana, biar ga spaneng chatnya, juga bisa buat mendramatisir dan lucu-lucuan. Misalnya aja ibuku bilang kalo gamau transfer uang jajan, terus aku kirim emoticon wajah orang marah banyak banget, padahal yang sebenernya dirasain ya ga kaya gitu” (narasumber 2, 2016) Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang terkadang menggunakan emoticon yang tidak sesuai dengan kondisi emosi yang sebenarnya. Emoticon terkadang digunakan untuk menutupi perasaan yang sebenarnya atau sebagai sarana hiburan dalam percakapan tekstual. Penelitian yang dilakukan oleh Kato, Kato, & Scott (2009) juga mengugkapkan bahwa ternyata penggunaan emoticon tidak hanya berhubungan dengan kondisi emosi yang dirasakan saja, namun juga berhubungan dengan kondisi emosi lainnya. Seperti misalnya, saat seseorang berada dalam kondisi emosi sedih ia akan menggunakan emoticon yang menunjukkan ekpresi wajah sedih dan juga ekspresi wajah marah, begitu pula saat seseorang berada dalam kondisi emosi marah emoticon yang digunakan tidak hanya emoticon yang menunjukkan ekspresi marah, namun juga emoticon yang menunjukkan ekspresi sedih (Kato, Kato, & Scott, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengirim pesan menggunakan emoticon tidak hanya berdasarkan pada konsisi emosi yang sesuai saja dengan ekspresi emoticonnya saja, namun juga dapat dapat digunakan dalam koteks kondisi emosi yang lainnya. Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa kehadiran emoticon sebagai pengganti isyarat nonverbal dalam komunikasi berbasis tekstual sangatlah penting. Banyak pengguna yang menggantungkan ketersampaian emosi melalui emoticon untuk menghindari kesalahpahaman, namun ditemui bahwa emoticon juga dapat digunakan dalam kondisi emosi yang berbeda dengan bentuk atau ekspresinya. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mencari tahu apakah kondisi emosi yang dirasakan dalam hal ini kondisi emosi 12 senang, sedih, dan marah dapat mempengaruhi ketepatan seseorang dalam menggunakan emoticon saat berkomunikasi melalui instant messaging B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah kondisi emosi yang dirasakan dalam hal ini kondisi emosi senang, sedih, dan marah dapat mempengaruhi ketepatan seseorang dalam menggunakan emoticon saat berkomunikasi melalui instant messaging. 2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan ketepatan antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan emoticon saat berkomunikasi melalui instant messaging. C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis manfaat penelitian yang akan dilakukan adalah menambah khasanah ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam bidang psikologi komunikasi dan emosi karena literatur dan pembahasan mengenai emoticon dan CMC masih sedikit dibahas dalam ranah nasional maupun internasional. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu sebagai salah satu saran alternatif bagi masyarakat yang saat ini banyak menggunakan media CMC berbasis tekstual berupa instant messaging dalam membangun komunikasi yang baik. Memberikan alternatif saran dalam upaya menghindari adanya kesalahpahaman dalam menyampaikan atau menerima pesan melalui instant messaging yang diketahui sangat minim akan isyarat nonverbal yang penting dalam mendukung ketersampaian pesan.