use style: paper title

advertisement
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
PANDANGAN PENGURUS PARTAI GOLKAR TERHADAP PANCASILA SEBAGAI LANDASAN
ETIKA POLITIK (STUDI DPD GOLKAR JAWA TIMUR)
Muhlis
11040254059 (S1 PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya) [email protected]
Agus Satmoko Adi
0016087208 (S1 PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui Pandangan Pengurus Partai Golkar tentang Pancasila
sebagai Landasan Etika Politik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Data yang digunakan diperoleh melalui teknik wawancara dan dokumentasi dan data
dianalisis menggunakan reduksi data, penyajian data dan verifikasi data. Hasil penelitian
membuktikan bahwa selain sebagai legal formal dan legal moral, Pengurus Partai Golkar
berpandangan bahwa etika Politik yang berlandaskan Pancasila meliputi. Pertama, perilaku
berdasarkan hukum dan Moral. Kedua, Musyawarah. Ketiga, Gotong royong yang bertanggung jawab.
Kata Kunci: Etika politik, Pancasila, Partai Golkar
Abstract
This study aims at examining the view of Golkar Party management on Pancasila as the platform of
political ethics. This study employs qualitative method with phenomenological approach. The data
used are obtained through interviews and documentation techniques. The data are then analyzed using
data reduction, data presentation and data verification. The result of the study shows that in addition to
be a formal legal and moral legal, Golkar Party management assumes that political ethics which is
based on Pancasila covers three aspects such as: law-based and moral-based behavior, deliberation
and responsible mutual cooperation.
Keywords: Political Ethics, Pancasila, Golkar Party
telah memilih Pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Sebab
Pancasila adalah warisan jenius Nusantara, yang sesuai
dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri
lautan yang ditaburi pulau-pulau (Latief, 2011:2).
Pancasila sebagai dasar negara memiliki pengertian
bahwa Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma
untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata
lain Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang
meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum,
sehingga merupakan sumber nilai norma serta kaidah
baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945) atau yang tidak tertulis
(Konvensi). Dalam kedudukannya sebagai dasar negara,
Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum
(Kaelan, 2010:110) . Sehingga kedudukan Pancasila
sebagai dasar negara merupakan sumber semangat bagi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945), bagi penyelenggara negara, para
pelaksana pemerintah juga para penyelenggara partai
politik dan golongan fungsional. Singkatnya Pancasila
harus menjadi acuan dalam berbangsa dan bernegara.
PENDAHULUAN
Suatu bangsa mutlak harus memiliki pandangan hidup
yang secara rasional diakui benar dan sah, karena bila
tidak demikian maka bangsa tersebut akan terpecah belah
menjadi sejumlah golongan sesuai dengan jumlah
pandangan hidup yang timbul di bangsa itu. Setiap
bentuk penyelewengan atau penyimpangan pasti
dilandasi oleh pandangan hidup tertentu, yang berbeda
dari pandangan hidup yang secara nasional diakui benar
dan sah yang tertuang dalam konstitusi negara. Dengan
demikian, apabila ada perorangan atau golongan berusaha
mengembangkan pandangan hidup lain dan berbeda dari
pandangan hidup yang benar dan sah tersebut, sadar atau
tidak pasti akan terjadi sebuah penyimpangan.
Suatu bangsa dapat hidup dan berkembang dengan
integritas dan kepribadian yang kuat apabila memiliki
suatu pandangan hidup yang dimengerti, dihayati, dan
diamalkan dalam hidup sehari-hari oleh seluruh
warganya (Darji, 1979:103). Sebagai suatu bangsa yang
sudah menyatakan merdeka dari belenggu penjajahan
bangsa asing pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
693
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
Pancasila sebagai pandangan hidup pada dasarnya
merupakan suatu sarana untuk mencapai cita-cita, dan
bukan Pancasila yang menjadi tujuan. Cita-cita atau
tujuan yang ingin dicapai dengan Pancasila adalah untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, atau
secara umum untuk mensejahterakan manusia, karena
manusialah yang ber-Pancasila dan sebagai pendukung
Pancasila (Noor, 1997:88). Pandangan hidup Pancasila
juga merupakan kepribadian bangsa yang inti mutlaknya
adalah sebagai kepribadian manusia, karena keTuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
merupakan sifat dan hakikat manusia (Noor, 1997:88).
Ini memiliki arti bahwa kepribadian bangsa atau
kepribadian kebangsaan merupakan wujud konkrit yang
bersifat umum kolektif dari kepribadian manusia atau
kepribadian kemanusiaan yang bersifat abstrak umum
universal.
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup memiliki konsekuensi bahwa segala bidang
kehidupan berbangsa dan
bernegara (baik hukum,
ekonomi, politik dan keamanan) harus mengandung nilainilai Pancasila. Dibidang hukum misalnya; Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
merupakan sistem hukum Indonesia yang memberikan
arah dan jiwa serta menjadi paradigma norma-norma
dalam pasal-pasal UUD 1945. Interpretasi norma hukum
dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi akan
didasarkan pada jiwa bangsa dalam Pancasila yang
berfungsi sebagai cita hukum yang akan menjadi dasar
dan sumber pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa
yang menjadi pedoman dalam pembentukan undangundang dan peraturan lain yang lebih rendah. Cita hukum
dan falsafah hidup serta moralitas bangsa yang menjadi
sumber segala sumber hukum negara akan menjadi satu
fungsi krisis dalam menilai kebijakan hukum (legal
Policy) atau dapat dipergunakan sebagai paradigma yang
menjadi landasan pembuatan kebijakan (policy making)
dibidang hukum dan perundang-undangan maupun
bidang sosial, ekonomi, dan politik (Siahaan:2008;592).
Dalam bidang politik, Pancasila idealnya dapat
dijadikan pedoman atau etika dasar dalam setiap
alternatif-alternatif penentuan tujuan. Pancasila sebagai
dasar negara memiliki kekayaan pemikiran yang mampu
menjernihkan setiap penentuan tujuan serta bagaimana
cara tujuan itu dapat dicapai dan dipertahankan.
Harapannya, setelah politik dijalankan dengan landasan
pancasila apa yang menjadi tujuan bangsa merdeka yakni
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
tercapai.
Menurut Magnis (Kaelan, 2010:101), di dalam
pelaksanaan dan penyelengaraan negara, etika politik
menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai
dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum) yaitu
dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2)
disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi
demokratis) dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (Prinsip
Moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki
tiga dasar tersebut dan prinsip-prinsip dasar etika politik
itu dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan
senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara
ketiganya.
Namun, tidak sedikit politik yang dijalankan di
Indonesia adalah politik yang tidak berlandaskan
Pancasila, setidaknya itu dapat dilihat dari banyaknya
kasus korupsi yang menjerat para politisi dan pejabat
negeri ini. Data Dirjen Otonomi Daerah Kementerian
Dalam Negeri menyebutkan bahwa rentang 2005 hinga
Agustus 2014 terdapat 3.169 anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) terlibat kasus korupsi baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Tidak
heran jika kepuasan masyarakat terhadap DPR dan Partai
Politik sangat rendah. Setidaknya hal itu dibuktikan oleh
lembaga survei Poltracking Indonesia. Menurut survei
yang dilakukan pada Mei 2015 menyebutkan bahwa
hanya sebanyak 23,8 persen responden menyatakan puas.
Sedangkan, 66, 5 persen menyatakan tidak puas. Selain
itu, sebanyak 9,7 persen menyatakan tidak tahu.
Kemudian, berdasarkan kinerja partai politik, sebanyak
63,5 persen responden menyatakan tidak puas. Hanya
sebanyak 23,1 persen yang menyatakan puas. Ada pun
12,5 persen responden menyatakan tidak tahu.
Perilaku korup para wakil rakyat seperti yang
ditujukkan data di atas tak pelak menimbulkan asumsi di
kalangan masyarakat bahwa politik tak lebih dari caracara busuk yang dipakai oleh seseorang untuk merampas
hak-hak orang lain demi kepentingan kelompok (partai
politik). Janji-janji manis yang sering dilontarkan pada
saat kampanye pemilu juga jarang atau bahkan tidak ada
yang terealisasi. Meminjam istilah Mahfud MD,
demagog.
Namun, disetujui atau tidak. lembaga Eksekutif dan
Yudikatif banyak dipimpin oleh orang-orang yang
berasal dari partai politik. Lembaga Yudikatif seperti
Jaksa Agung saat ini dijabat Oleh H.M Prasetyo (kader
Partai Nasdem), Mahkamah Konstitusi pernah dipimpin
Oleh Mahfud MD (kader PKB) dan Hamdan Zoelva
(Kader PBB). Bahkan Presiden beserta para
menterinyapun berasal dari Partai Politik.
Banyaknya kasus korupsi yang menjerat kader
partai politik menimbulkan sejumlah pertanyaan,
Sudahkah Partai Politik menjadikan Pancasila sebagai
landasan etika berpolitiknya? Lalu bagaimana meraka
melakukan semuanya? Sebab Pancasila merupakan
sumber moralitas utama dalam penyelenggaraan negara.
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu
Infrastruktur sistem politik Indonesia juga memiliki peran
besar dalam mempertahankan eksistensi Pancasila
sebagai landasan etika dalam berpolitik. Golongan Karya
(Golkar) yang semula dicetuskan oleh Soekarno
diharapkan dapat menyatukan berbagai golongan
fungsionil dan bersatupadu melawan kehadiran Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu tengah
gencar melakukan pergerakan untuk mengubah ideologi
Pancasila menjadi Ideologi Komunis. Boileau (1983:25)
menuliskan bahwa Golkar (Golongan Fungsionil
/Functional Groups) mempunyai sejarah panjang dalam
kehidupan perpolitikan Indonesia. Bahkan mereka lahir
secara alamiah sebelum Indonesia merdeka pada 17
Agustus 1945. Lebih lanjut David Reeve (2013:xiii-xviii)
menyebutkan bahwa Golkar lahir dari gagasan-gagasan
para pendiri bangsa. Jika benar Golkar lahir dari akar
pemikiran pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Ki
Hajar Dewantara dan Soepomo bukankah keberadaan
Golkar diharapkan dapat mempertahankan eksistensi
Pancasila?
Pada awal kelahirannya Golkar memang sempat
menjadi alternatif baru selain Partai politik Untuk
berkuasa namun pada masa berikutnya Golkar tak lebih
dari sekedar kendaraan politik Orde Baru untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto. Hingga pada
akhirnya Orde Baru tumbang pada 1998 dan pada saat itu
pula Golkar berada pada masa kritis, hampir bubar.
Namun, dengan semboyan ‘Golkar Baru” Akbar
Tandjung berhasil menyelamatkan Golkar dari
kepunahan, maka jadilah Golkar sebagai Partai Politik
yang siap bersaing dengan partai-partai lain. Meski
terlahir kembali dengan paradigma baru, partai Golkar
sempat menerima resistensi dari berbagai pihak termasuk
tuntutan dari berbagai pergerakan mahasiswa agar Partai
Golkar membubarkan diri, menurut mereka Golkar
bertanggung Jawab atas kehancuran Negara, tumbuh dan
suburnya KKN.
Pasca deklarasi kelahiran Partai Golkar, ada banyak
perubahan yang terjadi termasuk AD/ART dan visi-misi
organisasi. Salah satu visi partai Golkar adalah
menegakkan, mengamalkan, dan mempertahankan
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa demi
untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Visi ini paling tidak menunjukkan sebuah
komitmen yang kuat dari Partai Golkar untuk
mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang
dicetuskan oleh Bapak Pendiri bangsa yang berdasar
Pancasila
Partai Golkar juga memiliki platform. Platform
yang dimaksudkan di sini adalah landasan tempat
berpijak, yaitu wawasan-wawasan yang menjadi acuan
dan arah dari mana dan ke mana perjuangan Partai
Golkar hendak menuju. Partai Golkar berpijak pada
landasan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Sejarah
mencatat,
dalam
sepuluh
kali
penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) Partai Golkar
selalu mendapatkan suara yang signifikan
Tabel 1: Perolehan suara Golkar (sumber:Jawa
Pos/21 September 2015)
Pemilu
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
2004
2009
2014
Persentase
Suara
66,55 %
64,44 %
67,22 %
74,57 %
70,50 %
74,67 %
25,97 %
23,27 %
19,11 %
16,3 %
Kursi
DPR
360
232
242
299
282
325
153
128
107
91
Peringkat
1
1
1
1
1
1
2
1
2
2
Beberapa fakta di atas setidaknya menunjukkan
bahwa Partai Golkar selalu menjadi pilihan rakyat
Indonesia. Bahkan jika dibandingkan dengan partai
politik lain partai Golkar relatif lebih stabil dalam
perolehan suara disetiap pelaksanaan Pemilu. Namun,
partai Golkar sebagai partai yang menjadikan Pancasila
sebagai alat dan nilai perjuangan, juga partai dengan
perolehan suara pada pemilu yang selalu di posisi 2
(dua) besar, partai golkar juga tidak lepas dari kasus
korupsi. Setidaknya sumber Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa selama 2005-2013
partai Golkar sebagai partai yang memiliki kader
terbanyak yang tersangkut kasus korupsi dan telah
mendapatkan putusan dari pengadilan. Terdapat 40 kader
GOLKAR terlibat korup, diikuti PDI-P 27, DEMOKRAT
17, PAN 8, PPP 8, PKB 2, GERINDRA 2, PKS 1, PBR
2, PKPI 1, PBB 2
Setahun belakangan Partai Golkar juga tengah
dirundung kasus dualisme kepengurusan antara Abu
Rizal Bakrie dengan Agung Laksono. Berawal dari
kericuhan saat rapat pleno penentuan waktu pelaksanaan
Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar , Partai
Golkar lalu terbelah dua. Kubu pertama yang digawangi
oleh Abu Rizal Bakrie menyelenggarakn Munas IX Partai
Golkar di Bali pada 30 November – 4 Desember 2014
dan menetapkan Abu Rizal Bakrie sebagai Ketua Umum
Serta Idrus Marhan sebagai sekretaris Umum. Sementara
kubu kedua menggelar Munas IX Partai Golkar pada 6-8
695
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
Desember 2014 di Jakarta dan menetapkan Agung
Laksono sebagai Ketua Umum dan Zainuddin Amali
sebagai Sekretaris Jenderal. Dualisme kepengurusan ini
tidak hanya memecah elit Partai Golkar menjadi dua
namun berefek pada kader partai Golkar di daerahdaerah. Kasus dualisme partai Golkar ini dianggap
berakhir di putusan Mahkamah Agung (MA) yang
memenangkan kubu Abu Rizal Bakrie. Kasus dualisme
ini tak pelak semakin memperburuk citra Partai Golkar
dan dianggap tidak mengedapankan etika politik dalam
penyelesainnya.
Perlu dicari tahu seberapa jauh Pancasila terpatri
dalam sanubari para pengurus atau kader partai Golkar,
sehingga Pancasila sungguh-sungguh diaplikasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu dapat
dipantau dari sejauh mana para pengurus atau kader
Partai Golkar meyakini kebenaran Pancasila melalui
perbuatan dan perkataan. Singkatnya, perlu ditakar
pengetahuan para kader partai Golkar tentang Pancasila
baik melalui pandangan-pandangan ataupun pendapatpendapat yang dapat dibandingkan dengan kehidupan
nyata mereka. Sebab, pandangan dapat mengubah sikap
seseorang dan merupakan ranah yang berkaitan dengan
pengetahuan dan keyakinan. Keduanya secara bersamaan
maupun bergantian akan menciptakan sebuah kondisi
yang mampu memberikan gambaran kepada seseorang
tentang sebuah obyek tertentu.
Pandangan adalah sesuatu yang berbeda dengan
persepsi. Pandangan lahir setelah seseorang menemukan
persepsinya dari berbagai pengalaman yang dialami oleh
pancainderanya. Atau dengan kata lain pandangan
merupakan proses akhir yang dialami manusia dalam
kegiatan berpikir. Bila dibandingkan dengan persepsi,
pandangan juga cenderung lebih obyektif dalam
memandang sebuah obyek. Dalam kaitannya pangurus
Partai Golkar dan Pancasila sebagai landasan Etika
politik persepsi telah mengambil ruang pada diskursus
haruskah Pancasila dijadikan asas dalam perjuangan
Partai Golkar? Dan hal ini sudah menemukan asumsinya.
Sementara Pandangan merupakan dialektika atau dilema
moral yang dialami oleh masing-masing pengurus
tentang keharusan mengamalkan Pancasila atau tidak.
Dan dialektika itu yang memunculkan sebuah tindakan
yang berdasarkan Pancasila atau tidak.
Maka, kaitannya dengan berbagai kasus korupsi
dan dualisme partai Golkar. Pandangan pengurus partai
Golkar terhadap pancasila sebagai Landasan Etika Politik
merupakan anasir unik untuk dikaji. Sebab Pandangan
seseorang merupakan pintu terakhir sebelum ia
melakukan sebuah tindakan tertentu.
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos. Dalam
bentuk tunggal memiliki arti; tempat tinggal yang biasa;
padang rumput, kandang habitat; kebiasaan;adat;akhlak;
watak; perasaan; sikap dan cara berpikir, (Bertens, 2011:
4). Dalam bentuk jamak (ta etha) yang artinya adalah
adat kebiasaan. Secara terminologi, etika menurut Franz
Magnis Suseno adalah filsafat mengenai bidang mora.
Etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai
pendapat-pendapat, norma dan istilah moral. Dalam arti
luas sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui
sebagaimana
manusia
seharusnya
menjalankan
kehidupannya. Etika juga didefinisikan sebagai ilmu yang
membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh
berkaitan dengan moralitas (Bertenz,2011:17)
Politik dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata
“politicos” yang artinya kepunyaan negara. Politik
merupakan kegiatan yang dilakukan dalam suatu sistem
politik yang disebut negara, karena pada dasarnya
membicarakan politik adalah membicarakan negara
(Kencana, 1997:19). Banyak ilmuwan politik yang risau
dengan pengertian liar politik. Tak sedikit di antara
mereka yang menganggap bahwa mengartikan politik
sebagai usaha kotor dan jahat untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan merupakan perilaku yang
menjauhi politik. Ranciere salah satunya, dia berusaha
mengenalkan politik sebagai usaha untuk “ikut
mengambil peranan” dalam kehidupan bersama.
Menurutnya usaha untuk “ikut mengambil peranan ini
merupakan turunan dari aksioma kesetaraan. Bahwa pada
dasarnya manusia itu adalah setara, dan kesetaraannya
adalah setiap manusia mampu berpikir (Hardiman dkk,
2011:xiii). Hal ini diperkuat oleh Hannah Arendt dalam
Heywood (2013:11) bahwa politik merupakan bentuk
aktivitas manusia yang paling peting karena ia
melibatkan interaksi antara para warga yang merdeka dan
setara.
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi
politik kehidupan manusia. Dalam pengertian luas etika
politik mengandung standar-standar nilai yang diperoleh
dari nilai-nilai kemanusiaan untuk dijadikan kerangka
acuan teoritik dalam mempersoalkan dan menjelaskan
legitimasi politik dan budaya politik yang ada dan
berlaku pada suatu masyarakat. Maka, etika politik
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban sebagai
manusia, bukan hanya sebagai warga terhadap negara,
hukum yang berlaku dan lain sebagainya (Magnis,
2003:13)
Pancasila merupakan sistem etika dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Sebagai sebuah sistem, semua susunan
Pancasila merupakan kesatuan utuh yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Masing-masing nilai
yang terkandung dalam Pancasila memiliki bobot nilai
yang berbeda namun saling menjiwai dan dijiwai.
Pengertian Pancasila sebagai suatu sistem artinya sila-sila
Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh demikian
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
juga makna yang terkandung di dalamnya. Nilai sila
pertama menjiwai nilai sila lainnya dan masing-masing
sila saling mengkualifikasikan dengan sila lain
(Widisuseno, 2007:41).
Partai Golongan Karya atau yang lebih sering
disebut dengan Partai Golkar adalah salah satu Partai
politik yang ada di Indonesia. Partai Golkar dipercayai
lahir bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia. Sebab
pada awalnya Partai Golkar merupakan ide dan gagasangagasan dari Ir. Soekarno. Secara historis perkembangan
Partai Golkar dapat dibagi ke dalam empat tahap
(Reeve:xiv). Pertama, tahap embrio dari golongan
fungsionil non-afiliatif yang tergabung dalam Front
Nasional yang berada dalam wadah Sekber Golkar (19571964). Kedua, tahap metamorphose dari Sekber Golkar
menjadi Golkar pada masa Orde Baru (1965-1970).
ketiga, tahap sebagai mesin politik Orde Baru hingga
masa kejatuhannya pada tahun 1998 (1971 -1998). Dan
tahap keempat, tahap Golkar menjadi Partai Golkar
(1999).
grounded research. Dalam penelitian ini digunakan
metode kualitatif dengan format deskriptif, yaitu
penelitian yang memberi gambaran secara cermat
mengenai individu atau kelompok tertentu tentang
keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat,
1993:89).
Metode kualitatif deskriptif merupakan metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek,
suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau sesuatu pada
masa sekarang (Nazir, 1988: 63). Tujuan dari penelitian
kualitatif deskriptif ialah untuk membuat deskriptif
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang terjadi.
Dalam penelitian ini akan digambarkan bagaimana
pandangan-pandangan pengurus DPD Partai Golkar Jawa
Timur tentang Pancasila sebagai landasan Etika Politik
dikaitkan dengan berbagai fenomena sosial berupa
banyaknya kader partai Golkar yang terlibat kasus
korupsi dan terjadinya dualisme kepengurusan Partai
Golkar dari tingkat pusat hingga daerah serta menjadikan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Platform
perjuangan Partai Golkar sebagai nilai titik balik.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pertimbangan dapat lebih fokus pada masalah yang
didalami serta dapat menafsirkan dan membuat
kesimpulan atas berbagai temuan dengan bantuan
instrumen agar lebih valid dalam mengolah data yang
telah diperoleh dari lapangan.
Informan adalah sumber data. Dalam penelitian ini
digunakan teknik Purposive sampling. Taknik ini
merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan
pertimbangan,
tujuan,
sifat-sifat
ciri-ciri
dan
karakterisktik tertentu. Karakteristik informan dalam
penelitian adalah Pengurus inti DPD Partai Golkar Jawa
Timur. Sementara itu penelitian ini akan dilaksanakan di
kantor PDPD Partai GOLKAR Jawa Timur Jalan. Ahmad
Yani Nomor 311 Surabaya
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan
untuk mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah
dan hasilnya lebih baik. Dalam penelitian ini instrumen
penelitian yang digunakan adalah pedoman wawancara.
Dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara dan dokumentasi
Analisis data kualitatif menurut Bognan & Biklen
sebagaimana dikutip Moleong (2007:248), adalah upaya
yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceriterakan kepada orang lain. Teknik anaisis data
dalam penelitian ini meliputi. Reduksi data, penyajian
data dan Verifikasi data.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan fenomenologi, yaitu penelitian yang
berorientasi
untuk
memahami,
menggali,
dan
menafsirkan arti dan peristiwa-peristiwa, dan hubungan
dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu.
Penelitian Fenomenologi juga ditekankan pada
subjektifitas pengalaman hidup manusia, sebagai suatu
metode yang merupakan penggalian langsung
pengalaman dan pengetahuan yang disadari dan
menggambarkan fenomena yang ada tanpa terpengaruh
oleh teori sebelumnya dan mungkin tidak perlu menguji
tentang dugaan atau anggapan sebelumnya.
Dalam suatu penelitian, metode digunakan untuk
memecahkan masalah yang akan dan sedang diteliti.
Metode penelitian adalah suatu cara untuk mencari
kebenaran secara ilmiah berdasarkan data yang sesuai
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Metode
penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono,
2012: 2)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode Kualitatif, yaitu suatu proses penelitian dan
pemahaman yang berdasarkan metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.
Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2012: 4)
“penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.”
Format penelitian kualitatif terdiri dari tiga model,
yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format
697
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pendekatan Pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa mempunyai konsekuensi bahwa
segala tata kelola kehidupan bangsa harus berdasar dan
didasarkan pada Pancasila. Pancasila yang ada bersamaan
dengan adanya kehidupan di negeri ini memiliki berbagai
kaidah-kaidah universal untuk mengatur kehidupan
manusia agar selaras dengan tujuan atau fitrah
keberadaan manusia di muka bumi, yakni sebagai
pemimpin.
Dalam dunia demokrasi, Pancasila diharapkan hadir
sebagai pondasi bangunan politik bagi orang-orang yang
mewakafkan dirinya dalam dunia politik Indonesia.
Harapannya Pancasila menjadi sumber mata air yang
menyejukkan dan menjernihkan pola pikir dan perilaku
para politikus dan mampu melepas dahaga menuju
tercapainya cita-cita bangsa. Yakni Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Begitupun
demikian, Pancasila diharapkan tidak hanya menjadi
sebuah pajangan dan mantra-mantra keramat dalam
setiap pelaksanaan upacara atau ketika ada tes kenaikan
jabatan lebih dari itu Pancasila harus terpatri dalam
sanubari yang paling dalam.
Partai politik yang mendapatkan mandat dari
Undang-undang untuk menjadi ujung tombak dalam
pendidikan politik dan “saluran penguasa” memiliki
peran yang sangat strategis untuk menanamkan nilai-nilai
luhur Pancasila bahkan mengamalkannya dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran strategis itu
dapat mereka perjuangkan melalui peraturan peraturan
dasar organisasi atau yang lazim disebut Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga. Kode etik dan aturan
aturan lain yang berkaitan dengan semangat
mengamalkan Pancasila atau mempraktikannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara agar tercipta iklim
politik yang sehat dan manusiawi.
Sejauh ini, kondisi politik Indonesia tengah gersang
nan kering kerontang karena perilaku politik yang naif
dan tak beretika, korupsi masih kerap terjadi, para wakil
rakyat terjerat kasus pidana bahkan pertikaian antar satu
partai ajeg kita saksikan bak sajian drama yang tak
kunjung ada habisnya. Lalu kemana perginya Pancasila ,
dasar filosofis bangsa ini?. Roda politik Indonesia seolah
kehilangan arah dan komitmen terhadap Pancasila
sebagai dasar filosofis bangsa,bahkan ia cenderung cadas
dan keras kepala serta tak mau peduli dengan tujuan
utama berpolitik, yakni tercapainya Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Partai Golkar sebagai salah satu partai (tertua) di
Indonesia memiliki komitmen yang sangat besar untuk
tetap mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai luhur
Pancasila sebagai landasan etika dalam berpolitik. Di
Pasal 5 Anggaran Dasar Partai Golkar Menyebutkan
bahwa Pancasila adalah asas dari Partai Golkar. Asas
mempunya makna bahwa Pancasila adalah dasar dari
perjuangan Partai Golkar. Pancasila adalah kaidah
fundamental untuk mewujudkan cita-cita partai Golkar
sebagai salah satu infrastruktur sistem politik Indonesia.
Freddy sebagai salah satu punggawa Partai Golkar Jawa
Timur memberikan penguatan
“Pancasila adalah landasan fundamental.
Jika agama punya kitab suci maka negara
harus memiliki filosofi kehidupan atau
ideologi. Nah, Indonesia sebagai sebuah
bangsa memilih Pancasila sebagai ideologi.”
(Wawancara 29-12-15)
Tidak berlebihan jika Freddy menyandingkan
ideologi dalam suatu bangsa dengan sebuah kitab suci
dalam agama. Sebab pada dasarnya ideologi memiliki
peran sebagai pedoman umum dalam penyelenggaraan
sebuah negara. Hal itu memiliki fungsi yang sama dengan
kitab suci dalam agama, pedoman. Konsekuensianya, jika
dalam agama seseorang melanggar ketentuan kitab
sucinya maka ia berdosa tetapi dalam kaidah kebangsaan
seseorang yang tidak berperilaku sesuai ideologi
bangsanya maka ia bisa disebut tidak beretika. Hal Ini
diperkuat oleh pandangan dari Chriswanto, “Apabila ada
orang-orang yang melanggar hal itu (Pancasila), maka
dialah orang orang yang tidak beretika.” (Wawancara 1201-16)
Tugas manusia Indonesia selanjutnya adalah
meyakini dan mengamalkan Pancasila sebagai sebuah
alat yang mampu menyelamatkan dan dapat
mengantarkan pada sebuah keadaan dimana kita dapat
hidup dengan damai, aman dan sejahtera. Keyakinan ini
harus berdasar pada alasan bahwa Pancasila mampu
menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya,
sebagaimana keyakinan kita terhadap agama. Chriswanto
menyebutkan bahwa
“Benar dan mutlak adalah urusan Tuhan.
Tetapi jika Pancasila dijadikan pedoman
kebaikan di dalam menuju kesejahteraan,
mungkin ia. Selama ia dijalankan dengan
ajaran agama maka ia adalah kebaikan. Kalau
Pancasila menuju kebaikan saya meyakini.
Karena pancasila mengandung
unsur
Ketuhanan, itu adalah kebenaran. Unsur
Kemanusiaan dan itu merupakan tujuan
demokrasi.
Memanusiakan
manusia”.(
Wawancara 12-01-16)
Beberapa uraian di atas paling tidak mampu
memberikan gambaran yang jelas dan tegas bahwa dalam
dunia politik, Pancasila adalah pedoman yang
mengandung kebenaran yang oleh karenanya pula tujuan
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
luhur politik yakni untuk “mensejahterakan” dapat
tercapai. Komitmen Partai Golkar yang sangat besar
terhadap eksistensi Pancasila demi terwujudnya balada
politik beretika Pancasila mereka sampaikan dalam
diskusi-diskusi kecil bernuansa ceria dalam proses
penggalian data dalam penelitian ini. Ada beberapa
pandangan atau rumusan tentang Pancasila sebagai
landasan etika dalam berpolitik yang dikumandangkan
oleh beberapa pengurus Partai Golkar bahwa sebenarnya
Etika Politik yang berdasar Pancasila dapat diperas
menjadi. Pertama, Perilaku yang berdasar hukum dan
moral. Kedua, Musyawarah. Ketiga, Gotong royong
dalam tanggungjawab
berbunyi “menjungjung tinggi supremasi hukum dan
HAM”(POKKAR Partai Golkar). Kalimat ini memiliki
makna bahwa garis perjuangan Partai Golkar adalah
berdasar dan demi tewujudnya hukum yang berlaku.
Freddy menambahkan bahwa,
“Pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa adalah good
norm. Pancasila sebagai norma dasar
yang telah teruji pada peristiwa PKI pada
tahun 1965. TAP MPR nomor 20 tahun
1966 ju. No 5 tahun 1978 menyebutkan
bahwa Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum. Seluruh produk
hukum baik Undang-undang maupun
peraturan pemerintah sampai peraturan
desa tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila, sebab Pancasila harga mati
dan tidak ada kata tawar.”( Wawancara
29-12-15)
Legalitas juga menghendaki adanya sebuah
pertimbangan apakah perilaku itu sesuai dengan
moralitas atau tidak. Sebab selain harus berdasar hukum
yang berlaku politik yang beretika Pancasila harus bervisi
pada kesejahteraan. Chriswanto menyebutkan
“etika politik harus menuju kepada
kesejahteraan.
Ketika
seseorang
menjalankan politik tidak bervisi
kesejahteraan maka ia dapat dikatakan
tidak beretika. Tidak bermoral.”(
Wawancara 12-01-16)
Perilaku korupsi yang sering dijumpai akhir-akhir
ini juga merupakan gambaran dari perilaku politik yang
tidak berdasar bahkan menerabas hukum serta tidak
beorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas. karena
korupsi adalah kegiatan memperkaya diri sendiri atau
suatu kelompok tertentu. Freddy menyebutkan
“...dan dalam proses menjadi kader
partai harus mawas diri / introspeksi.
Misalnya saya sekarang, apakah gaji saya
dari DPR sangat cukup? Lebih dari
cukup saya kira. Untuk apa saya korupsi.
Anak saya sudah mapan semua.
Sehingga perbuatan saya merupakan
tulus pengabdian terhadap negara. Kalau
dalam ranah kebijakan sebagai wakil
rakyat kita harus berani menolak apabila
itu merugikan rakyat.”( Wawancara 2912-15)
Korupsi sebenarnya tidak terjadi jika para pelaku
politik merasa cukup dengan segala yang dimilikinya,
sadar bahwa jabatan yang dimiliki merupakan amanah
yang harus dipertanggungjawabkan, freddy menyebutkan
bahwa
Perilaku yang Berdasar Hukum dan Moral
Legalitas atau keabsahan adalah keyakinan anggotaanggota
masyarakat
bahwa
wewenang
atau
dibolehkannya seseorang melakukan sebuah tindakan
atau perilaku politik yang ada pada seseorang, kelompok
atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati (Miriam :
2008:65). Kewajaran ini dapat didasarkan pada
pandangan bahwa pelaksanaan perilaku atau tindakan
politik itu sesuai dengan asas-asas atau prosedurprosedur yang sudah ada dan diterima secara luas dalam
masyarakat. Menurut Zainal, “Etika politik adalah
landasan dalam melakukan perilaku politik. Atas dasar
apa politik atau kekuasaan itu dilaksanakan.”
(Wawancara 02-02-16)
Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat
dalam konstitusinya telah menyebutkan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Hal Ini juga disampaikan secara
tegas oleh Freddy bahwa, “Kita berbuat harus berdasar
hukum yang ada dan yang berlaku”. (Wawancara 29-1215)
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum
yang ada di Indonesia sehingga hukum yang ada dan
berlaku merupakan cita dari Pancasila, artinya berbagai
produk hukum yang ada tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila.
Pandangan ini memiliki makna bahwa dalam
berpolitik seseorang dikatan beretika Pancasila apabila
perilaku politik atau pewujudan wewenangnya
dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku. Namun,
Meulila memiliki pandangan berbeda. Ia mengatakan,
“sesungguhnya dalam politik praktis
tidak ada etika, sebab politik dapat
menjadi sebuah perjuangan mewujudkan
kepentingan
pribadi.
Selama
kepentingan-kepentingan
itu
belum
terwujud maka politik akan tetap ada.”
(Wawancara 02-02-16)
Namun, Pandangan dari Meulila ini tidak sesuai
dengan Platform Partai Gokar yang salah satunya
699
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
“Banyak teman-teman yang terjebak
dalam kasus korupsi itu karena rakus,
padahal mereka adalah tokoh-tokoh dan
itu bukanlah pola kader, yang ada hal itu
merupakan latah dan tidak mengkaji
mana yang baik dilanjutkan dan mana
yang buruk dievaluasi atau bahkan tidak
dilakukan.” (Wawancara 29-12-15)
Korupsi merupakan perilaku perampasan hak orang
lainyang karenanya menyebabkan kesejahteraan tidak
tercapai, jika korupsimerupakan perbuatan sarkas maka
agama manapun di dunia ini “membenci” korupsi, sebab
korupsi adalah perilaku yang tidak berperikemanusiaan.
Chriswanto menjelaskan bahwa,
“Pancasila sangat global dan merupakan
sumber hukum. Artinya
di dalam
menjalankan proses politik apakah kita
berkemanusiaan, kalau saya korupsi
berarti saya tidak berperikemanusiaan.
Kalau saya menjual aset-aset negara
berarti saya tidak untuk menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa dan
berlawanan pada Ketuhanan. Oleh
karena itu kalau kita betul betul bermuara
pada lima sila Pancasila maka tidak akan
terjadi masalah seperti sekarang.
Sekarang banyak politikus mengaku
pancasilais tetapi perilakunya tdak
berpancasila.” (Wawancara 12-01-16)
Sementara itu Heroe beranggapan bahwa korupsi
lebih kepada perilaku oknum saja dan bukan perilaku
partai secara melembaga,
“Korupsi adalah perilaku oknum, tidak
bisa dan tidak boleh kita mengaitkan
seseorang yang terlibat kasus korupsi
dengan institusi. Sebab sekali lagi,
Golkar sangat berkomitmen terhadap
kemajuan bangsa. Korupsi bukan untuk
memajukan bangsa.”( Wawancara 02-0216)
Hal ini juga diperkuat oleh Freddy,
“Kebiasaan yang baik dalam kehidupan
berpolitik, berpolitik harus beretika.
Ketika kita melihat banyak politikus
yang tidak beretika kita harus melihat
bahwa bukan politiknya yang tidak
beretika tetapi manusianya, oknum”
(Wawancara 29-12-15)
Selain sifat tamak dari manusia itu sendiri ada
beberapa hal yang menyebabkan perilaku korupsi.
Pertama, sistem Rekruitmen politik yang terbuka. Kedua,
Banyaknya partai. Ketiga, kesempatan
Sistem rekruitmen politik yang terbuka
Sistem rekruitmen politik merupakan salah satu gerbang
untuk menyeleksi orang mana yang pantas untuk
berpolitik dan orang mana yang kurang layak untuk
hidup dalam dunia politik. Ada banyak kriteria yang
dapat dijadikan tolok ukur namun relatif pada kebutuhan
partai masing-masing. Namun recruitmen yang
diharapkan dapat menyeleksi orang-orang berkualitas itu
tak terwujud ketika partai cenderung serampangan dalam
menerima kader baru, “yang penting logistik kuat anda
layak” sehingga rakyat tidak memiliki banyak pilihan
Dalam dunia yang lain, Pegawai Negeri Sipil (PNS)
misalnya, ada seleksi dan kriteria yang sangat ketat
sehingga bukan sembarang orang dapat menjadi PNS,
tetapi recruitmen politik tidak. Ini disampaikan oleh
Freddy
“Di dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan ada yang namanya aparatur
pemerintahan tentunya mereka mau masuk
menjadi aparatur pemerintahan harus
melalui seleksi. Ada kriteria yang menjadi
tolok ukur. Contoh sarjana mau jadi PNS,
kalau dia diterima maka paling tidak dia
akan menjadi golongan III. Orang mau
masuk polisi atau akpol dia harus mengikuti
seleksi. Seperti pos kesehatan, psikologi dll.
Lalu mengapa dalam politik tidak
melakukan hal yang sama? Ini yang saya
anggap sekarang sudah salah kaprah. Saya
bukan mengatakan orde baru sangat bagus
tapi pada waktu itu kalau mau masuk partai
ada tes yang namanya mental ideologi, harus
Pancasila sejati. Tes kesehatan, fit and
propert. lalu di cek background dari
organisasi yang bersangkutan, background
sekolah. Dan ini harus dibangun kembali.
Anggota DPR sekarang kan tidak, kebetulan
saja ada yang sampai S3, bahkan lebih
banyak yang lulus persamaan” (Wawancara
29-12-15)
Pendapat ini seperti ingin menunjukkan bahwa
dalam recruitmen politik terjadi ironi. partai politik
sebagai “pabrik panguasa” justru absen dalam memilih
kader secara selektif padahal di sektor lain kriteria yang
ditentukan sangat ketat.
Banyaknya partai
Salah satu yang menjadi perbedaan demokrasi Indonesia
dengan maju seperti Amerika Serikat dan Inggris adalah
sistem partai. Di Indonesia sejak pemilu pertama di masa
Orde lama di bawah Presiden Soekarno (1955) Jumlah
partai politik di Indonesia mencapai 178, sangat banyak,
meski sempat ada fusi pada masa orde baru menjadi 3
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
partai. Namun, pasca Reformasi Indonesia kembali ke
sistem multipartai. Sistem multipartai ini mengakibatkan
beragamnya kepentingan, mulai dari logistik partai
hingga kompetisi memenangkan pemilu yang terlalu
berlebihan. Fredy menyebut hal ini sebagai bibit
penyebab seorang melakukan tindakan korupsi
“hal ini juga diakibatkan oleh banyaknya
partai politik di Indonesia. Coba lihat di
negara-negara maju seperti Amerika, Partai
Politiknya hanya ada dua. Uni Eropa,
Perancis, Inggris, Belanda” (Wawancara 2912-15)
Banyaknya Partai Politik juga mengakibatkan jarak
kekuatan partai satu dengan partai lain menjadi sangat
dekat, sehingga arahnya akan bermuara pada bagi-bagi
kekuasaan. Pemerintah cenderung akan “gemuk” sebagai
akibat dari banyaknya partai yang harus diakomodir dan
sulit untuk menempatakan “orang benar ditempat benar”
hingga akhirnya korupsi begitu mudah terjadi.
kemanusiaan (sila II). yang memiliki makna agar bangsa
Indonesia tidak terjerumus pada machtsstaats atau negara
kekuasaan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan
oleh Bung Hatta takkala mendirikan negara, bahwa
negara Indonesia harus berdasar moral Ketuhanan dan
moral Kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Zainal
“Pancasila sebagai landasan etika politik
adalah perilaku politik yang sesuai dengan
sila ke-5, yakni Indonesia yang berkeadilan
dan sejahtera
melalui musyawarah
mufakat dengan sikap ketuhanan atau
semangat Religiutas.”( Wawancara 02-0216)
Akhir-akhir ini Partai Golkar juga tengah
mengalami sebuah keadaan di mana ada dua kelompok
yang sama-sama mengaku sah sebagai pengurus puncak
Partai Golkar. Dualisme ini menjadi pukulan telak bagi
Partai Golkar yang sejauh ini selalu mampu mengatasi
berbagai masalah partai. Salah satu badai yang pernah
datang namun dapat diatasi adalah peristiwa Reformasi
1998, yakni Orde Baru yang identik dengan Partai Golkar
runtuh, Golkar yang saat itu lekat dengan Orde Baru
mampu bereinkarnasi menjadi Golkar baru yang dapat
kembali diterima masyarakat Indonesia. Dualisme
kepengurusan antara kubu Abu Rizal Bakrie (ARB)
dengan Agung Laksono (AL). Namun, Freddy
beranggapan bahwa dualisme tidak pernah terjadi
“Dualisme Partai Golkar sebenarnya tidak
terjadi. Golkar adalah kekuatan politik
terbesar walapun pada reformasi kemarin
sempat/masih di nomor 2. Pasti ada orang
yang tidak suka dan akan menggembosi
Partai
Golkar.
Orang
Indonesia
pendendam. Nah dualisme yang terjadi
merupakan segelintir oknum saja. Bahwa
oknum ini masih rakus dengan jabatan
yang
satu
merasa
kehormatannya
terganggu.
ARB, secara
konstitusi
merupakan pimpinan, sementara AL
merasa berpihak pada perubahan hanya
cara yang dipakai salah. Sehingga kondisi
ini terus dipelihara oleh penguasa. Budaya
ngalah menjadi tidak ada. ARB, semuanya
menang. (Wawancara 29-12-15)
Sementara itu Zainal beranggapan bahwa dualisme
memang terjadi tetapi hanya di pusat dan tidak sampai
merembet ke daerah. “Dualisme Partai Golkar terjadi di
pusat saja. Daerah tidak pernah terkena imbas dualisme
tersebut.”( Wawancara 02-02-16)
Dua pandangan yang berbeda ini (dualisme, antara
ada dan tiada) seolah-olah menkonfirmasi bahwa
dualisme Partai Golkar benar-benar terjadi dan terlanjur
Kesempatan
Kesempatan adalah adanya waktu maupun kemungkinan
untuk melakukan korupsi, kesempatan melakukan
korupsi hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang
memiliki jabatan-jabatan khusus yang memungkinkan
untuk melakukan tindakan korupsi. Jabatan begitu dekat
dengan perilaku korupsi. Hal ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Chriswanto,
“Secara institusi Golkar sangat komitmen
dengan anti korupsi. Tetapi berbicara
secara individu orang yang terkadang
menjadi sumber masalah. Saya memiliki
teman di Golkar. Sangat baik, tetapi dia
tiba-tiba korupsi. saya kaget, mengapa dia
tiba-tiba bisa begitu. Karena ada 2 hal.
Satu, kebutuhan. Dua, kesempatan dan
keinginan. Ini yang kadang kala orang
tidak bisa membedakan. jujur belum dapat
kesempatan. Setelah dapat kesempatan dia
korupsi. Saya tidak ingin memiliki rumah
mewah semewah rumah Setya Novanto.
karena memang saya tidak ada kesempatan
di situ. Tetapi ketika ada pada posisi
kemungkinan korupsi maka, itu yang harus
dikendalikan. Kendalikan nafsu kita.”
(Wawancara 12-01-16)
Korupsi merupakan perilaku yang tidak bervisi pada
kesejahteraan sehingga politik yang dijalankan adalah
politik tidak beretika. Bervisi kesejahteraan (prinsip
moralitas) memiliki peran sebagai penyaring bahwa
perilaku politik yang berdasar hukum yang berlaku saja
tidak cukup, tetapi harus disesuaikan pula dengan prinsip
moralitas baik moral religius (sila I) serta moral
701
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
terexspose oleh media sehingga menimbulkan anggapan
bahwa Partai Golkar tidak mampu mempraktikkan
politik yang santun dan beretika sesuai dengan Pancasila.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Chriswanto, “pimpinan
sekarang tidak sedang menjalankan Pancasila dalam
kehidupannya”. (Wawancara 12-01-16). Dan diamini
oleh Heroe yang menyebutkan bahwa, “Dualisme golkar
terjadi akibat tidak ada kesadaran “di atas” karena
mereka mau jadi pemimpin semua, akibatnya Golkar jadi
rusak”. (Wawancara 02-02-16)
Di sisi lain Freddy beranggapan
“Dualisme Partai Golkar terjadi akibat
segelintir oknum saja. Bahwa oknum ini
masih rakus dengan jabatan, yang satu
merasa kehormatannya terganggu. ARB,
secara konstitusi merupakan pimpinan,
sementara AL merasa berpihak pada
perubahan hanya cara yang dipakai
salah”.( Wawancara 29-12-15).
Pandangan ini setidaknya mampu memberikan
penerang siapa diantara ARB dan AL yang lebih
memiliki legalitas sebagai pimpinan Partai Golkar. Di
dalam doktirn Golongan Karya disebutkan bahwa
“kedudukan golongan karya berfungsi sebagai pengamal
serta pengaman Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 sebagai landasan ideologis dan landasan
konstitusionil Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945” Doktrin
kekaryaan ini jelas memberikan petunjuk jalan bagi para
kader Partai Golkar untuk mengedepankan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai upaya untuk megamalkan kehidupan
politik yang beretika. Artinya secara prinsip harus patuh
pada keberadaan aturan-aturan main yang berlaku yang
telah diamanatkan UUD 1945 yakni kepatuhan pada
hukum. Chriswanto memberikan pandangannya,
“Beratnya.
Sebetulnya orang yang
paling berperan dalam mengendalikan
sesuatu sesuai aturan dalah pimpinan.
Pimpinan pada levelnya, siapapun
dimanapun. Tetapi pimpinan sekarang
tidak sedang menjalankan Pancasila
dalam kehidupannya. Sejak dualisme
saya tetap mengikuti mana pimpinan
yang mengikuti aturan atau Hukum,
terlepas waktu itu ARB merebut kursi
pimpinan Golkar dengan cara yang
kurang baik tetapi saya memilih dia. AL
meraih dengan tidak mengikuti aturan.”
(Wawancara 02-02-16)
Secara legitimasi pandangan ini menyebut bahwa
ARB lah yang sah sebagai Ketua Umum Partai Golkar
tetapi secara moral Chriswanto beranggapan bahwa
keduanya sama-sama tidak bermoral, “Sehingga menurut
saya dua-duanya tidak bermoral”( Wawancara 02-02-16)
Pada
dasarnya
sebagai
negara
Indonesia
menghendaki semua perilaku warganya harus sesuai
dengan hukum sebagai sumber legalitas. Namun,
Perilaku berdasar hukum saja tidak cukup, perilaku itu
harus pula disertai dengan prinsip moral, baik moral
religius (sila I) atau moral kemanusiaan (sila II). Begitu
juga sebaliknya, perilaku berdasar moral saja tidak baik.
perlu mengikuti aturan atau hukum yang ada, diterima
dan berlaku di masyarakat. Keduanya harus berjalan
seirama dan bersamaan. Begitulah Etika Politik berdasar
Pancasila idealnya dilksanakan. Zainal menyebutkan
“Pancasila sebagai landasan etika politik
adalah
perilaku politik yang sesuai
dengan sila ke-5, yakni Indonesia yang
berkeadilan dan sejahtera
melalui
musyawarah mufakat dengan sikap
Ketuhanan atau semangat Religiutas dan
Kemanusiaan.” (Wawancara 02-02-16)
Musyawarah
Musyawarah secara sederhana dapat diartikan sebagai
sebuah proses atau upaya bersama untuk mencari jalan ke
luar atau pemecahan suatu masalah menyangkut
kepentingan bersama. Musyawarah identik dengan
dialektika artinya musywarah bersifat dialogis bukan
monologis. Dalam praktik demokrasi Indonesia
musyawarah selalu dipilih sebagai jalan terbaik agar
berbagai perbedaan dapat disatukan dalam bingkai
kebersamaan. Partai Golkar juga tak pernah lepas dari
identitas bangsa ini. Menurut Zainal, “bagi Golkar dalam
berpolitik sampai saat ini belum melepas yang namanya
musyawarah mufakat. Musyawarah adalah harga mati
bagi golkar” (Wawancara 02-02-16)
Pandangan ini mengisyaratkan bahwa dalam
perilaku politik Partai Golkar Musyawarah untuk
mencapai mufakat adalah cara yang selalu dipakai untuk
menentukan arah strategi partai demi terwujudnya
Indonesia sejahtera.
Musyawarah dalam praktik demokrasi Indonesia
bermakna bahwa legitimasi yang dimiliki seseorang atau
lembaga bukan berarti dapat dijalankan seenakanya saja.
Namun harus ada diskursus tentang berbagai anasir
dalam proses pengambilan keputusan agar tidak ada
pihak yang merasa disodomi hak-haknya (kedaulatan
rakyat). Sehingga prinsip-prinsip musywarah perlu
diperhatikan. Menurut Chriswanto, ”prinsip-prinsip
musyawarah yaitu, Mencari penyelesaian bukan
memunculkan perbedaan”( Wawancara 12-01-16)
konsep musyawarah ini harus sama-sama dimaknai
sebagai sebuah aturan main agar musyawarah mencapai
mufakat. Apabila masih ada orang atau kelompok-
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
kelompok tertentu yang tidak dapat menerima hasil
musyawarah dengan lapang dada. Maka, ada berbagai
alasan yang dapat menyebabkan hal itu terjadi, salah
satunya prinsip-prisip musyawarah seperti yang
disampaikan Chriswanto di atas tidak dilaksanakan.
Artinya, musyawarah yang dilaksanakan tidak untuk
mencari penyelesaian atau mereka tidak bersikap lapang
dada terhadap hasil musyawarah itu. Chriswanto
menambahkan
“Politik kompromi kalau dibahasakan
mungkin musyawarah. Bukan tidak
dilakukan musyawarah. Tetapi mereka
tidak melaksanakan prinsip prinsip
musyawarah yaitu, Mencari penyelesaian
bukan memunculkan perbedaan. hasil
musyawarah bukan sesuatu yang harus
diekpos menjadi sebuah perpecahan
karena ketika tidak ada keseimbangan
dan
kesepakatan
bersama
dalam
musywarah. Maka itu gagal. Karena
individu tidak menjalankan konsep
musyawarah. Kepentingan pribadi lebih
mennjol ketimbang kelompok. Karena
dalam musyawarah pasti ada yang tidak
diterima dan ada yang diterima.
Rosululloh mengutus Amr untuk menjadi
pemimpin perang sementara Abu Bakar
dan Umar menjadi pasukann. Abu bakar
dan Umar berfikir kalau Amr memang
ahli perang, itu sudah bagus.”
(Wawancara 12-01-16)
Hasil musyawarah sebagai sebuah kesepakatan
bersama perlu diterima dengan legowo agar tidak tercipta
konflik yang dapat menyebabkan tujuan utama dalam
sebuah kebersamaan terganggu. Bahkan secara tegas
Heroe menyebutkan bahwa,
“Etika politik Pancasila berkaitan dengan
sumber
tanggungjawab
serta
mengedepankan Musyawarah mufakat.
Apapun hasil musyawarah, suka tidak
suka kita harus menjalankan. Itu adalah
bagian dari perjuangan. Musyawarah
adalah hasil
kerja bersama-sama
bukan/jangan
faksi-faksi
sehingga
hasilnya harus kita laksanakan bersamasama dan dengan penuh tanggung jawab.
Saya selalu mengikuti Apapun keputusan
yang
dihasilkan
dalam
sebuah
musyawarah walaupun hal itu tidak
memihak saya.
Menerima
setiap
keputusan musyawarah yang bertujuan
mensejahterakan dengan sikap legowo
atau lapang dada. Karena menerima hasil
keputusan musyawarah itu adalah benar.
Baik belum tentu benar tetapi benar
InsyaAlloh baik.” (Wawancara 02-02-16)
Lebih lanjut Chriswanto menambahkan,
“Hasil musyawarah harus didukung
berdasar kepentingan bersama dan
legowo menerima hasil dari musyawarah
dan harus sadar terhadap lebih banyak
mana mudharat dengan manfaatnya.
Kalau sama sama mudharat ambil
mudharat terkecil. Demi bangsa ambil”.
(Wawancara 12-01-16)
Musyawarah juga menghendaki semua persolan
selesai di dalamnya. Artinya, semua masalah harus
dibahas dan selesai dalam musyawarah. Heroe
menyebutkan, “Kita boleh berdebat di forum
(Musyawarah) tetapi tidak boleh berantem di luar forum,
semua selesai di forum” (Wawancara 02-02-16)
Pendapat ini menjelaskan betapa mendalamnya
makna musyawarah bahwa ia adalah obat untuk
menyembuhkan
setiap
penyakit
tanpa
harus
menimbulkan pernyakit yang baru lagi. Lebih lanjut
Meulila menyebutkan ada beberapa perilaku politik
beretika yang harus diambil oleh seseorang setelah
pelaksanaan musyawarah,
“Manakala ada yang tidak sepakat (tidak
menerima)
terhadap
keputusan
musyawarah maka ia harus menghormati
hasil musyawarah, serta yang mendapat
dukungan dari hasil musyawarah tidak
boleh semena-mena atau seenaknya
sendiri”.( Wawancara 02-02-16).
walapun harus mengkritisi pakailah cara-cara yang
santun sesuai pendapat dari Rachmad. “......santun dalam
mengkritisi berbagai perbedaan pandangan politik”.
(Wawancara 02-02-16)
Inti dari demokrasi adalah musyawarah dan
musyawarah adalah praktik utama demokrasi yang harus
selalu senantiasa mewarnai setiap perilaku para pelaku
politik dan pemangku kekuasaan. Musyawarah juga
perintah dari sila ke-IV Pancasila yakni, Kerakyatan yang
dipimpin
oleh
hikmad
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan. Artinya sumber kekuasaan
adalah rakyat, jadi rakyat harus dilibatkan dalam
musyawarah-musyawarah yang berkaitan dengan
kehidupan dan penghidupannya. Singkatnya pelaksanaan
musyawarah merupakan pengejewantahan kedaulatan
rakyat.
Gotong Royong dan Tanggung Jawab
Dalam praktik demokrasi legitimasi, prinsip moral dan
musyawarah adalah sesuatu yang sangat vital, penting
703
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
bahkan dapat dikatakan sebagai nafas dari demokrasi itu
sendiri. Namun keduanya dirasa tidak cukup apabila
tidak dilengkapi dengan perilaku tanggung jawab dan
semangat gorong royong. Tanggung jawab adalah
perilaku menerima apa yang menjadi kewajibannya serta
melaksanakan kewajiban itu dengan penuh kesadaran dan
keyakinan demi tercapainya sebuah kebaikan baik buat
dirinya maupun lingkungannya. Tanggung jawab dalam
konteks etika politik Pancasila memiliki makna bahwa
setiap individu maupun golongan harus bertindak sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Berdasar apa? Tentu berdasar hasil musyawarah
(demokratis) dan legitimasi yang dimiliki. Heroe
menyebutkan, “Musyawarah adalah hasil kerja bersamasama bukan/jangan faksi-faksi sehingga hasilnya harus
kita laksanakan bersama-sama dan dengan penuh
tanggung jawab”. (Wawancara 02-02-16)
Dalam praktik berbangsa dan bernegara sering kita
lihat ada (pendapat) seseorang yang tidak diterima
(kalah) dan diterima (menang). Maka seseorang yang
kalah harus mendukung dan melaksanakan hasil
musyawarah (demokratis)
dengan penuh tanggung
jawab. Begitu juga dengan yang menang harus
merangkul semua golongan dan tidak semena-mena. Hal
ini diperkuat oleh Meulila,
“Manakala ada yang tidak sepakat
terhadap keputusan musyawarah maka ia
harus menghormati hasil musyawarah,
serta yang mendapat dukungan dari hasil
musyawarah tidak boleh semena-mena
atau seenaknya sendiri”. (Wawancara 0202-16)
Pendapat dari Meulila ini juga menunjukkan
pentingnya sikap gotong royong, guyub, saling
mendukung dan bukan saling menjatuhkan. Bagi
pemenang dalam musyawarah hendaknya mengajak serta
tidak menjadikan yang kalah sebagai lawan. Begitulah
gotong royong, konsep kerja sama berdasar akar budaya
Bangsa Indonesia. Dalam kasus dualisme partai Golkar
misalnya Heroe memberikan pandangan bahwa
“Dualisme golkar terjadi akibat tidak ada
kesadaran “di atas” karena mereka mau
jadi pemimpin semua, akibatnya Golkar
jadi rusak. Sebenarnya pemimpin yang
baik itu indikatornya adalah pertama, Dia
akan menjadi sebagai orang tua. Kedua,
Bersikap seperti seorang Guru. Ketiga,
Menjadi saudara bagi anggotanya.
Keempat,
Membangun
solidaritas.
Kelima, Bertindak bak komandan.
“(Wawancara 02-02-16)
Pandangan Heroe ini seakan ingin mengatakan
bahwa kalau mau jadi pemimpin semua siapa yang akan
dipimpin? Sehingga proses kepartaian jadi terhambat.
Setiap manusia memilki tanggung jawabnya mamsingmasing. Mereka hanya perlu melaksanakan tanggung
jawab itu secara bersama-sama, gotong royong, tolong
menolong. Lebih lanjut Chriswanto menyebutkan bahwa
seseorang harus dapat mengendalaikan nafsu yang
tertanam dalam setiap manusia
“Nafsu itu ada 2 nafsu ghodob dan nafsu
syahwat. Semua manfaat. Nafsu ghodob
adalah nafsu yang membuat kita maju.
Tapi kitika over maka ini tidak baik.
Terkadang saling membunuh. Kita harus
bisa menegndalikan mobil bukan
sebaliknya. Syahwat baik, kita lahir
karena syahwat tapi jangan berlebihan.
Nafsulah yang membuat korupsi
akhirnya terjadi efek domino, maka nilai
moralitas pancasila harus menjadi pola
dasar. Doktrin Golkar sangat bagus. Saya
malu dengan kasus pak Novanto. Apakah
saya akan keluar dari partai Golkar.
Tidak, kalau saya keluar berarti saya
adalah salah satu orang yang hanya
menaruh kepentingan dalam partai.
Partai sebagai kuda. Kalau Golkar jelek
itu bagian tanggung jawab saya untuk
menjadikan Golkar menjadi baik
kembali.
Pahlawan tidak perlu berbuat sesuatu
yang besar tetapi sesuatu yang besar
harus dimulai dari hal hal yang kecil dan
diperbuat.” (Wawancara 12-01-16)
Partai Golkar secara tersirat mendorong perilaku
gotong royong melaui dasar-dasar pemikiran doktrin
kekaryaan yang berbunyi,
“melalui karya, baik rokhaniah maupun
jasmaniah manusia mengatur dan
megolah
alam
hingga
semakin
berkembang menjadi tempat yang layak
serta sesuai bagi dirinya. Sebaliknya
alam yang telah diolah membantu
manusia mengembangkan kesempurnaan
dirinya. Dengan demikian karya adalah
dialog antara manusia dengan ingkungan
secara
timbal
balik
sehingga
membahagiakan manusia sebagai umat,
manusia sebagai kelompok, dan manusia
sebagai pribadi” (doktrin kerkayaan
Partai Golkar)
Kalimat ini begitu elok mempersandingkan karya
dengan gotong royong, yakni perilaku manusia sebagai
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
manusia atau tanggung jawabnya sebagai manusia untuk
mencipta kebahagiaan manusia dalam segala matranya
Gotong royong juga dapat diartikan sebagai perilaku
setiap individu maupun kelompok dengan kesadarannya
sendiri dan dalam kondisi apapun harus memiliki
kemauan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam memberi
nilai tambah atau positif kepada setiap permasalahan
yang menyangkut kebutuhan orang banyak. Sumbangsih
atau partisipasi aktif itu dapat berupa tenaga, dana,
pemikiran maupun nasihat yang konstruktif. Menurut
Chriswanto mengutip dari salah satu ayat Al-Quran
tolong menolonglah dalam hal kebaikan dan kesabaran
dan jangan jangan tolong menolong dalam hal
keburukan.
Dalam koteks etika politik Pancasila, gotong royong
berada pada posisi ikut serta bersama-sama membangun,
jika tidak bisa atau belum mampu memberikan alternatifalternatif maka lebih baik diam dan tidak berbuat sesuatu
apapun yang bisa merusak situasi dan kondisi yang ada.
Hal ini diperkuat oleh Chriswanto, “lebih baik diam dan
tidak berbuat sesuatu apapun dari pada merusak situasi
dan kondisi yang sudah ada”. (Wawancara 12-01-16)
Sebab dengan diam dan tidak berbuat kisruh saja
sudah merupakan gotong royong yang paling kecil.
Jika kita membandingkan dengan perilaku korupsi
yang kerap terjadi, maka sebenarnya perilaku itu
merupakan penghancuran terhadap sebuah kondisi
(masyarakat Indonesia). Perilaku mereka (Koruptor)
tidak mencerminkan asas-asas tanggung jawab sebagai
penerima mandat amanat rakyat serta mengaburkan arti
dari gotong royong.
berdasar prinsip persamaan dan kesetaraan manusia,
sedang pada sisi lain negara hukum memberikan patokan
bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah
manusia, melainkan hukum.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, yang
memiliki makna bahwa Negara Indonesia merupakan
negara yang berdasar hukum dan meletakkan hukum
pada singgasana tertinggi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Seluruh warga negara Indonesia harus
tunduk dan patuh pada hukum yang bertujuan untuk
mewujudkan keadilan dan tercapainya kesejahteraan bagi
mereka. ketidakpatuhan terhadap hukum merupakan
bentuk perlawanan terhadap negara dan bibit
penghianatan terhadap cita-cita negara itu sendiri. Dalam
kehidupan politik Indonesia, politik dituntut untuk tunduk
pada hukum yang berlaku (legalitas) agar iklim politik
yang berlangsung tidak gaduh dan teratur. Memang pada
dasarnya hukum merupakan produk dari politik, tetapi
bukan berarti politik dapat mengotori dan menyimpang
dari hukum.
Legalitas memiliki arti bahwa seseorang atau
kelompok dalam memperoleh dan menjalankan
kekuasaan atau wewenang tidak ada konstitusi atau
peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Suatu
tindakan adalah sah apabila sesuai dan tidak sah apabila
tidak
sesuai
dengan
hukum
yang
berlaku
(Magnis,2003:59). Di sisi lain, Franz Magnis Suseno
beranggapan bahwa mendasarkan wewenang politik pada
legalitas merupakan regressus ad infinitum (mundur
tanpa akhir) artinya hukum selalu berkaitan dengan
hukum yang lainnya. Dengan kata lain legitimasi paling
fundamental tidak dapat didasarkan pada hukum positif
(Magnis, 2003:60).
Namun, kita tidak sedang berada pada situasi itu.
Partai Golkar sebagai salah salah satu Infrastruktur sistem
Politik Indonesia (bahkan semua partai politik di
Indonesia) menghendaki bahwa Hukum merupakan
sumber legalitas paling utama, entah itu yang bersumber
dari negara atau aturan-aturan lain yang mereka buat
sendiri. Sebab sekali lagi, Indonesia telah menentukan
pilihan bahwa ia dalah negara yang berdasar hukum.
Paham ini menghendaki bahwa hukum memiliki
wewenang tertinggi dan para penguasa berada di bawah
hukum ( suseno, 2003:39)
Pada bagian ini Magnis juga menggolongkan
legalitas pada kriteria legitimasi (etis) yang normatif.
Artinya, suatu tindakan atau perilaku (politik) penguasa
yang
memiliki
keabsahan
untuk
menjalankan
kekuasaannya tidak cukup jika hanya berpedoman pada
unsur legalnya. Mereka juga butuh keabsahan keabsahan
kekuasaan politik dari segi norma-norma dan moral.
Pembahasan
Franz Magnis Suseno (dalam Kaelan, 2010:101)
menyebut dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negera, etika politik menuntut agara kekuasaan dalam
negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas
(legitimasi hukum), (2) disahkan dan dijalankan secara
demokratis (legitimasi demokratis, (3) dilaksanakan
berdasar prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan
dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Pangurus
Partai Golkar juga memiliki pandangan terkait bagaimana
seharusnya kekuasaan dan politik dilaksanakan berdasar
etika politik Pancasila.
Legitimasi yang Bermoral
Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi
mekanisme kekuasaan dalam menjalankan roda
pemerintahan negara. Dua konsepsi itu saling berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan. Pada satu sisi demokrasi
memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan
705
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
Tujuannya agar kewenangan itu tidak menimbulkan
ambivalensi kekuasaan. Dalam kasus dualisme Partai
Golkar misalnya, kasus dualisme seharusnya tidak terjadi
jika para elit partai Golkar mengedapankan kepatuhan
terhadap hukum dan berbagai aturan main yang telah ada.
Yang nampak justru kubu yang satu memperoleh
berdasar hukum tetapi kurang bermoral dan yang satu
lagi dianggap bermoral tetapi mengeyampingkan hukum
yang ada, maka dalam kejadian ini Pancasila memiliki 2
wajah. Pertama, Pancasila sebagai Asas (legal formal).
Kedua, Pancasila sebagai legal moral.
Pancasila sebagai legal formal (Pancasila sebagai
kitab suci) merupakan pengakuan yang sangat ideal dan
normatif bahwa bahwa segenap ruh perjuangan partai
Golkar adalah Pancasila. Artinya, tidak boleh tidak
semua perjuangan partai Golkar harus berdasar Pancasila.
Namun, sesuatu yang sangat ideal itu terkadang menemui
jarak yang sangat jauh dengan kenyataan yang
diharapkan. Dalam praktiknya Pancasila justru hanya
menjadi iming-iming, jika etika politik yang berdasar
Pancasila harus berdasar hukum, musyawarah dan gotong
royong yang bertaggungjawab itu benar-benar
dilaksanakan. Maka, dualisme partai Golkar seharusnya
tidak serumit sekarang ini. Inilah yang disebut Pancasila
sebagai legal moral.
Begitu juga dengan fenomena korupsi dan berbagai
kasus “tak beretika” yang mendekap para politisi.
Perilaku itu merupakan sarkasme, tak layak dan tak
bermoral. Sehingga nilai etis dari sila I dan sila II
Pancasila tidak terpancar.
Musyawarah yang Berkerakyatan
Dalam alam demokrasi dan politik, salah satu hal penting
yang tidak dapat dikesampingkan adalah bagaimana
sebuah kekuasaan dijalankan. Konsep dasar demokrasi
memberikan panduan bahwa kekuasaan harus berasal dan
melibatkan rakyat. Artinya rakyat berdaulat untuk
menentukan siapa dan bagaimana mereka seharusnya
diperintah dan dapat menentukan masa depannya. Baik
secara langsung maupun perwakilan. Keputusan rakyat
yang menjadi peraturan pemerintah bagi semua orang
adalah keputusan yang ditetapkan dengan cara
musyawarah mufakat dalam satu perundingan yang
teratur bentuk dan prosesnya. Dengan demikian, apa yang
dimaksud dengan kedaulatan rakyat merupakan
kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat dan atas nama
rakyat dengan dasar musyawarah.
Musyawarah merupakan konsep demokrasi yang
lahir dari bumi Indonesia, dia tidak identik dengan
konsep demokrasi yang diterapkan di negara manapun.
Dalam ungkapan Bung Karno demokrasi yang harus
dijalankan oleh Indonesia adalah Demokrasi yang khas
Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. jika
tidak dapat berpikir demikian maka tidak akan dapat
menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan
dari rakyat itu (latief, 2011:475). Lalu bagaimana konsep
demokrasi musyawarah itu?
“Dalam demokrasi musyawarah, suatu
keputusan poitik dikatakan benar jika
memenuhi setidaknya empat prasyarat.
Pertama, harus didasarkan pada asas
rasionalitas dan keadilan bukan hanya
berdasarkan subjektivitas ideologis dan
kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi
kepentingan banyak orang, bukan demi
kepentingan perseorangan atau golongan.
Ketiga, beorientasi jauh ke depan, bukan
demi kepentingan jangka pendek melalui
akomodasi transaksional yang bersifat
destruktif (toleransi negatif). Keempat,
bersifat Imparsial dengan melibatkan dan
mempertimbangkan pendapat semua pihak
(minoritas terkecil sekalipun) secara
inklusif, yang dapat menangkla dikte-dikte
minoritas elite penguasa dan pengusaha
serta klaim mayoritas” (latief, 2011:478)
Apa yang disampaikan Yudi Latief di atas tidak lain
hanya ingin menyebutkan bahwa demokrasi musyawarah
yang dijalankan di Indonesia adalah demi terwujudnya
kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulat dalam arti memiliki
kekuasaan untuk menentukan cara bagaimana ia
seharusnya diperintah. Dan keputusan rakyat yang
menjadi peraturan adalah keputusan yang ditetapkan
dengan musyawarah mufakat. Musyawarah mufakat yang
berkedaulatan rakyat harus bersifat dialogis bukan
monologis yang bertujuan untuk mencegah dominasi
persorangan atau golongan tertentu dalam pengambilan
keputusan. Musyawarah-mufakat juga penting untuk
menjamin agar keputusan politik senantiasa berorientasi
pada keadilan sosial dan kepentingan umum (latief,
2011:415)
Dalam kacamata prinsip etika politik Magnis
musyawarah untuk mewujudkan kedaulatan rakyat ini
dapat dikategorikan sebagai legitimasi demokrastis.
Dimana legitimasi menuntut agar keabsahan seseorang
dilaksanakan dengan demokratis, artinya melibatkan
semua pihak yang berkaitan tanpa memilah mana yang
menguntungkan atau mana minoritas dan minoritas.
Tujuannya agar kekuasaan yang dijalankan dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyatnya. Semangat dari
legitimasi
demokratis
adalah
cita-cinta
untuk
menghormati suara rakyat dalam politik dengan memberi
jalan bagi peran dan pengaruh besar yang dimainkan oleh
Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik
rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh para penguasa atau elite.
Ada dua bentuk musyawarah yang dapat diterapkan.
Pertama, musyawarah yang melibatkan semua rakyat
melalui tempat-tempat yang disebut Hebermas sebagai
ruang publik. Ruang publik adalah tempat bertemunya
masyarakat dengan penguasa dan berfugsi sebagai sarana
untuk mengetahui bagaimana rakyat ingin diperintah dan
dikuasai oleh penguasa. Di ruang publik inilah akan
terjadi sebuah diskursus politik di mana rakyat
mendengarkan penguasa dan penguasa mendengarkan
rakyat untuk selanjutnya menentukan kebijakan bersama.
Kedua, Musyawarah sesama elite atau penguasa, bentuk
musyawarah ini menghendaki bahwa para pemilik
kewenangan (keabsahan) mampu menerapkan prinsipprinsip musyawarah bervisi kesejahteraan dan
tersambung secara diskursif dengan proses musywarah
yang terjadi dalam ruang publik. Jika tidak, maka
kekuasaan akan cenderung manipulatif.
politik adalah usaha untuk mengambil peranan untuk
bersama-sama melakukan tindakan yang menimbulkan
efek kebaikan bagi semua dan di sanalah tempat gotong
royong berada. Singkatnya, dalam koteks etika politik
Pancasila, gotong royong berada pada posisi ikut serta
bersama-sama membangun, jika tidak bisa atau belum
mampu memberikan alternatif-alternatif maka lebih baik
diam dan tidak berbuat sesuatu apapun yang bisa
merusak situasi dan kondisi yang ada sebab dengan diam
dan tidak membikin kekacauan sudah merupakan bentuk
dari gotong royong yang paling kecil.
Gotong royong adalah budaya yang telah tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat
Indonesia sebagai warisan yang telah eksis secara turun
temurun. Gotong royong adalah bentuk kerja sama
kelompok masyarakat untuk mencapai hasil positif dari
tujuan yang ingin dicapai secara musyawarah dan
mufakat. Menurut Bung Karno Gotong royong lebih
dinamis daripada kekeluargaan karena dalam gotong
royong terdapat kerja sama untuk memeras keringat
bersama, untuk rela jatuh bersama dan menikmati
hasilnya bersama.
Dalam kehidupan politik Indonesia, gotong royong
harus dimaknai sebagai upaya untuk membangun bangsa
bersama-sama demi tercapainya kesejateraan bersama.
Bukan saling serang, saling sikat-saling sikut dan saling
menjatuhkan sehingga peluang membawa bangsa pada
arah kemajuan terhambat. Korupsi merupakan
penghambat saluran kemajuan bangsa dimana politik
yang dijalankan tidak lagi berorientasi pada nilai-nilai
sosial (etika). Tetapi lebih menonjolkan nilai materi
(uang dan kekuasaan). Hasrat untuk memenuhi tuntutan
materi ini telah mengesampingkan nilai-nilai yang
terkandung dalam gotong royong. Artinya, insting
manusia sebagai makhluk ekonomi lebih kuat daripada
instingnya sebagai makhluk sosial.
Sebagai relasi sosial yang bersifat resiplokal (timbal
balik) gotong royong memerlukan nilai-nilai moral
(Ketuhanan) yang dapat dijadikan pijakan dalam
pergaulan
politik
dengan
menjunjung
prinsip
kemanusiaan dengan tidak saling menyakiti (persatuan)
serta mengutamakan dialog atau musyawarah dengan
menghindari sifat mau menang sendiri demi tercapainya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Gotong royong dalam Tanggungjawab
Di dalam salah satu isi pidato Soekarno pada tanggal 1
Juni 1945 dia menyampaikan,
“Sebagai tadi telah saya katakan: kita
mendirikan Negara Indonesia,yang kita
semua harus mendukungnya. Semua buat
semua! Bukan kristen buat Indonesia,
bukan golongan Islam buat Indonesia,
bukan Hadikoesoemo buat Indonesia,
bukan Van Eck buat Indonesia, bukan
Nitesimeto yang kaya buat Indonesia,
tetapi Indonesia buat Indonesia---semua
buat semua! Jikalau saya peras yang lima
menjadi tiga, dan yang tida menjadi satu,
maka dapatlah saya satu perkatakan
Indonesia yang tulen, yaitu perkataan
“gotong royong”. Negara Indonesia yang
kita dirikan haruslah negara gotong
royong” (Latief, 2011:19)
Gotong royong adalah “roh” atau saripati dari
Pancasila, menerapkan gotong royong dalam hal
kebaikan maka sudah melaksanakan Pancasila. Artinya,
prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
dan Keadilan harus dijiwai dengan semangat gotong
royong. Gotong royong juga dapat diartikan sebagai
perilaku sosial untuk “saling membantu” atau menurut
Ranciere”ikut mengambil peranan” sebuah konstruk tata
nilai yang lekat dengan masyarakat Indonesia.
Politik, yang akhir-akhir ini banyak dimaknai
sebagai seni merebut dan mempertahankan kekuasaan
telah kehilangan fungsinya sebagai upaya untuk ikut
mengambil peranan. Alhasil, politik sebatas dimaknai
sebagai cara-cara kotor, jahat dan menjijikkan. Padahal
PENUTUP
Simpulan
Sebagai Sebuah Ideologi, Pancasila memang terlalu
normatif untuk diterjemahkan dalam kehidupan politik
praktis, sehingga penting untuk dicari dan digali terus
menerus bagaimana sebenarnya Pancasila sebagai
landasan etika dalam berpolitik agar sesuai dengan
tuntutan zaman. Termasuk pada Partai Politik sebagai
707
Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708
saluran elite penguasa negeri ini. Selain menjadikan
Pancasila sebagai legal formal dan legal moral Partai
Golkar sebagai salah satu Partai Politik di Indonesia
memiliki Pandangan atau konsep sendiri tentang
Pancasila sebagai landasan Etika politik. pertama,
Perilaku politik yang berdasar hukum dan moral. Artinya,
etika politik Pancasila menghendaki bahwa dasar
seseorang berkuasa dan menjalankan kekuasaannya
adalah hukum dan moral. Kedua, Musyawarah. Pada
prinsipnya politik adalah perwujudan dari kedaulatan
rakyat dan musyawarah adalah amanah Pancasila untuk
mewujudkan kedaulatan itu. Ketiga, Gotong royong dan
tanggungjawab. Gotong royong adalah “roh” atau saripati
dari
Pancasila.
Artinya
semangat
Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan dan Keadilan harus dijiwai
Gotong royong sebagai wujud tanggung jawab pribadi
terhadap upaya tercapainya kesejahteraan umum
.
Saran
Berdasar kesimpulan yang telah dipaparkan maka
saran yang dapat saya sajikan. Pertama, Etika
Politik lahir bukan untuk menceramahi para
politikus, tetapi ia hadir untuk menyiapkan konsep
dasar kehidupan politik yang manusiawi. Namun,
hendaknya hasil penelitian ini (oleh siapapun)
dapat dijadikan jujukan dan pedoman untuk
mewujudkan perilaku politik yang lebih beretika.
Kedua, Pancasila harus tumbuh dan berkembang
sesuai tuntutan zaman, pada akhirnya harus ada
penelitian-penelitian yang lahir untuk menjabarkan
Pancasila dan penelitian ini dapat menjadi rujukan
penelitian selanjutnya tentu dalam bidang yang
berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens.
2011.Etika;cetakan
Gramedia
kesebelas.
Jakarta:
Boileau, Julian M. 1983. GOLKAR Functional Group
Politics In Indonesia. Jakarta: Centre For
Strategic And Internasional studies
Darmodiharjo, Darji.1979.Pancasila: Suatu Orientasi
Singkat.Jakarta: Balai Pustaka
Hardiman, Budi. Dkk. 2011. Empat
Politik.Jakarta: Srimulyani
Esai
Etika
Heywood, Andrew.2013. POLITIK: terjemahan dari
POLITICS 4th Edition.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Edisi
Reformasi.Yogyakarta: Paradigma
Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian
Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia
Latief, Yudi.2011. Negara Paripurna.Jakarta:Gramedia
Moleong, Lexy. J. 2007. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Moleong, Lexy. J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif
Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Reeve, David. 2013. GOLKAR Sejarah Yang Hilang:
Akar Pemikiran dan Dinamika. Jakarta:
Komunitas Bambu
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R & D. Bandung: Cv Alfabeta
Suseno, Faranz Magnis.2003.Etika Politik: PrinsipPrinsip
Dasar
Kenegaraan
Modern.
Jakarta:Gramedia
Syafi’i, Inu K.1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta
Widisuseno, Iriyanto. dkk. 2007. Bahan Ajar Pendidikan
Pancasila. Semarang: BP Undip
Lainnya:
AD/ART Partai Golkar Hasil Munas VIII Partai Golkar
Tahun 2009
Buku panduan pelaksanaan tugas anggota POKKAR
Partai Golkar Pemilu Tahun 2004
Jawa Pos edisi 21 September 2015
Download