Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik PANDANGAN PENGURUS PARTAI GOLKAR TERHADAP PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA POLITIK (STUDI DPD GOLKAR JAWA TIMUR) Muhlis 11040254059 (S1 PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya) [email protected] Agus Satmoko Adi 0016087208 (S1 PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui Pandangan Pengurus Partai Golkar tentang Pancasila sebagai Landasan Etika Politik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data yang digunakan diperoleh melalui teknik wawancara dan dokumentasi dan data dianalisis menggunakan reduksi data, penyajian data dan verifikasi data. Hasil penelitian membuktikan bahwa selain sebagai legal formal dan legal moral, Pengurus Partai Golkar berpandangan bahwa etika Politik yang berlandaskan Pancasila meliputi. Pertama, perilaku berdasarkan hukum dan Moral. Kedua, Musyawarah. Ketiga, Gotong royong yang bertanggung jawab. Kata Kunci: Etika politik, Pancasila, Partai Golkar Abstract This study aims at examining the view of Golkar Party management on Pancasila as the platform of political ethics. This study employs qualitative method with phenomenological approach. The data used are obtained through interviews and documentation techniques. The data are then analyzed using data reduction, data presentation and data verification. The result of the study shows that in addition to be a formal legal and moral legal, Golkar Party management assumes that political ethics which is based on Pancasila covers three aspects such as: law-based and moral-based behavior, deliberation and responsible mutual cooperation. Keywords: Political Ethics, Pancasila, Golkar Party telah memilih Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Sebab Pancasila adalah warisan jenius Nusantara, yang sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau (Latief, 2011:2). Pancasila sebagai dasar negara memiliki pengertian bahwa Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan sumber nilai norma serta kaidah baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945) atau yang tidak tertulis (Konvensi). Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (Kaelan, 2010:110) . Sehingga kedudukan Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber semangat bagi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), bagi penyelenggara negara, para pelaksana pemerintah juga para penyelenggara partai politik dan golongan fungsional. Singkatnya Pancasila harus menjadi acuan dalam berbangsa dan bernegara. PENDAHULUAN Suatu bangsa mutlak harus memiliki pandangan hidup yang secara rasional diakui benar dan sah, karena bila tidak demikian maka bangsa tersebut akan terpecah belah menjadi sejumlah golongan sesuai dengan jumlah pandangan hidup yang timbul di bangsa itu. Setiap bentuk penyelewengan atau penyimpangan pasti dilandasi oleh pandangan hidup tertentu, yang berbeda dari pandangan hidup yang secara nasional diakui benar dan sah yang tertuang dalam konstitusi negara. Dengan demikian, apabila ada perorangan atau golongan berusaha mengembangkan pandangan hidup lain dan berbeda dari pandangan hidup yang benar dan sah tersebut, sadar atau tidak pasti akan terjadi sebuah penyimpangan. Suatu bangsa dapat hidup dan berkembang dengan integritas dan kepribadian yang kuat apabila memiliki suatu pandangan hidup yang dimengerti, dihayati, dan diamalkan dalam hidup sehari-hari oleh seluruh warganya (Darji, 1979:103). Sebagai suatu bangsa yang sudah menyatakan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa asing pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia 693 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 Pancasila sebagai pandangan hidup pada dasarnya merupakan suatu sarana untuk mencapai cita-cita, dan bukan Pancasila yang menjadi tujuan. Cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai dengan Pancasila adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, atau secara umum untuk mensejahterakan manusia, karena manusialah yang ber-Pancasila dan sebagai pendukung Pancasila (Noor, 1997:88). Pandangan hidup Pancasila juga merupakan kepribadian bangsa yang inti mutlaknya adalah sebagai kepribadian manusia, karena keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan merupakan sifat dan hakikat manusia (Noor, 1997:88). Ini memiliki arti bahwa kepribadian bangsa atau kepribadian kebangsaan merupakan wujud konkrit yang bersifat umum kolektif dari kepribadian manusia atau kepribadian kemanusiaan yang bersifat abstrak umum universal. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup memiliki konsekuensi bahwa segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara (baik hukum, ekonomi, politik dan keamanan) harus mengandung nilainilai Pancasila. Dibidang hukum misalnya; Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara merupakan sistem hukum Indonesia yang memberikan arah dan jiwa serta menjadi paradigma norma-norma dalam pasal-pasal UUD 1945. Interpretasi norma hukum dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi akan didasarkan pada jiwa bangsa dalam Pancasila yang berfungsi sebagai cita hukum yang akan menjadi dasar dan sumber pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa yang menjadi pedoman dalam pembentukan undangundang dan peraturan lain yang lebih rendah. Cita hukum dan falsafah hidup serta moralitas bangsa yang menjadi sumber segala sumber hukum negara akan menjadi satu fungsi krisis dalam menilai kebijakan hukum (legal Policy) atau dapat dipergunakan sebagai paradigma yang menjadi landasan pembuatan kebijakan (policy making) dibidang hukum dan perundang-undangan maupun bidang sosial, ekonomi, dan politik (Siahaan:2008;592). Dalam bidang politik, Pancasila idealnya dapat dijadikan pedoman atau etika dasar dalam setiap alternatif-alternatif penentuan tujuan. Pancasila sebagai dasar negara memiliki kekayaan pemikiran yang mampu menjernihkan setiap penentuan tujuan serta bagaimana cara tujuan itu dapat dicapai dan dipertahankan. Harapannya, setelah politik dijalankan dengan landasan pancasila apa yang menjadi tujuan bangsa merdeka yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai. Menurut Magnis (Kaelan, 2010:101), di dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum) yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (Prinsip Moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut dan prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Namun, tidak sedikit politik yang dijalankan di Indonesia adalah politik yang tidak berlandaskan Pancasila, setidaknya itu dapat dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang menjerat para politisi dan pejabat negeri ini. Data Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa rentang 2005 hinga Agustus 2014 terdapat 3.169 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlibat kasus korupsi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Tidak heran jika kepuasan masyarakat terhadap DPR dan Partai Politik sangat rendah. Setidaknya hal itu dibuktikan oleh lembaga survei Poltracking Indonesia. Menurut survei yang dilakukan pada Mei 2015 menyebutkan bahwa hanya sebanyak 23,8 persen responden menyatakan puas. Sedangkan, 66, 5 persen menyatakan tidak puas. Selain itu, sebanyak 9,7 persen menyatakan tidak tahu. Kemudian, berdasarkan kinerja partai politik, sebanyak 63,5 persen responden menyatakan tidak puas. Hanya sebanyak 23,1 persen yang menyatakan puas. Ada pun 12,5 persen responden menyatakan tidak tahu. Perilaku korup para wakil rakyat seperti yang ditujukkan data di atas tak pelak menimbulkan asumsi di kalangan masyarakat bahwa politik tak lebih dari caracara busuk yang dipakai oleh seseorang untuk merampas hak-hak orang lain demi kepentingan kelompok (partai politik). Janji-janji manis yang sering dilontarkan pada saat kampanye pemilu juga jarang atau bahkan tidak ada yang terealisasi. Meminjam istilah Mahfud MD, demagog. Namun, disetujui atau tidak. lembaga Eksekutif dan Yudikatif banyak dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari partai politik. Lembaga Yudikatif seperti Jaksa Agung saat ini dijabat Oleh H.M Prasetyo (kader Partai Nasdem), Mahkamah Konstitusi pernah dipimpin Oleh Mahfud MD (kader PKB) dan Hamdan Zoelva (Kader PBB). Bahkan Presiden beserta para menterinyapun berasal dari Partai Politik. Banyaknya kasus korupsi yang menjerat kader partai politik menimbulkan sejumlah pertanyaan, Sudahkah Partai Politik menjadikan Pancasila sebagai landasan etika berpolitiknya? Lalu bagaimana meraka melakukan semuanya? Sebab Pancasila merupakan sumber moralitas utama dalam penyelenggaraan negara. Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu Infrastruktur sistem politik Indonesia juga memiliki peran besar dalam mempertahankan eksistensi Pancasila sebagai landasan etika dalam berpolitik. Golongan Karya (Golkar) yang semula dicetuskan oleh Soekarno diharapkan dapat menyatukan berbagai golongan fungsionil dan bersatupadu melawan kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu tengah gencar melakukan pergerakan untuk mengubah ideologi Pancasila menjadi Ideologi Komunis. Boileau (1983:25) menuliskan bahwa Golkar (Golongan Fungsionil /Functional Groups) mempunyai sejarah panjang dalam kehidupan perpolitikan Indonesia. Bahkan mereka lahir secara alamiah sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Lebih lanjut David Reeve (2013:xiii-xviii) menyebutkan bahwa Golkar lahir dari gagasan-gagasan para pendiri bangsa. Jika benar Golkar lahir dari akar pemikiran pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Soepomo bukankah keberadaan Golkar diharapkan dapat mempertahankan eksistensi Pancasila? Pada awal kelahirannya Golkar memang sempat menjadi alternatif baru selain Partai politik Untuk berkuasa namun pada masa berikutnya Golkar tak lebih dari sekedar kendaraan politik Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Hingga pada akhirnya Orde Baru tumbang pada 1998 dan pada saat itu pula Golkar berada pada masa kritis, hampir bubar. Namun, dengan semboyan ‘Golkar Baru” Akbar Tandjung berhasil menyelamatkan Golkar dari kepunahan, maka jadilah Golkar sebagai Partai Politik yang siap bersaing dengan partai-partai lain. Meski terlahir kembali dengan paradigma baru, partai Golkar sempat menerima resistensi dari berbagai pihak termasuk tuntutan dari berbagai pergerakan mahasiswa agar Partai Golkar membubarkan diri, menurut mereka Golkar bertanggung Jawab atas kehancuran Negara, tumbuh dan suburnya KKN. Pasca deklarasi kelahiran Partai Golkar, ada banyak perubahan yang terjadi termasuk AD/ART dan visi-misi organisasi. Salah satu visi partai Golkar adalah menegakkan, mengamalkan, dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa demi untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Visi ini paling tidak menunjukkan sebuah komitmen yang kuat dari Partai Golkar untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang dicetuskan oleh Bapak Pendiri bangsa yang berdasar Pancasila Partai Golkar juga memiliki platform. Platform yang dimaksudkan di sini adalah landasan tempat berpijak, yaitu wawasan-wawasan yang menjadi acuan dan arah dari mana dan ke mana perjuangan Partai Golkar hendak menuju. Partai Golkar berpijak pada landasan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Sejarah mencatat, dalam sepuluh kali penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) Partai Golkar selalu mendapatkan suara yang signifikan Tabel 1: Perolehan suara Golkar (sumber:Jawa Pos/21 September 2015) Pemilu 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004 2009 2014 Persentase Suara 66,55 % 64,44 % 67,22 % 74,57 % 70,50 % 74,67 % 25,97 % 23,27 % 19,11 % 16,3 % Kursi DPR 360 232 242 299 282 325 153 128 107 91 Peringkat 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2 Beberapa fakta di atas setidaknya menunjukkan bahwa Partai Golkar selalu menjadi pilihan rakyat Indonesia. Bahkan jika dibandingkan dengan partai politik lain partai Golkar relatif lebih stabil dalam perolehan suara disetiap pelaksanaan Pemilu. Namun, partai Golkar sebagai partai yang menjadikan Pancasila sebagai alat dan nilai perjuangan, juga partai dengan perolehan suara pada pemilu yang selalu di posisi 2 (dua) besar, partai golkar juga tidak lepas dari kasus korupsi. Setidaknya sumber Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa selama 2005-2013 partai Golkar sebagai partai yang memiliki kader terbanyak yang tersangkut kasus korupsi dan telah mendapatkan putusan dari pengadilan. Terdapat 40 kader GOLKAR terlibat korup, diikuti PDI-P 27, DEMOKRAT 17, PAN 8, PPP 8, PKB 2, GERINDRA 2, PKS 1, PBR 2, PKPI 1, PBB 2 Setahun belakangan Partai Golkar juga tengah dirundung kasus dualisme kepengurusan antara Abu Rizal Bakrie dengan Agung Laksono. Berawal dari kericuhan saat rapat pleno penentuan waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar , Partai Golkar lalu terbelah dua. Kubu pertama yang digawangi oleh Abu Rizal Bakrie menyelenggarakn Munas IX Partai Golkar di Bali pada 30 November – 4 Desember 2014 dan menetapkan Abu Rizal Bakrie sebagai Ketua Umum Serta Idrus Marhan sebagai sekretaris Umum. Sementara kubu kedua menggelar Munas IX Partai Golkar pada 6-8 695 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 Desember 2014 di Jakarta dan menetapkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum dan Zainuddin Amali sebagai Sekretaris Jenderal. Dualisme kepengurusan ini tidak hanya memecah elit Partai Golkar menjadi dua namun berefek pada kader partai Golkar di daerahdaerah. Kasus dualisme partai Golkar ini dianggap berakhir di putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan kubu Abu Rizal Bakrie. Kasus dualisme ini tak pelak semakin memperburuk citra Partai Golkar dan dianggap tidak mengedapankan etika politik dalam penyelesainnya. Perlu dicari tahu seberapa jauh Pancasila terpatri dalam sanubari para pengurus atau kader partai Golkar, sehingga Pancasila sungguh-sungguh diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu dapat dipantau dari sejauh mana para pengurus atau kader Partai Golkar meyakini kebenaran Pancasila melalui perbuatan dan perkataan. Singkatnya, perlu ditakar pengetahuan para kader partai Golkar tentang Pancasila baik melalui pandangan-pandangan ataupun pendapatpendapat yang dapat dibandingkan dengan kehidupan nyata mereka. Sebab, pandangan dapat mengubah sikap seseorang dan merupakan ranah yang berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan. Keduanya secara bersamaan maupun bergantian akan menciptakan sebuah kondisi yang mampu memberikan gambaran kepada seseorang tentang sebuah obyek tertentu. Pandangan adalah sesuatu yang berbeda dengan persepsi. Pandangan lahir setelah seseorang menemukan persepsinya dari berbagai pengalaman yang dialami oleh pancainderanya. Atau dengan kata lain pandangan merupakan proses akhir yang dialami manusia dalam kegiatan berpikir. Bila dibandingkan dengan persepsi, pandangan juga cenderung lebih obyektif dalam memandang sebuah obyek. Dalam kaitannya pangurus Partai Golkar dan Pancasila sebagai landasan Etika politik persepsi telah mengambil ruang pada diskursus haruskah Pancasila dijadikan asas dalam perjuangan Partai Golkar? Dan hal ini sudah menemukan asumsinya. Sementara Pandangan merupakan dialektika atau dilema moral yang dialami oleh masing-masing pengurus tentang keharusan mengamalkan Pancasila atau tidak. Dan dialektika itu yang memunculkan sebuah tindakan yang berdasarkan Pancasila atau tidak. Maka, kaitannya dengan berbagai kasus korupsi dan dualisme partai Golkar. Pandangan pengurus partai Golkar terhadap pancasila sebagai Landasan Etika Politik merupakan anasir unik untuk dikaji. Sebab Pandangan seseorang merupakan pintu terakhir sebelum ia melakukan sebuah tindakan tertentu. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos. Dalam bentuk tunggal memiliki arti; tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan;adat;akhlak; watak; perasaan; sikap dan cara berpikir, (Bertens, 2011: 4). Dalam bentuk jamak (ta etha) yang artinya adalah adat kebiasaan. Secara terminologi, etika menurut Franz Magnis Suseno adalah filsafat mengenai bidang mora. Etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma dan istilah moral. Dalam arti luas sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui sebagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Etika juga didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas (Bertenz,2011:17) Politik dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata “politicos” yang artinya kepunyaan negara. Politik merupakan kegiatan yang dilakukan dalam suatu sistem politik yang disebut negara, karena pada dasarnya membicarakan politik adalah membicarakan negara (Kencana, 1997:19). Banyak ilmuwan politik yang risau dengan pengertian liar politik. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap bahwa mengartikan politik sebagai usaha kotor dan jahat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan merupakan perilaku yang menjauhi politik. Ranciere salah satunya, dia berusaha mengenalkan politik sebagai usaha untuk “ikut mengambil peranan” dalam kehidupan bersama. Menurutnya usaha untuk “ikut mengambil peranan ini merupakan turunan dari aksioma kesetaraan. Bahwa pada dasarnya manusia itu adalah setara, dan kesetaraannya adalah setiap manusia mampu berpikir (Hardiman dkk, 2011:xiii). Hal ini diperkuat oleh Hannah Arendt dalam Heywood (2013:11) bahwa politik merupakan bentuk aktivitas manusia yang paling peting karena ia melibatkan interaksi antara para warga yang merdeka dan setara. Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Dalam pengertian luas etika politik mengandung standar-standar nilai yang diperoleh dari nilai-nilai kemanusiaan untuk dijadikan kerangka acuan teoritik dalam mempersoalkan dan menjelaskan legitimasi politik dan budaya politik yang ada dan berlaku pada suatu masyarakat. Maka, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban sebagai manusia, bukan hanya sebagai warga terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya (Magnis, 2003:13) Pancasila merupakan sistem etika dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai sebuah sistem, semua susunan Pancasila merupakan kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Masing-masing nilai yang terkandung dalam Pancasila memiliki bobot nilai yang berbeda namun saling menjiwai dan dijiwai. Pengertian Pancasila sebagai suatu sistem artinya sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh demikian Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik juga makna yang terkandung di dalamnya. Nilai sila pertama menjiwai nilai sila lainnya dan masing-masing sila saling mengkualifikasikan dengan sila lain (Widisuseno, 2007:41). Partai Golongan Karya atau yang lebih sering disebut dengan Partai Golkar adalah salah satu Partai politik yang ada di Indonesia. Partai Golkar dipercayai lahir bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia. Sebab pada awalnya Partai Golkar merupakan ide dan gagasangagasan dari Ir. Soekarno. Secara historis perkembangan Partai Golkar dapat dibagi ke dalam empat tahap (Reeve:xiv). Pertama, tahap embrio dari golongan fungsionil non-afiliatif yang tergabung dalam Front Nasional yang berada dalam wadah Sekber Golkar (19571964). Kedua, tahap metamorphose dari Sekber Golkar menjadi Golkar pada masa Orde Baru (1965-1970). ketiga, tahap sebagai mesin politik Orde Baru hingga masa kejatuhannya pada tahun 1998 (1971 -1998). Dan tahap keempat, tahap Golkar menjadi Partai Golkar (1999). grounded research. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan format deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89). Metode kualitatif deskriptif merupakan metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau sesuatu pada masa sekarang (Nazir, 1988: 63). Tujuan dari penelitian kualitatif deskriptif ialah untuk membuat deskriptif akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang terjadi. Dalam penelitian ini akan digambarkan bagaimana pandangan-pandangan pengurus DPD Partai Golkar Jawa Timur tentang Pancasila sebagai landasan Etika Politik dikaitkan dengan berbagai fenomena sosial berupa banyaknya kader partai Golkar yang terlibat kasus korupsi dan terjadinya dualisme kepengurusan Partai Golkar dari tingkat pusat hingga daerah serta menjadikan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Platform perjuangan Partai Golkar sebagai nilai titik balik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pertimbangan dapat lebih fokus pada masalah yang didalami serta dapat menafsirkan dan membuat kesimpulan atas berbagai temuan dengan bantuan instrumen agar lebih valid dalam mengolah data yang telah diperoleh dari lapangan. Informan adalah sumber data. Dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive sampling. Taknik ini merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan, tujuan, sifat-sifat ciri-ciri dan karakterisktik tertentu. Karakteristik informan dalam penelitian adalah Pengurus inti DPD Partai Golkar Jawa Timur. Sementara itu penelitian ini akan dilaksanakan di kantor PDPD Partai GOLKAR Jawa Timur Jalan. Ahmad Yani Nomor 311 Surabaya Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik. Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang digunakan adalah pedoman wawancara. Dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi Analisis data kualitatif menurut Bognan & Biklen sebagaimana dikutip Moleong (2007:248), adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Teknik anaisis data dalam penelitian ini meliputi. Reduksi data, penyajian data dan Verifikasi data. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi, yaitu penelitian yang berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dan peristiwa-peristiwa, dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu. Penelitian Fenomenologi juga ditekankan pada subjektifitas pengalaman hidup manusia, sebagai suatu metode yang merupakan penggalian langsung pengalaman dan pengetahuan yang disadari dan menggambarkan fenomena yang ada tanpa terpengaruh oleh teori sebelumnya dan mungkin tidak perlu menguji tentang dugaan atau anggapan sebelumnya. Dalam suatu penelitian, metode digunakan untuk memecahkan masalah yang akan dan sedang diteliti. Metode penelitian adalah suatu cara untuk mencari kebenaran secara ilmiah berdasarkan data yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2012: 2) Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Kualitatif, yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2012: 4) “penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.” Format penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format 697 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pendekatan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa mempunyai konsekuensi bahwa segala tata kelola kehidupan bangsa harus berdasar dan didasarkan pada Pancasila. Pancasila yang ada bersamaan dengan adanya kehidupan di negeri ini memiliki berbagai kaidah-kaidah universal untuk mengatur kehidupan manusia agar selaras dengan tujuan atau fitrah keberadaan manusia di muka bumi, yakni sebagai pemimpin. Dalam dunia demokrasi, Pancasila diharapkan hadir sebagai pondasi bangunan politik bagi orang-orang yang mewakafkan dirinya dalam dunia politik Indonesia. Harapannya Pancasila menjadi sumber mata air yang menyejukkan dan menjernihkan pola pikir dan perilaku para politikus dan mampu melepas dahaga menuju tercapainya cita-cita bangsa. Yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Begitupun demikian, Pancasila diharapkan tidak hanya menjadi sebuah pajangan dan mantra-mantra keramat dalam setiap pelaksanaan upacara atau ketika ada tes kenaikan jabatan lebih dari itu Pancasila harus terpatri dalam sanubari yang paling dalam. Partai politik yang mendapatkan mandat dari Undang-undang untuk menjadi ujung tombak dalam pendidikan politik dan “saluran penguasa” memiliki peran yang sangat strategis untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila bahkan mengamalkannya dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran strategis itu dapat mereka perjuangkan melalui peraturan peraturan dasar organisasi atau yang lazim disebut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Kode etik dan aturan aturan lain yang berkaitan dengan semangat mengamalkan Pancasila atau mempraktikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tercipta iklim politik yang sehat dan manusiawi. Sejauh ini, kondisi politik Indonesia tengah gersang nan kering kerontang karena perilaku politik yang naif dan tak beretika, korupsi masih kerap terjadi, para wakil rakyat terjerat kasus pidana bahkan pertikaian antar satu partai ajeg kita saksikan bak sajian drama yang tak kunjung ada habisnya. Lalu kemana perginya Pancasila , dasar filosofis bangsa ini?. Roda politik Indonesia seolah kehilangan arah dan komitmen terhadap Pancasila sebagai dasar filosofis bangsa,bahkan ia cenderung cadas dan keras kepala serta tak mau peduli dengan tujuan utama berpolitik, yakni tercapainya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Partai Golkar sebagai salah satu partai (tertua) di Indonesia memiliki komitmen yang sangat besar untuk tetap mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai landasan etika dalam berpolitik. Di Pasal 5 Anggaran Dasar Partai Golkar Menyebutkan bahwa Pancasila adalah asas dari Partai Golkar. Asas mempunya makna bahwa Pancasila adalah dasar dari perjuangan Partai Golkar. Pancasila adalah kaidah fundamental untuk mewujudkan cita-cita partai Golkar sebagai salah satu infrastruktur sistem politik Indonesia. Freddy sebagai salah satu punggawa Partai Golkar Jawa Timur memberikan penguatan “Pancasila adalah landasan fundamental. Jika agama punya kitab suci maka negara harus memiliki filosofi kehidupan atau ideologi. Nah, Indonesia sebagai sebuah bangsa memilih Pancasila sebagai ideologi.” (Wawancara 29-12-15) Tidak berlebihan jika Freddy menyandingkan ideologi dalam suatu bangsa dengan sebuah kitab suci dalam agama. Sebab pada dasarnya ideologi memiliki peran sebagai pedoman umum dalam penyelenggaraan sebuah negara. Hal itu memiliki fungsi yang sama dengan kitab suci dalam agama, pedoman. Konsekuensianya, jika dalam agama seseorang melanggar ketentuan kitab sucinya maka ia berdosa tetapi dalam kaidah kebangsaan seseorang yang tidak berperilaku sesuai ideologi bangsanya maka ia bisa disebut tidak beretika. Hal Ini diperkuat oleh pandangan dari Chriswanto, “Apabila ada orang-orang yang melanggar hal itu (Pancasila), maka dialah orang orang yang tidak beretika.” (Wawancara 1201-16) Tugas manusia Indonesia selanjutnya adalah meyakini dan mengamalkan Pancasila sebagai sebuah alat yang mampu menyelamatkan dan dapat mengantarkan pada sebuah keadaan dimana kita dapat hidup dengan damai, aman dan sejahtera. Keyakinan ini harus berdasar pada alasan bahwa Pancasila mampu menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya, sebagaimana keyakinan kita terhadap agama. Chriswanto menyebutkan bahwa “Benar dan mutlak adalah urusan Tuhan. Tetapi jika Pancasila dijadikan pedoman kebaikan di dalam menuju kesejahteraan, mungkin ia. Selama ia dijalankan dengan ajaran agama maka ia adalah kebaikan. Kalau Pancasila menuju kebaikan saya meyakini. Karena pancasila mengandung unsur Ketuhanan, itu adalah kebenaran. Unsur Kemanusiaan dan itu merupakan tujuan demokrasi. Memanusiakan manusia”.( Wawancara 12-01-16) Beberapa uraian di atas paling tidak mampu memberikan gambaran yang jelas dan tegas bahwa dalam dunia politik, Pancasila adalah pedoman yang mengandung kebenaran yang oleh karenanya pula tujuan Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik luhur politik yakni untuk “mensejahterakan” dapat tercapai. Komitmen Partai Golkar yang sangat besar terhadap eksistensi Pancasila demi terwujudnya balada politik beretika Pancasila mereka sampaikan dalam diskusi-diskusi kecil bernuansa ceria dalam proses penggalian data dalam penelitian ini. Ada beberapa pandangan atau rumusan tentang Pancasila sebagai landasan etika dalam berpolitik yang dikumandangkan oleh beberapa pengurus Partai Golkar bahwa sebenarnya Etika Politik yang berdasar Pancasila dapat diperas menjadi. Pertama, Perilaku yang berdasar hukum dan moral. Kedua, Musyawarah. Ketiga, Gotong royong dalam tanggungjawab berbunyi “menjungjung tinggi supremasi hukum dan HAM”(POKKAR Partai Golkar). Kalimat ini memiliki makna bahwa garis perjuangan Partai Golkar adalah berdasar dan demi tewujudnya hukum yang berlaku. Freddy menambahkan bahwa, “Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa adalah good norm. Pancasila sebagai norma dasar yang telah teruji pada peristiwa PKI pada tahun 1965. TAP MPR nomor 20 tahun 1966 ju. No 5 tahun 1978 menyebutkan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Seluruh produk hukum baik Undang-undang maupun peraturan pemerintah sampai peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebab Pancasila harga mati dan tidak ada kata tawar.”( Wawancara 29-12-15) Legalitas juga menghendaki adanya sebuah pertimbangan apakah perilaku itu sesuai dengan moralitas atau tidak. Sebab selain harus berdasar hukum yang berlaku politik yang beretika Pancasila harus bervisi pada kesejahteraan. Chriswanto menyebutkan “etika politik harus menuju kepada kesejahteraan. Ketika seseorang menjalankan politik tidak bervisi kesejahteraan maka ia dapat dikatakan tidak beretika. Tidak bermoral.”( Wawancara 12-01-16) Perilaku korupsi yang sering dijumpai akhir-akhir ini juga merupakan gambaran dari perilaku politik yang tidak berdasar bahkan menerabas hukum serta tidak beorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas. karena korupsi adalah kegiatan memperkaya diri sendiri atau suatu kelompok tertentu. Freddy menyebutkan “...dan dalam proses menjadi kader partai harus mawas diri / introspeksi. Misalnya saya sekarang, apakah gaji saya dari DPR sangat cukup? Lebih dari cukup saya kira. Untuk apa saya korupsi. Anak saya sudah mapan semua. Sehingga perbuatan saya merupakan tulus pengabdian terhadap negara. Kalau dalam ranah kebijakan sebagai wakil rakyat kita harus berani menolak apabila itu merugikan rakyat.”( Wawancara 2912-15) Korupsi sebenarnya tidak terjadi jika para pelaku politik merasa cukup dengan segala yang dimilikinya, sadar bahwa jabatan yang dimiliki merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan, freddy menyebutkan bahwa Perilaku yang Berdasar Hukum dan Moral Legalitas atau keabsahan adalah keyakinan anggotaanggota masyarakat bahwa wewenang atau dibolehkannya seseorang melakukan sebuah tindakan atau perilaku politik yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati (Miriam : 2008:65). Kewajaran ini dapat didasarkan pada pandangan bahwa pelaksanaan perilaku atau tindakan politik itu sesuai dengan asas-asas atau prosedurprosedur yang sudah ada dan diterima secara luas dalam masyarakat. Menurut Zainal, “Etika politik adalah landasan dalam melakukan perilaku politik. Atas dasar apa politik atau kekuasaan itu dilaksanakan.” (Wawancara 02-02-16) Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dalam konstitusinya telah menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal Ini juga disampaikan secara tegas oleh Freddy bahwa, “Kita berbuat harus berdasar hukum yang ada dan yang berlaku”. (Wawancara 29-1215) Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia sehingga hukum yang ada dan berlaku merupakan cita dari Pancasila, artinya berbagai produk hukum yang ada tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pandangan ini memiliki makna bahwa dalam berpolitik seseorang dikatan beretika Pancasila apabila perilaku politik atau pewujudan wewenangnya dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku. Namun, Meulila memiliki pandangan berbeda. Ia mengatakan, “sesungguhnya dalam politik praktis tidak ada etika, sebab politik dapat menjadi sebuah perjuangan mewujudkan kepentingan pribadi. Selama kepentingan-kepentingan itu belum terwujud maka politik akan tetap ada.” (Wawancara 02-02-16) Namun, Pandangan dari Meulila ini tidak sesuai dengan Platform Partai Gokar yang salah satunya 699 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 “Banyak teman-teman yang terjebak dalam kasus korupsi itu karena rakus, padahal mereka adalah tokoh-tokoh dan itu bukanlah pola kader, yang ada hal itu merupakan latah dan tidak mengkaji mana yang baik dilanjutkan dan mana yang buruk dievaluasi atau bahkan tidak dilakukan.” (Wawancara 29-12-15) Korupsi merupakan perilaku perampasan hak orang lainyang karenanya menyebabkan kesejahteraan tidak tercapai, jika korupsimerupakan perbuatan sarkas maka agama manapun di dunia ini “membenci” korupsi, sebab korupsi adalah perilaku yang tidak berperikemanusiaan. Chriswanto menjelaskan bahwa, “Pancasila sangat global dan merupakan sumber hukum. Artinya di dalam menjalankan proses politik apakah kita berkemanusiaan, kalau saya korupsi berarti saya tidak berperikemanusiaan. Kalau saya menjual aset-aset negara berarti saya tidak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan berlawanan pada Ketuhanan. Oleh karena itu kalau kita betul betul bermuara pada lima sila Pancasila maka tidak akan terjadi masalah seperti sekarang. Sekarang banyak politikus mengaku pancasilais tetapi perilakunya tdak berpancasila.” (Wawancara 12-01-16) Sementara itu Heroe beranggapan bahwa korupsi lebih kepada perilaku oknum saja dan bukan perilaku partai secara melembaga, “Korupsi adalah perilaku oknum, tidak bisa dan tidak boleh kita mengaitkan seseorang yang terlibat kasus korupsi dengan institusi. Sebab sekali lagi, Golkar sangat berkomitmen terhadap kemajuan bangsa. Korupsi bukan untuk memajukan bangsa.”( Wawancara 02-0216) Hal ini juga diperkuat oleh Freddy, “Kebiasaan yang baik dalam kehidupan berpolitik, berpolitik harus beretika. Ketika kita melihat banyak politikus yang tidak beretika kita harus melihat bahwa bukan politiknya yang tidak beretika tetapi manusianya, oknum” (Wawancara 29-12-15) Selain sifat tamak dari manusia itu sendiri ada beberapa hal yang menyebabkan perilaku korupsi. Pertama, sistem Rekruitmen politik yang terbuka. Kedua, Banyaknya partai. Ketiga, kesempatan Sistem rekruitmen politik yang terbuka Sistem rekruitmen politik merupakan salah satu gerbang untuk menyeleksi orang mana yang pantas untuk berpolitik dan orang mana yang kurang layak untuk hidup dalam dunia politik. Ada banyak kriteria yang dapat dijadikan tolok ukur namun relatif pada kebutuhan partai masing-masing. Namun recruitmen yang diharapkan dapat menyeleksi orang-orang berkualitas itu tak terwujud ketika partai cenderung serampangan dalam menerima kader baru, “yang penting logistik kuat anda layak” sehingga rakyat tidak memiliki banyak pilihan Dalam dunia yang lain, Pegawai Negeri Sipil (PNS) misalnya, ada seleksi dan kriteria yang sangat ketat sehingga bukan sembarang orang dapat menjadi PNS, tetapi recruitmen politik tidak. Ini disampaikan oleh Freddy “Di dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan ada yang namanya aparatur pemerintahan tentunya mereka mau masuk menjadi aparatur pemerintahan harus melalui seleksi. Ada kriteria yang menjadi tolok ukur. Contoh sarjana mau jadi PNS, kalau dia diterima maka paling tidak dia akan menjadi golongan III. Orang mau masuk polisi atau akpol dia harus mengikuti seleksi. Seperti pos kesehatan, psikologi dll. Lalu mengapa dalam politik tidak melakukan hal yang sama? Ini yang saya anggap sekarang sudah salah kaprah. Saya bukan mengatakan orde baru sangat bagus tapi pada waktu itu kalau mau masuk partai ada tes yang namanya mental ideologi, harus Pancasila sejati. Tes kesehatan, fit and propert. lalu di cek background dari organisasi yang bersangkutan, background sekolah. Dan ini harus dibangun kembali. Anggota DPR sekarang kan tidak, kebetulan saja ada yang sampai S3, bahkan lebih banyak yang lulus persamaan” (Wawancara 29-12-15) Pendapat ini seperti ingin menunjukkan bahwa dalam recruitmen politik terjadi ironi. partai politik sebagai “pabrik panguasa” justru absen dalam memilih kader secara selektif padahal di sektor lain kriteria yang ditentukan sangat ketat. Banyaknya partai Salah satu yang menjadi perbedaan demokrasi Indonesia dengan maju seperti Amerika Serikat dan Inggris adalah sistem partai. Di Indonesia sejak pemilu pertama di masa Orde lama di bawah Presiden Soekarno (1955) Jumlah partai politik di Indonesia mencapai 178, sangat banyak, meski sempat ada fusi pada masa orde baru menjadi 3 Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik partai. Namun, pasca Reformasi Indonesia kembali ke sistem multipartai. Sistem multipartai ini mengakibatkan beragamnya kepentingan, mulai dari logistik partai hingga kompetisi memenangkan pemilu yang terlalu berlebihan. Fredy menyebut hal ini sebagai bibit penyebab seorang melakukan tindakan korupsi “hal ini juga diakibatkan oleh banyaknya partai politik di Indonesia. Coba lihat di negara-negara maju seperti Amerika, Partai Politiknya hanya ada dua. Uni Eropa, Perancis, Inggris, Belanda” (Wawancara 2912-15) Banyaknya Partai Politik juga mengakibatkan jarak kekuatan partai satu dengan partai lain menjadi sangat dekat, sehingga arahnya akan bermuara pada bagi-bagi kekuasaan. Pemerintah cenderung akan “gemuk” sebagai akibat dari banyaknya partai yang harus diakomodir dan sulit untuk menempatakan “orang benar ditempat benar” hingga akhirnya korupsi begitu mudah terjadi. kemanusiaan (sila II). yang memiliki makna agar bangsa Indonesia tidak terjerumus pada machtsstaats atau negara kekuasaan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bung Hatta takkala mendirikan negara, bahwa negara Indonesia harus berdasar moral Ketuhanan dan moral Kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Zainal “Pancasila sebagai landasan etika politik adalah perilaku politik yang sesuai dengan sila ke-5, yakni Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera melalui musyawarah mufakat dengan sikap ketuhanan atau semangat Religiutas.”( Wawancara 02-0216) Akhir-akhir ini Partai Golkar juga tengah mengalami sebuah keadaan di mana ada dua kelompok yang sama-sama mengaku sah sebagai pengurus puncak Partai Golkar. Dualisme ini menjadi pukulan telak bagi Partai Golkar yang sejauh ini selalu mampu mengatasi berbagai masalah partai. Salah satu badai yang pernah datang namun dapat diatasi adalah peristiwa Reformasi 1998, yakni Orde Baru yang identik dengan Partai Golkar runtuh, Golkar yang saat itu lekat dengan Orde Baru mampu bereinkarnasi menjadi Golkar baru yang dapat kembali diterima masyarakat Indonesia. Dualisme kepengurusan antara kubu Abu Rizal Bakrie (ARB) dengan Agung Laksono (AL). Namun, Freddy beranggapan bahwa dualisme tidak pernah terjadi “Dualisme Partai Golkar sebenarnya tidak terjadi. Golkar adalah kekuatan politik terbesar walapun pada reformasi kemarin sempat/masih di nomor 2. Pasti ada orang yang tidak suka dan akan menggembosi Partai Golkar. Orang Indonesia pendendam. Nah dualisme yang terjadi merupakan segelintir oknum saja. Bahwa oknum ini masih rakus dengan jabatan yang satu merasa kehormatannya terganggu. ARB, secara konstitusi merupakan pimpinan, sementara AL merasa berpihak pada perubahan hanya cara yang dipakai salah. Sehingga kondisi ini terus dipelihara oleh penguasa. Budaya ngalah menjadi tidak ada. ARB, semuanya menang. (Wawancara 29-12-15) Sementara itu Zainal beranggapan bahwa dualisme memang terjadi tetapi hanya di pusat dan tidak sampai merembet ke daerah. “Dualisme Partai Golkar terjadi di pusat saja. Daerah tidak pernah terkena imbas dualisme tersebut.”( Wawancara 02-02-16) Dua pandangan yang berbeda ini (dualisme, antara ada dan tiada) seolah-olah menkonfirmasi bahwa dualisme Partai Golkar benar-benar terjadi dan terlanjur Kesempatan Kesempatan adalah adanya waktu maupun kemungkinan untuk melakukan korupsi, kesempatan melakukan korupsi hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan khusus yang memungkinkan untuk melakukan tindakan korupsi. Jabatan begitu dekat dengan perilaku korupsi. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Chriswanto, “Secara institusi Golkar sangat komitmen dengan anti korupsi. Tetapi berbicara secara individu orang yang terkadang menjadi sumber masalah. Saya memiliki teman di Golkar. Sangat baik, tetapi dia tiba-tiba korupsi. saya kaget, mengapa dia tiba-tiba bisa begitu. Karena ada 2 hal. Satu, kebutuhan. Dua, kesempatan dan keinginan. Ini yang kadang kala orang tidak bisa membedakan. jujur belum dapat kesempatan. Setelah dapat kesempatan dia korupsi. Saya tidak ingin memiliki rumah mewah semewah rumah Setya Novanto. karena memang saya tidak ada kesempatan di situ. Tetapi ketika ada pada posisi kemungkinan korupsi maka, itu yang harus dikendalikan. Kendalikan nafsu kita.” (Wawancara 12-01-16) Korupsi merupakan perilaku yang tidak bervisi pada kesejahteraan sehingga politik yang dijalankan adalah politik tidak beretika. Bervisi kesejahteraan (prinsip moralitas) memiliki peran sebagai penyaring bahwa perilaku politik yang berdasar hukum yang berlaku saja tidak cukup, tetapi harus disesuaikan pula dengan prinsip moralitas baik moral religius (sila I) serta moral 701 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 terexspose oleh media sehingga menimbulkan anggapan bahwa Partai Golkar tidak mampu mempraktikkan politik yang santun dan beretika sesuai dengan Pancasila. Hal ini diperkuat oleh pendapat Chriswanto, “pimpinan sekarang tidak sedang menjalankan Pancasila dalam kehidupannya”. (Wawancara 12-01-16). Dan diamini oleh Heroe yang menyebutkan bahwa, “Dualisme golkar terjadi akibat tidak ada kesadaran “di atas” karena mereka mau jadi pemimpin semua, akibatnya Golkar jadi rusak”. (Wawancara 02-02-16) Di sisi lain Freddy beranggapan “Dualisme Partai Golkar terjadi akibat segelintir oknum saja. Bahwa oknum ini masih rakus dengan jabatan, yang satu merasa kehormatannya terganggu. ARB, secara konstitusi merupakan pimpinan, sementara AL merasa berpihak pada perubahan hanya cara yang dipakai salah”.( Wawancara 29-12-15). Pandangan ini setidaknya mampu memberikan penerang siapa diantara ARB dan AL yang lebih memiliki legalitas sebagai pimpinan Partai Golkar. Di dalam doktirn Golongan Karya disebutkan bahwa “kedudukan golongan karya berfungsi sebagai pengamal serta pengaman Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan ideologis dan landasan konstitusionil Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945” Doktrin kekaryaan ini jelas memberikan petunjuk jalan bagi para kader Partai Golkar untuk mengedepankan Pancasila dan UUD 1945 sebagai upaya untuk megamalkan kehidupan politik yang beretika. Artinya secara prinsip harus patuh pada keberadaan aturan-aturan main yang berlaku yang telah diamanatkan UUD 1945 yakni kepatuhan pada hukum. Chriswanto memberikan pandangannya, “Beratnya. Sebetulnya orang yang paling berperan dalam mengendalikan sesuatu sesuai aturan dalah pimpinan. Pimpinan pada levelnya, siapapun dimanapun. Tetapi pimpinan sekarang tidak sedang menjalankan Pancasila dalam kehidupannya. Sejak dualisme saya tetap mengikuti mana pimpinan yang mengikuti aturan atau Hukum, terlepas waktu itu ARB merebut kursi pimpinan Golkar dengan cara yang kurang baik tetapi saya memilih dia. AL meraih dengan tidak mengikuti aturan.” (Wawancara 02-02-16) Secara legitimasi pandangan ini menyebut bahwa ARB lah yang sah sebagai Ketua Umum Partai Golkar tetapi secara moral Chriswanto beranggapan bahwa keduanya sama-sama tidak bermoral, “Sehingga menurut saya dua-duanya tidak bermoral”( Wawancara 02-02-16) Pada dasarnya sebagai negara Indonesia menghendaki semua perilaku warganya harus sesuai dengan hukum sebagai sumber legalitas. Namun, Perilaku berdasar hukum saja tidak cukup, perilaku itu harus pula disertai dengan prinsip moral, baik moral religius (sila I) atau moral kemanusiaan (sila II). Begitu juga sebaliknya, perilaku berdasar moral saja tidak baik. perlu mengikuti aturan atau hukum yang ada, diterima dan berlaku di masyarakat. Keduanya harus berjalan seirama dan bersamaan. Begitulah Etika Politik berdasar Pancasila idealnya dilksanakan. Zainal menyebutkan “Pancasila sebagai landasan etika politik adalah perilaku politik yang sesuai dengan sila ke-5, yakni Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera melalui musyawarah mufakat dengan sikap Ketuhanan atau semangat Religiutas dan Kemanusiaan.” (Wawancara 02-02-16) Musyawarah Musyawarah secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah proses atau upaya bersama untuk mencari jalan ke luar atau pemecahan suatu masalah menyangkut kepentingan bersama. Musyawarah identik dengan dialektika artinya musywarah bersifat dialogis bukan monologis. Dalam praktik demokrasi Indonesia musyawarah selalu dipilih sebagai jalan terbaik agar berbagai perbedaan dapat disatukan dalam bingkai kebersamaan. Partai Golkar juga tak pernah lepas dari identitas bangsa ini. Menurut Zainal, “bagi Golkar dalam berpolitik sampai saat ini belum melepas yang namanya musyawarah mufakat. Musyawarah adalah harga mati bagi golkar” (Wawancara 02-02-16) Pandangan ini mengisyaratkan bahwa dalam perilaku politik Partai Golkar Musyawarah untuk mencapai mufakat adalah cara yang selalu dipakai untuk menentukan arah strategi partai demi terwujudnya Indonesia sejahtera. Musyawarah dalam praktik demokrasi Indonesia bermakna bahwa legitimasi yang dimiliki seseorang atau lembaga bukan berarti dapat dijalankan seenakanya saja. Namun harus ada diskursus tentang berbagai anasir dalam proses pengambilan keputusan agar tidak ada pihak yang merasa disodomi hak-haknya (kedaulatan rakyat). Sehingga prinsip-prinsip musywarah perlu diperhatikan. Menurut Chriswanto, ”prinsip-prinsip musyawarah yaitu, Mencari penyelesaian bukan memunculkan perbedaan”( Wawancara 12-01-16) konsep musyawarah ini harus sama-sama dimaknai sebagai sebuah aturan main agar musyawarah mencapai mufakat. Apabila masih ada orang atau kelompok- Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik kelompok tertentu yang tidak dapat menerima hasil musyawarah dengan lapang dada. Maka, ada berbagai alasan yang dapat menyebabkan hal itu terjadi, salah satunya prinsip-prisip musyawarah seperti yang disampaikan Chriswanto di atas tidak dilaksanakan. Artinya, musyawarah yang dilaksanakan tidak untuk mencari penyelesaian atau mereka tidak bersikap lapang dada terhadap hasil musyawarah itu. Chriswanto menambahkan “Politik kompromi kalau dibahasakan mungkin musyawarah. Bukan tidak dilakukan musyawarah. Tetapi mereka tidak melaksanakan prinsip prinsip musyawarah yaitu, Mencari penyelesaian bukan memunculkan perbedaan. hasil musyawarah bukan sesuatu yang harus diekpos menjadi sebuah perpecahan karena ketika tidak ada keseimbangan dan kesepakatan bersama dalam musywarah. Maka itu gagal. Karena individu tidak menjalankan konsep musyawarah. Kepentingan pribadi lebih mennjol ketimbang kelompok. Karena dalam musyawarah pasti ada yang tidak diterima dan ada yang diterima. Rosululloh mengutus Amr untuk menjadi pemimpin perang sementara Abu Bakar dan Umar menjadi pasukann. Abu bakar dan Umar berfikir kalau Amr memang ahli perang, itu sudah bagus.” (Wawancara 12-01-16) Hasil musyawarah sebagai sebuah kesepakatan bersama perlu diterima dengan legowo agar tidak tercipta konflik yang dapat menyebabkan tujuan utama dalam sebuah kebersamaan terganggu. Bahkan secara tegas Heroe menyebutkan bahwa, “Etika politik Pancasila berkaitan dengan sumber tanggungjawab serta mengedepankan Musyawarah mufakat. Apapun hasil musyawarah, suka tidak suka kita harus menjalankan. Itu adalah bagian dari perjuangan. Musyawarah adalah hasil kerja bersama-sama bukan/jangan faksi-faksi sehingga hasilnya harus kita laksanakan bersamasama dan dengan penuh tanggung jawab. Saya selalu mengikuti Apapun keputusan yang dihasilkan dalam sebuah musyawarah walaupun hal itu tidak memihak saya. Menerima setiap keputusan musyawarah yang bertujuan mensejahterakan dengan sikap legowo atau lapang dada. Karena menerima hasil keputusan musyawarah itu adalah benar. Baik belum tentu benar tetapi benar InsyaAlloh baik.” (Wawancara 02-02-16) Lebih lanjut Chriswanto menambahkan, “Hasil musyawarah harus didukung berdasar kepentingan bersama dan legowo menerima hasil dari musyawarah dan harus sadar terhadap lebih banyak mana mudharat dengan manfaatnya. Kalau sama sama mudharat ambil mudharat terkecil. Demi bangsa ambil”. (Wawancara 12-01-16) Musyawarah juga menghendaki semua persolan selesai di dalamnya. Artinya, semua masalah harus dibahas dan selesai dalam musyawarah. Heroe menyebutkan, “Kita boleh berdebat di forum (Musyawarah) tetapi tidak boleh berantem di luar forum, semua selesai di forum” (Wawancara 02-02-16) Pendapat ini menjelaskan betapa mendalamnya makna musyawarah bahwa ia adalah obat untuk menyembuhkan setiap penyakit tanpa harus menimbulkan pernyakit yang baru lagi. Lebih lanjut Meulila menyebutkan ada beberapa perilaku politik beretika yang harus diambil oleh seseorang setelah pelaksanaan musyawarah, “Manakala ada yang tidak sepakat (tidak menerima) terhadap keputusan musyawarah maka ia harus menghormati hasil musyawarah, serta yang mendapat dukungan dari hasil musyawarah tidak boleh semena-mena atau seenaknya sendiri”.( Wawancara 02-02-16). walapun harus mengkritisi pakailah cara-cara yang santun sesuai pendapat dari Rachmad. “......santun dalam mengkritisi berbagai perbedaan pandangan politik”. (Wawancara 02-02-16) Inti dari demokrasi adalah musyawarah dan musyawarah adalah praktik utama demokrasi yang harus selalu senantiasa mewarnai setiap perilaku para pelaku politik dan pemangku kekuasaan. Musyawarah juga perintah dari sila ke-IV Pancasila yakni, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Artinya sumber kekuasaan adalah rakyat, jadi rakyat harus dilibatkan dalam musyawarah-musyawarah yang berkaitan dengan kehidupan dan penghidupannya. Singkatnya pelaksanaan musyawarah merupakan pengejewantahan kedaulatan rakyat. Gotong Royong dan Tanggung Jawab Dalam praktik demokrasi legitimasi, prinsip moral dan musyawarah adalah sesuatu yang sangat vital, penting 703 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 bahkan dapat dikatakan sebagai nafas dari demokrasi itu sendiri. Namun keduanya dirasa tidak cukup apabila tidak dilengkapi dengan perilaku tanggung jawab dan semangat gorong royong. Tanggung jawab adalah perilaku menerima apa yang menjadi kewajibannya serta melaksanakan kewajiban itu dengan penuh kesadaran dan keyakinan demi tercapainya sebuah kebaikan baik buat dirinya maupun lingkungannya. Tanggung jawab dalam konteks etika politik Pancasila memiliki makna bahwa setiap individu maupun golongan harus bertindak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Berdasar apa? Tentu berdasar hasil musyawarah (demokratis) dan legitimasi yang dimiliki. Heroe menyebutkan, “Musyawarah adalah hasil kerja bersamasama bukan/jangan faksi-faksi sehingga hasilnya harus kita laksanakan bersama-sama dan dengan penuh tanggung jawab”. (Wawancara 02-02-16) Dalam praktik berbangsa dan bernegara sering kita lihat ada (pendapat) seseorang yang tidak diterima (kalah) dan diterima (menang). Maka seseorang yang kalah harus mendukung dan melaksanakan hasil musyawarah (demokratis) dengan penuh tanggung jawab. Begitu juga dengan yang menang harus merangkul semua golongan dan tidak semena-mena. Hal ini diperkuat oleh Meulila, “Manakala ada yang tidak sepakat terhadap keputusan musyawarah maka ia harus menghormati hasil musyawarah, serta yang mendapat dukungan dari hasil musyawarah tidak boleh semena-mena atau seenaknya sendiri”. (Wawancara 0202-16) Pendapat dari Meulila ini juga menunjukkan pentingnya sikap gotong royong, guyub, saling mendukung dan bukan saling menjatuhkan. Bagi pemenang dalam musyawarah hendaknya mengajak serta tidak menjadikan yang kalah sebagai lawan. Begitulah gotong royong, konsep kerja sama berdasar akar budaya Bangsa Indonesia. Dalam kasus dualisme partai Golkar misalnya Heroe memberikan pandangan bahwa “Dualisme golkar terjadi akibat tidak ada kesadaran “di atas” karena mereka mau jadi pemimpin semua, akibatnya Golkar jadi rusak. Sebenarnya pemimpin yang baik itu indikatornya adalah pertama, Dia akan menjadi sebagai orang tua. Kedua, Bersikap seperti seorang Guru. Ketiga, Menjadi saudara bagi anggotanya. Keempat, Membangun solidaritas. Kelima, Bertindak bak komandan. “(Wawancara 02-02-16) Pandangan Heroe ini seakan ingin mengatakan bahwa kalau mau jadi pemimpin semua siapa yang akan dipimpin? Sehingga proses kepartaian jadi terhambat. Setiap manusia memilki tanggung jawabnya mamsingmasing. Mereka hanya perlu melaksanakan tanggung jawab itu secara bersama-sama, gotong royong, tolong menolong. Lebih lanjut Chriswanto menyebutkan bahwa seseorang harus dapat mengendalaikan nafsu yang tertanam dalam setiap manusia “Nafsu itu ada 2 nafsu ghodob dan nafsu syahwat. Semua manfaat. Nafsu ghodob adalah nafsu yang membuat kita maju. Tapi kitika over maka ini tidak baik. Terkadang saling membunuh. Kita harus bisa menegndalikan mobil bukan sebaliknya. Syahwat baik, kita lahir karena syahwat tapi jangan berlebihan. Nafsulah yang membuat korupsi akhirnya terjadi efek domino, maka nilai moralitas pancasila harus menjadi pola dasar. Doktrin Golkar sangat bagus. Saya malu dengan kasus pak Novanto. Apakah saya akan keluar dari partai Golkar. Tidak, kalau saya keluar berarti saya adalah salah satu orang yang hanya menaruh kepentingan dalam partai. Partai sebagai kuda. Kalau Golkar jelek itu bagian tanggung jawab saya untuk menjadikan Golkar menjadi baik kembali. Pahlawan tidak perlu berbuat sesuatu yang besar tetapi sesuatu yang besar harus dimulai dari hal hal yang kecil dan diperbuat.” (Wawancara 12-01-16) Partai Golkar secara tersirat mendorong perilaku gotong royong melaui dasar-dasar pemikiran doktrin kekaryaan yang berbunyi, “melalui karya, baik rokhaniah maupun jasmaniah manusia mengatur dan megolah alam hingga semakin berkembang menjadi tempat yang layak serta sesuai bagi dirinya. Sebaliknya alam yang telah diolah membantu manusia mengembangkan kesempurnaan dirinya. Dengan demikian karya adalah dialog antara manusia dengan ingkungan secara timbal balik sehingga membahagiakan manusia sebagai umat, manusia sebagai kelompok, dan manusia sebagai pribadi” (doktrin kerkayaan Partai Golkar) Kalimat ini begitu elok mempersandingkan karya dengan gotong royong, yakni perilaku manusia sebagai Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik manusia atau tanggung jawabnya sebagai manusia untuk mencipta kebahagiaan manusia dalam segala matranya Gotong royong juga dapat diartikan sebagai perilaku setiap individu maupun kelompok dengan kesadarannya sendiri dan dalam kondisi apapun harus memiliki kemauan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap permasalahan yang menyangkut kebutuhan orang banyak. Sumbangsih atau partisipasi aktif itu dapat berupa tenaga, dana, pemikiran maupun nasihat yang konstruktif. Menurut Chriswanto mengutip dari salah satu ayat Al-Quran tolong menolonglah dalam hal kebaikan dan kesabaran dan jangan jangan tolong menolong dalam hal keburukan. Dalam koteks etika politik Pancasila, gotong royong berada pada posisi ikut serta bersama-sama membangun, jika tidak bisa atau belum mampu memberikan alternatifalternatif maka lebih baik diam dan tidak berbuat sesuatu apapun yang bisa merusak situasi dan kondisi yang ada. Hal ini diperkuat oleh Chriswanto, “lebih baik diam dan tidak berbuat sesuatu apapun dari pada merusak situasi dan kondisi yang sudah ada”. (Wawancara 12-01-16) Sebab dengan diam dan tidak berbuat kisruh saja sudah merupakan gotong royong yang paling kecil. Jika kita membandingkan dengan perilaku korupsi yang kerap terjadi, maka sebenarnya perilaku itu merupakan penghancuran terhadap sebuah kondisi (masyarakat Indonesia). Perilaku mereka (Koruptor) tidak mencerminkan asas-asas tanggung jawab sebagai penerima mandat amanat rakyat serta mengaburkan arti dari gotong royong. berdasar prinsip persamaan dan kesetaraan manusia, sedang pada sisi lain negara hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, melainkan hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, yang memiliki makna bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasar hukum dan meletakkan hukum pada singgasana tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh warga negara Indonesia harus tunduk dan patuh pada hukum yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan tercapainya kesejahteraan bagi mereka. ketidakpatuhan terhadap hukum merupakan bentuk perlawanan terhadap negara dan bibit penghianatan terhadap cita-cita negara itu sendiri. Dalam kehidupan politik Indonesia, politik dituntut untuk tunduk pada hukum yang berlaku (legalitas) agar iklim politik yang berlangsung tidak gaduh dan teratur. Memang pada dasarnya hukum merupakan produk dari politik, tetapi bukan berarti politik dapat mengotori dan menyimpang dari hukum. Legalitas memiliki arti bahwa seseorang atau kelompok dalam memperoleh dan menjalankan kekuasaan atau wewenang tidak ada konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Suatu tindakan adalah sah apabila sesuai dan tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku (Magnis,2003:59). Di sisi lain, Franz Magnis Suseno beranggapan bahwa mendasarkan wewenang politik pada legalitas merupakan regressus ad infinitum (mundur tanpa akhir) artinya hukum selalu berkaitan dengan hukum yang lainnya. Dengan kata lain legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada hukum positif (Magnis, 2003:60). Namun, kita tidak sedang berada pada situasi itu. Partai Golkar sebagai salah salah satu Infrastruktur sistem Politik Indonesia (bahkan semua partai politik di Indonesia) menghendaki bahwa Hukum merupakan sumber legalitas paling utama, entah itu yang bersumber dari negara atau aturan-aturan lain yang mereka buat sendiri. Sebab sekali lagi, Indonesia telah menentukan pilihan bahwa ia dalah negara yang berdasar hukum. Paham ini menghendaki bahwa hukum memiliki wewenang tertinggi dan para penguasa berada di bawah hukum ( suseno, 2003:39) Pada bagian ini Magnis juga menggolongkan legalitas pada kriteria legitimasi (etis) yang normatif. Artinya, suatu tindakan atau perilaku (politik) penguasa yang memiliki keabsahan untuk menjalankan kekuasaannya tidak cukup jika hanya berpedoman pada unsur legalnya. Mereka juga butuh keabsahan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma dan moral. Pembahasan Franz Magnis Suseno (dalam Kaelan, 2010:101) menyebut dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negera, etika politik menuntut agara kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis, (3) dilaksanakan berdasar prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Pangurus Partai Golkar juga memiliki pandangan terkait bagaimana seharusnya kekuasaan dan politik dilaksanakan berdasar etika politik Pancasila. Legitimasi yang Bermoral Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Dua konsepsi itu saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan 705 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 Tujuannya agar kewenangan itu tidak menimbulkan ambivalensi kekuasaan. Dalam kasus dualisme Partai Golkar misalnya, kasus dualisme seharusnya tidak terjadi jika para elit partai Golkar mengedapankan kepatuhan terhadap hukum dan berbagai aturan main yang telah ada. Yang nampak justru kubu yang satu memperoleh berdasar hukum tetapi kurang bermoral dan yang satu lagi dianggap bermoral tetapi mengeyampingkan hukum yang ada, maka dalam kejadian ini Pancasila memiliki 2 wajah. Pertama, Pancasila sebagai Asas (legal formal). Kedua, Pancasila sebagai legal moral. Pancasila sebagai legal formal (Pancasila sebagai kitab suci) merupakan pengakuan yang sangat ideal dan normatif bahwa bahwa segenap ruh perjuangan partai Golkar adalah Pancasila. Artinya, tidak boleh tidak semua perjuangan partai Golkar harus berdasar Pancasila. Namun, sesuatu yang sangat ideal itu terkadang menemui jarak yang sangat jauh dengan kenyataan yang diharapkan. Dalam praktiknya Pancasila justru hanya menjadi iming-iming, jika etika politik yang berdasar Pancasila harus berdasar hukum, musyawarah dan gotong royong yang bertaggungjawab itu benar-benar dilaksanakan. Maka, dualisme partai Golkar seharusnya tidak serumit sekarang ini. Inilah yang disebut Pancasila sebagai legal moral. Begitu juga dengan fenomena korupsi dan berbagai kasus “tak beretika” yang mendekap para politisi. Perilaku itu merupakan sarkasme, tak layak dan tak bermoral. Sehingga nilai etis dari sila I dan sila II Pancasila tidak terpancar. Musyawarah yang Berkerakyatan Dalam alam demokrasi dan politik, salah satu hal penting yang tidak dapat dikesampingkan adalah bagaimana sebuah kekuasaan dijalankan. Konsep dasar demokrasi memberikan panduan bahwa kekuasaan harus berasal dan melibatkan rakyat. Artinya rakyat berdaulat untuk menentukan siapa dan bagaimana mereka seharusnya diperintah dan dapat menentukan masa depannya. Baik secara langsung maupun perwakilan. Keputusan rakyat yang menjadi peraturan pemerintah bagi semua orang adalah keputusan yang ditetapkan dengan cara musyawarah mufakat dalam satu perundingan yang teratur bentuk dan prosesnya. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat merupakan kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat dan atas nama rakyat dengan dasar musyawarah. Musyawarah merupakan konsep demokrasi yang lahir dari bumi Indonesia, dia tidak identik dengan konsep demokrasi yang diterapkan di negara manapun. Dalam ungkapan Bung Karno demokrasi yang harus dijalankan oleh Indonesia adalah Demokrasi yang khas Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. jika tidak dapat berpikir demikian maka tidak akan dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari rakyat itu (latief, 2011:475). Lalu bagaimana konsep demokrasi musyawarah itu? “Dalam demokrasi musyawarah, suatu keputusan poitik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, beorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat Imparsial dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkla dikte-dikte minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim mayoritas” (latief, 2011:478) Apa yang disampaikan Yudi Latief di atas tidak lain hanya ingin menyebutkan bahwa demokrasi musyawarah yang dijalankan di Indonesia adalah demi terwujudnya kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulat dalam arti memiliki kekuasaan untuk menentukan cara bagaimana ia seharusnya diperintah. Dan keputusan rakyat yang menjadi peraturan adalah keputusan yang ditetapkan dengan musyawarah mufakat. Musyawarah mufakat yang berkedaulatan rakyat harus bersifat dialogis bukan monologis yang bertujuan untuk mencegah dominasi persorangan atau golongan tertentu dalam pengambilan keputusan. Musyawarah-mufakat juga penting untuk menjamin agar keputusan politik senantiasa berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum (latief, 2011:415) Dalam kacamata prinsip etika politik Magnis musyawarah untuk mewujudkan kedaulatan rakyat ini dapat dikategorikan sebagai legitimasi demokrastis. Dimana legitimasi menuntut agar keabsahan seseorang dilaksanakan dengan demokratis, artinya melibatkan semua pihak yang berkaitan tanpa memilah mana yang menguntungkan atau mana minoritas dan minoritas. Tujuannya agar kekuasaan yang dijalankan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyatnya. Semangat dari legitimasi demokratis adalah cita-cinta untuk menghormati suara rakyat dalam politik dengan memberi jalan bagi peran dan pengaruh besar yang dimainkan oleh Pandangan Pengurus Partai Golkar terhdap Pancasila Sebagai Landasan Etika Politik rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para penguasa atau elite. Ada dua bentuk musyawarah yang dapat diterapkan. Pertama, musyawarah yang melibatkan semua rakyat melalui tempat-tempat yang disebut Hebermas sebagai ruang publik. Ruang publik adalah tempat bertemunya masyarakat dengan penguasa dan berfugsi sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana rakyat ingin diperintah dan dikuasai oleh penguasa. Di ruang publik inilah akan terjadi sebuah diskursus politik di mana rakyat mendengarkan penguasa dan penguasa mendengarkan rakyat untuk selanjutnya menentukan kebijakan bersama. Kedua, Musyawarah sesama elite atau penguasa, bentuk musyawarah ini menghendaki bahwa para pemilik kewenangan (keabsahan) mampu menerapkan prinsipprinsip musyawarah bervisi kesejahteraan dan tersambung secara diskursif dengan proses musywarah yang terjadi dalam ruang publik. Jika tidak, maka kekuasaan akan cenderung manipulatif. politik adalah usaha untuk mengambil peranan untuk bersama-sama melakukan tindakan yang menimbulkan efek kebaikan bagi semua dan di sanalah tempat gotong royong berada. Singkatnya, dalam koteks etika politik Pancasila, gotong royong berada pada posisi ikut serta bersama-sama membangun, jika tidak bisa atau belum mampu memberikan alternatif-alternatif maka lebih baik diam dan tidak berbuat sesuatu apapun yang bisa merusak situasi dan kondisi yang ada sebab dengan diam dan tidak membikin kekacauan sudah merupakan bentuk dari gotong royong yang paling kecil. Gotong royong adalah budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan yang telah eksis secara turun temurun. Gotong royong adalah bentuk kerja sama kelompok masyarakat untuk mencapai hasil positif dari tujuan yang ingin dicapai secara musyawarah dan mufakat. Menurut Bung Karno Gotong royong lebih dinamis daripada kekeluargaan karena dalam gotong royong terdapat kerja sama untuk memeras keringat bersama, untuk rela jatuh bersama dan menikmati hasilnya bersama. Dalam kehidupan politik Indonesia, gotong royong harus dimaknai sebagai upaya untuk membangun bangsa bersama-sama demi tercapainya kesejateraan bersama. Bukan saling serang, saling sikat-saling sikut dan saling menjatuhkan sehingga peluang membawa bangsa pada arah kemajuan terhambat. Korupsi merupakan penghambat saluran kemajuan bangsa dimana politik yang dijalankan tidak lagi berorientasi pada nilai-nilai sosial (etika). Tetapi lebih menonjolkan nilai materi (uang dan kekuasaan). Hasrat untuk memenuhi tuntutan materi ini telah mengesampingkan nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong. Artinya, insting manusia sebagai makhluk ekonomi lebih kuat daripada instingnya sebagai makhluk sosial. Sebagai relasi sosial yang bersifat resiplokal (timbal balik) gotong royong memerlukan nilai-nilai moral (Ketuhanan) yang dapat dijadikan pijakan dalam pergaulan politik dengan menjunjung prinsip kemanusiaan dengan tidak saling menyakiti (persatuan) serta mengutamakan dialog atau musyawarah dengan menghindari sifat mau menang sendiri demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gotong royong dalam Tanggungjawab Di dalam salah satu isi pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dia menyampaikan, “Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia,yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitesimeto yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia---semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tida menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkatakan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong” (Latief, 2011:19) Gotong royong adalah “roh” atau saripati dari Pancasila, menerapkan gotong royong dalam hal kebaikan maka sudah melaksanakan Pancasila. Artinya, prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan harus dijiwai dengan semangat gotong royong. Gotong royong juga dapat diartikan sebagai perilaku sosial untuk “saling membantu” atau menurut Ranciere”ikut mengambil peranan” sebuah konstruk tata nilai yang lekat dengan masyarakat Indonesia. Politik, yang akhir-akhir ini banyak dimaknai sebagai seni merebut dan mempertahankan kekuasaan telah kehilangan fungsinya sebagai upaya untuk ikut mengambil peranan. Alhasil, politik sebatas dimaknai sebagai cara-cara kotor, jahat dan menjijikkan. Padahal PENUTUP Simpulan Sebagai Sebuah Ideologi, Pancasila memang terlalu normatif untuk diterjemahkan dalam kehidupan politik praktis, sehingga penting untuk dicari dan digali terus menerus bagaimana sebenarnya Pancasila sebagai landasan etika dalam berpolitik agar sesuai dengan tuntutan zaman. Termasuk pada Partai Politik sebagai 707 Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02 Nomor 04 Tahun 2016, 693-708 saluran elite penguasa negeri ini. Selain menjadikan Pancasila sebagai legal formal dan legal moral Partai Golkar sebagai salah satu Partai Politik di Indonesia memiliki Pandangan atau konsep sendiri tentang Pancasila sebagai landasan Etika politik. pertama, Perilaku politik yang berdasar hukum dan moral. Artinya, etika politik Pancasila menghendaki bahwa dasar seseorang berkuasa dan menjalankan kekuasaannya adalah hukum dan moral. Kedua, Musyawarah. Pada prinsipnya politik adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat dan musyawarah adalah amanah Pancasila untuk mewujudkan kedaulatan itu. Ketiga, Gotong royong dan tanggungjawab. Gotong royong adalah “roh” atau saripati dari Pancasila. Artinya semangat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan dan Keadilan harus dijiwai Gotong royong sebagai wujud tanggung jawab pribadi terhadap upaya tercapainya kesejahteraan umum . Saran Berdasar kesimpulan yang telah dipaparkan maka saran yang dapat saya sajikan. Pertama, Etika Politik lahir bukan untuk menceramahi para politikus, tetapi ia hadir untuk menyiapkan konsep dasar kehidupan politik yang manusiawi. Namun, hendaknya hasil penelitian ini (oleh siapapun) dapat dijadikan jujukan dan pedoman untuk mewujudkan perilaku politik yang lebih beretika. Kedua, Pancasila harus tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan zaman, pada akhirnya harus ada penelitian-penelitian yang lahir untuk menjabarkan Pancasila dan penelitian ini dapat menjadi rujukan penelitian selanjutnya tentu dalam bidang yang berkaitan. DAFTAR PUSTAKA Bertens. 2011.Etika;cetakan Gramedia kesebelas. Jakarta: Boileau, Julian M. 1983. GOLKAR Functional Group Politics In Indonesia. Jakarta: Centre For Strategic And Internasional studies Darmodiharjo, Darji.1979.Pancasila: Suatu Orientasi Singkat.Jakarta: Balai Pustaka Hardiman, Budi. Dkk. 2011. Empat Politik.Jakarta: Srimulyani Esai Etika Heywood, Andrew.2013. POLITIK: terjemahan dari POLITICS 4th Edition.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Edisi Reformasi.Yogyakarta: Paradigma Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Latief, Yudi.2011. Negara Paripurna.Jakarta:Gramedia Moleong, Lexy. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Moleong, Lexy. J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Reeve, David. 2013. GOLKAR Sejarah Yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika. Jakarta: Komunitas Bambu Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Cv Alfabeta Suseno, Faranz Magnis.2003.Etika Politik: PrinsipPrinsip Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:Gramedia Syafi’i, Inu K.1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta Widisuseno, Iriyanto. dkk. 2007. Bahan Ajar Pendidikan Pancasila. Semarang: BP Undip Lainnya: AD/ART Partai Golkar Hasil Munas VIII Partai Golkar Tahun 2009 Buku panduan pelaksanaan tugas anggota POKKAR Partai Golkar Pemilu Tahun 2004 Jawa Pos edisi 21 September 2015