BAB I Pendahuluan Latar Belakang Perkembangan peradaban umat manusia terus berjalan dan terus meningkat. Perkembangan tersebut menghinggapi seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi. Berbicara mengenai bidang ekonomi, tidak lengkap jika tidak membahas mengenai kegiatan bisnis atau usaha karena kegiatan bisnis atau usaha merupakan kegiatan inti dari bidang ekonomi secara umum. Kegiatan bisnis sendiri dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh individu dan sekelompok orang (organisasi) yang menciptakan nilai (create value) melalui penciptaan barang dan jasa (create of good and service) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memperoleh keuntungan melalui transaksi.1 Secara umum kegiatan bisnis dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis. Untuk kegiatan bisnis dalam tingkatan yang cukup besar, artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan baik produksi barang atau jasa dilakukan dalam jumlah besar dan perolehan keuntungan pun diperoleh dalam jumlah yang besar. Kegiatan bisnis semacam itu biasanya dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan dapat diartikan sebagai suatu tempat untuk melakukan kegiatan proses produksi barang atau jasa.2 Perusahaan merupakan kesatuan teknis yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa, perusahaan juga disebut tempat berlangsungnya proses produksi yang menggabungkan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dalam perkembangan dunia bisnis, ternyata tidak hanya berbicara mengenai keuntungan dan kegiatan produksi saja. Namun belakangan muncul pandangan bahwa lingkungan sosial merupakan bagian penting dalam perkembangan kegiatan bisnis bagi perusahaan. Munculnya kesadaran bahwa kegiatan produksi suatu perusahaan secara tidak langsung telah menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sosial maupun lingkungan fisik di sekitar tempat kegiatan produksi perusahaan, membuat beberapa perusahaan merasa penting untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial. Kegiatan atau aktivitas yang bersifat sosial ini akhirnya dijadikan sebagai kegiatan yang dapat dikatakan wajib bagi perusahaan-perusahaan yang banyak memberikan 1 2 http:tri_s.staff.gunadarma.ac.id/files/pengertian+dan+fungsi++bisnis.pdf http://wartawarga.gunadarma,ac,id/2010/06/pengertian-perusahaan/ dampak negatif bagi lingkungannya. Kegiatan yang bersifat sosial seperti tersebut saat ini sering disebut dengan Corporate Social Responsibility atau disingkat dengan CSR. Istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington.3 Perkembangan konsep CSR sendiri berkembang sejak ditambahkannya komponen penting yaitu sustainability.4 Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”.5 Kegiatan tersebut tidak secara jelas dilabelkan sebagai CSR, namun dari aktivitas, peran serta dan kepedulian yang ditunjukkan oleh perusahaan secara faktual dapat dikatakan sebagai bentuk pelaksanaan program CSR. Sejak tahun 2003, Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Di Indonesia telah ditetapkan kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan program CSR, kewajiban tersebut dituangkan dalam UU PT No.40 Tahun 2007 bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). 6 Kemudian peraturan mengenai CSR terhadap perusahaan BUMN. Jika dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR.7 CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). PKBL merupakan program pembinaan usaha kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Angkasa Pura I merupakan salah satu perusahaan BUMN yang ada di Indonesia. Angkasa Pura I mendapatkan kewajiban untuk menjalankan program CSR dari hasil keuntungan (profit) yang mereka dapatkan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat program CSR yang dijalankan PT Angkasa Pura I (Persero). 3 Edi Suharto, Phd. Menggas Standar Audit Program CSR. Disampaikan pada 6th Round Table Discussion “Menggagas Standar Audit Program CSR: Implementasi UU Perseroan Terbatas, Asosiasi Auditor Internal (AAI), Financial Club Jakarta, 27 Maret 2008. 4 Ibid 5 Ibid 6 Ibid 7 Ibid Permasalahan Meningkatnya perhatian terhadap program CSR pada dunia bisnis saat ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana program CSR dilakukan oleh perusahaanperusahaan yang ada di Indonesia, khususnya perusahaan BUMN. Dari ketertarikan tersebut, peneliti mencoba untuk mengkaji dan mengevaluasi progam PKBL/ CSR yang dilakukan PT. Angkasa Pura I (Persero) dengan merumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu : - Bagaimana PT. Angkasa Pura I (Persero) melakukan program PKBL/ CSR yang mereka jalankan? - Apakah hambatan dan kesulitan yang terjadi dalam pelaksanaan program PKBL/ CSR tersebut? - Apakah program PKBL yang dilakukan perusahaan BUMN, PT. Angkasa Pura I (Persero), dapat dikatakan sebagai program CSR seperti yang didefinisikan dalam kajian Tanggung Jawab Sosial Korporasi? METODE EVALUASI Lokasi dan Waktu pengumpulan data Kami memutuskan untuk memulai evaluasi dengan mendatangi PT Angkasa Pura 1, yang beralamat di Graha Angkasa Pura I, Kota Baru Kemayoran Blok B.12. Kav.2, Jakarta Pusat, pada hari Jumat tanggal 3 Desember 2010 untuk mendapatkan data-data sekunder terkait program PKBL PT Angkasa Pura 1. Data-data ini berguna untuk memudahkan kami dalam mengevaluasi program Pembinaan Mitra Usaha Kecil, termasuk tujuan program dan pihak-pihak yang menjadi sasaran program. PT Angkasa Pura 1 kami pilih berdasarkan keunikan perusahaan tersebut sebagai perusahaan BUMN. Sebagai perusahaan jasa yang berada di bawah naungan negara, PT Angkasa Pura 1, tidak merugikan masyarakat secara langsung, bahkan mengelola kehidupan rakyat banyak. Kami tertarik untuk melihat program CSR yang berkembang dalam perusahaan BUMN, meskipun perusahaan tidak merugikan masyarakat, namun perusahaan tetap memilih untuk bertanggung jawab dalam pemberdayaan masyarakat melalui program PKBL. Program yang kami pilih adalah program Pembinaan Mitra Usaha Kecil (PMUK), karena kami pandang dalam program ini terkandung aspek pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, dan bukan hanya sekedar kegiatan filantropis perusahaan. Penelitian dilakukan di satu lokasi, yaitu di daerah Kemayoran yang merupakan tempat usaha kedua informan kami. Wawancara dengan kedua informan dilakukan di tempat usaha masing-masing informan pada hari Senin, 6 Desember 2010 sekitar pukul 16.00 sampai 17.00 WIB. Tehnik Pengumpulan Data Evaluasi PKBL PT. Angkasa Pura 1 dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam atau in-depth interview dengan dua informan yang menjadi peserta program Pembinaan Mitra Usaha Kecil dari PT Angkasa Pura 1 dan sekretaris perusahaan PT, Angkasa Pura I. Ketiga informan ini menjadi sumber data primer untuk melakukan evaluasi program Pembinaan Mitra Usaha Kecil PT. Angkasa Pura, yang dapat dikategorikan sebagai bentuk CSR Perusahaan. Ketiga informan ini diwawancarai pada tanggal 3 dan 6 Desember 2010, di toko masing-masing informan (peserta) dan di kantor pusat (sekretaris perusahaan), yang terletak di kawasan Kemayoran. Informan 1: bernama Endang, berusia 44 tahun dan memiliki usaha konveksi yang dinamai “sanggar jeans collection”. Ibu Endang dipilih sebagai informan karena berdasarkan informasi yang didapatkan oleh kami, beliau sudah cukup lama (dari tahun 2003) menjadi peserta dalam program Pembinaan Mitra Usaha Kecil, sehingga dianggap dapat memberi gambaran yang komprehensif mengenai program PMUK. Informan 2: bernama Basarudin, berusia 50 tahun dan memiliki usaha toko kelontong yang dinamai “toko Star”. Bapak Basarudin dipilih sebagai informan karena sama seperti informan sebelumnya, sudah menjadi peserta program Pembinaan Mitra Usaha Kecil untuk waktu yang relatif lama (sejak tahun 2006), sehingga dianggap dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai program PMUK. Informan 3: bernama Shinta, menjabat sebagai sekretaris perusahaan PT. Angkasa Pura I (Persero). Dalam wawancara dengan ketiga informan, kami menanyakan sejumlah pertanyaan, untuk mengenal lebih dalam program PMUK dan juga kelebihan dan kekurangan program ini dari sudut pandang informan. Data sekunder merupakan data yang sudah diolah oleh pihak lain. Data sekunder kami dapatkan dari beberapa sumber, termasuk internet, buku dan juga data-data yang diperoleh dari PT Angkasa Pura 1, terkait dengan kebijakan dan pelaksanaan program PKBL. Dalam evaluasi ini, data sekunder berguna bagi kami untuk mengetahui lebih dalam mengenai program PKBL Angkasa Pura, sehingga memudahkan kami dalam mengevaluasi program PMUK bukan hanya pada tahap pelaksanaan namun juga sejak tahap perencanaan program. Landasan Teori III. Konsep Beberapa konsep yang akan digunakan dalam makalah evaluasi dan terkait dengan permasalahan yang sedang dikaji ini adalah sebagai berikut. a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Badan Usaha Milik Negara atau BUMN merupakan suatu unit usaha yang sebagian besar atau seluruh modal berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan serta membuat suatu produk atau jasa yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. BUMN juga sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan negara yang nilainya cukup besar.8 Berikut di bawah ini adalah penjelasan dari bentuk BUMN, yaitu persero dan perum beserta pengertian arti definisi : 1. Persero Persero adalah BUMN yang bentuk usahanya adalah perseoran terbatas atau PT. Bentuk persero semacam itu tentu saja tidak jauh berbeda sifatnya dengan perseroan terbatas / PT swasta yakni sama-sama mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya / sebesar-besarnya. Saham kepemilikan persero sebagian besar atau setara 51% harus dikuasai oleh pemerintah. Karena persero diharapkan dapat memperoleh laba yang besar, maka otomatis persero dituntut untuk dapat memberikan produk barang maupun jasa yang terbaik agar produk output yang dihasilkan tetap laku dan terus-menerus mencetak keuntungan. Organ persero yaitu direksi, komisaris dan rups / rapat umum pemegang saham. Contoh persero yaitu : PT Angkasa Pura, PT Jasamarga, Bank BNI, PT Asuransi Jiwasraya, PT PLN, dan lain-lain. 2. Perum / Perusahaan Umum Perusahaan umum atau disingkat perum adalah perusahaan unit bisnis negara yang seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan penyediaan barang dan jasa publik yang baik demi melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan. Organ 8 Diunduh dari http://organisasi.org/macam-jenis-bumn-badan-usaha-milik-negara-persero-dan-perum-perusahaanumum pada pukul 16.18 WIB. perum yaitu dewan pengawas, menteri dan direksi. Contoh perum / perusahaan umum yakni : Perum Peruri / PNRI (Percetakan Negara RI), Perum Perhutani, Perum Damri, Perum Pegadaian, dan lain-lain. BUMN mempunyai dua rumusan sebagai berikut, pertama BUMN tetap masuk dalam definisi badan publik, tetapi garis-garis prinsip yang menyangkut rezim hukum bisnis yang melekat pada BUMN harus tetap menjadi wilayah rahasia yang akan dirumuskan dalam pasal pengecualian. Kedua, BUMN tidak dimasukkan dalam definisi badan publik, namun aktifitas BUMN yang menjadi wilyah rezim politik (akuntabilitas publik) harus diatur dalam pasal khusus yang menjelaskan prinsip keterbukaan.9 BUMN sebagai bentuk perusahaan yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, memiliki peran sebagai pelopor dan/atau perintis di sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh swasta dalam upaya mewujudkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat.10 Di samping itu, BUMN juga memiliki peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan hasil privatisasi. Hal-hal tersebut diuraikan secara eksplisit dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang RI No.19 tentang Badan Usaha Milik Negara yang telah disahkan pada tanggal 19 Juni 2003. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden, dan hasil privatisasi, tentunya BUMN akan berperilaku pula sebagai layaknya perusahaan pada umumnya yang juga berorientasi pada pencapaian keuntungan atau laba. BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Sebagagi korporasi, BUMN memilki tuntutan peran sedemikian. Namun pada sisi lain BUMN pun dituntut memberikan kontribusi nyata terhadap masyarakat sekitarnya. Pasal 88 UU RI No. 19 9 Diunduh dari http://www.mediaindonesia.com/ pada tanggal 7 Desember 2010 pukul 15.00 WIB. Anas Ferdian. PKBL BUMN, CSR kah ? Majalah BUMN TRACK edisi Januari 2008 halaman 48 diunduh dari http://pkblbumncsrkah.blogspot.com/ pada hari Selasa 7 Desember 2010 pukul 15.08 WIB. 10 Tahun 2003 menyebutkan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil menengah/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Sepintas amanat yang dituangkan melalui kalimat pasal tersebut mencerminkan kemuliaan dari BUMN. Namun apabila dikaji lebih seksama secara implisit menyiratkan ketidaktegasan dari pemerintah mengenai peran dan tanggung jawab dari BUMN. Hal itu terlihat dari penggunaan kata “dapat” dalam kalimat pasal UU tersebut. Peran dan tanggung jawab dari BUMN sebagai korporasi dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang telah disahkan pada tanggal 20 Juli 2007. Pasal 74 UU RI No. 40 Tahun 2007 menyebutkan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.11 Tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Pasal 74 UU RI No. 40 Tahun 2007 tersebut tidak hanya melahirkan bias dan kerancuan atas sikap pemerintah terhadap kepedulian dan kontribusi BUMN sebagai korporasi dengan masyarakat sekitar, namun juga menimbulkan sikap kontra dan protes atas ketentuan pasal tersebut. b. PKBL (Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan). PKBL ini merupakan hasil tindak lanjut dari Pasal 88 UU RI No. 19 Tahun 2003 dan mulai berlaku sejak tanggal 27 April 2007.12 PKBL (Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan) pada dasarnya terdiri dari dua jenis program, yaitu program perkuatan usaha kecil melalui pemberian pinjaman dana bergulir dan pendampingan (disebut Program Kemitraan) serta program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat sekitar (disebut Program Bina Lingkungan). 11 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas Bab V Pasal 74. Anas Ferdian. PKBL BUMN, CSR kah ? Majalah BUMN TRACK edisi Januari 2008 halaman 48 diunduh dari http://pkblbumncsrkah.blogspot.com/ pada hari Selasa 7 Desember 2010 pukul 15.08 WIB. 12 Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dilaksanakan sejak tahun 1983 seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Pembinaan Perjan, Perum, dan Persero. Dalam Pasal 2 disebutkan: “… Maksud dan tujuan dari kegiatan Perjan, Perum, dan Persero adalah: turut aktif memberikan bimbingan kegiatan kepada sector swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sector koperasi…”13 c. Corporate Social Responsibility (CSR) Debat mengenai definisi dari konsep CSR masih berlanjut hingga sekarang ini. Hal ini disebabkan belum ditemukannya definisi yang fix dan mantap dalam menjelaskan apa sebenarnya CSR itu. Belum ada definisi CSR yang mudah untuk diukur sacara operasional.14 Hakikatnya tujuan dari CSR ini adalah sebagai alat yang digunakan untuk mereduksi “keserakahan” perusahaan yang hanya berorientasi pada profit ekonomi belaka. Dalam konteks global, istilah Corporate Social Responsibility (CSR) mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, yang dapat artikan sebagai profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). International Organization for Standardization, sebuah lembaga sertifikasi internasional, saat ini sedang melakukan pengembangan standar internasional ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility yang juga memberikan definisi CSR. Meskipun pedoman CSR standar internasional ini baru akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini bisa dijadikan rujukan. Menurut ISO 26000, CSR adalah: 13 Ibid. Edi Suharto, Phd. Menggas Standar Audit Program CSR. Disampaikan pada 6th Round Table Discussion “Menggagas Standar Audit Program CSR: Implementasi UU Perseroan Terbatas, Asosiasi Auditor Internal (AAI), Financial Club Jakarta, 27 Maret 2008. 14 ”Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusankeputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (draft 3, 2007)”. 15 Berdasarkan pedoman ini, CSR tidaklah sesederhana sebagaimana dipahami dan dipraktekkan oleh kebanyakan perusahaan. CSR mencakup tujuh komponen utama, yaitu: the environment, social development, human rights, organizational governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer issues. Di Indonesia, CSR semakin menguat setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007, dimana dalam pasal 74 antara lain diatur bahwa16 : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Pasal 74 ayat 1 disebutkan bahwa Perseroan (mengacu pada UU No.40/2007 Pasal 1 ayat 1 bahwa Perseroan diartikan sebagai Perseroan Terbatas) yang menjalankan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, namun tidak dijelaskan apakah hal tanggung jawab yang sama juga diwajibkan bagi entitas usaha yang tidak 15 Anas Ferdian. PKBL BUMN, CSR kah ? Majalah BUMN TRACK edisi Januari 2008 halaman 48 diunduh dari http://pkblbumncsrkah.blogspot.com/ pada hari Selasa 7 Desember 2010 pukul 15.08 WIB. 16 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas Bab V Pasal 74. berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas. Sehingga, hal ini dapat menimbulkan penafsiran bahwa entitas usaha yang tidak berbentuk Perseroan Terbatas tidak diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (mengacu pada UU No. 40/2007 Pasal 1 ayat 3 definisi Tanggung “Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya).” Selanjutnya, bunyi pasal 74 ayat 1 tersebut menimbulkan pertanyaan lain yaitu apakah Perseroan Terbatas yang tidak menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam dapat diartikan tidak diwajibkan melaksanakaan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Selain itu, UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR "dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran". PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (belum terbit). Peraturan lain yang menyinggung CSR adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan." Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional. Menurut Edi Suharto (2008), peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudian dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.:Per-05/MBU/2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti diketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat. Selanjutnya, Permeneg BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar maksimal 2 persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun. Namun, UU ini pun masih menyisakan pertanyaan. Selain hanya mengatur BUMN, Program Kemitraan perlu dikritisi sebelum disebut sebagai kegiatan CSR. Menurut Sribugo Suratmo (2008), kegiatan Kemitraan mirip dengan sebuah aktivitas sosial dari perusahaan namun di sini masih ada unsur bisnisnya (profit motive). Masing-masing pihak harus memperoleh keuntungan. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam kedudukannya memiliki posisi yang sangat strategis. Selaku unit bisnis/entitas usaha, BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40/2007. Sedangkan dalam kedudukan selaku entitas usaha yang dimiliki oleh Negara, maka BUMN tunduk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan PKBL sebagaimana diamanatkan UU No.19/2003 dan kewajiban pelaksanaan CSR sebagai amanat UU No.40/2007 dapat dijabarkan sebagai berikut : Untuk pelaksanaan PKBL di BUMN, diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 88 UU No. 19/2003 tentang BUMN sebagai berikut: a. Pasal 2 ayat (1) huruf e salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. b. Pasal 88 ayat (1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. c. Pasal 88 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya dalam butir 5 Pasal 1 UU No.19/2003 tersebut dinyatakan "Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PKBL yang diatur oleh Menteri Negara BUMN dalam Peraturan No.:Per-05/MBU/2007 tentang PKBL adalah dalam kedudukan Menteri Negara BUMN selaku pemegang saham di BUMN. Terbitnya UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang antara lain mengatur kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi Perseroan Terbatas di satu pihak dan berlakunya kewajiban BUMN melaksanakan PKBL di lain pihak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda karena pada dasarnya kedua hal tersebut mengatur tentang tanggung jawab Perseroan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian mengenai hal tersebut agar tidak menimbulkan kerancuan dalam implementasinya bagi perusahaan BUMN di masa datang. BAB II Deskripsi Data Profil PT Angkasa Pura Sejarah Pendirian Didirikan pada tanggal 20 Pebruari 1962 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1962 dengan nama Perusahaan Negara (PN) Angkasa Pura Kemayoran yang mempunyai tugas pokok sebagai pengelola dan pengusahaan bandar udara Internasional Kemayoran Jakarta. Pada tanggal 17 Mei 1965 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1965 Pemerintah mengubah nama PN Angkasa Pura ”Kemayoran” menjadi PN Angkasa Pura dengan maksud untuk lebih membuka kemungkinan mengelola bandar udara lain di wilayah Indonesia. Dalam rangka pembagian wilayah pengelolaan bandar udara, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1987 tanggal 19 Mei 1987 nama Perusahan Umum (PERUM) Angkasa Pura diubah menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Angkasa Pura I, hal ini sejalan dengan dibentuknya Perusahaan Umum (PERUM) Angkasa Pura II yang secara khusus diberi tugas untuk mengelola bandar udara Soekarno Hatta dan Halim Perdanakusuma. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1992 bentuk Perusahaan Umum (Perum) Angkasa Pura I diubah menjadi Perusahaan Angkasa Pura I (Persero). Saat ini Angkasa Pura I mengelola 13 (tiga belas) bandar udara di kawasan Tengah dan Kawasan Timur Indonesia serta mengelola 2 (dua) Cargo Warehousing yaitu: 1. Bandara Ngurah Rai - Bali, 2. Bandara Juanda - Surabaya, 3. Bandara Hasanuddin - Ujung Pandang, 4. Bandara Sepinggan - Balikpapan, 5. Bandara Frans Kaisiepo - Biak, 6. Bandara Sam Ratulangi - Manado, 7. Bandara Syamsudin Noor - Banjarmasin, 8. Bandara Ahmad Yani - Semarang, 9. Bandara Adisutjipto - Yogyakarta, 10. Bandara Adisumarmo - Surakarta, 11. Bandara Selaparang - Mataram, 12. Bandara Pattimura - Ambon, 13. Bandara El Tari - Kupang dan 14. Warehousing Bandara Hasanuddin Makassar 15. Warehousing Bandara Sepinggan Balikpapan Struktur Organisasi Dewan Komisaris : 1. Komisaris Utama: Suratto Siswodihardjo 2. Anggota Komisaris: Suyitno Affandi, Hakamuddin Djamal, Sonny Priyarsono, Isnoor Haryanto Dewan Direksi : 1. Direktur Utama: Tommy Soetomo 2. Direktur Keuangan: Gunawan Agus Subrata 3. Direktur Personalia & Umum: Yushan Sayuti 4. Direktur Komersial & Pengembangan Usaha: Robert Daniel Waloni 5. Direktur Operasi dan Teknik: Harjoso Tjatur Prijanto Visi dan Misi Visi Perusahaan " Menjadi perusahaan pengelola bandar udara kelas dunia yang memberikan manfaat dan nilai tambah kepada stakeholder " Misi Perusahaan 1. Menyediakan pengusahaan jasa kebandarudaraan melalui pelayanan yang memenuhi keamanan, keselamatan dan kenyamanan 2. Memberikan pengalaman suasana kebandarudaraan yang berkesan bagi pengguna jasa 3. Meningkatkan nilai perusahaan dan kesejahteraan pegawai 4. Mendukung peningkatan perekonomian untuk kesejahteraan masyarakat Nilai-nilai Budaya Kebudayaan Terpercaya Keramahtamahan Kebersamaan Kewirausahaan yang sesuai dengan budaya setempat Proaktif dan responsif Berlandaskan Good Corporate Governance Saling Menghargai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Angkasa Pura I (Persero) sebagai salah satu perusahaan BUMN di Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan kegiatan tanggung jawab korporasi pada lingkungan sosial. Berdasarkan UU No.19 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007, PT. Angkasa Pura I (Persero) menjalankan program “Pembinaan Mitra Usaha Kecil” di beberapa wilayah operasi perusahaan tersebut. Salah satunya adalah program “Pembinaan Mitra Usaha Kecil “ yang dijalankan di wilayah Jabodetabek. Program ini dijalankan oleh Kantor Pusat PT. Angkasa Pura I (Persero) yang berlokasi di Graha Angkasa Pura I, Kota Baru Kemayoran Blok B.12. Kav.2, Jakarta Pusat. PT. Angkasa Pura I (Persero) membagi menjadi dua program yang berkaitan dengan kegiatan sosial, yaitu dalam bentuk “sumbangan” dan “CSR”.17 Untuk program sumbangan, PT. Angkasa Pura I (Persero) hanya memberikan bantuan dana “one shoot giving” yang jumlah besarannya 17 Catatan wawancara dengan Sekretaris Perusahaan PT. Angkasa Pura I (Persero), tanggal 3 Desember 2010 tidak lebih dari lima juta rupiah, seperti sumbangan pembangunan masjid di lingkungan perusahaan, sumbangan sponsorship dan lainnya.18 Sedangkan program CSR PT. Angkasa Pura I (Persero) dikategorikan sebagai program yang memiliki keberlanjutan dan menghabiskan dana yang cukup besar, di atas sepuluh juta rupiah.19 Program CSR PT. Angkasa Pura I (Persero) dijalankan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), program tersebut telah dilakukan PT. Angkasa Pura I (Persero) sejak tahun 2002. Hingga saat ini, PT. Angkasa Pura I (Persero) telah mengeluarkan dana untuk program PKBL tersebut sebesar Rp.24,8 Milyar.20 Program PKBL dengan tema “Pembinaan Mitra Usaha Kecil” tersebut diberikan kepada masyarakat yang memiliki usaha kecil yang kekurangan dalam hal pendanaan usahanya. Para pengusaha tersebut diberikan pelatihan dan pendidikan dasar mengenai kegiatan ekonomi dan pengembangan bisnis oleh pakar-pakar ekonomi dan bisnis. Kemudian pengusaha-pengusaha tersebut diberikan pinjaman dana lunak sesuai dengan kebutuhan pengembangan usaha yang mereka jalankan. Para pengusaha tersebut akan terus diberikan pelatihan dan pinjaman lunak, serta pembinaan hingga mereka dapat berkembang menjadi pengusaha yang besar dan mandiri. Pembinaan dan pemberian dana akan dihentikan ketika pengusaha tersebut telah mencapai omzet sebesar 1 Milyar/ tahun, kemudian pengusaha tersebut akan dibantu untuk mengajukan pinjaman berikutnya ke bank-bank yang bekerja sama dengan PT. Angkasa Pura I (Persero) untuk meningkatkan usahanya.21 Pinjaman dana dihentikan bagi pengusaha-pengusaha yang tidak dapat mengembangkan usahanya atau pengusaha yang tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Dari data yang diberikan PT. Angkasa Pura I (Persero), untuk wilayah operasi Jabodetabek (kantor pusat) pada tahun 2008, terdapat lima pengusaha yang menjadi mitra binaan PT. Angkasa Pura I (Persero) dalam program PKBL tersebut. Dari kelima pengusaha tersebut, PT. Angkasa Pura I (Persero) memberikan pinjaman sebesar Rp.210 juta, dengan pinjaman paling besar senilai Rp.60 juta dan pinjaman terkecil senilai Rp.20 juta.22 18 Ibid Ibid 20 http://www.angkasapura1.co.id/isi.php?option=berap&id=138 19 21 22 Catatan wawancara dengan Sekretaris Perusahaan PT. Angkasa Pura I (Persero), tanggal 3 Desember 2010 Data PT. Angkasa Pura I (Persero) mengenai PKBL BAB III Analisa Data dan Rekomendasi ANALISIS Program Pembinaan Mitra Usaha Kecil (PMUK) yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura merupakan suatu bentuk tanggung jawab sosial korporasi dalam hal Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dalam kapasitasnya sebagai perseroan jasa di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Seperti telah disinggung di muka, PMUK mengedepankan sistem pemberian pinjaman lunak secara berkelanjutan kepada para pengusaha kecil dalam rangka memajukan usaha kecil tersebut. Dikatakan merupakan suatu bentuk tanggung jawab sosial korporasi, dikarenakan berkaitan dengan kedudukan PT. Angkasa Pura sebagai BUMN, yang dinaungi oleh negara. Tanggung jawab yang dimaksud di sini meliputi pada biaya dan beban yang harus dikeluarkan perusahaan untuk membalas “jasa” masyarakat yang secara tidak langsung ikut membangun perusahaan (melalui pajak yang dibayarkan ke pemerintah) lewat tangan negara, mengingat PT. Angkasa Pura merupakan BUMN. Di sisi lain, PKBL yang dilakukan PT. Angkasa Pura dapat dikatakan sebagai suatu perpanjangan tangan dari negara untuk memenuhi peranannya sebagai pencipta kesejahteraan masyarakat (masih dalam pengertian PT. Angkasa Pura sebagai BUMN). Dalam hal ini, negara mengikat BUMN, termasuk PT. Angkasa Pura, dengan peraturan perihal pelaksanaan PKBL dan CSR yang dituangkan dalam undang-undang pengatur pelaksanaan kegiatan BUMN. Untuk selanjutnya, PT. Angkasa Pura sebagai BUMN wajib melaksanakan PKBL, yang esensinya untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Jika dibahas secara lebih mendalam, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai PKBL kepada seluruh perusahaan di bawah naungan BUMN untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara lebih meluas –mungkin juga berkaitan dengan tujuan peningkatan efektivitas pensejahteraan masyarakat. Pada akhirnya, pelaksanaan PKBL ini akan menjadi suatu perwujudan dari good governance (pemerintahan yang baik) bagi negara terhadap masyarakatnya. Lebih lanjut, kemudian, konsep tanggung jawab terhadap sosial oleh perusahaan diperluas dengan dilegalkannya peraturan undang-undang mengenai CSR. Pada undang-undang tersebut, pengaturan mengenai pelaksanaan kegiatan perusahaan dalam rangka mensejahterakan masyarakat (komunitas) diperluas objeknya. Apabila pada PKBL tanggung jawab korporasi hanya dibebankan pada perusahaan BUMN, maka pada perundang-undangan mengenai CSR ini, beban tanggung jawab sosial oleh korporasi / perusahaan diperluas ke wilayah perusahaan swasta. Setidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakangi dibentuknya undang-undang perihal pelaksanaan CSR ini. Pertama, untuk menekan keserakahan dan praktik monopoli oleh perusahaan kepada masyarakat. Kedua, menyelesaikan konflik kepentingan antara perusahaan dengan komunitas yang merasa dirugikan dengan keberadaan perusahaan di lingkungan mereka, seperti pada perusahaan ekstraktif. Ketiga, melanjutkan tuntutan internasional yang terlebih dahulu menerapkan konsep CSR pada perusahaan-perusahaan korporasi. Dan keempat, dari pihak perusahaan korporasi sendiri, pelaksanaan CSR di satu sisi dapat menaikkan keuntungan perusahaan dalam jangka pendek maupun jangka panjang (lewat pembangunan imej perusahaan). Posisi PT. Angkasa Pura pusat agak menghadapi dilema saat kedua undang-undang ini (PKBL dan CSR) mengikat PT. Angkasa Pura. Namun, dikarenakan PT. Angkasa Pura pusat merupakan perusahaan jasa, di mana stakeholder langsungnya bukan merupakan masyarakat ataupun komunitas, maka PMUK, yang merukan bentuk PKBL, yang dilaksanakan kemudian didefinisikan sebagai CSR. Dalam pelaksanaan operasi perusahaan, PT. Angkasa Pura pusat tidak memberikan kerugian kepada masyarakat atau komunitas secara langsung –tidak seperti situasi yang dihadapi perusahaan ekstraktif yang secara langsung melakukan eksploitasi kepada sumber daya alam di area komunitas atau masyarakat–, sehingga sebenarnya tidak perlu PT. Angkasa Pura untuk melakukan CSR, karena sudah terlaksanakan dengan PMUK yang berbasis pada konsep PKBL. Seperti telah di singgung pada bagian sebelumnya, bahwa program PMUK mulai dilaksanakan sejak tahun 2002. Program ini mendahului pemberlakuan peraturan undang-undang menggenai PKBL dan CSR yang baru diberlakukan tahun 2007. Hal ini mengartikan bahwa PT. Angkasa Pura sejak awal memiliki inisiatif untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat umum, dalam hal ini pengusaha kecil. Tambahin lagi donk bro Rekomendasi Pengembangan Program PKBL PKBL kemitraan dalam bentuk pinjaman dana merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup pengusaha kecil. berikut ini rekomendasi yang relevan terkait pengembangan program PKBL Kemitraan: 1. Adanya kriteria yang jelas mengenai penerima pinjaman, antara lain: rancangan usaha, sistem pengelolaan usaha, serta rancangan pengembangan usaha yang jelas dan terarah. Dengan hal itu, maka besarnya pinjaman dana pun dapat disesuaikan. 2. Dibentuknya kontrak sosial yang jelas dan disiplin terhadap penerima pinjaman. Hal ini sebagai wujud tanggung jawab dari penerima pinjaman terhadap bantuan yang telah diterima. 3. Adanya pendampingan terhadap para pengusaha penerima pinjaman dana ketika mengembangkan usahanya merupakan kunci keberhasilan program kemitraan ini. Hal ini dapat menjadi kunci keberhasilan terhadap program pengembangan usaha para pengusaha kecil tersebut. Pendampingan yang dilaksanakan oleh Angkasa Pura harus memiliki acuan dan format yang sistematis dan komperhensif. pendampingan yang dilakukan tidak sekedar evaluasi terhadap kondisi usaha yang dijalankan oleh para penerima pinjaman, tetapi juga bagaimana memberikan solusi yang aplikatif terhadap kendala yang dihadapi dalam usaha tersebut. Perlu adanya monitoring secara berkala yang seharusnya diterapkan oleh Angkasa Pura. Hal ini bertujuan sebagai mekanisme kontrol. Selain monitoring secara berkala juga diperlukan evaluasi formatif yang dilakukan pada saat program berjalan, tujuannya adalah untuk mendorong perubahan desain dan impelementasi program dan juga memperbaiki program atau proyek yang harus dievaluasi, seperti pendampingan yang telah disebut di atas.Selain itu ada diperlukan evaluasi formatif summatif yang tujuanya untuk menilai desain dan manajemen program atau proyek yang dilakukan. Hal ini dilakukan dengan cara membuat report dari hasil program CSR di tahun sebelumnya 4. Adanya suatu rancangan tersendiri yang dibuat oleh pihak pendamping tentang sistem usaha yang lebih maju dan sesuai dengan karakter usaha masingmasing. Misal, penerima pinjaman merupakan pengusaha toko kelontong. Pihak pendamping membuat suatu rancangan usaha yang lebih maju, seperti mini market. Maka program pendampingan yang dilakukan memang diarahkan kepada rancangan tersebut.