J Kedokter Trisakti Januari-Maret 2004, Vol.23 No.1 Vitamin C sebagai faktor dominan untuk kadar hemoglobin pada wanita usia 20 - 35 tahun Guntur Argana *, Kusharisupeni ** Diah M. Utari ** *Pusat Kesehatan Kerja, Departemen Kesehatan RI **Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM-UI ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran prevalensi anemia dan faktor-faktor seperti indeks massa tubuh (IMT), lingkar lengan atas (LILA), konsumsi zat gizi makro dan mikro, lama haid, pengetahuan tentang anemia dan pengeluaran per kapita per bulan yang berhubungan dengan kadar hemoglobin (Hb) pada wanita usia 20-35 tahun di kecamatan Kintab kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Desain penelitian potong silang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian dan pengambilan sampel melalui sistematik random sampling diperoleh sampel sebanyak 150 wanita usia 25-35 tahun. Variabel dikumpulkan melalui pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik dan penggunaan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan, prevalensi anemia besarnya 65,3%, yang berarti anemia yang terjadi dapat digolongkan sebagai masalah kesehatan masyarakat tingkat berat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa variabel LILA, frekuensi konsumsi vitamin C dan pengeluaran per kapita per bulan berhubungan dengan kadar Hb. Selanjutnya frekuensi konsumsi vitamin C dan LILA merupakan faktor dominan terhadap kadar Hb. Hasil penelitian ini menyarankan perlu diteliti lebih lanjut cut of point dari LILA yang dapat memprediksi terjadinya anemia. Kata kunci : Kadar Hb, faktor dominan, vitamin C, wanita, usia 20-35 tahun Vitamin C as a dominant factor for hemoglobin concentration in women 20 - 35 years old ABSTRACT The objective of this study is to obtain the prevalence of anemia among women age 20-35 years old and the most dominant factors in relation to level of hemoglobin (Hb) concentration. The design was cross sectional and by a systematic random sampling, the number of sample obtained was 150. Several important variables in this study are level of Hb, body mass index (BMI), upper arm circumference (UAC), macro and micronutrient consumption were collected through laboratory study, physical examination and using questionnaire. The prevalence of anemia was 65.3% showing that anemia in this area was a severe public health problem. Further analysis shows that UAC, consumption of vitamin C and expenditure per capita per month had significant relation with Hb concentration, while consumption of vitamin C and UAC were dominant factors for Hb concentration. This study suggested that the cut off point for UAC must be further investigated in future trial to predict anemia. Keywords : Hemoglobin concentratin, dominant factors, vitamin C, women, age 20-35 years PENDAHULUAN Anemia gizi besi (AGB) merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia yang harus mendapatkan perhatian dan penanggulangan 6 secara serius. Anemia gizi di Indonesia 90% adalah karena kekurangan zat besi.(1) Berdasarkan profil anemia kurang zat besi, didapatkan prevalensi J Kedokter Trisakti anemia besi pada wanita usia subur (WUS) adalah 13 juta (39,5%), dan pada tahun 2010 Departemen Kesehatan - RI akan berusaha menurunkan prevalensi anemia menjadi di bawah 20%.(2) Selama ini penanggulangan AGB lebih difokuskan pada kelompok wanita hamil dengan pemberian tablet tambah darah. Anemia yang terjadi pada ibu hamil akan berdampak pada ibu dan bayinya. Dampak yang ditimbulkan antara lain, abortus, kurang tenaga saat melahirkan sehingga partus lama dan infeksi pada ibu dan bayinya, perdarahan pada waktu melahirkan, kelahiran prematur, bayi lahir dengan berat lahir rendah serta janin mengalami kekurangan gizi saat dalam kandungan intra uterine growth retardation (IUGR). Anemia pada ibu hamil juga akan menyebabkan tingginya angka kematian ibu (AKI), dimana AKI di Indonesia adalah sebesar 390/ 100.000 kelahiran hidup.(3) Sebenarnya penanggulangan anemia besi akan lebih baik jika dilaksanakan pada saat sebelum hamil. Wanita usia 20-35 tahun merupakan sasaran yang lebih tepat dalam penanggulangan anemia besi. Kisaran usia tersebut merupakan saat yang tepat bagi wanita untuk mempersiapkan diri secara fisik dan mental menjadi seorang ibu yang sehat dan tidak anemia, sehingga diharapkan mendapatkan bayi yang sehat pula.(4,5) Mengingat hal di atas, maka sejogyanya penyaringan (screening) dan intervensi dilaksanakan sebelum terjadi kehamilan atau pra konsepsi.(5) Sebab-sebab terjadinya anemia besi pada WUS di negara berkembang antara lain: kurangnya konsumsi zat besi dalam diet, rendahnya absorbsi besi yang terkandung dalam sumber nabati, terjadinya perdarahan kronis pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh infestasi cacing, kerusakan sel darah merah yang disebabkan malaria, riwayat kehamilan dan persalinan yang jelek serta oleh karena menstruasi bulanan, selain itu dipengaruhi juga oleh sosial ekonomi, pendidikan dan status gizi.(6) Terdapat beberapa faktor yang mempermudah dan menghambat absorbsi zat besi dalam tubuh. Konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C sangat berperan dalam absorbsi besi dengan jalan Vol.23 No.1 meningkatkan absorbsi zat besi non heme hingga empat kali lipat. Sedangkan faktor yang menghambat adalah tannin dalam teh, fitat, fosfat, dan serat dalam bahan makanan.(1,7,8) Di negara berkembang persoalan anemia berkaitan dengan krisis ekonomi, terjadinya kurang energi protein yang terwujud dengan rendahnya indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar lengan atas (LILA), serta asupan sumber zat besi rendah (heme dan non heme). Prevalensi anemia gizi besi wanita hamil di propinsi Kalimantan Selatan adalah 51%.(9) Angka tersebut melebihi angka rata-rata nasional. Sejalan dengan itu, ternyata prevalensi anemia gizi besi pada WUS di tiga kabupaten di propinsi Kalimantan Selatan yang telah melaksanakan survai adalah sebesar 45,2%, dimana angka tersebut juga jauh lebih besar dibanding angka nasional (39,5%). Dari data tersebut, maka diasumsikan prevalensi anemia juga tinggi pada wanita usia subur (WUS) di kabupaten lainnya di propinsi Kalimantan Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti lebih lanjut prevalensi anemia pada wanita usia 2035 tahun di daerah yang belum pernah dilakukan survai sebelumnya. Daerah yang terpilih adalah kecamatan Kintap kabupaten Tanah Laut, dengan alasan terdapat 20% WUS mempunyai LILA kurang dari 23,5 cm. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan AGB yaitu usia ibu, IMT, LILA, pengetahuan tentang anemia, konsumsi teh, lama haid, pengeluaran per kapita, dan mencari faktor yang paling dominan terhadap anemia gizi besi. METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di kecamatan Kintab kabupaten Tanah Laut propinsi Kalimantan Selatan pada bulan Maret hingga April tahun 2002. Desain dan sampel Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional (potong lintang), sedangkan sampel penelitian ditetapkan dari perhitungan rumus 7 Argana, Kusharisupeni, Utari estimasi proporsi dan rumus uji hipotesis 2 proporsi.(10) Dari sampel minimal yang diperoleh yang selanjutnya disesuaikan dengan jumlah variabel yang akan diambil, maka ditetapkan sampel sejumlah 150 wanita usia 20-35 tahun. Pengambilan sampel ditetapkan dengan cara sistematik random sampling. Kriteria inklusi sampel adalah: tidak sedang hamil, tidak sedang menstruasi dan telah menetap minimal 1 tahun di lokasi penelitian. Pengumpulan data Variabel yang diteliti adalah: usia, IMT, LILA, konsumsi protein, konsumsi besi, konsumsi vitamin C, pengetahuan tentang anemia, konsumsi sumber heme, konsumsi sumber vitamin C, kebiasaan minum teh, lama haid dan pengeluaran perkapita perbulan. Untuk mengetahui konsumsi protein, zat besi dan vitamin C digunakan metoda 24 hour recall. Dengan metoda ini maka dapat dihitung besarnya konsumsi masing-masing zat gizi secara kuantitatif, sedangkan untuk mengetahui frekuensi konsumsi heme, vitamin C dan kebiasaan minum teh digunakan metoda FFQ (food frequency questioner) dimana konsumsi makanan akan diketahui secara kualitatif. Untuk mengetahui IMT digunakan alat ukur timbangan berat badan SECA model 770 dengan ketelitian 0,1 kg yang telah distandarisasi dan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Untuk mengukur LILA digunakan pita ukur plastik dari Depkes RI dengan ketelitian 0,1 cm. Pemeriksaan Hb dilakukan dengan metoda Cyanmethaemoglobin, dengan prosedur darah yang diambil adalah darah kapiler yang berasal dari jari tengah sebelah kiri menggunakan jarum kulit otomatis. Darah yang mengalir pertama tidak digunakan, yang diambil adalah darah yang secara spontan mengalir tanpa dipijit atau ditekan. Darah diambil dengan pipet Sahli hingga mencapai volume 20 ul kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi larutan Darbkin 5 ml. Hasil dibaca menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.(11) Anemia dinyatakan ringan bila kadar Hb besarnya 10-11,9 g/dL, sedang 7-9,9 g/dL dan berat bila kadar Hb < 7,0 g/dL. 8 Vitamin C dan kadar hemoglobin Kualitas data Untuk menilai validitas instrumen penelitian, maka sebelum penelitian dilakukan uji coba kuesioner terlebih dahulu. Data dikumpulkan oleh tiga pewawancara yaitu mahasiswa tingkat akhir Akademia Gizi Banjarmasin, sedangkan tenaga pengambil darah adalah petugas laboratorium Puskesmas setempat. Semua pengumpul data telah diberikan pelatihan terlebih dahulu dengan tujuan menyamakan persepsi antara pengumpul data dengan peneliti. Pengolahan data Data konsumsi diolah menggunakan program Food Processor 2 (FP2) dan selanjutnya bersama data variabel lain dianalisis secara statistik menggunakan program statistik SPSS-PC versi 10,0. Dalam penelitian ini data dianalisis secara univariat untuk melihat distribusi data; analisis bivariat untuk melihat hubungan antara masingmasing variabel dan analisis regresi ganda linear untuk melihat faktor yang paling dominan terhadap kadar Hb. HASIL Prevalensi anemia Penelitian ini mendapatkan rata-rata kadar Hb wanita usia 20-35 tahun besarnya 11,4 g/dL dan prevalensi anemia sebesar 65,3%. Dari sampel yang menderita anemia, 53,3% tergolong tingkat anemia ringan dan 12% anemia sedang. Berdasar penetapan batasan masalah anemia gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat yaitu jika prevalensi anemia suatu lokasi > 40%, maka prevalensi anemia di daerah penelitian termasuk prevalensi yang tergolong tinggi, dan dapat dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang berat. (9) Pengukuran antropometri Berdasar pengukuran IMT ternyata sebanyak 71,3% sampel tergolong normal, 12% kurus dan 16,7% overweight. Rata-rata IMT dalam penelitian ini adalah 22,1 ± 3,6. Sejalan dengan hasil pengukuran IMT, maka pada pengukuran LILA pun sebagian besar tergolong normal, yaitu sebanyak 79,3%, dengan rata-rata 25,9 ± 3,3 cm (Tabel 1). J Kedokter Trisakti Vol.23 No.1 Tabel 1. Distribusi frekuensi IMT dan LILA responden Variabel IMT <18,5 18,50 - 4,99 25,00 - 27,00 >27 LILA <23,5 cm >23,5 cm n (%) Mean 22,1 ± 3,6 Median 21,1 25,9 ± 3,3 25,5 18 (12,0) 107 (71,3) 10 (6,7) 15 (10,0) 31 (20,7) 119 (79,3) Konsumsi Lebih dari separuh (59,3%) jumlah sampel mengkonsumsi protein > 100% angka kecukupan gizi (AKG). Untuk konsumsi zat besi ternyata keadaannya masih sangat memprihatinkan karena hanya 6,7% sampel yang konsumsi besinya >100%. Selanjutnya sampel yang mengkonsumsi vitamin C >100% AKG berjumlah 44,7%. Makanan sumber heme cukup sering dikonsumsi sampel, dimana sebanyak 80,7% mengkonsumsi > 1x/mgg, sebaliknya makanan sumber vitamin C hanya dikonsumsi > 1x /mgg oleh 10,7% sampel. Kebiasaan minum teh tidak cukup populer di daerah penelitian, terlihat 63,3% sampel tidak pernah minum teh (Tabel 2). Variabel lain Pengetahuan anemia dikelompokkan dengan standar sebagai berikut: < 60% benar (pengetahuan kurang), 60-69% benar (pengetahuan sedang) dan > 70% benar (pengetahuan baik). (12) Tingkat pengetahuan responden tentang anemia ternyata tersebar pada ketiga kategori, dengan persentase terbesar adalah pengetahuan baik (44%), disusul pengetahuan kurang (34%) dan pengetahuan sedang (22%). Lama haid sampel sangat bervariasi, yaitu 36,7% > 7 hari, 25,3% 4-6 hari dan 38,0% < 3 hari. Selanjutnya untuk pengeluaran per kapita per bulan, 60,7% sampel pengeluarannya tergolong kurang (< rata-rata pengeluaran yaitu Rp 157.689,-), dan hanya 39,3% yang tergolong baik (Tabel 3). Analisis bivariat Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan kadar Hb (p=0,085), namun terdapat pola hubungan yang positif dimana semakin banyak konsumsi protein semakin tinggi kadar Hb (setiap penambahan 1 g protein, kadar Hb bertambah 0,009 g/dL). Konsumsi vitamin C juga tidak berhubungan secara bermakna dengan kadar Hb (p=0,754). Tabel 2. Distribusi frekuensi konsumsi responden 9 Argana, Kusharisupeni, Utari Vitamin C dan kadar hemoglobin Tabel 3. Distribusi pengetahuan tentang anemia, lama haid dan pengeluaran per kapita per bulan dari responden Konsumsi besi responden juga menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan kadar Hb (p=0,06). Namun bentuk hubungan positif dimana ada kecenderungan semakin tinggi konsumsi besi semakin tinggi kadar Hb (setiap penambahan 1mg konsumsi besi kadar Hb bertambah 0,0365 g/dL). Frekuensi konsumsi sumber hem pada penelitian ini tidak berhubungan dengan kadar Hb (p=0,092), namun terdapat pola hubungan positif di mana ada kecenderungan semakin sering seseorang mengkonsumsi sumber hem, semakin tinggi kadar Hb (setiap kenaikan 1 kali konsumsi hem akan meningkatkan Hb sebesar 0,0467 g/dL). Frekuensi konsumsi vitamin C dan kadar Hb menunjukkan hubungan yang bermakna (p=0,000). Persamaan regresi linier menunjukkan bahwa setiap bertambahnya frekuensi konsumsi vitamin C1 kali akan meningkatkan kadar Hb sebesar 0,06 g/dL. Artinya semakin sering seseorang mengkonsumsi vitamin C, semakin tinggi kadar Hb. Frekuensi minum teh dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan kadar Hb. Variabel pengetahuan tentang anemia dan variabel lama haid tidak berhubungan dengan kadar Hb (p=0,138 dan p=0,358). Namun keduanya mempunyai kecenderungan yang sesuai dengan teori. Terdapat kecenderungan setiap penambahan 1% pengetahuan anemia akan bertambah kadar Hb sebesar 0,006 g/dL. Sedangkan untuk variabel lama haid, setiap penambahan satu hari lama haid akan terjadi penurunan kadar Hb sebesar 0,02 g/dL. Pengeluaran per kapita per bulan berhubungan dengan kadar Hb (p=0,022). Dari persamaan regresi diperoleh bahwa setiap penambahan penambahan pengeluaran Rp 1,- akan meningkatkan kadar Hb sebesar 0,000001 g/dL (Tabel 4). Tabel 4. Rangkuman hasil uji bivariat yang dimasukkan dalam model multivariat * Bermakna P = <0,05 10 J Kedokter Trisakti Analisis multivariat Pada pemilihan model dilakukan analisis antara semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Secara teori variabel yang pada saat dilaksanakan uji bivariat memiliki p<0,25 dan mempunyai kemaknaan substansi dapat dijadikan kandidat yang akan dimasukkan bersama-sama dalam model multivariat. (13) Dengan metoda ENTER digunakan untuk seleksi variabel, maka satu persatu variabel bebas dikeluarkan dari model. Hasil terakhir dari analisis tersebut adalah persamaan: Kadar Hb = 9,681 + (0,06*LILA) + (0,06*Frekuensi vit C) + (0,00001*Pengeluaran per kapita). PEMBAHASAN Seseorang dengan IMT <18 dikaitkan dengan keadaan kekurangan berat badan atau bila jauh di bawah 18 dikaitkan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK). Hal tersebut terjadi bila konsumsi energi lebih rendah dari kebutuhan yang mengakibatkan sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan. Pemecahan jaringan lemak akan diikuti dengan penurunan berat badan sebanyak lemak yang digunakan. Umumnya orang dengan KEK signifikan dengan kekurangan zat gizi lain seperti kurang zat besi yang akan menyebabkan anemia. Dalam penelitian ini ternyata LILA tidak berhubungan dengan IMT, hal tersebut dapat disebabkan karena IMT lebih dipengaruhi oleh lemak yang terdapat dalam tubuh, dan lemak tidak berhubungan dengan metabolisme zat besi. Metabolisme zat besi sangat dipengaruhi oleh keberadaan protein sebagai transport zat besi yang disebut transferin.(7,8,14) LILA dapat dipakai sebagai deteksi dini pada wanita usia subur yang berisiko mengalami gangguan KEK. Wanita dengan LILA <23,5 cm dideteksi sebagai wanita yang mengalami KEK dan ini dihubungkan juga dengan kekurangan asupan zat gizi lainnya termasuk protein. Pengukuran LILA mencakup dua otot besar yang ada dalam tubuh, yaitu otot bisep dan trisep. Sebagian zat besi dalam tubuh terdapat pada pigmen otot yang disebut myoglobin sebagai cadangan zat besi, sehingga Vol.23 No.1 LILA dapat digunakan untuk mendeteksi status besi dalam tubuh.(14) Wanita hamil dengan LILA lebih rendah dari 23,5 cm secara signifikan memiliki kadar Hb yang lebih buruk, ini membuktikan bahwa ukuran LILA dapat digunakan untuk menentukan status besi selama perjalanan kehamilan. Wanita sebelum hamil yang mengalami malnutrisi akan mempunyai akibat yang berat bagi wanita tersebut jika nantinya hamil. Meskipun dalam penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan kadar Hb (p=0,085), namun terdapat pola hubungan yang positif dimana semakin banyak konsumsi protein semakin tinggi kadar Hb. Pada pengamatan di lapangan, konsumsi protein nabati responden lebih banyak dibandingkan protein hewani. Hal tersebut terbukti bahwa ternyata sebanyak 59,3% responden konsumsi proteinnya berada > 100% AKG tetapi ternyata 93,3% responden konsumsi besi < 100% AKG. Hal ini menyimpulkan bahwa selain adanya hambatan pada saat absorbsi zat besi dalam tubuh juga terjadi kurangnya konsumsi zat besi. Konsumsi vitamin C juga tidak berhubungan secara bermakna dengan kadar Hb (p=0,754). Hal di atas berbeda dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa vitamin C dapat berperan meningkatkan absorbsi zat besi non heme menjadi empat kali lipat. (1) Vitamin C dan zat besi membentuk senyawa askorbat besi kompleks yang mudah larut dan mudah diabsorbsi. Penelitian terdahulu juga mengindikasikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara peningkatan kadar Hb dengan konsumsi vitamin C. Disebutkan bahwa zat besi non heme akan meningkat 2%-20% bila mengkonsumsi vitamin C. (1) Kemungkinan ketidakbermaknaan variabel ini disebabkan terjadinya bias recall slope syndrome yang artinya responden mengatakan sedikit apa yang banyak dimakan dan mengatakan banyak apa yang sedikit dimakan.(15) Hasil penelitian menunjukkan variabel konsumsi vitamin C mempunyai interquartil range yang sangat lebar dan pada tes kenormalan terjadi tarikan menceng ke kanan oleh karena perbedaan nilai mean dan median yang besar. Konsumsi besi responden juga menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan kadar Hb 11 Argana, Kusharisupeni, Utari (p=0,06), namun bentuk hubungan positif dimana ada kecenderungan semakin tinggi konsumsi besi semakin tinggi kadar Hb (setiap penambahan 1mg konsumsi besi kadar Hb bertambah 0,0365 g/dL). Ketidakbermaknaan variabel ini kemungkinan disebabkan karena konsumsi makanan yang mengandung zat besi belum menjamin ketersediaan zat besi yang memadai sebab jumlah zat besi yang diabsorpsi sangat dipengaruhi oleh jenis sumber zat besi dan ada tidaknya zat penghambat dan peningkat absorpsi zat besi. Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagian yaitu cadangan dan fungsional. Zat besi yang berbentuk cadangan tidak mempunyai fungsi fisiologi selain sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk berperan dalam fungsi fisiologi. Sedangkan zat besi yang bersifat fungsional berbentuk hemoglobin dan sebagian kecil dalam bentuk myoglobin. Apabila tubuh kekurangan masukan zat besi maka tubuh akan mengaktifkan zat besi cadangan untuk mencukupi jumlah zat besi fungsional, sehingga makin lama jumlah zat besi cadangan dan fungsional akan berkurang. Akhirnya terjadi keadaan kekurangan zat besi yang disebut anemia. Frekuensi konsumsi sumber heme pada penelitian ini tidak berhubungan dengan kadar Hb (p=0,092), namun terdapat pola hubungan positif dimana ada kecenderungan semakin sering seseorang mengkonsumsi sumber heme, semakin tinggi kadar Hb (setiap kenaikan 1 kali konsumsi heme akan meningkatkan Hb sebesar 0,0467 g/dL). Yang tergolong sumber heme adalah bahan pangan hewani seperti daging, ayam, hati, ikan dan telur. Absorpsi zat besi dari sumber heme lebih tinggi dibanding non heme, karena zat besi dari heme bisa diabsorpsi sebesar 20% hingga 30% sedangkan zat besi dari non heme sangat rendah absorbsinya yaitu 1% hingga 7% saja.(1,7) Frekuensi konsumsi vitamin C dan kadar Hb menunjukkan hubungan yang bermakna (p=0,000). Persamaan regresi linier menunjukkan bahwa setiap bertambahnya frekuensi konsumsi vitamin C sebanyak 1 kali akan meningkatkan kadar Hb sebesar 0,06 g/dL. Artinya semakin sering seseorang mengkonsumsi vitamin C, semakin tinggi kadar Hb. Hal ini sejalan dengan pernyataan peneliti lain 12 Vitamin C dan kadar hemoglobin bahwa vitamin C meningkatkan absorbsi besi non heme sebanyak empat kali lipat daripada yang tidak mengkonsumsi vitamin C, selain itu juga adanya indikasi bahwa terdapat peningkatan kadar Hb yang signifikan pada wanita vegetarian karena mengkonsumsi vitamin C.(1) Frekuensi konsumsi vitamin C berhubungan secara bermakna dengan kadar Hb. Hal tersebut menjelaskan bahwa, frekuensi akan lebih berhubungan dibandingkan dengan jumlah yang dikonsumsi. Artinya, besarnya dosis vitamin C yang dikonsumsi tidak akan berhubungan jika tidak sering dikonsumsi. Vitamin C akan lebih berperan jika dikonsumsi pada saat yang tepat yaitu jika bersamaan dengan konsumsi sumber non heme. Frekuensi minum teh dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan kadar Hb. Minum teh bukanlah menjadi kebiasaan di daerah penelitian. Kebiasaan minum teh setelah makan mempunyai dampak dalam penurunan kadar Hb, karena dalam teh terkandung tanin yang bersifat inhibitor terhadap absorpsi zat besi.(7) Variabel pengetahuan tentang anemia tidak berhubungan secara bermakna dengan kadar Hb, namun kecenderungan yang ditemukan adalah semakin tinggi pengetahuan tentang anemia maka kadar Hb akan semakin meningkat. Ketidakbermaknaan hubungan tersebut dapat disebabkan karena responden tidak sepenuhnya mengaplikasikan pengetahuannya dalam pemilihan dan konsumsi makanan bergizi (mengandung cukup protein, zat besi dan vitamin C). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian lain bahwa pada kelompok responden dengan pengetahuan baik, banyak ditemukan WUS yang menderita anemia.(16,17) Ketidaksesuaian pengetahuan gizi dengan aplikasinya karena kondisi sosial ekonomi yang kurang baik sehingga terjadi hambatan dalam pemenuhan dan pemilihan dari makanan yang berkualitas. Pada kondisi yang normal dimana ekonomi tidak menjadi pembatas, maka seharusnya pengetahuan tentang gizi pada ibu berpengaruh pada jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga. Tingkat pengetahuan yang baik akan memberikan kontribusi dalam perubahan perilaku positif dan pengetahuan yang baik berhubungan J Kedokter Trisakti dengan perilaku pengambilan keputusan untuk hidup sehat. Variabel lama haid tidak berhubungan dengan kadar Hb, namun terdapat kecenderungan setiap penambahan satu hari lama haid akan terjadi penurunan kadar Hb sebesar 0,02 g/dL. Pada dasarnya setiap wanita dewasa dalam kehidupannya akan mengalami menstruasi setiap bulan. Literatur menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran darah setiap periode menstruasi adalah sekitar 30 mL.(7) Darah yang keluar mengakibatkan ekskresi zat besi, sehingga semakin lama hari dan banyaknya darah yang keluar akan mengakibatkan penurunan kadar Hb. Dengan pola hubungan yang negatif pada penelitian ini, maka hasil penelitian ini mendukung teori yang menyatakan bahwa semakin lama periode haid akan semakin rendah kadar Hb. Keadaan sosial ekonomi responden dinilai dari pengeluaran per kapita per bulan yang mencerminkan pendapatan per kapita per bulan. Hasil penelitian menunjukkan pengeluaran per kapita per bulan berhubungan dengan kadar Hb (p=0,018). Sebagian responden mempunyai pengeluaran per kapita yang lebih rendah dari ratarata, dan mempunyai kecenderungan menderita anemia. Hal tersebut disebabkan kurangnya pemenuhan zat gizi sehari-harinya. Secara teori pengeluaran per kapita per bulan berpengaruh pada penyediaan kecukupan pangan di rumah tangga.(18) Makanan yang kaya akan zat besi umumnya berasal dari protein hewani yang relatif lebih mahal, sehingga masyarakat yang tergolong status sosial ekonomi rendah akan mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan bahan makanan tersebut. Pengeluaran identik dengan status sosial seseorang dan lebih mendekati kebenaran status sosial dibanding dengan pendapatan. Dari hasil analisis multivariat, variabel yang membentuk model berhubungan dengan kadar Hb adalah LILA dan frekuensi vitamin C. Pada pemodelan didapat nilai R2 =0,106, yang artinya variabel yang masuk dalam model dapat menerangkan variasi kadar Hb sebesar 10,6%. Dengan demikian masih terdapat banyak variabel lain yang berpengaruh terhadap kadar Hb pada wanita usia 20-35 tahun yang tidak diteliti dalam studi ini. Vol.23 No.1 Pada uji F multivariat diperoleh nilai p=0,000 sehingga dapat dinyatakan bahwa model regresi cocok dengan data yang ada atau variabel LILA dan frekuensi vitamin C dapat digunakan untuk memprediksi variabel kadar Hb. Hal tersebut membuktikan bahwa malnutrisi yang diukur melalui LILA dapat menunjukkan status kadar besi tubuh. Hal ini sesuai dengan penelitian lain bahwa ada hubungan yang bermakna antara kadar Hb dengan LILA,(19) sedangkan vitamin C berperan untuk meningkatkan absorpsi besi non heme sebanyak empat kali lipat dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi vitamin C. KESIMPULAN Anemia pada WUS di lokasi penelitian masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berat. Dari semua variabel yang diteliti, faktor dominan yang menentukan kadar Hb adalah frekuensi konsumsi vitamin C dan LILA. Disarankan untuk memberikan tablet tambah darah dan vitamin C pada wanita sebelum hamil, sebagai persiapan menghadapi kehamilannya. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. Husaini MA. Study nutritional anemia an assessment of information. Complication for supporting and formulating national policy and program. Jakarta: Direktorat Gizi dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI; 1989. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia. Jakarta; 2000. Biro Pusat Statistik, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Departemen Kesehatan, Macro International Inc (MI). Survei demografi dan kesehatan Indonesia. 1997. Calverton, Maryland: BPS dan MI; 1998. Pebley AR. Age first biete in 19 countries. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Biodata Kependudukan; 1983. Worthington W. Nutrition in pregnancy and lactation. St Louiss: York Production Services; 1993. Sampathkumar V. Prevalence of aenemia and hookworm investation among adolescent girls in 13 Argana, Kusharisupeni, Utari 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14 one rural block of Tamil Nadu, India. Indian Journal of Maternal and Child Health 1997; 31: 1-6. Hallberg L, Nils-Georg A. Iron nutrition in health and disease. England: John Libbey & Company Ltd; 1996. Guthrie HA, Frances M. Human nutrition. St Louis: Mosby Year Book, Inc; 1995. Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan. Profil Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan 1999: Banjarmasin; 2000. Ariawan I. Regresi linier sederhana (Bahan Ajar). FKM-UI: Jurusan Kependudukan dan Biostastistik; 2000. WHO. Nutrition aenemia. Geneva: Technical Report series No. 503; 1972. Winkel WS. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo; 1991. Kleinbaum DG. Applied regression analysis and Vitamin C dan kadar hemoglobin 14. 15. 16. 17. 18. 19. other multivariabel methods. Boston: PWS-KENT Publishing Company; 1988. Schlenker ED. Nutrition in aging. St Louis: Nosby; 1984. Gibson R. Nutritional assessment. Laboratory Manual. New York: Oxford University; 1988. Sarimawar D. Anemia pada wanita hamil. Jakarta: Medika 1988; 14: 11-5. Utari DM. Perbandingan efektivitas pemberian suplai tablet besi dosis 60 mg perhari dan 60 mg perminggu serta faktor-faktor yang mempengaruhi ibu hamil dengan anemia (Thesis). Depok: Universitas Indonesia; 1995. Burgess A. Nutrition for developing countries. New York: Oxford Medical Publication; 1993. Achadi E. Reaching young women through marriage registries: an innotive approach anemia control. American Sociaty for Nutritional Sciences. Indonesia: Mothercare Project; 2000.