HEGEMONI KEKUASAAN DALAM `NEGERI YANG MEMBUNUH

advertisement
HEGEMONI KEKUASAAN DALAM ‘NEGERI YANG MEMBUNUH
MATAHARINYA SENDIRI” KARYA KEN SARO-WIWA
Murtini
Abstrak
Pada dasarnya sastra (termasuk cerpen) bersifat imajinatif. Sifat ini memuat fakta dan fiksi. Dalam
hal ini NYM2S, memang merupakan karya fiksi, tapi diasumsikan terdapat fakta di dalamnya. Oleh
karena, cerpen ini tampaknya menggambarkan kehidupan pengarang (Ken Saro-Wiwa) yang dihukum
mati oleh pemerintah Nigeria, seperti tokoh Bana dalam cerpen yang diciptakannya.
Cerpen ini banyak mempersoalkan tentang suap, hukum yang tidak adil, kekuasaan, pemimpin yang
kejam, bahkan sampai acara televisi yang tidak mendidik. Bagi Wiwa “sastra tidak bisa dipisahkan
dari politik”. Sastra –dalam hal ini cerpen- juga dapat dimanfaatkan untuk memberi masukan kepada
pemerintah, agar bisa menjalankan pemerintahan ini dengan benar.
Ungkapan “pena lebih tajam dari pada seribu pedang” tampaknya dibuktikan oleh Wiwa.
Kata kunci: sastra politik, korupsi dan kekuasaan, program televisi, Wiwa
1. Pendahuluan
Ken Saro-Wiwa adalah seorang
penulis yang menarik perhatian dunia karena
pengeksekusiannya oleh pemerintah Nigeria
pada tanggal 10 November 1995. Dia percaya
bahwa untuk menjadi seorang penulis,
seseorang harus mempunyai komitmen
politik. “Sastra tidak bisa dipisahkan dari
politik”, katanya sebelum ajal menjemput.
Tampaknya ia terinspirasi oleh sejumlah besar
penulis Afrika yang membayar harga atas
sikap perlawanan mereka tanpa kompromi
terhadap korupsi dan ketidakadilan. Eksekusi
Saro-Wiwa mengejutkan dunia dan membuat
perhatian dunia terpusat pada tulisannya
(Basis, 2012: 55).
Saro-Wiwa adalah seorang wartawan
terkenal yang menulis di surat kabar lokal,
menulis cerita anak-anak, mementaskan puisi
dan aktif berpartisipasi dalam drama. Sozaboy
(1985) adalah novelnya yang paling terkenal
(yang diterbitkan kembali pada tahun 1994
ketika dia sedang menjalani masa detensi).
Ia mungkin paling dikenal lewat penulisan
naskahnya untuk serial televisi Nigeria terkenal
Basi and Co (1985-1990) yang tayang selama
98
150 episode. Saro-Wiwa juga seorang guru
yang sukses, pengusaha dan aktivis bagi kaum
Ogoni dalam perang Biafran.
Sepeninggal Saro-Wiwa, sekumpulan
karyanya diterbitkan di tahun 1996 yang
berjudul A Month and a Day: A Detention Diary.
Ini adalah sebuah satire akan kondisi hidup di
Nigeria, tentang seorang pria yang memilih
mati daripada hidup dan terkontaminasi oleh
masyarakat yang korup. Cerita ini bagaikan
ramalan yang menakutkan yang berujung pada
kematian Saro-Wiwa sendiri.
Adapun karya yang akan dianalisi kali
ini merupakan salah satu cerita pendek karya
Ken Saro-Wiwa yang berjudul “Africa Kills
Her Sun”, selanjutnya disadur oleh Tri Ratna
Kurniasari menjadi “Negeri yang membunuh
mataharinya sendiri”. Cerita pendek ini dipetik
dari Encounters from Africa An Anthology
of Short Stories, Nairobi: Macmillan Kenya
tahun 2000.
Seperti pernyataan Ken Saro-Wiwa,
bahwa sastra tidak bisa dipisahkan dari politik,
maka dalam cerita pendek inipun mengandung
unsur politik. Utamanya berkaitan dengan
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
ketimpangan politik, sosial, dan hukum. Di
dalam cerita pendek tersebut mengandung
protes sosial atau menurut Goenawan Mohamad
(1993: 117) disebut “pasemon”. “Pasemon”
adalah suatu bentuk (atau lebih tepat suatu
cara) ekspresi yang selama bertahun-tahun,
mungkin berabad-abad, dikenal di Jawa (dan
mungkin yang terdapat di tempat-tempat lain,
dengan nama yang berbeda). Dalam bahasa
Inggris barangkali ia bisa diterjemahkan
sebagai “allusion”. Lebih lanjut Goenawan
menegaskan “allusion” mengandung unsur
permainan. Makna kata itu sendiri beragam,
tetapi semuanya berkaitan dengan isyarat atau
sugesti. Ia bisa juga berarti kias, dan bisa pula
berarti sindiran.
Cerita pendek “Negeri Yang Membunuh
Mataharinya Sendiri” (selanjutnya disebut
NYM2S), berisi jeritan seorang warga akan
ketidakadilan yang terjadi dinegerinya,
sehingga terjadi ketimpangan sosial yang
sangat luar biasa.
2. Deskripsi Cerita
Cerita pendek ini menggunakan teknik
akuan, artinya sang tokoh utama tidak bernama.
Adapun isi cerita pendek ini adalah sebagai
berikut. Sang tokoh Aku yang membuat surat
untuk kekasihnya yang bernama Zole, sebelum
hukuman mati dikenakan padanya. Di dalam
suratnya dia berkisah tentang sipir yang
kenyang dengan suap, negara atau tepatnya
pemerintah yang tidak berperasaan terhadap
rakyatnya, program televisi yang tidak
berkualiats, hukum yang tidak adil, korupsi
yang kian merajalela.
Tokoh Aku dikenal sebagai orang yang
jujur dan pengabdi yang setia, tetapi justru dia
menjadi korban atau tepatnya menjadi kambing
hitam demi penegakan hukum yang semu.
Negara sudah tidak bisa melihat kejernihan
hati rakyatnya. Demi kekuasaan, pemerintah
bahkan pendeta, tega melakukan penyiksaan
bahkan pembunuhan terhadap orang-orang
yang tidak bersalah. Seperti dikisahkan dalam
cerita pendek tersebut selain tokoh Aku, juga
ada Sazan dan Jimba akan dijatuhi hukuman
mati karena dianggap membahayakan negara.
3. Kerangka Teori
Dalam tulisan ini digunakan teori
sosiologi sastra, terutama kritik sastra Marxis.
Susanto mengatakan (2012: 157) kritik sastra
Marxis atau teori sastra Marxis ini menempati
posisi yang istimewa bila dibandingkan pada
teori sastra pada pembahasan sebelumnya,
yakni psikologi, strukturalisme, formalisme
pada masa awal, dan kajian-kajian
kesusasteraan yang menempatkan persoalan
tekstualitas. Teori Marxis ini dapat dikatakan
sebagai teori yang memiliki posisi yang kuat
dalam bidang-bidang atau disiplin teori sosial.
Dalam bidang kesusasteraan, teori Marxis ini
tidak melihat lagi pada persoalan pengarang
sebagai individu ataupun masalah tekstualitas
seperti teori strukturalisme dan naratologi.
Marxis sebagai satu teori sosial menempatkan
sastra dalam bangunan atau struktur sosial yang
sejajar dengan struktur sosial yang lain, seperti
hukum, politik, lembaga negara, dan bentukbentuk kesadaran sosial yang lain. Dalam
disiplin kesusasteraan, teori sastra Marxis ini
sering dikelompokkkan dalam bidang kajian
sosiologi sasatra.
Lebih lanjut Susanto berpendapat,
sosiologi sastra tidak hanya melihat fakta
atau realitas kesusasteraan dalam konteks
hubungan bangunan atau struktur dan kondisi
kemasyarakatan dengan segala aspeknya.
Sastra pada dasarnya tidak terlepas
dengan realitas. Maksudnya kandungan yang
terdapat dalam karya sastra dapat diasumsikan
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
99
terkait dengan kehidupan pengarangnya,
baik yang berkaitan dengan masalah sosial,
politik, ekonomi dan seterusnya. Namun
demikian yang perlu diperhatikan juga
peranan kreasi dan imajinasi pengarang juga
perlu dipertimbangkan. Maka penelitian
sastra tidak mungkin bermakna tunggal.
Seperti dikemukakan oleh Selden, sastra pada
dasarnya merupakan suatu bentuk sistem
interpretatif (dalam Pradopo, 1991: 43). Oleh
karena sifatnya yang interpretatif, maka sastra
hanya dapat dipahami jika ditempatkan dalam
konteks ideologi, seperti yang diungkapkan
oleh Ariel Heryanto (dalam Foulcher, 1988:
26).
4. Pembahasan
4.1 Kekuasaan dan Korupsi
Cerpen NYM2S ini mengungkapkan
bagaimana seorang pemimpin (baca:
penguasa) begitu besar kekuasaannya.
Seorang pemimpin yang seharusnya
menjadi pengayom bagi rakyat atau
masyarakat justru menjadi penindas.
Seperti pernyataan tokoh aku berikut, “
Surat ini sampai kepadamu berkat seorang
sipir penjara yang kenyang dengan uang
suap” (Wiwa, 2012: 48). Lebih lanjut
tokoh aku menegaskan, “Kau pasti sudah
membaca beritanya di koran. Kami juga
sudah membacanya. Sekali lagi, itu berkat
sipir penjara yang telah mengembat uang
suap dari kami. Jangan heran, karena
peristiwa ini terjadi di sebuah negara yang
tak berperasaan, di mana sekelompok
orang bergembira atas kejahatan yang
dilakukakannya dan bersenang-senang
atas hilangnya nyawa, maka tak sebuah
kalimat pun mempertanyakannya” (Wiwa,
2012: 49).
100
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Kutipan tersebut menunjukkan
bagaimana seorang penguasa (sipir)
tidak melaksanakan tugas sebagaimana
mestinya. Seorang sipir pastinya bekerja
berdasarkan aturan atau birokrasi yang
sudah dipikirkan masak-masak untuk
mengatur kehidupan ini. Namun yang
terjadi birokrasi justru merupakan hal
yang menyebalkan. Seperti diungkapkan
Mochtar Lubis (1987: 73), birokrasi
memang merupakan makhluk yang
mengerikan,
mempunyai
alat-alat
penangkap yang senantiasa memperluas
genggamannya, sekaligus merupakan
lembaga yang paling korup dan merusak
dalam masyarakat.
Pada dasarnya korupsi adalah istilah
yang mencakup hal-hal yang informal,
tidak sah, atau mekanisme tersembunyi
tentang manipulasi ekonomi, penekanan,
hal memperoleh dan membagi-bagi
kedudukan yang menguntungkan yang
berlaku pada tingkat tinggi atau dalam
semua lapisan masyarakat Lubis, 1985:
26). Pernyataan ini untuk menunjukkan
perilaku korup yang merajalela di Afrika
(latar dalam cerpen ini). Bukan hanya
seorang sipir, tetapi juga seorang hakim.
Dikisahkan hakim yang memelintir
perkara. Tokoh aku yang sebenarnya tidak
melakukan kejahatan, sudah dituduh dan
ditetapkan sebagai penjahat dan layak
mendapat hukuman mati. Jawabanjawaban yang jujur dari si aku ketika di
sidang tidak diterima sang hakim, karena
sejak awal memang sudah dikondisikan
si aku harus dihukum mati. “Vonis mati
kami segera! Kirim kami ke hadapan regu
tembak tanpa penundaan lebih lanjut!”
teriak kami dengan lantang. Si Hakim,
setelah pulih dari keterkejutan awal,
segera meminta kami dibawa pergi dari
ruang sidang dengan alasan memgganggu
sidang” (Wiwa, 2012: 50).
Birokrasi yang tidak dilaksanakan
sebagai mestinya, dan merajalelanya
korupsi ternyata juga menimbulkan
“penyakit masyarakat”. Dalam cerpen
ini digambarkan bagaimana rakyat harus
berjuang sendiri untuk penghidupannya,
karena pemimpin tidak berpihak pada
mereka. Penyakit itu adalah, perjudian,
pencuri,
pelacuran.
Keterpaksaan
kondisilah yang membuat orang menjadi
penjudi, pencuri, dan pelacur. Mengapa
orang menjadi pelacur, salah seorang
tokoh menjawab, “Beberapa gadis
memilih menjadi sekretaris di kantor,
yang lainnya memilih menjadi perawat.
Dan aku memilih menjadi pelacur sebagai
karierku” (Wiwa, 2012: 50). Pernyataan
ini untuk para perempuan, sementara
itu untuk pria memilih jadi tentara atau
polisi, lainnya memilih jadi dokter atau
pengacara, dan aku memilih jadi perampok
(Wiwa, 2012: 50).
Seseorang memilih “karier” sebagai
pelacur dan perampok tentunya mer\
upakan adanya gambaran masyarakat yang
tidak sehat. Satu hal yang terkait dengan
persoalan ini adalah problem ekonomi.
Kadangkala manusia terjebak antara
kebutuhan dan gaya hidup. Perkembangan
di masyarakat yang begitu pesat kadang
mengharuskan seseorang untuk mengikuti
gaya hidup agar bisa dianggap modern.
Padahal modernisasi masyarakat mengacu
pada proses transformasi, suatu perubahan
masyarakat dalam segala aspek-aspeknya,
termasuk ekonomi. Seperti pendapat
Schrool (1980: 3), timbul dan lestarinya
masyarakat modern juga tergantung
kepada
perkembangan-perkembangan
tertentu dalam kebudayaan, yaitu
menyangkut sistem kepercayaan, sistem
nilai dan norma. Ada penghargaan yang
positif terhadap perubahan, khususnya di
bidang-bidang kehidupan tertentu seperti
bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan.
Ada semacam optimisme yang didasarkan
atas pengertian kemajuan, pengertian
evolusi, kegiatan ekonomi sangat dihargai.
Pada umumnya bekerja dipandang
sebagai sesuatu yang baik, sesuatu yang
mutlak. Dalam pada itu yang dimaksud
bekerja adalah upaya seseorang untuk
mengeksplorasi kemampuannya, dan
tentunya tidak merugikan orang lain dan
diri sendiri, seperti yang digambarkan
dalam cerpen NYM2S ada sosok yang
bekerja sebagai pelacur dan perampok.
Namun, yang menggelitik dalam cerpen
ini seseorang menjadi perampok, oleh
pengarangnya
dimaksudkan
untuk
mengritik kondisi dan situasi Afrika. Lewat
tokohnya, pengarang berkata, “ Oke, aku
tak minta pengertian atau rasa simpatimu.
Aku tak memerlukannya. Aku hanya
mengatakan apa adanya. Aku berharap
kau akan mengatakan bahwa perampokan
bersenjata seharusnya menjadi pemelihara
sampah masyarakat yang istimewa, bahwa
tak ada orang dengan pendidikan seperti
aku ini pantas menjadi bandit” (Wiwa,
2012: 51). Pernyataan “pendidikan seperti
aku ini pantas menjadi bandit”, merupakan
sindiran yang tajam. Maksudnya, sebuah
negeri akan berhasil harus ditopang
pendidikan yang memadai.
4.2 Acara Televisi dan Gaya Hidup
Dewasa ini televisi sudah menjadi
tontonan keseharian. Televisi sudah
masuk dalam tataran budaya pop. Oleh
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
101
karena itu pemanfaatan kajian budaya
(cultural studies) layak dimanfaatkan.
Menurut Storey (2008: 3-4), cultural
studies didasarkan pada marxisme.
Marxisme menerangkan cultural studies
dalam dua cara fundamental. Pertama,
untuk memahami makna(-makna) dari
teks atau praktik budaya, kita harus
menganalisisnya dalam konteks sosial
dan historis produksi dan konsumsinya.
Kedua, pengenalan bahwa masyarakat
industrial kapitalis adalah masyarakat
yang disekat-sekat secara tidak adil
menurut, misalnya, garis etnis, gender,
keturunan, dan kelas.
Merebaknya budaya pop lewat
tayangan televisi, menjadi persoalan
yang
memprihatinkan
pengarang.
Seperti pernyataan berikut, “Mungkin,
di kedalaman hati, banyak juga yang
ingin mempertanyakan tapi mereka
terlanjur terbungkam oleh keamanan dan
kenyamanan hidupnya yang diisi dengan
bir yang tak habis-habisnya, program
televisi murahan ...” (Wiwa, 2012: 49).
Pernyataan “program televisi murahan” ini
dapat diinterpretasikan sebagai program
yang tidak mendidik, program yang boleh
jadi akan merusak karakter seseorang
kalau tidak selektif memilih acara.
Misalnya, film banyak menggambarkan
kekerasan, iklan berbagai produk
yang menggiring orang untuk berjiwa
konsumtif. Apakah itu berkaitan dengan
makanan, produk kecantikan, minuman,
kendaraan bermotor, rokok dan lain-lain.
Hal ini sejalan dengan pernyataan
Marxis di atas bahwa budaya pop
memilah kebutuhan berdasarkan kelas,
gender, etnis. Sebagai bukti iklan shampo,
sabun mandi, deodorant akan dibedakan
102
untuk laki-laki dan wanita. Sementara
itu produk perawatan kulit akan terkait
dengan kelas dan etnis. Bahwasanya kulit
putih dianggap lebih berkelas daripada
kulit hitam, maka produk pemutih kulit
menjadi sasaran empuk bagi orang yang
hanya mengejar gaya hidup. Tampaknya
kondisi ini senada dengan program
televisi di Indonesia, yang dipenuhi iklan
dan dagelan-dagelan konyol (misalnya:
ajang pencarian bakat penyanyi dangdut
Indosiar), sinetron yang rata-rata tidak
menggambarkan jiwa dan karakter
bangsa Indonesia yang katanya ramah dan
bersahabat (misalnya: Ganteng-ganteng
Serigala).
Pada hakikatnya manusia itu dinamis.
Sebagai makhluk yang berbudaya, maka
kedinamisan itu juga akan menyertai
perilaku selanjutnya. Bila hal ini dikaitkan
dengan program televisi yang tampaknya
mampu mengubah gaya hidup seseorang,
maka perlu pemikiran pemerintah
untuk mengembalikan atau memikirkan
kembali tayangan-tayangan yang layak
untuk ditonton masyarakat. Lebih-lebih
masyarakat bawah yang boleh jadi acara
televisi menjadi tontonan utama mereka.
Hal ini seperti ditegaskan dalam kutipan
berikut, “Afrika membnasakan anakanaknya sendiri.... Afrika Membinasakan
Mataharinya Sendiri” (Wiwa, 2012: 55)
5. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Negeri Yang Membunuh Mataharinya
Sendiri merupakan cerpen yang mengandung
kritik sosial. Pertama, mengritik masalah
suap dan korupsi. Hal ini berkait erat dengan
berbelitnya birokrasi, dan gambaran orang yang
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
haus kekuasaan. Di samping itu, penegakan
hukum yang tidak adil, lunturnya kejujuran.
Kedua, program televisi yang tidak mendidik.
Maksudnya, program yang tidak memberi
pencerahan, tetapi justru membawa penonton
“lari” dari kenyataan hidup.
Daftar Pustaka
Lubis, Mochtar. 1987. Mafia dan Korupsi Birokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini (Terj. Rachmat Djoko Pradopo).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Storey, John. 2008. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan
Metode. Yogyakarta: Jalasutra.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Wiwa, Ken Saro. 2012. “Negeri yang Membunuh Mataharinya Sendiri” (Disadur oleh Tri Ratna
Kurniasari). Basis No. 01-02, Tahun Ke-61. Yogyakarta.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
103
Download