ILHAM JAMEL - 151 07 058

advertisement
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Gunungapi
Gunungapi terbentuk sejak jutaan tahun lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang
gunungapi berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai
hubungan dekat dengan gunungapi. Hal tersebut diketahui dari penemuan fosil
manusia di dalam endapan vulkanik dan sebagian besar penemuan fosil itu
ditemukan di Afrika dan Indonesia berupa tulang belulang manusia yang terkubur
oleh endapan vulkanik. (VSI ESDM,2008).
Sebuah teori tektonik lempeng yang muncul pada tahun 60-an menjelaskan bumi
sebagai materi yang bersifat dinamik yang mengalami pergerakan dari waktu ke
waktu. Sejak lahirnya teori ini, hamper seluruh aspek geologi mengalami perubahan
besar karena berdasarkan teori ini litosfer terpecah atas beberapa buah lempeng yang
bergerak aktif satu terhadap lainnya di atas lapisan astenosfer yang panas dan plastis.
Dengan teori lempeng tektonik ini dapat dijelaskan mengenai bagaimana
terbentuknya sebuah gunung, pegunungan, dan juga gunungapi.
Istilah gunungapi terbentuk dari kata gunung dan api. Morfologi daratan yang
memiliki relief membumbung biasa disebut gunung, dan peristilahan api yaitu dari
material pijar yang keluar dari dalam inti bumi. Menurut definisi gunungapi yaitu
tempat dimana magma keluar permukaan bumi (Andreas, 2001). Secara harfiah
istilah gunungapi menurut Koesoemadinata adalah lubang atau saluran yang
menghubungkan suatu wadah berisi bahan yang disebut magma (Mulyo, 2004 dikutip
dari Yunazwardi, 2010).
Magma keluar ke permukaan bumi melalui rekahan-rekahan yang memiliki bagian
terbuka cukup lebar, yang terjadi pada kerak bumi. Berdasarkan pada teori tektonik
lempeng, ketika dua buah lempeng saling bertumbukan, atau ketika pada saat dua
buah lempeng terpisah, terbentuk celah yang terbuka (rekahan), ditambah desakan
yang cukup besar dari material magma itu sendiri, maka magma akan dapat
mencapai permukaan bumi dan membentuk gunungapi (Andreas, 2001).
9
Secara umum gunungapi aktif adalah gunung yang masih aktif melakukan aktivitas
vulkaniknya seperti letusan atau erupsi. Aktivitas vulkanik didefinisikan sebagai
proses naiknya magma yang terkandung di dalam gunung tersebut ke permukaan
bumi. Aktifitas gunungapi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu aktifitas
vulkanik dan non vulkanik. Aktifitas non vulkanik biasanya diasosiasikan tidak
identik dengan penyebab terjadinya gunung api, namun biasanya hanya
menghasilkan fenomena alam disekitar gunungapi seperti sumber air panas (geyser)
yang berasal dari air magma (juvenile water) berfase gas yang naik ke atas,
kemudian membentuk fasa cair dikarenakan terjadi penurunan temperature, solfatar
yang merupakan endapan balerang disekitar lubang kepundan, fumarol yang
merupakan uap panas dan kering, dipancarkan melalui lupang kepandan. Sedangkan
bencana gunung api biasanya identik dengan aktifitas vulkanik gunungapi (Andreas,
2001).
Gambar 2.1 Penampang melintang gunungapi [diunduh dari
http://merapi.vsi.esdm.go.id/mod/vsi/gunungapi/pic1.gif pada tanggal 25 September
2011]
Saat ini di Indonesia status kegiatan gunungapi
dibagi dalam empat tingkatan,
seperti yang terlihat pada tabel 2.1.
10
Tabel 2.1 Status kegiatan Gunungapi
( dikutip dari http://www.esdm.go.id/batubara/doc.../490-pengenalan-gunung-
api.html )
STATUS
MAKNA
Normal
Kegiatan Gunung api berdasarkan pengamatan dari hasil
(Level 1)
visual,
kegempaan
dan
gejala
vulkanik
tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
Waspada
Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang
(Level 2)
tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah,
kegempaan dan gejala vulkanik lainnya.
Siaga
Peningkatan
semakin
nyata
hasil
pengamatan
(Level 3)
visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain
saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan
kegiatan cenderung diikuti letusan.
Awas
Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi
(Level 4)
berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan,
segera akan diikuti letusan utama.
Aktivitas gunung api ditandai dengan terjadinya deformasi pada gunung api tersebut.
2.2 Deformasi
Deformasi adalah perubahan kedudukan, pergerakan secara absolute atau relative
dari posisi suatu materi atau perubahan kedudukan dalam dimensi yang linear
(Andreas, 2001). Deformasi erat kaitannya dengan perubahan posisi, dimensi dan
kedudukan suatu materi atau objek. Perubahan yang terjadi secara umum disebabkan
gaya berat atau beban yang terjadi pada objek tersebut. Sumber beban atau gaya yang
bekerja ini bisa dari luar objek maupun dari dalam objek. Pergerakan atau perubahan
posisi yang terjadi dapat ditinjau dari dua sisi. Jika ditinjau dari sisi atau titik pada
objek itu sendiri, dinamakan dengan pergerakan titik absolut. Sedangkan jika ditinjau
dari titik yang lain, dinamakan dengan pergerakan titik relative (Yunazwardi, 2010).
Jika dilihat dari sifat keelastisitasan pada batuan, deformasi dapat dibagi menjadi tiga
kelompok (Suganda, 2008). Berikut adalah jenis-jenis deformasi ditinjau dari
elastisitasnya:
11
1. Deformasi Elastik
Benda yang mengalami deformasi elastik akan kembali ke bentuk semula
ketika gaya deformasi yang bekerja pada benda tersebut telah selesai bekerja.
Biasanya terletak pada zona aseismik dan bisa menyebabkan terjadinya
instrusi dan ekstrusi yang diikuti dengan erupsi puncak.
2. Deformasi Plastik
Jika benda yang mengalami deformasi tetap tidak kembali ke bentuk semula
meski gaya yang bekerja padanya telah selesai, maka dikatakan benda tersebut
dikatakan telah mengalami deformasi plastik. Termasuk zona seismik aktif,
destruktif, intrusi dan ekstrusi. Bisa menyebabkan erupsi samping, dooming
dan juga rekahan.
3. Deformasi Visco Elastik
Proses deformasi ini terjadi di antara deformasi elastik dan plastik, yaitu ketika
benda tidak benar-benar kembali ke posisi awal meski gaya yang bekerja pada
benda itu telah selesai.
2.3 Deformasi pada gunungapi
Deformasi pada gunungapi
terjadi karena aktivitas vulkanik berupa pergerakan
magma di bawah permukaan yang berpengaruh pada perubahan tekanan pada
kantong magma. Akibatnya volume permukaan juga berubah sehingga menyebabkan
tubuh gunungapi berubah. Umumnya adanya pergerakan magma di bawah
permukaan merupakan indikasi awal akan terjadi erupsi dan kenaikan tekanan akan
menghasilkan deformasi di permukaan (ground deformation).
Secara garis besar gejala deformasi dapat berupa inflasi dan deflasi, yaitu:
1. Inflasi
Pengangkatan permukaan tanah, umumnya terjadi karena proses pergerakan
magma ke permukaan yang menekan permukaan tanah di atasnya. Inflasi
disebabkan oleh adanya magma yang bergerak naik ke permukaan gunungapi.
Inflasi sering dijadikan sebagai tanda-tanda akan terjadinya erupsi pada
gunungapi.
12
2. Deflasi
Penurunan permukaan tanah, umumnya terjadi sesudah masa letusan, saat
tekanan magma di dalam tubuh gunungapi telah melemah tapi pada beberapa
kasus deflasi juga terjadi selama letusan.
Gambar 2.2 Gejala Deformasi pada gunungapi aktif (Abidin, 2001 dikutip dari
Suganda dkk, 2007)
2.4 Pemantauan Aktifitas Gunungapi
2.4.1
Survei Deformasi Gunungapi dengan GPS
Pada tugas akhir ini akan dibahas mengenai pemantauan deformasi gunungapi
dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). GPS adalah sistem navigasi
dan penentuan posisi berbasiskan satelit. Awalnya teknologi GPS dikembangkan
oleh pihak militer Amerika Serikat untuk kepentingan militer Negara tersebut. Pada
saat ini GPS tidak hanya digunakan pada bidang militer tapi sudah digunakan
diberbagai bidang selain keperluan militer. Pemanfaatan GPS ini digunakan untuk
aplikasi-aplikasi (Abidin, 1995): militer, survey dan pemetaan, geodesi, geodinamika,
dan deformasi, navigasi dan transportasi, studi troposfer dan ionosfer, pendaftaran
tanah, pertanian, fotogrametri, dan Remote Sensing, GIS, studi kelautan, aplikasi
olahraga dan rekreatif. GPS adalah metode penentuan posisi suatu objek yang
memilik tiga segmen, yaitu segmen angkasa, segmen pengontrol dan segmen
pengguna. Penentuan posisi pada GPS berintikan reseksi dengan jarak, dimana jarak
13
antar satelit yang telah diketahui koordinatnya akan diukur. Sinyal yang dikirimkan
dari satelit GPS dan diterima oleh receiver untuk digunakan oleh pengguna GPS
memberikan informasi tentang posisi satelit, jarak ke satelit, informasi waktu,
kesehatan sateli, dan banyak informasi lainnya. Sinyal GPS tersebut terdiri dari 3
komponen pula, yaitu: kode yang berfungsi menginformasikan jarak yaitu kode-P/Y
(digunakan oleh militer AS) dan kode C/A (digunakan oleh sipil), penginformasi
posisi satelit (navigation message) dan gelombang pembawa (carrier wave) L1 dan
L2. Baik kode maupun gelombang pembawa dapat digunakan untuk menentukan
jarak dari pengamat ke satelit GPS. Jarak yang ditentukan dengan kode dinamakan
jarak semu (pseudorange), sedangkan jarak yang ditentukan dengan gelombang
pembawa dinamakan jarak fase (Abidin, 2007).
Pemantauan deformasi gunungapi dapat dilakukan secara kontinu yaitu koordinat
titik-titik GPS yang dipasang di gunungapi ditentukan secara berkala dalam selang
waktu tertentu. Pada pengamatan deformasi gunungapi Papandayan ini terdapat
beberapa titik GPS yang diamati secara kontinu dalam selang waktu tertentu dimana
pengamatannya dilakukan pada tahun 1998, 1999, 2001, 2002, 2003, 2005, 2008,
dan 2011. Dengan menganalisis perbedaan koordinat pada setiap periode, maka
karakteristik deformasi gunungapi dapat ditentukan dan dianalisis.
Metode penentuan posisi dengan GPS dibagi menjadi dua, yaitu metode penentuan
posisi absolut dan diferensial. Kedua metode tersebut dapat dilakukan secara statik
maupun kinematik. Pada metode absolut, penentuan posisi dilakukan pada setiap titik
tanpa tergantung pada titik lainnya. Ketelitian posisi dengan metode absolut sangat
bergantung pada tingkat ketelitian data serta geometri satelit. Metode ini tidak
dimaksudkan untuk penentuan posisi teliti. Sedangkan pada penentuan posisi metode
diferensial, posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah
diketahui koordinatnya (stasiun referensi). Dengan menggunakan metode diferensial
dapat meningkatkan tingkat akurasi dan presisi posisi yang diperoleh karena pada
metode ini beberapa kesalahan dan bias dari data dapat dieliminasi atau direduksi
dengan proses pengurangan (differencing) data yang diamati oleh dua receiver GPS
pada waktu yang bersamaan (Abidin, 2007). Dalam (Abidin, 2007), kesalahan
pengukuran GPS dapat dikelompokkan sebagai berikut :
14
1. Kesalahan sistematik atau bias
Kesalahan sistematik adalah kesalahan yang mengikuti hukum matematika atau
fisika. Apabila kondisi yang menyebabkan kesalahan diukur, koreksinya dapat
dihitung dan kesalahan sistematik ini dapat dihilangkan pengaruhnya. Kesalahan
sistematik akan selalu tetap besarnya selama kondisi yang menyebabkannya sama.
Bias yang ada dalam survey GPS, berdasarkan pengaruh sumber penyebabnya dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu :
a. Pada satelit
•
Kesalahan ephemeris
•
Kesalahan jam satelit
b. Pada receiver
•
Kesalahan jam receiver
•
Variasi pusat antena
c. Pada media perambatan sinyal (atmosfer)
•
Refraksi troposfer
•
Refraksi ionosfer
2. Kesalahan acak atau noise
Kesalahan acak atau noise adalah kesalahan kebetulan yang masih tetap ada setelah
kesalahan sistematik dihilangkan pengaruhnya. Pada umumnya besar kesalahan acak
kecil, tetapi tidak pernah dapat seluruhnya dihindari dalam pengukuran. Kesalahan
ini tidak mengikuti hukum matematika atau fisika. Dalam GPS, noise yang ada
adalah cycle slip dan multipath. Berikut persamaan pengamatan untuk pseudorange
dengan memperhitungkan multipath (Yunazwardi, 2010) :
= + . ∆ + ∆
+ ∆
(2.1)
Keterangan :
P
c
= pseudorange pada frekuensi f
= jarak geometris dari satelit ke receiver
= kecepatan cahaya di ruang hampa
∆ = penambahan fase
∆
= bias yang disebabkan oleh refraksi ionosfer (m) pada frekuensi f
∆ = bias yang disebabkan oleh refraksi troposfer (m) pada frekuensi f
15
Persamaan carrier phase menjadi :
L = ρ + c.∆δ + λ .N + ∆
+ ∆
(2.2)
Keterangan :
L = λ Ф = jarak fase (carrier range)
ρ = jarak geometris antara pengamat (x,y,z) dengan satelit (m)
λ = panjang gelombang sinyal (m)
c = kecepatan cahaya di ruang hampa (m/s)
∆δ= penambahan fase
N = ambiguitas fase
∆
= bias yang disebabkan oleh refraksi ionosfer (m) pada frekuensi f
∆ = bias yang disebabkan oleh refraksi troposfer (m) pada frekuensi f
Karena itu dalam survey deformasi gunungapi, penentuan posisi GPS yang dilakukan
adalah metode survey secara diferensial, post-processing, dan statik. Metode ini
dilakukan untuk mendapatkan ketelitian posisi yang sangat teliti.
2.4.2 Penentuan Sumber Tekanan Magma
Aktivitas magmatik pada sumber tekanan reservoir magma merupakan penyebab
adanya deformasi pada gunungapi. Deformasi pada gunung api berupa inflsasi dan
deflasi dapat terlihat dari pola vektor pergeseran. Berdasarkan vektor pergeseran
tersebut dapat diteentukan keberadaan sumber magma, bentuk dan lokasi sumber
magma tersebut.
Salah satu cara untuk menentukan sumber tekanan tersebut adalah dengan
menggunakan model Mogi. Metoda penentuan sumber tekanan ini ditemukan oleh
Kiyoo Mogi pada tahun 1958. Model Mogi merupakan solusi statis untuk
menentukan medan pergeseran pada sumber tekanan spherical yang berada di dalam
perut gunung yang merupakan bagian kerak bumi yang diasumsikan elastik. Model
intrusi magma ini secara luas digunakan untuk mempredikasi pengamatan deformasi
dari gunungapi. Model Mogi mensimulasikan sumber tekanan yang berupa bola/
bulatan kecil yang terpancang sebuah ruang dalam gunungapi yang homogen,
isotropis (sifat mekanik seragam pada setiap arah) dan mempunyai faktor rasio
16
Poison (Haerani, 2009). Konsep penggunaan Mogi secara umum dapat dilihat pada
gambar di bawah (Yunazwardi, 2010) :
Gambar 2.3 Model Mogi
Notasi pada gambar dapat dijelaskan sebagai berikut:
A
: Lokasi titik-titik pengamatan
N
: Lokasi sumber magma
D
: Jarak lokasi sumber magma dengan titik pengamatan (meter)
F
: Kedalaman sumber magma (meter)
∆r
: Perubahan jari-jari bola (meter)
Ur
: Pergeseran horizontal (meter)
Uz
: Pergeseran Vertikal (meter)
Hubungan matematisnya dapat dituliskan sebagai berikut:
= = K=
(2.3)
(2.4)
∆ ∆
µ
(2.5)
17
Keterangan:
µ : Konstanta Lame
∆P : Perubahan tekanan hidrostatis pada bola magma
Perubahan volume magma (dengan satuan meter kubik) dapat dicari dengan rumus
bola yaitu:
∆V = π∆r (2.6)
Rumusan Mogi di atas berlaku untuk F > r, dan yang diketahui adalah parameter
perubahan dari ukuran awal dan akhir bola magma. Ukuran bola magma yang
sebenarnya tidak diperlukan karena fokus perhitungan ada pada penentuan dinamika
gunungapi itu sendiri yang berkaitan dengan pola deformasi yang terjadi.
18
Download