G20 dan Krisis Finansial Global PURNAMA WULANDARI1 Dosen Ilmu Hubungan Internasional Abstrak Tulisan ini membahas tentang krisis finansial global yang membuktikan bahwa nilai kapitalisme rentan akan krisis. Kegagalan pasar mengembalikan peran dari negara untuk menjaga kestabilan ekonomi. Dibentuknya G-20 yang terdiri dari negara-negara maju dan berkembang merupakan salah satu upaya dari negara untuk mengatasi krisis. This paper discusses the global financial crisis that marks the collapse of the capitalist values that were vulnerable to the crisis. The occurrence of market failures lead role of the State re-activated to maintain economic stability. G-20 which consists of developed countries and developing countries present as one solution to resolve the crisis that occurred. Key words: Global Crisis, Financial Crisis, and G20 Latar Belakang Masalah Pada awal 2008, Amerika Serikat (AS) mengalami krisis keuangan. Berbeda dengan krisis ekonomi 1929-1930-an, resesi pada 2008 di AS berdampak lebih luas sampai ke negara lain, terutama negara maju. Hal ini tidak lepas dari pengaruh besar AS dalam tatanan internasional, dimana AS dijadikan sebagai model negara kapitalis. Akibat pengaruh yang besar tersebut, ketika ekonomi AS dilanda krisis banyak negara pengikut AS yang terkena dampaknya. Bahkan krisis ini dianggap sebagai krisis terparah dalam sejarah ekonomi Amerika Serikat. Krisis finansial di AS berawal dari peristiwa Subprime Mortgage dimana bank cenderung memberi pinjaman perumahan sebesar-besarnya, terutama kepada peminjam “sub-prime”, yaitu peminjam yang kurang atau tidak layak (banyak yang tidak mempunyai agunan dan bahkan tidak mempunyai pekerjaan/penghasilan tetap). Sehingga banyak terjadi kredit macet karena banyak yang gagal membayar dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi AS berjalan lambat. 1 Krisis finansial di AS ini telah berdampak pada krisis perekonomian dunia, sehingga hal ini mendapat perhatian yang luas dan serius dari para pemimpin dunia. Roger C. Altman dalam Globalization in Retreat mengatakan era ekonomi laissez-faire telah berakhir. Selama 30 tahun kapitalisme pasar bebas model anglo-saxon menyebar ke seluruh penjuru dunia. Peran negara dihilangkan, adanya deregulasi dan privatisasi serta arus modal dan perdagangan bebas lintas batas negara juga meningkat. Banyak negara maju yang mengadopsi model ini. Namun, dengan terjadinya krisis finansial global maka sistem finansial anglo-saxon telah dianggap gagal. (Altman, 2009). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi krisis keuangan global, muncul kesadaran AS dan negara-negara maju bahwa krisis keuangan global yang terjadi tidak bisa mereka atasi sendiri tanpa melibatkan negara lain. Dibutuhkan suatu harmonisasi atau kerjasama antar negara-negara untuk mengatasi krisis Alamat: Jl. Raya Lentengagung No. 32, Jakarta Selatan, Telepon 62-21-7806223/24 G20 dan Krisis Global 49 finansial global yang melanda dunia. Untuk itu, para Pemimpin dari 20 negara melakukan kerjasama yang kemudian disebut G-20 yang merupakan suatu mekanisme sebagai upaya untuk mengatasi krisis. Negara-negara G-20 tersebut meliputi : Amerika Serikat, Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Perancis, Rusia, Turki dan Uni Eropa. Dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan “Bagaimana langkah-langkah negara G20 dalam mengatasi krisis global? “ dan Apakah langkahlangkah tersebut efektif mengatasi krisis finansial global? Bagaimana peran negara berkembang yang tergabung dalam G20, terutama Indonesia? Kerangka Konseptual a. Post Washington Consensus Kegagalan yang dialami Washington Consensus, membawa para ekonom Barat propasar seperti Jagdish Bhagwati, Paul Krugman, Joseph E. Stiglitz dan Jefrey Sachs melahirkan apa yang dikenal sebagai Post Washington Consensus yang meyakini perlunya keterlibatan negara untuk mengembangkan sistem pasar dan pentingnya faktor non-ekonomi dalam menjalankan tatanan sosial (Fine, 2001). Pendekatan Post Washington Consensus berpandangan bahwa minimalisasi peran negara dalam menjalankan fungsi kontrol dan intervensi ekonomi cenderung kurang efektif jika diterapkan di negara berpenghasilan rendah, mengingat Washington Consensus dirancang hanya oleh sekelompok kecil negara maju yang tidak merepresentasikan kepentingan mayoritas masyarakat global. Dalam Post Washington Consensus, liberalisasi yang diusung Washington Consensus sebagai kerangka dasar tetap dilakukan namun dengan memperhatikan faktor-faktor non-ekonomi. Keterlibatan negara mutlak diperlukan sebagai regulator untuk menangani kegagalan pasar. Kerjasama antara pasar dan negara merupakan mekanisme saling melengkapi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Pertumbuhan ekonomi di Asia Timur yang sangat pesat merupakan bukti konkretnya. East Asian Miracle inilah cikal 50 Januari 2010 bakal kemunculan Post Washington Consensus (Hadi Dkk, 2007). Post Washington Consensus merupakan sintesis yang mewakili progress dari strukturalis dan neoliberal dalam upaya untuk meningkatkan kinerja pasar dan negara melalui interaksi yang saling melengkapi. (Onis dan Senses, 2003) Pergeseran paradigma yang terjadi menunjukkan bahwa sejarah memang berulang, dimulai dari perlunya peran negara sebagai sentral dalam urusan ekonomi (merkantilisme), kemudian berganti menjadi pasar sebagai aktor utama (liberalisme), saat ini kembali negara menjadi aktor penting dalam perekonomian dan pembangunan. Kegagalan pasar menjadi pertimbangan penting dan intervensi negara secara aktif sangat diperlukan. Hal ini bisa di lihat pada krisis finansial global tahun 2008 dimana negara yang dipelopori AS melakukan intervensi dalam upayanya mengatasi krisis ekonomi. Kesepakatan yang dibuat oleh forum G20 juga mencerminkan pentingnya negara dalam mengurusi masalah-masalah sosial dan pembangunan. b. Kerjasama Internasional Berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai negara dan bangsa yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri bertemu dalam suatu kerjasama internasional. Kerjasama Internasional adalah sisi lain dari konflik internasional yang juga merupakan salah satu aspek dalam hubungan internasional. Isu utama dari kerjasama internasional yaitu berdasarkan pada sejauhmana keuntungan bersama yang diperoleh melalui kerjasama dapat mendukung konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif. Dengan kata lain, kerjasama internasional dapat terbentuk karena kehidupan internasional meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut memunculkan kepentingan yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi atas berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional JURNAL ISIP Purnama Wulandari (Perwita dan Yani, 2005). Forum G20 merupakan suatu kerjasama internasional antara negara maju dan berkembang (emerging economy) yang dijadikan sebagai solusi krisis finansial global dan sebagai tindakan pencegahan krisis terjadi kembali dimasa datang. Meskipun banyak kepentingan diantara negara anggota namun forum ini telah membuat kesepakatankesepakatan untuk kepentingan bersama dan keberlangsungan sistem ekonomi global. Krisis Finansial Global 2008 : Suatu Kegagalan Pasar dan Meningkatnya Peran Negara Krisis finansial global terlahir dari globalisasi finansial dengan watak yang spekulatif. Sistem kapitalisme yang dianut banyak negara di dominasi oleh kegiatan yang hanya didasarkan oleh kemampuan mencari keuntungan dengan spekulasi di pasar modal dan pasar uang. Proses akumulasi modal telah bergeser dari sifatnya yang produktif kepada perjudian spekulatif yang oleh Susan Strange disebut sebagai Casino Capitalism. Sistem finansial internasional tidak memiliki aturan/rezim. Tanpa adanya regulasi/aturan maka tindakan spekulatif hanya akan melahirkan sistem bubble ekonomi dan ketidakmampuan kreditor membayar kredit (kredit macet) yang kemudian memicu penurunan tingkat kepercayaan di pasar finansial yang mengakibatkan jatuhnya nilai saham dan surat-surat berharga lainnya. Di AS, Wallstreet mengalami kerugian sebesar 8.33 trilyun USD (Hadi, 2008) . Bahkan Lehman Brother, AIG, dan General Motors yang merupakan ikon kapitalisme AS juga tidak ketinggalan mengalami kerugian dan terpuruk dihantam badai krisis global. Liberalisasi sektor finansial yang direkomendasikan Washington Consensus ternyata menyebabkan perilaku tidak terkontrol di pasar finansial yang menyebabkan krisis finansial di AS dan membesar menjadi krisis finansial global. Korbannya bukan hanya sektor finansial, tetapi juga usaha-usaha di sektor riil, pekerja, pemerintah dan masyarakat secara umum. Sejak krisis global, prinsip-prinsip Washington Consensus yang semula menjadi norma ‘standard’ dalam ekonomi internasional, mengalami delegitimasi dan irrelevansi dalam beberapa aspeknya. Paul Krugman menyatakan, bahwa krisis global telah mengubah keyakinan ‘Reagania’ yang menyatakan negara adalah sebagai sumber masalah dan pasar adalah solusinya, menjadi sebaliknya, ketika pasar menjadi masalah maka negara adalah solusinya ( Hadi, http://tabloiddiplomasi.com) . Terjadi transformasi dari neoliberalisme menjadi Keynesian kembali, ketika Keynes mengatakan bahwa masa Great Depression tahun 1930-an membuktikan terjadinya kegagalan pasar, yang kemudian terjadi kembali pada tahun 2008. Artinya pemikiran Post Washington Consensus mengenai perlu adanya kerjasama antara pasar dan negara agar perekonomian berjalan dengan sempurna menemui kebenarannya. Keynes mengatakan bahwa perekonomian itu sangat tidak stabil dan fluktuatif, sehingga diperlukan campur tangan pemerintah berupa defisit anggaran yang disengaja untuk menciptakan lapangan kerja karena pasar tidak akan pernah mampu menjaga keseimbangan harga. Rentannya pasar modal, transaksi nilai mata uang, serta pelarian modal jangka pendek justru menunjukkan bahwa aktifitas ekonomi memerlukan campur tangan negara dalam kondisi dan waktu tertentu untuk menghasilkan kebijakan dan pengawasan atas mobilitas modal dalam batas-batas wilayahnya (Hadi, 2007). Pertemuan G20, kumpulan negara maju dan berkembang, di London, Inggris, menghasilkan beberapa langkah nyata yang dianggap sebagai pertanda lahirnya sebuah era baru dalam perekonomian global. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan, ” Washington Consensus lama sudah berakhir.” (kompas.com). Washington Consensus pertama kali disebutkan oleh ekonom Amerika Serikat, John Williamson, pada tahun 1989. Konsensus ini merujuk pada konsep reformasi dan liberalisasi ekonomi yang diinginkan Washington (Gedung Putih), yang dipaksakan lewat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, terutama saat kedua lembaga ini memberikan bantuan dana kepada negara yang terpukul krisis ekonomi. Washington Consensus kemudian dianggap sebagai instrumen G20 dan Krisis Global 51 neoliberalisme atau neokapitalisme. Konsensus ini memaksa semua negara yang belum siap untuk membuka diri terhadap persaingan internasional. G20 menandakan berakhirnya kejayaan kapitalisme anglo-saxon. Ini didasarkan pada kesepakatan G-20 untuk memulai perundingan liberalisasi perdagangan dengan akses pasar lebih besar bagi negara berkembang. Sejumlah kesepakatan G20 memang tidak akan mengatasi krisis global secara instan, tetapi telah ada langkah untuk pemulihan. Sebuah tatanan dunia baru yang memasuki era baru kerjasama internasional. Langkah Negara-Negara G20 Dalam Mengatasi Krisis Finanasial Global G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun kekuatankekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia. Pertemuan perdana G-20 berlangsung di Berlin, 15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah menteri keuangan Jerman dan Kanada. Latar belakang pembentukan forum ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G-7 mengenai kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusankeputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingankepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia. Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak menjadi ajang konsultasi dan kerja sama halhal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai 52 Januari 2010 kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja. Koordinasi internasional dan pendekatan koheren untuk mengatasi krisis dan melakukan tindakan pencegahan terjadinya krisis kembali di masa depan sangatlah penting. Perdana Menteri Canada, Paul Martin menulis di Foreign Affairs mengenai pentingnya dan perlunya negaranegara untuk duduk bersama membicarakan dan menilai setiap situasi di negara-negara lain seperti kebijakan dan langkah-langkah apa yang akan mereka lakukan. Untuk itulah sejumlah negara baik Negara maju maupun negara berkembang yang tergabung dalam forum G20 bertindak untuk mengatasi krisis finansial global yang bermula di AS ini. Forum ini diakui sebagai tempat diskusi informal, dimana sifatnya sangat terbuka dan konstruktif sehingga mendorong para wakil negara untuk berbicara mengenai topik utama yang menjadi perhatian bersama yang berkaitan dengan stabilitas ekonomi global. G20 juga merepresentasikan 80 persen ekonomi global dan populasi dunia (Parnohadiningrat, 2009). Negara-negara G20 sepakat bahwa krisis keuangan global sekarang ini disebabkan oleh faktor-faktor kunci antara lain : Pengelolaan resiko pasar keuangan yang kurang bertanggung jawab akibat skema kompensasi lembaga keuangan yang mendorong investasi jangka pendek dan pengambilan resiko yang berlebihan, kebijakan moneter yang mendorong kondisi global imbalances, menurunnya standar penilaian credit rating agencies akibat kurangnya transparansi dan adanya konflik kepentingan, serta ketidakmampuan otoritas keuangan negara maju dalam menerapkan safeguard yang memadai atas inovasi dan perkembangan di sektor keuangan. Pada KTT G20 November 2008 di Washington DC, Para Pemimpin G20 sepakat bahwa langkah-langkah yang dapat diambil guna memulihkan pertumbuhan dan mendukung ekonomi emerging market antara lain : melakukan langkah untuk menstabilkan sistem keuangan, dukungan kebijakan moneter dan menggunakan langkah fiskal yang sesuai, JURNAL ISIP Purnama Wulandari memberikan likuiditas untuk membantu mencairkan pasar kredit, memastikan bahwa IMF, Bank Dunia dan Multilateral Development Banks (MDBs) lainnya memiliki sumber daya yang cukup untuk membantu negara-negara berkembang yang terkena dampak krisis dan juga memberikan pendanaan perdagangan dan infrastruktur. Kemudian pertemuan di London Inggris pada April 2009 menghasilkan kesepakatan diantaranya : menyetujui pengambilan langkah segera untuk memperbaiki kembali pertumbuhan dan mendukung ekonomi negara berkembang, menyepakati sejumlah prinsip bersama untuk mengawal reformasi pasar keuangan, sependapat mengenai rencana aksi yang menyusun berbagai rencana kerja komprehensif untuk mengimplementasi berbagai prinsip tadi dan meminta menteri keuangan untuk bekerja memastikan rencana aksi bisa diimplementasi secara penuh dan giat, menyepakati bahwa reformasi hanya bisa sukses jika dilakukan berdasarkan komitmen atas prinsip pasar bebas. Hal itu mencakup regulasi, penghormatan bagi milik pribadi, perdagangan dan investasi terbuka, pasar kompetitif, dan sistem keuangan yang diregulasi secara efektif dan efisien. (setneg.go.id) Kesepakatan-kesepakatan dan usaha-usaha tersebut diatas dapat dijadikan acuan bagi langkahlangkah antisipatif kebijakan dalam negeri untuk mengatasi dampak dari krisis keuangan global yang berpengaruh dalam memulihkan perekonomian global. Kesepakatan-kesepakatan tersebut akan sangat bermakna apabila semua negara anggota G20 dapat melakukan action plan bagi usaha-usaha penanggulangan dampak krisis keuangan melalui kebijakan dalam negeri maupun melalui kerjasama multilateral. Namun demikian sangat disadari dari awal bahwa kesepakatan yang telah diputuskan pada forum G20 tidak akan langsung serta merta mampu mengatasi krisis global secara instan. Dampak krisis global yang dialami negara-negara di dunia terjadi dalam cakupan, skala dan karakteristik yang berbeda. Karenanya faktor utama yang sangat menentukan keberhasilan mengatasi krisis global justru terletak pada sejauhmana kuatnya komitmen dari negara-negara anggota G20 untuk menjalankan kesepakatan yang telah diputuskan dan menerapkan dengan pendekatan yang tidak harus seragam. Dalam pertemuan G20, semangat dan komitmen dari negara anggota begitu tinggi untuk mengatasi krisis global secara bersamasama. Ini tampak dari sikap Amerika yang sepakat mereformasi regulasi sektor keuangan global yang selama ini selalu ditentangnya. Pada forum ini juga diletakan ketentuan dasar perundingan liberalisasi perdagangan yang memberi akses pasar lebih besar bagi negara berkembang. Kemudian yang patut digarisbawahi dan dinantikan aksi riilnya adalah sikap negara maju yang mulai mengakui eksistensi peranan perekonomian negara berkembang dalam menjaga stabilitas perekonomian dunia. Langkah pertemuan pimpinan negara G20 November 2008 dan April 2009 secara bertahap telah berhasil memulihkan kepercayaan dan mengurangi kepanikan global, sehingga ketenangan dapat dibangun kembali. Kondisi sektor keuangan berangsur-angsur mulai pulih dan likuiditas global mulai mengalir kembali. Sementara itu kebijakan counter cyclical dan kucuran likuiditas menyebabkan perekonomian global mulai pulih. G20 telah melaksanakan komitmen dalam KTT Washington dan London, antara lain; pertama, melaksanakan kebijakan fiskal stimulus 2% PDB atau setara US$1,4 triliun, kedua, melakukan rekapitalisasi perbankan dan restrukturisasi asset bermasalah dengan biaya sebesar US$2 triliun-US$2,5 triliun; ketiga, penambahan resources IMF sebesar US$500 miliar dan alokasi SDR untuk menambah likuiditas dunia sebesar US$250 miliar. Keempat, peningkatan kapital ADB 200% dan penambahan pendanaan dari Bank Pembangunan Multilateral dan Regional (Multilateral/Regional Development Bank) sebesar US$300 miliar serta Trade Financing sebesar US$250 miliar untuk mengkompensasi kemerosotan aliran modal ke negara berkembang. Peran baru G20 ini mencerminkan munculnya kesadaran negara-negara maju bahwa krisis keuangan global yang terjadi tidak bisa mereka atasi sendiri tanpa melibatkan negara lain. Dibutuhkan suatu harmonisasi atau kerjasama G20 dan Krisis Global 53 antar negara-negara untuk mengatasi krisis finansial global yang melanda dunia. Peran Negara Berkembang di G20 Yang menarik di G20 adalah adanya keterlibatan negara berkembang dalam mengatasi kriris global dan keterwakilan kepentingan negara-negara berkembang. Keseimbangan peran antara negara maju dan negara berkembang dalam forum G20 diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan krisis ekonomi global melalui keterlibatan langsung kepala negara dalam mencapai kompromi atas sejumlah isu penting. Negara-negara berkembang berharap KTT G20 dapat menghasilkan suatu kesepakatan tingkat kepala pemerintahan/negara untuk mereformasi institusi dan arsitektur keuangan guna meningkatkan peran negara-negara berkembang di perekonomian global. Proses pengambilan keputusan institusi keuangan internasional selama ini tidak adil terhadap negara berkembang. Oleh karena itu, negara berkembang ingin memiliki hak suara yang lebih besar dalam kancah ekonomi dunia. Kesepakatan G20 juga harus ditindaklanjuti dalam berbagai forum. Agar ada keputusan nyata dan konkret, untuk mencari solusi krisis yang tidak mengorbankan kepentingan negara-negara berkembang. Ada beberapa usulan yang dikemukakan oleh negara berkembang termasuk Indonesia, yakni dalam jangka pendek, mengusulkan mengembalikan kepercayaan di sektor keuangan dengan menjamin tersedianya likuiditas. Selain itu, menjaga kepercayaan terhadap perbankan, mencegah terhentinya aliran kredit, serta mengatasi persoalan pembiayaan perdagangan (trade financing). Untuk jangka menengah, mengusulkan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Langkah yang perlu dilakukan meliputi kebijakan fiskal dan moneter. Sedangkan, usulan jangka panjangnya adalah reformasi sistem arsitektur keuangan global. Langkah-langkah ini harus dilakukan, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Meningkatkan standar hidup di pasar negara berkembang merupakan elemen penting dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan 54 Januari 2010 dalam ekonomi global. Ketika kinerja serta peran G-8 dinilai kurang mampu mendapatkan dan mencari solusi atas apa yang telah terjadi, maka para pemimpin dunia berharap negara-negara berkembang seperti Indonesia berperan dan ikut berkontribusi dalam mencari solusi persoalan dunia, termasuk membentuk tatanan ekonomi internasional yang baru. Selama ini, tatanan ekonomi dunia hanya dikuasai dan dimiliki oleh negara-negara industri yang semuanya itu masuk dalam anggota G8. AS juga meminta bantuan Cina dan Presiden Cina Hu Jintao berjanji akan bekerja sama mengatasi krisis global. Cina memiliki cadangan devisa 1,9 triliun dollar AS dan diimbau untuk terus membeli surat utang Pemerintah AS. Sebagai imbalan, Cina mendapatkan suara lebih besar di IMF. Hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan legitimasi IMF dan Bank Dunia. Efek positif selanjutnya, kedua lembaga ini akan memberikan bantuan tanpa persyaratan keras dan keliru, seperti sebelumnya, yang justru menjerumuskan banyak negara yang ditolong. Ini sekaligus menandai suara Asia yang makin didengar di dunia. Ini bertujuan untuk memecah dominasi kekuatan AS di IMF dan Bank Dunia. Keterlibatan Indonesia sendiri dalam forum G20 tentu mengundang banyak pertanyaan. Menurut Ketua Kadin M.S Hidayat, Indonesia dijadikan salah satu model negara berkembang yang masih bisa bertahan saat krisis global dalam Forum G-20 di London, Inggris. Indonesia telah mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 4%. Angka ini di atas Singapura yang mengalami pertumbuhan ekonomi minus 10%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai lebih tinggi daripada negara-negara Asia lainnya. Pertemuan kelompok negara G-20 di Amerika Serikat ini menjadi momentum untuk menempatkan Indonesia sebagai negara strategis yang harus diperhitungkan sebagai kekuatan ekonomi dunia. Menlu RI mengatakan saat ini pemerintah memprioritaskan peningkatan peran Indonesia di dalam forum G20 sehingga akan segera dilakukan identifikasi secara cepat dan cerdas untuk mengetahui peran apa yang dapat dimainkan Indonesia dalam forum G20. Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota dalam forum G20 JURNAL ISIP Purnama Wulandari yang saat ini diandalkan dunia untuk menjadi lembaga yang mencari solusi masalah finansial dan keuangan global. Untuk itu, Indonesia memainkan peran yang cukup unik karena Indonesia bukan saja anggota ASEAN tetapi juga satu-satunya anggota ASEAN yang juga menjadi anggota G20. Peran Indonesia dalam G20 dan ASEAN bisa saling melengkapi karena peran kuat Indonesia di ASEAN dapat memberi pijakan dan fondasi yang berpengaruh di forum G20 dan demikian pula sebaliknya. Indonesia harus cerdas berdiplomasi dalam mengembangkan kemampuan secara serempak, Indonesia bisa menggunakan ASEAN di G20 dan sebaliknya G20 di ASEAN. Menurut pemerhati ekonomi Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo, Indonesia cukup lama berada hanya dalam periferi perekonomian global. Keberadaannya nyaris tak terdengar. Sehingga elevasi peran G20 ini menjadikan Indonesia selalu dalam “radar” pelaku ekonomi global. Hal ini sangat penting karena tanpa harus berpromosi ke sana kemari, keberadaan Indonesia sudah diakui dunia. struktural perdagangan berlangsung, tidak dapat menghasilkan pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan. Tanpa tindakan kerjasama untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk mencapai hasil itu, risiko krisis di masa depan dan pertumbuhan yang rendah akan tetap ada. Semua negara G20 harus bergerak cepat untuk menciptakan pertumbuhan global yang berkelanjutan dan seimbang. Kerjasama antara negara maju dan berkembang amat diperlukan untuk keberlanjutan perekonomian dunia. Negara maju menyadari pentingnya negara berkembang sebagai motor penggerak ekonomi dunia, apalagi negara-negara berkembang yang termasuk negara emerging market/economies seperti Cina. Dengan langkahlangkah yang diambil oleh negara G20 diharapkan krisis finansial global tidak berkepanjangan dan bisa pulih. Negara berkembang sendiri harus mampu memanfaatkan hak suaranya di kancah global. Meskipun hak suara yang diberikan tidak terlalu besar namun hal ini bisa menjadi momentum untuk dapat lebih berperan dalam konstelasi perekonomian internasional. Kesimpulan Pergeseran paradigma yang terjadi menunjukkan bahwa sejarah memang berulang, dimulai dari perlunya peran negara sebagai sentral dalam urusan ekonomi (merkantilisme), kemudian berganti menjadi pasar sebagai aktor utama (liberalisme), saat ini kembali negara menjadi aktor penting dalam perekonomian dan pembangunan. Kegagalan pasar menjadi pertimbangan penting dan intervensi negara secara aktif sangat diperlukan. Hal ini bisa kita lihat pada krisis finansial global tahun 2008 dimana negara yang dipelopori Amerika Serikat melakukan intervensi dalam upayanya mengatasi krisis ekonomi. G20 merupakan cerminan menguatnya kembali peran negara dalam mengatur perekonomian. Ini adalah untuk kepentingan masing-masing negara untuk memberikan kontribusi terhadap tujuan-tujuan yang lebih baik melalui kerjasama dengan masyarakat global. Ketidakseimbangan fiskal dan Daftar Pustaka Altman, Roger C.. “Globalization in Retreat: Further Geopolitical Consequences of the Financial Crisis”. Foreign Affairs. July/August 2009. Hadi, Syamsul. et al. Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. Serpong : Marjin Kiri. 2007. ---------- “Negara, Pasar, dan Sistem Kapitalisme Global : Refleksi Kritis atas Krisis Finansial 2007-2008”. Global Justice Update. November 2008. Onis, Ziva dan Fikret Senses. Rethingking the Emerging Post Washington Consensus : A Critical Appraisal. ERC Working Paper in Economic 03/09. Middle East Technical University Ankara. Turkey. 2003. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung Parnohadiningrat, Sudjadnan “ Indonesia and G20 : Participating In An Inclusive Global G20 dan Krisis Global 55 Governance Framework For The 21st Century Challenges”, The Indonesia Quarterly, First Quarter 2009, Vol.37 No.1. Yudhoyono,Susilo Bambang, “An Attempt To Cope With The Global Financial Crisis”, The Indonesia Quarterly, First Quarter 2009, Vol.37 No. 1. http://tabloiddiplomasi.com/index.php/ current-issue/80-news/781-peleburan-g-8-ke-g20-refleksi-perubahan-konstelasi-power-antarnegara.html. http://cetak.kompas.com/read/ xml/2009/04/04/02311236/g-20.buka.era.baru www.wikipedia.com h t t p : / / w w w. s e t n e g . g o . i d / i n d e x . php?option=com_content&task=view&id=372 2&Itemid=29 http://indonesiafile.com/content/ view/1437/38/ h t t p : / / w w w. m e d i a i n d o n e s i a . c o m / 56 Januari 2010 read/2009/09/09/97461/70/13/Indonesia-danPeran-Baru-G-20 http://www.antara.co.id/berita/1256401674/ asean-apresiasi-sikap-indonesia-dalam-g20 http://www.infoanda.com/linksfollow. php?lh=AAAJWg9QClMD http://cetak.kompas.com/read/ xml/2009/04/04/02311236/g-20.buka.era.baru h t t p : / / w w w. s e t n e g . g o . i d / i n d e x . php?option=com_content&task=view&id=372 2&Itemid=29 http://beritasore.com/2009/03/28/indonesiadorong-g-20-tidak-mengorbankan-negaraberkembang/ http://www.tempointeraktif.com/hg/ politik/2009/09/26/brk,20090926-199456,id.html http://www.kabarbisnis.com/makro/ global/285953-Pertemuan_G_20_tegaskan_ peran_penting_RI_di_kancah_global.html JURNAL ISIP Purnama Wulandari