G20 dan Krisis Finansial Global

advertisement
G20 dan Krisis Finansial Global
PURNAMA WULANDARI1
Dosen Ilmu Hubungan Internasional
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang krisis finansial global yang membuktikan bahwa nilai kapitalisme rentan akan
krisis. Kegagalan pasar mengembalikan peran dari negara untuk menjaga kestabilan ekonomi. Dibentuknya
G-20 yang terdiri dari negara-negara maju dan berkembang merupakan salah satu upaya dari negara untuk
mengatasi krisis.
This paper discusses the global financial crisis that marks the collapse of the capitalist values that were
vulnerable to the crisis. The occurrence of market failures lead role of the State re-activated to maintain
economic stability. G-20 which consists of developed countries and developing countries present as one
solution to resolve the crisis that occurred.
Key words: Global Crisis, Financial Crisis, and G20
Latar Belakang Masalah
Pada awal 2008, Amerika Serikat (AS)
mengalami krisis keuangan. Berbeda dengan
krisis ekonomi 1929-1930-an, resesi pada 2008 di
AS berdampak lebih luas sampai ke negara lain,
terutama negara maju. Hal ini tidak lepas dari
pengaruh besar AS dalam tatanan internasional,
dimana AS dijadikan sebagai model negara
kapitalis. Akibat pengaruh yang besar tersebut,
ketika ekonomi AS dilanda krisis banyak negara
pengikut AS yang terkena dampaknya. Bahkan
krisis ini dianggap sebagai krisis terparah dalam
sejarah ekonomi Amerika Serikat.
Krisis finansial di AS berawal dari peristiwa
Subprime Mortgage dimana bank cenderung
memberi pinjaman perumahan sebesar-besarnya,
terutama kepada peminjam “sub-prime”, yaitu
peminjam yang kurang atau tidak layak (banyak
yang tidak mempunyai agunan dan bahkan
tidak mempunyai pekerjaan/penghasilan tetap).
Sehingga banyak terjadi kredit macet karena
banyak yang gagal membayar dan mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi AS berjalan lambat.
1
Krisis finansial di AS ini telah berdampak pada
krisis perekonomian dunia, sehingga hal ini mendapat perhatian yang luas dan serius dari para
pemimpin dunia. Roger C. Altman dalam Globalization in
Retreat mengatakan era ekonomi laissez-faire
telah berakhir. Selama 30 tahun kapitalisme
pasar bebas model anglo-saxon menyebar ke
seluruh penjuru dunia. Peran negara dihilangkan,
adanya deregulasi dan privatisasi serta arus
modal dan perdagangan bebas lintas batas
negara juga meningkat. Banyak negara maju
yang mengadopsi model ini. Namun, dengan
terjadinya krisis finansial global maka sistem
finansial anglo-saxon telah dianggap gagal.
(Altman, 2009).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasi krisis keuangan global, muncul
kesadaran AS dan negara-negara maju bahwa
krisis keuangan global yang terjadi tidak bisa
mereka atasi sendiri tanpa melibatkan negara lain.
Dibutuhkan suatu harmonisasi atau kerjasama
antar negara-negara untuk mengatasi krisis
Alamat: Jl. Raya Lentengagung No. 32, Jakarta Selatan, Telepon 62-21-7806223/24
G20 dan Krisis Global
49
finansial global yang melanda dunia. Untuk
itu, para Pemimpin dari 20 negara melakukan
kerjasama yang kemudian disebut G-20 yang
merupakan suatu mekanisme sebagai upaya untuk
mengatasi krisis. Negara-negara G-20 tersebut
meliputi : Amerika Serikat, Afrika Selatan,
Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, China,
India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman,
Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Perancis, Rusia,
Turki dan Uni Eropa. Dari latar belakang masalah
di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan
“Bagaimana langkah-langkah negara G20 dalam
mengatasi krisis global? “ dan Apakah langkahlangkah tersebut efektif mengatasi krisis finansial
global? Bagaimana peran negara berkembang
yang tergabung dalam G20, terutama Indonesia?
Kerangka Konseptual
a. Post Washington Consensus
Kegagalan yang dialami Washington
Consensus, membawa para ekonom Barat propasar seperti Jagdish Bhagwati, Paul Krugman,
Joseph E. Stiglitz dan Jefrey Sachs melahirkan apa
yang dikenal sebagai Post Washington Consensus
yang meyakini perlunya keterlibatan negara untuk
mengembangkan sistem pasar dan pentingnya
faktor non-ekonomi dalam menjalankan tatanan
sosial (Fine, 2001). Pendekatan Post Washington
Consensus berpandangan bahwa minimalisasi
peran negara dalam menjalankan fungsi kontrol
dan intervensi ekonomi cenderung kurang
efektif jika diterapkan di negara berpenghasilan
rendah, mengingat Washington Consensus
dirancang hanya oleh sekelompok kecil negara
maju yang tidak merepresentasikan kepentingan
mayoritas masyarakat global. Dalam Post
Washington Consensus, liberalisasi yang diusung
Washington Consensus sebagai kerangka dasar
tetap dilakukan namun dengan memperhatikan
faktor-faktor non-ekonomi. Keterlibatan negara
mutlak diperlukan sebagai regulator untuk
menangani kegagalan pasar. Kerjasama antara
pasar dan negara merupakan mekanisme saling
melengkapi dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi negara. Pertumbuhan ekonomi di
Asia Timur yang sangat pesat merupakan bukti
konkretnya. East Asian Miracle inilah cikal
50
Januari 2010
bakal kemunculan Post Washington Consensus
(Hadi Dkk, 2007). Post Washington Consensus
merupakan sintesis yang mewakili progress dari
strukturalis dan neoliberal dalam upaya untuk
meningkatkan kinerja pasar dan negara melalui
interaksi yang saling melengkapi. (Onis dan
Senses, 2003)
Pergeseran paradigma yang terjadi
menunjukkan bahwa sejarah memang berulang,
dimulai dari perlunya peran negara sebagai
sentral dalam urusan ekonomi (merkantilisme),
kemudian berganti menjadi pasar sebagai aktor
utama (liberalisme), saat ini kembali negara
menjadi aktor penting dalam perekonomian
dan pembangunan. Kegagalan pasar menjadi
pertimbangan penting dan intervensi negara
secara aktif sangat diperlukan. Hal ini bisa di
lihat pada krisis finansial global tahun 2008
dimana negara yang dipelopori AS melakukan
intervensi dalam upayanya mengatasi krisis
ekonomi. Kesepakatan yang dibuat oleh forum
G20 juga mencerminkan pentingnya negara
dalam mengurusi masalah-masalah sosial dan
pembangunan.
b. Kerjasama Internasional
Berbagai macam kepentingan nasional dari
berbagai negara dan bangsa yang tidak dapat
dipenuhi di dalam negerinya sendiri bertemu
dalam suatu kerjasama internasional. Kerjasama
Internasional adalah sisi lain dari konflik
internasional yang juga merupakan salah satu
aspek dalam hubungan internasional. Isu utama
dari kerjasama internasional yaitu berdasarkan
pada sejauhmana keuntungan bersama yang
diperoleh melalui kerjasama dapat mendukung
konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral
dan kompetitif. Dengan kata lain, kerjasama
internasional dapat terbentuk karena kehidupan
internasional meliputi berbagai bidang seperti
ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan
hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan.
Hal tersebut memunculkan kepentingan yang
beraneka ragam sehingga mengakibatkan
berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi
atas berbagai masalah tersebut maka beberapa
negara membentuk suatu kerjasama internasional
JURNAL ISIP Purnama Wulandari
(Perwita dan Yani, 2005). Forum G20 merupakan
suatu kerjasama internasional antara negara
maju dan berkembang (emerging economy)
yang dijadikan sebagai solusi krisis finansial
global dan sebagai tindakan pencegahan krisis
terjadi kembali dimasa datang. Meskipun
banyak kepentingan diantara negara anggota
namun forum ini telah membuat kesepakatankesepakatan untuk kepentingan bersama dan
keberlangsungan sistem ekonomi global.
Krisis Finansial Global 2008 : Suatu Kegagalan
Pasar dan Meningkatnya Peran Negara
Krisis finansial global terlahir dari globalisasi
finansial dengan watak yang spekulatif. Sistem
kapitalisme yang dianut banyak negara di
dominasi oleh kegiatan yang hanya didasarkan
oleh kemampuan mencari keuntungan dengan
spekulasi di pasar modal dan pasar uang. Proses
akumulasi modal telah bergeser dari sifatnya
yang produktif kepada perjudian spekulatif
yang oleh Susan Strange disebut sebagai Casino
Capitalism. Sistem finansial internasional
tidak memiliki aturan/rezim. Tanpa adanya
regulasi/aturan maka tindakan spekulatif hanya
akan melahirkan sistem bubble ekonomi dan
ketidakmampuan kreditor membayar kredit
(kredit macet) yang kemudian memicu penurunan
tingkat kepercayaan di pasar finansial yang
mengakibatkan jatuhnya nilai saham dan
surat-surat berharga lainnya. Di AS, Wallstreet
mengalami kerugian sebesar 8.33 trilyun USD
(Hadi, 2008) . Bahkan Lehman Brother, AIG, dan
General Motors yang merupakan ikon kapitalisme
AS juga tidak ketinggalan mengalami kerugian
dan terpuruk dihantam badai krisis global.
Liberalisasi sektor finansial yang
direkomendasikan Washington Consensus
ternyata menyebabkan perilaku tidak terkontrol
di pasar finansial yang menyebabkan krisis
finansial di AS dan membesar menjadi krisis
finansial global. Korbannya bukan hanya sektor
finansial, tetapi juga usaha-usaha di sektor riil,
pekerja, pemerintah dan masyarakat secara
umum. Sejak krisis global, prinsip-prinsip
Washington Consensus yang semula menjadi
norma ‘standard’ dalam ekonomi internasional,
mengalami delegitimasi dan irrelevansi dalam
beberapa aspeknya. Paul Krugman menyatakan,
bahwa krisis global telah mengubah keyakinan
‘Reagania’ yang menyatakan negara adalah
sebagai sumber masalah dan pasar adalah
solusinya, menjadi sebaliknya, ketika pasar
menjadi masalah maka negara adalah solusinya
( Hadi, http://tabloiddiplomasi.com) .
Terjadi transformasi dari neoliberalisme
menjadi Keynesian kembali, ketika Keynes
mengatakan bahwa masa Great Depression tahun
1930-an membuktikan terjadinya kegagalan pasar,
yang kemudian terjadi kembali pada tahun 2008.
Artinya pemikiran Post Washington Consensus
mengenai perlu adanya kerjasama antara pasar
dan negara agar perekonomian berjalan dengan
sempurna menemui kebenarannya. Keynes
mengatakan bahwa perekonomian itu sangat tidak
stabil dan fluktuatif, sehingga diperlukan campur
tangan pemerintah berupa defisit anggaran yang
disengaja untuk menciptakan lapangan kerja
karena pasar tidak akan pernah mampu menjaga
keseimbangan harga. Rentannya pasar modal,
transaksi nilai mata uang, serta pelarian modal
jangka pendek justru menunjukkan bahwa
aktifitas ekonomi memerlukan campur tangan
negara dalam kondisi dan waktu tertentu untuk
menghasilkan kebijakan dan pengawasan atas
mobilitas modal dalam batas-batas wilayahnya
(Hadi, 2007).
Pertemuan G20, kumpulan negara maju dan
berkembang, di London, Inggris, menghasilkan
beberapa langkah nyata yang dianggap sebagai
pertanda lahirnya sebuah era baru dalam
perekonomian global. Perdana Menteri Inggris
Gordon Brown mengatakan, ” Washington
Consensus lama sudah berakhir.” (kompas.com).
Washington Consensus pertama kali disebutkan
oleh ekonom Amerika Serikat, John Williamson,
pada tahun 1989. Konsensus ini merujuk pada
konsep reformasi dan liberalisasi ekonomi yang
diinginkan Washington (Gedung Putih), yang
dipaksakan lewat Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia, terutama saat kedua
lembaga ini memberikan bantuan dana kepada
negara yang terpukul krisis ekonomi. Washington
Consensus kemudian dianggap sebagai instrumen
G20 dan Krisis Global
51
neoliberalisme atau neokapitalisme. Konsensus
ini memaksa semua negara yang belum siap untuk
membuka diri terhadap persaingan internasional.
G20 menandakan berakhirnya kejayaan
kapitalisme anglo-saxon. Ini didasarkan pada
kesepakatan G-20 untuk memulai perundingan
liberalisasi perdagangan dengan akses pasar
lebih besar bagi negara berkembang. Sejumlah
kesepakatan G20 memang tidak akan mengatasi
krisis global secara instan, tetapi telah ada langkah
untuk pemulihan. Sebuah tatanan dunia baru yang
memasuki era baru kerjasama internasional.
Langkah Negara-Negara G20 Dalam
Mengatasi Krisis Finanasial Global
G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama
adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian
besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa.
Secara resmi G-20 dinamakan The Group of
Twenty (G-20) Finance Ministers and Central
Bank Governors atau Kelompok Duapuluh
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral.
Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum
yang secara sistematis menghimpun kekuatankekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk
membahas isu-isu penting perekonomian dunia.
Pertemuan perdana G-20 berlangsung di Berlin,
15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah
menteri keuangan Jerman dan Kanada. Latar
belakang pembentukan forum ini berawal dari
terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat
yang muncul pada forum G-7 mengenai kurang
efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan
kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusankeputusan yang mereka buat memiliki pengaruh
yang lebih besar dan mendengarkan kepentingankepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam
kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun
hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan
dunia dan dua per tiga penduduk dunia.
Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak
menjadi ajang konsultasi dan kerja sama halhal yang berkaitan dengan sistem moneter
internasional. Terdapat pertemuan yang teratur
untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong
diskusi di antara negara industri maju dan
sedang berkembang terkemuka mengenai
52
Januari 2010
kebijakan-kebijakan yang mengarah pada
stabilitas keuangan internasional dan mencari
upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak
dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja.
Koordinasi internasional dan pendekatan
koheren untuk mengatasi krisis dan melakukan
tindakan pencegahan terjadinya krisis kembali di
masa depan sangatlah penting. Perdana Menteri
Canada, Paul Martin menulis di Foreign Affairs
mengenai pentingnya dan perlunya negaranegara untuk duduk bersama membicarakan dan
menilai setiap situasi di negara-negara lain seperti
kebijakan dan langkah-langkah apa yang akan
mereka lakukan. Untuk itulah sejumlah negara
baik Negara maju maupun negara berkembang
yang tergabung dalam forum G20 bertindak
untuk mengatasi krisis finansial global yang
bermula di AS ini. Forum ini diakui sebagai
tempat diskusi informal, dimana sifatnya sangat
terbuka dan konstruktif sehingga mendorong para
wakil negara untuk berbicara mengenai topik
utama yang menjadi perhatian bersama yang
berkaitan dengan stabilitas ekonomi global. G20
juga merepresentasikan 80 persen ekonomi global
dan populasi dunia (Parnohadiningrat, 2009).
Negara-negara G20 sepakat bahwa krisis
keuangan global sekarang ini disebabkan oleh
faktor-faktor kunci antara lain : Pengelolaan
resiko pasar keuangan yang kurang bertanggung
jawab akibat skema kompensasi lembaga
keuangan yang mendorong investasi jangka
pendek dan pengambilan resiko yang berlebihan,
kebijakan moneter yang mendorong kondisi
global imbalances, menurunnya standar
penilaian credit rating agencies akibat kurangnya
transparansi dan adanya konflik kepentingan,
serta ketidakmampuan otoritas keuangan negara
maju dalam menerapkan safeguard yang
memadai atas inovasi dan perkembangan di
sektor keuangan. Pada KTT G20 November
2008 di Washington DC, Para Pemimpin G20
sepakat bahwa langkah-langkah yang dapat
diambil guna memulihkan pertumbuhan dan
mendukung ekonomi emerging market antara
lain : melakukan langkah untuk menstabilkan
sistem keuangan, dukungan kebijakan moneter
dan menggunakan langkah fiskal yang sesuai,
JURNAL ISIP Purnama Wulandari
memberikan likuiditas untuk membantu mencairkan pasar kredit, memastikan bahwa
IMF, Bank Dunia dan Multilateral Development
Banks (MDBs) lainnya memiliki sumber daya
yang cukup untuk membantu negara-negara
berkembang yang terkena dampak krisis dan
juga memberikan pendanaan perdagangan
dan infrastruktur. Kemudian pertemuan di
London Inggris pada April 2009 menghasilkan
kesepakatan diantaranya : menyetujui
pengambilan langkah segera untuk memperbaiki
kembali pertumbuhan dan mendukung ekonomi
negara berkembang, menyepakati sejumlah
prinsip bersama untuk mengawal reformasi pasar
keuangan, sependapat mengenai rencana aksi yang
menyusun berbagai rencana kerja komprehensif
untuk mengimplementasi berbagai prinsip tadi
dan meminta menteri keuangan untuk bekerja
memastikan rencana aksi bisa diimplementasi
secara penuh dan giat, menyepakati bahwa
reformasi hanya bisa sukses jika dilakukan
berdasarkan komitmen atas prinsip pasar bebas.
Hal itu mencakup regulasi, penghormatan bagi
milik pribadi, perdagangan dan investasi terbuka,
pasar kompetitif, dan sistem keuangan yang
diregulasi secara efektif dan efisien. (setneg.go.id)
Kesepakatan-kesepakatan dan usaha-usaha
tersebut diatas dapat dijadikan acuan bagi langkahlangkah antisipatif kebijakan dalam negeri
untuk mengatasi dampak dari krisis keuangan
global yang berpengaruh dalam memulihkan
perekonomian global. Kesepakatan-kesepakatan
tersebut akan sangat bermakna apabila semua
negara anggota G20 dapat melakukan action
plan bagi usaha-usaha penanggulangan dampak krisis keuangan melalui kebijakan dalam negeri maupun melalui kerjasama multilateral.
Namun demikian sangat disadari dari awal
bahwa kesepakatan yang telah diputuskan pada
forum G20 tidak akan langsung serta merta mampu
mengatasi krisis global secara instan. Dampak
krisis global yang dialami negara-negara di dunia
terjadi dalam cakupan, skala dan karakteristik
yang berbeda. Karenanya faktor utama yang
sangat menentukan keberhasilan mengatasi krisis
global justru terletak pada sejauhmana kuatnya
komitmen dari negara-negara anggota G20 untuk
menjalankan kesepakatan yang telah diputuskan
dan menerapkan dengan pendekatan yang tidak
harus seragam. Dalam pertemuan G20, semangat
dan komitmen dari negara anggota begitu tinggi
untuk mengatasi krisis global secara bersamasama. Ini tampak dari sikap Amerika yang
sepakat mereformasi regulasi sektor keuangan
global yang selama ini selalu ditentangnya.
Pada forum ini juga diletakan ketentuan dasar
perundingan liberalisasi perdagangan yang
memberi akses pasar lebih besar bagi negara
berkembang. Kemudian yang patut digarisbawahi
dan dinantikan aksi riilnya adalah sikap negara
maju yang mulai mengakui eksistensi peranan
perekonomian negara berkembang dalam
menjaga stabilitas perekonomian dunia.
Langkah pertemuan pimpinan negara
G20 November 2008 dan April 2009 secara
bertahap telah berhasil memulihkan kepercayaan
dan mengurangi kepanikan global, sehingga
ketenangan dapat dibangun kembali. Kondisi
sektor keuangan berangsur-angsur mulai pulih
dan likuiditas global mulai mengalir kembali.
Sementara itu kebijakan counter cyclical dan
kucuran likuiditas menyebabkan perekonomian
global mulai pulih. G20 telah melaksanakan
komitmen dalam KTT Washington dan London,
antara lain; pertama, melaksanakan kebijakan
fiskal stimulus 2% PDB atau setara US$1,4 triliun,
kedua, melakukan rekapitalisasi perbankan dan
restrukturisasi asset bermasalah dengan biaya
sebesar US$2 triliun-US$2,5 triliun; ketiga,
penambahan resources IMF sebesar US$500
miliar dan alokasi SDR untuk menambah
likuiditas dunia sebesar US$250 miliar.
Keempat, peningkatan kapital ADB 200% dan
penambahan pendanaan dari Bank Pembangunan
Multilateral dan Regional (Multilateral/Regional
Development Bank) sebesar US$300 miliar serta
Trade Financing sebesar US$250 miliar untuk
mengkompensasi kemerosotan aliran modal ke
negara berkembang.
Peran baru G20 ini mencerminkan munculnya
kesadaran negara-negara maju bahwa krisis
keuangan global yang terjadi tidak bisa mereka
atasi sendiri tanpa melibatkan negara lain.
Dibutuhkan suatu harmonisasi atau kerjasama
G20 dan Krisis Global
53
antar negara-negara untuk mengatasi krisis
finansial global yang melanda dunia.
Peran Negara Berkembang di G20
Yang menarik di G20 adalah adanya
keterlibatan negara berkembang dalam mengatasi
kriris global dan keterwakilan kepentingan
negara-negara berkembang. Keseimbangan
peran antara negara maju dan negara berkembang
dalam forum G20 diharapkan dapat mempercepat
proses pemulihan krisis ekonomi global melalui
keterlibatan langsung kepala negara dalam
mencapai kompromi atas sejumlah isu penting.
Negara-negara berkembang berharap KTT
G20 dapat menghasilkan suatu kesepakatan
tingkat kepala pemerintahan/negara untuk
mereformasi institusi dan arsitektur keuangan
guna meningkatkan peran negara-negara
berkembang di perekonomian global. Proses
pengambilan keputusan institusi keuangan
internasional selama ini tidak adil terhadap negara
berkembang. Oleh karena itu, negara berkembang
ingin memiliki hak suara yang lebih besar dalam
kancah ekonomi dunia. Kesepakatan G20 juga
harus ditindaklanjuti dalam berbagai forum.
Agar ada keputusan nyata dan konkret, untuk
mencari solusi krisis yang tidak mengorbankan
kepentingan negara-negara berkembang.
Ada beberapa usulan yang dikemukakan
oleh negara berkembang termasuk Indonesia,
yakni dalam jangka pendek, mengusulkan
mengembalikan kepercayaan di sektor keuangan
dengan menjamin tersedianya likuiditas. Selain
itu, menjaga kepercayaan terhadap perbankan,
mencegah terhentinya aliran kredit, serta
mengatasi persoalan pembiayaan perdagangan
(trade financing). Untuk jangka menengah,
mengusulkan upaya mendorong pertumbuhan
ekonomi. Langkah yang perlu dilakukan meliputi
kebijakan fiskal dan moneter. Sedangkan, usulan
jangka panjangnya adalah reformasi sistem
arsitektur keuangan global. Langkah-langkah
ini harus dilakukan, baik di tingkat nasional,
regional, maupun global.
Meningkatkan standar hidup di pasar negara
berkembang merupakan elemen penting dalam
mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan
54
Januari 2010
dalam ekonomi global. Ketika kinerja serta peran
G-8 dinilai kurang mampu mendapatkan dan
mencari solusi atas apa yang telah terjadi, maka
para pemimpin dunia berharap negara-negara
berkembang seperti Indonesia berperan dan ikut
berkontribusi dalam mencari solusi persoalan
dunia, termasuk membentuk tatanan ekonomi
internasional yang baru. Selama ini, tatanan
ekonomi dunia hanya dikuasai dan dimiliki oleh
negara-negara industri yang semuanya itu masuk
dalam anggota G8. AS juga meminta bantuan Cina
dan Presiden Cina Hu Jintao berjanji akan bekerja
sama mengatasi krisis global. Cina memiliki
cadangan devisa 1,9 triliun dollar AS dan diimbau
untuk terus membeli surat utang Pemerintah
AS. Sebagai imbalan, Cina mendapatkan suara
lebih besar di IMF. Hal ini akan bermanfaat
untuk meningkatkan legitimasi IMF dan Bank
Dunia. Efek positif selanjutnya, kedua lembaga
ini akan memberikan bantuan tanpa persyaratan
keras dan keliru, seperti sebelumnya, yang justru
menjerumuskan banyak negara yang ditolong.
Ini sekaligus menandai suara Asia yang makin
didengar di dunia. Ini bertujuan untuk memecah
dominasi kekuatan AS di IMF dan Bank Dunia.
Keterlibatan Indonesia sendiri dalam forum
G20 tentu mengundang banyak pertanyaan.
Menurut Ketua Kadin M.S Hidayat, Indonesia
dijadikan salah satu model negara berkembang
yang masih bisa bertahan saat krisis global dalam
Forum G-20 di London, Inggris. Indonesia telah
mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 4%.
Angka ini di atas Singapura yang mengalami
pertumbuhan ekonomi minus 10%. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia dinilai lebih tinggi daripada
negara-negara Asia lainnya. Pertemuan kelompok
negara G-20 di Amerika Serikat ini menjadi
momentum untuk menempatkan Indonesia
sebagai negara strategis yang harus diperhitungkan
sebagai kekuatan ekonomi dunia. Menlu RI
mengatakan saat ini pemerintah memprioritaskan
peningkatan peran Indonesia di dalam forum
G20 sehingga akan segera dilakukan identifikasi
secara cepat dan cerdas untuk mengetahui peran
apa yang dapat dimainkan Indonesia dalam
forum G20. Indonesia adalah satu-satunya negara
ASEAN yang menjadi anggota dalam forum G20
JURNAL ISIP Purnama Wulandari
yang saat ini diandalkan dunia untuk menjadi
lembaga yang mencari solusi masalah finansial
dan keuangan global. Untuk itu, Indonesia
memainkan peran yang cukup unik karena
Indonesia bukan saja anggota ASEAN tetapi juga
satu-satunya anggota ASEAN yang juga menjadi
anggota G20. Peran Indonesia dalam G20 dan
ASEAN bisa saling melengkapi karena peran
kuat Indonesia di ASEAN dapat memberi pijakan
dan fondasi yang berpengaruh di forum G20
dan demikian pula sebaliknya. Indonesia harus
cerdas berdiplomasi dalam mengembangkan
kemampuan secara serempak, Indonesia bisa
menggunakan ASEAN di G20 dan sebaliknya
G20 di ASEAN.
Menurut pemerhati ekonomi Cyrillus
Harinowo Hadiwerdoyo, Indonesia cukup lama
berada hanya dalam periferi perekonomian
global. Keberadaannya nyaris tak terdengar.
Sehingga elevasi peran G20 ini menjadikan
Indonesia selalu dalam “radar” pelaku ekonomi
global. Hal ini sangat penting karena tanpa harus
berpromosi ke sana kemari, keberadaan Indonesia
sudah diakui dunia.
struktural perdagangan berlangsung, tidak
dapat menghasilkan pertumbuhan yang kuat
dan berkelanjutan. Tanpa tindakan kerjasama
untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan
untuk mencapai hasil itu, risiko krisis di masa
depan dan pertumbuhan yang rendah akan tetap
ada. Semua negara G20 harus bergerak cepat
untuk menciptakan pertumbuhan global yang
berkelanjutan dan seimbang.
Kerjasama antara negara maju dan
berkembang amat diperlukan untuk keberlanjutan
perekonomian dunia. Negara maju menyadari
pentingnya negara berkembang sebagai motor
penggerak ekonomi dunia, apalagi negara-negara
berkembang yang termasuk negara emerging
market/economies seperti Cina. Dengan langkahlangkah yang diambil oleh negara G20 diharapkan
krisis finansial global tidak berkepanjangan dan
bisa pulih. Negara berkembang sendiri
harus mampu memanfaatkan hak suaranya
di kancah global. Meskipun hak suara yang
diberikan tidak terlalu besar namun hal ini bisa
menjadi momentum untuk dapat lebih berperan
dalam konstelasi perekonomian internasional.
Kesimpulan
Pergeseran paradigma yang terjadi
menunjukkan bahwa sejarah memang berulang,
dimulai dari perlunya peran negara sebagai
sentral dalam urusan ekonomi (merkantilisme),
kemudian berganti menjadi pasar sebagai aktor
utama (liberalisme), saat ini kembali negara
menjadi aktor penting dalam perekonomian
dan pembangunan. Kegagalan pasar menjadi
pertimbangan penting dan intervensi negara
secara aktif sangat diperlukan. Hal ini bisa kita
lihat pada krisis finansial global tahun 2008
dimana negara yang dipelopori Amerika Serikat
melakukan intervensi dalam upayanya mengatasi
krisis ekonomi.
G20 merupakan cerminan menguatnya
kembali peran negara dalam mengatur
perekonomian. Ini adalah untuk kepentingan
masing-masing negara untuk memberikan
kontribusi terhadap tujuan-tujuan yang lebih
baik melalui kerjasama dengan masyarakat
global. Ketidakseimbangan fiskal dan
Daftar Pustaka
Altman, Roger C.. “Globalization in Retreat:
Further Geopolitical Consequences of the
Financial Crisis”. Foreign Affairs. July/August
2009.
Hadi, Syamsul. et al. Post Washington
Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia.
Serpong : Marjin Kiri. 2007.
---------- “Negara, Pasar, dan Sistem
Kapitalisme Global : Refleksi Kritis atas Krisis
Finansial 2007-2008”. Global Justice Update.
November 2008.
Onis, Ziva dan Fikret Senses. Rethingking
the Emerging Post Washington Consensus :
A Critical Appraisal. ERC Working Paper
in Economic 03/09. Middle East Technical
University Ankara. Turkey. 2003.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan
Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Parnohadiningrat, Sudjadnan “ Indonesia
and G20 : Participating In An Inclusive Global
G20 dan Krisis Global
55
Governance Framework For The 21st Century
Challenges”, The Indonesia Quarterly, First
Quarter 2009, Vol.37 No.1.
Yudhoyono,Susilo Bambang, “An Attempt
To Cope With The Global Financial Crisis”, The
Indonesia Quarterly, First Quarter 2009, Vol.37
No. 1.
http://tabloiddiplomasi.com/index.php/
current-issue/80-news/781-peleburan-g-8-ke-g20-refleksi-perubahan-konstelasi-power-antarnegara.html.
http://cetak.kompas.com/read/
xml/2009/04/04/02311236/g-20.buka.era.baru
www.wikipedia.com
h t t p : / / w w w. s e t n e g . g o . i d / i n d e x .
php?option=com_content&task=view&id=372
2&Itemid=29
http://indonesiafile.com/content/
view/1437/38/
h t t p : / / w w w. m e d i a i n d o n e s i a . c o m /
56
Januari 2010
read/2009/09/09/97461/70/13/Indonesia-danPeran-Baru-G-20
http://www.antara.co.id/berita/1256401674/
asean-apresiasi-sikap-indonesia-dalam-g20
http://www.infoanda.com/linksfollow.
php?lh=AAAJWg9QClMD
http://cetak.kompas.com/read/
xml/2009/04/04/02311236/g-20.buka.era.baru
h t t p : / / w w w. s e t n e g . g o . i d / i n d e x .
php?option=com_content&task=view&id=372
2&Itemid=29
http://beritasore.com/2009/03/28/indonesiadorong-g-20-tidak-mengorbankan-negaraberkembang/
http://www.tempointeraktif.com/hg/
politik/2009/09/26/brk,20090926-199456,id.html
http://www.kabarbisnis.com/makro/
global/285953-Pertemuan_G_20_tegaskan_
peran_penting_RI_di_kancah_global.html
JURNAL ISIP Purnama Wulandari
Download