Kedudukan Indonesia dalam Perdagangan Internasional Kedelai Dewa K.S. Swastika, Sri Nuryanti, dan M. Husein Sawit Pusat Analisis Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor PENDAHULUAN Kedelai merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang relatif murah dibandingkan dengan sumber protein hewani. Di Indonesia, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk pangan olahan seperti: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan (snack). Lebih dari 80% penduduk Indonesia mengonsumsi kedelai dalam berbagai bentuk pangan olahan. Perkembangan industri pangan berbahan baku kedelai membuka peluang yang besar bagi usaha agribisnis kedelai, mulai dari usahatani, pengolahan, sampai pemasaran (Rondot et al. 1992; Damardjati et al. 2005). Selain itu, berkembangnya industri peternakan, terutama unggas, telah mendorong berkembangnya indutri pakan ternak. Bungkil kedelai yang merupakan kedelai bubuk yang telah diambil minyaknya menjadi komponen terpenting kedua setelah jagung sebagai sumber protein dalam komposisi pakan unggas (Tangendjaja et al. 2003). Industri minyak kedelai belum berkembang di Indonesia, sehingga kebutuhan bungkil kedelai yang digunakan dalam industri pakan masih diimpor. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri pangan olahan berbahan baku kedelai, maka kebutuhan kedelai di dalam negeri terus meningkat. Ditjen Tanaman Pangan memperkirakan kebutuhan kedelai tahun 2008 sekitar 2,0 juta ton dan bungkil kedelai sekitar 1,5 juta ton (Ditjentan, 2004). Data statistik dari FAO dan BPS menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai pada tahun 2004 sebesar 1,84 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya 0,72 juta ton. Kekurangannya harus diimpor sebesar 1,12 juta ton, atau sekitar 61% dari total kebutuhan. Bahkan Damardjati et al. (2005) melaporkan bahwa kebutuhan kedelai pada tahun 2004 telah mencapai 2,02 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 0,71 juta ton atau sekitar 35% dari total kebutuhannya. Gambaran di atas mencerminkan bahwa Indonesia masih mengalami defisit yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Defisit itu terus meningkat dari sekitar 0,17 juta ton pada tahun 1976 menjadi 1,12 juta ton pada tahun 2004, dengan puncak defisit sebesar 1,37 juta ton 28 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan pada tahun 2002. Padahal Indonesia pernah berswasembada kedelai dengan indeks swasembada lebih besar dari satu hingga 1974 (Swastika 1997), pada waktu konsumsi produk olahan kedelai, terutama tahu, tempe, kecap, belum merata ke seluruh Indonesia. Meningkatnya defisit disebabkan oleh meningkatnya konsumsi per kapita disertai pertumbuhan penduduk, dan menurunnya produksi dalam negeri akibat penurunan areal tanam. Damardjati et al. (2005) menduga bahwa penurunan harga riil kedelai diduga merupakan salah satu faktor utama penyebab turunnya areal tanam kedelai secara drastis. Pada tahun 1992, areal kedelai mencapai 1,87 juta ha turun menjadi sekitar 0,72 juta ha pada tahun 2004. Penurunan harga riil diduga sebagian disebabkan oleh kebijakan liberalisasi impor kedelai dengan tarif 0%, sehingga kedelai impor yang jauh lebih murah menekan harga kedelai di dalam negeri. Padahal harga kedelai murah di luar negeri bukan karena tingkat efisiensi, akan tetapi karena subsidi dan dukungan yang diberikan oleh negara-negara maju pada petani dan pedagang mereka. Selain itu, pada saat yang sama dihapusnya subsidi sarana produksi dan tidak tersedianya kredit lunak usahatani palawija, menyebabkan biaya produksi kedelai di dalam negeri meningkat, sehingga daya saing usahatani kedelai semakin lemah. Oleh karena itu, tanpa kebijakan perlindungan dari ancaman kedelai impor, maka defisit kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri akan terus meningkat. Dengan kata lain, ketergantungan Indonesia pada kedelai impor akan semakin besar. Namun risikonya adalah selama pasar kedelai internasional dikuasai oleh negara maju yang jumlahnya tidak banyak, maka posisi Indonesia sebagai negara importir besar akan semakin lemah. Tulisan ini ditujukan untuk memberi gambaran yang lebih baik tentang perdagangan internasional kedelai, peran negara-negara maju, dan posisi Indonesia di pasar internasional, memanfaatkan hasil-hasil studi terdahulu dengan pemutakhiran data sesuai ketersediaannya. STRUKTUR PERDAGANGAN INTERNASIONAL Perdagangan merupakan kunci keberhasilan sistem agribisnis suatu komoditas. Perbedaan kondisi agroklimat menyebabkan perbedaan kesesuaian komoditas pertanian. Ada wilayah atau negara yang sesuai untuk suatu komoditas pertanian secara efisien, dan ada pula sebaliknya. Perbedaan kesesuaian komoditas antarwilayah/negara menyebabkan setiap wilayah/negara mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif untuk berspesialisasi secara efisien menghasilkan komoditas unggulan wilayah Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 29 atau negaranya. Adanya spesialisasi produk pertanian mendorong terjadinya perdagangan komoditas dari wilayah/negara surplus ke wilayah/negara defisit. Atau dengan kata lain, perbedaan harga menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan perdagangan, baik antarpulau, wilayah, maupun antarnegara. Di era globalisasi pasar bebas, hanya produk yang dihasilkan secara efisien mampu bersaing, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Spesialisasi produk adalah salah satu peta jalan menuju efisiensi usaha dan daya saing. Dengan spesialisasi di tiap negara, maka suatu negara hanya memproduksi komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, dan mengimpor dari pasar internasional komoditas lain yang dibutuhkan tetapi tidak dapat diproduksi secara efisien di dalam negeri. Dalam pasar bebas, tidak ada batas negara untuk memasarkan suatu komoditas. Negara yang mempunyai surplus suatu komoditas akan mengekspornya ke negara yang defisit. Demikian sebaliknya, negara yang defisit suatu komoditas akan mengimpor dari negara yang surplus melalui perdagangan internasional. Konsentrasi Negara Produsen dan Eksportir Negara produsen utama kedelai di dunia selama periode 1987-1993 adalah Amerika Serikat (AS), Brazil, Cina, dan Argentina. Keempat negara ini menyumbang 87% produksi kedelai dunia (Rusastra 1996). Selama periode 1995-2003, negara produsen terbesar yang memasok kedelai ke pasar internasional adalah AS dengan pangsa rata-rata 57% dari total ekspor dunia. Tingginya pangsa pasar ini mencerminkan bahwa AS mempunyai efisiensi produksi dan daya saing yang tinggi, disamping luas panen yang sangat besar dan adanya subsidi dan bantuan yang menyebabkan penurunan biaya produksi dan biaya perdagangan. Dengan skala usaha yang sangat luas, mereka dapat menerapkan teknologi tinggi secara efisien. Negaranegara eksportir besar lainnya, di antaranya Brazil (23,7%), Argentina (9,2%), Paraguay (4,1%), dan Belanda (2,6%). Secara lebih rinci, delapan negara eksportir terbesar di dunia disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa pangsa delapan negara eksportir besar selama dasawarsa terakhir, rata-rata mengambil pangsa 99% dari total ekspor seluruh negara. Hanya 1% pangsa ekspor kedelai berasal dari negaranegara lainnya. Kondisi ini mencerminkan bahwa struktur pasar kedelai internasional mendekati pasar oligopoli. Amerika Serikat berpeluang mempunyai posisi tawar yang kuat dalam penentuan harga kedelai di pasar dunia. 30 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Kanada 1,5% Cina 0,5% Belanda 2,6% Bolivia 0,4% Lainnya 0,8% Paraguay 4,1% Argentina 9,2% USA 57,2% Brazil 23,7% Gambar 1. Delapan negara eksportir kedelai terbesar, 1995-2003. Lainnya 22,8% Cina 22,1% Indonesia 2,1% Italia 2,2% Belanda Thailand 11,6% 2,2% Korea 3,2% Spanyol Jepang 10,8% 6,5% Meksiko Jerman 8,1% 8,3% Gambar 2. Sepuluh negara importir kedelai terbesar, 1995-2003. Konsentrasi Negara Importir Negara importir kedelai terbesar dunia adalah Cina dengan pangsa ratarata 22% dari total impor seluruh negara di dunia selama periode 19952003. Negara-negara importir besar lainnya adalah: Belanda (11,6%), Jepang (10,6%), Jerman (8,3%), Meksiko (8,1%) dan Spanyol (6,5%). Urutan 10 negara importir besar kedelai di dunia secara rata-rata per tahun selama periode di atas disajikan pada Gambar 2. Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 31 Dari Gambar 1 dan 2, terlihat bahwa Belanda mengimpor sekitar 12% dari total impor dunia dan mengekspor sekitar 3% dari total ekspor dunia. Pada kondisi di mana total ekspor dunia sama dengan total impor dunia, maka Belanda merupakan negara net importir. Indonesia berada pada negara importir kedelai nomor 10 terbesar di dunia, dengan rata-rata impor sebesar 2,1 juta ton per tahun selama periode 1995-2003. Neraca Perdagangan Indonesia Sampai dengan 1974, Indonesia pernah mengalami surplus kedelai. Namun sejak 1975, perdagangan kedelai Indonesia selalu dalam posisi defisit. Volume impor selalu jauh melampaui volume ekspor, sehingga Indonesia selalu menjadi negara net importir. Dengan kata lain, sejak 1975 Indonesia belum pernah berswasembada kedelai. Defisit kedelai terus meningkat dari 0,02 juta ton pada tahun 1975 menjadi 0,54 juta ton pada tahun 1990 dan 1,12 juta ton pada tahun 2004. Puncak impor dan defisit terjadi pada tahun 2002, di mana defisit perdagangan mencapai 1,37 juta ton lebih. Rata-rata volume impor kedelai selama periode 2000-2004 mencapai sekitar 64% dari total kebutuhan dalam negeri. Kenyataan ini mencerminkan sangat tingginya ketergantungan Indonesia pada kedelai impor. Secara lebih rinci, keseimbangan impor dan ekspor kedelai disajikan pada Tabel 1. Pemicu Peningkatan Impor Indonesia Berbagai faktor berperan dalam memicu peningkatan impor kedelai oleh Indonesia. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Tabel 1. Perkembangan impor dan ekspor kedelai di Indonesia, 1970-2003. Tahun Impor (ton) 1970 1974 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 2003 2004 0 150 17.802 100.878 301.956 541.060 607.393 1.277.685 1.136.419 1.365.253 1.192.717 1.117.790 Ekspor (ton) 3953 4,148 30 0 0 240 83 521 1.188 235 433 13 Neraca (ton) 3.953 3.998 -17.772 -100.878 -301.956 -540.820 -607.310 -1.277.164 -1.135.231 -1.365.018 -1.192.284 -1.117.777 Sumber: FAO 2006 b (Diolah). 32 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Faktor internal Faktor internal yang dapat meningkatkan volume impor adalah: (i) penurunan areal tanam yang mengakibatkan penurunan produksi, (ii) rendahnya efisiensi usahatani kedelai sehingga daya saingnya rendah; (iii) peningkatan konsumsi kedelai dalam negeri sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri olahan kedelai. Produksi kedelai turun drastis dari 1,87 juta ton pada tahun 1992 menjadi hanya 0,72 juta ton pada tahun 2004. Penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya areal tanam dari 1,67 juta ha pada tahun 1992 menjadi hanya 0,57 juta ha pada tahun 2004. Dari segi efisiensi, berbagai hasil studi menujukkan bahwa usahatani kedelai di Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Gonzales et al. (1993) mengungkapkan bahwa usahatani kedelai tidak efisien, baik secara tradisional maupun komersial, di Jawa maupun di luar Jawa. Mereka melaporkan bahwa nilai rasio biaya sumber daya domestik (DRCR) untuk kedelai sebagai substitusi impor di Jawa berkisar 1,23-1,60, sementara di luar Jawa 1,29. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghemat US$1,0 dari pengurangan impor kedelai dibutuhkan pengorbanan sumber daya domestik sebesar US$ 1,23-1,60 di Jawa dan US$1,29 di luar Jawa. Hasil penelitian Rusastra (1997), juga menunjukkan inefisiensi dalam usahatani kedelai di Jawa. Ia melaporkan bahwa nilai DRCR usahatani kedelai pada tahun 1993 di Jawa berkisar 1,53-1,71. Hanya di luar Jawa usahatani kedelai mencapai nilai DRCR sedikit lebih kecil dari 1,00 namun masih rentan terhadap perubahan harga. Secara lebih rinci hasil penelitian keunggulan komparatif usahatani kedelai di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil studi keunggulan komparatif usahatani kedelai di Indonesia. 1. Gonzales et al. 1993 2. Rusastra I.W. 1997. Tradisional, 1986: - Jawa - Luar Jawa DRCR = 1,60 DRCR = 1,29 Komersial, 1986 - Jawa Tengah - Jawa Timur - Jawa DRCR = 1,26 DRCR = 1,31 DRCR = 1,23 - Jawa, 1993 - Luar Jawa, 1993 DRCR = 1,53-1,71 DRCR = 0,81-0,94 Sumber: Gonzales et al. (1993); Rusastra (1997). Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 33 Dari segi konsumsi, meskipun selama periode 1990-2994 ada kecenderungan penurunan konsumsi per kapita sebesar 0,2%, namun karena penduduk tumbuh rata-rata 1,5% per tahun, maka total konsumsi kedelai meningkat rata-rata 1,3% per tahun. Selama periode yang sama, produksi menurun 5% per tahun, sehingga volume impor meningkat. Faktor Eksternal Faktor eksternal dalam bahasan ini adalah faktor yang berasal dari luar sistem agribisnis kedelai, terutama kebijakan perdagangan, baik dari pemerintah sendiri maupun kebijakan negara lain. Sesuai dengan perjanjian pertanian (AoA= Agreement on Agriculture) dari WTO, segala bentuk proteksi, subsidi, dan pembatasan non tariff untuk impor harus secara bertahap dikurangi. Namun demikian, negara-negara maju justru sangat melindungi petaninya, baik dengan memberikan subsidi produksi maupun subsidi ekspor. Sampai batas tertentu, hal ini memang diperbolehkan dalam AoA yang baru disadari sekarang negara berkembang, mempunyai banyak kelemahan dan celah. Sebagai contoh, selama periode 1995-2004, Uni Eropa (UE) memberikan bantuan lebih dari 100 milliar Euro untuk produk pertanian mereka, dan cenderung meningkat rata-rata 0,47% per tahun. Sementara itu, pada periode yang sama AS mengeluarkan sekitar US$ 68109 milliar per tahun untuk membantu pemasaran dari produk pertanian mereka, dan cenderung meningkat lebih cepat dengan rata-rata 4,03% per tahun. Khusus untuk kedelai, UE telah membelanjakan sekitar 82-199 juta Euro untuk membantu produsen (producer support estimate=PSE). Hal yang sama dilakukan oleh AS dengan mengeluarkan sekitar US$ 796-5053 juta untuk membantu produsen. Bantuan ini bisa berupa subsidi input atau peralatan untuk menekan biaya produksi, dan bisa juga berupa subsidi ekspor untuk pelaku usaha yang mengekspor kedelai ke negara-negara importir. Kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani dan eksportir di negara-negara maju. Selain PSE, ternyata AS juga memberi bantuan pada konsumen (consumer support estimate=CSE) sekitar US$319-429 juta, seperti disajikan pada Tabel 3. Pemerintah Jepang juga melakukan hal yang sama dengan UE dan AS. Hal ini ditambah untuk meningkatkan daya beli konsumen agar mampu membeli lebih banyak kedelai. Semua kebijakan negara-negara maju tersebut sangat protektif terhadap petani kedelai di negaranya, dan tingkat proteksi itu terakomodasi dalam AoA yang dirancang oleh negara maju demi kepentingannya. Dampak negatif dari kebijakan tersebut terhadap negara berkembang adalah daya saing kedelai yang dihasilkan di 34 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Tabel 3. Total support dan support untuk kedelai di UE dan AS, 1995-2004. Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Pertumbuhan (%) Total support Support untuk kedelai UE (juta Euro) AS (juta US$) UE unt PSE (juta Euro) AS unt CSE (juta US$) AS unt PSE (juta US$) 107.682 105.519 111.100 113.841 120.743 105.806 105.899 109.972 117.223 113.001 67.792 76.358 76.178 89.833 100.328 97.513 98.610 90.020 92.199 108.696 192 199 179 179 111 152 158 100 82 88 328 336 331 320 319 320 332 366 396 429 796 800 830 2.381 3.915 4.852 4.679 2.536 3.503 5.053 0,47 4,03 -9,82 2,53 21,00 Sumber: OECD, 2005a (Diolah). PSE= Producer Support Estimate; CSE=Consumer Support Estimate. negara berkembang semakin lemah, sehingga impor terus mengalir. Perdagangan menjadi tidak adil. Berbeda dengan negara-negara maju, Indonesia belum mampu secara nyata melaksanakan bantuan domestik, baik yang masuk dalam Green Box yang diperbolehkan, maupun de minimis yang masuk dalam Amber Box. Itu tidak hanya untuk kedelai, tetapi juga untuk komoditas penting lainnya. Keterbatasan dana pembangunan seiring dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan, mengharuskan Indonesia untuk mengurangi bahkan menghapus berbagai subsidi dan kebijakan harga dasar yang pernah dilakukan di era 1980-an. Impor yang tidak tepat waktu, sering pada musim panen kedelai, menyebabkan harga kedelai di tingkat petani tertekan menjadi rendah. Kondisi ini diduga merupakan salah satu faktor penyebab lemahnya insentif petani untuk menanam kedelai yang tergambarkan dalam luas areal tanam dan produksi kedelai yang terus menurun. Kebijakan lain yang mendorong meningkatnya impor kedelai adalah kebijakan tarif impor. Sesuai dengan kesepakatan WTO, tarif impor untuk kedelai ke Indonesia sejak 1995 adalah 27%. Akan tetapi, Indonesia menerapkan tarif impor sebesar 0%, sehingga tidak ada hambatan kedelai impor yang harganya murah masuk ke Indonesia dan telah meniadakan insentif para petani kedelai (Sawit 2005). Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 35 IMPLEMENTASI PERJANJIAN PERTANIAN WTO Reformasi Perdagangan Sektor Pertanian Sebagai negara agraris, perdagangan merupakan kunci keberhasilan pengembangan sistem agribisnis. Kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang dicapai pada tahun 1994 melalui pertemuan Putaran Uruguay (Uruguay Round) diberlakukan mulai 1 Januari 1995 dan berakhir pada 31 Desember 2005. Kesepakatan di bidang pertanian (AoA) merupakan bagian sangat penting dalam kesepakatan umum tersebut. Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi kesepakatan itu, Indonesia telah mengajukan komitmennya sebagaimana yang tertuang dalam Schedule XXI. Isi komitmen untuk perdagangan hasil-hasil pertanian penurunan tarif (tariff reduction), tarif kuota (quota tariff), pengamanan khusus (Special Safegard=SSG), dan subsidi ekspor (export subsidy). Dalam implementasinya, Indonesia hanya menggunakan instrumen tarif sebagai alat perlindungan. Namun karena posisi Indonesia lemah, maka tarif yang dikenakan untuk impor kedelai 0%, padahal dalam AoA-WTO disepakati 27%. Dampaknya adalah derasnya arus impor kedelai ke Indonesia, sehingga mengakibatkan jatuhnya harga kedelai dalam negeri. Impor kedelai yang berlebihan dan penurunan harga serta produksi kedelai dalam negeri, telah mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Simatupang (2004) dan Sawit et al. (2005) telah mengusulkan kedelai di samping beras, gula, dan jagung serta sejumlah komoditas pangan penting lainnya dimasukkan sebagai special products (SP) dan SSM (special safeguard mechanism) untuk Indonesia. Dengan SP diharapkan nantinya, Indonesia mampu lebih fleksibel dalam membuka pasar serta membantu petaninya, tidak terkungkung pada ketentuan yang terlalu ketat seperti terhadap komoditas lainnya. Di samping itu, melalui SSM, Indonesia diharapkan mampu melindungi diri sementara dari ancaman impor, baik melalui volume impor maupun melalui harga impor. Kedua ketentuan itu, masih dalam bahasan di WTO, dan diharapkan dapat diformulasikan akhir tahun 2006. Di era 1980-an, pemerintah memproteksi tinggi bungkil kedelai melalui tarif tinggi dan membatasi impor, dengan tujuan untuk stabilisasi harga pakan ternak, sehingga industri peternakan dapat berkembang dengan risiko yang relatif kecil. Pada waktu itu, harga bungkil kedelai sering tidak stabil di pasar internasional. Di samping itu, juga diharapkan dapat merangsang petani untuk berproduksi kedelai, salah satu pemanfaatannya untuk bahan baku pakan ternak. Monopoli tata niaga impor kedelai dan bungkil kedelai diberikan kepada Bulog. Bulog menyalurkan kedelai impor 36 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Tabel 4. Perkembangan tarif bea masuk impor kedelai di Indonesia, 1992-2010. Tahun Tarif impor (%) 1992-96* 1998-2004* 2005-2010** 5-40% 0% 10% *) Sumber: Ditjen Bea cukai 1994-2004. **) Sumber: Ditjen Bea Cukai 2005 untuk PT Sarpindo guna digiling menjadi bungkil dan minyak kedelai (Ismet et al. 1996). Di samping itu, bungkil kedelai disalurkan Bulog langsung ke feedmills besar dan sedang, atau langsung ke ASBIMTI (Asosiasi Bahan Baku Impor Makanan Ternak Indonesia), selanjutnya ASBIMTI menyalurkannya ke feedmills kecil. Sejak akhir 1980-an, berbagai paket deregulasi dicanangkan pemerintah. Berbagai hambatan perdagangan dikurangi secara bertahap. Pada tahun 1991, Bulog tidak lagi bertindak sebagai importir tunggal untuk kedelai dan bungkil kedelai, dan tata cara impor diubah menjadi importir umum. Persusahaan swasta boleh mengimpor bungkil kedelai, dengan bea masuk 5%. Kebijakan ini, telah menyulitkan Bulog untuk menyalurkan bungkil kedelai produksi PT Sarpindo. Setelah itu, bea masuk bungkil kedelai ditetapkan menjadi 40%. Pada kebijakan Paket Juni (Pakjun 1992) dibuat kebijakan BUSEP (bukti serap). Kebijakan ini mengharuskan produsen pakan ternak dalam negeri membeli bungkil kedelai dalam negeri dalam proporsi tertentu, kemudian ia mendapatkan hak impor bungkil kedelai dalam proporsi tertentu pula. Sejak 1996, ketentuan BUSEP tersebut dicabut, dan diubah menjadi importir umum (Ismet et al. 1996). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Indonesia mengikat tarif di WTO sebesar 27%. Namun tarif aktual hanya 0% yang diberlakukan sejak 1998, karena pengaruh IMF. Sejak awal 2005, tarif aktual kedelai ditinjau ulang. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 591/Kmk.01/2004, tentang Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk Tahun 2005-2010, tarif bea masuk kedelai menjadi 10% (Tabel 4). Kebijakan Perdagangan Berdasarkan AoA-WTO Dalam konteks perdagangan internasional produk pertanian, semua negara yang tergabung dalam WTO harus tunduk dan patuh pada aturan yang disepakati dalam Agreement on Agriculture (AoA). Ada 3 pilar utama AoAWTO (Solagral 2001), yaitu akses pasar (market access), bantuan domestik (domestic support), dan subsidi ekspor (export subsidy). Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 37 Market access menekankan pentingnya pengurangan hambatan perdagangan bagi masuknya produk pertanian dari negara-negara lain. Hambatan perdagangan berupa tarif bea masuk (ordinary custom tariff) dan hambatan-hambatan nontarif harus dikonversi menjadi tarif, sehingga lebih mudah untuk mengukurnya. Namun negara-negara maju pada umumnya mengenakan tarif awal (bound tariff) tinggi, sedangkan negaranegara berkembang lebih rendah. Domestic support memungkinkan negara anggota untuk memberikan bantuan kepada petani produsennya guna mendorong produksi dan meningkatkan ekspor atau mengurangi impor. Namun ada pembatasanpembatasan tertentu sehingga tidak mendistorsi perdagangan. Bentukbentuk bantuan domestik termasuk ke dalam Kotak Hijau (Green Box), Kotak Biru (Blue Box), dan Kotak Kuning (Amber Box). Yang masuk dalam Kotak Hijau adalah jenis subsidi yang diperbolehkan, karena tidak menimbulkan dampak atau minimal pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan. Subsidi tersebut meliputi antara lain penelitian dan pengembangan, proteksi hama dan penyakit, pelayanan penyuluhan dan pemasaran yang dibiayai oleh anggaran negara. Domestic support (DS) yang diimplementasikan di Indonesia ada dua jenis, yaitu yang masuk dalam Kotak Hijau dan Kotak Kuning. Bentuk DS yang termasuk dalam Kotak Hijau dan dikecualikan untuk dikurangi (exempted from reduction) antara lain adalah pelayanan umum, stok penyangga pangan, bantuan pangan dalam negeri untuk masyarakat yang memerlukan, pembayaran langsung terhadap produsen, asuransi pendapatan dan program jaringan pengaman sosial, bantuan darurat, program penyesuaian struktural, dan program bantuan lingkungan hidup dan bantuan daerah (Sawit 2005). Kotak Kuning merupakan bentuk subsidi yang dibatasi karena dapat menimbulkan distorsi pasar dan mengganggu perdagangan internasional. Pada kategori ini terdapat pengurangan tingkat subsidi termasuk di dalamnya perbedaan antara harga domestik dan harga dunia, serta pembayaran langsung kepada produsen. Namun pengecualian subsidi per komoditas tidak lebih dari 10% atau disebut de minimis. Dengan kata lain, bila mampu Indonesia diperbolehkan melakukan subsidi berupa harga dasar, subsidi pupuk atau benih buat petani kedelai, asalkan subsidi tersebut tidak melebihi 10% dari nilai produksi kedelai setiap tahunnya. Export subsidy menekankan pelarangan pemberian subsidi terhadap ekspor, karena hal ini dapat mendistorsi pasar dunia, kecuali yang telah tercantum dalam daftar komitmen. Apabila masih tercantum dalam daftar komitmen, negara itu wajib untuk mengurangi dana subsidi dan jumlah 38 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan komoditas yang diberikan subsidi. Negara-negara maju sepakat untuk mengurangi jumlah komoditas ekspor yang disubsidi sebesar 24% selama enam tahun, sedangkan negara-negara berkembang 14% selama 10 tahun (Solagral 2001). Selama enam tahun masa pelaksanaan komitmen pengurangan tarif, negara berkembang dalam kondisi tertentu diizinkan untuk meng-gunakan subsidinya untuk mengurangi biaya ekspor. Pengurangan subsidi ekspor merupakan salah satu langkah penting untuk menciptakan keseimbangan perdagangan antara negara maju dan negara berkembang dalam persaingan global. Perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tiga pilar AoA-WTO tersebut di atas akan berpengaruh pada perdagangan komoditas pertanian di pasar internasional dan dalam negeri, baik dari aspek produksi, pengolahan, pemasaran maupun konsumsi. Meluasnya akses pasar di negara-negara lain akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor, yang akan berdampak positif bagi pertanian Indonesia. Namun apabila yang terjadi sebaliknya, akan berpengaruh buruk terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, negara maju telah menggunakan ketentuan AoA-WTO untuk meneruskan dan melegalkan berbagai bentuk subsidi bagi petani mereka yang kaya dan berskala luas. Domestic Support dan Export Subsidy yang diberikan negara maju telah membuat negara berkembang tidak mampu bersaing dengan produk yang sama berasal dari impor. Negara maju lebih banyak memberi perhatian pada market access sebagai bagian dari ekspansi pasar produk pertanian mereka. Sedangkan yang lain, seperti pilar bantuan domestik dan subsidi ekspor diabaikan, sehingga membuahkan perdagangan multilateral yang belum berimbang dan tidak adil. Negara maju yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development, OECD) bahkan mempraktekkan bentuk-bentuk domestic support yang secara kuantitas tidak banyak berkurang. Bentuk subsidi negara maju yang diberikan kepada petaninya dapat dievaluasi melalui tiga indikator, yaitu: (i) tingkat proteksi nominal produsen (NPCp/ Nominal Protection Coefficient for producer); (ii) tingkat asistensi nominal produsen (NACp/ Nominal Assistance Coefficient for producer); dan (iii) tingkat proteksi produsen (PSE/Producer Support Estimate). NPCp merupakan rasio antara harga aktual yang diterima produsen (farm gate price) dengan harga paritas (border price) yang diperhitungkan di tingkat usahatani. Semakin tinggi koefisien ini, semakin besar selisih harga domestik dibandingkan dengan harga dunia. NACp merupakan rasio antara nilai output aktual yang diterima petani (including support) dengan nilai Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 39 output pada tingkat harga dunia (without support). PSE menunjukkan tingkat proteksi yang diberikan kepada produsen pertanian relatif terhadap nilai aktual produksi di tingkat usahatani. PSE digunakan secara meluas sebagai indikator komparasi proteksi antarnegara, komoditas, dan intertemporal. Umumnya negara-negara maju seperti yang tergabung dalam OECD (Swiss, Korea Selatan, Uni Eropa, Jepang, dan sebagainya) memberikan ketiga bentuk bantuan dan proteksi di atas kepada petaninya, termasuk petani kedelai. Bantuan tersebut melampaui besarnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara OECD secara agregat. Dampak Liberalisasi Perdagangan Reformasi perdagangan di sektor pertanian yang dirancang dalam AoA WTO semula diharapkan mampu membawa hasil yang signifikan bagi pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan perdesaan dan pertanian di sebagian besar negara anggota WTO, yaitu negara berkembang (NB). Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Impor pangan NB justru mengalami peningkatan dibanding sebelumnya, sebaliknya ekspor produk pertanian dari negara berkembang cenderung mengalami penurunan. Kemiskinan dan kelaparan yang cukup berarti melanda NB belum berkurang, bahkan di beberapa tempat bertambah. Pada saat yang sama, hutang luar negeri NB juga meningkat. Hal itu telah menyulitkan NB untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, memperlemah ketahanan pangan, dan pembangunan perdesaan. Padahal, tidak kurang dari 60% penduduk NB bertempat tinggal di wilayah perdesaan, dominan penduduk miskin serta bergantung pada sektor pertanian. Dampak buruk dari reformasi perdagangan dan beban hutang luar negeri juga dialami oleh Indonesia (Sawit dan Rusastra 2005). Seperti kecenderungan impor pangan lainnya, impor kedelai juga cenderung mengalami kenaikan. Di pihak lain, ekspor kedelai dari negara maju juga diperkirakan meningkat. Secara agregat impor kedelai Indonesia mengalami peningkatan sebesar 9,1% per tahun selama periode 1996-2005 (Tabel 5). Impor kedelai dari negara maju ke Indonesia mencapai 50,3% dari total impor Indonesia dan terus mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8,5% per tahun selama periode 1996-2005. AS adalah pemasok kedelai terbesar bagi Indonesia, mengambil pangsa hampir 50% dari seluruh negara pengekspor kedelai ke Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Rata-rata impor kedelai Indonesia dari AS mencapai 1,1 juta ton/ tahun. Selanjutnya Kanada adalah negara pengekspor kedelai terbesar kedua dengan rata-rata impor Indonesia sebesar 19 ribu ton/tahun. 40 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Tabel 5. Volume dan pertumbuhan impor kedelai ke Indonesia, rata-rata 1996-2005. Negara asal Rataan volume (ton/th) Pangsa (%) Pertumbuhan (%/th) Negara Maju United States Australia Canada New Zealand UE (15) Japan Switzerland Lainnya 1.163.280 1.140.450 270 19.452 13 576 1.269 1.026 226 50,25 49,26 0,01 0,84 0,00 0,02 0,05 0,04 0,01 3,77 3,42 29,15 31,49 0,00 -8,93 -22,98 179,03 89,36 Negara Berkembang China India Thailand Vietnam Brazil Argentina Lainnya 1.151.797 9.185 462.157 4.491 1.349 301.773 295.913 76.930 49,75 0,40 19,96 0,19 0,06 13,04 12,78 3,32 8,36 -3,22 2,28 93,60 -62,05 3,76 21,03 0,33 Total 2.315.077 100,00 Sumber: BPS 1996-2005 (Diolah 2006). Indonesia juga mengimpor kedelai dari negara berkembang sebesar 49,8% dari total impor Indonesia, dan mengalami pertumbuhan sebesar 8,9%/tahun. Negara berkembang yang memasok kedelai terbesar bagi Indonesia adalah India (rata-rata 0,5 juta ton/tahun), Brasil (0,3 juta ton/ tahun) dan Argentina (0,3 juta ton/tahun). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, impor kedelai Indonesia diperkirakan akan meningkat di masa mendatang dengan adanya kemudahan impor, yaitu dengan dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal pada tahun 1998 serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPn kedelai) (Sawit dan Rusastra 2005). Selain itu, negara eksportir kedelai terbesar dunia, seperti AS juga menyediakan kredit ekspor dengan bunga subsidi, sehingga merangsang eksportir kedelai negara tersebut untuk memanfaatkan fasilitas ini. Selain rangsangan dari negara eksportir, pemerintah Indonesia juga menetapkan bea masuk impor kedelai dengan tingkat yang jauh lebih rendah dari yang diikat (bound tariff) di WTO. Kedua faktor tersebut telah berdampak pada meningkatnya arus impor kedelai, terutama dari AS ke Indonesia. Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 41 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Berkembangnya industri pangan dan pakan berbahan baku kedelai, disertai dengan pertumbuhan penduduk mengakibatkan permintaan kedelai di Indonesia meningkat tajam. Di lain pihak, produksi dalam negeri cenderung menurun, sehingga defisit kedelai terus meningkat. Hal ini membuat Indonesia makin tergantung pada kedelai impor. Produksi dan eskpor kedelai dunia terkonsentrasi pada sedikit negara maju. Amerika Serikat (AS) memegang kendali produksi dan ekspor yang melebihi separuh dari total perdagangan dunia. Hampir separuh impor kedelai Indonesia berasal dari AS. Struktur pasar internasional kedelai lebih mendekati pasar oligopoli, sehingga negara importir seperti Indonesia menghadapi risiko tinggi instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Hal itu menjadi amat penting manakala dikaitkan dengan peran kedelai sebagai salah satu pangan penting sumber protein untuk masyarakat Indonesia. Kalaupun Indonesia mengimpor kedelai, yang harus dihindari adalah ketergantungan impor yang terlalu besar pada satu negara, seperti AS. Karena AS sering menggunakan instrumen impor untuk menekan negara yang tidak sejalan terhadap politik dan kepentingannya. Negara maju tetap memberi bantuan (support) pada petaninya, terutama kelompok OECD. Petani kedelai di negara OECD memperoleh 30% dari total pendapatan usahatani kedelai dari bantuan pemerintah. Berbagai bentuk bantuan, mulai dari dukungan harga, pembayaran berdasarkan produksi atau luas usaha, atau berdasarkan penggunaan input dan sebagainya. Oleh karena itu, harga kedelai di pasar dunia tidak menggambarkan tingkat efisiensi. Harga kedelai di pasar telah terdistorsi oleh berbagai subsidi. Adalah bijaksana, apabila Indonesia melindungi petani kedelai dengan berbagai cara. Salah satu yang terbaik adalah melalui kebijakan tarif pada tingkat yang wajar, yaitu mendekati tarif yang disepakati dalam AoA-WTO (27%). Indonesia juga harus memiliki mekanisme untuk melindungi diri dalam waktu sementara dari ancaman serbuan impor kedelai murah dari luar negeri. Perlindungan itu haruslah sederhana dan fleksibel. Diharapkan SSM dapat dipakai oleh Indonesia, apabila nantinya disepakati. Hambatan impor yang paling sesderhana dan mudah dilakukan adalah peningkatan tarif. Oleh karena itu, masalah efektivitas penerapan tarif menjadi amat penting. Infrastruktur dan SDM haruslah disiapkan sedemikian rupa, sehingga perlindungan melalui tarif menjadi efektif, bukan sebagai sumber pencari rente, seperti selama ini. Kita tidak mungkin kembali ke perlindungan industri dalam negeri dengan cara-cara primitif, seperti pelarangan impor. Kita harus mampu melaksanakan perlindungan melalui kebijakan tarif. 42 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan DAFTAR PUSTAKA Damardjati, D.S., Marwoto, D.K.S. Swastika, D.M. Arsyad, dan Y. Hilman. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Ditjen Bea Cukai. 2005. Sumber pola khusus program harmonisasi tarif bea masuk Indonesia. www.tarif.depkeu.go.id/ Article/ Program_ Hamonisasi 2005-2010. downloaded 11 April 2006. Ditjen Bea Cukai.1994-2004. Buku tarif bea masuk Indonesia. Departemen Keuangan RI. Ditjentan, 2004. Profil kedelai (Glycine max). (Buku 1). Direktorat KacangKacangan dan Umbi-Umbian, Departemen Pertanian, Jakarta. FAO. 2006a. Harvested area and production of soybean. http://faostat.fao.org/ faostat/form?Collection.Production.crops.Primar y&Domain. downloaded April 2006. FAO. 2006b. Soybeans Import and Export http://faostat.fao.org/faostat/ servlet/ XteServlet3?=Trade.CropsLivestockProducts&language=EN, downloaded June 2006. Gonzales, L.A., F. Kasryno, N.D. Perez and M.W. Rosegrant. 1993. Economic incentives and comparative advantage in Indonesian. Food Crop Production Reseacrh Report 93. International Food Policy Research Institute, Washinton DC. Hadi, P.U. Budi W., Rita N.S., Tjetjep N., S. Nuryanti, dan J. Situmorang. 2004. Strategi dan kebijakan perdagangan pasca AoA WTO. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Ismet, M, C. Silitonga, dan M. Husein Sawit. 1996. Industri bungkil dan minyak kedelai dalam: Amang et al. (Eds). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Bogor. OECD. 2005a. Producer and consumer support estimates, OECD database 1986-2004. www.oecd.org/oecd pse full zip/. downloaded 14 April 2006. OECD. 2005b. Producer and consumer support estimates OECD database 1986-2004 User’s Guide. www.oecd.org/EDPuserguide05/. Down loaded 11 April 2006. Rondot, P., T. Sudaryanto, A. Djauhari, and H. Anwarhan, 1992. Soybean utilization, processing, and production policy in Indonesia. Proceeding of Workshop on Increasing Soybean Production in Asia, Held in Phitsanulok, Thailand, August 21-24, 1990. CCPRT Centre. UN ESCAP. Bogor. Swastika et al.: Perdagangan Internasional Kedelai 43 Rusastra, I.W. 1997. Keunggulan komparatif, struktur proteksi, dan perdagangan internasional kedelai Indonesia dalam: Amang et al. (Eds). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Bogor. Sawit, M. dan I. W. Rusastra. 2005. Globalisasi dan ketahanan pangan di Indonesia. Laporan akhir dari bagian laporan penelitian Road Map Memperkuat Kembali Ketahanan Pangan. LPEM UI, Jakarta. Sawit, M. 2005. Perum Bulog dalam perjanjian pertanian WTO: apa, mengapa, dan bagaimana. (Edisi ke-2) Puslitbang Bulog. Jakarta. Sawit, M. A.Setiyanto, H.J.Purba, dan Supriati. 2005. Penyaringan SP (Special Product) pertanian di WTO: sebuah modalitas dari Indonesia, Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia, 20 (4), FE UGM: Yogyakarta Simatupang, P. 2004. Justifikasi dan metode penetapan komoditas strategis dalam Edisi Rudi Wibowo et al. Rekontruksi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian, PERHEPI: Jakarta. Solagral. 2001. The agreement on agriculture: the end of exceptions?. Agriculture in Developing Countries and WTO. Papers To Understand, Anticipate, and Debate. Swastika, D.K.S. 1997. Swasembada kedelai antara harapan dan kenyataan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol.15(1). Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Tangendjaja, B., Y. Yusdja, and Nyak Ilham. 2003. Analisis ekonomi permintaan jagung untuk pakan dalam: Kasryno et al. (Eds). Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 44 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan