Kekerasan Seksual, Kenali dan Tangani

advertisement
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
KEKERASAN SEKSUAL:
KENALI&TANGANI
Hasil dokumentasi Komnas Perempuan sejak tahun 1998 hingga 2010 menunjukkan bahwa
hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan
seksual, atau ada 91.311 kasus kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap
perempuan. Hasil dokumentasi yang dimaksud adalah berasal dari CATAHU, yaitu catatan
tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban
kekerasan tentang tren pelaporan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan,
hasil pemantauan Komnas Perempuan tentang pengalaman kekerasan terhadap perempuan
di dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng,
pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR).
Diagram 1
Jumlah Kekerasan Seksual berdasarkan Ranah, 1998-2010
Total:
91.311
Kasus
Sebagaimana ditunjukkan dalam diagram 1, kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja.
Lebih dua pertiga dari kasus kekerasan seksual terjadi di dalam ranah personal,
artinya dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman,
kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.
Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran payung
hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT), yang telah disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya
lembaga-lembaga yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta meningkatnya
kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan yang dapat ia peroleh dengan
melaporkan kasusnya itu. Pada saat bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa
rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan dan bahwa perempuan akan terlindungi bila
selalu bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki.
Jumlah kedua tertinggi adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik,
artinya kasus-kasus dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah
ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh
masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
1
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur
negara dalam kapasitas tugas. Inilah yang dimaksudkan sebagai ranah negara. Termasuk di
dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di
lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak
kekerasan tersebut berlanjut.
Memahami Kekerasan Seksual
.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan pembedaan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan
atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi
(Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1)
Meskipun kekerasan seksual kerap ditemukan di tengah masyarakat, tidak banyak pihak yang
memahami dan peka terhadap persoalan kekerasan seksual. Apalagi, untuk ikut serta dalam
menangani kasus kekerasan seksual.
Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap
perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan.1 Persoalan ketimpangan
relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan.
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang
dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak
(pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya,
termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas
sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau
feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakatwarga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil.
Di dalam ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan, perempuan diposisikan sebagai marka
atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali kita
mendengar pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan
masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas
seksual hanya dalam kerangka perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi
seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang
merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir
dianggap “tidak suci” atau “tidak bermoral”. Sikap korban membungkam justru pada banyak
kesempatan didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat
sekitarnya.
Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai
pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan
menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu-isu
1
Kekerasan seksual dapat dilakukan dan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam naskah ini, karena
fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan
seksual.
2
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman perempuan
korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual, khususnya perkosaan dan
penyiksaan seksual, dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa
tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi.
Di sisi lain, peristiwa kekerasan seksual seringkali justru direkatkan pada penilaian tentang
“jejak moralitas” perempuan korban. Perempuan korban justru dituduh sebagai penyebab
atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa
tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena
keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap
dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk
melawan pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun
terbuai dengan iming-iming pelaku. Tuduhan ini misalnya diarahkan pada korban perkosaan
yang tidak menampakkan tanda-tanda kekerasan fisik lainnya, perempuan korban yang
bertahun-tahun tinggal bersama pelaku, atau korban yang ditinggal pergi setelah melakukan
hubungan seksual karena dijanjikan akan dinikahi. Kalau bukan ke perempuan korban,
tuduhan itu diarahkan kepada perempuan lain yang dianggap menyebabkan pelaku
melampiaskan keinginan seksualnya kepada korban. Anggapan ini kental tampak, misalnya,
dalam pernyataan bahwa pornografi (dan pornoaksi) adalah pemicu tindak perkosaan.
Menyimak berbagai pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan dan dalam
rangka mendekatkan korban akan rasa adil, maka sudah saatnya kekerasan seksual terhadap
perempuan dimaknai sebagai:2
sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis jender,
tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan
yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang
menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman,
penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan
mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak
mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya
tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh
seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi
ataupun kontak fisik
Sejumlah situasi dimana terdapat ketimpangan relasi yang tegas akan meningkatkan
kerentanan perempuan pada kekerasan seksual. Misalnya saja masyarakat yang diatur dalam
sistem pemerintahan yang otoriter dan mengagungkan militerisme. Dalam sistem ini,
pelanggaran terhadap hak asasi manusia biasa terjadi, dan kekerasan seksual bagian tidak
terpisahkan dari berbagai tindak pelanggaran HAM tersebut. Konteks konflik, terutama
konflik bersenjata, juga meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual,
khususnya perkosaan, penyiksaan seksual dan eksploitasi seksual. Situasi pengungsian pasca
konflik maupun bencana juga menimbulkan kerentanan khusus bagi perempuan akibat
fasilitas barak pengungsian yang tidak dapat dikunci, ketiadaan fasilitas penerangan, dan
kondisi barak yang tidak bersekat. Demikian pula situasi dalam tahanan atau serupa tahanan,
seperti yang dialami oleh para pekerja yang disekap oleh majikannya.
2 Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam
tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of
Interpretation. OHCHR, http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosecution_of_Sexual_Violence.pdf
3
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
Tindak kekerasan seksual tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik, psikis dan seksual bagi
perempuan korban, melainkan juga berdampak sosial. Aspek khas dari kekerasan seksual
terkait dengan wacana moralitas menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban
memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan moralitas menyebabkan
korban membungkam dan korban justru disalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Karena
apa yang dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi
keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan. Ada pula korban yang diusir dari
rumah dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak
nama baik keluarga ataupun masyarakat. Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya
sebagai “barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun
korban memenangkan kasusnya di pengadilan.
Mengenali 11 Jenis Kekerasan seksual
.
Dari data-data yang dihimpun Komnas Perempuan sejak 1998 hingga 2010 dan dengan
merujuk pada berbagai dokumen tentang kekerasan terhadap perempuan, Komnas
Perempuan mengenali sebelas jenis kekerasan seksual yang dialami perempuan Indonesia,
sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 1. Perlu dicatat bahwa hanya kurang dari 10% dari
91.311 kasus kekerasan seksual itu yang didokumentasikan secara terpilah. Sebanyak 82.985
kasus adalah gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Dari
data terpilah, lima jenis kekerasan seksual terbanyak adalah perkosaan, perdagangan
perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, dan eksploitasi
seksual.
Tabel 1
Jumlah Kasus Kekerasan Seksual Berdasarkan Jenis, Data terpilah 1998 - 2010
Jenis
Perkosaan
Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
Pelecehan seksual
Penyiksaan seksual
Eksploitasi seksual
Perbudakan seksual
Intimidasi /serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan
perkosaan
Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi
perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama
Pemaksaan aborsi
Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan cerai gantung
Total data terpilah
Jumlah
4.391 kasus
1.359 kasus
1.049 kasus
672 kasus
342 kasus
258 kasus
109 kasus
108 kasus
17 kasus
15 kasus
6 kasus
8.326 kasus
Perkosaan adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang
dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau
dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda
4
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun
dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan,
penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil
kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.3
Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.4
Pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui
kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas
seseorang, termasuk dengan menggunakan ucapan bernuansa seksual dan mempertunjukan
materi-materi pornografi dan keinginan seksual, sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman,
merendahkan martabat seseorang, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan
keselamatan.5
Penyiksaan seksual adalah perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas
perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual, pada seseorang untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, dengan
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun
oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya atau orang ketiga, dan untuk suatu
alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun, apabila rasa sakit dan
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau
sepengetahuan pejabat publik.6
Eksploitasi Seksual merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang
berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada
memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari eksploitasi seksual
terhadap orang lain.7 Termasuk di dalamnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan
untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, yang kerap disebut oleh lembaga
pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan sebagai kasus “ingkar janji”. Iming-iming
ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan
status perkawinannya sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan
mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi.
3
Ibid.,
Disadur dari definisi perdagangan orang yang diadopsi dalam Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
5 Komnas Perempuan. Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM
Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005, 2009, hal. 132
6 Merujuk pada definisi penyiksaan sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat
Manusia, Pasal 1.
7 Buletin sekjen PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual,
St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi
Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005, 2009, hal. 46
4
5
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
Perbudakan Seksual adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan
yang melekat pada “hak kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup
situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan
pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan
seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya8
Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan
adalah tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan
psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain9
Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat
aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama mencakup berbagai tindak
kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang
dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau
dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan
jenisnya.
Pemaksaan Aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan,
ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.10
Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah cara menghukum yang
menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak
bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.11 Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi
adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia yang
ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung adalah situasi
dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya
situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak
orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan
orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan
lainnya. Pemaksaan perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah
dengan orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan talak tiga (atau
dikenal dengan praktik “Kawin Cina Buta”) dan situasi dimana perempuan terikat dalam
perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan karena berbagai alasan
baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Tidak termasuk dalam penghitungan jumlah
kasus, sekalipun merupakan praktik kawin paksa, adalah tekanan bagi perempuan korban
perkosaan untuk menikahi pelaku perkosaan terhadap dirinya.
Kesebelas jenis kekerasan seksual ini bukanlah sebuah daftar final, karena ada kemungkinan
sejumlah jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi
mengenainya. Pemahaman pada masing-masing jenis kekerasan seksual ini pun masih perlu
didalami mengingat kekhasan kekerasan seksual terhadap perempuan. Pemahaman yang
dimaksud bukan hanya atas elemen-elemen dari tindak kekerasan seksual itu, tetapi juga atas
Dirumuskan dari pengertian penyiksaan seksual dalam Pasal 7(2)(c) Statuta Roma
Dikutip dari buku Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan, 2007
10 Pelapor Khusus Komnas Perempuan Untuk Poso hal 132
11 Lihat penjelasan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi
dan Merendahkan Martabat Manusia
8
9
6
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
dampaknya bagi perempuan korban. Hanya dengan mengenali kekerasan seksual secara
seksama dan utuh, kita dapat ikut mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Hak Konstitusional yang Dirampas
.
Kekerasan seksual, dan kekerasan lainnya terhadap perempuan, merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara khusus, tindak kekerasan seksual merampas
hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah
dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1). Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa
antara laki-laki dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya kekerasan seksual
terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari
perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu
(Pasal 28I(2)). Akibat dari kekerasan seksual itu, perempuan korban dapat kehilangan hak
untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin
kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A). Banyak pula perempuan korban yang kehilangan
haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat
mengakses proses hukum yang berkeadilan.
Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari TIndak Kekerasan Seksual
.
Bahwa kekerasan seksual menyebabkan perampasan pada sejumlah hak warga negara
menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganannya adalah mandat konstitusional.
Negara adalah pihak utama yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak konstitusional
itu. Mandat pemenuhan hak-hak tersebut juga telah ditegaskan dan diterjemahkan dalam
berbagai landasan hukum, di antaranya:
o Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Cedaw)
o Undang-Undang No.5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Anti Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
Manusia
o Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
o Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291,
Pasal 294;
o Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum
o Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
o Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 6 tentang
syarat-syarat perkawinan
Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan
.
Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban kekerasan seksual dalam
mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum dan politik.
7
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
Keempat faktor ini saling kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk
melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih.
Di tingkat personal, perempuan korban kekerasan bisa menderita trauma mendalam akibat
kekerasan seksual yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan
pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa
takut yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa
yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak bersedia
untuk melaporkan kasusnya.
Faktor sosial budaya telah disampaikan sebelumnya. Konsep moralitas dan aib
mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban
atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep “AIB” juga
dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma. Perempuan korban, khususnya perkosaan,
dianggap bernasib sial karena harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah
dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia
alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang
mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara
pikir tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya
atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan
memaksakan perempuan korban menikahi pelakunya.
Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang
dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi,
sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, ataupun pengakuan
pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Misalnya saja tentang perkosaan, hukum
Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk
penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut.12
Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga
perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki
definisi yang sempit atas tindak kekerasan seksual itu. Belum lagi, ada kebijakan-kebijakan
negara yang justru memicu kekerasan terhadap perempuan, yaitu terutama melalui kebijakankebijakan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Di tingkat struktur, lembaga penegak
hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan, khususnya kekerasan seksual. Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di
semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai.
Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara
pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan
terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut
menyalahkan korban. Persoalan lain yang seringkali dimunculkan oleh korban adalah tersedia
tidaknya perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak
mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses
penegakan hukum yang begitu mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan
korban yang kehilangan keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan
terpercaya.
o
12
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294
8
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban kekerasan seksual pada proses
mencari keadilan dan pemulihan adalah faktor politik. Pada kasus-kasus kekerasan seksual
yang terjadi dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh
itikad baik politik (good will) penyelenggara negara. Kasus-kasus kekerasan tersebut melibatkan
aparat negara sebagai pelaku kekerasan dan terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan negara
yang memungkinkan kekerasan tersebut terjadi dan terus berulang. Dalam konteks Tragedi
Mei 1998, misalnya, sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan dan diskriminasi terhadap
masyarakat etnis Tionghoa, dan pada kontroversi tentang ada tidaknya perkosaan pada
rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan korban semakin enggan
untuk mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi 1965 dan Timor Leste,
misalnya, sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus mendua dan
membiarkan korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus menunggu tanpa batas
waktu kapan proses keadilan akan diawali dengan sungguh-sungguh.
9
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
Langkah Kita: Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual
/.
Kompleksitas persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan mendasari Komnas
Perempuan menjadikan “Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual” sebagai tema dalam
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP). Kampanye ini
dilangsungkan setiap tahunnya sejak tanggal 25 November yang diperingati sebagai hari Anti
Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai hari
Hak Asasi Manusia Sedunia. Selama lima tahun ke depan, sejak 2010 hingga 2014, Komnas
Perempuan mendedikasikan K16HAKTP untuk terus membangun pemahaman publik
tentang kekerasan seksual sambil mengajak setiap anggota masyarakat untuk ikut aktif dalam
menangani kekerasan seksual.
Karena kekerasan seksual kerap direkatkan dengan persoalan moralitas, peran serta
masyarakat dalam upaya perempuan korban memperoleh keadilan dan pemulihan adalah
krusial. Peran serta ini terutama penting untuk menguatkan korban agar tidak membungkam,
namun tidak berarti memaksa korban untuk bicara di hadapan publik. Juga, untuk
memastikan korban mendapat dukungan dalam proses pemulihannya yang sangat terkait
dengan keyakinan bahwa ia tidak akan disalahkan, dianggap sebagai aib, terbebani oleh stigma
sebagai “barang rusak” dan/atau dikucilkan. Penyikapan ini sungguh berarti bagi perempuan
korban kekerasan seksual. Langkah awal untuk penyikapan ini tentunya dengan mengenali
kekerasan seksual, akar masalah dan konsekuensinya.
10 cara anggota masyarakat untuk ikut mencegah dan menangani kekerasan seksual:
Bangun pemahaman tentang kekerasan seksual
Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya tindak kekerasan seksual. Segera laporkan
pada pihak berwajib.
Temani korban kekerasan seksual, bangun keyakinan korban untuk tidak
menyalahkan dirinya sendiri
Temani dan dukung korban bila ia hendak melapor. Bila korban enggan melapor,
jangan dihakimi keputusannya itu.
Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan lembaga-lembaga
yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun masukan
bagi upaya pencarian keadilan dan pemulihan
Berikan informasi tentang kekerasan seksual kepada anggota keluarga, teman,
tetangga, teman sekerja atau lainnya.
Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan korban,
tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban.
Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan perempuan korban
kekerasan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum.
Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan
dengan mengumpulkan informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi di
sekelilingmu, memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam
penggalangan dana bagi penanganan korban.
Kekerasan Seksual: Kenali & Tangani
.
10
Download