Peningkatan Intensitas Pigmen dan Kadar

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Pigmen Angkak
Angkak merupakan produk fermentasi kapang Monascus purpureus yang
umumnya ditumbuhkan pada substrat beras. Angkak mengandung pigmen alami yang
telah lama digunakan sebagai pewarna makanan di Cina, Taiwan, dan Filipina untuk
mewarnai produk-produk seperti ikan, daging , acar, anggur, pasta ikan, keju, dan
sebagainya (Hesseltine, 1965). Angkak juga populer dengan berbagai nama seperti
Beni-koju, Hong-Qu (Cina), Monascus, bheni-koji Red Koji dan aga-koji (Jepang),
red fermented rice atau red yeast rice (beberapa negara yang berbahasa Inggris) Red
Leaven, Red Rice, Red Rice Yeast, Red Yeast Rice, Went, Xue Zhi Kang, Zhi Tai.,
ang-quac, dan anka (Manjasari 2005). Profil produk fermentasi ini dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Produk fermentasi kapang Monascus purpureus
pada media beras (Angkak) (Anonim, 2001)
Pigmen angkak merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan
oleh kapang berfilamen Monascus sp. Proses pembentukan metabolit pigmen tersebut
melalui suatu jalur yang cukup panjang. Dimulai dengan tahap katabolisme substrat
oleh mikroba dengan cara memecah senyawa-senyawa makromolekul yang
terkandung dalam substrat. Karbohidrat sebagai salah satu makromolekul merupakan
sumber energi dominan bagi mikroba. Karbohidrat dalam bentuk polisakarida
5
dipecah menjadi heksosa atau pentosa. Sumber energi kedua setelah karbohidrat
adalah protein. Protein dipecah menjadi asam-asam amino. Tahap berikutnya
merupakan pemecahan menjadi senyawa dengan dua atau tiga atom karbon.
Pemecahan glukosa menjadi asam piruvat terjadi melalui lintasan heksosa di
fosfat (HDP). Tahap pertama dari lintasan HDP adalah fosforilasi glukosa menjadi
glukosa-6-fosfat yang dikatalisis oleh enzim heksokinase dan memerlukan satu
molekul ATP dan ion magnesium. Tahap selanjutnya dikatalisis oleh enzim
fosfoglukoisomerase. Fosforilasi fruktosa-6-fosfat menjadi fruktosa 1,6-difosfat
dikatalisis oleh enzim fosfofruktokinase dan memerlukan satu molekul ATP dan ion
magnesium.
Pemecahan fruktosa 1,6-difosfat menjadi senyawa triosa fosfat yaitu
gliseraldehida-3-fosfat dan dihidroksi aseton fosfat. Jalur yang umum dipakai oleh
mikroorganisme untuk menghasilkan energi adalah jalur HDP (Fardiaz, 1989). Pada
tahap selanjutnya terjadi oksidasi dan fosforilasi gliseraldehida-3-fosfat menjadi asam
1,3 difosfogliserat. Selanjutnya terjadi pemindahan ikatan fosfat ke molekul ADP
sehingga terbentuk 1 molekul ATP dan asam 3-fosfogliserat. Isomerasi dan pelepasan
satu molekul air menghasilkan asam fosfoenol piruvat yang memiliki ikatan fosfat
berenergi tinggi dalam molekulnya. Tahap terakhir dari proses ini adalah pemindahan
ikatan fosfat berenergi tinggi dari fosfoenol piruvat ke molekul ADP sehingga
terbentuk satu molekul ATP dan asam piruvat (Rachman, 1989).
Bila nitrogen yang terdapat dalam substrat habis, maka hasil dari glikolisis
dialihkan untuk membentuk metabolit sekunder. Asam piruvat dari lintasan HDP
mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan bantuan enzim piruvat dehidrogenase dan
koenzim A membentuk asetil koA dan malonil koA, kemudian membentuk gugus
poliketida yang dapat digunakan untuk pembentukan pigmen. Skema pembentukan
pigmen dapat dilihat pada gambar 2.2.
6
Glukosa
Glukosa-6-fosfat
Pentosa
tetrosa
Triosa
Piruvat
CO 2
Asetaldehida
Asetil KoA
Koenzim A
Poliketida
Malonil KoA
Pembentukan pigmen
Gambar 2.2 Pembentukan metabolit sekunder pigmen (Turner, 2000)
Hajjaj et al., (2000) juga memberikan ilustrasi skema pembentukan pigmen
seperti tersaji pada Gambar 2.3. Pada skema ini pembentukan pigmen terkait dengan
lintasan sintesis asam lemak. Satu molekul asetat dan 3 molekul malonat oleh adanya
enzim asam lemak sintetase akan dibentuk asam oktanoat. Satu molekul asetat dan 5
molekul malonat
yang lain oleh adanya enzim poliketida sintetase akan dibentuk
heksaketida. Dengan adanya asetil koA, asam lemak yang terbentuk akan membentuk
β-ketoacid, sedangkan heksaketida selanjutnya akan membentuk poliketida kromofor.
Melalui proses esterifikasi poliketida kemudian akan membentuk monaskorubrin dan
oleh adanya asam glutamat akan terbentuk N-glutarilmonaskorubramin.
Seperti untuk pertumbuhan suatu makluk hidup, proses fermentasi pada
produksi pigmen angkak juga memerlukan karbon dan nitrogen. Sumber C berasal
7
dari pati dan sumber N berasal dari nitrat, ammonia, atau N organik seperti protein
dan urea, sedangkan sumber N dari udara tidak dapat dipakai.
Pada jenis kapang Monascus terjadi proses ekstrusi cairan melalui ujung hifa
dan membentuk cairan seperti getah yang tidak beraturan. Cairan ini lalu pecah dan
menyebarkan partikel-partikel bulat kecil ke ujung hifa. Ketika kultur masih muda,
cairan ekstrusinya tidak berwarna, lama-kelamaan akan berubah menjadi merah,
kuning, atau jingga jika kultur ditambahkan pada media PDA. Skema pembentukan
pigmen pada kapang Monascus tersaji pada Gambar 2.3.
Komponen utama pigmen angkak terdiri dari pigmen orange yaitu
rubropunktatin (C 21 H 22 O 5 ) dan monaskorubrin (C 23 H 26 O 5 ), kuning yaitu
monaskin (C 21 H 26 O 5 ) dan ankaflavin (C 23 H 30 O 5 ), serta merah yaitu
rubropunktamin (C 21 H 29 NO 4 ) dan monaskorubramin (C 23 H 29 NO 4 ). Struktur dari
komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4
Perubahan warna pada pigmen angkak dari warna jingga (monaskorubrin dan
rubropunktatin)ke warna merah (monaskobramin dan rubropunktamin), terjadi kerena
pergantian atom oksigen piranoid pada pigmen jingga oleh gugus -NH pada keadaan
basa sehinggga membentuk pigmen merah. Pigmen kuning (monaskin dan
ankaflavin) merupakan turunan dari pigmen jingga, bila bereaksi dengan molekul
grup amino maka warnanya akan berubah menjadi merah.
Pigmen yang dihasilkan M. purpureus mempunyai kestabilan yang lebih baik
bila disimpan pada pH netral atau alkali. Pigmen ini juga mempunyai kemampuan
membentuk
komplek dengan arginin, MSG, glisin atau BSA yang mempunyai
struktur kristal dan warnanya sangat merah.
Kestabilan mutu pigmen ini oleh pengaruh fisik dan kimia selama
penyimpanan
dapat dipertahankan sampai dua bulan, dengan mengemas
menggunakan kemasan gelas atau plastik berlapis alumunium foil, serta dengan
mengolah pigmen cair menjadi pigmen bubuk (Mitrajanty, 1994).
8
Gambar 2.3 Skema pembentukan pigmen pada Monascus ruber (Hajjaj et al, 2000)
9
Gambar 2.4 Komponen utama pigmen angkak (Yuan, 2001)
Monascus purpureus, Kapang Penghasil Angkak
Di alam terdapat berbagai spesies kapang penghasil angkak seperti Monascus
bakeri, M. rubropunctatus Sato, M. purpureus Wentii, M. anka Sato, M. rugriguosus
Sato, dan M. ankanakazawa. Spesies yang paling umum digunakan sebagai penghasil
angkak adalah M. purpureus West (Hesseltine, 1965).
Monascus purpureus adalah kapang sempurna karena dapat bereproduksi
secara seksual dengan askospora maupun aseksual. Menurut Pallo et al. (1960)
reproduksi secara aseksual ditandai dengan pembentukan konidiofora yang muncul
dari miselium yang terendam dalam medium. Pada media PDA panjang miselium
bervariasi antara 18-396 mikron dan lebarnya 3-5,4 mikron. Konidiofora yang pendek
10
hanya mempunyai satu septat, sedangkan yang lebih panjang mempunyai 2-6 septat.
Konidiofora dapat dibedakan dari filamen yang lain dengan bentuk apeks yang
berstruktur vesikuler. Vesikel yang membesar dipisahkan oleh septat yang berada
dibawahnya dan membentuk rantai. Pada kelembaban dan suhu yang mendukung
pertumbuhannya, konidia dapat bergerminasi setelah 4-5 jam pada medium agar.
Profil kapang Monascus sp dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Fenomena tidak umum yang terjadi pada kapang jenis Monascus adalah
keluarnya cairan granular melalui ujung hifa. Menurut Yuan (1980), cairan yang
keluar tersebut bersatu pada ujung hifa dan membentuk cairan seperti getah yang
tidak beraturan bentuknya. Cairan ini kemudian pecah dan menyebarkan partikelpartikel bulat kecil ke ujung hifa. Ketika kultur masih muda, cairan tidak berwarna,
tetapi lama kelamaan berubah menjadi kemerahan, kuning, merah atau jingga jika
kultur ditumbuhkan pada PDA (Potato Dextrose Agar) atau agar Sabouraud. Pigmen
ini paling cepat tampak setelah pertumbuhan 40-48 jam. Pigmen merah yang
dihasilkan tidak hanya dapat diamati pada kandungan bagian dalam hifa tetapi dapat
berdifusi menembus bagian dalam substrat (Hesseltine, 1965).
Gambar 2.5 Penampang kapang Monascus sp (Anonim, 2001)
Media fermentasi yang umum digunakan untuk pertumbuhan Monascus
adalah beras. Dalam proses fermentasi beras yang diinokulasi dengan Monascus sp
mengalami proses sakarifikasi dan pemecahan proteolitik sejalan dengan pengeluaran
enzim amilolitik dan protease. Enzim-enzim lain yang ditemukan dalam angkak
11
adalah maltase, invertase, lipase, alfa-glukosidase, oksidase, dan ribonuklease
(Steinkraus, 1983).
Lovastatin
Selama fermentasi, selain memproduksi pigmen Monascus sp juga
menghasilkan komponen metabolit sekunder lainnya seperti lovastatin. Menurut
sistematika
*
penamaan
*
(IUPAC),
*
[1(R ),3,7,8(2S ,4S ),
lovastatin
8a]]-1,2,3,7,
dikenal
sebagai
[1S
8,8a-hexahidro-3,7-dimetil-8-[2-
(tetrahidro-4-hidroxi-6-oxo-2H-piran-2-yl)etil]-1-naptalenil2-metilbutanoat.
Rumus
empirik lovastatin C 24 H 36 O 5, mempunyai berat molekul (BM) 404.55 dan
mempunyai srtruktur kimia seperti pada Gambar 2.6.
Lovastatin berbentuk bubuk kristal berwarna putih, tidak larut dalam air
tetapi larut dalam etanol, metanol, dan asetonitril. Lovastatin juga dikenal sebagai
monakolin K atau mevinolin.
Gambar 2.6 Stuktur kimia lovastatin (Anonim, 2001)
Lovastatin dapat diproduksi oleh M. ruber, Penicillium breviconpactum, dan
Aspegillus terreus. Lovastatin juga secara alami diproduksi oleh fungi kelas tinggi
tertentu seperti Pleurotus ostreatus (oyster mushroom) dan mempunyai kekerabatan
yang cukup dekat dengan Pleurotus spp.
Lovastatin merupakan anggota kelompok statin (penghambat HMG-CoA
reduktase) digunakan untuk menurunkan kolesterol. Statin pertama kali disetujui oleh
12
FDA (USA) pada bulan Agustus 1987. Pada tahun 1998, FDA mengizinkan
suplemen yang mengandung angkak yang secara alami mengandung lovastatin,
dengan argumen produk tersebut mengandung senyawa yang mempunyai potensi
medis. Pembentukan kolesterol dan lemak sepanjang dinding pembuluh darah
(dikenal sebagai atherosklerosis) dapat menyebabkan penurunan aliran darah dan
suplai oksigen ke organ-organ hati, otak, dan bagian lain dari tubuh. Penurunan
lemak dan kolesterol dapat membantu menurunkan atau mencegah penyakit hati,
angina (chest pain), stroke, dan serangan-serangan hati.
Lovastatin berikatan dengan sisi aktif enzim HMG CoA reduktase, sekali
terikat maka tidak dapat diubah lagi menjadi produk (asam mevalonat). Dengan
demikian pembentukan asam mevalonat terhambat, sehingga pembentukan kolesterol
tidak terjadi. Untuk dapat terikat dengan sisi aktif enzim HMG CoA-reduktase,
lovastatin harus berkompetisi dengan HMG CoA. Untuk memenangkan kompetisi
lovastatin harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Jika jumlah atau kadar lovastatin
sedikit, untuk berkompetisi dengan HMG CoA kemudian berikatan dengan sisi aktif
enzim
HMG
CoA
reduktase
peluangnya
kecil.
Dosis
maksimal
yang
direkomendasikan untuk mengkonsumsi lovastatin adalah 80 mg per hari dan dapat
mereduksi rata-rata LDL kholesterol 40%, suatu reduksi yang jauh lebih tinggi
dibanding beberapa terapi yang umum dilakukan saat ini.
Jalur biosintesis
lovastatin pada
Aspergillus terreus telah diteliti
menggunakan NMR (nuclear magnetic resonance) dan spektroskopi massa. Studi ini
menginformasikan bahwa lovastatin disusun oleh 2 rantai poliketida yang berbeda
bergabung melalui ikatan suatu ester. Hal ini membuktikan bahwa 2 poliketida ini
tersusun oleh 2 poliketida sintase yang berbeda yang berasal dari kloning dan
karakterisasi kluster gen pada A. terreus yang bertanggung jawab pada biosintesis
lovastatin.
Beberapa penelitian berkaitan dengan lovastatin telah dilakukan. Hajjay et al,
2001, telah melakukan penelitian tentang biosintesis lovastatin oleh A. terreus pada
medium kimia yang sudah diketahui komposisinya.. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh sumber karbon dan nitrogen
pada biosintesis lovastatin.
13
Beberapa sumber nitrogen organik maupun anorganik yang dimetabolisme oleh A.
terreus, glutamat dan histidin memberikan level biosintesis lovastatin tertinggi.
Gen Yang Bertanggung Jawab Pada Biosintesis Lovastatin
Upaya pemahaman terhadap biosintesis lovastatin pada A. terreus telah
dilakukan melalui progres yang signifikan. Kemajuan dicapai dengan kloning dan
sekuensing serta sebagian besar dilakukan ekspresi dari kluster gen lov. Kluster lov
terdiri dari dua gen Tipe I Poliketida sintase (PKS), suatu lovastatin nonketide
synthase (LNKS) yang disandikan oleh lov B dan suatu lovastatin diketide synthase
(LDKS) yang disandikan oleh lov F. Dua
protein lain juga ditemukan, lov C
menyandi Type II enoyl reductase dan lov D yang menyandi Type II transesterase.
Ekspresi LNKS pada A. nidulans memicu produksi heksaketida (struktur 21) dan
heptaketida (struktur 22) pada Gambar 2.8. Protein-protein ini diduga berasal dari
suatu thiolester (struktur 23) yang diproduksi oleh LNKS yang berfungsi
menyimpang (Gambar 2.7). Poliketida-poliketida ini tidak mencapai panjang dari
lovastatin yang diduga pertama sebagai intermediet monakolin J (struktur 24) dan
terlihat jelas berkurang , tetapi metilasi oleh S-adenosylmethionine (SAM) terjadi
pada posisi yang tepat. Ketika diekspresikan dengan adanya gen-gen lov lain
monakolin J (struktur 24) tetap diproduksi juga. Pada suatu eksperimen yang
melibatkan gangguan pada lov C dari A. terreus, polyene (struktur 22) diproduksi.
Hal ini terlihat
jelas bahwa produk gen lovC harus dibantu LNKS untuk
memproduksi kerangka monakolin. Pada saat lovC diekspresikan dengan lovB, maka
dihidromonakolin L (struktur 25) akan diproduksi.
14
Gambar 2.7 Biosintesis lovastatin (Russell, 2000)
Klaster gen yang bertanggung jawab pada biosintesis lovastatin juga dipelajari
oleh Kennedy et al., (1999), yang melaporkan bahwa klaster pada biosintesis
lovastatin terdiri dari dua tipe gen I poliketida sintase. Sintesis dari rangka utama
yang berasal dari non ketida sebelumnya membutuhkan LNKS (lovastatin nonketide
synthase), dan paling tidak ditambah protein
yang berinteraksi dengan LNKS
merupakan proses pertumbuhan rantai poliketida dan produksi dihidromonakolin L.
Enzim LDKS (lovastatin diketide synthase) menentukan pembentukan dari 2metilbutirat dan
mempengaruhi
transesterase yang bertanggung jawab pada
pembentukan lovastatin dari poliketida dan monakolin J.
15
EKSPRESI GEN
Ekspresi gen adalah pemunculan informasi yg dikandung suatu gen menjadi
suatu bentuk sifat organisme atau menjadi suatu proses metabolisme organisme.
Ekspresi gen dapat juga diartikan sebagai proses penterjemahan informasi yang
terkandung pada struktur gen menjadi proses metabolisme atau pola kehidupan
organisme (Turner et al. 1998). Dua tahapan penting pada ekspresi gen adalah
transkripsi yaitu transfer informasi genetik dari DNA ke RNA, DNA digunakan
sebagai model cetakan untuk sintesis RNA, dan translasi yang merupakan proses
penterjemahan informasi genetik yang terdapat pada RNA ke dalam polipeptida.
RNA (mRNA) akan menjadi model untuk sintesis protein (Hames et al. 2000).
Metode yang digunakan untuk melakukan analisis ekspresi gen adalah Polymerase
Chain Reaction (PCR) dan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT
PCR).
Polymerae Chain Reaction (PCR) dan Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction (RT PCR)
Reaksi berantai polimerase (PCR) adalah suatu metode enzimatik untuk
melipatgandakan secara eksponesial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in
vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis,
seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Saat ini metode PCR telah
banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal
perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul
DNA, tetapi dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk
melipatgandakan dan melakukan kuantifikasi molekul mRNA.
Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT PCR) adalah teknik
yang digunakan untuk membuat cDNA (complementary DNA) dengan RNA sebagai
cetakan-nya. Proses ini adalah kebalikan dari transkripsi DNA menjadi RNA yang
umum terjadi pada makhluk hidup, sehingga dinamakan reverse transcription
(transkripsi terbalik). Di alam proses ini hanya terjadi pada virus-virus tertentu ketika
16
menyusupkan materi genetiknya yang berupa RNA ke dalam genom targetnya. Di
laboratorium, RT PCR umumnya dilakukan untuk menganalisis tingkat ekspresi
genetik, karena ekspresi setiap gen berbeda-beda, maka proses RT PCR harus
dilakukan secara efisien dan tidak boleh melewatkan RNA dari gen yang tergolong
‘low copy’ dan sulit.
PRIMER
Primer merupakan sepotong DNA pendek utas tunggal atau lebih dikenal
dengan oligonukleotida, panjangnya antara 10 sampai sekitar 40 basa saja. Primer
berfungsi sebagai penginisiasi reaksi polimerisasi DNA secara in vitro, karena tanpa
primer, reaksi polimerisasi DNA tidak akan terjadi meskipun enzim dan komponen
lainnya sudah tersedia. Selain itu primer juga berfungsi untuk membatasi daerah
mana yang akan diamplifikasi pada reaksi PCR. Karena berbeda dengan proses
penggandaan DNA di dalam sel yang mengkopi seluruh DNA genom secara utuh,
pada PCR hanya dapat mengamplifikasi daerah tertentu saja dengan ukuran hingga
sekitar 10.000 basa. Karena fungsi primer sebagai inisiator sekaligus pembatas daerah
yang akan diamplifikasi, maka idealnya primer memiliki urutan basa nukleotida yang
tepat berpasangan dengan urutan basa DNA target yang akan diamplifikasi, dan tidak
menempel di bagian lainnya. Dengan demikian disain primer yang baik merupakan
hal esensial bagi keberhasilan reaksi PCR. Memang sulit untuk membuat primer yang
ideal, namun sedapat mungkin diperoleh keseimbangan antara spesifisitas dan
efisiensi.
Spesifisitas didefiniskan
sebagai
frekuensi
terjadinya mispriming
(kesalahan penempelan) primer pada tempat yang tidak seharusnya. Primer dengan
spesifisitas buruk akan terlihat dari banyaknya pita-pita yang tidak diinginkan saat
produk PCR divisualisasi dengan elektroforesis gel. Efisiensi primer adalah seberapa
dekat perolehan jumlah produk PCR dengan nilai teoritis yang seharusnya dicapai (
setelah N siklus PCR maka akan dihasilkan 2N kopi produk).
17
Tahap-tahap dalam mendisain primer
1. Menentukan Tujuan
Tujuan mendisain primer harus ditetapkan terlebih dulu sebelum melakukan
kegiatan-kegiatan berikutnya.
2. Menyiapkan Sekuen Referensi
Pencarian sekuen referensi dapat dilakukan dari database GenBank di situs
NCBI. Jumlah sekuen referensi bisa satu, dua atau lebih, sebetulnya 1 sekuen sudah
bisa dijadikan referensi asalkan yakin bahwa sampel target memiliki kesamaan
spesies atau dengan kata lain secara genetik sangat mirip. Namun jika
bisa
memperoleh banyak sekuen tentu akan lebih baik agar dapat mendisain primer di
daerah yang benar-benar sama (conserved region) setelah sekuen tersebut
disejajarkan (alignment).
3. Secara Manual atau dengan bantuan software
Pada dasarnya
sembarang daerah tertentu pada sekuen referensi dapat
dijadikan primer, tanpa perlu bantuan software khusus. Namun cara ini amat berisiko
karena kita tidak mengetahui bagaimana kualitas primer nantinya sebab ada beberapa
parameter yang harus diperhatikan dalam mendisain primer. Beberapa software dapat
digunakan untuk membantu mendisain primer seperti PerlPrimer, Primer3Plus dan
sebagainya. Tampilan Primer3Plus sangat sederhana, namun kemampuannya sudah
teruji dan digunakan oleh banyak peneliti di seluruh dunia.
4. Mendisain primer
Langkah-langkah dalam mendisain
Primer3Plus adalah sebagai berikut:
primer
menggunakan
software
18
 Pada kotak yang tersedia, dimasukkan sekuen referensi yang dipilih, atau dapat





mengunggah (upload) sekuen dari file di komputer.
Primer yang ingin didisain dipilih, sense primer (left primer), antisense (right
primer) dan probe untuk hibridisasi (internal oligo). Kotak yang ada di bawahnya
dapat diisi jika sudah memiliki kandidat primer.
Beberapa parameter lain dapat ditentukan jika diperlukan seperti excluded
region (daerah dimana primer tidak boleh menempel di situ), targets (primer harus
mengapit daerah tersebut) dan included region (kedua primer harus berada di
dalam daerah ini).
Beberapa opsi yang lebih mendalam dapat ditambahkan pula pada tab General
Settings, Advance Settings, Internal Oligo, Penalty Weights dan Sequence Quality.
Namun untuk saat ini dibiarkan dalam pilihan defaultnya.
Jika semua opsi sudah terisi, tombol PICK PRIMERS ditekan untuk memulai
pencarian primer yang terbaik.
Hasil pencarian akan muncul pada halaman selanjutnya. Di sana tertera beberapa
hal mengenai primer, yaitu:
19
 Primer3Plus akan memberikan beberapa alternatif pasangan primer yang dapat
dipilih. Pada gambar di atas terlihat pasangan primer pertama.
 Nama Left Primer dan Right Primer
 Sekuen kedua primer
 Posisi primer pada sekuen referensi, panjang primer, Titik Leleh (Tm), % GC dan
beberapa parameter terkait struktur sekunder yang mungkin terjadi.
 Ukuran produk PCR
Menguji spesifisitas primer
Primer yang baru saja didesain harus diuji spesifisitasnya agar yakin bahwa primerprimer tersebut akan mengamplifikasi target yang diinginkan. Pengujian spesifisitas
dapat dilakukan dengan bantuan BLAST di NCBI.
20
Pemilihan primer RT
Ada tiga pilihan primer yang dapat digunakan seperti: oligo dT, random
primer atau primer spesifik gen. Beberapa peneliti banyak menggunakan oligo dT
karena bisa mendapatkan salinan cDNA lengkap dari full mRNA, akan tetapi, jika
mRNA-nya panjang (>4 kb) atau tidak memiliki ekor poly A (mRNA prokariot),
maka pilihannya adalah random primer. Dengan random primer, ujung 5′ gen-gen
yang panjang dapat ditranskripsi balik, tetapi cDNA yang diperoleh mungkin tidak
full dari seluruh gen. Biasanya digunakan random primer 6-mers, namun apabila
digunakan 8 atau 9-mers dapat meningkatkan ukuran cDNA karena primernya akan
terhibridisasi lebih jarang. Aplikasi qPCR (quantitative PCR) pada gen-gen eukariot,
hasil terbaik bisa diperoleh dengan menggunakan kombinasi random primer panjang
dan oligo dT.
Pilihan ketiga adalah primer spesifik gen yang dapat meningkatkan
sensitivitas dengan mengarahkan seluruh aktifitas enzim RT untuk mentranskripsi
balik hanya RNA tertentu saja. Jika yang kita lakukan adalah one-step RT PCR,
primer spesifik gen digunakan karena primer RT juga nantinya digunakan sebagai
primer reverse pada reaksi PCR-nya.
Struktur Sekunder RNA
Struktur sekunder ini bisa menjadi masalah dalam transkripsi balik RNA
secara utuh. Ibarat menemui jalan buntu, enzim RT dapat berhenti ketika menemui
struktur sekunder pada RNA-nya. Sulit memang memprediksi apakah RNA kita akan
memiliki struktur sekunder, tapi biasanya kandungan GC yang tinggi bisa kita jadikan
indikator bahwa RNA akan sulit untuk memisah dan mungkin tidak akan benar-benar
menjadi utas tunggal sebelum reaksi. Untuk mengatasinya, bisa dengan melakukan
denaturasi dulu pada suhu 65°C selama 5 menit sebelum reaksi RT agar RNA-nya
dalam keadaan rileks.
Pendekatan lainnya adalah dengan menggunakan enzim RT yang dapat
bekerja pada suhu yang lebih tinggi dari RT standar. Ada juga enzim RT yang
mampu menembus struktur sekunder RNA meski dilakukan pada suhu RT standar.
21
Menyingkirkan gDNA
Kontaminasi DNA genom (gDNA) pada RNA merupakan salah satu
penyebab terjadinya false positif saat reaksi PCR nantinya. Ada beberapa cara untuk
menyingkirkan gDNA, misalnya pemberian DNase selama proses atau setelah isolasi
RNA. Jika sampel RNA diisolasi dari sel eukariot, maka cara terbaik menghindari
kontaminasi gDNA ketika PCR adalah dengan mendesain primer yang menyeberangi
intron atau batas intron-exon. Seperti diketahui bahwa mRNA pada eukariot
merupakan hasil transkripsi dari exon pada gDNA tanpa diselingi lagi oleh intronintron. Dengan cara ini tidak akan terjadi amplifikasi terhadap gDNA (atau
setidaknya akan memiliki produk PCR yang berbeda ukurannya). Satu hal yang harus
diwaspadai adalah pseudogene, yaitu salinan dari mRNA hasil splicing yang
diinsersikan ke dalam genom. Primer yang didesain hanya untuk mRNA tadi tetap
akan mengamplifikasi pseudogene ini. Untuk mRNA prokariot masalah tidak akan
selesai dengan primer yang didesain menyeberangi intron karena gDNA prokariot
tidak memiliki intron, sehingga penyingkiran gDNA ini amat krusial untuk
keakuratan pengukuran ekspresi gen. Satu-satunya pilihan adalah reaksi enzimatik
selama proses isolasi mRNA seperti yang diuraikan di atas. Harus dipastikan pula
bahwa gDNA benar-benar tidak mengganggu amplifikasi, misalnya dengan bufferbuffer tertentu penghilang sisa-sisa DNA atau dengan mengamplifikasi (PCR)
langsung RNA hasil isolasi tanpa melalui proses RT PCR. Jika amplifikasi PCR tetap
terjadi berarti gDNA masih ada di dalamnya.
SITRININ
Selama proses fermentasi, selain memproduksi pigmen dan lovastatin,
Monascus sp juga menghasilkan toksin yang diberi nama sitrinin . Sitrinin
dikategorikan sebagai mikotoksin yang mempunyai aktifitas sebagai hepatoksik,
nephrotoksik, dan bakterisidal pada bakteri gram positif. Beberapa jamur yang
mempunyai
kemampuan
memproduksi
sitrinin,
antara
lain
Penicillium
(
P.fellutanum, P. lividum, P. implicatum, P. jenseni, P. citreoviride, P. steckii, P.
22
notatum, P. exposum, P. velutinum, P. camescen, P. viridicatum, P. palitans, P.
claviforme) , Aspergillus A. niveus, A. terreus, A. candidus) Monascus. Clavariopsis
aquatica dan Blennoria sp. Selain diproduksi sejumlah jamur, sitrinin juga dapat
diproduksi dari daun-daunan di Australia (Crotalaria crispata).
Karakteristik Fisik dan Kimia Sitrinin
Sitrinin berbentuk kristal, berwarna kukuningan, larut dalam pelarut lemak
sedikit larut dalam air, larut dalam NaOH, Na 2 CO 3 atau larutan natrium asetat.
Bersifat termolabil dalam asam atau larutan basa, berwarna oranye dalam larutan
basa; coklat dalam FeCl3 ; hijau dengan TiCl3 , merah anggur dengan H 2 O 2 yang
diikuti dengan NaOH .
Sitrinin mempunyai titik cair 178 dan 179 °C. Absorpsi ultra violet dalam
etanol (955) adalah 222 (∈ = 4710) nm (Cartwright et al., 1949., Hajjaj et al).
Gambar 2.8 Struktur molekul sitrinin (Hajjaj 2000)
Daya Racun
1. Daya Racun Pada Binatang
Penelitian
yang
telah dilakukan
pada
beberapa
hewan percobaan
menunjukkan adanya kerusakan pada ginjal hewan-hewan tersebut, data dapat dilihat
pada tabel 2.1 . Dosis yang menunjukkan kemampuan sitrinin dalam membunuh atau
menyebabkan kematian dari hewan percobaan (LD 50 ) dapat dilihat pada tabel 2.2.
23
Tabel 2.1 Binatang percobaan, dosis dan pengaruh patologi pemberian sitrinin
Jenis hewan percobaan
Kelinci
Dosis (mg/kg BB)
20-75
Efek patologi
20
8 minggu
Pembengkakan ginjal
Neukrosis akut
Kerusakan ginjal kronis
Depresi
Glukose urea
Tikus
48
14-32
2 hari
2 minggu
Neukrosis akut
Kerusakan ginjal kronis
Babi
100
40
2 hari
5-6 minggu
Neukrosis akut
Kerusakan ginjal kronis
Sumber: Wiley dan Morehouse (1977)
2. Kandungan toksin pada urin
Sitrinin yang disuntikkan pada beberapa hewan percobaan menyisakan
residu sitrinin di dalam darah dan urin binatang tersebut. Kelinci yang mendapat
suntikan 24-44 mg/kg melalui intravenous, intramuskuler atau subkutan, maka dalam
waktu 5 menit darah kelinci tersebut mengandung sitrinin dalam jumlah banyak
berkisar antara 33 hingga 67µg/ml. Sitrinin akan bertahan dalam darah selama 24
jam. Bila diberikan melalui oral, darah kelinci dapat mengandung sitrinin sebanyak
15 sampai 20 µg/ml dalam waktu 3 jam. Sekitar 20% sitrinin diikat plasma darah.
Anjing yang diberi suntikan sitrinin melalui intravenous pada urinnya mengandung
sitrinin sebanyak 22 persen setelah 48 jam.
3. Efek biologi lain
Sitrinin efektif untuk penanggulangan beberapa penyakit
pada tumbuhan
seperti penyakit akar hitam pada kol (kubis) karena serangan Xanthomonas
campestris. Selain itu juga mempunyai kemampuan sebagai inhibitor pada khamir
(Saccharomyces cereviseae) serta Candida albicans. Aktifitas antibiotika terhadap
protozoa Paramesia sp. Juga dimiliki oleh sitrinin (Wiley dan Morehouse 1977).
24
Tabel 2.2 Nilai LD 50 sitrinin terhadap beberapa jenis hewan percobaan
Jenis Hewan
Tikus
LD 50 (mg/kg)
67,0
Cara pemberian
Suntikan pada subkutan
atau pada intraperitoneal
Babi
37,0
Suntikan pada subkutan
Kelinci
19,0
Suntikan pada intravenous
Marmut
35,0
Suntikan pada subkutan
110,0
Suntikan intraperitoneal oral
Sumber: Wiley dan Morehouse (1977)
Biosintesis sitrinin
Percobaan dengan [ 1-14C] asetat dan [
14
C] format
Aspergilus candidus
menunjukkan bahwa sitrinin berasal dari kondensasi 5 unit asetat, dan introduksi
terhadap tiga-satu unit karbon pada C-11 dan C-13 . Biosintesa asal yang serupa
diperlihatkan untuk produksi sitrinin dari P. citrinum. Biosintesa sitrinin dari P.
citrinum adalah [ 114C] dan [ 6-14C] glukosa. Keduanya mempunyai atom C dengan
posisi yang sama. Pola label pada radioaktif sitrinin membuktikan asal molekulmolekul skeleton dari 2 unit karbon. Atom C-10 lebih aktif mendukung lintasan
asesat malonal. Penggabungan satu unit karbon tampaknya berurutan C-11, C-12 dan
C-13. Okhratoksin A dan sitrinin yang keduanya berasal dari P.viridicatum
cenderung mendukung penggabungan yang dimulai pada C-11. Sitrinin ditemukan
bersama okhratoksin pada bebijian (gandum, jawawut), yang terkontaminasi oleh P.
citricum. Selain itu sitrinin juga dijumpai pada buah apel yang tercemar P. expansus
dan juga patulin. Pada kacang tanah sitrinin ditemukan bersama aflatoksin yang
terinfeksi A. flavus, P. citrinum dan A. terreus (Hajjaj 2000).
Reduksi sitrinin
Secara alami kandungan metabolit sekunder yang diproduksi oleh strain
Monascus purpureus baik
berupa pigmen, lovastatin dan sitrinin bervariasi.
Beberapa strain mempunyai intensitas warna
dan kadar lovaatatin yang tinggi,
dengan kadar sitrinin rendah. Beberapa strain yang lain mempunyai kadar lovastatin
25
rendah, intensitas warna tinggi dan kadar sitrinin yang relatiif tinggi juga. Kadar
sitrinin yang terkandung dalam Monascus purpureus dapat direduksi dengan
perlakuan penambahan asam lemak rantai medium seperti yang dilaporkan oleh
Hajjaj et al (2000). Percobaan yang dilakukan Hajjay dengan penambahan beberapa
jenis asam lemak dengan panjang rantai yang bervariasi, menunjukkan hasil yang
bervariasi. Hasil terbaik ditunjukkan penambahan asam lemak rantai medium yaitu
asam oktanoat.
Prinsip dasar yang menjadi pertimbangan penambahan asam lemak untuk
tujuan reduksi sitrinin adalah memotong jalur metabolism pembentukan metabolit
sekunder pada Monascus sp. Percobaan menggunakan
13
C nuclear magnetic
resonance menunjukkan bahwa biosintesis pigmen merah pada Monascus ternyata
menggunakan sekaligus dua jalur (pathway) seperti terlihat pada gambar 4, yaitu jalur
pembentukan struktur kromophore (polyketide synthase) dan jalur sintesis asam
lemak (the fatty acid synthesis pathway). Dengan memotong jalur sintesis asam
lemak dengan cara menambahkan asam lemak dari luar, ternyata dapat mereduksi
kandungan sitrinin pada Monascus sp. Hasil penelitian Hajjay (2000) tersaji pada
tabel berikut.
Tabel 2.3 Efek asam lemak dengan variasi panjang rantai karbon pada
produksi pigmen dan sitrinin menggunakan M. ruber dengan
adanya glukosa dan MSG a
Tipe asam lemak yang
ditambahkan b
Kontrol
Asam heksanoat
Asam oktanoat
Asam dekanoat
Asam dodekanoat
Asam miristat
Asam stearat
Asam oleat
Konsentrasi (mg/g biomasa)
Pigmen merah
Sitrinin
54
14
43,5
10
114
7,4
52,5
9,0
51
3,6
54
14,6
51
11,6
55,5
13
Keterangan: a. Masing-masing pada konsentrasi 5 gram/liter. Level sitrinin dan
pigmen diukur setelah 95 jam pertumbuhan M. Ruber. b. pada 1 mM.
Sumber : Hajjay et al 1999
26
Perlakuan lain yang juga sering dilakukan untuk tujuan reduksi sitrinin adalah
mutagenesis. Mutagenesis dilakukan misalnya dengan penyinaran menggunakan sinar
UV, perendaman dengan larutan kimia etidibium bromid dan sebagainya. Upayaupaya tersebut terbukti dapat mereduksi kandungan sitrinin dengan hasil bervariasi.
Meskipun upaya reduksi sitrinin sering dilakukan pada produksi angkak, secara alami
strain-strain Monascus purpureus memiliki kandungan sitrinin yang cukup rendah.
Khamir Amilolitik
Khamir merupakan mikroorganisme golongan fungi yang dibedakan
bentuknya dari mould (kapang) karena ber sel tunggal (uniseluler). Secara umum
memiliki bentuk elipsoidal, dengan ukuran diameter 5 sampai 10 mikron (untuk sel
yang besar), dan 1-3 mikron untuk ukuran sel yang kecil. Mikrooorganisme ini
memiliki beberapa organel sel antara lain nukleus, sitoplasma dan membran
sitoplasma, vakuola, mitokondria, globula lipid serta dinding sel yang tebal (25 nm)
dengan komponen terbesar glukan, juga terdapat kitin dan protein. Morfologi khamir
secara umum disajikan pada Gambar 2.9.
Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan cara pertunasan. Sebagai
sel tunggal, khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding dengan
mould yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir sangat mudah dibedakan
dengan mikroorganisme yang lain misalnya dengan bakteri, khamir mempunyai
ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda. Sedangkan dengan
protozoa, khamir mempunyai dinding sel yang lebih kuat serta tidak melakukan
photosintesis bila dibandingkan dengan ganggang atau algae. Dibandingkan dengan
kapang dalam pemecahan bahan komponen kimi, khamir lebih efektif memecahnya
dan lebih luas
permukaan serta volume hasilnya lebih banyak. Khamir dapat
dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya yaitu bersifat
fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif dapat melakuka n fermentasi alkohol yaitu
memecah gula (glukosa) menjadi alkohol dan gas contohnya pada produk roti.
Sedangkan oksidatif (respirasi) akan menghasilkan karbon dioksida dan air.
Keduanya bagi khamir dipergunakan untuk energi walaupun energi yang dihasilkan
melalui respirasi lebih tinggi dari yang melalui fermentasi (Fardiaz 1992).
27
Gambar 2.9 Bagian-bagian khamir (Anonim, 2004)
Identifikasi khamir untuk kepentingan klasifikasi sedikit berbeda dengan
kapang. Pada kapang idintifikasi biasanya didasarkan atas bentuk morfologinya,
sedangkan identifikasi khamir selain didasarkan pada morfologi juga ditentukan oleh
sifat-sifat lainnya yaitu sifat kultur, fisiologi dan reproduksi seksual.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut khamir dapat dibedakan atas tiga kelas, yaitu:
1. Kelas Ascomycetes atau khamir askosporogenous, dimana spora tumbuh di dalam
askus.
2. Kelas Basidiomycetes yang membentuk spora pada basidium.
3. Kelas Deuteromycetes, yaitu khamir yang tidak memproduksi spora seksual,
disebut juga fungi imperfecti dan terdiri dari famili: Sporobolomycetaceae yang
memproduksi ballistospora dan Cryptococcaceae yang tidak memproduksi
ballistospora maupun spora seksual.
Aktivitas khamir
pada bahan pangan dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok meliputi : aktivitas pada glukosa, aktivitas dalam senyawa nitrogen,
28
aktivitas pada asam-asam organik, aktivitas dalam degradasi protein, aktivitas dalam
degradasi lemak, aktivitas dalam degradasi selulosa, pektin dan xilan, serta aktivitas
dalam degradasi pati. Khususnya khamir yang memiliki kemampuan dalam degradasi
pati, telah menjadi subyek penelitian-penelitian di seluruh dunia. Penelitian yang
dilakukan adalah berkaitan dengan sifat amilolitik khamir pada pati dalam
memproduksi etanol dan biomassa khamir untuk memproduksi minuman dan
makanan. Enzim amilase sebagai aktivitas amilolitik pada khamir, diproduksi secara
ekstraseluler. Secara umum kelompok khamir yang mempunyai kemampuan
amilolitik jumlahnya relatif sedikit antara lain Schwaniomyces occidentalis,
Saccharomycopsis fibuliger, Sacch diastiticus, Candida dan Pichia Sedangkan jenisjenis khamir lainnya tidak memproduksi amilase (Roosifta 2004).
Khamir amilolitik memiliki potensi penting pada produk-produk dimana pati
digunakan sebagai bahan utamanya sehingga dapat menyumbangkan flavor yang
dikehendaki. Peran amilase khamir yang cukup familiar pada produk fermentasi
Indonesia adalah pada tape ketan atau tape singkong (ubi kayu). Pada fermentasi
sayur asin dan asam terdapat beberapa yeast jenis Candida sake dan C. guilliermondii
yang menggunakan substrat maltosa dan pati untuk diubah menjadi glukosa,
kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam-asam organik seperti asam laktat,
asetat, suksinat, etanol dan gliserol (Puspito & Fleet 1985). Takeuchi et al (2006),
melakukan purifikasi dan karakterisasi α-amilase dari Pichia burtonii yang diisolasi
dari starter tradisional “Murcha” dari Nepal. P. burtonii memproduksi enzim
amilolitik ekstraseluler katika dikulturkan pada media yang mengandung pati. Enzim
hasil purifikasi diberi nama Pichia burtonii α-amilase (PBA) suatu glikoprotein yang
memiliki berat molekul 51 kDa, mempunyai aktivitas optimal pada pH 5,0 pada suhu
40˚C, dan aktivitasnya dihambat oleh ion-ion logam seperti Cd2+, Cu2+, Hg2+, Al2+,
dan Zn2+.
Kebanyakan khamir yang digunakan dalam industri termasuk kelas
Ascomycetes terutama
jenis
Saccharomyces.
Beberapa
khamir
makanan
dideskripsikan sebagai berikut.
29
Schizosaccharomyces
Schizosaccharomyces
melakukan
reproduksi
aseksual
dengan
cara
pembelahan dan membentuk empat atau delapan askospora per askus setelah
melakukan konjugasi isogamik. Khamir jenis ini sering ditemukan pada buah-buahan
tropis, molase, tanah, madu, dan sumber-sumber lainnya. Spesies yang paling umum
dijumpai adalah S. pombe.
S. pombe juga dikenal sebagai ”fission yeast”. Khamir ini digunakan sebagai
model organisme dalam biologi dan sel molekuler. Merupakan eukaryote unicellullar,
berbentuk batang berukuran diameter 3-4 mikrometer dan panjang 7-14 mikrometer.
Khamir ini juga merupakan eukariot yang memiliki genom terpendek yaitu sekitar
13,8 million pasangan basa.
Kelompok khamir ini tidak memproduksi etanol dalam konsentrasi tinggi. S.
pombe memfermentasi asam malat menjadi etanol dan CO 2 dan telah digunakan
secara komersial dalam fermentasi champagne. Fermentasi dengan S. pombe
menghasilkan wine yang
kemampuan memfermentasi
titrat keasaman dapat dikurangi karena mempunyai
asam malolaktat, tetapi menghasilkan wine dengan
kualitas buruk.
Pichia
Sel khamir
ini berbentuk oval sampai silinder, dan kemungkinan juga
membentuk pseudomiselium. Asckospora berbentuk bulat atau seperti topi, dengan
jumlah satu sampai empat per askus. Genus Pichia terdiri dari 56 spesies. Pichia
membranefaciens mampu survive pada konsentrasi alkohol tinggi. Pichia merupakan
khamir nitrat-negatif tetapi beberapa genus seperti Hansenula menunjukkan nitratpositif.
Kemampuan beberapa genus Pichia tumbuh pada metanol sebagai sumber
karbon dan energi sangat penting dalam industrial standpoint. Karakteristik ini
ditemukan pada genera Candida, Hansenula, dan Torulasora. Penggunaan jalur
metanol pada jenis khamir ini mimpunyai kemiripan dengan permulaan oksidasi
metanol menjadi formaldehid, suatu reaksi yang dikatalisasi oleh alkohol oksidase.
Reaksi menghasilkan reduksi secara simultan oksigen menjadi hidrogen peroksida.
30
Maka dari itu adanya sequester alkohol oksidase di dalam organel sub seluler
peroksisom berfungsi mencegah toksisitas dari hidrogen peroksida.
Saccharomyces
Sel khamir yang termasuk jenis ini mungkin berbentuk bulat, oval, atau
memanjang dan mungkin membentuk pseudomiselium. Reproduksi khamir dilakukan
dengan cara pertunasan multipolar, atau melalui pembentukan askospora. Spesies
yang paling umum digunakan dalam industri
makanan adalah Saccharomyces
cerevisiae, misalnya dalam pembuatan roti, anggur, brem, gliserol, enzim invertase.
Koloni S. cerevisiae berwarna putih kekuningan, agak berlendir, dan
mempunyai aroma khas seperti aroma roti. Untuk pertumbuhannya membutuhkan
oksigen, cahaya, dan suhu. Suhu optimum pertumbuhannya adalah 30°C, suhu
maksimum 35-37°C, dan suhu minimumnya adalah 9-11°C (Judoamidjojo, et al,
1992).
Saccharomyces cerevisiae melakukan perbanyakan diri dengan pertunasan
(budding) atau pada beberapa kasus dengan melakukan pembelahan (fission),
meskipun beberapa khamir seperti Candida albicans dapat tumbuh sebagai filamentfilamen (miselium) sederhana yang tidak beraturan. Mereka juga dapat bereproduksi
secara seksual, membentuk asci yang megandung lebih dari 8 askospora-askospora.
Saccharomyces cerevisiae dikenal sebagai "bakers yeast" atau "brewers
yeast". Khamir memfermentasi gula yang ada pada tepung atau yang ditambahkan
pada adonan, menghasilkan karbon dioxida (CO 2 ) dan alkohol (ethanol). Pada
adonan roti CO 2 terperangkap sebagai gelembung-gelembung udara kecil dalam
adonan, sehingga adoanan kelihatan mengembang.
Endomycopsis
Endomycopsis merupakan kelompok khamir sejati (true yeast), sel
berbentuk pseudomiselium dengan jumlah spora 1-4, bereproduksi secara vegetatif
(aseksual) melalui pembentukan spora blastospora. Hanya beberapa khamir yang
dapat memfermentasi polisakarida termasuk khamir jenis ini dapat memfermentasi
31
pati, contohnya Endomycopsis fibuliger. Jenis Endomycopsis burtonii dapat diisolasi
dari produk fermentasi tape baik tape singkong maupun tape ketan
Sifat Fisiologi Khamir
Sifat
fisiologi khamir secara umum berkaitan erat dengan kondisi
pertumbuhan, metabolisme, dan substrat untuk pertumbuhan khamir. Kondisi
pertumbuhan yang berkaitan dengan batas aktivitas air berkisar 0,88-0,94. Kisaran
suhu untuk pertumbuhan kebanyakan khamir pada umumnya hampir sama dengan
kapang, yaitu mempunyai kisaran suhu optimum 25-30°C dan kisaran suhu
maksimum pertumbuhan 35-47°C. Kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada
keadaan asam, yaitu pada pH 4-4,5, dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada
medium alkali, kecuali jika telah beradaptasi. Khamir tumbuh baik pada kondisi
aerobik.
Metabolisme dan substrat untuk pertumbuhan khamir berkaitan erat dengan
hal-hal sebagai berikut: Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat
metabolismenya, yaitu yang bersifat fermentatif dan oksidatif. Khamir fermentatif
dapat melakukan fermentasi alkohol, yaitu memecah glukosa melalui jalur glikolisis
(Embden Meyerhoff-Parnas).
Khamir yang digunakan pada roti dan bir bersifat fermentatif kuat. Akan
tetapi dengan adanya oksigen , dapat melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula
menjadi karbón dioksida dan air. Kedua sistem tersebut menghasilkan energi,
meskipun energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi dibandingkan dengan
melalui fermentasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Suha et al (2000), berkaitan dengan analisis
fisiologi ko-kultur Monascus sp J101 dengan S. cereviseae menunjukkan bahwa
selama proses fermentasi Monascus sp. J101 dengan S. cereviseae kultur filtrat
distimulasi untuk membentuk spora reproduktif yang secara bertahap menghasilkan
akselerasi reproduksi dan proliferasi sel. Juga dideteksi aktivitas protein kinase C.
Khitinase (EC 3.2.1.14), suatu protein 120-kDa yang disekresikan dimurnikan dari
kultur filtrat S. cereviseae sebagai efektor. Kultur filtrat mengandung total lipid
32
kira-kira 4 kali lebih banyak dibanding tanpa kokultur (terutama asam oleat dan asam
linoleat). Penambahan asam lemak dari luar hanya berkontribusi pada peningkatan
masa sel.
Perubahan morfologi dan peningkatan produksi pigmen Monascus selama kokultur dengan S. cerevisiae atau A. oryzae diteliti oleh Shin et al.(1998). Dilaporkan
terjadi perubahan morfologi yang signifikan pada kultur Monascus. Dengan kokultur
menunjukkan peningkatan masa sel dua kali lipat dan pigmen mengalami
peningkatan 30-40 kali dibanding monokultur. Sebaliknya kokultur antara Monascus
dengan Bacillus cereus tidak terjadi perubahan morfologi, peningkatan pertumbuhan
sel, dan peningkatan produksi pigmen.
Kokultur antara Monascus dan S. cerevisiae lebih efektif dalam meningkatkan
produksi pigmen dibanding dengan A. oryzae. Dilaporkan bahwa peningkatan
pertumbuhan sel dan peningkatan produksi pigmen terjadi berhubungan dengan
perubahan morfologi.
Beberapa enzim hidrolitik diproduksi oleh S. cerevisiae seperti amilase dan
kitinase yang berfungsi sebagai efektor. Penambahan enzim komersial amilase dan
protease dari A. oryzae keduanya menyebabkan perubahan morfologi di dalam sel
Monascus dan efektif dalam meningkatkan produksi pigmen. Sebaliknya lisozim,
amilase dan protease dari spesies Bacillus, protease dari Staphylococcus, dan
khitinase dari Streptomyces tidak efektif. Enzim hidrolitik menyebabkan perubahan
morfologi dan peningkatan produksi pigmen berkaitan dengan kemampuannya
mendegradasi dinding sel Monascus. Terjadi peningkatan produksi pigmen sekitar 10
kali lipat dengan menggunakan kokultur S. cerevisiae pada fermentasi cair oleh
Monascus.
Aplikasi Ko-kultur pada Proses Fermentasi
Ko-kultur merupakan pertumbuhan bersama dua atau lebih jenis sel mikroba
yang berbeda pada suatu media fermentasi. Ko-kultur juga diartikan sebagai
campuran tipe-tipe sel yang berbeda dalam suatu kultur yang memungkinkan
merupakan pendekatan suatu model interaksi secara in vivo ( Mark 2005). Aplikasi
ko-kultur secara umum bertujuan untuk meningkatkan aspek-aspek positif tertentu
33
yang diharapkan dari kegiatan fermentasi. Beberapa peneliti telah mengaplikasikan
ko-kultur pada topik penelitian mereka. Mays et al. 1984, melakukan ko-kultur antara
Lactobacillus dengan Veillonella untuk produksi asam propionat. Prinsip ko-kultur
tersebut adalah suatu proses untuk produksi asam laktat atau garamnya dan asam
propionat dan atau asam asetat atau garamnya oleh katabolisme suatu substrat
karbohidrat melalui proses fermentasi bakteri dua tahap secara simultan. Tahap
pertama, karrbohidrat dikonversi menjadi asam laktat oleh bakteri sakarolitik seperti
Lactobacillus casei subspesies rhamnosus. Pada tahap ke dua, asam laktat secara
resultante difermentasi menjadi asam propionat dan asam asetat, karbon dioksida dan
hidrogen oleh bakteri kedua yang diadaptasi untuk mampu tumbuh dengan
keberadaan
bakteri
pertama,
misalnya
jenis-jenis
bakteri
yang
mampu
mengkatabolisme asam laktat seperti Veillonella criceti.
Simove et al. 2004 menggunakan kultur campuran Rhodotorula rubra GED10
dan bakteri yoghurt (Streptococcus thermophilus 13a+Lactobacillus bulgaricus 2-11)
untuk produksi
beberapa eksopolisakarida. Metode yang digunakan adalah
campuran mikroba tersebut dikultivasi pada media whey keju yang telah
diultrafiltrasi (WU). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa laktosa yang terdapat
di dalam substrat WU dapat secara efektif digunakan oleh campuran mikroba
Rhodotorula rubra GED10 dan bakteri yoghurt (Streptococcus thermophilus
13a+Lactobacillus bulgaricus 2-11) untuk sintesis beberapa eksopolisakarida.
Ko-kultur antara M. purpureus dan M. ruber dilakukan oleh Panda et al.,
(2010) untuk optimasi parameter-parameter fermentasi untuk meningkatkan produksi
lovastatin angkak. Ko-kultur M. purpureus MTCC 369 dengan M. ruber MTCC
1880 dilakukan pada fermentasi padat.
Optimasi parameter- parameter proses
fermentasi yang berbeda seperti temperatur, waktu fermentasi, volume inokulum, dan
pH dari subtrat padat dirancang dengan metodologi respon permukaan dari rancangan
Box-Behnken’s faktorial untuk memaksimalkan produksi lovastatin. Hasil yang
diperoleh menunjukkan produksi lovastatin tertinggi adalah 2,83 mg/g diprediksi
pada 14 hari fermentasi pada substrat padat dibawah kondisi proses yang dioptimasi.
34
Download