sekolah tinggi agama hindu dharma nusantara jakarta upacara

advertisement
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
UPACARA SIMANTONAYANA DALAM UPAYA
MELAHIRKAN ANAK SUPUTRA MENURUT AGAMA
HINDU (STUDI ANALISIS UPACARA SIMANTONAYANA
PADA MASYARAKAT ADAT BALI) DI PURA ADITYA JAYA
RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
NI NYOMAN SUGI WIDIASTITHI
0809.00.0801
2009.02.0125
JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
JAKARTA
JULI 2012
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
UPACARA SIMANTONAYANA DALAM UPAYA
MELAHIRKAN ANAK SUPUTRA MENURUT AGAMA
HINDU (STUDI ANALISIS UPACARA SIMANTONAYANA
PADA MASYARAKAT ADAT BALI) DI PURA ADITYA JAYA
RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Agama Hindu
NI NYOMAN SUGI WIDIASTITHI
0809.00.0801
2009.02.0125
JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
JAKARTA
JULI 2012
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah dikoreksi dan disetujui oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
(Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H)
(Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag)
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi ini diajukan oleh
Nama
NIM
NIDA
Program Studi
Judul Skripsi
:
:
:
:
:
:
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
0809.00.0801
2009.02.0125
Pendidikan Agama Hindu
“Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan
Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis
Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali)
di Pura Adiya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan Agama Hindu pada Program Studi PendidikanAgama Hindu,
Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Sekolah Tinggi Agama
Hindu Dhrma Nusantara Jakarta.
TIM PENGUJI
Ketua Penguji : Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH., Sp.N., MH (…………….)
Anggota
: Tiwi Susanti, S.Ag. M.MP.d
(…………….)
Anggota
: Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H
(…...………..)
Anggota
: Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag
(…………….)
Ditetapkan di
Tanggal
: Jakarta
: 15 Juli 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama
:
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
NIM
:
0809.00.0801
NIDA
:
2009.02.0125
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
15 Juli 2012
iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
NIM
NIDA
Program Studi
Jurusan
:
:
:
:
:
Jenis Karya
:
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
0809.00.0801
2009.02.0125
Pendidikan Agama Hindu
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Sekolah Tinggi
Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Hak Bebas Royaliti
Nonekslusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang
berjudul :
“Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut
Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat
Bali) di Pura Adiya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royaliti
Nonekslusif ini Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta berhak
menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencatumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 15 Juli 2012
Yang menyatakan,
(Ni Nyoman Sugi Widiastithi)
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan bskripsi ini. Penulisan skripsi
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Pendidikan Agama Hindu pada Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Agama Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Saya menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada :
(1)
Prof. Dr. IB Yudha Triguna, MS. Dirjen Pendidikan Agama Hindu atas
bantuan sarana dan prasarana Pendidikan Agama Hindu di STAH Dharma
Nusantara Jakarta.
(2)
Ir. Made Sudarta, MBA. Ketua Yayasan Dharma Nusantara Jakarta, yang
telah menyediakan fasilitas Pendidikan STAH Dharma Nusantara Jakarta.
(3)
Prof. DR. Ir. I Made Kartika Diputra Dipl-ing selaku Ketua Sekolah Tinggi
Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta.
(4)
Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H sebagai pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya dan dengan penuh kesabaran serta ketulusan hati
untuk membimbing penulis dari awal sampai penyusunan skripsi selesai.
(5)
Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag sebagai pembimbing II yang telah memberikan
semangat dan saran-saran demi terselesaikannya skripsi ini.
(6)
Drs. Anak Agung Raka Mas, selaku kepala perpustakaan STAH Dharma
Nusantara Jakarta yang telah mengadakan pengadaan buku secara baik.
(7)
Dosen dan seluruh Staf Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara
Jakarta yang telah memberikan dorongan baik moral maupun spiritual
kepada penulis sehingga tersusunnya skripsi ini sebagai tugas akhir dalam
perkuliahan.
(8)
Untuk kedua orang tua tercinta Drs.I Wayan Budha,M.Pd, dan Dra.Anak
Agung Oka Puspa,M.Fil.H, yang selalu memberikan doa, dukungan, dan
kasih sayang baik secara moral dan materil kepada saya.
vi
(9)
Untuk kakakku tersayang I Putu Adi Suryawan, adikku tersayang Ni Ketut
Gita Saraswati dan Bhisma Adinatha, yang telah memberikan semangat dan
canda tawa selama ini.
(10) Untuk teman terdekat saya Yani, Iin, Dian dan Beta terimakasih telah
memberikan semangat dan dukungan untuk Widi. Semoga kita bisa menjadi
sahabat hingga waktu yang tak terbatas. “Don’t Forget Me”.
(11) Untuk seluruh sahabat angkatan X Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma
Nusantara Jakarta terimakasih mau berbagi informasi selama 4 tahun ini.
(12) Untuk adik-adik kelas terimakasih untuk doa dan semangatnya, semoga
adik-adik bisa menjadi lebih baik lagi dari kami. Satu semboyan yang saya
titipkan untuk adik-adik “If you try, you fail, and then you try again…it
doesn’t matter, cause the real failure is when you stop trying…”
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 14 Juli 2012
Penulis
vii
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul
: Ni Nyoman Sugi Widiastithi
: Pendidikan Agama Hindu
: Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak
Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara
Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura
Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur
Dalam ajaran Agama Hindu dari sejak terjadinya atau sejak diketahuinya
terjadi pembuahan, diadakan beberapa upacara sesuai dengan perkembangan
jabang bayi yang ada dalam kandungan sang ibu. Banyak umat Hindu yang
melaksanakan Upacara Simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara
magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali namun, kurang diimbangi dengan
pemahaman secara mendalam terkait dengan pelaksanaan upacara tersebut
khususnya di Pura Aditya Jaya Rawamangun.
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan
mengambil judul skripsi “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak
Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada
Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali makna dan hubungan pelaksanaan
upacara simantonayana. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan menggunakan logika berpikir
perpaduan induktif-deduktif, dan argumentatif, sehingga menggunakan data
primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung.
Dari penelitian beberapa sumber pustaka dan hasil wawancara makna yang
terkandung dalam upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara
magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali, ialah agar
sang bayi yang berada di dalam kandungan mendapatkan perlindungan dan
keselamatan serta pemeliharaan yang baik sehingga sangat jelas adanya hubungan
dalam pelaksanaan upacara dalam upaya melahirkan anak yang suputra yakni
anak yang berguna di keluarga maupun masyarakat.
viii
ABSTRACT
Name
Study Program
Tittle
: Ni Nyoman Sugi Widiastithi
: Hindu Religious Education
: Ceremony of Childbirth Children Simantonayana Efforts
Suputra According to Hindu Religion (Studies on the
Analysis of Indigenous Ceremony Simantonayana Bali)
Aditya Jaya Pura Rawamangun in East Jakarta
In the teachings of Hinduism known from the onset, or since conception,
held a ceremony in accordance with the development of newborn babies in the
womb of the mother. Many Hindus who carry out the ceremony Simantonayana or
better known as the ceremony magedong-Gedongan on indigenous Balinese
however, offset by the lack of depth of understanding related to the
implementation of the ceremony, especially in Aditya Jaya Pura Rawamangun.
From this background the authors are interested in doing thesis research by
taking the title of "Ceremony of Childbirth Children Simantonayana Efforts
Suputra According to Hindu Religion (Studies on the Analysis of Indigenous
Ceremony Simantonayana Bali) Aditya Jaya Pura Rawamangun in East Jakarta".
This study aimed to explore the meaning and implementation of the
ceremony simantonayana. This type of research is a qualitative study. This
qualitative descriptive study, using a combination of inductive logic, deductive
thinking, and argumentative, so using the primary data as the primary data and
secondary data as supporting data.
From several sources of literature research and interviews of meaning
contained in the ceremony simantonayana or better known as magedongGedongan ceremony in Hindu Religion in Bali indigenous peoples, is that the
baby inside the womb to get the protection and safety and good maintenance so it
is clearly the relationship in the ceremony in an effort to give birth to children
who suputra useful in the child's family and the community.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ......................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..........................
iv
HALAMAN PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH…….. .................................................................
v
KTA PENGANTAR ........................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................
viii
ABSTRACT ....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................
x
DAFTAR TABEL…………………………………………………
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………….. .
1
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................
1
1.2 Fokus Penelitian .......................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian .....................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN METODELOGI
PENELITIAN……………………………………………………. .
7
2.1 Tinjauan Pustaka .....................................................................
7
2.2 Landasan Konseptual ..............................................................
9
2.2.1 Pengertian Upacara Simantonayana……………………….....
9
2.2.2 Pengertian Anak Suputra……………………………………..
10
2.3
Acuan Teoritika Fokus Penelitian ...........................................
13
2.3.1 Teori Religi…………………………………………………. .
13
2.3.2 Teori Perkembangan Anak…………………………………...
14
2.3.3 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan……………………. ....
17
2.4 Metodelogi Penelitian ..............................................................
18
2.4.1 Latar Penelitian…………………………………………….. ..
19
2.4.2 Pendekatan Metode……………………………………….... ..
28
x
2.4.3 Data Dan Sumber Data…………………………………….. ..
28
2.4.4 Prosedur Pengumpulan Dan Perekaman Data…………….. ...
31
2.4.5 Analisis Data…………………………………………………
32
2.4.6 Pemeriksaan Dan Pengecekan Keabsahan Data…………... ...
34
BAB 3 DATA PENELITIAN…………………………………… .
36
3.1 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Wawancara .......................
36
3.1.1 Catatan Pertanyaan Pertama…………………………….. .......
36
3.1.2 Catatan pertanyaan Kedua………………………………........
38
3.1.3 Catatan Pertanyaan Ketiga .......................................................
38
3.1.4 Catatan Pertanyaan Keempat ...................................................
39
3.1.5 Catatan Pertanyaan Kelima ......................................................
39
3.1.6 Catatan Pertanyaan Keenam ....................................................
40
3.1.7 Catatan Pertanyan Keujuh ........................................................
40
3.2 Data Penelitian Bedasarkan Hasil Observasi………………. ..
41
3.2.1 Catatan Pertanyaan Kedelapan.................................................
41
3.2.2 Catatan Pertanyaan Kesembilan...............................................
42
3.2.3 Catatan Pertanyaan Kesepuluh.................................................
42
BAB 4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN………………. ..
43
4.1 Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan).........
43
4.1.1 Upacara Simantonayana (Magedong-gedong) merupakan
Upacara Manusa Yajna ............................................................
43
4.1.2 Jenis Upacara dan Makna Upacara Simantonayana
(Magedong-gedongan) .............................................................
48
4.1.3 Pelaksanaan dan Makna Upacara Simantonayana
(Mgedong-gedongan) ...............................................................
54
4.2 Hubungan Antara Upacara Simantonayana Dalam Upaya
Melahirkan Anak Suputra .......................................................
61
BAB V PENUTUP……………………………………………….. .
73
5.1 Kesimpulan .............................................................................
73
xi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Organisasi Pengemmpon Pura Aditya Jaya Rawamangun……
20
Tabel 2.2 Tempek Jakarta Timur…………………………………………
20
Tabel 2.3 Sekretariat Bersama……………………………………………
21
xiii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lembaga pendidikan, di samping sekolah dan
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan lembaga
pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak, sebab dalam
keluargalah untuk pertama kalinya anak-anak memperoleh pendidikan dari
orang tuanya. Sejak prenatal sampai lahir, dan seterusnya sampai dewasa,
keluarga atau rumah tangga merupakan tempat pendidikan bagi anak-anak,
mulai dari belajar bercakap-cakap, mengenal nama anggota badan, anggota
keluarga, rumah tangga dengan isinya, penanaman dasar disiplin tentang
makan, mandi, tidur, bangun dan sebagainya diperoleh dari pendidikan
keluarga.
Keluarga menurut Hindu disebut dengan Grahasta dan dimulai dengan
adanya wiwaha atau perkawinan yang kemudian dari perkawinan tersebut
menjadikan mereka (pria-wanita) sebagai sepasang suami istri. Tujuan
utama dari suatu perkawinan ialah untuk memperoleh sentana (anak atau
keturunan). Seorang anak diharapkan dapat menjadi penyelamat orang tua
yang telah meninggal dari penderitaan atau neraka. Itulah sebabnya setiap
keluarga mendambakan hadirnya seorang anak sebagai penerus atau pelanjut
keturunannya yang sekaligus juga sebagai tempat berlindung bagi dirinya.
Bagi sebuah keluarga, untuk menciptakan anak yang memiliki kualitas
suputra, sangat bergantung dari upaya-upaya yang harus ditempuh oleh para
orang tua dalam melaksanakan pembinaan terhadap anak-anaknya tersebut.
Faktor keluarga sangat menentukan. Orang tua (suami atau istri) atau ayah
dan ibu adalah dominan dalam pendidikan keluarga, sekaligus menjadi kunci
utama dalam membentuk pribadi dan watak anak-anaknya yang berstatus
sebagai penerima ilmu.
Pendidikan dalam keluarga harus ditangani dan diperhatikan oleh
orang tua dengan sungguh-sungguh. Dasar komunikasinya adalah cinta dan
kasih sayang. Hendaknya pendidikan itu harus dimulai sejak bayi dalam
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
2
kandungan ibunya. Antara suami dan istri harus selalu berusaha
menciptakan dan menjaga suasana keluarga tenang, tentram dan damai.
Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua, terlebih lagi seorang
ibu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, pembinaan
pribadi, dan watak anak tersebut nantinya setelah lahir (Awanita, 2008:112).
Pembentukan watak ini, menurut agama Hindu, bukan dilakukan pada
saat anak lahir, tetapi pendidikan itu diberikan jauh sebelum anak itu lahir,
yang dapat diistilahkan Prenatal Education (pendidikan sebelum lahir)
(Sudartha, 2006:2).
Ada
pertanyaan-pertanyaan,
bagaimana
mungkin
memberikan
pendidikan kepada anak yang belum lahir? Memang tidak mungkin. Apalagi
kalau memberikannya secara langsung. Pendidikan anak dapat diberikan
dengan cara tidak langsung, yaitu mengatur kehidupan dan pikiran-pikiran
orang tuanya, dimana melalui perasaan sang ibu akan berpengaruh pada
watak si jabang bayi. Prenatal Education secara terperinci dapat diartikan
sebagai tahap mendidik disiplin ayah dan ibu serta orang-orang disekitarnya
semenjak bayi di dalam kandungan. Misalnya, sang ibu harus dididik soal
kesehatan
badan
jika
sudah
mulai
menggandung.
Semakin
tua
kandungannya semakin hati-hati menjaga kesehatan dan perasaan serta
pikiran sang calon ibu. Keadaan akan mempengaruhi keadaan si jabang bayi
yang sedang dikandungnnya. Sang calon ayah hendaknya selalu menjaga
diri dalam berkata-kata dan bertingkah laku sehingga tidak memberikan
kesan negatif kepada istrinya yang secara tidak langsung berkesan negatif
pula pada calon bayi. Selain itu, selama hamil hendaknya sang ibu diberikan
ajaran-ajaran agama dengan menekankan pada ajaran tata susila.
Dalam ajaran Agama Hindu dari sejak terjadinya atau sejak
diketahuinya terjadi pembuahan, diadakan beberapa upacara sesuai dengan
perkembangan jabang bayi yang ada dalam kandungan sang ibu. Tujuannya
tidak lain dari mendoakan kesehatan, keselamatan, perkembangan
intelektual dan rasa bagi si bayi yang positif, untuk nanti setelah menjadi
manusia, sebagai dasar yang positif dalam menerima segala pendidikan di
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
3
luar kandungan. Apakah itu pendidikan dalam sekolah atau luar sekolah,
apakah pendidikan yang formal maupun yang informal dan seterusnya
(Sudartha, 2006:3).
Berdasarkan keterangan tersebut diatas maka pendidikan, utamanya
pendidikan moral dan budhi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang
anak. Demikianlah idealnya, setiap keluarga mendambakan anak idaman,
berbudhi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani, dan
senantiasa memerikan kebahagiaan kepada orang tua dan masyarakat
lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai anak
yang “suputra”.
Anak memberikan kedamaian kepada orang tua, karena anak dapat
mengambil segala tanggung jawab yang diwariskan oleh orang tuanya. Anak
yang baik adalah penolong utama dan pertama bagi orang tuanya, demikian
pula seorang Istri. Istri merupakan belahan jiwa dari seorang suami. Ia
memberi kesejukan kepada suami dalam keadaan yang menyedihkan.
Pergaulan dengan orang-orang suci akan membawa banyak manfaat.
Mengapa? Karena orang-orang suci memancarkan berbagai kitab suci dan
susastra Hindu agar orang senantiasa bergaul dengan orang-orang suci,
orang bijaksana dan mereka yang integritasnya tidak diragukan (Titib,
2003:32).
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra
Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan
kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, umat Hindu
meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat ditentukan oleh kedua orang
tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses
kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang
dapat di lihat pada hari kelahiranya yang disebut Dasavara (hari yang
kesepuluh), yaitu :”Pandita, Patih, Sukha, Dukha, Sri, Manu, Manusa, Raja,
Deva, dan Raksasa”. Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak,
dikaitkan pula dengan karakter anak sesuai hari Dasavara-nya tersebut
(Titib, 2003:34).
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
4
Dengan demikian unsur putra-putri itu sangat penting artinya. Tidaklah
mengherankan kalau umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam
pembinaan putra-putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk
upacara. Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara
magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam Surayin (2002:3)
mengatakan upacara ini ditujukan kepada si cabang bayi yang sedang ada di
dalam kandungan dan merupakan upacara yang pertama setelah kehamilan
berumur 5-7 bulan. Karena, pada saat ini sudah dianggap ada hubungan
badaniah dan kejiwaan antara ibu dengan bayinya di kandungan (Sudartha,
2006:10-11). Menurut pengamatan penulis, masih banyak umat Hindu yang
melaksanakan Upacara Simantonayana atau yang lebih dikenal dengan
upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali namun, kurang
diimbangi dengan pemahaman secara mendalam terkait dengan pelaksanaan
upacara tersebut khususnya di Pura Aditya Jaya Rawamangun.
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian
dengan mengambil judul skripsi “Upacara Simantonayana dalam Upaya
Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara
Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya
Rawamangun Jakarta Timur”.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di tentukan
fokus penelitian dengan tujuan agar penelitian ini sesuai dengan judul dan
hasil yang akan dicapai dapat maksimal, yakni antara lain :
1) Apakah makna upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan
upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam upaya
melahirkan anak suputra?
2) Apakah ada hubungan antara upacara simantonayana atau yang lebih
dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali
dalam upaya melahirkan anak suputra?
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
5
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yang terkait dengan
permasalahan adalah :
1) Untuk mengetahui makna upacara simantonayana atau yang lebih
dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali
dalam upaya melahirkan anak suputra.
2) Untuk mengetahui hubungan antara upacara simantonayana atau yang
lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat
Bali dalam upaya melahirkan anak suputra.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan fenomena tentang upakara dalam upacara yajna ini
banyak umat yang belum mengetahui akan tattwa dari upakara ini, maka
dengan hadirnya penelitian ini diharapkan sangat bermanfaat bagi pembaca,
walaupun penelitian ini jauh dari sempurna. Ada dua hal mengenai manfaat
penelitian ini antara lain :
1) Manfaat Praktis
Melalui pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal
dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali ini,
memberikan tuntunan untuk hidup berdasarkan pada pedoman susastra
suci Hindu. Tuntunan tersebut diberikan melalui pelaksanaan upacara
manusa yajna yang didalamnya berisikan tahap-tahap pelaksaaan
upacara dari manusia tersebut mulai terbentuk dalam kandungan sampai
pada kelahirannya, dan diteruskan dalam perjalanan hidupnya, sampai
pada waktu kembali lagi ke alam niskala. Untuk itu penelitian ini
diharapkan mampu memberikan suatu gambaran baru bagi masyarakat
Hindu dalam memaknai dan mengimplementasikan pelaksanaan suatu
upacara.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan motivasi kepada umat
Hindu untuk lebih mengembangkannya dalam penelitian-penelitian
selanjutnya.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
6
2) Manfaat Teoritis
Penelitian
ini
diharapakan
bermanfaat
bagi
perkembangan
pengetahuan tentang Agama Hindu, serta dapat memberikan pemahaman
yang lebih jelas untuk menjawab pertanyaan atau kesenjangan yang ada
di lapangan dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama Hindu.
Dalam hal ini khususnya mengenai upacara simantonayana atau yang
lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat
Bali dalam upaya melahirkan anak suputra menurut Agama Hindu.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian
yang akan datang yang tentunya berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODELOGI PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Titib
(2003:52),
“Menumbuhkembangkan
dalam
Pendidikan
bukunya
Budhi
yang
Pekerti
Pada
berjudul:
Anak”
menjelaskan di India, ada kebiasaan kuno untuk mengisahkan berbagai
cerita mengenai para pahlawan dan orang-orang suci kepada ibu yang hamil.
Diharapkan janin di dalam rahim dapat di pengaruhi oleh vibrasi yang
timbul dalam diri sang ibu. Di dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa
pada saat Subhadra sedang hamil, Arjuna menceritakan tentang suatu bentuk
formasi militer yang sangat rumit kepada anaknya yang sedang berada
dalam kandungan istrinya Subhadra, tanpa disadari oleh sang Arjuna bahwa
suatu hari anaknya akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa
yang kita kenal dengan sebutan Abhimanyu. Pada waktu itu Sri Krsna
datang dan memberi tahu Arjuna bahwa bayi yang dikandung Subhadra
terpengaruh oleh hal yang diceritakannya kepada isrtinya. Di masa lalu, apa
yang diceritakan Sri Krsna kepada Arjuna mungkin dianggap tidak ada
artinya dan dilupakan. Namun kini, para ilmuan di Barat menyadari bahwa
hal yang dituturkan dalam Mahabharata itu benar. Lembaga Kesehatan Anak
dan Perkembangan Manusia yang bekerja untuk Universitas Carolina di
Amerika telah menyelenggarakan berbagai eksperimen mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan anak. Anthony Casper. Seorang
ilmuan terkenal di lembaga ini, setelah melakukan berbagai percobaan,
menyimpulkan bahwa yang dinyatakan Sri Krsna itu benar, walaupun
pikiran kita yang tumpul tidak dapat memahami sepenuhnya kebenaran
mendalam yang melatar belakangi Sri Krsna tersebut. Anthony Casper
mengumumkan penemunnya ini pada tanggal 3 januari 1984, dalam
konferensi ilmuwan. Eksperimen Casper memperlihatkan bahwa makanan
yang dimakan Ibu yang sedang hamil, gagasan-gagasan yang dipikirkannya,
dan kata-kata yang didengakannya, mempengaruhi janin dalam kandungan.
Di bali, tradisi untuk membacakan mantra-mantra kitap suci Veda dan Sloka
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
8
susatra Hindu seperti kakawin Ramayana, Arjuna Vivaha pada saat
seseorang istri dalam keadaan hamil merupakan tradisi yang sampai kini
masih dilakukan oleh umat Hindu di Indonesia (khususnya di jawa dan Bali)
kiranya sangat sesuai dengan hasil penelitian yang dipublikasikan oleh
Anthony Casper.
Sudharta (2006:5), dalam bukunya yang berjudul: “Manusia Hindu
Dari Kandungan Sampai Perkawinan” menjelaskan tentang beberapa
temuan-temuan para peneliti yakni salah satunya adalah Dr. Peiper. Pada
suatu ketika ia mendudukkan wanita hamil di depan layar rontgen.
Kemudian di dekat kandungan si ibu, ia meletakkan dan membunyikan
klakson mobil sambil serentak memotret bayi itu. Hasilnya adalah
kebanyakan bayi dalam kandungan menjadi bergetar ketika mendengar
bunyi yang keras. Percobaan lain juga telah dilakukan oleh ahli jiwa music
dari New York, Prof. Lee Salk. Ia merekam dengan tape recorder denyutan
jantung seorang ibu yang tidak lama lagi akan melahirkan. Ketika ia
membunyikan musik indah, maka hasil rekaman denyut jantung menjadi
berbeda, menunjukkan frekwensi lebih tinggi. Ini berarti bahwa sang bayi
dalam kandungan menunjukkan reaksi karena ia berhasil mendengarkan
sesuatu yang berasal dari luar kandungan.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa seorang ibu sebaiknya selalu
berada dalam keadaan tentram dan aman selama kehamilan, terlepas dari
segala beban yang menyebabkan perasaan maupun pikiran tertekan, tersiksa
dan takut. Agar nantinya bayi dapat lahir sehat dan menjadi anak yang
suputra. Walaupun kedua buku tersebut tidak secara langsung membahas
tentang upacara simantonayana akan tetapi kedua buku tersebut bisa
dijadikan referensi karena didalamnya memberikan penjelasan tentang hasil
penelitian yang menyatakan bahwa bayi dalam kandungan dapat menerima
respon dari luar kandungan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
9
2.2 Landasan Konseptual
2.2.1 Pengertian Upacara Simantonayana
Upacara ditinjau dari segi bahasa, maka “upacara” berasal dari bahasa
“upa” dan “cara”. Kata “upa” berarti berhubungan dengan, dan “cara” dari
kata car yang berarti gerak jadi upacara adalah “segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan gerak, atau upacara adalah gerakan/pelaksanaan
daripada upakara dalam salah satu yajna” (Putra, 1979: 13). Dari pengertian
tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa upacara adalah segala sesuatu
yang ada hubungannya dengan gerakan atau dengan kata lain upacara adalah
upakara-upakara dalam salah satu yajna dari awal sampai akhir dalam
pelaksanaan suatu yajna tertentu. Sedangkan kata upakara berasal dari kata
“upa” dan “kara”. Upa berarti berhubungan dengan dan kara berarti tangan,
pekerjaan. Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
perbuatan atau pekerjaan (Putra, 1979:7).
Menurut Somvir (2001:81), simant berarti perkembangan pikiran,
dengan demikian Simantonayana berarti perkembangan pikiran, dengan
demikian
Simantonayana
berarti
melalui
samskara
tersebut
ibu
memperhatikan bayinya supaya dapat berkembang dengan mental sehat.
Upacara ini merupakan upacara ketiga pada masa prenatal (bayi dalam
kandungan). Upacara ini perlu dilakukan demi perkembangan mental bayi,
agar sehat (mental development).
Menurut Sivananda (2003:97), upacara Simantonayana dilaksanakan
pada saat kandungan berumur tujuh bulan, dengan penguncaran mantra
Veda; untuk melindungi sang ibu dari pengaruh jahat dan memberikan
kesehatan pada si anak. Badan si anak berkembang dengan baik; karena
getaran-getaran yang selaras yang ditimbulkan oleh penguncaran mantra dan
pelaksanaan upacara tersebut membantu membentuk badan si anak menjadi
indah.
Menurut Tjok Rai Sudharta (2006:10), Upacara ini dinamakan
Magedong-gedongan di Bali atau Mitu Bulanin di Jawa. Di India upacara ini
dinamai juga Simantonayana, diharapkan agar pada masa itu sang ibu tidak
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
10
sampai memgalami kejutan, kejengkelan, dan kesedihan. Karena perasaanperasaan itu bisa mempengaruhi si jabang bayi.
Menurut Oka (2009:149), upacara ini dilaksanakan ketika sang bayi
masih ada dalam kandungan ibunya, yang lebih dikenal dengan megedonggedongan.
Secara
rohaniah,
magedong-gedongan
ini
merupakan
pembersihan dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, dengan harapan agar
anak yang akan lahir nanti manemukan kebahagiaan dan menjadi anggota
masyarakat yang berguna (Suputra). Kepada si ibu (juga suami), dipesankan
agar menghindari perbuatan dan tingkah laku yang kurang baik. Sebaliknya,
agar mereka senantiasa melaksanakan hal-hal yang baik dan bermanfaat,
sebab tingkah laku/kegemaran mereka bisa berpengaruh kepada si bayi yang
akan lahir.
Dari uraian tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam
Agma Hindu upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan
upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali, adalah segala
gerakan/pelaksanaan pembuatan korban suci yang tulus ikhlas ditujukan
terhadap bayi yang ada dalam kandungan atau dalam garba ibunya untuk
membantu proses perkembangan mental bayi, membantu menjaga psikologis
ibu agar ibu mau merawat dirinya, dan untuk kesehatan ibu dan anak
sehingga tujuan untuk melahirkan anak suputra tercapai.
2.2.2 Pengertian Anak Suputra
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomer 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pasal 1 butir 1 menjelaskan bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam hal ini pengertian suputra, yaitu anak yang hormat pada orang
tua, cinta kasih terhadap sesama dan berbakti kepada Tuhan. Hal ini yang
menjadi dambaan setiap orang tua, ini berarti bahwa orang tua yang selalu
berbuat baik di dalam kehidupannya akan memperoleh salah satu anugrah
Tuhan yaitu mendapatkan anak-anak yang suputra (Suasthi dan Suastawa,
2008:27).
Seorang anak atau putra yang menjadi tujuan keluarga Hindu ialah
anak atau putra yang utama. Mengenai hal tersebut diungkap dalam
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
11
beberapa sastra Hindu, bahwa putra yang utama disini yang dimaksud
adalah anak yang baik yang disebut suputra. Membuat sebuah telaga untuk
umum itu lebih baik daripada menggali seratus sumur. Melakukan yajna itu
lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus telaga; mempunyai seorang
putra itu lebih berguna dari melakukan seratus yajna asalkan putra utama
(Awanita, 2008:9).
Jika semuanya diperhatikan dan diusahakan sebaik-baiknya maka akan
terlahir generasi bangsa yang sehat dan berbudi luhur sehingga dapat
memikul tugas keluarga juga tugas nusa dan bangsa. Generasi yang dapat
mengharumkan nama keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara disebut
putra suputra. Putra berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua
kata yaitu ”put” yang berarti neraka, dan ”tra” yang berarti menyeberangkan.
Sorang putra yang suputra mempunyai kekuatan menyeberangkan
leluhurnya dari neraka, demikian disebutkan dalam
kitab Manawa
Dharmasastra Bab IX sloka 138.
Pumnanno narakadyas
mattraya te pitaram sutah
tasmat putra iti proktah
swayamewa swayambhuwa
Artinya :
”Karena anak laki-laki akan mengantar Pitara dari neraka yang disebut
Put, dan karena itulah ia disebut putra dengan kelahirannya sendiri”
(Pudja dan Sudharta, 2002: 564)”.
Sebuah ilustrasi ceritera dalam kitab adiparwa juga memberi
penjelasan bahwa seorang pandita agung yang sangat mumpuni dengan
tapanya harus tergantung pada sebilah bambu petung hanya karena putranya
tidak mau melaksanakan kewajibannya memasuki tahap hidup sebagai
grihasta dan memiliki seorang putra. Ketika putranya yang bernama Sang
Jaratkaru melakukan kewajibannya memasuki tahap hidup grahasta dan
memperoleh seorang putra yang diberi nama sang Astika maka orang tuanya
(sang pendeta yang tergantung pada bambu petung) terbebas dari deritanya
dan dapat bersatu dengan sanak saudaranya.
Berkenaan penjelasan-penjelasan dari pustaka suci di atas tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran seorang putra yang suputra
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
12
sangatlah dinantikan. Putra suputra adalah generasi muda yang sehat,
terdidik, terlatih, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, berakhlak mulia, beriman,
mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Demikianlah tingginya kedudukan seorang anak (putra) dalam
keluarga. Penekanan yang ditonjolkan adalah seorang putra yang baik yang
kelak dapat menyelamatkan orang tua atau roh-roh leluhurnya dari
penderitaan atau neraka. Sebait wiram yang terdapat dalam Niti Sastra
dalam bentuk kakawin, Sargah IV, sloka 1 menyebutkan :
Sang Hyang Candra taranggana pinaka dipa memadangi ri kala ning
wengi, Sang Hyang Surya sedeng prabhasa maka dipa memadangi ri
bhumi mandala, widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuwana
sumene prabhaswara, yening putra suputra sadhu gunawan
memadangi kula wandhu wandhawa.
Artinya:
“Bulan dan bintang memberi penerangan di waktu malam, matahari
bersinar menerangi bumi, ilmu pengetahuan, pelajaran dan peraturanperaturan yang baik menerangi tiga jagat dengan sempurna, putra yang
baik, saleh dan pandai membahagiakan kaum keluarganya”.
Demikian pula dalam Lontar Putra Sasana, dalam Awanita (2008:10)
dinyatakan:
Mapa phalaning suputra, pari purna dharmayukti, subhageng rat
susilanya, ambek santa sedu budi, kinasihaning nasemi, pada ngakwa
sanak tuhu, sami trana sih umulat, apan wus piana ageng widhi, yang
supitra unggul ring sameng tumitah.
Artinya:
“Bagaimanakah pahala seorang suputra yang sempurna dan berbuat
dharma, termasyur susila dan bagus, hatinya damai dn berbudi mulia,
setiap orang mengasihinya, sama-sama mengaku keluarga, semua jatuh
hati melihatya, oleh karena Tuhan telah memastikan bahwa orangorang yang suputra unggul di antara semua makhluk”.
Putra yang utama merupakan pelita yang dapat menerangi seluruh
keluarganya. Karena keutamaannya, pahalanya mengalahkan kegunaan
melakukan seratus yajna. Karena keutamaannya pula, ia termasyur. Setiap
orang mengasihinya. Semua orang jatuh hati melihatnya dan damai serta
berbudi mulia. Tuhan-pun memastikan, bahwa anak yang suputra unggul di
antara semua makhluk. Bahkan dikatakan bahwa suputra dapat menjadi
harapan sebuah bangsa. Dapat diandalkan untuk membangun dan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
13
menciptakan kemakmuran; dapat menolong kerabatnya. Seratus kali
beryajna kalah oleh keutamaan seorang suputra. Bagaikan pohon beringin
besar, bertempat di pinggir jalan; setiap orang yang lewat berteduh, oleh
karena penuh belas kasih dan berbudi mulia. Seorang suputra, adalah orang
yang selalu bhakti dan hormat kepada orang tua; bagaikan menghormat para
guru. Demikian pula kepada pemerintah, tidak akan membeda-bedakan dan
didasarkan pikiran yang suci; bagaikan memuja Tuhan. Itulah sebabnya,
memiliki anak yang berkualitas suputra adalah idaman setiap keluarga atau
orang tua.
2.3 Acuan Teoritika Fokus Penelitian
2.3.1 Teori Religi
Menurut teori ini bahwa suatu kepercayaan yang dijalankan oleh
manusia lewat suatu agama tertentu merupakan suatu kebudayaan hasil budi
daya manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Edward B. Taylor
menyatakan bahwa yang terpenting dalam yajna adalah : (1) asal mula religi
adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. (2) manusia adanya berbagai
gejala alam yang tak dapat dijelaskan dengan akal seperti adanya mimpi, (3)
keinginan manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa
dialami manusia dalam hidupnya, (4) adanya kejadian-kejadian luar biasa
disekeliling hidup manusia, (5) adanya getaran emosi berupa rasa kesatuan
yang timbul dari jiwa manusia sebagai warga masyarakat, (6) manusia
menerima firman dari Tuhan (Koentjaraningrat, 1977:48).
Teori religi menurut J.G. Fraser mengatakan bahwa mula-mula
perkembangan kepercayaan manusia secara kronologis percaya dengan
adanya ilmu gaib untuk memecahkan masalah hidupnya. Kemudian lambat
laun mengalih kepada religi adalah segala sistem tingkah laku manusia
untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada
kemampuan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh dan
dewa-dewa yang menempati alam (Koentjaraningrat, 1977:54).
Dalam kenyataannya sistem religi, mempunyai wujud sebagai sistem
keyakinan dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus.
neraka, surga dan sebagainya, dan juga mempunyai wujud yang berupa
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
14
upacara-upacara baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala dan
sistem
religi
juga
mempunyai
wujud-wujud
benda-benda
religius
(Koentjaraningrat, 1980:218). Seperti kepercayaan dalam Agama Hindu
yakni melaksanakan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan
upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali. Upacara ini
termasuk ke dalam upacara manusa yajna yakni pemeliharaan, pendidikan
serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terbentuknya
jasmani di dalam kandungan (janin) sampai akhir hidupnya (Suarjaya,dkk.,
2008:49).
Pelaksanaan upacara manusa yajna dalam Agama Hindu yang
dilaksanakan oleh masyarakat adat Bali di Pura Aditya Jaya Rawamangun
merupakan suatu keyakinan, begitu juga halnya upacara simantonayana atau
yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat
adat Bali
dilakukan pada saat kandungan umur
enam bulan dalam
hubungan untuk mendapatkan anak suputra merupakan suatu keyakinan atas
adanya restu dari Tuhan dan para leluhur, sehingga dalam penelitian ini teori
religi akan dipakai sebagai alat untuk menggali lebih mendalam tentang
keyakinan religi dalam Agama Hindu khususnya pada masyarakat adat Bali
di Pura Aditya Jaya Rawamangun yang diimplementasikan dalam upacara
simantonayana (magdong-gedongangan). Di samping itu teori ini juga
dipakai untuk mencari jawaban atas permasalahan makna dan hubungan
upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedonggedongan pada masyarakat adat Bali, dalam upaya mendapatkan anak yang
suputra.
2.3.2 Teori Perkembangan Anak
Perkembangan menurut Agama Hindu terjadi sejak manusia tercipta,
dalam perkembangan selanjutnya manusia bergerak menjadi sarana
penciptaan manusia selanjutya, sebagai alat melalui sanggama. Kemudian
menjadi sukla (benih pria) yang mempunyai warna seperti manik putih
kekuning-kuningan. Sedangkan swanita (benih wanita) keluar dari Pradhana
Tattwa keduanya kemudian bercampur pada saat sanggama dan selanjutnya
berkembang dalam rahim wanita (ibu). Disanalah ia terbentuk dan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
15
berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Dalam rahim
terjadi perkembangan sehingga kemudian lahir, keluar dari rahim dilukiskan
sebagai berikut :
1) Pada saat baru berumur 1 bulan berwujud seperti buih.
2) Setelah berumur tiga bulan berwujud gumpalan darah.
3) Pada saat berumur 4 bulan menjadi Siwa lingga, berlubang dibagian
tengahnya berisi Om Kara dan suksma rupa.
4) Pada waktu berumur lima bulan menjadi Mayareka.
5) Pada waktu umur enam bulan menjadi seperti api.
6) Ketika berumur tujuh bulan berubah menjadi seperti ulat dalam
kepompong yang disebut gading.
7) Pada saat berumur delapan bulan menjadi anak gading disertai dengan
nafas yang keluar dari Om kara, juga tulang, kuku dan rambut.
8) Waktu umur sepuluh bulan si jabang bayi lahir keluar dari rahim dan
perut ibu (Bantas, 2000:81).
Kemudian di dalam Lontar Kanda Empat Butha
(Tjateng, 1979)
mengatakan, bahwa bayi yang sudah beumur lima bulan, sudah lengkap
menjadi manusia, sudah berambut, berkuping, bermata, berhidung,
bermulut, berbahu, berbadan, bertangan, berkaki, bergigi, berperut, berodel,
berdagu, berkemaluan, berpantat, berjeriji, dan sudah sempurna isi dada dan
perutnya (Oka, 2009:149).
Menurut teori perkembangan anak dalam Diane E. Papalia, Et Al.
(2010:117), menjelaskan perkembangan prenatal terjadi dalam tiga tahap :
germinal, embryonic, dan fetal. Sepanjang tiga tahapan kehamilan, zygote
yang berasal dari satu sel berkembang menjadi embrio dan kemudian janin.
Baik sebelum maupun setelah lahir, perkembangan berjalan sesuai dengan
dua prinsip fundamental. Pertumbuhan dan perkembangan terjadi dari atas
ke bawah dan dari tengah tubuh keluar.
Adapun tahap-tahap tersebut antara lain :
1) Tahap Germinal (Pembuahan hingga 2 Minggu). Selama tahap
germinal, dari pembuahan hingga minggu kedua kehamilan, zygote
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
16
membelah diri, menjadi semakin kompleks, dan tertanam di
dinding uterus.
2) Tahap Embrionic (2 sampai 8 Minggu). Sepanjang masa
embrionic, tahap kedua kehamilan, dari sekitar 2 sampai 8 minggu,
organ dan sistem tubuh utama-pernafasan, pencernaan, dan syarafberkembang dengan pesat.
3) Tahap Fetal (8 Minggu hingga lahir) munculnya sel tulang pertama
pada sekitar 8 minggu kehamilan mensyaratkan dimulainnya tahap
fetal, tahap final kehamilan. Sepanjang masa ini, janin tumbuh 20
kali lebih panjang daripada sebelumnya, dan organ serta sistem
tubuhnya menjadi lebih kompleks. Pada saat kelahiran hampir tiba,
“sentuhan terakhir” seperti kuku jari tangan, kuku jari kaki, dan
kelopak mata terbentuk.
Janin bukanlah penumpang pasif dalam rahim ibu. Janin bernafas,
menendang, berputar, meregangkan tubuh, berjungkir balik, berkedip,
menelan, mengepal, cegukan, dan menghisap jari mereka. Cangkang
fleksibel dinding uterine dan kantong ketuban, yang mengelilingi pelindung
cairan ketuban, memungkinkan dan bahkan merangsang gerakan yang
terbatas.
Mulai sekitar dua belas minggu kehamilan, janin menelan dan
menghisap sejumlah cairan ketuban tempat di mana ia mengambang. Cairan
ketuban mengandug substansi yang mengghubungkan plasenta dari aliran
darah ibu dan masuk ke aliran darah janin. Penggabungan kedua substansi
ini dapat mengembangkan sensor perasa dan penciuman dan mungkin untuk
bernapas dan mencerna. Sel perasa yang matang muncul pada sekitar 14
minggu kehamilan. Organ yang berhubungan dengan penciuman, yang
mengontrol penciuman, juga berkembang dengan baik sebelum lahir.
Janin juga merespons suara, detak jantung, dan getaran tubuh ibunya,
menunjukkan bahwa mereka dapat mendengar dan merasa. Keintiman bayi
dengan suara ibu bisa jadi memiliki fungsi bertahan dasar: untuk membantu
bayi yang baru lahir menentukan lokasi makanan. Respon terhadap suara
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
17
dan getaran di mulai pada 26 minggu kehamilan, terus meningkat, dan
mencapai puncak pada sekitar 32 minggu kehamilan.
Perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhannya.
Pertumbuhan adalah sesuatu yang menyangkut materi jasmaniah yang dapat
menumbuhkan fungsi dan bahkan perubahan fungsi pada materi jasmaniah.
Perubahan jasmaniah dapat menghasilkan kematangan atas fungsinya.
Kematangan fungsi jasmaniah sangat mempengaruhi perubahan pada fungsi
psikologis. Oleh karena itu, perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan
dengan pertumbuhannya. Perkembangan merupakan fungsi jasmaniah dan
kejiwaan yang berlangsung dalam proses satu kesatuan yang menyeluruh
(Jaali, 2006:21).
Berdasarkan komponen-komponen perkembangan janin tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa janin berumur tujuh bulan sudah sempurna sehingga
dikatakan telah dapat menerima rangsangan dari luar. Teori perkembangan
anak akan dipergunakan untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana
hubungan antara upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan
upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat
Bali dalam upaya mendapatkan anak suputra.
2.3.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian terhadap upacara simantonayana atau yang lebih dikenal
dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam
bentuk skripsi telah dilakukan oleh : I Gusti Made Mudana, (2000:74)
berjudul : “Pelaksanaan Upacara Pagedong-gedongan Dalam Manusa Yajna
Ditinjau Dari Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu” memberikan suatu
kesimpulan bahwa upacara pagedong-gedongan merupakan salah satu
upacara yang di dalam ajaran Agama Hindu termasuk dalam upacara
manusa yajna, sebab upacara ini diperuntukkan kepada seorang ibu yang
sedang hamil kalau embrio dalam kandugan sudah berwujud manusia. Di
samping itu upacara pagedong-gedongan mengandung nilai-nilai pendidikan
kesusilaan yakni upacara ini dilaksanakan dengan maksud pembersihan,
pemeliharaan atas keselamatan si ibu dan anaknya, disertai pula dengan
pengharapan agar anak yang lahir kelak menjadi orang yang berguna di
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
18
masyarakat memenuhi harapan orang tuanya atau dengan kata lain agar
menjadi anak yang suputra. Hasil penelitian tersebut memiliki kesimpulan
yang menyatakan upacara pagedong-gedongan, memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan psikologis janin dalam kandungan, merupakan
pembersihan dan pemeliharaan keselamatan ibu dan anak, mengandung
nilai-nilai pendidikan kesusilaan, serta memperlihatkan bahwa makanan
yang dimakan ibu yang sedang hamil, gagasan-gagasan yang dipikirkannya,
mempengaruhi janin dalam pikirannya.
Dalam penelitian ini memiliki kelebihan yakni untuk mengetahui
makna serta hubungan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal
dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat
adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra.
Dalam skripsi : Sri Endah Rejeki, (2008:65) berjudul : “Pengaruh
Upacara Garbhadhana Terhadap Pertumbuhan Psikologis Janin Dalam
Kandungan”, memberikan suatu kesimpulan bahwa upacara garbhadhana
ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan psikologis janin dalam kandungan.
Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa upacara
magedong-gedongan berbeda dengan upacara garbhadhana. Upacara
garbhadhana merupakan salah satu upacara bayi dalam kandungan yang
dilakukan sebelum upacara magedong-gedongan atau yang lebih dikenal
dengan upacara simantonayana. Penelitian tentang upacara garbhadhana ini
bisa dijadikan referensi sebagai salah satu upacara bayi dalam kandungan.
2.4 Metodelogi Penelitian
Sudarmayanti dalam Praptini (2009:2) menyatakan bahwa metodologi
adalah langkah-langkah yang sistematis untuk memperoleh ilmu sedangkan
metode adalah prosedur atau cara mengetahui sesuatu dengan langkahlangkah sistematis tersebut. Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk
menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Menemukan berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi
kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan
menggali lebih dalam apa yang ada, sedangkan menguji kebenaran
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
19
dilakukan jika apa yang sudah ada diragukan kebenarannya (Praptini,
2009:3). Suatu metode yang tepat sangat bermanfaat dan membantu penulis
dalam meneliti obyek penelitian untuk mendapat data dan informasi yang
sesuai dengan realitas, sehingga keabsahan hasil penelitian tersebut dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya
2.4.1 Latar Penelitian
Penelitian ini mengambil Lokus pada Pura Aditya Jaya Rawamangun
yang terletak di Jakarta Timur, karena melihat kondisi umat di Jakarta Timur
yang sebagian besar berkumpul di tempat ini. Pura ini sering di jadikan
tempat pertemuan dari anak-anak sampai orang tua, dapat dilihat dari
bangunan-bangunan yang besar dan luas yang mampu memuat banyak umat
sehingga Pura Aditya Jaya Rawamangun menjadi tempat yang strategis
untuk umat untuk melaksanakan pertemuan baik untuk kepentingan
berorganisasi maupun pelaksanaan upacara.
Pura Aditya Jaya Rawamangun mempunyai arti yang sangat penting
bagi umat Hindu khususnya di daerah Jakarta Timur dan sekitarnya pada
umumnya lebih-lebih terhadap bangsa dan Negara. Karena dengan adanya
Pura berarti umat Hindu ikut berperan aktif dalam membangun dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pura sebagai tempat ibadah atau tempat suci Agama Hindu didasari
oleh konsepsi religius tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam
lingkungan yang disebut dengan Tri hita Karana (Kaler, 1994:830).
Kemudian di dalam perkembangannya umat Hindu di Rawamangun
dan sekitarnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dalam jumlah
serta kesadaran umat Hindu tentang arti dan makna hidup beragama semakin
tinggi, yaitu terbentuknya Pengempon Pura sampai saat ini, susunan
Pengempon Pura Aditya Jaya Rawamangun periode tahun 2007-2012:
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
20
Tabel 2.1 : Organisasi Pengempon Pura Aditya Jaya Rawamangun
Jakarta Timur
Jabatan
Nama
a. Ketua
I Putu Maharta Adijadnja
b. Wakil Ketua
I Made Rai Suparta
c. Sekretaris I
Pardiyo
d. Sekretaris II
I Gusti Agung Ngurah Putra
e. Bendahara I
Ngurah Arya
f. Bendahara II
Dewa Nyoman Kariawan
g. Umum
Ketut Widiarsa
h. Keagamaan dan Upacara
Wayan Budha
i. Bidang
Organisasi
Komunikasi
j. Pemberdayaan Perempuan
dan Ketut Suryawan
Sari Murdjana
k. Kepemudaan, Olahraga dan Ida Bagus Wisnu Siputra
Humas
l. Pembangunan dan Pemeliharaan Gusti Kompyang Suanda
m. Pendidikan dan SDM
Sutharta
n. Keamanan dan Parkiran
Made Bagus Suparma
o. Sosial dan Kemasyarakatan
Nyoman Sudarsana
p. Dokumentasi dan Publikasi
Ida Bagus Oka Nila
Pura Aditya Jaya Rawamangun merupakan Pura yang cukup luas di
kawasan Jakarta Timur ini karena mempunyai beberapa tempek dan di
pimpin oleh masing-masing ketua yakni :
Tabel 2.2 : Tempek Jakarta Timur
NO
TEMPEK
KETUA
1.
Tempek Ciracas
Wayan Nuada
2.
Tempek Cibubur
Putu Gelgel
3.
Tempek Munjul
Gusti Ketut Suarta
4.
Tempek Halim
I Made Meliun Suyana, SH
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
21
5.
Tempek Cipinang
Nyoman Udayana Sangging, SH,
MM
6.
Tempek Pondok Bambu
Gusti Kompyang Suwanda
7.
Tempek Jatiwaringin
Nyoman Sudarsana
8.
Tempek Rawamangun
Made Suprabawa,SE
9.
Tempek Klender
Wayan Budha, S.Ag, M.Pd
10.
Tempek Kp. Ambon
Drs. I Ketut Tisna
11.
Tempek Cijantung
Ir. Putu Yogi Pramana
12.
Tempek Utan Kayu
Ir. Putu Maharta
Pengempon Pura Aditya Jaya mempunyai kewajiban secara bergilir
untuk menyiapkan sarana upakara pelaksanaan yajna rutin seperti Purnama,
Tilem, Tumpek, Kajeng Kliwon, Galungan dan Kuningan. Untuk pujawali
dibentuk panitia tersendiri yang terdirin dari unsur-unsur tempek. Tugas lain
dari tempek adalah secara bergilir ngiring/mundut Pakuluh ke Pura yang
sedang melaksanakan pujawali.
Daerah sekitar Pura ini di pimpin oleh ketua banjar bernama Ir. Made
Sudartha dan salah satu anggota adalah I Gusti Kompyang Suanda yang
membantu sistem kerjanya ketua Banjar. Selain organisasi Banjar Jakarta
Timur dan tempek-tempek pengempon Pura, ada juga organisasi lembaga
keamanan Hindu lainnya yang bersekretariat diareal Pura Aditya Jaya
dengan membentuk Sekretariat Bersama diantaranya sebagai berikut:
Tabel 2.3 Sekretariat Bersama
No
Nama Lembaga
Nama Ketua
1
Parisada DKI Jakarta
Kombes Pol. I Ketut Wiardana
2
Parisada Jakarta Timur
Dra. Ketut Oka Harmini, MM.
3
SDHD DKI Jakarta
Drs. Erlangga Mantik
4
SDHD Banjar Jakarta Timur
Ir. Made Sudarta,MBA.,M.Sc
5
Yayasan Mandira Widhayaka
Ir. I Gusti Komang Widana,Si.,MM.,M.Fil.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
22
6
Yayasan Dharma
Indonesia
Sevanam Drs. I Nyoman Astawa,M.Si.,MM.,M.Fil.
7
Yayasan Dharma Nusantara
IGKG Suena
8
PWSHD DKI Jakarta
Nurastuti Mulyadi
9
PWSHD Jakarta Timur
Nyoman Rai Somawati
10
KPSHD Jakarta Timur
Misnan
11
WHDI DKI Jakarta
Nurastuti Mulyadi
12
WHDI Jakarta Timur
Nyoman Rai Somawati
13
Sanggraha Pinandita Nusantara
Dewa Putu Suradana
14
Pasraman Rawamangun
Nyoman Udayana Sangging
15
KMHDI
I Made Raditya Mahardika
Selain Sekretariat Bersama di Gedung Dharma Sevanam ada juga
lembaga lainnya yang menggunakan Graha Aditya Carya diantaranya: 1).
STAH Dharma Nusantara Jakarta; 2).Pasraman Aditya (sekolah Minggu
Agama0; 3). TK dan SD Pertiwi Abilasa; 4). Sanggar Pustaka Aditya dan 5).
LPDG.
Tahun 2007 tepatnya sejak pergantian kepengurusan SDHD Banjar
Jakarta Timur (masa bhakti 2007-2012) dengan Ketuanya Bapak Ir. Made
Sudarta,MBA atas ksepakatan bersama antar pengurus, dan masukan dari
umat, Otorita Pura Aditya Jaya ditiadakan dengan pertimbangan agar tidak
terjadi tumpang tindih dalam menjalankan tugas menata dan mengelola
Pura. Selama ini fungsi Otorita yang semula tujuannya hanya menangani
masalah pembangunan Pura, secara perlahan berubah fungsi menangani
semua hal sehingga peran banjar tidak jelas bahkan terkesan Pura Aditya
Jaya adalah milik Otorita. Adapun yang pernah menjadi ketua Otorita Pura
Aditya Jaya sebagai: 1). Periode 1979-1991 ketunya Bapak Ir. I Gusti
Agung Ketut Alit; 2). Periode 1991-1995 Bapak Ir. Made Sudarta,MBA; 3).
Periode 1995-1999
ketuanya Bapak Gde Maya Rumiada,SE.,AAg.,MM
(alm); dan 4). Periode 1999-2007 ketuanya Bapak Drs Gede Darsana.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
23
Pengelolaan dan penataan Pura Aditya Jaya ditangani langsung oleh
SDHD Banjar Jakarta Timur dengan memfungsikan semaksimal mungkin
semua Wakil Ketua dan bidang-bidang seperti halnya bidang agama dan
yajna dimonitor langsung oleh Wakil Ketua I membawahi bidang agama dan
yajna, fokus terhadap pelaksanaan upacara yajna di Pura mulai dari
pelaksanaan Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, mengurus kesejahteraan
Pinandita dan bahkan mengiring Pakuluh ke Pura yang sedang melasanakan
Pujawali juga diurus oleh bidang agama dan yajna yang memiliki empat
koorditator dan anggota berfungsi dimasing-masing Pura karena di Jakarta
Timur ada empat Pura yang diempon. Demikian halnya bidang sarana
prasarana dan pembangunan Pura hanya fokus kepada bidangnya masingmasing.
Untuk menata dan mengelola para pedagang khusus untuk dagang
makanan khas Bali dan jajanan Bali serta aneka minuman, pengurus Banjar
memanfaatkan kantin Aditya Boga yang dibangun oleh Yayasan Dharma
Sevanam sebagai kompensasi pembangunan Gedung Pusdiklat Dharma
Sevanam diatas bekas kantin lama. Untuk dagang canang, dagang kaset
lagu-lagu rohani, pernak pernik Hindu dan alat-alat persembahyangan
disiapkan disatu tempat yang bernama kios dagang canang. Semua dagang
dikelola sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi pedagang yang berkeliaran
diareal Pura, semua tertata rapi berada ditempatnya, dan ini juga dapat
memudahkan umat untuk mendapatkan kebutuhan belanja untuk kebutuhan
persembahyangan.
Pengelolaan terhadap para pedagang ini dikoordinir oleh seorang
koordinator unit usaha di Pura Aditya Jaya yang ditunjuk langsung oleh
ketua banjar dan bertanggung jawab langsung kepada ketua banjar. Dalam
mengelola keuangan yang merupakan hasil usaha tersebut Koordinator Unit
Usaha berkoodinasi langsung dengan salah satu bendahara banjar. Hasil
usaha ini digunakan oleh banjar untuk meningkatkan Fasilitas Pura
mengingat sangat tinggi dan beragamnya aktivitas umat yang tentunya
membutuhkan fasilitas yang lebih memadai dengan sarana penunjang dan
tenaga kerja yang senantiasa bisa menjaga kebersihan dan keasrian Pura.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
24
Pengelolaan pedagang inilah yang menjadi sektor ekonomi banjar dan dapat
berfungsi sebagai labhaPura selain dana punia.
Secara Geografis Pura Aditya Jaya Rawamangun terletak di wilayah
Jakarta Timur, tepatnya di Kelurahan Rawamangun Muka RT 11/RW 10
Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Secara Administratif berada di Jl.
Daksinapati Raya Nomor 10 Rawamangun.
Bangunan Pura menghadap ke Selatan dengan dibatasi pagar
sekeliling sebagai berikut:
1. Di sebelah Utara, pemukiman penduduk,
2. Di sebelah Selatan berbatasan dengan komplek perumahan dosen
UI,
3. Di sebelah Timur, berbatasan langsung dengan masjid Al. Taqwa,
4. Di sebelah Barat berbatasan dengan jalan by pass Jl. Jend. A.Yani.
Lokasi Pura memang sangat strategis dan tidak membuat umat yang
ingin bersembahyang tidak mengalami kesulitan yang terletak di pinggir
jalan raya di lingkungan komplek Dosen IKIP, di sebelah masjid Al-Taqwa
dan berada dekat lapangan golf, lingkungan Pura ini berdekatan dengan
Universitas Negeri Jakarta yang banyak orang sudah mengetahuinya.
Pada umumnya Pura-Pura yang besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu
Tri berarti tiga, Mandala berarti wilayah, jadi Tri Mandala berarti tiga
wilayah/daerah yang dimiliki oleh setia Pura dan antar mandala yang satu
dengan yang lain di batasi dengan tembok/pintu masuk yang khas. Sebagian
Pura pada umumnya Area Pura Aditya Jaya Rawamangun juga terdiri tiga
mandala yaitu :
1. Kanisthama Mandala (jaba sisi)
Area Pura paling luar yang masih satu-kesatuan dengan Pura.
Memasuki Kanistama Mandala Pura Aditya Jaya dapat melalui
dua Candi Bentar yakni yang menghadap kejalan DI. Panjaitan
(Bay pass) hanya dibuka pada hari minggu dan pada waktu
pujawali, serta pada perayaan Tawur Agung Kesanga. Sedangkan
Candi Bentar yang menghadap kejalan Daksinapati Raya dapat
digunakan setiap hari. Posisi Kanisthama Mandala mengitari
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
25
sebagian Madhyama Mandala dan sebagian Uttama Mandala
menyerupai hurup U dari posisi Timur, Utara dan sebelah Barat.
Adapun palinggih dan bangunan yang terdapat di Kanistama
Mandala antara lain: 1) Dua palinggih tugu untuk pohon beringin
berada disebelah timur sebagai stana Sang Kala Bang dengan
pengiringnya Ida Sekar Sandat dan Sekar Gadung sebagai
pengamong-among menjaga dan membenahi hal-hal yang kurang
sakral untuk memasuki Madhyama Mandala. Sebelah Barat
Uttama Mandala terdapat tugu sebagai sthana Jero Gede yang
menjaga kesetabilan Pura. Sebuah tugu untuk pedagang didepan
kantin sebagai sthana Ida Ratu Mas Melanting; 2) Bale Peyajnan
sebagai
tempat
mempersiapkan
tetandingan
dan
tempat
pelaksanaan manusa yajna; 3) Ruang perpustakaan terbuka; 4) Dua
buah Bale Bengong; 5) Jineng; 6) Griya untuk tempat Ratu
Pedanda; 7) Kios canang dan dagang alat perlengkapan upakara; 8)
Gedung Pusdiklat Dharma Sevanam untuk sekretariat bersama,
ruang rapat dan diklat; 9) Kantin Aditya Boga; 10) Graha Aditya
Boga Aditya Charya untuk ruang kelas; 11) Graha Sabha Aditya ;
12) Dua buah toilet; 13) Arena bermain out door TK Pertiwi
Abhilasa.
2. Madhyama Mandala (jaba tengah)
Halaman tengah yang terdapat pada Pura dan merupakan
tempat kegiatan seperti cerdas cermat, kesenian, hiburan, dan
dijadikan tempat sembahyang dalam piodalan. Menuju Madhyama
Mandala dapat masuk dari Candi Bentar sebelah Timur dan
sebelah Barat. Disebelah kiri kanan Candi Bentar terdapat Arca
Dwarapala (patung penjaga pintu atau pengapit lawang) berbentuk
raksasa. Di Madhyama Mandala terdapat beberapa bangunan
antara lain: 1) Perantenan (dapur); 2) Bale Wantilan sebagai
tempat menyiapkan segala keperluan upakara pada saat piodalan,
sebagai tempat pertunjukan tari-tarian saat piodalan, dan sebagai
tempat mesandekan umat yang baru tiba untuk mempersiapkan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
26
persembahyangan sebelum memasuki Uttama Mandala. Sejak
Oktober Tahun 2007 Bale Wantilan juga digunakan sebagai tempat
persembahyangan pada saat pujawali; 3) Bale Kulkul; 4) Tempat
tirta pembersihan, tempat dupa, bunga dan selendang; 4) Gudang
penyimpanan peralatan upacara.
3. Uttama Mandala (jeroan)
Halaman utama yang digunakan untuk bersembahyang umat
Hindu kepada Sang Hyang Widhi. Menuju Uttama Mandala
melewati Kori Agung (Candi Kurung) dengan tiga pintu utama dan
dua pintu lagi dikiri kanannya. Kori Agung senantiasa dalam
keadaan tertutup hanya digunakan pada saat odalan (pujawali) dan
hari-hari tertentu. Sedangkan untuk jalan keluar masuk Jeroan
menggunakan pintu yang berada disebelah kiri dan kanan Kori
Agung sering disebut babetelan. Depan Kori Agung terdapat dua
Arca Dwarapala dan di atas pintu masuk terdapat hiasan atau
ukiran yang berbentuk bhoma. Terdapat pula pintu tembus samping
yang digunakan sebagai pintu keluar bagi umat yang selesai
sembahyang bersama, yakni dari Uttama Mandala langsung ke
Kanistha Mandala.
Beberapa Palinggih/bangunan suci yang terdapat di Uttama
Mandala antara lain sebagai berikut:
a. Padmasana sebagai Palinggih Utama yaitu untuk menstanakan
Sang Hyang Widhi dalam manifestasin-Nya sebagai Siwa
Aditya.
b. Anglurah yaitu palinggih pengiring berada disebelah kiri
Padmasana.
c. Bale
Papelik/Pangaruman
untuk
mensthanakan
para
Dewa/Tapakan/Pakuluh yang hadir pada saat Pujawaili.
d. Bale Pawedaan digunakan sebagai tempat Ida Pedanda mapuja
pada saat pujawali atau pada hari-hari suci lainnya.
e. Taman Sari yaitu tempat pemujaan Sang Hyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pancaka Tirtha yang
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
27
disebut Ida Bhatara Lingsir tempat memohon pengobatan dan
pengelukatan.
f. Palinggih Beji sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi
dalam manifestasi-Nya, Dewa Wisnu sebagai Sang Hyang
Taya disebut Ida Bhatara Khrsna Tanu tempat memohon
Tirtha Pasucian dan sebagai sumber kehidupan.
g. Murti/Arca Dewi Saraswati sebagai palinggih tambahan
terdapat didalam Taman Sari sebagai Istadevata yang dipuja
untuk memohon kecerdasan, kebijaksanaan dan pencerahan
bathin.
h. Murti/Arca Ganesa sebagai palinggih tambahan terdapat
disebelah kanan belakang Padmasana sebagai Istadevata yang
dipuja untuk memohon keselamatan.
Pura Aditya Jaya yang dikelilingi tembok/penyengker sebagai batas
pekarangan yang disakralkan, pada sudut-sudut pekarangan dibuatkan
paduraksa (penyanggah sudut) yang berfungsi untuk menyangga sust-sudut
pekarangan tempat suci (dikpalaka). Yang membedakan Pura Aditya Jaya
dengan Pura yang lainnya adalah terletak pada pemanfaatan Kanisthama
Mandala disebelah Timur Uttama Mandala dibagi menjadi tempat
labhaPura dengan memberi batasan tembok antara tembok Bale Penyajian
dengan Kantin, Gedung Diklat, Kios Canang dan ruang pendidikan.
Sarana pendidikan di sekitar wilayah Pura Aditya Jaya Rawamangun
adalah terdapat gedung STAHDN Aula umum di sebelah gedung STAHDN
biasanya digunakan untuk acara-acara dan kegiatan generasi muda maupun
lembaga STAHDN, Pasraman, tempat belajar tinggkat kanak-kanak, tempat
organisasi, parkiran yang luas, dan taman-taman tempat beristirahat.
Terdapat kantor sekretariat bersama letaknya di sebelah Selatan dan
berhimpitan dengan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk
pelayanan kepada umat untuk mencari informasi ataupun kepentingan
dengan pengurus maupun lembaga yang sudah berdiri. Sekretariat bersama
ini digunakan bersama-sama oleh lembaga organisasi masyarakat seperti
PHDI DKI, SDHD DKI, Banjar Jakarta Timur, dan WHDI DKI.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
28
2.4.2 Pendekatan Metode
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif bertolak dari asumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak,
interaktif dan suatu pertukaran pengalaman
individu-individu.
Penelitian
ini
yang diinterpretasikan oleh
menggunakan
pendekatan
studi
kepustakaan. Bungin (2007:121) menyatakan bahwa metode kepustakaan
adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam
metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data histories. Sedangkan
Sugiyono (2007:329) menyatakan bahwa dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau karyakarya monumental dari seseorang.
2.4.3 Data dan Sumber Data
Istilah data yang merupakan kata jamak dari datum maksudnya
keterangan atau petunjuk, yang merupakan bahan yang akan diolah secara
ilmiah. Jadi, data adalah keterangan atau petunjuk tentang fakta, tanpa
adanya fakta tidak ada data. Menurt Sarwono dalam Sudiani (2009:14-20)
ada dua jenis data yaitu :
1) Data primer
Data primer berasal dari sumber asli atau pertama, yang tidak
tersedia dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui nara sumber
(responden), yaitu orang yang dijadikan obyek penelitian atau orang
yang dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan informasi. Dalam
pencarian data primer ada tiga dimensi penting yang perlu diketahui,
yaitu: kerahasiaan, struktur dan metode koleksi.
Dalam penelitian ini data primer yang dimaksud adalah data yang
bersumber pada realitas kehidupan masyarakat (data lapangan) yang
diperoleh melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara.
2) Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga peneliti
tinggal mencari dan mengumpulkan. Data sekunder dapat diperoleh
dengan lebih mudah dan cepat karena sudah tersedia, misalnya di
perpustakaan,
perusahaan-perusahaan,
organisasi-organisasi
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
29
perdagangan, biro pusat statistik dan kantor-kantor pemerintahan. Data
jenis ini dapat diperoleh dengan cara membaca, melihat dan
mendengarkan. Pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan untuk
mendapatkan data sekunder adalah kesesuaian data dengan penelitian
yang akan dilakukan, menekankan pada kualitas data, dan data sekunder
hanya dipergunakan sebagai pendukung data primer.
Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh melalui studi
kepustakaan (library research) yang bersumber dari kitab-kitab suci
Agama Hindu, buku-buku sastra Agama Hindu, buku-buku tentang
upacara manusa yajna, dan beberapa literatur lainnya yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Menurut Arikunto dalam Sudiani (2009:14-20) sumber data yang
dimaksud di sini adalah subyek dari mana data diperoleh. Karena
peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data maka
sumber data disebut informan, sedangkan dalam teknik observasi maka
sumber datanya adalah bisa benda, gerak atau proses sesuatu, dan dalam
teknik dokumentasi maka dokumen atau catatan-catatan yang menjadi
sumber data.
Menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani (2009:4-20) dalam
penelitian yang bersifat kualitatif maka ketepatan memilih dan
menentukan jenis sumber data akan menentukan kekayaan data yang
diperoleh. Lebih lanjut dikatatakan bahwa, jenis sumber data terutama
dalam penelitian kualitatif dapat diklasifikasikan, sebagai berikut :
1) Nara Sumber (Informan)
Dalam
penelitian
kuantitatif,
sumber
data
ini
disebut
“respondent”, yaitu orang atau sejumlah orang yang memberikan
“respond” atau tanggapan terhadap apa yang diminta atau
ditentukan oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif posisi nara
sumber sangat penting, bukan sekedar memberi respons,
melainkan juga sebagai informan (orang yang memberikan
informasi, sumber informasi, sumber data) atau disebut juga
subyek yang diteliti, karena ia bukan saja sebagai sumber data,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
30
melainkan juga aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil
tidaknya sebuah penelitian berdasarkan informasi yang diberikan.
2) Peristiwa atau aktivitas.
Data atau informasi juga dapat diperoleh melalui pengamatan
terhadap peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian. Dari peristiwa atau aktivitas ini, peneliti
bisa mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih
pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung.
3) Tempat atau lokasi.
Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau
permasalahan penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber
data. Informasi mengenai kondisi peristiwa atau aktivitas
dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya, baik yang
merupakan tempat atau lingkungannya.
4) Dokumen atau Arsip
Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan
dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa merupakan
rekaman atau dokumen tertulis seperti arsip, database, suratsurat, rekaman gambar benda-benda peninggalan yang berkaitan
dengan suatu peristiwa.
Untuk mendapatkan data-data yang dapat mendukung penelitian
ini, penentuan informan dilakukan dengan cara purposive sampling,
yaitu dengan menunjuk secara langsung informan yang akan
dijadikan subyek penelitian yaitu beberapa orang informan yang
penulis anggap memiliki kompetensi dibidang yang menjadi objek
penelitian ini, seperti tokoh-tokoh masyarakat (pedanda, pemangku
dan parisadha), dan orang tua yang melaksanakan upacara
simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedonggedongan dalam Agama Hindu adat Bali.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan menggunakan
logika berpikir perpaduan induktif-deduktif, dan argumentatif,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
31
sehingga menggunakan data primer sebagai data utama dan data
sekunder sebagai data pendukung.
2.4.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data
Dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah data yang
peneliti peroleh dari penelitian secara langsung di lapangan dan
dikumpulkan melalui metode. Menurut Sukardi dalam Sudiani (2009:14-20)
metode tersebut ialah : (1) Wawancara, teknik wawancara yang digunakan
adalah wawancara yang tidak berstruktur dimana peneliti sebelum
melakukan
wawancara
membuat
catatan-catatan
pertanyaan,
(2)
Dokumentasi dengan teknik merekam gambar dan pengumpulan arsip-arsip,
dan (3) Observasi langsung di lapangan. Observasi yang peneliti gunakan
adalah observasi terbuka.
Sedangkan data sekunder peneliti peroleh melalui studi pustaka
terhadap sumber-sumber tertulis tentang upacara simantonayana atau yang
lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu
pada masyarakat adat Bali, serta kaitannya dengan upacara manusa yajna,
dan juga diperoleh secara online. Menurut Sarwono dalam Sudiani
(2009:14-20) pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam memilih
data sekunder adalah sebagai berikut:
1) Jenis data harus sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah kita
tentukan sebelumnya.
2) Data sekunder yang dibutuhkan bukan menekankan pada jumlah
tetapi pada kualitas dan kesesuaian, oleh karena itu peneliti harus
selektif dalam memilih dan menggunakannya.
3) Data sekunder biasanya digunakan sebagai data pendukung data
primer, oleh karena itu kita tidak dapat hanya menggunakan data
sekunder
sebagai
satu-satunya
sumber
informasi
untuk
menyelesaikan masalah penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prosedur pengumpulan
dan perekaman data dengan teknik wawancara. Di dalam Modul Metodelogi
Penelitian yang ditulis oleh Oka (2008:29), wawancara ialah Tanya jawab
dalam bentuk komunikasi verbal (berhubungan dengan lisan), bertatap muka
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
32
di antara interviewer (pewawancara) dengan para informan atau responden
yang menjadi interviwi, yaitu para anggota masyarakat yang diwawancarai.
Wawancara dapat digolongkan menjadi tiga bagian yakni : 1) wawancara
sambil lalu, 2) wawancara tidak berencana dan 3) wawancara berencana.
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara tidak berencana dimana
wawancara diersiapkan lebih dahulu sebelum wawancara dilaksanakan.
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik wawancara tidak berstruktur,
yakni, wawancara yang dilakukan tanpa mengajukan daftar pertanyaan,
tetapi sebelum wawancara dilakukan membuat catatan-catatan pertanyaan.
2.4.5 Analisis Data
Analisis data menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani
(2009:14-20) adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,
sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki
nilai sosial, akademis dan ilmiah. Menurut Muhadjir dalam Sudiani
(2009:14-20) analisis data juga merupakan upaya mencari dan menata secara
sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk
meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain
Meurut Netra dalam Sudiani (2009:14-20) analisa data dilakukan
setelah selesai pengumpulan data. Mengingat penelitian ini adalah penelitian
kualitatif, maka analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif
kualitatif, sedangkan teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah
perpaduan antara teknik induktif, deduktif dan argumentatif. Teknik induktif
adalah apabila dalam uraian analisis terlebih dahulu dikemukakan faktafakta yang bersifat khusus, baru kemudian ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum. Menurut Titib dalam Sudiani (2009:14-20) teknik deduktif
dalam analisis adalah terlebih dahulu dikemukakan fakta yang bersifat
umum menuju penarikan suatu kesimpulan. Teknik argumentasi adalah
dengan memberikan komentar-komentar pada saat penarikan suatu
kesimpulan.
Dalam penelitian ini, teknik induktif akan digunakan untuk
menguraikan fakta-fakta yang bersifat khusus yang diperoleh di lapangan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
33
dari beberapa informan yang menyangkut ketiga permasalahan dalam
penelitian ini, kemudian ditarik suatu kesimpulan secara umum. Sedangkan
teknik deduktifnya akan digunakan untuk menguraikan fakta-fakta yang
diperoleh dari kepustakaan yang bersifat umum baru kemudian ditarik suatu
kesimpulan.
Menurut Sarwono dalam Sudiani (2009:14-20) pada penelitian
kualitatif analisis data merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya
hubungan semantis antara variabel yang sedang diteliti, agar peneliti
mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan
untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian.
Menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani (2009:14-20) analisis
data pada penelitian kualitatif bersifat literatif (berkelanjutan) dan
dikembangkan sepanjang program. Analisis data dilaksanakan mulai
penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah data terkumpulkan.
Menurut Ndraha dalam Sudiani (2009:14-20) analisa kualitatif diartikan
sebagai usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk
teks yang diperluas. Sedangkan analisis deskriptif dimaksudkan adalah
dengan mengadakan suatu telaah pada suatu gejala yang bersifat obyektif
sesuai dengan data kepustakaan maupun lapangan yang menjadi obyek
penelitian ini, sehingga merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian
dengan usaha untuk melukiskan sebuah rincian dari obyek yang sedang
dibicarakan
Menurut Miles dan Huberman juga Yin dalam Sudiani (2009:14-20)
bahwa tahap analisis data dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai
sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Setelah semua data yang diperlukan terkumpul
melalui pengumpulan data, selanjutnya akan dilakukan pengolahan data
seperti memilah-milah data dan klasifikasi data.
Dalam penelitian ini analisis data dilakukan ketika, sedang, dan setelah
selesai pengumpulan data, dengan menggunakan analisis deskriptif
kualitatif, sedangkan teknik yang digunakan adalah perpaduan teknik
induktif, deduktif dan argumentatif. Dalam kesempatan ini juga akan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
34
dilakukan upaya pengecekan kembali data yang masih meragukan, dan bila
dipandang perlu peneliti akan menghubungi kembali informan di lapangan.
2.4.6 Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Dalam riset kualitatif triangulasi menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk membantu pengamatan menjadi lebih jelas dan lebih terang sehingga
informasi yang diperlukan menjadi lebih jernih. Triangulasi adalah proses
validasi yang harus dilakukan dalam riset untuk menguji kesahihan antara
sumber data yang satu dengan sumber data yang lain dan /atau metode yang
satu dengan metode yang lain (misalnya,observasi dengan wawancara).
Triangulasi menjadi penting karena , menurut Lincoln and guba dalam Ali
(2010:155) tidak ada satu informasi pun dapat dipertimbangkan untuk
diterima kecuali setelah dilakukan triangulasi.
Menurut Ali (2010:155) dalam pelaksanaan triangulasi ada empat
modus yang sebaiknya dilakukan , yaitu penggunaan lebih dari satu atau
beberapa sumber data, metode, investigator, dan teori.
Triangulasi sumber data merupakan triangulasi dengan modus
penggunaan sumber data yang berbeda dan lebih dari satu mengandung
makna,bahwa suatu informasi yang diperoleh dari satu sumber data dicek
silang kepada sumber data yang lain . Tujuannya adalah untuk memperoleh
informasi lain yang mungkin mengkonter informasi yang diperoleh dari
sumber data sebelumnya atau bahkan memperkaya informasi yang telah
diperoleh dari sumber data pertama.
Triangulasi metode merupakan triangulasi dapat juga dilakukan
dengan penggunaan metode yang berbeda. Artinya, dalam pengumpulan
data ini menggunakan beberapa metode. Dalam penelitian ini menggunakan
beberapa metode yang berbeda untuk pengumpulan data misalnya
wawancara, dan observasi.
Triangulasi investigator artinya dalam penelitian ini ketika melakukan
triangulasi menggunakan lebih dari satu investigator yakni dimana adanya
pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data.
Dalam penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert
judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
35
Triangulasi teori mengandung makna bahwa suatu fakta empiris hasil
investigasi divalidasi dengan beberapa teori yang harus memiliki kebenaran
dalam beberapa teori tersebut. Penggunaan berbagai teori yan berlainan
untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
36
BAB 3
DATA PENELITIAN
3.1 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Wawancara
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
wawancara tidak
berstruktur dimana wawancara dilakukan tanpa mengajukan daftar
pertanyaan, tetapi sebelum wawancara dilakukan peneliti mebuat catatancatatan pertanyaan. Dari hasil penelitian di lapangan peneliti menemukan
beberapa hasil dari catatan-catatan pertanyaan tersebut yakni :
3.1.1 Catatan Pertanyaan Pertama
Menurut hasil wawancara tujuan berkeluarga dalam Agama Hindu ada
tiga yakni:
1) Dharma Sampati yakni peralihan dari masa brahmacari menuju ke
masa
grahasta
sehingga
nantinya
bersama-sama
dapat
melaksanakan kewajiban dalam bermasyarakat dan bernegara.
2) Praja yakni memiliki keturunan yang suputra.
3) Rati yakni sesudah memasuki masa ini laki-laki (suami) dan
perempuan (istri) diperbolehkan melakukan hubungan layaknya
sepasang suami, istri (I Gusti Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli
2012).
Demikian juga halnya hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan
Ida Pedanda Gede Panji Sogata (wawancara tanggal 5 Juli 2012)
mengatakan hal yang sama tentang tujuan berkeluarga dalam Agama Hindu
meliputi tiga hal yakni Dharma Sampati, Praja dan Rati.
Keseluruhan dari syarat-syarat tersebut merupakan dasar atau landasan
yang kuat bagi kelangsungan hidup berkeluarga. Suatu keluarga dianggap
sejahtera apabila telah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, terutama
dalam bentuk materi. Namun keluarga yang sejahtera ini belumlah dapat
dikatakan telah mencapai kebahagiaan, apabila unsur-unsur pendukung
tercapainya kebahagiaan, tersebut belum memenuhi syarat untuk itu.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
37
Kebahagiaan dan kesejahteraan ini haruslah berkeseimbangan, seimbang
antara jasmani dan rohani, seimbang antara lahir dan bathin serta seimbang
antara material dan spiritual.
Menurut Hasil wawancara tujuan berkeluarga ialah untuk mendapatkan
anak yang suputra karena sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1 dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan adanya ikatan lahir bathin
tersebut diharapkan akan terjalinnya suatu ikatan suci demi mendapatkan
keluarga sukinah dan memiliki anak yang berguna bagi nusa dan bangsa
(suputra) (I Ketut Wiardana, SH. wawancara tanggal 30 Mei 2012).
Tujuan yang dirumuskan untuk membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia itu erat sekali hubungannya dengan adanya keturunan,
yang pada hakekatnya juga merupakan tujuan dari perkawinan itu sendiri.
Karena kebahagiaan dari keluarga tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang
menyangkut masalah keturunan. Itulah sebabnya, maka salah satu tujuan
melaksanakan perkawinan atau wiwaha adalah memperoleh sentana
(keturunan). Alasannya adalah karena dengan mengadakan putra atau
sentana lebih-lebih sentana yang berkualitas suputra, adalah salah satu jalan
untuk membayar hutang budi kepada para leluhur, yang sekaligus juga
bahwa membentuk suatu keluarga adalah sebuah amanat dari Tuhan Yang
Maha Esa yang patut diemban dengan sebaik-baiknya, penuh dengan ketulus
ikhlasan dan penuh dengan rasa tanggung jawab.
Keluarga adalah suatu ikatan atau jalinan berdasarkan pengabdian,
yakni suami (ayah) mengabdi kepada istri dan anak-anaknya; demikian pula
seorang istri (ibu) mengabdi kepada suami dan anak-anaknya serta
selanjutnya anak mengabdi kepada kedua orang tuanya. Jadi karena adanya
ikatan dan saling mengabdi inilah maka jalinan itu disebut dengan keluarga.
Dengan kata lain bahwa keluarga adalah suatu ikatan atau hubungan yang
terjalin secara harmonis antara suami (ayah/bapak), istri (ibu) dan anak.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
38
3.1.2 Catatan Pertanyaan Kedua
Menurut hasil wawancara anak yang suputra tercipta melalui dari
sepasang suami istri yang memiliki niat dan perilaku yang baik dimana anak
suputra merupakan adanya hubungan abadi antara orang tua dan anak
hingga orang tua meninggal sampai kepada hubungan dengan para leluhur.
Pentingnya
memiliki
anak
suputra
yakni
agar
nantinya
dapat
mensejahterakan orang tua dan leluhurnya (I Ketut Wiardana, SH.
wawancara tanggal 30 Mei 2012).
Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan bahwa
anak yang suputra merupakan anak yang menuruti perkataan orang tua, rajin
membantu, ramah terhadap setiap orang, tidak berbuat nakal dan nantinya
mampu membawa nama baik keluarga dengan baik. Pentingnya memilii
anak yang suputra ialah agar kehidupan orang tua beserta keluarga menjadi
bahagia dengan adanya anak yang suputra (I Wayan Rudji, wawancara
tanggal 25 Juni 2012).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang suputra
akan mampu memberikan ketenangan, kedamaian dan persatuan dalam
keluarga, masyarakat serta nusa dan bangsa. Untuk itu hadirnya seorang
anak suputra menjadi sebuah harapan dan sangat penting bagi sebuah
keluarga.
3.1.3 Catatan Pertanyaan Ketiga
Menurut hasil wawancara seorang ibu yang sedang hamil hendaknya
selalu berbuat baik, mendekatkan dirinya dengan orang-orang yang pintar,
mendengarkan ajaran-ajaran suci, dan mengikuti pelaksanaan-pelaksanaan
hari raya agar anak yang dilahirkannya menjadi anak yang baik (suputra)
(Ida pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012).
Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan ibu
yang sedang hamil hendaknya selalu menjaga dirinya dari pikiran yang tidak
baik misalnya berfikir untuk menyakiti orang lain , perkataan yang tidak
baik misalnya mencaci maki orang lain dan perbuatan yang tidak baik
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
39
misalnya menyiksa serta membunuh makhluk hidup serta menjaga
kesehatannya (I Gusti Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli 2012).
Memelihara kesehatan seseorang ibu yang sedang hamil merupakan
faktor penting dalam mendapatkan kelahiran anak yang baik atau sempurna.
Selain makanan yang sehat, juga yang harus diperhatikan pantanganpantangan dan anjuran-anjuran. Pantangan-pantangan terhadap ibu yang
sedang mengandung ada bermacam-macam, misalnya tidak berfikir, berkata,
dan berbuat yang tidak baik, tidak memakan makanan yang tidak sehat dan
tidak melakukan sesuatu yang melampui batas-batas tertentu, seperti bekerja
keras, terlalu bebas memenuhi hawa nafsunya dan lain-lain. Hendaknya
seorang ibu dianjurkan melakukan hal-hal yang berpengaruh positif yang
nantinya berpengaruh positif pula pada bayinya.
3.1.4 Catatan Pertanyaan Keempat
Menurut hasil wawancara pelaksanaan upacara simantonayana
(upacara magedong-gedongan) pernah dilaksanakan di Pura Aditya Jaya
Rawamangun (Perdana Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara 25 Juni 2012).
Demikian juga halnya hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan
I Wayan Rudji (wawancara tanggal 25 Juni 2012) mengatakan hal yang
sama bahwa umat pernah melaksanaan upacara simantonayana (upacara
magedong-gedongan) di Pura Aditya Jaya Rawamangun.
Upacara
simantonayana
(upacara
magedong-gedongan)
pernah
dilaksanakan di Pura Aditya Jaya Rawamangun. Akan tetapi selama proses
penelitian ini berlangsung berkisar antara bulan Mei-Juli peneliti tidak
menemukan
adanya
pelaksanaan
upacara
simantonayana
(upacara
magedong-gedongan) di Pura Aditya Jaya Rawamangun .
3.1.5 Catatan Pertanyaan Kelima
Menurut hasil wawancara peneliti tentang spesifikasi tempat
pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) di Pura Aditya
Jaya Rawamangun biasanya dilaksanakan di bagian Kanisthama Mandala
(jaba sisi) Pura hal ini diungkapkan oleh Perdana Ida Pedanda Istri Mayun,
dalam wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 25 Juni 2012.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
40
Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan
pelaksanaan
upacara
simantonayana
(magedong-gedongan)
dapat
dilangsungkan di rumah maupun di Pura tepatnya di jaba sisi Pura (I Gusti
Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli 2012).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut peneliti dapat menyimpulkan
bahwa pelaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan)
dapat dilangsungkan di Pura ataupun di rumah.
3.1.6 Catatan Pertanyaan Keenam
Menurut
hasil
wawancara
peneliti
tentang
makna
upacara
simantonayana (magedong-gedongan) dengan I Gusti Putu Raka pada
tanggal 1 Juli 2012 menyatakan bahwa makna dari upacara simantonyana
adalah untuk memohon kepada Sang Hyang Atman yang berstana di dalam
bayi agar tetap berstana dan membentuk janin menjadi sehat dan kuat
sehingga dapat lahir dengan selamat kedunia serta nantinya kelak menjadi
anak yang suputra.
Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan
pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) memiliki makna
untuk meningkatkan kualitas kelahiran manusia menjadi lebih baik yakni
menjadi anak suputra (Ida Pedanda Gede Panji Sogata, wawancara tanggal 5
Juli 2012).
Makna upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) adalah
memohon kepada Sang Hyang Atman untuk tetap berstana pada bayi
sehingga sang bayi dapat terlahir menjadi anak suputra, disamping itu
upacara ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kelahiran manusia.
3.1.7 Catatan Pertanyaan Ketujuh
Berdasarkan pernyataan Ida Pedanda Gede Panji Sogata dalam
wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 5 Juli 2012
menyebutkan ada beberapa sumber sastra Hindu yang menjelaskan tentang
upacara simantonayana (magedong-gedongan) diantaranya adalah Manawa
Dharmaçastra dan Lontar Yajna Prakerti sedangkan dalam wawancara
dengan narasumber lain yaitu I Gusti Putu Raka yang dilakukan pada
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
41
tanggal 1 Juli 2012 menyebutkan sumber sastra lainnya yang dapat dijadikan
rujukan terhadap keberadaan upacara simantonayana (magedong-gedongan)
yakni Mahabharata. Dari hasil wawancara tersebut maka peneliti dapat
menyimpulkan tentang beberapa sumber sastra Hindu yang dapat dijadikan
rujukan pelaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan)
yaitu Manawa Dharmaçastra, Mahabharata dan Lontar Yajna Prakerti.
3.2 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Observasi
Dalam penelitian ini selain menggunakan metode wawancara tidak
berstruktur peneliti juga melakukan observasi pelaksanaan upacara
simantonayana (magedong-gedongan) selain melakukan observasi peneliti
juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber terkait dengan
tahapan
pelaksanaan
upacara
simantonayana
(magedong-gedongan),
upakara yang dibutuhkan serta hubungan upacara simantonayana dalam
upaya melahirkan anak suputra.
3.2.1 Catatan Pertanyaan Kedelapan
Berdasarkan
hasil
observasi
peneliti
pelaksanaan
upacara
simantonayana (magedong-gedongan) dilakukan melalui beberapa tahapan
antara lain:
1. Pemangku Mepuja
2. Ngaturang banten ke leluhur
3. Suami dan Istri melakukan pembersihan dan natab banten byakala
dan prayascita serta penglukatan
4. Natab banten (magedong-gedongan)
5. Ngayab banten
6. Suami istri mengelilingi cabang dab-dab yang dipancangkan
dikanan-kiri pintu gerbang merajan menghadap keluar yng
dihubungkan dengan benang hitam satu tukel. Dalam mengelilingi
tersebut si perempuan menjunjung ceraken, tangan kanan
menjinjing daun kumbang berisi air dan ikan. Sedangkan sang
suami tangan kirinya memegang benang dan tangan kanan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
42
menusuk-nusuk daun kumbang tadi dengan bungbungan sampai
ikan tumpah.
7. Suami dan Istri melakukan persembahyangan
8. Pemercikan tirtha
Hal ini sejalan dengan yag dijelaskan oleh Ida Pedanda Gede Panji
Sogata dalam wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 5 Juli 2012
di Griya Lenteng Agung.
3.2.2 Catatan Pertanyaan Kesembilan
Dalam hasil observasi peneliti menemukan beberapa upakara yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara simantonayana (magedonggedongan antara lain:
1. Untuk pembersihan: Byakala, Prayascita, dan Panglukatan
2. Untuk ayaban: Sesayut pamahayu tuwuh, sesayut tulus dadi,
sesayut ketututan, pulagembal, pengambyan.
3. Banten pagedongan
Hal ini ditegaskan pula dalam wawancara peneliti dengan I Gusti Putu
Raka ang dilakukan pada tanggal 1 Juli 2012.
3.2.3 Catatan Pertanyaan Kesepuluh
Berdasarkan
pengamatan
peneliti
selama
observasi
peneliti
menemukan adanya hubungan antara upacara simantonayana (magedonggedongan dalam upaya melahirkan anak suputra hal ini ditunjukkan dengan
keberadaan banten pagedong-gedongan yang melambangkan perut ibu yang
mengandung lengkap dengan saudara-saudara si calon bayi (Catur Sanak)
yang dalam tujuannya adalah untuk memohon agar Ibu dan calon anak
mendapatkan pemeliharaan yang baik dan selamat serta sang anak kelak
akan menjadi anak yang suputra. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ida
Pedanda Gede Panji Sogata yang menyatakan bahwa banten pagedonggedongan merupakan inti dari upacara magedong-gedongan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
43
BAB 4
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
4.1 Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan)
4.1.1 Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan) merupakan upacara manusa
yajna
Dalam paparan mengenai pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat
dilihat dari jenis yajna, dasar yajna, tingkatan yajna, pahala ber-yajna,
tempat ber-yajna dan tujuan ber-yajna. Yajna berasal dari kata yaj yang
artinya korban, sedangkan yajna berarti yang berhubungan dengan korban.
Dalam hal ini korban yang dimaksud adalah korban yang berdasarkan
pengabdian dan cinta ksih, sebab pelaksanaan Yajna bagi umat Hindu adalah
satu contoh perbuatan yang dilakukan untuk Ida Sang Hyang Widhi, yang
telah menciptakan manusia serta alam semesta ini dengn Yajna-Nya. Dalam
Bhagavadgita III. 10 menjelaskan dengan sangat terperinci tentang
pelaksanaan yajna yakni :
Saha-yajnah prajah srstva
purovacaprajapatih,
anena prasavisyadhvam
esa vo’stv ista-kama-dhuk
Artinya :
“Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, tuhan setelah menciptakan
manusia melalui Yajna, berkata: dengan (cara) ini engkau akan
berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu
(sendiri) (Pudja, 2005:84)”
Sesungguhnya
pengorbanan
yang
dilaksanakan
berdasarkan
pengabdian dan rasa cinta kasih, tidak memerlukan balasan. Walaupun pada
dasarnya pelaksanaan yajna tidak terikat pada hasilnya, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan spiritual yakni menghubungkan diri kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi. Sebagai tanda terimakasih atas segala rahmat yang telah
diberikan.
Disebutkan dalam Asma Medha Parwa dalam Ramayanti (2003:20)
yakni :
“Raja Janamejaya mengajukan pertanyaan kepada Rsi Waisampayana :
‘O Rsi raja-raja sejak jaman dahulu sudah terikat untuk melakukan
upacara, sedangkan para Rsi diikat oleh taa dan yoga. Para Brahmana
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
44
bijaksana diikat oleh tuntunan dan latihan guna mendapatkan
ketenangan bathin, tingkah laku damai dan pengendalian diri. Menurut
keyakinan hamba selaku raja, tidak ada damai dan pengendalian diri.
Menurut keyakinan hamba selaku raja, tidak ada berkah yang lebih
mulia daripada berkah-berkah upacara. Keyakinan hamba itu tentulah
merupakan keyakinanyang benar, stidak-tidaknya bagi golongan rajaraja. Hamba tahu bahwa tidak terhitung banyaknya raja-raja yang
melakukan pemujaan dengan menyelenggarakan upacara-upacara. Dan
mereka semua telah menjadi besar termasyur dan mencapai alam
sorga.”
Dalam hal ini jelaslah bahwa melakukan korban suci/yajna akan
membahagiakan diri baik di dunia dan akhirat. Berdasarkan uraian diatas
maka upacara sangat berguna untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan
bathin. Untuk mencapai kesucian, membebaskan diri dari segala dosa demi
tercapainya kesempurnaan lahir dan bathin.
Penjelasan tersebut telah menjawab fokus penelitian yang pertama
dalam penelitian ini yakni dimana penulis menggunakan teori religi karena,
dalam kenyataannya sistem religi, mempunyai wujud sebagai sistem
keyakinan dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus.
neraka, surga dan sebagainya, dan juga mempunyai wujud yang berupa
upacara-upacara baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala dan
sistem
religi
juga
mempunyai
wujud-wujud
benda-benda
religius
(Koentjaraningrat, 1977:218).
Dalam Agama Hindu wujud keyakinan tersebut yang berkaitan dengan
teori religi adalah adanya yajna (persembahan) yang dilakukan umat Hindu
secara keseluruhan dapat diformulasikan menjadi lima bagian yang biasa
dikenal dengan nama Panca Yajna atau juga dikenal denan lima
persembahan yang utama (Panca Maha Yajna). Adapun bagian-bagiannya
yaitu: 1).Persembahan kepada ‘Tuhan dan manifestasinya (Deva Yajna),
2).Persembahan kepada orang tua secara sekala dan niskala (Pitra Yajna),
3).Persembahan kepada orang suci (Rsi Yajna), 4). Persembahan kepada
semua makhluk ciptaan Tuhan (Bhuta Yajna), 5). Persembahan kepada
sesama manusia (Manusa Yajna) (Surayin,2004:3).
Betapa pentingnya yajna itu bagi umat Hindu, seperti yang disebutkan
di dalam Kitab Bhagavadgita Bab III, 12 dan 13 sebagai berikut:
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
45
Istan bhogan hi vo deva,
dasyante yadnabhavitah,
tair datatan apradayaibhyo,
yo bhunte stena eva sah.
Artinya :
“Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah
diberikan kepadamu oleh dewa-dewa karena yajna, sedangkan ia yang
telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya
adalah pencuri (Pudja, 2005:85)”
Yadna sistasinah santo,
mucyante sarvakilbisaih,
bhunjate te tvagham papa,
ye pacanty atmakaranat.
Artinya :
“Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tettapi ia
yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya
memakan dosa (Pudja, 2005:86)”
Dalam hal ini adanya rasa terima kasih atas anugrah Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang diwujudkan dalam bentuk yajna, yang bertujuan untuk
menjaga keseimbangan antara permohonan dengan pemberian yang berupa
yajna itu, atau dengan kata lain bahwa yajna bertujuan untuk
menyebarluaskan ajaran Veda, sebagai sarana untuk menyeberangkan atma
untuk mencapai moksa, sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sarana untuk menciptakan
keseimbangan dan sebagai sarana untuk mendidik yang bersifat praktis tata
laku pengalaman ajaran agama.
Manusa Yajna adalah korban suci yang dilaksanakan mulai dari bayi
di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Kelahiran hidup manusia
diselimuti oleh kekotoran dan disertai pula sifat-sifat yang baik maupun
yang tidak baik sebagai akibat dan karma wasana-nya. Sifat yang tidak baik
akan menimbulkan penderitaaan dan kesengsaraan hidup sedangkan
kekotoran yang melekat pada badan akan mengurangi kesucian baik lahir
maupun bathin (Susila, 2009:61).
Mensucikan lahir dan bathin perlu diadakan upacara, sebab Sang
Hyang Widhi hanya berkenan melimpahkan anugrah-Nya kepada orang
yang suci lahir dan bathin. Jika seseorang sudah suci lahir dan bathin
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
46
diharapkan dapat menerima sinar kekuatan suci dan Sang Hyang Widhi,
yang akan menerangi jalan hidupnya sehingga terhindar dari hal-hal yang
menyesatkan. Sifat-sifat kurang baik yang disebabkan oleh pengaruh hari
lahir, perlu dinetralisir dengan sarana upacara yang khusus untuk hal
tersebut agar terhindar dari hal-hal yag tidak baik, sehingga mendapatkan
keselamatan dan kesejahteraan dalam hidup.
Mengenai pelaksanaan upacara Manusa Yajna, dalam kitab Manawa
Dharmasastra Buku II sloka 27 dan 28, dijelaskan diantaranya sebagai
berikut:
Sloka 27 :
Garbhairhomairjatakarma
caudamaunjini bnadhanah
baijikam garbhikam caino
dwijanamapamrjyate
Artinya:
“Dengan upacara membakar bau-bauan harum pada waktu hamil sang
ibu, dengan upacara jatakarma (bayi baru lahir), upacara Cauda
(upacara gunting rambut pertama) dan upacara Maunji Bandhana
(upacara memberi kalung/gelang) maka kekotoran yang didapat dari
orang tua akan terhilang dari Tri wangsa (Pudja dan Sudartha,
2002:68)”
Sloka 28:
Swadhyayena wratairhomais
Traiwidhyenejyaya sutaih,
Mahayajnaiçca yajnaiçca
Brahmiyam kriyate tanuh.
Artinya:
“Dengan mempelajari Veda, dengan tapa, dengan korban suci, dengan
pembacaan pustaka-pustaka suci, dengan memperdalam tiga ilmu suci,
dengan upacara persembahan (pada para Deva, Rsi dan Leluhur),
dengan melahirkan putra-putra, dengan mengadakan upacara besar,
dengan pensucian badan wadag ini dibuat mampu untuk bersatu
dengan Tuhan (Pudja dan Sudartha, 2002:68).”
Berdasarkan penjelasan dan kutipan-kutipan sloka yang merupakan
sumber-sumber hukum Hindu tersebut didepan, maka dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan upacara oleh umat Hindu memiliki tujuan yang sama
dan pelaksanaannya mulai dari upacara bayi dalam kandungan sampai akhir
hidupnya.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
47
Didalam buku pengantar acara Agama Hindu yang ditulis oleh ketut
Subagiasta, (2008:68), disini Sri Svami Sivananda mengatakan bahwa
pemujaan (upasana) kepada Tuhan memurnikan hati, membangkitkan
getaran-getaran selaras, kemantapan pikiran, memurnikan dan mempertinggi
perasaan, menyelaraskan kelima selubung (kosa), dan akhirnya membawa
pada penyatuan, persekutuan atau realisasi Tuhan. Upasana membantu para
penyembah untuk duduk dekat Tuhan atau bersatu dengan-Nya. Ia mengisi
pikiran dengan prema atau kasih sayang murni pada Tuhan, yang secara
bertahap merubah manusia menjadi makhluk Tuhan. Upasana merubah
bahan-bahan mental, menghancurkan sifat-sifat rajas dan tamas serta
mengisi pikiran dengan sifat sattwam atau kemurnian. Akhirnya ia
membawa para bhakta berhadapan dengan Tuhan, membebaskan dari roda
kelahiran dan kematian serta memberinya kekekalan dan kebebasan.
Jadi ber-yajna itu memiliki pahala yang sangat utama bagi umat
manusia. Yajna pahalanya adalah kesucian diri, pembebasan diri dari segala
dosa, penyatuan diri dengan Tuhan, memiliki sikap dan sifat sattwam
(bijaksana, arif, cerdas, mulia, dan berpikiran luhur), hidup bahagia secara
perorangan dan kebersamaan dan hidup rukun dalam komunitas yang
majemuk. Selain itu bahwa pahala yajna adalah untuk membangkitkan rasa
bhakti (pengabdian) dan Sradha (keyakinan/kepercayaan) kepada Tuhan
Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tidak hanya dengan
demikian, dengan ber-yajna juga dapat mengharmoniskan diri dengan
Tuhan,
mengharmoniskan
diri
dengan
sesama
manusia,
serta
mengharmoniskan diri dengan kondisi dan situasi dimana kita berada,
terutama dengan lingkungan, adat istiadat setempat. Konsep ini sangat
berkaitan dengan pentingnya keharmonisan hidup manusia yang bersumber
dari tiga hal yang disebut dengan Tri Hita Karana (Subhagiasta, 2008:6869).
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penggunaan teori religi
dalam bentuk banten, terutama banten atau upacara simantonayana pada
tahapan upacara manusa yajna yang kita jumpai pada saat upacara Agama
Hindu, merupakan media untuk menyampaikan sraddha dan bhakti kepada
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
48
kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memiliki hubungan erat
antara alam semesta (bhuana agung) dengan manusia (bhuana alit).
4.1.2 Jenis Upakara dan Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan)
Pelaksanaan yajna dapat kita lihat pula dari kualitas Tri Guna, di
dalam Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 11, 12, dan 13
membedakan tingkatan yajna menjadi tiga golongan yaitu:
1) Satvika Yajna adalah yajna yang dilaksanakan dengan keikhlasan tanpa
mengharapkan hasilnya, dilaksanakan semata-mata sebagai suatu
kewajiban yang patut dilaksanakan, sesuai dengan Kitab Suci
Bhagavadgita Bab XVII sloka 11 :
Aphalakanksibhir yajno
vidhi-drsto ya ijyate,
yastavyam eveti manah
samadhaya sa sattvikah
Artinya:
“Yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang
tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnhya bahwa upacara ini
sebagai tugas kewajiban, adalah satvika.”
2) Rajasika Yajna adalah yajna yang dipersembahakan dengan motivasi
untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk
memperoleh buahnya, sesuai dengan Kitab Suci Bhagavadgita Bab
XVII sloka 12 :
Abhisandhaya tu phalam
dambhartham api caiva yat,
ijyate bharata-srestha
tam yajnam viddhi rajasam.
Artinya:
“Tetapi yang dilakukan dengan mengharap ganjaran, dan semata-mata
untuk kemegahan belaka, ketahuilah, wahai Arjuna, yajna itu adalah
bersifat rajas.”
3) Tamasika Yajna adalah yajna yang dilakukan secara sembarangan,
tidak sesuai dengan ketentuan sastranya, tidak ada makanan yang
dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
49
daksina, serta tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaan,
sesuai dengan Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 13 :
Vidhi-hinam asrstannam
Mantra-hinam adaksinam,
Sraddha-virahitam yajnam
Tamasam paricaksate.
Artinya:
“Dikatakan bahwa, yajna yang dilakukan tanpa aturan (bertentangan),
di mana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta
tanpa keyakinan dinamakan tamas.”
Demikian tingkatan kualitas yajna dibedakan atas dasar pengaruh tri
guna yang member motivasi dalam melaksanakannya. Dalam tingkatan ini
besar kecilnya upakara tidak menjadi ukuran. Tingkat spiritualitas suatu
persembahan (yajna) lebih ditentukan oleh srada, kebaktian, keikhlasan
serta jauh dari rasa ego.
Sedangkan tingkatan yajna yang didasarkan atas besar kecilnya
upakara yang dipersembahakan dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Kanista (upakara kecil), Madya (upakara menengah) dan Utama (upakara
besar). Keharmonisan antara besar dan kecilnya yajna yang akan
dilaksanakan dengan tingkat kemampuan yang bersangkutan sangat
diperlukan agar pelaksanaan yajna yang bertujuan menuju kesejahteraan dan
kebahagiaan
tidak
justru
membawa
penderitaan
melainkan
dapat
meningkatkan diri dari segala segi baik segi spiritual dan moral.
Menurut hasil wawancara, perbedaan tingkatan yajna disesuaikan
dengan tingkat kemampuan umat yang melaksanakan karena, dalam
kenyataan tingkat kemampuan materi yang dimiliki tidaklah sama. Dari segi
kualitas
tingkatan
yajna
tidak
ada
perbedaan,
sepanjang
dalam
pelaksanaannya didasari dengan bhakti, ketulusan dan kesucian hati (Ida
Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012).
Demikian pula halnya dalam upacara simantonayana (magedonggedongan) yang juga memiliki tiga tingkatan didasarkan pada besar dan
kecilnya upakara yang digunakan yakni:
1. Nista (upakara kecil) : byakala, peras, daksina, ajuman, prayascita,
sesayut pengambyan atau sesayut pamahayu tuwuh.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
50
2. Madya (upakara menengah) : byakala, peras daksina, ajuman
prayascita, sesayut pamahayu tuwuh, sesayut tulus dadi, sesayut
ketututan, pulagembal, pengambyan, banten pagedongan, membuat
permandian (kalau upacara dilakukan di rumah), dua buah cabang
dadap ditancapkan di pintu merajan (gerbang) kedua batang dadap
dihubugkan dengan tali hitam, daun talas yang berisi air dan ikan,
sebuah ceraken (bakul) yang berisi rempah-rempah, sebatang
bambu buluh runcing (gelanggang).
3. Utama (upakara besar) : byakala, peras, daksina, ajuman, 2 buah
banten suci, dewa-dewi, prayascita, bebangkit, panglukatan,
pagedong-gedongan, caru dipermandian, beberapa jenis sesayut,
tataban, membuat permandian (kalau upacara dilakukan di rumah),
dua buah cabang dadap ditancapkan di pintu merajan (gerbang)
kedua batang dadap dihubugkan dengan tali hitam, daun talas yang
berisi air dan ikan, sebuah ceraken (bakul) yang berisi rempahrempah, sebatang bambu buluh runcing (gelanggang).
Pada dasarnya pelaksanaan yajna tersebut tidaklah bergantung pada
besar dan kecilnya suatu upakara kan tetapi berdasarkan keikhlasan dan
kesucian hati dalam pelaksanaannya serta disesuaikan dengan desa, kala dan
patra di masing-masing tempat karena dalam pelaksanaannya memiliki
makna yang sama.
Menurut hasil wawancara pencerminan dari persembahan yang didasari
hati yang suci terdapat pada kitab Bhagavadgita Bab IX, sloka 26 yakni :
Patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati,
tad aham bhakty-upahrtham
asnami prayatatmanah.
Artinya:
“Siapaun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan
sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku
terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja,
2005: 239).”
dari penjelasan sloka dalam kitab Bhagavadgita Bab IX, sloka 26, seluruh
umat dapat melaksanakan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
51
dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali (I Wayan
Rudji, wawancara tanggal 25 Juni 2012).
Penjelasan beberapa upakara/banten magedong-gedongan:
1. Byakala adalah sejenis sesajen yang ditujukan kehadapan para
bhuta kala/kekuatan-kekuatan negatif, agar si ibu yang akan
diupacarai tidak diganggu dan upacaranya berjalan lancar.
2. Peras, Daksina dan Ajuman adalah nama-nama jenis sesajen yang
pada dasarnya berfungsi sebagai persaksian, dan ditujukan
kehadapan Bhatara Surya/Dewa Matahari, agar beliau berkenan
menyaksikan upacara yang akan diselenggarakan dengan tujuan
diberikan kekuatan supaya berhasil dan sukses (sebagai maksud
dari banten peras yaitu Prasida artinya berhasil).
3. Prayascita
adalah sejenis
penyucian/pembersihan
sesajen yang bertujuan sebagai
secara
rohani
terhadap
kekotoran-
kekotoran yang mungkin terdapat pada diri seseorang, khususnya
dalam upacara ini adalah pada diri si Ibu yang sedang hamil.
4. Pagedong-gedongan adalah sejenis sesajen yang berbentuk
gedong/kotak dibuat dari daun lontar yang didalamnya berisi
perlengkapan antara lain : beras, sebutir telur ayam, kelapa gading
yang masih muda digambari anak kecil, segulung benang, uang
kepeng 225 dilengkapi dengan jenis banten yang lainnya seperti
canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah. Semua
banten ini dialasi dengan kain yang baru putih dan kuning. Banten
pagedong-gedongan ini kiranya adalah merupakan simbolik dari
perut si Ibu yang berisi bayi lengkap dengan saudara-saudaranya
(Catur Sanak). Menurut Geriya (2004: 19) kepercayaan masyarakat
Hindu di Bali, janin yang ada di dalam kandungan dipelihara dan
dijaga oleh Sang Hyang Catur Bhuana yang siap dengan senjatanya
berupa bajra, gada, mentang nagapasa, dan cakra. Di samping itu,
kenyataannya janin perlu mendapat pemeliharaan dan penjagaan
dari 4 unsur yaitu :
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
52
a. Yeh Nyom (air ketuban) adalah merupakan cairan yang
melindungi si bayi terhadap sentuhan/ getaran dari luar.
b. Lamad/lamas adalah merupakan lemak yang membungkus
jasmani bayi.
c. Darah adalah yng mengedarkan makanan air dan lain-lain
sesuai dengan fungsi darah.
d. Ari-ari adalah merupakan tempat melekatnya tali pusat,
menyerap makanan dan lain-lain.
Adapun tujuan dari banten ini adalah untuk memohonkan agar si
Ibu dengan anak yang masih berada dalam kandungannya
mendapatkan pemeliharaan yang baik dan selamat, serta kelak pada
saat akan dilahirkan menjadi sempurna dan selanjutnya nanti dapat
berguna dalam kehidupan di masyarakat. Banten pagedongan ini
nantinya akan dibuka pada saat si Ibu melahirkan.
5. Suci adalah sejenis sesajen yang berfungsi sebagai persaksian,
ditujukan kehadapan Bhatara Surya, Bhatara Brahma, dan Bhatara
di Pamerajan/Sanggah Kemulan/Leluhur.
6. Sesayut adalah sejenis sesajen yang berfungsi yang macamnya
banyak antara lain : sesayut pamahayu tuwuh, tulus dadi dan
dirangkaikan dengan banten pengambyan yang fungsinya adalah
untuk memohonkan keselamatan, panjang umur, kandungannya
kuat/ tidak mengalami keguguran/abortus dan selamanya menjadi
baik dalam perkembangannya.
7. Sesayut Pamahayu Tuwuh merupakan sebuah aled/alas sesayut di
isi nasi penek (tumpeng) sebuah, rerasmen satu tangkih berisi
daging ayam panggang, buah-buahan, jajan, sampian nagasari,
penyeneng, canang genten, canang sari, dan sampian sesayut.
8. Sesayut Tulus Dadi merupakan sebuah aled sesayut di isi nasi
penek merah, rerasmen, ayam panggang dari ayam biying, jajan,
buah-buahan, tetebus benang merah, putih, hitam (Tri datu), jajan,
canang genten, canang sari, sega merah, sega hitam, sampyan
sesayut (rerasmen berisi kacang, saur, sambal, garam).
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
53
9. Sesayut Ketututan merupakan sebuah aled sesayut berisi nasi
tlompokan (penek tapak) disusuni kelapa disisir/parut, rerasmen,
rempah-rempah/basan ubad, kapur sirih masing-masing satu
bugkus kemudian dilengkapi jajan, buah-buahan, sampian ngasari,
canang genten, canang sari.
10. Pulagembal adalah sejenis sesajen yang fungsinya sebagai banten
ayaban/tataban. Banten ini ditujukan kehadapan Bhatara Gana
beserta Widyadara/Widyadari agar beliau berkenan menghindarkan
segala mara bahaya dan dapat menuntun ke arah yang selamat dan
sejahtera.
11. Dewa/dewi adalah sejenis sesajen yang melambangkan Hyang
Widhi sebagai Purusha dan Pradana (laki dan perempuan).
Fungsinya sebagai persaksian agar Beliau berkenan memberikan
restu untuk kesuksesan Yadnya yang telah diselenggarakan.
12. Bebangkit merupakan sejenis sesajen yang fungsinya sama dengan
pulagembal yaitu sebagai ayaban/tataban/suguhan simbolik mohon
berkah, yang ditujukan kehadapan Bhatara Durgha agar beliau
tidak memberikan pengaruh negatif kepada orang yang diupacarai.
13. Panglukatan adalah sejenis air suci/tirtha yang dimohonkan
kehadapan para Dewa, yang nantinya berfungsinya untuk
ngelukat/membersihkan/menyucikan
segala
dosa
dan
noda/kekotoran yang akhirnya menjadi suci.
Menurut hasil wawancara sarana upakara yang paling umum
digunakan oleh umat di Pura Aditya Jaya Rawamangun ini adalah Byakala,
Pejati, Prayascita, Pagedong-gedongan, Sesayut, Sesayut Pamahayu tuwuh,
Sesayut Tulus dadi, Sesayut Ketututan dan Caru/Nasi Mawong-wongan (Ida
Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012).
Bahan
pelengkap
dari
permohonan
tersebut
adalah
dengan
mempersembahkan upakara byakala kehadapan para bhuta kala, agar si Ibu
yang sedang hamil itu memperoleh keseimbangan fisik. Setelah itu
dilanjutkan dengan prayascita dengan memercikan tirtha pengelukatan yang
maknanya adalah untuk membersihkan serta menyucikan pikiran/rohani
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
54
terhadap kekotoran-kekotoran yang mungkin ada. Hal ini sangat perlu,
karena seorang ibu yang sedang hamil itu, perasaannya sedapat mungkin
supaya tetap bersih dan aman, sebab bila tidak maka hal ini akan dapat
berpengaruh terhadap bayi yang dikandungnya, serta kemudian diwarisi
dalam kehidupannya. Hal inilah kemudian dapat kita rasakan dari sifat dan
wataknya. Oleh sebab itu, pada seorang ibu yang sedang hamil tidak
diberikan berpikir serta berlaksana yang berat-berat/bukan-bukan, bila
diinginkan agar selamat.
Yajna inti sebagai simbolis dalam upacara magedong-gedongan ini,
adalah berupa banten pagedongan yaitu berbentuk sebuah kotak (gedong),
yang didalamnya telah disusun sarananya yang lengkap, hal ini adalah
merupakan simbolis dari perut si Ibu berisi bayi dengan saudara-saudaranya
yang disebut Catur Sanak.
Bila banten pagedongan itu dibuka dan diperhatikan isinya maka
dijumpai sebuah kelapa muda yang warnanya gading digambari dengan
seorang bayi/anak kecil, hal ini adalah simbolis dari bayi yang berada dalam
kandungannya, dan sebutir telur adalah simbolis dari jiwa si bayi yang masih
hidup, sedangkan sarana-sarananya yang lain adalah sebagai simbolis dari
saudara-saudaranya yang mengikutinya yaitu Catur Sanak (darah, air nyom,
lamas dan ari-ari). Banten pagedongan ini setelah upacaranya selesai
dilaksanakan, diletakkan diatas tempat tidur/dekat si Ibu tidur maksudnya
supaya si Ibu selalu dapat dijaga setelah si Ibu melahirkan barulah banten itu
dibuka (Makalah upacara pengrujakan dan magedong-gedongan, hal 14-15).
4.1.3 Pelaksanaan dan Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan)
Proses Pelaksanaannya atara lain:
1) Pelaksanaan Upacara Nista
a. Mabyakala dan prayascita boleh dirumah dan boleh di tempat
pendeta, Nyurya sewana/dihalaman natar.
b. Melukat dan mejaya-jaya oleh pendeta/sulinggih.
c. Sampai di rumah sembahyang pada Sang Hyang Guru di
merajan dilanjutkan metirta wangsuh pada.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
55
d. Natab banten magedong-gedongan dan lainnya di tempat
tidur/bale sumanggen.
2) Pelaksanaan Upacara Madia
a. Pengelukatan di sungai/permandian dengan cara:
-
Ibu hamil diantar ke sungai/permandian bertongkat
bumbung yang diikat dengan benang satu tukel dan benang
itu ujungnya dipegang oleh suaminya. (apabila permandian
di rumah, maka perjalanan ke pemandian diwujudkan
dengan mengelilingi tiga kali arah jarum jam/purwa daksina
tempat mandi tersebut.
-
Sesampainya di tempat pemandian menghaturkan banten
persaksian atur uning kehadapan Dewa Wisnu/Dewi
Gangga (bila di sungai) dengan menghaturkan pengeresikan
diteruskan juga pengresikan itu kepada Ibu hamil.
-
Dilanjutkan mesegeh cacahan.
-
Ibu hamil lalu mandi, mencuci rambut (Ibu hamil pada saat
mandi tetap menggunakan baju).
-
Setelah selesai mandi lalu berganti pakaian dilanjutkan
sembahyang kehadapan Dewa Surya, Dewa Wisnu/Dewi
Gangga.
-
Mohon pengelukatan
b. Dalam perjalanan pulang dari pemandian bertongkat bungbung
seperti tadi.
c. Sampai di rumah mabyakala dan prayascita di halaman
rumah/halaman merajan.
d. Suami istri mengelilingi cabang dab-dab yang dipancangkan
dikanan-kiri pintu gerbang merajan menghadap keluar yng
dihubungkan dengan benang hitam satu tukel. Dalam
mengelilingi tersebut si perempuan menjunjung ceraken,
tangan kanan menjinjing daun kumbang berisi air dan ikan.
Sedangkan sang suami tangan kirinya memegang benang dan
tangan kanan menusuk-nusuk daun kumbang tadi dengan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
56
bungbungan sampai ikan tumpah ; waktu mengelilingi cabang
dap-dap tadi sajen segehan diperciki tirta oleh pemimpin
upacara dipersembahkan kepada bhuta kala agar tidak
menggoda. Menurut hasil wawancara hal ini sebagai simbol
agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan baik (Ida
Pedande Gede Panji Sogata, wawancara tanggal 5 Juli 2012).
e. Dilanjutkan sembahyang kehadapan Hyang Guru terutama oleh
sang suami agar kandungannya selamat tanpa godaan sampai
lahirnya selamat.
f. Melukat mejaya-jaya oleh pendeta/sulinggih.
g. Natab banten magedong-gedongan/tataban.
3) Pelaksanaan
Upacara
Utama
pada
prinsipnya
upacara
simantonayana (magedong-gedongan) tingkat madia dan utama
memiliki pelaksanaan upacara yang sama yang membedakan
adalah keberadaan banten suci, dewa-dewi, bebangkit, dan banten
caru dipermandian pada pelaksanaan upacara simantonayana
(magedong-gedongan) tingkat utama. Demikian halnya yang
diungkapkan oleh Ida Pedande Gede Panji Sogata dalam
wawancarannya dengan peniliti pada tanggal 5 Juli 2012 yang
menyatakan bahwa banten suci, dewa-dewi, bebangkit, dan banten
caru dipermandian hanya digunakan pada tingkatan upacara utama.
4) Mantram Magedong-gedongan
Om Sang Hyang padaku Ibu Pertiwi Bhatari Gayatri, Bhatari
Savwitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep, Bhatari
Angukuhi, Bhatari Kandang Kasih, Bhatari Kamajaya-Kamaratih
makadi Widyadara Widyadari, Kuranta Kuranti samudaya, iki
tadah saji aturan manusanira si …(nama yang bersangkutan)
ajaken sarongwangan ira amangan anginum, menawi ana
kirangan kaluputan ipun den agung ampuranen manusanira,
mangke ulun aminta nguraharing sira den samuha aja sira
angedonging, angancingin muwang anyangkalen, uwakakena
selacak dana, anakan denipun den apekik, dirgayyusa yowana
weta urip tan ana saminaksan ipun. Om Siddhirastu swaha.
Artinya :
“Om Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Bhatari
gayatri, Bhatari Sawitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari
Kedep, Bhatari Angukuhi, Bhatari Kandang Kasih, Bhatari
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
57
Kamajaya-Kamaratih makadi Widyadara Widyadari, Kuranta
Kuranti kesemuanya silahkan menikmati persemahan hamba-Mu si
…. (nama yang ber-upacara), sertakan semuanya menikmati
makanan-minuman, seandainya ada yang kurang karena kelupaan
olehnya, mohon dimaafkan hamba-Mu, hamba mohon
waranugraha-Mu, janganlah dikekang, dikunci, maupun dicederai
Hyang Widhi semoga tidak mendpat halangan, bukakanlah pintu
rahim agar keluar dengan selamat, hidup panjang umur dan tiada
halangan, semoga permohonan hamba terpenuhi (Sujana, 2010:
3)”.
Dalam penggunaan mantram magedong-gedongan tidak ada perbedaan
penggunaan dalam upacara tingkat nista, madya, maupun utama. Hal ini
juga ditegaskan oleh Ida Pedanda Gede Panji Sogatadalam wawancara yang
dilakukan peneliti pada tanggal 5 Juli 2012.
Di dalam kitab suci Veda dijumpai pula mantra yang berkaitan dengan
Upacara Simantonayana. Berikut sebuah mantra yang berkaitan dengan
upacara tersebut :
Rakamaham suvaham sustuti huve srnoti nah
subhaga bodhatu tmana,
sivyatvapah sucya-cchidyamanaya dadatu viram
sata dayamukthayam.
(Rgveda: II. 32. 4)
“Saya sebagai seorang suami dengan sopan dan bahasa yang lemah
lembut, memanggil istriku yang bercahaya bagaikan bulan purnama.
Demikian pula halnya yang telah mendengarkan kata-kata kami dan
menerima keinginan kami dalam hati yang tulus ikhlas. Seperti halnya
jarum yang menjahit kain tebal, demikian juga dengan istriku yang
menjalankan tugas Grhastha sehari-hari dengan baik. Seperti halnya
seorang istri yang melahirkan anak yang dapat menolong dunia dengan
ratusan tangan dan mendapatkan pujian dari masyarakat. Semoga lahir
putra yang kuat agar nanti dapat menyumbangkan kemampuannya untuk
masyarakat.”
Walaupun masing-masing sarana atau upakara magedong-dedongan
tersebut telah mengandung arti dan bahasa sendiri, namun di dalam
pelaksanaan upacara magedong-gedongan ini perlu pula di sertai dengan
manta-mantra. Karena pemujaan dan permohonan kepada Tuhan yang
disertai dengan puja mantra atau doa maka upakara-upakara yang
dipergunakan dalam upacara magedong-gedongan tersebut menjadi lebih
sempurna dan tujuan yang ngin dicapaipun akan lebih sempurna pula.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
58
Di dalam pelaksanaan upacara yajna tentu disertai dengan mantra.
Menurut Dr.L.R. Chawdhri (2003: 97), mengatakan bahwa mantra adalah
sebuah pola gabungan kata-kata bahasa veda yang diidentikkan dengan
Dewa atau Dewi tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang adalah warisan
yang didapatkan dari para maha Rsi, orang suci, sadhu dan yogi yang telah
mempraktekan berbagai mantra itu selama ribuan
tahun, kini dapat
menuntut kita untuk mengikuti jejak ajaran beliau. Mantra adalah sejumlah
huruf, kata yang dijadikan satu. Mantra juga digunakan dalam Sadhana
Tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau diulang-ulang dalam berbagai
macam kombinasi dan konteks, yang kemudian membuat pola variasi
tertentu. Seseorang harus belajar untuk mengucapkannya dengan benar dan
juga harus memahami artinya. Hindu meyakini adanya Dewa, kesehatan
yang baik, nasib baik dan kemenangan atas musuh bisa dicapai dengan
mengucapakan mantra tertentu. Menurut Purana, Sastra, dan para maha rsi,
mantra adalah salah satu-satunya jalan untuk mendapatkan pemenuhan
keinginan, asalkan seseorang mengucapkannya dengan penuh keyakinan,
sesuai dengan metode dan aturannya. Pengucapan kata-kata yang terdapat
dalam mantra hendaknya diucapkan penuh dengan kemurnian dan benar
untuk bisa menciptakan vibrasi yang baik.
Adapun yang dimaksud dengan upacara dalam kandungan ini adalah
upacara yang dilaksanakan pada saat bayi masih berada dalam kandungan
ibunya. Gedong disini berarti kandungan. Kehamilan itu telah mulai terjadi
sejak bertemunya kamajaya ( sperma) ayah dan kamaratih (sel telur) dari
ibu. Selanjutnya mengenai pelaksanaan Upacara Magedong-gedongan ini,
menurut Lontar Eka Pratama Dahrma Kauripan dalam Awanita, (2008:73)
menguraikan :
tingkah pamahayurare ring jero weteng, yan sampuan tutug ulaning
bobobt, watara kurang malih 10, tiwin, 15 dina prajaniamijil, yogya
apagedongan kang bobotan rihin “, artinya : “tata cara memohonkan
keselamatan bayi yang masih dalam kandungan, adalah apabila hamil
lahirnya kandungan, kurang lebih sepuluh atau limabelas akan lahirnya
, seharusnya kandungan itu dibuatkan upacara Magedong-gedongan
terlebih dahulu.”
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
59
Mengenai waktu pelaksanaan upacara tersebut tidak terikat terhadap
waktu seperti tersebut di dalam kitab Manawa Dharmasastra Bab II sloka 15
halaman 64-65 menjelaskan :
Atra trstantamaha
Udite’ nudeta ca caiwa
samayadhyusite tatha
sarwatha wartate yajna
itiyam waidiki crutih.
Artinya:
“Dengan demikian misalnya, suatu upacara korban dapat dilaksanakan
pada saat-saat apa saja setelah matahari terbit, sebelum terbit atau pada
waktu tidak ada matahari ataupun binatang-binatang yang nampak,
semua ketentuan ini disebut-kan oleh ajaran Veda.”
Dari pengertian tersebut di atas maka setiap upacara yang ada di dalam
Agama Hindu, demikian pula dengan upacara simantonayana atau yang
lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu
pada masyarakat adat Bali pelaksanaannya bebas dalam arti waktunya akan
tetapi tetap melihat situasi dan kondisi pada saat pelaksanaan.
Upacara mangedong-gedongan dilakukan setelah kandungan berumur
lima bulan(enam bulan kalender), sebelum bayi itu lahir. Kehamilan yang
berumur di bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi itu belum sempurna
dan tidak boleh diberi upacara Manusa Yajna. Kehamilan yang berumur di
bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh
diberi upacara Manusa Yadnya. Di dalam Manawa Dharma Sastra, pada
bagian keterangannya menyebutkan bahwa “Sarira Samskara” yaitu
penyucian badan yang disebut upacara garbhadana, yang dilaksanakan
sebelum upacara magedong-gedongan. Upacara ini mendahului magedonggedongan, atau upacara waktu hamil besar.
Setiap upacara keagamaan dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan
tertentu. Demikian pula upacara magedong-gedongan yang dilakukan
terhadap bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, juga mempunyai
tujuan tertentu. Tujuan pelaksanaan upacara magedong-gedongan adalah
memohon keselamatan si ibu dan anaknya yang akan lahir serta mohon
pencucian segala dosa yang telah diperbuat.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
60
Dari rangkain pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih
dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada
masyarakat adat Bali diharapkan agar kandungan si ibu tidak mengalami
keguguran (brunaha), seperti disebutkan pada buku Kanda Pat Rare dalam
Ramayanti (2003:60) sebagai berikut :
“Di dalam garbha sang bayi ditunggu juga oleh Sang Hyang Catur
Bhuana. Sang Hyang Catur Bhuana menjaga dengan siap siaga
bersenjatakan bajra, gada, nagapasa, dan cakra. Di dalam ibu sedang
mengandung banten yang digunakan ialah banten byakala,
pagedongan, sesayut pengambeyan dan canag daksina. Upacara ini
untuk maksud lahiriah memperkuat kedudukan kama reka (janin) di
dalam kandungan agar tidak gugur (brunaha) dan rohaniahnya
diharapkan agar Sang Kamareka nantinya menjadi kuat (Bendesa K.
Tonjaya, 1981: 5).”
Dalam salinan Lontar Eka Pratama Dharma Kauripan dalam Awanita
(2008:75), disebutkan :
Munggah ring wdhi sastra agama, saking pewarah Ida Bhatara Siwa
Dharma ring para loka, buat separi tinghaking dadi jatma, wantah
misadiayang rada sarira memanggih tur memukti dharma patut ring
jagate, yarian ring pewargi mangda terang antargalang spading.
Mangda tatas uning ring tingkapisadiayang pisan ngupakara rarene
saking ngawit kantun ring jeroning garbha; Bilih sunya polih yusa
panjang, mangda uring ring ula bawa laksana patut, miwah tatwatatwa caritra, uning ring kaon recik manjadma ngontos kapejahannya
dlaha. Sapunika danging pawarah-warah Ida Bhatara Dharma’,
artinya : “terdapat pada Widhi Sastra Agama ,Sabda dari Ida Bhatara
Siwa Darma dari sorga, untuk semua manusia, yang menyebabkan
tubuh mencapai dan mendapatkan keselamatan, agar memperoleh
kebaika, merupakan kewajiban dalam hidup ini, sehingga tercapai
jalan yang terang tampa rintangan. Agar diketahui dengan pasti adanya
dunia dan tata cara menjelma oleh karenanya agar di usahakan sekali
membuat upakara terhadap bayi sejak dalam kandungan. Supaya
mendaatkan umur panjang, supaya tahu dengan prilaku yang benar dan
filsafat-filsafat ceritra, tahu tentang baik buruk menjadi manusia
sampai pada kematiannya. Begitulah isi sabda dari Ida Bhatara Siwa
Dharma”.
Demikianlah hendaknya sebagai orang tua agar diusahakan adanya
keselamatan bayinya dari sejak ada di dalam kandungan dan memeliharanya
dengan baik agar kelak tumbuh menjadi anak yang normal, selamat dan
sehat lahir bathin. Melalui upacara magedong-gedongan tersebut, memiliki
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
61
makna agar kelak anak yang lahir menjadi anak suputra, dapat berguna bagi
masyarakat dan Negara serta dapat memenuhi segala harapan orang tuanya,
memiliki budi pekerti yang luhur, pandai bijaksana dan dihormati oleh
semua orang.
4.2 Hubungan Antara Upacara Simantonayana (magedong-gedongan) dalam
Upaya Melahirkan Anak Suputra
Keluarga berarti sanak saudara, kaum kerabat; orang seisi rumah; dan
berarti pula anak bini. Istilah keluarga ini berasal dari bahasa Sansekerta,
dari kata “kula” artinya keturunan dan dalm bahasa Jawa Kuno berarti : saya
, hamba atau abdi; dan kata “warga” artinya jalinan atau ikatan. Istilah lain
juga mengatakan bahwa kata keluarga berasal dari kata “kaula” dan
“warga”. Kaula berarti abdi dan warga berarti kelompok yang berada dalam
suatu ikatan suami, istri, anak, keluarga besar, masyarakat dan bangsa
(Awanita, 2008:2). Dengan demikian keluarga berarti pengabdian seseorang
kepada orang lain yang masih dalam satu ikatan.
Kata “suami” dalam bahasa sansekerta berarti master dominion, lord
(yang dipertuan, penguasa, pelindung). Sedngkan kata “istri” berasal dari
kata “stri”, yang artinya pemberi kasih. Selanjutnya yang disebut anak atau
putra sesungguhnya bukan hanya berarti anak laki-laki, tetapi juga anak
perempuan. Kata “putra” berasal dari kata “neraka put” yang artinya
penyelamat dari neraka. Anak laki-laki dalam bahasa sansekerta disebut
“suta”. Anak perempuan disebut juga wanita, yang berasal dari urat kata
“wan” artinya yang dikasihi. Suami itu disebut “pati” dan istri disebut
“patni”. Pati dalam bahasa sansekerta artinya “pemilik, penguasa, tuan atau
raja”. Sedangkan “patni” artinya “istri” atau “permaisuri”. Pertemuan pati
dengan patni ini lahirlah manusia yang mengisi kehidupan di dunia ini
(Awanita, 2008:3).
Gambaran adanya kedudukan, peranan dan fungsi suami, istri dan anak
dalam mewujudkan suatu fungsi keluarga dalam kehidupan grhasta, terjadi
setelah dimulainya suatu keluarga baru, yang pada saat itu juga mereka
(suami-istri) berkewajiban melakukan dharmanya (tugasnya), baik sebagai
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
62
suami, maupun yang sebagai istri. Inti keluarga Hindu yang sempurna
adalah memiliki :
1) Tempat tinggal tersendiri, terpisah dari orang tuanya;
2) Mempunyai tempat sembahyang sendiri sebagai sanggar tempat
pemujaan, yang merupakan “agni homa” di mana keluarga baru
diharapkan harus mempunyai tempat pemujaan, yang dikenal
dengan Kemulan atau Sanggar Tiga Ruang (rong tiga/telu) sebagai
perlambang asal mula dan diibaratkan sebagai stana Sang Hyang
Tiga, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara;
3) Mempunyai anak (keturunan) terutama yang dikenal dengan
suputra (Awanita, 2008:3).
Pada saat terbentuk keluarga, dan telah diterima sebagai anggota yang
penuh, maka tugas dan kewajiban sebagai keluargapun harus dijalankan.
Mereka berkewajiban melakukan upacara untuk menjamin keselamatan
hidup keluarganya, memohon perlindungan dan berkah dari para dewata
yang dapat menjaga keselamatan rumah tangga. Suami istri dalam suatu
keluarga wajib melaksanakan atau menjalankan Panca Maha Yajna, yaitu
Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna dan Bhuta Yajna.
Pelaksanaan Panca Maha Yajna ini bertujuan agar mereka yang hidup dalam
keluarga terbebas dari segala dosa akibat perbuatan-perbuatannya yang
terjadi sebelum dan setelah mereka berumah tangga. Pelaksanaan Panca
Maha Yajna ini merupakan suatu kewajiban yang mutlak diperhatikan dan
dikerjakan dengan penuh keyakinan.
Bila kita memperhatikan berbagai upacara (ritual) sejak perkawinan
sampai dengan kematian dan setelah kematian seseorang, nampak proses
upacara yang berlangsung terus-menerus. Pelaksanaan upacara, khususnya
upacara berkenaan dengan siklus hidup yang di India disebut “Sarira
Samskara” atau “Vidhi-vidhana”, yang secara traditional di Bali disebut
upacara “Manusa Yajna”.
Upacara-upacara
“Sarira
Samskara”
seperti
diuraikan
secara
mendalam oleh Rajbali Pandey dalam Titib (2003:45) meliputi : saat
prenatal (bayi dlam kandungan) yang terdiri dari Garbhadhana (konsepsi),
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
63
Pumsavana dan Simantonayana, saat postnatal (setelah kelahiran bayi)
terdiri dari : Jatakarma, Namakarana, Niskramana, Annaprasana, Mudana,
Chudakarana, dan Karnavedha, saat mengikuti pendidikan baik formal
maupun informal, meliputi : Vidyaramba, Upanayana, Vedaramba dan
Samawartana, upacara ini berakhir dengan Vivaha, ketika seseorang sudah
memasuki masa Grhasthasrama atau hidup berumah tangga. Penjelasan
upacara-upacara tersebut ialah:
1) Garbhadhana Samskara, upacara ini adalah upacara konsepsi,
pembuahan atau penghamilan (membuat istri menjadi hamil) untuk
memperoleh benih yang baik.
2) Pumsavana Samskara, upacara ini adalah upacara yang dilakukan
pada saat kehamilan tersebut berumur dua atau tiga bulan agar ibu
memperhatikan bayi di dalam kandungan.
3) Simantonayana Samskara , upacara ini dilakukan pada saat
kehamilan jatuh pada bulan ke empat atau bulan ke delapan
dilakukan demi perkembangan mental bayi.
4) Jatakarma Samskara, upacara ini dilakukan saat bayi telah lahir
untuk memohon kecerdasan dan budhi pekerti yang luhur serta
lingkungan yang baik.
5) Namakarana Samskara,upacara ini adalah upacara pemberian
nama kepada bayi yang baru lahir dan dilakukan pada hari ke-10
atau ke-12, ke-100 hari atau paling lama setelah setahun dari
kelahiran agar sang anak memperoleh kemashyuran dari namanya.
6) Niskramana Samskara ,upacara ini adalah upacara untuk pertama
kali seorang anak (bayi) boleh keluar dari rumah yang
dilaksanakan pada bulan ke-3 atau ke-4 dari kelahirannya agar sang
anak mendapatkan udara segar dan cahaya matahari.
7) Annaprasana Samskara,adalah upacara pemberian makanan yang
agak keras (padat) untuk pertama kalinya dilaksanakan pada saat
anak berusia 6 bulan untuk melatih anak agar menjadi mandiri.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
64
8) Chudakarana Samskara / Mudana Samskara,upacara pemotongan
rambut yang dilaksanakan pada saat anak berusia 6 sampai 7 bulan
menandakan sang anak memperoleh ketenangan.
9) Karnavedha Samskara, upacara tindik, menusuk kedua daun
telinga anak yang dapat dilakukan pada hari ke-10, 12 atau ke-16
menurut Brhaspati, sedangkan menurut Katyayana Sutra upacara
ini sebaiknya dilaksanakan pada hari yang baik ketika anak
mencapai umur 3 atau 5 tahun agar sang anak memperoleh
perlindungan.
10) Vidyaramba Samskara, upacara persiapan untuk memperoleh
pendidikan,
terutama
pendidikan
budhi
pekerti
dengan
memperkenalkan huruf dilaksanakan pada tahun ke-5 dari
kelahiran anak.
11) Upanayana Samskara,upacara bagi seorang anak yang mulai
memasuki masa brahmacari.
12) Vedaramba Samskara,upacara mulai mempelajari kitab suci Veda
yang berarti mulai menerima atau mempelajari pengetahuan dari
seorang guru. Upacra ini dilaksanakan pada hari yang baik, setelah
upacara upanayana.
13) Samawartana Samskara, upacara yang dilakukan setelah seorang
brahmacari berhasil menamatkan masa belajarnya.
14) Rajasawala dan Mapandes, ditujukan kepada anak-anak yang
mulai memasuki usia dewasa. Maksud dari upacara ini adalah
memohon kepda Tuhan Yang Maha Esa, agar anak-anak dapat
mengendalikan dirinya.
15) Vivaha Samskara,upacara perkawinan
16) Vanaprastha Samskara,pelepasan diri dari ikatan keduniawian.
Jenis-jenis upacara manusa yajna dalam Agama Hindu khususnya
pada masyarakat adat Bali antara lain ialah:
1) Upacara Magedong-gedongan, upacara ini dilakukan ketika
kandungan berusia 7 bulan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
65
2) Upacara Kelahiran (Jatakarma Samskara), upacra ini ditujukan
bagi bayi yang baru lahir. Upacara ini mengandung makna sebagai
ucapan angayubagia atas kelahirannya di dunia.
3) Upacara Kepus Puser, adalah upacara yang dilakukan pada saat
puser bayi lepas (kepus).
4) Upacara Ngelepas Hawon (Namadheya Samskara), upacara yang
dilakukan setelah bayi berumur 12 hari pada saat ini sang anak
diberi nama (namadheya).
5) Upacara Tutug Kambuhan (42 hari), upacara ini dilakukan ketika
bayi berumur 42 hari, bertujuan untuk pembersihan lahir bathin
untuk bayi dan ibunya, dan untuk membebaskan si bayi dari
pengaruh-pengaruh negatif (mala).
6) Upacara Bayi Umur 3 Bulan (Nyambutin), upacara penyucian
yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari.
7) Upacara Satu Oton (Wetonan), adalah upacara yang dilakukan
setelah bayi berumur 210 hari. Upacara ini bertujuan untuk
menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang
terdahulu,
sehingga
dalam
kehidupan
sekarang
mencapai
kehidupan yang lebih sempurna.
8) Upacara Ngempugin (Tumbuh Gigi), adalah upacara yang
dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini
bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.
9) Upacara Makupak (Tanggal Gigi), upacara ini bertujuan
mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
10) Upacara Rajaswala (Menginjak Dewasa), adalah upacara yang
dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini
bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang Smara Ratih aar
diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi yang
bersangkutan.
11) Upacara Mapandes (Potong Gigi), adalah upacara yang bertujuan
untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada dirinya.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
66
12) Upacara Wiwaha (Perkawinan), adalah upacara persaksian
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa
kedua orang yng bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai
suami istri dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatannya
menjadi tanggung jawab mereka bersama.
Susunan upacara penyucian diri di Bali dan di India tidaklah sama.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya memiliki makna yang sama yakni demi
melakukan
penyucian
diri
pada
manusia
sehingga
memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Untuk itu hendaknya dilaksanakan
setiap penyucian diri manusia tersebut sesuai dengan desa, kala dan patra
pada setiap tempat. Upacara prenatal umumnya hanya ada upacara
”magedong-gedongan”
di
Bali
yang
sama
maknanya
dengan
“simantonayana” di India.
Dalam menjawab masalah kedua dalam penelitian ini penulis
menggunakan teori perkembangan karena dapat dikatakan bahwa janin
berumur tujuh bulan sudah sempurna sehingga dikatakan telah dapat
menerima rangsangan dari luar sesuai dengan pernyataan yang ada dalam
buku manusa yajna upacara magedong-gedongan ini dilaksanakan ketika
bayi sedang berada dalam kandungan dan diupacarai setelah mencapai umur
175 hari (5 bulan Bali).Hal ini disebabkan, karena pada umur tersebut
keadaan bayi sudah dianggap mempunyai wujud yang sempurna dalam arti
organ tubuhnya sudah berbentuk, walaupun keadaannya masih kecil, yang
masih memerlukan waktu beberapa saat lagi untuk kesempurnaannya.
Upacara inilah yang dimasukkan sebagai upacara yang pertama dalam
manusa yajna.
Perlu diketahui bahwa pelaksanaan upacara magedong-gedongan ini
harus dapat dilakukan dengan sebaik- baiknya, penuh dengan kesucian dan
ketulusan hati. Ada suatu anggapan bahwa bayi mempunyai suatu indra
yang berbeda dengan orang dewasa. Dia mampu menangkap getara jiwa
kita; kesucian dan ketulusan atau kecurangan atau kebencian yang
kerkandung di dalam kalbu kita. Oleh karena itu, maka upacara magedonggedongan ini harus dilakukan dengan penuh keyakinan, penuh ketulusan,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
67
penuh cinta kasih terhadap mereka yang akan diupacarakan. Ketika bayi
masih berada dalam kandungan ibunya, segala getaran jiwa dan perasaan si
ibu memberikan rangsangan dasar-dasar perwatakan terhadap anak yang
akan dilahirkan. Itulah sebabnya bayi yang masih ada dalam kandungan
ibunya sangat sensitif terhadap perasaan dan getaran jiwa yang dirasakan
pleh si ibu yang mengandungnya.
Wanita yang sedang hamil harus menjaga dirinya dengan baik supaya
selalu terbina kesehatannya. Karena itu dia hendaknya menghindarkan diri
dari segalah sesuatu yang melampui batas-batas tertentu, seperti bekerja
keras, terlalu bebas memenuhi hawa nafsunya dan lain-lain. Bahaya yang
sering ditimbulkan oleh adanya pelanggaran ini adalah keguguran
kandungan atau yang sedikit banyak dapat menggagu keadaan bayi yang ada
di dalam kandungan. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil hendaknya
tidak mengangkat barang yang berat-berat, lari yang kencang-kencang atau
mengambil pekerjaan lain yang dapat menggangu keadaan kandungannya.
Ada juga beberapa kepercayaan kita, tentang apa yang tidak patut
dilihat dan dikerjakan oleh seorang ibu yang sedang mengandung. Dia harus
mendengarkan nasehat-nasehat para orang tua, di antaranya tidak
menertawai orang yang cacat, sebab nanti anak yang dikandungnya, setelah
lahir bisa cacat pula seperti orang yang ditertawainya karena cacat itu.
Sering kita dengar, bahwa seorang ibu yang sedang mengandung jika
terperancat atau takut kepada binatang yang dilihatnya, takut kepada orang
atau terhadap barang yang dashyat, maka anak yang dikandungnya itu akan
menyerupai apa yang dilihatnya tadi. Demikian pula, ibu yang sedang hamil
di anjurkan agar tidak berkata-kata kasar, seperti menfitnah, berbohong dan
lain sebagainya. Juga tidak berfikir buruk kepada orang lain, misalnya
mempunyai perasaan dengki, iri hati, marah dan benci kepada sesama
makhluk dan lain sebagainya.
Didalam sastra hindu disebutkan beberapa paberatan atau pantangan
bagi wanita yang sedang hamil, adalah: (1) Wakcapala artinya tidak berkata
yang kasar. (2) Wakpurusa artinya tidak berkata bohong, (3) Tidak
menyembah mayat atau sewa, dan (4) tidak mendukung tirtha pengetes.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
68
Semua paberataan (pantangan) ini dapat memepengaruhi keadaan janin yang
sedang dikandungnya itu. Dianjurkan tidak berpikir, berkata dan berbuat
yang tidak wajar, serta agar senang mendengarkan nasehat-nasehat dari
suami atau dari orang-orang yang mengetahui pemberataan wanita yang
mengandung. Suka membaca caritra kepahlawanan, membaca dan meretapi
isi kitab suci Veda yang isinya oenuh dengan kesucian dan keluhuran.
Dalam salinan Lontar Eka Parata Dharma Kauripan dalam Awanita
(2008:53) menguraikan :
Sekantun rarene sajroning garbha, sang mobot patite astiti pisan, saha
maberata nyuci, tan amati-mati, akrodha, tan iri, yan uning memawos
tatwa-tatwa”, artinya :”semasih bayi itu ada di dalam kandungan ibunya,
sang mengandung harus dijaga atau dipelihara, serta mengusahakan ada
kesucian, tidak melakukan pembunuhan, tidak marah, tidak iri dan dengki,
jika tahe bacalah tatwa-tatwa (filsafat).”
Adapun filsafat yang dimaksud di sini adalah filsafat agama yang
mengajarkan tentang kebenaran, seperti yang tercantum di dalam buku –
buku Agama
misalnya
Manawa
Dharma Sastra,
Bhagavad Gita,
Sarassamuccaya dan pengetahuan tentang Aji Asrama Gama, seperti Lontar
Smara Krida Laksana, Roekmini Tatwa, Aji Dresti Lokakreti, Rahasya
Sanggama, Keputusan Dasa Bayu, Dharma Kauripan dan lain-lain (Awanita,
2008:53)
Di samping pemberataan tersebut di atas, juga sering kita perhatikan
kebiasaan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sedang hamil yaitu
pergi ke pantai atau kesumber air lain untuk mengadakan pembersihan.
Pembersihan cara ini menurut kepercayaan Hindu dianggap dapat
membersikan dirinya dan bayi yang dikandungnya dari segalah kotoran atau
keletihan. Mengenai air laut yang merupakan timbunan dari sampah-sampah
yang dialirkan oleh sungai-sungai mengandung berjenis-jenis mineral
segalah kotoran dunia, dimana dapat kita bayangkan bahwa sejak berjutajuta pulalah segala kotoran itu dilebur di laut. Oleh karena itulah maka air
laut disebut pelebur sarwa mala. Pelaksanaan pembersihannya itu, dipilihlah
hari-hari tertentu yang dianggap baik, seperti yang disebutkan di dalam
salinan Lontar Eka Pratama Dharma Kauripan dalam Awanita (2008:54)
yaitu :
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
69
Sekantun rarene jeroning garbha, sang mobot patite astiti pisan,
metirtha, meningning, satunggil, rerahinan: Purnama, tilem, Budha
Leliwon, Tumpek, Anggara Kasih, artinya: “Semasih bayi berada
dalam kandungan, sang mengandung harus berdoa terus,
membersihkan diri setiap hari suci Purnama, Tilem, Budha Kliwon,
Tumpek, Anggara Kasih.”
Menurut hasil wawancara ibu yang sedang hamil hendaknya selalu
bangun pagi, melaksanakan persembahyangan, bertutur kata yang baik,
berfikir positif, dan melaksanakan anjuran dokter sebab apa yang dimakan,
difikirkan dan diperbuat seorang ibu akan memberikan pengaruh pada bayi
yang di kandungnya (Ida Ayu Kadek Iva Rahayu, wawancara tanggal 30
Juni 2012).
Bayi tergantung sepenuhnya kepada ibu yang secara naluriah
mempunyai rasa kasih sayang, cinta dan kemesraannya dalam membimbing
dan memelihara perkembangan bayinya. Untuk dapat memberikan cinta dan
kasih sayang kemesraan itu, seorang ibu harus merasa bahagia dalam
hidupnya. Sebab hanya ibu yang bahagia dapat memberikan rasa aman,
simpati dan kasih sayang yang mesra terhadap anaknya. Karena itu seorang
ibu yang sedang mengandung agar betul-betul memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan dirinya sehingga persaannya tetap dalam kondisi yang
baik.
Sikap suami pada saat istrinya mengandung dan sesudah melahirkan
harus bijaksana, selalu membantu dan mencarikan segala sesuatu untuk
kebutuhan istrinya. Penting bagi seorang suami ia harus menjaga perasaan
istrinya yang sedang mengandung tetap tentram dan sejahtera serta tidak
menimbulkan kecurigaan atau kecemburuan. Seorang suami harus tetap
cinta dan setia kepada istrinya. Sungguh sangat bijaksana seeorang suami
yang mau
Selain itu, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, sensitif
pula terhadap lingkungan yang mempengaruhinya. Janin (bayi) semasa di
dalam kandungan, perkembangan jasmani dan mentalnya dapat dipengaruhi
oleh rangsangan-rangsangan luar. Karenanya, perlu dilakukan upacara bayi
dalam kandungan, dengan tujuan untuk membina jasmani dan rohani
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
70
kamareka, agar kelak setelah lahir dan dewasa, dapat menjadi manusia
yang sempurna, berbudi pekerti yang luhur, cerdas dan berbakti.
Kesensitifan bayi di waktu masih dalam kandungan mulai usia 4-5
bulan ini, hendaknya diberikan sentuhan perasaan yang tulus dan suci.
Karena pada umur inilah bayi paling mudah untuk menerima rangsangrangsang dari luar dan sudah sepatutnyalah dilaksanakan pembinaan
perkembangan jiwanya secara sekala dan niskala sehingga nantinya dapat
melahirkan anak yang baik (suputra).
Di dalam Kitab Nitisastra dalam bentuk Kakawin Sargah XII
Smaradhahana menjelaskan lebih mendalam mengenai pentingnya
memiliki anak suputra yakni :
Padaning ku-putra taru çuska tumuwuh i ri madhyaning wana.
Maghasagerit matemah agni sahana-hananing halas geseng. Ikanang
su-putra taru candana tumuwuh i ring wanantara. Plawagoraga
mrega kaga bhramata mara riya padaniwi.
Artinya:
“Anak yang jahat sama dengan pohon kering ditengah hutan. Karena
pergeseran dan pergesekan, keluar apinya, lalu membakar seluruh
hutan. Akan tetapi anak yang baik sama dengan pohon cendana yang
tumbuh didalam lingkungan hutan. Kera, ular. Hewan berkaki empat,
burung dan kumbang datang mengerubunginya.”
Dapat kita ketahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara
pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara
magedong-gedongan dalam Agama Hindu adat Bali dalam upaya
melahirkan anak suputra.
Menurut hasil wawancara pelaksanaan upacara ini memiliki hubungan
yang sangat erat karena dari proses pembuatan banten sampai pelaksanaan
serta pengucapan mantra-mantra suci dalam upacara ini mengharapkan agar
sang bayi dapat menerima keseluruhan rangkaian upacara tersebut dengan
baik
dari dalam kandungan karena di dalam sastra suci Hindu dan
perkembangan bayi pada saat usia 4-7 bulan sudah dapat menerima respon
dari luar kandungan (Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni
2012).
Menurut hasil wawancara memang tidak secara mutlak bahwa anak
yang pada saat dalam kandungan dilakukan upacara magedong-gedongan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
71
kemudian dia akan menjadi anak yang sangat baik. Tentunya hal tersebut
bukan menjadi sebuah jaminan akan tetapi kembali lagi kepada penanaman
pendidikan untuk si anak kelak. Namun, dalam upaya untuk membuat anak
tersebut suci dan menjadi anak yang suputra haruslah dilaksanakan upacara
seperti magedong-gedongan dan dilandasi keyakinan orang tua terlebih
upacara terebut memang ada dan dijelaskan dalam ajaran Agama Hindu (Ida
Ayu Kadek Iva Rahayu, wawancara tanggal 30 Juni 2012).
Dalam Kitab Manawa Dharmasastra Bab II sloka 6 dan 9
menyebutkan :
Idanim dharma pramananyaha
wedo’khilo dharmamulam
smrtiçile ca tadwidam
acaraçcaiwa sadhunam
atmanastutiewa ca.
Artinya :
“Seluruh pustaka suci weda adalah sumber pertama dari pada Dharma
kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orangorang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata
cara perikehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan dari
pribadi (Pudja dan Sudartha, 2002: 62)”.
çruti smrtyudita dharma
manutisthanhi manawah,
iha kirtimawapnoti pretya
canuttamam sukham..
Artinya :
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustakapustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapat
kemasyuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan
tak terbatas/tak ternilai (Pudja dan Sudartha, 2002: 63)”
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa
pelaksanaan upacara manusa yajna dalam Agama Hindu khusunya pada
pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara
magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali memiliki hubungan yang
erat dalam salah satu upaya melahirkan anak yang berguna bagi nusa dan
bangsa (suputra). Akan tetapi pelaksanaan upacara saja tidaklah cukup
untuk menjadikan seorang anak menjadi anak yang suputra harus tetap
didasari ketulusan hati orang tua dan upaya-upaya lainya yang dilakukan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
72
orang tua salah satunya adalah pelaksanaan upacara simantonayana
(magedong-gedongan), serta upaya baik dalam membesarkan hingga
mendidik anak mulai dari dalam kandungan hingga nantinya terbentuk
mental generasi muda yang cerdas, kokoh, berani, kuat, sehingga dapat
menuntun orang tua dan para leluhurnya menuju kesejahteraan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
73
BAB 5
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan pengumpulan dan pembahasan hasil penelitian data
dalam penelitian ini yang merujuk pada rumusan masalah, maka penulis
dapat simpulkan sebagai berikut :
1) Sesuai penjelasan tulisan bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan
bahwa, upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
gerakan (pelaksanaan) dari pada upakara dalam salah satu yajna.
Upakara (banten) merupakan sarana untuk memudahkan manusia
menghubungkan dirinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
beserta manifestasinya. Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal
dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada
masyarakat adat Bali, merupakan salah satu upacara yang di dalam
ajaran Agama Hindu termasuk dalam upacara manusa yajna, sebab
upacara ini diperuntukkan kepada seorang ibu yang sedang hamil pada
saat bayi sudah berwujud manusia. Makna yang terkandung dalam
upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara
magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali,
ialah agar sang bayi yang berada di dalam kandungan mendapatkan
perlindungan dan keselamatan serta pemeliharaan yang baik sehingga
kelahirannya nanti dapat menjadi anak yang suputra yakni anak yang
berguna di keluarga maupun masyarakat.
2) Pentingnya upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan
upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat
adat Bali, memiliki hubungan yang sangat erat dalam upaya melahirkan
anak suputra. Untuk memperoleh atau mendapatkan anak yang
berkualitas (suputra), orang tua harus berusaha semaksimal mungkin
dalam merawat dan membesarkan anak sejak mulai terjadinya
pembuahan sel telur dari ibu dengan sel sperma dari ayah hingga
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta
74
nantinya anak itu lahir ke dunia. Seorang ayah dan seorang ibu yang
sedang mengandung memegang peranan penting dalam membentuk
perkembangan mental sang anak. Oleh karemna itulah kondisi keluarga
atau rumah tangga yang harmonis sangat perlu dibina, untuk menjaa
ketenangan jiwa dan raga sang ibu yang sedang mengandung.
Dijelaskan bahwa di dalam susastra suci Hindu terdapat berbagai
penjelasan tentang upacara manusa yajna dalam hal ini khususnya
pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan
upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali hendakya
dilakukan oleh seluruh umat agar mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Upacara diidentikkan dengan pelaksanaan samskara (penyucian
diri) bukan sekedar bersifat formalitas akan tetapi mengandung makna
perkembangan mental diri dari arah luar dan dalam. Perkembangan
mental dari arah luar yakni yang dapat dilihat dan dirasakan langsung
oleh yang menjalankan, perkembangan mental dari dalam adalah
adanya keyakinan yang bertujuan untuk membentuk jiwa yang
sempurna.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta
65
5.2
Saran
Dengan penelitian yang berjudul “Upacara Simantonayana dalam
Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis
Upacara Simantonayana pada Umat Hindu Adat Bali) di Pura Aditya Jaya
Rawamangun” peneliti menyampaikan beberapa saran yang kiranya penting
artinya bagi pembinaan Umat Hindu khususnya. Adapun saran-saran penulis
sampaikan adalah :
1) Diharapkan
agar
Umat
Hindu
dapat
melaksanakan
upacara
simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedonggedongan dalam Agama Hindu adat Bali terhadap ibu yang sedang
hamil, sebagai salah satu tujuan dari kehidupan keluarga yakni memiliki
anak yang suputra.
2) Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara
magedong-gedongan dalam Agama Hindu adat Bali memiliki makna
dan hubungan yang terikat satu sama lain dan merupakan salah satu
upacara manusa yajna dimana pelaksanaannya sudah menjadi suatu
keharusan demi menjaga keajegan Agama Hindu serta nantinya umat
Hindu dapat memahami makna dan hubungan pelaksanaan upacara ini
dengan baik.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. Metodelogi Dan Aplikasi Riset Pendidikan. Jakarta: Pustaka
Cendekia Utama. 2010.
Awanita, Made. Membentuk Kepribadian Anak Dalam Kandungan. Surabaya:
Paramita. 2008.
Anom, Ida Bagus. Himpunan Upacara Manusa Yadnya. Tabanan: Yayasan
Dharmo Padesa Kabupaten Tabanan. 2002.
Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2008.
Chawdhri, Dr. L. R. Rahasia Yantra, Mantra Dan Tantra. Surabaya: Paramita.
2003.
Diane E. Papalia, ET AL. Human Development (Psikologi Perkembangan).
Jakarta: Kencana. 2010.
Geriya, Dra. S. Swarsi. Upacara Daur Hidup. Surabaya: Paramita. 2004.
Jaali, Haji. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologo Budaya. Jakarta : PT Gramedia. 1997.
Maswinara, I Wayan. Rg. Veda Samhita Sakala Sakha. Surabaya: Paramita. 2008.
Mudana, I Gusti Made. Pelaksanaan Upacara Pagdong-gedongan dalam Manusa
Yajna Ditinjau dari nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu. Jakarta:
STAH Dharma Nusantara .2000.
Oka, Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar:
Widya Dharma. 2009.
Oka, I Ketut Setiawan.Modul Metodologi Penelitian. Jakarta. 2008.
Praptini, dkk. Materi pokok Metodologi Penelitian. Jakarta: Ditjen Bhimas Hindu
Departemen Agama RI, 2009.
Puja, I Gede. Bhagawadgitta (Pancama Veda).Surabaya: Paramita. 2005.
---------------. dan Tjokorda Rai Sudartha. Manawa Dharmasastra.Jakarta: CV
Pelita Nusantara Lestari. 2002.
Putra, Ny. IGA Mas. Upacara Yajna. Denpasar: IHD. 1979.
Ramayanti, Ni Wayan. Kajian Upacara Garbhadana Ditinjau dari Pendidikan
Agama Hindu. Jakara: STAH Dharma Nusantara. 2003.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
Rejeki, Sri Endah. Pengaruh Upacara Garbhadana Terhadap Pertumbuhan
Psikologi Janin dalam Kandungan di Banjar Cibinong. Jakarta: STAH
Dharma Nusantara. 2008.
Suarjaya, dkk. Panca Yajna. Denpasar: Widya Dharma. 2008.
Subagiasta, I Ketut. Srada dan Bhakti. Surabaya: Paramita. 2008.
Sudartha, Tjokorda Rai. Manusia Hindu Dari Kandungan sampai Perkawinan.
Denpasar: Kayumas Agung. 2006.
Sudani, Ni Nyoman. Upaya Peningkatan Partisipasi Remaja Hindu Bekasi dalam
Dharmagita Pada Pelaksanaan Upacara Dewa Yajna Mealului
Ekstrakulikuler di Pasraman. Jakarta: STAH Dharma Nusantara. 2009.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet, 2005.
Sujana, I Made. Manggala Upacara.Denpasar: Widya Dharma. 2010.
Somvir. Mutiara Veda untuk Kehidupan Sehari-hari.Surabaya: Paramita.2001.
Surayin, Ida Ayu Putu. Manusa Yajna. Surabaya: Paramita. 2005
----------------------------. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yajna.
Surabaya: Paramita. 2004.
Susila, I Nyoman. Acara Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu. 2009.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: STAH Dharmanusantara
Jakarta. 2011.
Tim Penyusun. Niti Sastra dalam Bentk Kekawin. Singaraja: Proyek Penerangan
Bimbingan da Da’wah/Khotbah Agama Hindu dan Budha.1986/1987.
Tim Penyusun. Sekilas Tetang Pura Aditya Jaya Rawamangun.Jakarta Timur:
Suka Dukha Hindu Dharma Banjar Jakarta Timur. 2009.
Titib, I Made. Menumbukmbangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak.
Jakarta: Ganeca. 2003.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
1. Upakara/banten upacara magedong-gedongan
2. Pelaksanaan Natab Upakara/banten upacara magedong-gedongan
3. Pelaksanaan Persembahyangan
DAFTAR INFORMAN
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
:
:
:
:
Perdana Ida Pedanda Istri Mayun
78 tahun
Jl. Daksinapati Raya No.10 Rawamangun Jakarta Timur
Pedanda di Pura Aditya Jaya Rawamangun
Nama
Umur
Alamat
:
:
:
Pekerjaan
:
Ida Pedanda Gede Panji Sogata
64 tahun
Jl Bunga Raya RT.01/ RW 16 No.150, Srengseng Sawah,
Jagakarsa , Jakarta Selatan
Ketua Dharma Upapati Parisada
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
:
:
:
:
I Ketut Wiardana, SH.
57 tahun
Jl, Buni Gang Salak III/45 Munjul
Ketua PHDI DKI
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
:
:
:
:
I Wayan Rudji
77 tahun
Pondok Bambu, Jl. Kejaksaan II No.13
Pemangku Pura Aditya Jaya Rawamangun
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
:
:
:
:
I Gusti Putu Raka
58 tahun
Jl. Dalang RT 13/RW 05 Kelurahan Munjul Jakarta Timur
Sarathi Banten dan Pemangku Pura Widya Dharma
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
:
:
:
:
Ida Ayu Kadek Iva Rahayu
31 tahun
Jl.Kincir 8 No. 4 RT 06/RW 010 Rawamangun Jakarta Timur
Karyawan Swasta
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
Tempat Tanggal Lahir
:
Denpasar, 23 Maret 1990
Agama
:
Hindu
Kewarganegaraan
:
Indonesia
Alamat
:
Jl. P. Komarudin No. 80 RT 11/RW 05 Kelurahan
Penggilingan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
Pendidikan Formal
:
1. Tahun 1997 TK Nurut Taqwa Ujung Pandang
2. Tahun 2002 SD Katolik Santo Yakobus
Makassar
3. Tahun 2005 SMP Negeri 6 Makassar
4. Tahun 2008 SMA Negeri 11 Jakarta Timur
5. Tahun 2011 Program Studi Diploma III
Kebidanan Universitas Gunadarma
Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 14 Juli 2012
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
Pedoman Wawancara Tentang Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan
Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana Pada
Masyarakat Adat Bali) Di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur
___________________________________________________________________________
Data Informan
1. Nama
:
2. Umur
:
3. Alamat
:
4. Pekerjaan
:
Tanggal Pelaksanaan Wawancara :
Pertanyaan Wawancara :
1. Apakah tujuan berkeluarga dalam ajaran Agama Hindu?
2. Apa pengertian dan pentingnya anak suputra dalam ajaran Agama Hindu?
3. Dalam ajaran Agama Hindu hal-hal apa yang patut dilaksanakan dan tidak boleh
dilaksanakan bagi ibu yang sedang dalam mengadung ?
4. Adakah umat Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun yang melaksanakan
upacara simantonayana (upacara megedong-gedongan)?
5. Dimanakah biasanya upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ini
dilakukan?
6. Apakah makna upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ?
7. Apakah ada sumber yang menyatakan upacara simantonayana (upacara magedonggedongan) ini patut dilaksanakan?
8. Bagaimana tahapan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ?
9. Apa saja upakara yang dibutuhkan pada saat upacara simantonayana (upacara
magedong-gedongan) ?
10. Apakah ada hubungan antara upacara simantonayana (upacara magedonggedongan) dalam upaya melahirkan anak suputra?
Download