Bab I

advertisement
Pendahuluan
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Jepang secara meyakinkan eksis dan memantapkan diri
menjadi salah satu negara adidaya. Pilar-pilar kiprahnya berakar dan tertanam kuat di bidang ekonomi,
industri, keuangan, dan teknologi. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan kekuatan militernya dewasa
ini merupakan salah satu yang terbesar dalam konstelasi percaturan antarbangsa. Kapasitas semacam
ini, sebenarnya, memungkinkan Jepang untuk mempengaruhi kondisi dan situasi lingkungannya,
khususnya dalam radius negara tetangga dan kawasan, baik yang dekat maupun yang jauh.
Sebagai negeri kalah-perang dalam Perang Dunia II, adalah logis jika pencapaian Jepang
menumbuhkan inspirasi dan sekaligus menjadi idaman berbagai negara dalam kelompok Dunia Ketiga.
Dia menjadi simbol dan pemicu bagi negara yang ingin membangun perekonomian nasionalnya.
Jepang mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi negara yang ingin melestarikan kebudayaan
nasionalnya, di tengah fakta bahwa globalisasi yang tak terelakkan itu cenderung menggerus dan
menggusur sendi-sendi budaya lokal/nasional. Pendek kata, Jepang muncul sebagai sebuah patron,
sosok negara yang perlu ditiru kalau ingin maju. Dan itu memang terjadi.
Langkah-langkah menduplikasi kiat sukses Jepang sedang giat-giatnya dilakukan oleh sejumlah
negara, terutama di Asia. Singapura, misalnya, mampu menjadi salah satu “macan” Asia setelah
mengambil langkah “Learn from Japan”; Malaysia mulai tinggal-landas menjadi salah satu kekuatan
ekonomi Asia berkat menerapkan kebijakan “Look East Policy” di awal 1980-an; Muangthai memiliki
Pusat Pengkajian Jepang, yang secara khusus meneliti bidang kebudayaan dan peradaban Negeri
Matahari Terbit; dan Indonesia—dengan Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia—berupaya
mencermati lebih jauh model dan pelaksanaan pembangunan nasional Jepang.
Salah satu cara yang dilakukan Jepang adalah dengan menciptakan adanya kesamaan persepsi
dari seluruh lapisan masyarakat bangsanya dalam melihat apa yang terbaik bagi mereka. Kesamaan
persepsi ini terlihat dalam kebijakan yang diambil oleh negarawan Meiji ketika merumuskan kebijakan
nasionalnya pada tahun 1868.
Dari Wakon Kansai ke Wakon Yosai
Awal abad ke-17, tepatnya tahun 1602, imperialisme Barat (dalam hal ini bangsa Belanda)
mendirikan kongsi dagangnya (VOC) di Batavia. Pada tahun yang sama, pemerintahan militer
Tokugawa di Edo (Tokyo sekarang)—yang saat itu berpenduduk 1-1,5 juta jiwa (populasi London atau
Paris hanya 860 dan 650 ribu jiwa)—menerapkan kebijakan sakoku (politik pintu tertutup). Kebijakan
politik pintu tertutup ini pada awalnya hanya melarang orang Jepang pergi ke luar negeri dan melarang
orang asing datang ke Jepang. Aturan itu menjadi lebih keras pada 1632, dengan melarang juga orangorang Jepang yang berada di luar negeri kembali ke Jepang. Kebijakan sakoku yang berlangsung hingga
1867 sama sekali tidak mengakibatkan Jepang kehilangan kontak dengan Barat yang sudah maju akibat
revolusi industri. Informasi mengenai perkembangan yang terjadi di luar Jepang tetap dapat dikuasai
dengan baik oleh penguasa militer Tokugawa melalui sebuah pulau kecil, Dejima, Nagasaki. Lokasi ini
memang diplot sebagai tempat untuk melakukan transaksi dagang dengan Belanda dan Cina. Dari
orang-orang Belanda inilah (baik yang pedagang maupun informan Tokugawa) informasi berupa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa diserap Jepang, dan ilmu pengetahuan ini
dikenal dengan nama rangaku (ilmu Belanda).
Kebijakan melihat ke dalam (inward looking) ini dirancang antara lain untuk menumbuhkan
harga diri dan kebanggaan nasional. Konsolidasi di kalangan segenap warga negara Jepang ditempa
dengan militan. Kehormatan mereka sebagai anak bangsa ditumbuhsuburkan demi dan atas nama
nasionalisme. Semasa pelaksanaan politik pintu tertutup inilah, rakyat Jepang yang sudah satu
bahasa—bahasa Jepang—memadukan energi, kesadaran dan komitmen tentang Jepang sebagai satu
bangsa dan satu tanah air. Dengan gairah besar untuk menciptakan Jepang yang kuat, semboyan
Wakon Kansai (Spirit Jepang, Teknologi Cina) yang dianut Jepang sejak periode kuno mulai
ditinggalkan. Penyebabnya tidak lain karena Cina sudah kedaluwarsa untuk dijadikan sebagai soko
guru, dia sudah menjadi vasal Barat (Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman).
Mafhum bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai Barat, kepada anak negeri
dikumandangkan semboyan baru: Wakon Yosai (Spirit Jepang, Teknologi Barat). Motivasi untuk bisa
setara dengan Barat ini semakin kuat dirasakan rakyat Jepang di pengujung pemerintahan militer
Tokugawa (bakumatsu). Pada 1853, ketika Commodore Matthew Perry dengan armada lautnya
(kurofune-kapal hitam) mendarat di Uraga (Teluk Tokyo), dan memaksa Jepang membuka
pelabuhannya bagi kepentingan kapal-kapal Amerika Serikat yang akan menuju ke koloni mereka di
Filipina, Cina dan Guam. Penguasa militer Tokugawa dan kaum intelektual Jepang menyadari, sekali
mereka memberikan kesempatan kapal-kapal Amerika mendarat di pelabuhan Jepang, maka hal yang
sama juga akan diminta oleh imperialis Barat lainnya. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan, ketika
armada Perry datang kembali pada 1854, Jepang dibuka secara paksa. Alhasil, konsesi pembukaan
pelabuhan yang diberikan kepada Amerika berturut-turut dapat juga dinikmati oleh kapal-kapal Rusia,
Prancis, Inggris, Belanda, Jerman dan lainnya.
Kenyataan ini membuka mata rakyat Jepang, seiiring dengan tumbuhnya kerisauan yang mudah
diterka. Mereka khawatir akan mengalami nasib seperti Hindia-Belanda, Filipina, Malaya, Singapura,
Cina, Vietnam. Karenanya, harus ada yang dilakukan agar Jepang tidak terjerembab menjadi koloni
imperialis Barat. Debat dan pertikaian pro-kontra di kalangan rakyat mencuat ke permukaan. Isu
pokok yang menjadi pergumulan adalah bagaimana/dengan cara apa kelangsungan bangsa dapat
dipertahankan. Rakyat Jepang yang progresif (diwakili oleh samurai muda dari empat han atau
semacam provinsi militer yakni, Satsuma - sekarang Provinsi Kagoshima; Choshu - Yamaguchi; Hizen
2
- Saga, dan Tosa - Kochi, keempat han ini biasa disingkat dengan SATCHOHITO) menghendaki agar
Jepang segera membuka negara secara resmi terhadap dunia luar. Di lain pihak, rakyat Jepang yang
konservatif (diwakili oleh pemerintahan militer Tokugawa) gigih mempertahankan kebijakan politik
pintu tertutup. Keduanya memiliki kesamaan sikap dalam satu hal: (tetap) muliakan posisi Kaisar.
Melalui dialog intensif yang panjang (14 tahun), rakyat Jepang pada 1867 mampu mencapai
kesamaan persepsi tentang masa depan bangsanya. Bahwa Jepang hanya akan dapat berdiri tegak
dalam posisi setara dengan negara-negara imperialis Barat, bahkan melebihi, apabila ilmu dan
teknologi yang dimiliki Barat dapat dikuasai. Untuk menguasai ilmu dan teknologi Barat itu,
diperlukan suatu kebijakan nasional yang dipahami oleh setiap individu rakyat Jepang. Prasyarat untuk
menciptakan dan mewujudkan kebijakan nasional tersebut adalah tegaknya pemerintahan yang kuat.
Konfigurasi pemerintahan yang ada, yang secara de facto tidak cukup progresif mendukung
tercapainya impian besar itu, harus dirombak. Jalan satu-satunya untuk itu adalah dengan
mengkonsentrasikan semua hak dan wewenang memerintah di satu tangan. Individu panutan
pemangku jabatan tersebut tak lain dari Kaisar.
Dipelopori oleh samurai muda terpelajar dari han SATCHOHITO, seperti Saigo Takamori, Ito
Hirobumi, Okuma Shigenobu, Okubo Toshimichi, Iwakura Tomomi, Kido Koin, Goto Shojiro, Eto
Shinpei, Sakamoto Ryoma, Itagaki Taisuke, pada 3 Januari 1868, berhasil membentuk pemerintahan
baru. Masa pemerintahan Kaisar Mutsuhito, dengan kurun waktu 15 tahun bertahta, dijadikan
momentum bagi kemajuan Jepang; dan julukan yang cocok untuk itu adalah Meiji (pencerahan).
Seluruh kebijakan yang berasal dari masa pemerintahan militer Tokugawa dinyatakan tidak berlaku.
Jepang menggariskan kebijakan nasional FUKOKU KYOHEI (Negara Kaya, Militer Kuat), melalui
perbaikan dan penyempurnaan infrastruktur politik, ekonomi dan industri. Kaisar Mutsuhito
menempatkan orang-orang muda yang terpelajar, berani, berdedikasi tinggi dan berdisiplin di dalam
struktur pemerintahannya. Sumber daya manusia yang terampil, kritis, berani, pandai, dan berdedikasi
guna memberdayakan infrastruktur yang kuat tersebut direkrut dengan mengacu pada kecakapan,
integritas dan kualifikasi pendidikan.
Sadar akan pentingnya pendidikan (kaum fungsionalis malah memandang hal ini sebagai faktor
terpenting, faktor yang menentukan) dalam pembangunan nasional, pemerintah Jepang pada tahun
1872 membentuk Kementerian Pendidikan. Setahun kemudian, pemerintah mengambil prakarsa
mengirim pemuda-pemuda yang terseleksi dengan ketat untuk menimba ilmu dan teknologi di Barat.
Dalam tempo yang bersamaan, pemerintah juga mendatangkan para pengajar yang berkualitas dari
Barat. Kesungguhan orientasi Jepang dalam menjalankan dua program pencerdasan ini sepenuhnya
menjalankan prinsip: dari dana nasional, oleh dana nasional, dan untuk (kemaslahatan) nasional.
Kebijakan bidang pendidikan ini merupakan implementasi dari salah satu di antara Lima Sumpah Suci
Kaisar (GO KAJO NO GO SEIMON) yang berbunyi, “Pendidikan adalah penting bagi pembangunan
nasional. Untuk itu, ilmu dan teknologi harus dituntut ke berbagai penjuru muka bumi demi kemajuan
Jepang”.
Buah dari suatu perencanaan yang baik itulah yang dinikmati Jepang sebagai ganjaran dalam
tempo tak terlalu lama. Gabungan antara mereka yang pulang dari luar negeri dan yang dididik
pengajar asing di dalam negeri, pada 1880-an, menghasilkan rerata kualitas sumber daya manusia yang
lebih baik. Jepang bahkan membukukan rekor sebagai negara pertama di Asia yang memiliki UUD
modern—sederajat dengan konstitusi yang dimiliki imperialis Barat. Jepang menjadi negara pertama
di Asia yang mampu memiliki industri besi dan baja dengan mendirikan pabrik besi dan baja Yahata.
Jepang menjadi negara pertama di Asia yang mampu membuat kapal tenaga uap dan listrik dengan
kontruksi baja. Begitulah, Jepang mencatatkan diri sebagai pionir di Asia pada masa itu, dalam
berbagai terobosan. Patut ditambahkan, posisi Jepang pada akhir abad ke-19 sudah berada pada lima
besar dunia.
Pada titik tertentu, apa yang disebut dengan pencapaian tujuan nasional sepatutnya diuji,
dikritisi dengan tajam. Sudah tercapaikah kebijakan nasional itu? Secara kuantitatif dan kualitatif
bagaimana? Benar bahwa Jepang mampu memproduksi berbagai komoditas hingga mereka potensial
menjadi negara kaya. Namun, produk-produk tersebut dihadang proteksi pasar—sebuah instrumen
hasil rekayasa kubu imperialis Barat. Jepang dilarang memasarkan hasil-hasil produksinya di daerah
jajahan kaum imperialis. Diktum ini diturunkan dari (dan sekaligus mengawetkan) mitos menyedihkan
tentang keunggulan ras kulit putih atas ras-ras lain. Jepang pantas kecewa dan sakit hati. Mereka akan
kaya (Fukoku) jika produk-produknya bisa dipasarkan di dalam negeri dan, yang terpenting, di pasar
internasional. Adakah kiat untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional? Jawabannya: ada. Yakni
menerapkan strategi ala imperialis Barat, dengan memainkan kartu troef kekuatan senjata dalam arti
luas.
Merujuk pada rancang bangun Angkatan Laut Prancis dan Inggris di samping keperkasaan
Angkatan Darat Jerman, Jepang pun berhasil memodernisasikan Angkatan Perangnya. Kyohei (militer
kuat) kah Jepang? Ini pun perlu pengujian dan pembuktian. Mind set dalam pengujian ini tentu saja
dalam rangka legitimasi tentang Jepang (yang) kaya. Negara pertama yang menjadi sasaran Jepang
adalah Cina. Memanfaatkan momentum sengketa seputar teritori Korea, Jepang menggelar perang
dengan Cina, 1894-1895. Bermodalkan tentara yang berdisiplin tinggi, terlatih baik, jiwa patriotisme,
dan persenjataan modern, Jepang dengan mudah mempecundangi Cina. Sebagai pemenang perang,
Jepang berhak atas Korea, berhak mengoperasikan jalur kereta api Manchuria Selatan, dan memiliki
hak yang sama dengan imperialis Barat untuk berdagang di Cina. Peristiwa ini membuktikan; berkat
perencanaan yang baik, dijalankan dan diawasi dengan baik, oleh orang-orang yang baik; kebijakan
nasional FUKOKU KYOHEI membuahkan hasil.
Kinerja yang ditunjukkan Angkatan Perang Jepang, diakui atau tidak, merisaukan imperialis
Barat. Rusia yang merupakan seteru bebuyutan Jepang menghasut Jerman dan Perancis agar
3
menghalangi Jepang mengoperasikan jalur kereta Api Manchuria Selatan. Provokasi itu berhasil.
Intervensi tiga negara, yang menghalangi apa yang menjadi hak Jepang berdasarkan konvensi sesama
imperialis, terasa menyakitkan. Pelecehan tersebut menggelorakan pride kebangsaan orang Jepang.
Kini, di depan mata, Rusia nyata-nyata memposisikan diri sebagai musuh. Hanya 10 tahun seusai
perang Jepang-Cina, saat kemampuan dianggap memadai, Jepang berperang melawan Rusia, 19041905. Berbeda dari perang 1894-1895, perang kali ini adalah perang antara ras berwarna/kuning yang
dianggap lemah dan ras kulit putih yang (dimitoskan) unggul. Hasilnya, lagi-lagi Jepang berjaya.
Kemenangan ini memulihkan sepenuhnya hak Jepang atas Manchuria Selatan dan Shakhalin.
Kemenangan itu penting artinya bagi keberhasilan masa depan ekonomi Jepang sekaligus menaikkan
kasta mereka menjadi warga baru kaum imperialis. Secara psikologis, sukses Jepang membangkitkan
rasa nasionalisme di kalangan rakyat Asia yang masih terjerat belenggu imperialis Barat.
Belajar pada Jepang
Terlepas dari sikap dan tingkah laku yang diperagakan Jepang dewasa ini, tetap perlu dikaji
bagaimana usaha yang mereka jalankan sehingga muncul menjadi negara maju. Di antara sejumlah
faktor yang penting digarisbawahi sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional
Jepang adalah adanya kebijakan yang mandiri dari pemerintahan Meiji dalam melaksanakan program
kerja; pemanfaatan tenaga ahli luar negeri secara selektif dan ketat; penggunaan teknologi dan
peralatan Barat sebagai penyokong proses mengajar dan belajar; pengambilan inisiatif dan
kepemimpinan pada satu tangan; berkonsentrasi pada industri kunci yang dijalankan oleh masyarakat
pribumi.
Kemandirian dalam menjalankan program kerjanya, pada saat mengawali modernisasi, memang
bertautan dengan sebuah situasi yang unik. Sampai sebegitu jauh, Jepang tidak pernah tersentuh oleh
intervensi asing. Imunitas semacam ini menjadikan Jepang tangguh dalam memelihara budaya
nasionalnya, dan itu merupakan salah satu modal penting dalam menggulirkan roda modernisasi.
Historisitas sejumlah negara maju menunjukkan, mereka mencapai tingkatan tersebut tanpa
melepaskan pertautan dengan akar budaya dan sejarahnya sendiri. Dengan kata lain, kebijakan
pembangunan nasional yang menisbikan perspektif sejarah bangsa yang bersangkutan akan berujung
pada kesia-siaan. Dan dalam hal Jepang, fungsi lokomotif yang dijalankan negara dalam proses
pembangunan ekonomi dan industri menjadi sangat kondusif dengan dukungan budaya yang relatif
homogen.
Di pihak lain, jasa dan peranan yang dimainkan tenaga kerja asing dalam pembangunan nasional
Jepang tentulah mencatatkan sumbangan tersendiri. Namun, dengan policy yang tegas dan nyali
politik yang memang layak ditegakkan sebagaimana mestinya sebuah negara berdaulat, Jepang
memplot tenaga ahli asing ini sepenuhnya di bawah kontrol bumiputra. Bagaimana manusia Jepang
menangani para tenaga kerja asing ini bisa dilihat dari pernyataan berikut: “To make sure that
foreigners did not endanger the political and economic independence of Japan, the government
reserved all the important positions for the indigenous people and made use of foreigners only as
employees in the sense of servants. After completing their designated tasks, they were then dismissed,
not uncommonly, in order to make room for other foreign specialists (Piper, 1976:168, dikutip dari
Kyalo, Mativo, 1989:135, Ph.D Thesis). Kebanyakan negara Asia, yang umumnya pernah merasakan
penjajahan imperialis Barat, kondisi seperti ini yang justru tidak dimiliki.
Di kebanyakan negara Dunia Ketiga, yang notabene berada di kawasan Asia, Amerika Latin, dan
Afrika, kita melihat rencana pembangunan berskala nasional—dalam konteks ekonomi, politik, sosial,
dan budaya—yang dijalankan pascapenjajahan. Malangnya, yang disebut dengan rencana
pembangunan nasional itu pada umumnya sekadar dimensi miskin dari sebuah cetak biru (blue print).
Kita makin banyak menyaksikan intervensi langsung perusahaan multinasional terhadap negaranegara Dunia Ketiga. Kita menyaksikan hal ironis ketika pemerintah yang naif justru lebih memihak
kepentingan (ekonomi dan politik) pihak asing alih-alih menjawab kebutuhan riil rakyatnya. Akibat
ketergantungan finansial, misalnya, sebuah negara dengan mudah masuk ke dalam perangkap negaranegara maju, baik melalui instrumen moneter mantan penjajahnya maupun melalui lembaga-lembaga
keuangan internasional. Seharusnyalah pembangunan nasional disusun bukan dengan semangat
menjiplak model pembangunan negeri lain, melainkan secara komprehensif dirancang untuk
memenuhi sebesar-besarnya pengharapan rakyat.
Melihat apa yang telah Jepang jalankan, ada tanya yang rasanya perlu untuk dijawab oleh kita
semua. Pertanyaan itu adalah, “Apakah ada kebijakan nasional yang mendasari kegiatan yang berskala
nasional, misalnya pengiriman atau keberadaan karya siswa Indonesia di luar negeri? Kalau ada
kebijakan nasional untuk hal yang satu ini, apakah dana yang dikeluarkan untuk karya siswa tersebut
berasal dari dana nasional? Kalau jawabannya ya, pertanyaan berikutnya adalah, Apakah persepsi
karya siswa tersebut sama terhadap kebijakan nasional yang ingin dicapai tersebut? Kalau jawabannya
juga ya, maka apa yang dicapai Jepang juga akan bisa dicapai oleh Indonesia. Tapi kalau ada jawaban
terhadap pertanyaan di atas yang ‘tidak’, untuk satu pertanyaan saja, maka usaha untuk maju akan
terhambat. Apalagi kalau jawaban yang diberikan semuanya adalah ‘tidak’, maka tugas yang maha
beratlah yang kita emban.
Meskipun masih sekitar 11 persen rakyat Indonesia yang belum bisa membaca (apalagi bisa
mengerti) tentang apa yang menjadi kajian dari isi buku ini, marilah kita samakan persepsi kita
mengenai apa yang dimaksud dengan satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, dan pada akhirnya
akan bermuara pada apa itu pembangunan nasional. Melalui media sejarah, diharapkan kita akan
mampu melihat dan mengkaji ulang tentang apa saja yang perlu kita ambil dari pengalaman bangsa
yang terlebih dahulu maju dari kita, dan sebaliknya, faktor apa saja, yang meskipun milik kita, tapi
4
menghambat langkah untuk maju, harus pula disingkirkan jauh-jauh dari ruang lingkup masyarakat
bangsa ini.©
Bab I
Jepang dan Perang Dunia II
Hukum Besi Sejarah dan Harga Diri Bangsa
Tidak ada pemenang perang yang sudi disejajarkan dengan pecundangnya. Sang pemenang
niscaya mendiktekan kehendaknya kepada pihak yang ia taklukkan. Jerman harus menelan pil pahit
semacam itu pasca-Perang Dunia I, setelah kubu Sekutu memenangi perang. Mereka diwajibkan
membayar pampasan perang dengan sebuah nominal yang, menurut hitung-hitungan awam, hanya
mungkin terlunasi dalam tempo puluhan tahun. Itu pun jika keadaan ekonomi Jerman normal. Normal
dalam arti tanpa beban pengeluaran untuk rekonstruksi dan rehabilitasi sarana dan prasarana akibat
ganasnya mesin-mesin perang. Padahal, kerusakan fisik dengan nilai nominal yang relatif dapat
dikonversikan ke dalam angka-angka itu menjadi berlipat ganda dengan bobot kerugian tak terukur
yang ditanggungkan Jerman: banyaknya korban jiwa baik militer maupun sipil dan—ini yang
terdahsyat—hancurnya moral rakyat. Para negarawan Jerman menyadari betul, upaya pemulihan
harkat dan derajat Jerman sebagai sebuah bangsa adalah beban raksasa di pundak mereka.
Sepanjang hampir dua dasawarsa (1918 hingga pertengahan 1930-an) Jerman dengan tekun
mengkonsolidasikan diri. Secara perlahan mereka membenahi segenap potensi yang mereka miliki.
Target yang mesti diwujudkan adalah terbebas dari hutang dan penghinaan. Sebab, begitulah hukum
besi sejarah merumuskan aksiomanya: “pemenang tidak pernah mau disejajarkan dengan pihak yang
kalah”. Hasrat eksistensial pemulihan jati diri hanya dapat dicapai dengan kesungguhan dan kerja
keras seluruh lapisan rakyat. Adolf Hitler, pemimpin dengan kharisma yang kuat, segera mengambil
prakarsa. Terapi demi menegakkan (kembali) pride bangsa Jerman secara jitu diturunkan dari
diagnosis yang berwawasan pendekatan budaya. Jerman lamat-lamat menggeliat dan melepaskan dari
tekanan negara-negara pemenang Perang Dunia I. Hitler mendapat dukungan berkat kuatnya rasa
keunggulan ras di dalam sanubari rakyat Jerman. Ras Aria, setidaknya dalam versi mereka, merupakan
ras superior, sehingga tidak pada tempatnya mereka dinistakan ras-ras lain yang lebih rendah.
Berkat kerja keras, Hitler dengan Nazismenya berhasil menyatukan rakyat Jerman. Setelah
merasa mampu tidak saja berkata, tetapi juga merealisasikan kata-kata tersebut dalam tindakan, pada
bulan September 1939 sang Fuhrer membuka babak baru dalam sejarah peradaban manusia, yakni
berperang untuk keluar sebagai pemenang. Serangan kilat (blittzkrik) terhadap Polandia pada bulan
September ini menjadi awal dari Perang Dunia II yang berlangsung selama kurang lebih enam tahun
(sampai dengan menyerahnya Jepang pada Sekutu, 15 Agustus 1945).
Dalam situasi yang berbeda, apa yang dialami bangsa Jerman juga dihadapi bangsa Jepang.
Meskipun tidak berstatus negara pecuncang dalam Perang Dunia I, sejumlah sikap yang
dipertontonkan pihak Barat dalam praktik percaturan masyarakat internasional secara kasat mata
merupakan penghinaan terhadap keberadaan Jepang sebagai satu bangsa. Jepang yang merasa
kedudukannya setara dengan Barat dipaksa menyetujui perjanjian laut Washington tahun 1922 yang
megatur kuota jumlah kapal Jepang. Mereka hanya diizinkan memiliki 3 buah kapal, sedangkan
Amerika dan Inggris, masing-masing 5 buah kapal; Jepang dihambat oleh Amerika dan Inggris dalam
perdagangan dunia, dan puncak diskriminasi itu: Jepang diharuskan ke luar dari seluruh wilayah yang
menjadi urat nadi perekonomiannya. Adakah sebutan lain yang lebih cocok selain ‘penistaan
eksistensial’ untuk semua perlakuan terhadap Jepang? Apa yang bisa mereka perbuat? Hikmah penting
kesemena-menaan pihak Barat ini mengkristalkan harga diri Jepang sebagai sebuah bangsa. Dendam
pun menemukan habitat yang subur untuk, pada saat yang tepat, berbicara dalam bahasa yang
representatif untuk itu yakni bahasa senjata.
Perang Pasifik
Setelah pemerintah Jepang menerima memorandum pemerintah Amerika Serikat pada 2
Oktober 1941—tentang keharusan Jepang menarik seluruh pasukannya dari daratan Cina dan Vietnam
di samping menghentikan dukungan dan hubungannya dengan rezim boneka Wang di Cina (Chiang,
1979: 202)—pihak Jepang menyadari bahwa perundingan yang selama ini dijalankan dengan Amerika
tidak akan memberikan keuntungan apa pun bagi Jepang.1 Karena itu, satu-satunya pilihan guna
mendukung gerakan Jepang untuk maju ke selatan adalah dengan jalan perang menghadapi Amerika
Serikat dan sekutunya (Mayer, 1984: 43).
Untuk merealisasikan rencana ini, pada 5 November 1941, armada Angkatan Laut Jepang
dipusatkan secara rahasia di Teluk Sahaku, Kepulauan Kyushu (Toyama, 1974: 203). Tujuan
5
pemusatan ini tidak lain untuk bersama-sama bertolak ke jurusan timur dan menyerang Pangkalan
Armada Angkatan Laut Amerika Serikat, Pearl Harbor, di Kepulauan Hawaii. Setelah semua kapalkapal perang ini terkumpul, pada 26 November 1941, iring-iringan Armada Angkatan Laut Jepang
berangkat melaksanakan misi rahasia, yakni melakukan serangan pendadakan. Armada ini terdiri dari
353 pesawat terbang yang diparkir di atas 6 kapal induk, 11 kapal perusak, 8 kapal tangker, 3 kapal
penjelajah, 3 kapal selam, dan 2 kapal tempur. Operasi direncanakan Laksamana Yamamoto Isoroku,
pemimpin tertinggi seluruh Armada Angkatan Laut Jepang yang pernah belajar di Amerika Serikat ini
(Fujimoto, 1975: 91), dipimpin oleh Laksamana Nagumo dan dibantu oleh Laksamana Kusaka, Kepala
Staf Angkatan Laut Jepang.
Pada 8 Desember waktu Jepang atau 7 Desember waktu Hawaii tahun 1941 (Showa 16), pukul
07.00 di hari Minggu yang cerah, Pearl Harbor dibombardir dari laut dan udara. Dalam serangan ini
Jepang berhasil menghancurkan 16 kapal perang dan 300 pesawat terbang Amerika Serikat (Toyama,
1974: 207). Pembokongan terhadap Pearl Harbor ini menandai berawalnya Perang Pasifik, yang
menjadi bagian dari Perang Dunia II. Dengan gerak cepat Jepang, berhasil menguasai dan menduduki
daerah-daerah yang kaya akan minyak, dimulai dengan jatuhnya Malaya pada 9 Desember 1941,
berturut-turut jatuh pula Singapura, Filipina, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda) dan
Hongkong. Hanya dalam jangka waktu 6 bulan, bendera Hino Maru berkibar dari Lashio di Birma
sampai ke Kepulauan Wake di Pasifik Tengah.
Pada awal perang, Jepang tampaknya berada dalam posisi yang ofensif. Tetapi, sejak
pertengahan tahun 1942 situasi mulai berubah. Tepatnya ketika Jepang mengalami kekalahan dalam
pertempuran laut di Midway, sejak 3 hingga 6 Juni 1942. Kedudukan menjadi berbalik dan sejak saat
itu Jepang mulai berada dalam kondisi defensif. Kekalahan demi kekalahan dialami Jepang diikuti
dengan gerakan maju Sekutu, di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, terus menapak dan
akhirnya mencapai daratan Jepang. Penyebab kekalahan Jepang ini tidak lain karena seluruh industri
dalam negeri Amerika, yang lebih baik keadaannya dibanding Jepang, dipusatkan pada pembuatan
alat-alat yang berguna bagi keperluan perang. Di samping itu, faktor penentu lainnya adalah
terdapatnya beda pendapat yang besar dan berlarut-larut dalam tubuh Angkatan Perang Jepang, antara
Angkatan Darat dan Angkatan Laut, dalam memutuskan masalah-masalah politik nasional sejak
terjadinya insiden Jembatan Markopolo tanggal 7 Juli 1937 (Mayer, 1984: 39).
Selama Perang Dunia II, strategi negara Sekutu adalah mengalahkan terlebih dahulu musuh yang
berada di medan perang Eropa, setelah itu baru bersama-sama menghadapi Jepang di medan perang
Pasifik (Eisenhower, 1948: 657). Strategi ini tepat, karena letak Jerman dan Italia berada di tengah
lingkungan negara Sekutu di Eropa, sehingga kedua negara ini akan dengan mudah dikepung dan
diserang dari segala arah. Dalam pelaksanaan kebijakan ini, Amerika memperoleh kebebasan untuk
tetap dalam prinsip yang dianutnya, yakni, selain turut aktif membantu sekutu di medan perang Eropa,
juga terus menghadapi Jepang di medan perang Pasifik (Eisenhower, 1948: 55).
Akibat menyerahnya Italia pada tahun 1943, psikologi peperangan di medan Eropa
menyumbangkankan nilai tambah tersendiri bagi kekuatan Sekutu. Konstelasi ini menyebabkan posisi
Jerman makin terpojok, dikepung dan diserang dari berbagai arah, sehingga kejatuhannya hanyalah
tinggal soal waktu. Pihak Sekutu pun menuntaskan tugas tempur mereka, Jerman menyerah pada 7
Mei 1945. Berakhirnya perang di medan Eropa memungkinkan pengalihan seluruh potensi Sekutu
untuk menghadapi Jepang di medan perang Pasifik. Ofensif besar-besaran di bawah pimpinan Jenderal
Douglas MacArthur terbukti terlalu tangguh bagi Jepang. Bulan Juni 1945, tentara Sekutu mendarat di
Pulau Okinawa. Kedudukan pulau ini sangat strategis bagi kedua belah pihak. Bagi Sekutu, tanpa
bantuan kapal induk sekalipun, seluruh kota besar Jepang sudah berada dalam jangkauan pesawatpesawat pembom berat Sekutu yang berpangkalan di Okinawa.2 Bagi Jepang, jatuhnya Okinawa berarti
ancaman serius yang memojokkan mereka ke ambang kekalahan.
Ketika daratan Jepang dilanda suasana kalut akibat serangan udara dan laut Sekutu pada bulan
Juli 1945, pemimpin negara-negara Sekutu mulai memperkirakan bahwa Perang Dunia II di medan
perang Pasifik akan segera berakhir. Seumpama Jepang masih menyisakan jurus-jurus pamungkas
untuk mengatasi gempuran Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur telah siap dengan rencana berikut:
mendaratkan pasukannya di pulau-pulau utama Jepang pada bulan November 1945. Begitulah, para
pengambil keputusan dari pihak Sekutu berembuk dan mempersiapkan paket kebijakan politik yang
akan mereka berlakukan seusai perang, sebuah skenario pascakekalahan Jepang.
Deklarasi Potsdam
Di medan perang Eropa, kekalahan Jerman yang terjadi begitu cepat sama sekali di luar
perkiraan Sekutu. Para pemimpin negara Sekutu dengan sendirinya perlu segera mengadakan
pertemuan guna merundingkan langkah-langkah yang akan diberlakukan terhadap Jerman. Dengan
cepat pula ditetapkan Potsdam menjadi lokasi perundingan, sebuah kota kecil di Berlin bagian timur,
yang berlangsung 17 Juli hingga 2 Agustus 1945. Perundingan yang dihadiri oleh H. S. Truman
(Presiden Amerika Serikat), W. L. Churchill (Perdana Menteri Inggris), dan I. V. Stalin (Perdana
Menteri Uni Soviet). Ketika perundingan berlangsung, posisi W. L. Churchill digantikan oleh Atlee,
yang terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris yang baru (Tadashi, 1983: 231).
Agenda perundingan Postdam mencakup: cara dan besarnya hukuman yang akan dikenakan atas
Jerman; kondisi negara-negara Timur Tengah; masalah Polandia, Afrika, Australia, Bulgaria, Hungaria,
Rumania, Cekoslawakia, Turki dan Jepang. Energi terbesar dalam pembahasan selama 17 hari itu
tersedot untuk pembahasan masalah Jerman. Keputusan prinsipiil kubu Sekutu adalah perlucutan
senjata dan demiliterisasi Jerman secara total. Semua industri Jerman yang dapat dipakai untuk
memproduksi keperluan perang, karena itu, harus dimusnahkan. Rakyat Jerman harus diyakinkan
6
bahwa, sebagai bangsa yang kalah perang, tak dapat menghindari tanggung jawab. Mereka harus sadar
bahwa risiko kehancuran ekonomi dan sanksi perlucutan senjata adalah akibat dari perang yang
dikibarkan NAZI.3 Oleh karena itu, semua yang berbau NAZI harus dilenyapkan. Agar bibit-bibit
militerisme tidak bertunas lagi, program pendidikan rakyat Jerman harus diawasi dengan ketat.
Demokrasi harus disebarluaskan (Greenville, 1974: 236).
Dalam hal Jepang, pemimpin negara-negara Sekutu dalam forum ini mempunyai kesamaan
pandangan. Mereka sependapat, negara-negara Sekutu yang terlibat langsung dalam perang melawan
Jepanglah sebagai pihak yang mempermaklumkan deklarasi. Bagaimanapun juga, Sekutu
berkepentingan memperkecil jumlah korban jiwa dari medan peperangan ketika kekalahan Jepang
semakin nyata. Lantaran Uni Soviet masih terikat dalam Perjanjian Netralitas 4 dengan Jepang, tentu
tidak etis Stalin ikut membubuhkan tanda tangan dalam deklarasi itu. Posisinya digantikan oleh Chiang
Kai Shek dari Cina, yang merupakan seteru abadi Jepang. setuju dan Deklarasi Potsdam—yang
ditandatangani oleh ketiga pemimpin pemerintahan negara Sekutu: Amerika Serikat, Cina dan
Inggris—diumumkan pada 26 Juli 1945.
Teks lengkap Deklarasi Potsdam berbunyi sebagai berikut:
1. Kami Presiden Amerika Serikat, Presiden Pemerintahan Nasional Republik Cina, Perdana
Menteri Inggris Raya, yang mewakili ratusan juta rakyat kami, telah berunding dan sepakat agar
Jepang diberi kesempatan untuk mengakhiri peperangan ini.
2. Angkatan Darat, Laut dan Udara yang luar biasa dari Amerika Serikat, Inggris Raya dan
Cina, yang diperkuat berlipat ganda oleh tentara dan Armada Udara dari Barat, telah dipersiapkan
untuk memberikan pukulan terakhir terhadap Jepang. Kekuatan militer ini ditopang dan
disemangati oleh keinginan semua negara Sekutu untuk meneruskan perang melawan Jepang
sampai Jepang berhenti melawan.
3. Akibat dari perlawanan Jerman yang sia-sia dan tanpa perasaan terhadap kekuatan rakyat
dunia yang merdeka merupakan contoh yang mengerikan bagi rakyat Jepang. Kekuatan yang kini
tertuju pada Jepang adalah lebih besar daripada yang dihadapi oleh NAZI, yang telah
menyebabkan kehancuran tanah-tanah, industri dan seluruh rakyat Jerman. Penggunaan penuh
kekuatan militer kami, dengan dukungan resolusi kami, akan berarti kehancuran total bagi
Angkatan Bersenjata Jepang dan juga tidak dapat dihindarkan kehancuran total bagi tanah air
Jepang.
4. Waktunya telah tiba bagi Jepang untuk memutuskan apakah Jepang akan terus
dikendalikan oleh penasihat-penasihat militer yang berkeinginan sendiri, yang dengan
perhitungan-perhitungan bodohnya telah menyebabkan Kerajaan Jepang di ambang
kehancurannya, ataukah Jepang akan mengikuti jalan yang dapat diterima oleh akal sehat.
5. Berikut adalah syarat-syarat kami. Kami tidak akan menyimpang darinya. Tidak ada
alternatif-alternatif. Kami tidak akan mengulur waktu.
6. Karena kita berkehendak menciptakan suatu orde kedamaian, keamanan dan keadilan
yang baru, kekuasaan dan pengaruh dari pihak-pihak yang telah membohongi dan menunjukkan
rakyat Jepang ke jalan yang salah dalam usaha menguasai dunia harus dihilangkan dan
disingkirkan untuk selama-lamanya. Hal ini akan mustahil terwujud bila militerisme yang tidak
bertanggung jawab belum dienyahkan dari muka bumi.
7. Bila orde tersebut telah tercipta dan bila bukti-bukti bahwa kekuatan peperangan Jepang
telah dilenyapkan, maka tempat-tempat baru dalam kewilayahan Jepang akan ditentukan oleh
Sekutu, dan akan diduduki untuk mengamankan tujuan dasar dari deklarasi ini.
8. Syarat-syarat Deklarasi Kairo akan dilaksanakan, dan kedaulatan Jepang akan terbatas
sampai pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku dan pulau-pulau kecil lainnya yang
akan kami tentukan.
9. Kekuatan militer Jepang, bila telah sama sekali tanpa senjata, akan diizinkan untuk
kembali ke tanah airnya dengan kesempatan untuk menuju pada kehidupan yang damai dan
produktif.
10. Kami tidak bermaksud memperbudak ataupun menghancurkan Jepang sebagai suatu
negara, tetapi keadilan yang kuat akan ditunjukkan kepada semua penjahat perang, termasuk
mereka yang telah melaksanakan kekejaman terhadap tawanan-tawanan pihak kami. Pemerintah
Jepang harus menyingkirkan semua halangan bagi pembangunan dan penguatan demokrasi di
antara rakyat Jepang, kebebasan berbicara, agama, pemikiran, dan rasa hormat terhadap hak-hak
asasi manusia harus diciptakan.
11. Jepang akan diizinkan mendirikan industri-industri yang dapat membantu ekonominya,
dan diizinkan untuk memperbaikinya, tetapi tidak untuk industri yang memungkinkan Jepang
dapat bersenjata lagi bagi peperangan yang akan datang. Jalur-jalur dan pengendalian bahan baku
juga akan diizinkan. Pada akhirnya, partisipasi Jepang dalam perdagangan dunia internasional
juga akan diizinkan.
12. Kekuatan-kekuatan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah hal-hal di
atas tercapai, serta bila pemerintahan yang damai dan bertanggung jawab menurut kehendak bebas
rakyat Jepang telah terbentuk.
13. Kami berseru kepada pemerintah Jepang agar memproklamirkan penyerahan tanpa
syarat dari semua Angkatan Perang Jepang, dan memberikan jaminan yang cukup dan benar
dalam pelaksanaannya. Pilihan lain bagi Jepang adalah kehancuran total dan cepat (Mosley, 1966:
352-353).
7
Sehari kemudian, 27 Juli 1945, isi Deklarasi Potsdam ini sudah diketahui oleh pemerintah
Jepang. Kabinet Suzuki Kantaro segera mengadakan pertemuan guna membahasnya. Di samping itu,
diminta juga jasa baik Uni Soviet untuk menjadi perantara dalam mencari jalan damai (Kazutoshi,
1968: 14). Setelah melalui perdebatan yang sengit—antara kelompok yang setuju menerima isi
Deklarasi di bawah pimpinan Menteri Luar Negeri Togo Shigenori, dan kelompok yang menolak di
bawah pimpinan Menteri Peperangan Jenderal Anami Korechika—Kabinet menyepakati langkah atas
jalan keluar versi pihak Sekutu. Sikap yang diambil pemerintah Jepang, bertolak belakang dengan
harapan Sekutu, justru menjalankan politik Mokusatsu atau membunuh secara diam-diam isi
Deklarasi Postdam. "Kita akan terus melanjutkan perang," demikian Suzuki Kantaro
mengumumkannya (Toyama, 1974: 237).
Reaksi Jepang itu menegaskan posisi perlawanannya. Para penandatangan Deklarasi Potsdam
mafhum bahwa pemerintah Jepang telah menolak mentah-mentah tawaran penyelesaian damai. Mau
tak mau, Sekutu melaksanakan amanat Deklarasi yang mungkin dianggap Jepang gertak sambal. Pada
6 Agustus 1945, pemerintah Jepang merasakan apa yang dimaksud dengan “kehancuran total dan
cepat” dalam butir ke-13 Deklarasi Potsdam. Hiroshima dibumihanguskan dengan sebuah bom atom
yang pertama kali terjadi dalam sejarah peradaban manusia, yang dalam sekejap menewaskan 100.000
penduduk Hiroshima (Toyama, 1974: 238). Berselang 3 hari, pada 9 Agustus 1945, Kota Nagasaki
mengalami nasib yang serupa. Menunggangi kejadian ini, Uni Soviet yang masih terikat perjanjian
damai dengan Jepang mengumumkan perang pada tanggal 8 Agustus 1945. Tentara Merah dengan
cepat melintasi tapal batas Manchuria. Mereka hanya memerlukan waktu dua jam untuk menggasak
tentara Kwantung yang terkenal itu hingga tidak berdaya (Kazutoshi, 1968: 22).
Dihadapkan pada situasi pelik seperti ini, terlebih mengingat kentalnya polarisasi dua kelompok
dalam menyikapi Deklarasi Potsdam, Kaisar memutuskan menerima Deklarasi Potsdam. Langkah ini
diambil dalam Konferensi Kekaisaran yang berlangsung pada 14 Agustus 1945 (Ienaga, 1978: 231). 5
Keesokan harinya, 15 Agustus 1945, berkumandanglah rekaman suara Kaisar pada seluruh rakyat
Jepang. Isinya adalah pernyataan pemerintahan Jepang untuk mengakhiri peperangan dan menyerah
pada Sekutu sesuai dengan isi Deklarasi Potsdam. Jepang telah menyerah, meski belum seorang pun
prajurit Sekutu yang menginjakkan kakinya di Tokyo.
Imbauan Kerajaan untuk menyerah ini tidak begitu saja ditaati oleh rakyat Jepang. Beberapa
anggota dari Kesatuan Udara Angkatan Laut yang berkedudukan di Pangkalan Udara Atsugi dekat
Tokyo bersikeras meneruskan perang sampai titik darah penghabisan. Segelintir personel Angkatan
Darat membunuh Komandan Divisi Pengawal Kerajaan, dan mencoba mencegah penyiaran pidato
Kaisar. Meski terjadi penyangkalan di sana-sini, pada hakikatnya mayoritas rakyat Jepang menerima
kekalahan. Lebih-lebih pengumuman untuk menyerah ini langsung keluar dari mulut Kaisar yang
sangat mereka hormati. Rakyat Jepang sebenarnya mau meneruskan perang demi Kaisar mereka, tapi
Kaisar sendiri memutuskan menyerah dan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang digariskan Sekutu,
hingga rakyat mematuhi perintah Kaisar. Faktor kejiwaan inilah yang memudahkan rakyat Jepang
untuk menerima kenyataan kalah perang dengan tenang (Eto, 1974: 8).
Penandatanganan Dokumen Penyerahan
Sebagai tindak lanjut dari keputusan pemerintah Jepang menerima semua syarat Deklarasi
Potsdam dan menyerah pada Sekutu, pada tanggal 2 September 1945, di atas geladak kapal Missouri
yang berlabuh di Teluk Tokyo, dilakukan upacara penyerahan militer secara resmi kepada negaranegara yang tergabung dalam blok Sekutu. Di samping Jenderal Douglas MacArthur sebagai Panglima
Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu atas Jepang, ikut menandatangani dokumen penyerahan ini C.
W. Nimitz (wakil Amerika Serikat); Hsu Yung Ch'ang (Cina); Bruce Fraser (Inggris); K. Derevyanko
(Uni Soviet); T. A. Blamey (Australia); L. Moore Cosgrave (Kanada); Leclerc (Perancis); C. E. L.
Helfrich (Belanda); dan L. M. Isitt (Selandia Baru), sedangkan pihak Jepang diwakili oleh Menteri Luar
Negeri Mamoru Shigemitsu dan Jenderal Umezu Yoshijiro (Collier, 1946: 272).
Dokumen penyerahan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 2 September
1945 itu berbunyi sebagai berikut:
1. Kami, yang bertindak atas perintah dan atas nama Kaisar Jepang, Pemerintah Jepang dan
Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang, dengan ini menerima syarat-syarat yang ditentukan dalam
deklarasi yang dikeluarkan oleh pemimpin pemerintahan Amerika Serikat, Cina dan Inggris Raya
pada tanggal 26 Juli 1945 di Potsdam, dan seterusnya didukung oleh Republik Sosialis Uni Soviet,
yang mana keempat kekuatan tersebut di sini seterusnya disebut sebagai Kekuatan Sekutu.
2. Kami dengan ini menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Kekuatan Sekutu dari Markas
Besar Tentara Kerajaan Jepang, seluruh tentara Jepang, dan seluruh tentara di bawah kekuasaan
Jepang di mana pun berada.
3. Kami dengan ini memerintahkan semua jajaran Angkatan Bersenjata di mana pun berada,
semua rakyat Jepang, untuk menghentikan permusuhan ini demi memelihara dan menyelamatkan
semua kapal-kapal laut, kapal-kapal terbang, benda-benda militer dan sipil dari kerusakan;
menaati semua persyaratan yang ditentukan oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu,
ataupun oleh badan-badan pemerintah Jepang yang ditunjuknya.
4. Kami dengan ini memerintahkan Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang untuk
mengeluarkan perintah-perintah kepada semua pemimpin Angkatan Bersenjata Jepang, dan semua
Angkatan Bersenjata di bawah kekuasaan Jepang di mana pun berada, untuk menyerahkan diri
tanpa syarat beserta semua kekuatan yang ada di bawah kekuasaannya.
5. Kami dengan ini memerintahkan semua pejabat sipil, militer dan Angkatan Laut untuk
mematuhi dan melaksanakan semua pernyataan, perintah dan petunjuk yang dikeluarkan oleh
8
Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, lembaga yang ditunjuk atau berada di bawah
wewenangnya guna penyerahan ini dapat terlaksana dengan baik, dan kami memerintahkan semua
pejabat tersebut untuk tetap dalam jabatannya, dan meneruskan semua tugas-tugas nonperang,
kecuali bila secara pasti dibebastugaskan oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu,
atau oleh lembaga yang berada di bawah wewenangnya.
6. Kami dengan ini mengambil langkah demi Kaisar, Pemerintah Jepang dan penerusnya
untuk menjalankan semua persyaratan Deklarasi Potsdam dengan rela, dan akan mengeluarkan
perintah atau mengambil tindakan apa pun yang mungkin diperlukan oleh Panglima Tertinggi
Pasukan Pendudukan Sekutu, ataupun oleh wakil-wakil lain yang ditentukan oleh Kekuatan
Sekutu, demi terlaksananya tujuan Deklarasi Potsdam ini.
7. Kami dengan ini memerintahkan Pemerintah Kekaisaran Jepang dan Markas Besar
Tentara Kerajaan Jepang untuk segera membebaskan semua tawanan perang Sekutu dan anggotaanggota sipil yang kini berada di bawah kekuasaan Jepang, dan menyediakan perlindungan,
perawatan, pemeliharaan dan pemindahan segera ke tempat yang ditentukan.
8. Kekuasaan Kaisar dan Pemerintah Jepang untuk memerintah negara akan ditentukan oleh
Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, yang akan mengambil langkah-langkah yang
dianggap perlu untuk melaksanakan syarat-syarat penyerahan ini.
Ditandatangani di Teluk Tokyo, Jepang pada pukul 09.04. I pada tanggal dua bulan September,
1945.
Mamoru Shigemitsu
Atas perintah dan atas nama Kaisar Jepang dan Pemerintah Jepang
Umezu Yoshijiro
Atas perintah dan atas nama Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang
Diterima di Teluk Tokyo, Jepang pada jam 09.08. I
pada tanggal dua bulan September, 1945.
Untuk Amerika Serikat, Republik Cina, Kerajaan Inggris, Republik Sosialis Uni Soviet, dan untuk
kepentingan negara-negara lain dalam Perserikatan Bangsa-bangsa yang berperang dengan
Jepang.
Douglas MacArthur
Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu
C. W. Nimitz
Wakil Amerika Serikat
Hsu Yung Ch'ang
Wakil Cina
Bruce Fraser
Wakil Inggris
K. Derevyanko
Wakil Uni Soviet
T. A. Blamey
Wakil Australia
L. Moore Cosgrave
Wakil Kanada
Leclerc
Wakil Perancis
C. E. L. Helfrich
Wakil Belanda
L. M. Isitt
Wakil Selandia Baru
Dengan ditandatanganinya Dokumen Penyerahan ini, Jepang memasuki masa pendudukan
Sekutu yang berlangsung hingga 28 April 1952, bertepatan dengan efektif dan absahnya masa
pemberlakukan hasil Perjanjian Perdamaian San Fransisco yang ditandatangani pada 8 September
1951.
Masa Pendudukan Sekutu
9
Masa-masa pahit yang dialami bangsa Jerman karena kehancuran rezim NAZI pada tahun 1945
juga dialami bangsa Jepang. Dengan penyerahan tanpa syarat militer dan pengambilalihan kekuasaan
tertinggi negara oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, Jepang tidak lagi menjadi
bangsa yang berpengaruh terhadap bangsa-bangsa di sekelilingnya, ia bahkan kehilangan hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dan dikebiri untuk menjalankan kedaulatan dalam negeri ataupun luar
negeri. Sejak 2 September 1945 hingga berlakunya perjanjian damai San Fransisco pada 28 April 1952,
Jepang praktis kehilangan eksistensinya sebagai subyek dalam percaturan politik internasional.
Negara-negara Sekutulah yang selanjutnya mendiktekan, pabila dan sejauh mana Jepang diizinkan ikut
campur tangan dalam menentukan nasib sendiri ataupun untuk menjalin kerjasama-kerjasama yang
berskala antarbangsa.
Dalam kapasitasnya sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, Jenderal Douglas
MacArthur ditugasi menjalankan kebijakan negara-negara Sekutu yang akan diberlakukan atas Jepang.
Secara teoretis, semua kebijakan MacArthur atas nama negara-negara Sekutu. Dalam praktek, apa yang
diterapkan atas Jepang tak lain dari pelaksanaan kehendak pemerintah Amerika, yang dirumuskan
oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Peperangan, Kementerian Angkatan Laut, dan lembagalembaga lain sebelum berakhirnya perang (Quigley dan Turner, 1956: 91).
Langkah awal Jenderal MacArthur adalah melucuti Jepang. Alasannya, trauma bangsa-bangsa di
sekelilingnya yang mem-fait accompli Jepang sebagai ancaman yang sangat membahayakan. Jadi,
demi mempertahankan keamanan dan perdamaian dunia, Jepang harus dilumpuhkan sedemikian rupa
sehingga mereka tidak berdaya untuk memulai agresi baru. Pihak Sekutu menganggap Jepang sebagai
pemicu Perang Pasifik (butir 4 Deklarasi Potsdam), karenanya setiap potensi sumber kekuatan Jepang
perlu dilumpuhkan. Dengan kebijakan ini, MacArthur menumpas elemen perlawanan Jepang terhadap
Sekutu. Langkah berikutnya, mengadili mereka yang dianggap terlibat dalam politik agresi;
pembubaran Zaibatsu; pemisahan Shinto dari negara; reformasi pendidikan; reformasi pertanian dan
sebagainya. Kebijakan ini pun praktis merealisasikan sebuah pernyatan Presiden H. S. Truman,
"Langkah apa pun yang akan dijalankan terhadap Jepang harus didasari oleh dua prinsip, yakni adanya
jaminan bahwa Jepang tidak akan lagi menjadi ancaman bagi Amerika, atau perdamaian dan
keamanan dunia, serta terbentuknya pemerintahan yang damai dan bertanggung jawab, sesuai dengan
prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis" (Quigley dan Turner, 1956: 93).
Amerika masih melihat sebuah sumber kekuatan Jepang paling fundamental yang mesti dibasmi.
Sumber yang dimaksud tidak lain dari Konstitusi Meiji, dengan lembaga Kaisar sebagai intinya. Sekutu
tak puas dengan hanya Jepang yang tidak kuat, mereka berhasrat mengubah Jepang menjadi sama
sekali berbeda dengan Jepang yang mereka hadapi dalam Perang Pasifik. Dengan pijak yuridis
penyerahan tanpa syarat Deklarasi Potsdam dan klausul Dokumen Penyerahan, Jenderal MacArthur
merasa mantap melaksanakan misi penggusuran konstitusi Jepang. Konstitusi Meiji yang ditengarai
sebagai sumber kekuatan Jepang sebagai satu bangsa dengan konstitusi yang sama sekali baru.
MacArthur mengawali dengan menisbikan predikat suci Kaisar dalam pandangan rakyat Jepang.
Gagasan tersebut cukup jitu, meski sungguh tidak mudah mewujudkannya di alam nyata.
Pada 8 September 1945, Jenderal Courtney Whitney menyarankan Jenderal Douglas MacArthur
memanggil Kaisar ke Markas Besar Pasukan Pendudukan Sekutu, lalu memberinya perintah-perintah
untuk dilaksanakan. Ide stafnya ini pada hemat MacArthur hanya akan membuat rakyat Jepang merasa
terhina, karena dalam pandangan mereka Kaisar itu suci. MacArthur cukup yakin dengan kiat dan
siasatnya, "Kita akan menunggu biar Kaisar sendiri yang akan datang pada kita" (Mosley, 1966: 337).
Apa yang kemudian terjadi? Di Istana, Kaisar mendengar berita bahwa beberapa menteri dan pegawai
Istana dituduh sebagai penjahat perang. Dia terpanggil untuk menghadap secara langsung kepada
Jenderal Douglas MacArthur di Markas Besar Pasukan Pendudukan Sekutu. Pada kesempatan itu
Kaisar menyatakan bahwa dialah yang sepenuhnya bertanggung jawab. Pertemuan tanggal 27
September 1945 itu menjadi amat krusial karena Kaisar menyerahkan diri kepada kebijakan yang akan
diambil oleh Jenderal Douglas MacArthur (Mosley, 1966: 341).
Keesokan harinya, 28 September 1945, rakyat Jepang melihat di halaman muka surat kabar
mereka sendiri gambar Kaisar yang berdiri dalam sikap formal di samping Jenderal Douglas
MacArthur yang berkacak pinggang, tanpa dasi, tanpa uniform. Jiwa mereka terpukul (Eto, 1974: 10).
Fakta ini sedemikian mengguncangkan sendi-sendi harga diri yang dianut massa rakyat. Di dalam
sanubari rakyat Jepang diam-diam timbul pertanyaan, apa makna kesetiaan yang selama ini kami
tegakkan? Apa arti kepercayaan yang kami pelihara secara turun-temurun? Masihkah Kaisar
merupakan simbol suci dan sekaligus pilar utama keberadaan bangsa Jepang? Rekayasa MacArthur
sukses. Pertanyaan dan gugatan seperti inilah yang ia rangsang tumbuh di kalangan rakyat Jepang.
MacArthur coba menunjukkan bahwa Kaisar mereka adalah seorang manusia biasa, seperti mereka
juga. Namun, yang lebih penting bagi MacArthur adalah Kaisar bersedia melakukan perubahanperubahan terhadap Konstitusi Meiji.
Kesimpulan
Sebagaimana Jerman, keterlibatan Jepang dalam PD II dipicu faktor hutang dan penghinaan
oleh negara-negara lain. Jika Jerman memikul hutang dan penghinaan dari sesama ras putih akibat
kalah dalam satu pertarungan terhormat, yakni Perang Dunia II; Jepang dihina akibat diskriminasi
rasial hampir sepanjang panjang peradaban. Sejarah memposisikan ras kuning Asia sebagai centeng ras
putih Eropa dan Amerika yang duduk sebagai raja. Keinginan ras kuning Asia untuk naik “kasta”
dianggap berlebihan. Legenda bahwa masyarakat Jepang berasal dari keturunan Ameterasu Omikami
(Dewa Matahari) malah dijadikan bahan olok-olok. Legenda ini dimitoskan, mitos ini disosialisasikan
secara luas melalui slogan-slogan. “Kami adalah anak-anak tuhan. Negara-negara di sekitar kami
adalah saudara-saudara muda kami. Mereka pun, kalau tidak anak Tuhan, masih saudara dekat atau
10
saudara jauh dari anak-anak Tuhan.” Sayangnya, perilaku tentara Kekaisaran Jepang Raya selama PD
II melenceng jauh dari bahkan mengkhianati ‘mandat’ mereka sebagai anak Tuhan. Itu sebabnya,
saudara-saudara mudanya bersikap tidak peduli ketika Jepang diperlakukan secara hina oleh Sekutu,
khususnya Amerika.
Berhasilkan pendudukan Amerika Serikat atas Jepang selama kurun waktu 2 September 1945
sampai dengan 28 April 1952? Tolok ukur untuk itu adalah seberapa mampu Amerika menciptakan
situasi damai di Jepang. Dari sekian banyak masalah yang dihadapi Sekutu (baca: Amerika Serikat),
agaknya masalah penyusunan Undang-undang Dasar Baru Jepang 1946-lah yang merupakan tugas
terberat. Sebagai Pemimpin Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu atas Jepang, Jenderal Douglas
MacArthur harus mempertimbangkan berbagai segi dengan ekstra hati-hati. Khususnya menyangkut
kebijakan yang berhubungan langsung dengan eksistensi Kaisar. Dari rekan satu blok (Sekutu), Rusia
menuntut Kaisar diadili di pengadilan militer, kalau perlu divonis hukuman mati. Tuntutan ini jelas
sangat ekstrem. Dalam kalkulasi strategis Amerika, Jepang justru perlu dirangkul sebagai mitra, yang
kelak dapat berfungsi sebagai dinding kokoh dalam membendung laju faham komunis yang makin
berkembang di Asia Timur.
Pembahasan pada Bab II akan dimulai dengan uraian tentang latar belakang pemikiran untuk
mengubah UUD Meiji dengan suatu UUD yang baru, lalu bagaimana proses perubahan itu terjadi dan,
pada akhirnya, bagaimana bentuk Undang-undang Dasar Jepang yang baru tersebut. Dengan
demikian, diktum hukum besi sejarah yang telah dibahas dalam Bab I bisa lebih dipahami.©
Bab IV
Jepang dan Negara Dunia Ketiga:
Cara Baru, Gaya Lama
Pengantar
Lingkaran pengaruh yang menorehkan hegemoni Jepang atas kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara
bukanlah kisah 20, 30 atau 40 tahun terakhir. Sejak abad ke-19, plot kedua wilayah ini sedemikian sentral dalam
strategi kebijakan politik luar negeri Tokyo. Makna geostrategis wilayah ini sangat penting dalam bingkai
keamanan nasional Jepang; setara dengan Amerika Tengah atau Karibia bagi Amerika Serikat atau Eropa Timur
bagi Masyarakat Ekonomi Eropa. Didukung kinerja ekonomi dan militernya, Jepang mengambil alih peran klasik
Barat sebagai negeri imperialis-kolonialis. Langkah Jepang menganeksasi Kepulauan Ryukyu bahkan berlanjut
dengan ekspansi ke Taiwan dan Korea. Secara beriringan, dengan pilar-pilar perusahaan multinasional raksasa,
yakni zaibatsu,31 mesin ekonomi Jepang membanjiri negara-negara kawasan dengan beragam produk. Slogan
"Asia untuk Asia" sebagai “kawasan bersama” Asia Timur gencar dikumandangkan pada tahun 1930-an. Skenario
besar di balik slogan itu adalah menjadikan wilayah ini; baik dalam arti politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun
spiritual; berkiblat ke Tokyo.
Sejarah membuktikan, cita-cita menancapkan hegemoni regional ini tidak pernah mati meski mereka kalah
perang. Sejak tahun 1945, dengan bantuan Amerika Serikat, Jepang berhasil memperbarui cara lama dan
menciptakan pasar baru di kawasan ini. Apa rahasianya? Jawabannya tak lain dari: penerapan strategi yang jitu.
Sejak awal 1970-an, rambahan itu tertuju pada pemusatan orientasi ke kawasan ini. Mereka memposisikan diri
menjadi rekanan dagang, sumber modal, dan pemasok dana bantuan luar negeri terpenting bagi negara-negara di
kawasan Asia Timur. Hampir tak ada dana dialokasikan ke kawasan-kawasan lain. Mereka menggelongtor
wilayah ini dengan model total football yang pernah diperagakan kesebelasan Belanda. Kondisi ini by nature
dan by design menciptakan pola dominasi dan subordinasi. Jepang naik kelas menjadi ‘godfather’ sedangkan
negara-negara kawasan menjadi sangat (dan makin) tergantung secara ekonomi.
Skala perdagangan dan investasi antara keduanya secara permanen tidak pernah setara. Ekspor Jepang ke
kawasan ini terutama berupa teknologi tinggi, modal, dan barang-barang jadi; sedangkan Jepang hanya
mengimpor barang-barang setengah jadi—selanjutnya diproduksi oleh industri kecil dan menengah yang bersifat
padat karya. Pabrik-pabrik atau industri tersebut nota bene perusahaan berbendera Jepang. Kecuali dengan negara
yang kaya sumber alam seperti Indonesia, Brunei dan Malaysia, perdagangan Jepang dengan negara-negara di
kawasan Asia Timur selalu surplus. Dominasi ekonomi ini membuahkan nilai tambah politik bagi Tokyo. Jepang
11
memperoleh hak ekonomi khusus yang lebih besar dari pemerintahan negara-negara kawasan, dan itu berarti
pelestarian pola ketergantungan secara ekonomi dan politik. Sehingga, tidaklah berlebihan bila para ilmuwan dan
pengamat politik menyebut bahwa Jepang berhasil mencapai "Kawasan Kerjasama Kemakmuran Asia Timur"
(East Asian Co-prosperity Sphere) melalui kebijakan perniagaan baru (neo-merkantilisme), sesuatu yang gagal
mereka capai melalui praktik imperialis dengan cara militer pada masa PD II.32
Strategi Tokyo memantapkan hubungan ekonomi yang asimetris ini menjadi pilar penyangga penting bagi
kebijakan Keamanan Terpadu Jepang untuk menganekaragamkan kebutuhannya terhadap minyak, energi, gas
bumi, bahan baku, dan pasaran bagi produksi industrinya. Sehubungan dengan ini Jepang menuai kritik pedas,
tidak saja dari kubu ASEAN, negara-negara industrialis baru (NIC’s), tetapi juga dari Cina. Kesemuanya
menggugat asimetri hubungan ekonomi dengan Jepang. Namun, ketergantungan terhadap barang-barang, jasa, dan
modal Jepang telanjur mendalam dan akut. Ujung-ujungnya, pada status posisi tawar yang begitu rendah, ikhtiar
mereka menegosiasikan konsesi-konsesi yang dapat memperbaiki keadaan yang tidak saling menguntungkan ini
manjadi sesuatu yang musykil.
Keadaan yang Sesungguhnya
Angka-angka statistik berikut berbicara sendiri tentang kedudukan Jepang sebagai mitra dagang dengan
tingkat ketergantungan yang besar bagi Asia Timur. Benar bahwa impor Jepang negara-negara ASEAN pada
1988 sebesar $23,369 miliar, atau sedikit melampaui nilai ekspornya yang $23,027 miliar; tetapi data statistik ini
tak mengubah konstelasi antara keduanya. Kecuali dengan Indonesia, Jepang menangguk surplus perdagangan
yang sangat besar dengan Muangthai, Singapura, dan Filipina. Diurut dari negara dengan derajat ketergantungan
paling rendah, posisi itu secara berturut-turut ditempati Singapura (15,6%); diikuti oleh Malaysia (22,1%);
Muangthai dan Filipina (24,6%); Brunei Darussalam (37%), dan Indonesia yang tertinggi (38,4%). Sebaliknya,
ketergantungan Jepang terhadap negara-negara ASEAN sedemikian kecil, yakni Indonesia (2,7%); Malaysia
(1,8%); Muangthai (1,7%); Filipina (0,83%);Brunei Darussalam (0,26%); dan Singapura (0,25%).
Dalam neraca perdagangannya dengan negara-negara industri baru (NIC’s) di Asia Timur; Jepang secara
tetap mengalami surplus besar. Pada 1988, Jepang menikmati surplus sebesar $3,615 miliar atas Korea Selatan
dengan Korea Selatan, dengan Taiwan sebesar $S8,739 miliar, dan dengan Hongkong sebesar $9,587 miliar.
Neraca perdagangan Jepang dengan NIC’s juga tak seimbang. Nilai total perdagangan Korea Selatan dan Jepang
adalah 24,2% berbanding 0,60%; Taiwan-Jepang (20,9% : 0,51%); Hongkong-Jepang (10,8% : 0,71%). Kondisi
ini diperkuat dengan kemampuan Jepang membuat jaringan guna mengatasi kendala impor nontarif yang
dimaksudkan mencegah terciptanya pembagian pasar untuk persaingan barang-barang impor. Pada waktu yang
bersamaan—dengan nilai yen yang masih di bawah nilai won Korea, won Taiwan, dan dolar Hongkong—Jepang
memangkas keuntungan yang hendak dicapai ketiga negara NIC’s ini. Kebijakan Seoul dan Taipei berinvestasi
pada industri berat dan teknologi tinggi ataupun Hongkong dalam industri yang padat karya, pada akhirnya,
menngawetkan ketergantungan mereka terhadap impor perangkat modal Jepang.
Hubungan dagang Jepang dengan Cina dan Vietnam secara statistik bisa dikatakan sangat berbeda. Pada
tahun 1988, hampir tiga dekade sesudah Cina berjuang keras mengubah posisi surplus berlebihan yang dinikmati
Jepang, impor Jepang dari Cina mencapai $9,861 miliar, sedikit di atas ekspor Jepang ke Cina, senilai $9,347
miliar. Keseimbangan ini bisa terwujud berkat dua upaya yang berjalan serentak, yakni protes yang terus-menerus
dan kecerdasan Beijing menerapkan formula kebijakan ekonomi yang baik, di samping revaluasi nilai yen.
Terhadap Vietnam, ekspor Jepang tetap bernilai $194 miliar, senilai dua kali lebih besar dari impor Jepang yang
besarnya $96 miliar. Walaupun begitu, hubungan dagang Jepang dengan Cina dan Vietnam tak beranjak dari pola
neokolonial klasik.
Sebagaimana telah disebut di atas, kawasan Asia Timur tetap merupakan prioritas investasi Jepang. Aliran
investasi Jepang ke kawasan ini secara tetap adalah meningkat, meskipun tidak sekuat arus modal Jepang ke
negara-negara industri maju. Konsekuensi logisnya, kawasan ini dengan sangat cepat bergantung pada besarnya
nilai modal yang dikucurkan Jepang. Kecuali di Filipina, para investor Jepang saat ini menikmati bagian terbesar
dari modal yang mereka investasikan pada seluruh negara-negara di kawasan Asia Timur. Masuknya modal
Jepang ke kawasan ini berlangsung dalam tiga gelombang dengan volume yang makin lama makin besar.
Gelombang modal pertama terjadi pada tahun 1960-an, yang umumnya ditanamkan pada industri padat
karya, seperti industri tekstil dan alat-alat elektronika. Sampai tahun 1966, total investasi perusahaan Jepang di
ASEAN sebesar $166 juta, tidak sampai seperempat investasi Amerika. Gelombang modal kedua, pada awal
1970-an, diprioritaskan untuk industri kimia, baja dan industri pengolahan sumber daya alam; dengan berbagai
ekses terhadap lingkungan. Sampai tahun 1976, Jepang menginvestasikan 75% atau sebesar $4 miliar, atau lebih
dari sepertiga investasi Amerika di kawasan yang sama.33 Pertengahan 1980-an, lembaga-lembaga ekonomi
seperti bank dan asuransi merupakan sasaran utama gelombang modal ketiga modal Jepang. Pada 1985, 1986, dan
1987 Jepang mengguyurkan dana sebesar $1,43 miliar, $2,32 miliar, dan $4,86 miliar; di sisi lain, porsi Amerika
adalah $55 juta, $405 juta, dan $2,2 miliar. Pada tahun 1988, total modal asing Jepang berjumlah $5,5 miliar. 34
Sejak 1951 hingga 1988, Kementerian Perdagangan Jepang memperkirakan angka kumulatif investasi Jepang di
Asia Timur berjumlah $30 miliar, atau sekitar 21% dari total investasi asing mereka. Angka ini akan membengkak
jika digabung dengan data penanaman modal ulang (reinvestasi) Jepang yang berjumlah sekitar setengah total
investasi mereka di kawasan ini.35
Menguatnya nilai tukar yen terhadap dolar (dari 250 yen untuk US $1 pada 1985 menjadi 150 yen pada
tahun 1986) tampaknya merupakan alasan utama gelombang ketiga modal Jepang. Ketersediaan tenaga kerja
murah, sumber alam yang mudah dan murah dan berbagai kemudahan dari negara-negara tujuan menjadikan
wilayah ini amat menarik. Dengan gerak cepat, perusahaan Jepang berskala kecil, menengah ataupun besar
membanjiri kawasan ini. Di sisi lain, meningkatnya permintaan Asia Timur terhadap produk-produk Jepang makin
memacu gairah mereka menggarap kawasan ini. Sekadar contoh, perusahaan Sony mampu menjual 8% produknya
12
ke negara-negara ASEAN, dengan proyeksi peningkatan 10 hingga 20% dalam dasawarsa 1990-an. Jumlah ekspor
Jepang ke negara-negara ASEAN bahkan lebih besar dibanding ekspor Jepang ke negara-negara industri maju.36
Dinamika intern di dalam kawasan memaksa Tokyo meggeser dan menyesuaikan gerakan arus modalnya.
Meningkatnya komponen upah tenaga kerja dan penerapan berbagai hambatan oleh Korea dan Taiwan berakibat
biaya produksi tak lagi kompetitif. Karenanya, kedua negeri yang melejit masuk ke dalam kelompok negaranegara industri baru (NIC’s) itu tak lagi menjadi sasaran investasi yang menarik. Jepang pun berpaling ke negaranegara pengekspor baru (NEC’s), yang upah tenaga kerjanya murah tapi memiliki infrastruktur dan pasaran lokal
yang setara dengan NIC’s. Jepang menggunakan pola penempatan modal yang berbeda di sasaran ini pola
berbeda. Dalam dua tahun beruntun, dari 1986 ke 1987, investasi Jepang di Malaysia melonjak sekitar 297%; di
Muangthai (63%); di Indonesia (60%), dan di Filipina (31%). 37 Sepanjang kurun waktu 1980-an, Muangthai
merupakan primadona. Pada 1986, investasi 35 perusahaan Jepang berjumlah $124 miliar. Setahun kemudian,
jumlah itu meningkat dua kali lipat, yakni 130 perusahaan dan $250 miliar.38 Namun, bulan madu itu tak
berlangsung lama. Berbagai kendala tidak terelakkan akibat mahalnya harga tanah, meningkatnya upah buruh dan
biaya hidup. Pada tahun 1990-an investasi Jepang ke Muangthai mungkin akan semakin menyusut.39
Meskipun terkendala oleh lemahnya infsrastruktur, produktivitas yang rendah dan ketidakpastian politik
dan ekonomi akibat peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen, Juni 1990; Cina tetap menjadi negara paling
penting bagi penanaman modal Jepang di Asia Timur, setelah Muangthai. Ketersediaan tenaga kerja murah dan
kondusifnya peraturan pemerintah untuk berpartisipasi pada pasaran senilai $1,2 miliar merupakan faktor yang
menggiurkan bagi investor Jepang. Itu sebebnya perusahaan Jepang beramai-ramai mengalihkan operasi dari
Korea dan Taiwan ke daratan Cina. Magnitude Cina semakin besar karena pemerintah Cina yang mengikuti
langkah negara-negara Asia Timur lainnya, yakni mengiizinkan para investor asing beroperasi di daerah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) miliknya. Alhasil, semakin banyak perusahaan Jepang yang beroperasi, baik berdasarkan
prinsip kerjasama maupun sepenuhnya berstatus modal asing/PMA Jepang.40
Sama dengan bidang-bidang usaha lainnya, sektor industri jasa juga merupakan elemen yang semakin
penting dalam total investasi Jepang di luar negeri. Pusat-pusat perbelanjaan Jepang mendirikan cabangcabangnya di berbagai penjuru Asia Tenggara. Hasilnya? Pada 1988, terdapat 13 pusat perbelanjaan Jepang di
Hongkong; 7 buah di Singapura; 5 buah di Bangkok; dan sebuah di Kuala Lumpur dan Taipei. Di Singapura,
pusat-pusat perbelanjaan Jepang ini telah menguasai 35 sampai 45% dari total 100% yang tersedia, dan secara
tetap dan terencana terus meningkatkan penguasaan atas pasar dengan menjalankan strategi mematikan dan
membeli pusat-pusat perbelanjaan milik lokal yang terancam bangkrut akibat kalah bersaing. Jakarta dan Manila
adalah dua kota besar yang tak luput dari bidikan Jepang. Pada tahun 1992, di Jakarta sudah berdiri dengan
megahnya pusat-pusat perbelanjaan Jepang seperti Shogo dan Yaohan.
Eksploitasi kawasan Asia Tenggara oleh jaringan kuat pusat perbelanjaan Jepang dapat terwujud antara
lain karena kebijakan Tokyo. Pemerintah memberlakukan kebijakan “Undang-undang Dagang Skala Besar”
(Large-Scale Retail Law), untuk melindungi ribuan pedagang eceran skala kecil Jepang dari kehancuran akibat
tidak mampu bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan besar Jepang. Pembatasan jatah beroperasi pusat-pusat
perbelanjaan besar—pada hari dan jam kerja tertentu—mendorong mereka merambah pasar luar negeri. Ekspansi
pusat-pusat perbelanjaan Jepang juga didorong oleh mahalnya harga tanah dan biaya pembangunan gedung,
mengingat Tokyo merupakan daerah termahal di dunia. Kenaikan nilai tukar yen pada pertengahan sampai akhir
1980-an ikut mempercepat ekspansi tersebut, di samping mendongkrak daya beli masyarakat Jepang di luar negeri
menjadi sangat kuat. Setelah beroperasi, pengguna terbesar jasa pusat perbelanjaan ini adalah turis Jepang.
Mereka bisa membeli produk Jepang pada harga dasar, karena aturan bersama dari pedagang Jepang bagi
konsumen dalam negeri tidak dapat diterapkan secara ketat di luar negeri. Di Hongkong, 25 sampai 30% dari
seluruh nilai penjualan pusat perbelanjaan berasal dari orang Jepang, dan mereka semuanya berbelanja di pusat
perbelanjaan Jepang.41
Bagi satu negara, kepentingan politik dan ekonomi luar negeri biasanya merupakan kebijakan yang saling
berkaitan. Kombinasi kepentingan ini secara cerdik dibalur dengan pencitraan melalui apa yang disebut “Dana
Bantuan” (Aid). Mayoritas rakyat Amerika Serikat boleh jadi memiliki kebanggaan tersendiri berkat predikat
negaranya sebagai pemberi donor terbesar bagi negara-negara di kawasan Asia Timur sampai dengan tahun 1970an. Setelah itu, posisinya digantikan Jepang. Sejak 1970-an itu pula, Jepang menjadi negara donor terbesar bagi
kawasan ini. Secara bertahap, Jepang memperluas skala dan volume dana bantuannya ke berbagai kawasan dunia.
Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya sejak dana bantuan luar negeri dicanangkan pasca-Perang Dunia II,
Jepang menggusur posisi Amerika. Dana bantuan luar negeri Jepang pada tahun 1989 ini berjumlah $8,9 miliar,
sedangkan Amerika hanya $7,6 miliar.42
Bantuan luar negeri Amerika dan Jepang terhadap Asia Timur merepresentasikan garis kebijakan yang
berbeda. Bagi Amerika, aid pada dasarnya dijalankan untuk dua maslahat yang saling berkaitan, yakni
menciptakan ekonomi global yang liberal dan sebagai alat penahan gerak laju komunisme. Sedangkan karakter
bantuan luar negeri Jepang murni bersifat dagang, yang dirancang untuk mencapai tujuan geoekonomi Jepang.
Derajat kepentingan Amerika dan Jepang terhadap Asia Tenggara tercermin dalam jumlah total dana bantuan luar
negeri mereka. Hampir 50% dana bantuan luar negeri Jepang mengalir ke kawasan ini, sedangkan Amerika
Serikat hanya mengalokasikan 10%. Pada tahun 1981 dan 1982, lima besar negara penerima dana bantuan luar
negeri pemerintah (ODA) Jepang adalah negara-negara di kawasan Asia Timur. Sebesar 37,5% dari total ODA
Jepang diterima oleh 6 negara di kawasan ini: Indonesia (11,4%), Korea Selatan (6.7%), Muangthai (6,2%), Cina
(5,9%), Filipina (5,8%), dan Malaysia (2,6%). Sedangkan dana bantuan Amerika dalam jumlah yang cukup
berarti hanya 2 negara, yakni Indonesia (1,9%) dan Filipina (0,9%). Dalam tahun 1990, negara-negara yang
tergabung dalam NEC’s menerima 29% dari total ODA Jepang; adapun yang mereka terima dari Amerika hanya
11% dari total aid negara adidaya itu.
13
Target yang menjadi sasaran Jepang, yakni menciptakan daerah Asia Timur ke dalam kawasan pengaruh
ekonominya, tercapai sudah. Mimpi yang menjadi kenyataan ini mungkin jadi tak membuat mereka merasa arrive.
Sebuah pertanyaan yang sangat logis dan absah adanya muncul di sana: masihkah ada ambisi lain yang dimiliki
Tokyo terhadap kawasan ini, apa gerangan agenda yang kudu mereka wujudkan selain pengejawantahan prinsip
penghisapan demi mempertahankan kemakmuran ekonomi belaka?
Sejak dipulihkannya status Jepang dalam perjanjian perdamaian San Fransisco tahun 1951, negara ini
berhasil—sekali lagi, atas bantuan Amerika Serikat--keluar dari berbagai kendala internal dan eksternal akibat
kalah dalam PD II. Dengan cara yang brilian, setelah keadaan ekonominya pulih, Jepang mempelopori ide
berdirinya Bank Pembangunan Asia (ADB) pada tahun 1966. Sebagai penggagas dan sekaligus pemilik dana
terbesar bank ini, pimpinan tertinggi atau presiden ADB merupakan hak prerogatif Jepang. Sejak saat itu, Jepang
mulai terlibat dalam pembicaraan mengenai berbagai isu-isu regional. Jepang memainkan peran pengisi
kekosongan kekuatan di Asia Tenggara pada tahun 1970-an; menyusul penarikan mundur tentara Amerika dari
daratan Vietnam, jatuhnya Indo Cina ke tangan Komunis; dan usaha memperkuat dan memperdalam
kerjasamanya dengan negara-negara ASEAN pada tahun 1977.
Di pengujung tahun 1970 dan di sepanjang tahun 1980-an, Jepang aktif menjadi penengah untuk
menyelesaikan friksi antara ASEAN dan Vietnam. Motif Jepang memainkan peranan ini cukup kompleks. Di satu
pihak, seperti juga ASEAN, Jepang mengkhawatirkan potensi ekspansi komunisme Vietnam, yang akan akibatkan
ketidakstabilan ekonomi dan politik regional dan itu sangat merugikan kepentingan Jepang. Di pihak lain, Jepang
amat berkepentingan memelihara Vietnam dengan 65 juta penduduk itu sebagai sebuah pasar potensial. Jepang
dapat berpartisipasi mencegah sengketa antarfraksi di dalam negeri maupun antara Vietnam dan negara
tetangganya. Keberhasilan Jepang sebagai penengah sengketa intern dan ekstern Vietnam membuahkan berbagai
konsesi berupa proyek-proyek yang, langsung ataupun tidak langsung, berasal dari pemerintah Vietnam. Pada
kurun waktu 1980-an ini, dalam forum pertemuan tahunan negara-negara industri maju (G-7), Jepang
memproklamirkan diri sebagai juru bicara negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Namun, alihalih jadi penyalur aspirasi negara-negara di kawasan Asia Timur ini, Jepang justru memelintirnya—mengalihkan
perhatian atas kritik negara-negara kawasan dan negara-negara industri maju yang mencerca pemberlakuan
rintangan pasaran domestik Jepang dan praktek neomerkantilis Jepang.
Kalangan lain melihat, Tokyo mengambil alih dan memimpin kawasan Asia Timur ini sebagai sarana untuk
mengimbangi blok ekonomi perdagangan yang sudah ada, yakni Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) di Eropa
Barat, di samping menghadapi keberadaan blok perdagangan Amerika Utara (NAFTA). 43 Terlepas dari
pandangan ini, klaim perwakilan yang diemban Jepang terasa tidak cukup valid bila dilihat dalam arti ambisi
mereka sebagai pemimpin, Jepang memang berambisi menjadi pemimpin bagi kawasan ini. Terjemahan ambisi
itu adalah perolehan keuntungan ekonomi dan wibawa politik, dengan harga murah (sekadar kesanggupan
membayar biaya minimal atas biaya-biaya politik, ekonomi dan militer yang ditimbulkannya) untuk
mempertahankan status kepemimpinannya.
Berbagai studi yang dilakukan pihak swasta dan pemerintah, baik secara pribadi maupun kelompok, sejak
1980-an, menelaah sepak terjang ‘kepemimpinan’ Jepang dalam blok ekonomi regional kawasan Asia Timur.
Kajian-kajian tersebut secara kategoris memunculkan beberapa pertanyaan yang bersifat mendasar: apa dan
bagaimana seharusnya bentuk organisasi ekonomi yang cocok untuk kawasan Asia Timur? Negara-negara mana
saja yang (layak/tidak) menjadi anggota blok ekonomi ini? Haruskah Jepang dengan kemampuan ekonominya
seperi saat ini tampil sebagai pemimpin? Akibat adanya trauma masa lalu terhadap Jepang yang masih
menghantui negara-negara di kawasan ini, perlukah sistem kepemimpinan blok ekonomi ini dibuat dengan sistem
kolektif (kepemimpinan bersama)? Apa saja tanggung jawab (detail) yang terpikul di pundak pemimpin blok
ekonomi ini?
Sebuah studi paling ideal tentang bagaimana strategi mendaulat kepemimpinan Jepang di dalam blok
ekonomi ini tercermin dalam kajian mendalam Badan Perencana Ekonomi Jepang (EPA) berjudul "Promoting
Comprehensive Economic Cooperation in the International Economic Environment Undergoing Upheaval:
Towards the Creation of an Asian Network". Dalam kajiannya, EPA secara eksplisit menyatakan, sasaran yang
ingin dicapai adalah mengintegrasikan NIC’s dan ASEAN ke dalam satu sistem ekonomi regional yang
didominasi oleh Jepang. Istilah untuk menggambarkan keadaan ini adalah 'san-i-ittai' (tiga bagian dalam satu
tubuh), analogi yang diambil adalah tubuh manusia. Jika blok ekonomi yang diinginkan sudah terbentuk, dia
adalah tubuh. Sedangkan otak dan sebagian besar otot yang berfungsi untuk mengoperasikan tubuh tadi berlokasi
di Tokyo. Otak bertanggung jawab mengkoordinasikan kebijakan makro ekonomi dan industri di seluruh negara
anggota, yang diperankan oleh Kementerian Keuangan (MOF) bersama Kementerian Industri dan Perdagangan
Internasional (MITI).
Hampir semua kementerian yang berkaitan dengan ekonomi (Ekuin) melakukan kajian dan memajukan
rekomendasi sebagaimana EPA. Kelompok pemikir MOF bernama 'Komite Riset Asia-Pasifik', yang diketuai oleh
mantan Presiden Bank Pembangunan Asia, Yoshida Taroichi, memformulasikan rancang bentuk blok ekonomi
regional versi mereka. Komite ini melibatkan perwakilan dari semua kementerian terkait dan diorganisasikan ke
dalam sekitar 9 sub komite. Buku putih MITI tahun 1988 itu mencatat bahwa integrasi yang dimaksudkan
sebenarnya sudah mulai terjadi, dan mengajukan strategi untuk merangsang terciptanya integrasi yang lebih luas.
Laporan MITI ini cukup realistis mengingat pembicaraan tentang penciptaan integrasi regional sudah menjadi
tema dalam banyak pembicaraan tingkat tinggi antarpejabat pemerintah dari negara-negara di kawasan ini, seperti
dalam Konperensi Kerjasama Ekonomi Pasifik (PECC); Forum Jepang-ASEAN; Pertemuan antar-Menteri
Ekonomi; dan berbagai pertemuan tak resmi lainnya, yang melibatkan komunitas akademisi dan kalangan bisnis.
Di atas skenario-skenario yang disusun tersebut, hal terpenting tentulah bagaimana mewujudkan gagasan
menjadi kenyataan. Dalam upaya ini, bagian paling krusial dalam membangun sebuah blok ekonomi yang
berskala regional adalah bagaimana meyakinkan negara-negara anggota bahwa persekutuan ini bermaslahat bagi
sesama. Secara khusus, Jepang tentunya tak lupa menyusun kalkulasi bahwa mereka (bakal) memperolehan
14
keuntungan lebih banyak ketimbang biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Kiat Jepang adalah melaksanakan
apa yang biasa dijalankan oleh manusia dan perusahaan Jepang dalam rangka bertahan hidup. Istilah untuk ini
dikenal dengan strategi nemawashi 44 (rekayasa); yang tidak saja menuntut kepeloporan pihak dalam negeri,
tetapi sekaligus dukungan proaktif dari pemerintah negara-negara kawasan dalam proses pembentukan blok
ekonomi regional ini.45
Sasaran akhir tak lain dari penguasaan menyeluruh terhadap blok ekonomi regional yang sudah terintegrasi
dengan baik. Apa kebijakan yang dijalankan Jepang terhadap Asia pada dekade 1990-an tidak ada bedanya
dengan strategi yang mereka gunakan pada saat pembentukan Bank Pembangunan Asia di pertengahan 1960-an.
Yakni seolah-olah tidak tertarik membuat suatu organisasi, tapi secara cermat justru menyiapkan cetak biru
organisasi tersebut. Jadi, ide pembentukan blok ekonomi regional di negara-negara kawasan disuarakan
melalui/memanfaatkan mulut pemerintah negara lain. Atas ‘aspirasi’ itu, Jepang muncul dengan paket organisasi
regional yang diinginkan, serta merta dengan privilese posisi kepemimpinan mereka. Melalui rekayasa semacam
ini, terbentuknya organisasi ekonomi regional hanya membutuhkan formalitas untuk bisa beroperasi. Secara
bersamaan, Jepang pun terhindar dari kritik dan tudingan bahwa mereka begitu ambisius.
Satu contoh menarik dari kasus di atas tampak dari cara Tokyo menanggapi apa yang dilontarkan PM
Australia Bob Hawke pada tahun 1988 tentang perlunya dibentuk OECD bagi Asia. Sikap Jepang ketika itu
adalah berpura-pura tidak berhasrat, sebagaimana tercermin dari pernyataan pejabat senior Kementerian Luar
Negeri Jepang, "Kita tidak berniat merealisasikan rancangan yang diajukan PM Hawke, tapi kita bisa melihat dan
mengerti apa manfaat ide yang dia ajukan, dan kita berharap bisa bahu membahu memikirkan dan menjawab
pertanyaan tentang bagaimana cara mengatasi dan menjalankan kerjasama regional. 46 Pihak Jepang sangat
khawatir dicap sebagai negara yang mempelopori bentuk kerjasama apa pun pada tingkat bilateral ataupun
regional di Asia. Jika persepsi semacam ini muncul ke permukaan, mereka akan dikritik dan bahkan dihujat
NAFTA dan MEE yang membenci neomerkantilisme Jepang.
Mengatasnamakan blok ekonomi kawasan lalu mengeksploitasi kekayaan di kawasan tersebut melalui
biaya yang seminimal mungkin, Jepang benar-benar menjalankan prinsip neomerkantilisme secara murni. Wajah
neomerkantilisme itu bahkan tetap terbaca dalam kebijakan pemberian dana bantuan luar negeri. Sifat bantuan
mereka tidak sekadar mengikat terhadap barang dan jasa Jepang, atau memperbanyak dan memperkuat jaringan
penanaman modal Jepang; tetapi sudah sampai pada tahap melakukan resturkturisasi total terhadap perekonomian
di negeri-negeri kawasan sehingga kawasan menjadi bagian integral dari dinamika ekonomi Jepang. Dengan kata
lain, bantuan tersebut identik dengan usaha memajukan seluruh dimensi perekonomian Jepang. Kawasan (yang
konon dibantu) justru diperlakukan sebagai lokasi perusahaan Jepang untuk mengolah bahan baku dan energi
hingga menghasilkan barang-barang jadi; sekaligus sebagai pangsa pasar yang sangat luas dan wilayah yang
merupakan pengaruh dari produk-produk Jepang. Kondisi seperti inilah yang dialami oleh negara-negara di
kawasan terdekat Jepang seperti kawasan Asia Timur, ASEAN, dan sebagainya.
Strategi integrasi regional terhadap satu kawasan ini terlihat dalam "New Asian Development Plan and the
ASEAN-Japan Development Fund", hasil kajian MITI tentang rencana pembentukan suatu struktur kebijakan bagi
kerjasama ekonomi Jepang dengan negara lain untuk masa yang akan datang. Bentuk bantuan luar negeri Jepang
meluas dari sekadar proyek-proyek infrastruktur, semacam dam dan pembangunan jalan, menjadi usaha untuk
mendukung pembangunan sektor industri tertentu. Untuk itu, pejabat pemerintah Jepang melakukan pembicaraan
resmi dengan pemerintah calon negara penerima bantuan bilateral. Kesepakatan prinsip yang dicapai disusul
dengan studi intensif guna menentukan sasaran industri strategis yang reasonable untuk pengembangan—
sepanjang tidak berbenturan dengan strategi industri Jepang. Akhirnya, master plan kebijakan ekonomi makro
dan kebijakan industri ini disampaikan kepada panitia pengarah (steering committee). Panitia ini beranggotakan
para pejabat pemerintah kedua negara dari kementerian ekonomi dan organ terkait lainnya. Dalam orientasi
kerjanya, panitia ini berkiblat pada seluruh instrumen kebijakan industri Jepang yang dianggap berhasil dalam
pelaksanaannya. Instrumen-instrumen ini antara lain riset, impor, ekspor, harga dan jumlah produksi, hambatan
impor, pajak. Dengan strategi ini, melalui jaringan lembaga ODA-nya seperti OECF, JICA, JETRO, Jepang
berlomba-lomba mencari jalan untuk menangkap mangsa di berbagai belahan bumi ini.
Penutup
Kombinasi antara kemampuan industri dan strategi niaga Jepang di satu pihak dan lemahnya pemerintah
negara-negara Dunia Ketiga di pihak lain makin menguatkan pengaruh Jepang di negara-negara kawasan, bahkan
untuk masa-masa mendatang. Cara lama yang diterapkan Jepang melalui militerisme terbukti gagal. Dengan cara
baru, yakni mempraktikkan neomerkantilisme—diawali dengan pemisahan antara domain ekonomi dan domain
politik dan, setelah kendali ekonomi terkuasai, antara keduanya menghablur begitu rupa dalam sebuah
persenyawaan yang musykil dipisah-pisahkan—Jepang berhasil mencapai tujuan-tujuan politik dan ekonomi atas
kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dengan biaya murah meriah. Pesimisme dan ironi mungkin sebuah
benang merah yang agak permanen membelenggu negara-negara kawasan, karena kawasan tetap akan menjadi
habitat yang menyenangkan bagi praktek neomerkantilisme Jepang.©
Bab III
Kebijakan Politik Luar Negeri Jepang
Pengantar
Kalau kebijakan luar negeri suatu negara dilihat secara a priori, maka dimensi politik, ekonomi, militer dan budaya
merupakan komponen yang membentuk kebijakan tersebut. Dengan demikian, para pelaku pembuat keputusan akan
15
mengaktualisasikan dan mengimplementasikan dimensi-dimensi ini dalam melaksanakan hubungan luar negerinya dengan
negara lain. Siapa dan bagaimana peranan dari para pelaku yang terlibat dan berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan
luar negeri suatu negara adalah pokok bahasan makalah ini, negara yang dijadikan kasus adalah Jepang.
Perdebatan yang sering ditemukan pada setiap tulisan yang membahas kebijakan politik luar negeri Jepang adalah dalam
menentukan atau memutuskan organ-organ, individu atau kekuatan koalisi mana yang bertanggung-jawab dalam proses
pembuatan kebijakan politik luar negeri negara ini. Dilihat dari sudut pandang ilmuwan yang menekuni bidang ini, mereka
dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah ilmuwan yang berpendapat bahwa partai
yang berkuasa mempunyai peranan yang penting dalam menentukan politik luar negeri Jepang. Mereka yang menghimpun
diri dalam kategori ini bisa disebut kelompok mayoritas. Ilmuwan yang berada pada kelompok kedua berpendapat bahwa
kebijakan politik luar negeri Jepang dibuat atas kerja sama tiga kekuatan elit - partai yang berkuasa, Partai Demokrasi Liberal
(PDL), kaum Birokrasi Senior, serta Kelompok Dunia Usaha. Kelompok ketiga adalah ilmuwan yang melihat betapa rumit
dan berbelit-belitnya proses pengambilan keputusan kebijakan politik luar negeri Jepang, sehingga kebijakan yang dihasilkan
perlu dilihat dari pendekatan yang lebih pluralistik, dimana koalisi yang tercipta selalu berubah-ubah dengan teratur,
tergantung pada situasi, waktu dan isu-isu yang muncul. Sedangkan kelompok terakhir adalah ilmuwan yang berpendapat
bahwa kebijakan politik luar negeri Jepang saat ini lebih banyak diputuskan oleh kaum birokrat juga cenderung menguat,
sehingga menempatkan pentingnya lembaga birokrasi seperti departemen luar negeri sebagai organ yang paling berpengaruh
dalam menentukan kebijakan yang diambil.
Sasaran tulisan ini ialah mencoba melihat para pelaku, lembaga yang biasa terlibat dan mempunyai pengaruh atas
pengambilan keputusan kebijakan politik luar negeri Jepang. Mereka-mereka ini adalah partai yang berkuasa (PDL), Partai
oposisi, Parlemen, Kabinet, Kementerian Luar Negeri, Perdana Menteri, serta Kelompok Ekonomi dan bisnis. Masing-masing
dari organ ini akan diuraikan secara berurutan, bagaimana garis besar dari mekanisme struktur proses pembuatan kebijakan
politik yang mereka jalankan dalam konteks dunia politik Jepang.
Partai Demokrasi Liberal (PDL)14
Satu hal mendasar yang perlu dipertimbangkan pada saat menganalisa PDL adalah kekuasaan partai ini secara ekslusif berasal
dari para anggotanya yang duduk dalam parlemen. Hal ini dapat dimengerti, sebab organisasi lokal partai pada tingkat
propinsi dan distrik pada hakekatnya tidak efektif; oleh karena itu semua posisi kunci dalam partai ditempati oleh anggota
yang duduk di parlemen15. Semua aktifitas yang berhubungan dengan pengambilan keputusan partai dijalankan melalui
struktur formal yang dibentuk dalam tubuh partai. Salah satu lembaga yang paling penting adalah Dewan Riset Masalah
Kebijakan atau Policy Affairs Research Council (PARC). Lembaga ini terdiri dari 17 divisi16, dan anggotanya adalah semua
anggota partai yang duduk di parlemen. Ke 17 divisi ini secara mudah bisa mengadakan kontak kesegenap jajaran
kementerian dan ke panitia tetap yang ada pada majelis tinggi dan rendah parlemen Jepang.
Selain dari 17 divisi ini, PARC juga memiliki badan atau panitia khusus yang dibentuk atas dasar pertimbangan ad hoc guna
menjawab berbagai masalah yang muncul secara spesifik dari waktu ke waktu 17. Sebagai contoh, dibentuknya panitia khusus
Ryukyu pada tahun 1957. Tugas panitia ini adalah bertugas untuk mengkaji dan mengupayakan proses pengembalian Ryukyu
ke tangan Jepang dari pendudukan Amerika Serikat. Sepuluh tahun setelah hasil kerja panitia ini memperlihatkan hasil yang
positif, dua Komite Penyelidik Khusus dari Divisi Masalah Luar Negeri dan Divisi Masalah Keamanan dalam PARC
ditugaskan oleh PDL untuk meneliti problem yang akan muncul sehubungan dengan kembalinya Ryukyu ke tangan Jepang.
Satu hal yang menarik dari mekanisme kerja partai ini yang patut disimak adalah adanya ketentuan, bahwa setiap anggota
partai yang duduk di parlemen harus menjadi anggota dari salah satu atau dua divisi yang terdapat dalam PARC, tapi tidak
boleh lebih dari itu. Meskipun demikian, para anggota ini bisa berpartisipasi dalam setiap komite khusus yang mereka
minati18.
Untuk menjadikan segala yang disetujui dan diputuskan oleh masing-masing divisi PARC ataupun komite khusus sebagai
kebijakan partai, maka keputusan atau sasaran kebijakan itu terlebih dahulu harus dibahas dan disepakati oleh lembagalembaga lain yang ada dalam tubuh partai. Begitu hasil kerja dari suatu divisi atau komite khusus ini membuahkan keputusan
atau sasaran kebijakan, maka keputusan atau sasaran kebijakan itu harus disahkan atau disetujui oleh Komisi Pertimbangan
PARC19. Begitu mendapat pengesahan dari Komisi ini, maka keputusan inipun harus dimajukan kepada Dewan Eksekutif
Partai di PDL, masih ada individu yang juga berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam tubuh partai. Mereka
ini adalah Presiden Partai - yang dalam waktu yang bersamaan juga adalah Perdana Menteri, serta biasanya merupakan
pimpinan20 dari fraksi terbesar dan terkuat dalam tubuh PDL, Sekretaris Jenderal, Ketua Dewan Eksekutif, dan Ketua PARC.
Presiden partai adalah sosok yang memiliki figur sangat penting dalam peta politik Jepang. Dianggap penting, karena dia
mampu menjamin bahwa keseimbangan antar fraksi terwakili dalam setiap organ partai dan lembaga kementerian lainnya. Dia
harus terlebih dahulu mengangkat Sekretaris Jenderal, Ketua Dewan Eksekutif dan Ketua PARC sebelum menggunakan
haknya sebagai Perdana Menteri untuk menunjuk seseorang sebagai anggota kabinetnya. Dalam pelaksanaannya, pimpinan
teras partai bersama dengan Kepala Sekretariat Kabinet, yang biasanya adalah Kepala Biro Konsultasi bagi Presiden Partai,
memberikan saran dan komentar kepada Presiden Partai mengenai calon-calon yang diajukan untuk jadi anggota kabinet, dan
meyakinkan bahwa keseimbangan antar fraksi adalah atau sudah terwakili sebagaimana mestinya dalam pos-pos tertinggi dari
masing-masing kementerian21.
Dalam konteks pembuatan kebijakan politik luar negeri Jepang, pertanyaan yang bisa diajukan adalah apa peranan PDL ini ?.
Dari telaah literatur yang dilakukan, memang tak dapat disangkal bahwa PDL mempunyai peranan yang sangat penting dalam
proses pengambilan keputusan kebijakan politik luar negeri Jepang. Ketika negosiasi antara Jepang dan Uni Soviet dalam
perjanjian perdamaian tahun 1956 sedang berlangsung, peranan dari politikus PDL sangat dominan22. Begitu juga dengan
kasus kedatangan Perdana Menteri Tanaka Kakuei ke Peking tahun 1972 yang menandai pengakuan secara formal pemerintah
Jepang terhadap pemerintahan rakyat China. Sehingga boleh dikatakan peranan yang dimainkan oleh politikus saat itu jauh
lebih superior dari apa yang dilakukan oleh kementerian luar negeri dalam kelompok pembuatan keputusan 23. Kuatnya
peranan PDL dalam proses pembuatan kebijakan politik luar negeri Jepang tidak terlepas dari dominasi yang mereka miliki
dalam parlemen. Boleh dikatakan partai ini selalu menguasai hampir dua pertiga dari seluruh jumlah kursi yang ada dalam
16
parlemen. Dengan demikian, mereka mampu membentuk pemerintahan tanpa harus berkoalisi 24, yang pada akhirnya bisa
mengontrol perangkat pengambilan keputusan negara.
Partai Oposisi
Kebanyakan partai oposisi setelah PD II cenderung untuk berada pada posisi yang agak "kiri" dalam menjalankan kebijakan
politik luar negerinya. Dua partai yang berhaluan kiri yakni Partai Sosialis Jepang (PSJ)25 dan Partai Komunis Jepang (PKJ)
menginginkan Jepang tidak terlibat aliansi dengan negara manapun, demiliterisasi, dan pengurangan - kalau tidak sampai pada
tahap penghapusan adanya Pasukan Bela Diri (JIETAI) dan Perjanjian Bilateral Keamanan Jepang - Amerika Serikat. Partai
yang berhaluan lebih moderat adalah Partai Sosialis Demokrat (PSD) dan partai Komeito - partai yang pada mulanya
menjadi perpanjangan tangan organisasi Budha Soka Gakkai dalam lapangan politik. Kedua partai ini tidaklah begitu radikal
dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya. Mereka menginginkan agar Jepang menjalankan politik yang non aliansi
- jauh dari ketergantungan terhadap perlindungan Amerika Serikat.
Apa yang dapat disumbangkan oleh partai oposisi ini dalam proses pengambilan keputusan kebijakan politik luar negeri
Jepang ?. Dalam hal ini, partai oposisi boleh dikatakan sangat sedikit atau tidak sama sekali punya peranan. Selain aktifitas
dari beberapa pemimpin partai oposisi yang secara individual memainkan peranan pada saat Perdana Menteri Tanaka Kakuei
berkunjung ke Cina, maka partisipasi formal dari lembaga partai oposisi dan anggotanya adalah tidak ada 26.
Parlemen27
Peranan parlemen dalam proses pengambilan keputusan kebijakan politik luar negeri terlihat dengan jelas dalam ketentuan
yang telah ditetapkan dalam pasal tertentu UUD Baru Jepang 1946. Pasal 41 menyatakan bahwa parlemen adalah organ
tertinggi dari kekuasaan negara, dan merupakan satu-satunya organ pembuat undang-undang negara. Tambahan pula, UUD
memberikan kekuasaan padanya untuk menjalankan fungsinya sebagai organ yang mengesahkan perjanjian, yang tentu saja
dengan syarat adanya suara mayoritas dari kedua kamar. Disamping itu, parlemen juga punya hak untuk meminta
pertanggungan-jawab Perdana Menteri dan para menteri dalam kabinet untuk memasukkan laporan tentang perjanjian yang
bersifat international.
Meskipun secara teori parlemen bisa berbuat banyak dalam proses pembuatan keputusan kebijakan politik luar
negeri, tapi dalam kenyataannya adalah jauh dari itu. Kebanyakan ilmuwan sependapat bahwa tidak banyak peran yang
dianggap berarti dimainkan oleh parlemen. Rendahnya peran lembaga ini untuk ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan tidak lain karena lemahnya kedudukan kaum oposisi dalam parlemen, sehingga membuat mereka tidak efektif
untuk berkompetisi dengan partai yang berkuasa.
Kabinet
Kalau kita mengacu pada aturan main yang terdapat dalam UUD Baru 1946, ada 11 pasal yang memuat ketentuan
mekanisme kerja dari kabinet. Pasal 65 menyatakan bahwa kekuasaan eksekutif berada dalam tangan kabinet. Selain
melaksanakan jalannya pemerintahan yang bersifat umum, kabinet juga menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1)
melaksanakan undang-undang dengan benar, serta menjalankan roda pemerintahan; (2) merampungkan masalah-masalah luar
negeri; (3) mengadakan perjanjian dengan persetujuan parlemen; (4) menjalankan pelayanan umum, selaras dengan ketentuan
yang ditetapkan undang-undang; (5) menyiapkan anggaran belanja dan mengajukannya ke parlemen; (6) membuat peraturan
pemerintah selaku pelaksana tugas yang telah diatur dalam UUD dan UU; serta (7) membuat keputusan mengenai amnesti
umum, amnesti khusus, pengurangan hukuman,penundaan hukuman dan pengembalian hak 28.
Walaupun kesan yang nampak adalah besarnya wewenang yang diberikan UUD baru 1946 kepada kabinet, sama halnya
dengan parlemen, lembaga ini tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap terjadinya proses pengambilan keputusan
kebijakan politik luar negeri Jepang.
Kementerian Luar Negeri
Sebagai ujung tombak dalam menjalankan kebijakan politik luar negeri, kementerian ini memiliki unit khusus yakni biro-biro
yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Masalah-masalah bilateral sepenuhnya ditangani oleh biro regional yang
dapat dipecah menjadi seksi Asia, Amerika, Eropa dan Osenia, serta Timur Tengah. Masing-masing biro ini diketuai oleh
seorang direktur, mereka memiliki otonomi penuh dan bertanggung-jawab dalam memonitor dan melaporkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan wilayah kekuasaannya. Masing-masing biro dalam prakteknya dipecah lagi menjadi beberapa divisi
yang dioperasikan oleh seorang kepala divisi-dalam hal ini dibantu oleh staf yang bertugas untuk memelihara dan
mempertahankan pengetahuan serinci mungkin mengenai daerah atau kawasan yang menjadi tanggung jawabnya, dan
bertanggung jawab juga dalam memberikan masukan kepada Direktur Biro.
Masukan atau usul yang muncul biasanya berasal dari divisi, yang kemudian diteruskan melalui jalur komando ke Biro.
Setelah itu, usulan ini oleh biro diteruskan kepada Wakil Menteri Luar Negeri, yang merupakan karir tertinggi dalam jenjang
kementerian luar negeri. Sosok dari Wakil Menteri Luar Negeri ini adalah figur yang dikenal baik oleh lingkungan dan
mendapat simpati dari berbagai kalangan politik, khususnya Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Disamping perannya
sebagai penghubung antara kementerian luar negeri dengan organ atau individu yang terkait dalam jajaran pemerintah, dia
juga penengah antara biro-biro tertentu dengan Menteri Luar Negeri.
Para Duta Besar dan seluruh pegawai kedutaan turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, terutama melalui
usaha mereka dalam mengumpulkan dan melaporkan informasi dari tempat mereka bertugas ke pemerintah pusat. Kondisi
seperti ini akan semakin dianggap sangat penting, apabila dihadapkan pada proses negosiasi untuk masalah yang khusus pula.
Dimana posisi lembaga ini dalam pembuatan kebijakan berskala nasional ?. Dalam banyak kasus yang bisa dijadikan sebagai
tolok ukur dalam menilai sejauh mana peranan dari suatu lembaga dalam menentukan kebijakan luar negeri Jepang, dapat
disimpulkan kementerian luar negeri kalah bersaing dengan partai yang berkuasa. Hal ini terlihat dalam kasus perjanjian
perdamaian Jepang - Uni Soviet. Begitu juga dalam kasus pengakuan Jepang terhadap pemerintahan rakyat Cina. Dalam
kedua kasus ini, peranan dari anggota kementerian luar negeri banyak dinilai oleh para ilmuwan hanya sebagai sub ordinasi
dari kaum politik29.
17
Perdana Menteri
Menurut UUD baru Jepang 1946, Perdana Menteri sebagai figur yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan kebijakan politk Jepang tergambar dari kekuasaan yang dia miliki untuk mengangkat dan
memberhentikan seseorang. Dia punya hak untuk menunjuk ataupun memecat menteri dalam jajaran pemerintahannya, tanpa
harus berkonsultasi kepada anggota parlemen atau kabinet. Meskipun dalam kenyataannya, dia jarang melakukan hal ini.
Biasanya pemberhentian seorang menteri oleh Perdana Menteri ini lebih banyak dilakukan dalam rangka adanya pergantian
anggota kabinet, dan hal ini paling tidak terjadi sekali dalam setahun.
Perdana Menteri bertugas untuk menjalankan pengawasan dan terhadap berbagai lembaga yang berada dibawah naungannya;
mewakili kabinet dalam memajukan RUU serta melaporkan masalah luar negeri secara umum kepada parlemen. Semua
hukum dan peraturan kabinet harus ditandatanganinya sebelum diberlakukan efektif. Tambahan pula, dia juga memimpin
sidang kabinet, memutuskan perselisihan pendapat yang terjadi antar menteri dalam kabinetnya, dan bisa membatalkan
peraturan yang telah dibuat oleh para anggota kabinetnya.
Pendapat ilmuwan terhadap peran dari Perdana Menteri dalam proses pengambilan keputusan kebijakan politik luar negeri
Jepang adalah beragam. Ada yang berpendapat bahwa perannya tidak begitu penting, kejatuhan katayama dan Kishi sebagai
Perdana Menteri merupakan dasar pemikiran dari grup ini. Grup lain menilai bahwa peran dari Perdana Menteri saat ini lebih
baik dibandingkan dengan para pendahulunya dari masa sebelum perang, hal ini didasarkan atas kekuasaan yang dimilikinya
untuk mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet.
Kelompok Dunia Usaha
Komunitas dunia usaha Jepang yang mempunyai peranan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan politik Jepang
terdiri dari tiga kelompok. Mereka-mereka ini adalah pemimpin dari organisasi MNC Jepang (Zaikai); Kelompok Industri
(Gyokai), dan Korporasi perorangan (Kigyo).
Zaikai secara harfiah mengacu pada pimpinan grup industri dan keuangan yang secara tekun menyediakan waktunya untuk
aktifitas dari satu atau lebih organisasi ekonomi. Organisasi terpenting diantaranya ialah Keidanren (Federasi Organisasi
Ekonomi); Keizai Doyukai (Komite Untuk Pengembangan Ekonomi); Nippon Shoko Kaigaisho (Kamar Dagang dan Industri
Jepang), dan Nikkeiren (Federasi Manajer Bisnis).
Gyokai mewakili kepentingan kaum industriawan, yang terpenting dan kuat berasal dari sektor baja, elektronika dan
perbankan. Fungsi utama dari pemimpin Gyokai adalah untuk mengendalikan persaingan kepentingan yang terjadi antar
korporasi perorangan dalam ruang lingkupnya sendiri, dan membentuk hubungan yang erat dengan kelompok politisi dan
birokrasi dalam administrasi pemerintahan dalam rangka memberikan masukan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan
kepentingan yang luas dari dunia industri Jepang, sebelum memutuskan atau menjalankan suatu kebijakan 30.
Penutup
Dari uraian diatas, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: Peranan lembaga lebih kuat bila
dibandingkan dengan peranan individu dalam proses pembuatan keputusan kebijakan politik luar negeri Jepang. Lembaga
yang paling banyak berperan dalam hal ini adalah partai yang berkuasa (PDL); kementerian luar negeri; dan dunia usaha.
Peran dari lembaga lain kalaupun ada, boleh dikatakan kecil. Keterlibatan PDL dan kementerian luar negeri dalam hal ini
adalah bersifat langsung, sedangkan lembaga lain tidak langsung.
Download