pendahuluan - rp2u.unsyiah.ac.id

advertisement
Hubungan jangka panjang antara fundamental
makroekonomi dan nilai tukar rupiah1
Nazamuddin dan Riswandi
(Universitas Syiah Kuala)
Abstract
Indonesian rupiah still shows volatility even after other Asean currencies return to stability after
sharp depreciation during the 1997 currency turmoil. The macroeconomic fundamentals are not
yet sound and may cause the Indonesian currency at any time. This paper presents a time series
analysis of interrelations between Indonesian rupiah exchange rate and GDP and money supply.
By applying VAR, analysis uses variance decomposition and Granger causality tests to observe
the effect of one endogeneous variable on another and which variable’s innovation shock
accounts most for the volatility of the currency. Furthermore, Johansen cointegration test is
conducted to find how many cointegrating relations among the variables, so that a long-run
dynamic can be analyzed.
PENDAHULUAN
Memahami perilaku nilai tukar tidak saja penting bagi para sepekulan
valuta asing atau peminat keuangan internasional, tetapi juga merupakan
indikator fundamental makroekonomi. Nilai tukar, sebagaimana halnya tingkat
harga agregat (atau inflasi), suku bunga, dan indeks harga saham, adalah ibarat
permukaan gunung es (iceberg) yang mencerminkan kokoh tidaknya
fundamental makroekonomi. Rupiah Indonesia adalah mata uang yang paling
besar gejolaknya (volatile) di Asia Tenggara selama krisis (Nor, et.al, 2000).
Gambar 1 memperlihatkan pergerakan nilai tukar rupiah yang masih labil.
Nilai tukar yang pada triwulan ketiga 1997 berada pada level Rp. 3260 per dollar
AS, masih bergolak hingga mencapai Rp. 11380 per dollar AS pada triwulan
keempat 2001 dan seterusnya, walaupun menunjukkan pergerakan yang relatif
setabil di sekitar Rp. 8000 hingga Rp. 9000, masih terdapat peluang
terdepresiasi lebih dalam. Hal ini dimungkinkan karena ekspor belum tumbuh,
hutang yang masih besar, kinerja perbankan masih rendah, cadangan devisa
yang rendah, dan inflasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan beberapa
negara ASEAN (lihat Tabel 1 dan Lampiran 1).
1
Tulisan masih merupakan naskah awal, bukan untuk dikutip.
1
Tabel 1: Beberapa fundamental makroekonomi Indonesia setelah krisis
Tahun
Ekspor (US $
Posisi
Nonperforming Cadangan
Laju
milyar)
Hutang Luar
Loans
Devisa
inflasi
Negeri
(Rp. Milyar)
(US $
(%)
Indonesia
milyar)
(US$ juta)*
1997
53,44
12,4
6,6
1998
48,85
16,2
58,4
1999
48,67
19,4
20,7
2000
62,12
22,0
3,8
2001
56,44
133.073
77.309
21,8
11,5
2002
38,35
131.343
55.677
22,9
11,9
2003**
47,35
134.851
59.727
23,1
5,2
Sumber : IMF, International Financial Statistics, berbagai tahun
BI, Perkembangan Pasar Keuangan Indonesia, Sem II 2003
BI, Data Perbankan Indonesia, berbagai tahun
IMF, World Economic Outlook, berbagai tahun
*Terdiri dari hutang pemerintah, swasta, lembaga keuangan dan non lembaga keuangan.(posisi pada Semester
kedua)
**sampai dengan triwulan ketiga
Gambar 1: Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
98
99
00
01
02
03
Triwulan
Sejak 14 Agustus 1997, Pemerintah Indonesia telah menjalankan sistem
nilai tukar mengambang (floating exchange rate) karena terus mengalami
tekanan-tekanan yang menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap USD. Kebijakan ini dilakukan pemerintah dalam rangka mengamankan
cadangan devisa negara yang relatif kecil sehingga pemerintah memutuskan
menghapus rentang intervensi dan menganut sistem nilai tukar mengambang.
Dengan sistem ini, pergerakan nilai tukar rupiah sepenuhnya diserahkan kepada
2
mekanisme pasar. Oleh karena perekonomian Indonesia adalah perekonomian
terbuka (open economy), gejolak-gejolak eksternal dan internal secara simultan
terus menerus mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Memahami penyebab utama
gejolak nilai tukar sangat berguna untuk membuat kebijakan makroekonomi yang
lebih sound untuk jangka waktu panjang. Penelitian ini berupaya untuk
mengidenfikasi faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi nilai tukar dan
menguji kausalitas antara beberapa variabel fundamental ekonomi dan nilai tukar
setelah krisis. Hasil penelitian diharapkan berguna bagi kebijakan stabilisasi
makroekonomi jangka panjang.
KERANGKA STUDI DAN PENELITIAN SEBELUMNYA
Sejak sistem nilai tukar mengambang diterapkan, penelitian tentang
model nilai tukar sangat penting dilakukan untuk menganalisa variabel-variabel
ekonomi yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Dengan model nilai tukar
tersebut, otoritas dapat mengambil tindakan yang tepat sehingga volatilitas nilai
mata uang domestik dapat diatasi sesegera mungkin. Dengan diterapkannya
sistem nilai tukar mengambang di Indonesia, penentuan nilai tukar diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Campur tangan otoritas moneter dalam
menentukan dan mengendalikan nilai tukar relatif lebih dibatasi jika dibandingkan
dengan kedua sistem terdahulu.
Setelah runtuhnya sistem Bretton Woods yang merupakan sistem nilai
tukar tetap (fixed exchange rate system), dengan standar emas, pada bulan
Maret 1973 mendorong berbagai pihak untuk mengembangkan model moneter
terhadap penentuan nilai tukar. Model moneter menjadi model nilai tukar yang
populer dan digunakan secara luas dalam memperkirakan (forecasting) nilai
tukar nominal dalam perekonomian terbuka yang menggunakan sistem nilai
tukar bebas (floating exchange rate system). Oleh karena itu, penelitianpenelitian yang menggunakan model moneter untuk menguji eksistensi
hubungan jangka panjang antara nilai tukar dan variabel yang mempengaruhinya
sangat diperlukan.
Goeltom (1998:78) mengidentifikasi bahwa selain faktor nonekonomi
seperti perilaku para spekulan, faktor fundamental ekonomi Indonesia yang
lemah menjadi faktor utama terjadinya krisis nilai tukar rupiah dan krisis nilai
tukar Bath Thailand hanya sebagai pemicu saja. Beberapa indikator fundamental
makroekonomi Indonesia yang berkaitan dengan melemahnya nilai tukar rupiah
antara lain adalah pertumbuhan hutang luar negeri pemerintah maupun swasta
dan pertumbuhan ekspor yang melambat sebagai akibat kinerja sektor riil yang
tidak memuaskan. Bergolaknya nilai tukar rupiah, selain faktor eksternal,
disebabkan oleh kinerja neraca perbankan yang buruk karena non performing
loan yang besar, tingginya tingkat suku bunga yang berdampak pada sektor riil,
turunnya kinerja pasar modal, dan
membengkaknya hutang luar negeri
Indonesia (Supriyanto dan Sampurna,1999:79-80).
Mishkin (2004:172-173) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar dalam jangka panjang. Pertama,
3
tingkat harga domestik; Dalam jangka panjang, peningkatan harga domestik
menyebabkan nilai mata uang domestik terdepresiasi, sebaliknya penurunan
harga domestik menyebabkan nilai mata uang domestik terapresiasi. Kedua, tarif
dan kuota; dalam jangka panjang, tarif dan kuota menyebabkan nilai uang
domestik terapresiasi. Ketiga, produktivitas; dalam jangka panjang, suatu negara
menjadi lebih produktif menyebabkan nilai uang domestik terdepresiasi.
Keempat, preferensi antara barang domestik dan luar negeri; dalam jangka
panjang, permintaan yang meningkat terhadap barang-barang domestik (ekspor
meningkat) menyebabkan nilai uang domestik terapresiasi, sebaliknya
permintaan yang meningkat terhadap barang-barang luar negeri (impor
meningkat) menyebabkan nilai uang domestik terdepresiasi.
Untuk memahami mengapa terjadi fluktuasi nilai tukar suatu mata uang
secara terus menerus, Salvatore (2001) telah menjelaskan suatu teori penentuan
nilai tukar. Pertama, teori-teori tradisional terdiri dari Pendekatan Perdagangan
(trade approach) dan Purchasing Power Parity Theory (Teori Paritas Daya Beli).
Kedua, teori-teori nilai tukar modern didasarkan pada Pendekatan Moneter
(monetary approach) dan Pendekatan Keseimbangan Portofolio (portfolio
balance approach).
Teori-teori tradisional yang didasarkan pada arus perdagangan dan
paritas daya beli sangat berperan dalam menjelaskan pergerakan nilai tukar
jangka panjang. Sebaliknya, teori-teori modern memusatkan perhatiannya pada
pasar-pasar modal dan arus permodalan internasional dan berusaha
menjelaskan gejolak nilai tukar jangka pendek yang kecenderungannya
mengalami fluktuasi dalam rangka mencapai tingkat keseimbangan jangka
panjang. Meskipun teori-teori tradisional hanya bersifat jangka panjang
sedangkan teori-teori modern menekankan pada pembahasan pergerakan nilai
tukar jangka pendek, keduanya penting untuk menjelaskan pergerakan nilai tukar
mata uang suatu negara.
Bappenas (2001) melakukan penelitian untuk mengetahui model nilai
tukar. Berdasarkan pendekatan moneter, faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan nilai tukar adalah keseimbangan yang terjadi antara fungsi
permintaan dan penawaran uang. Berdasarkan pendekatan ini disimpulkan
bahwa kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan kenaikan harga domestik
secara proporsional, dan oleh karena itu doktrin paritas daya beli akan
mendorong terjadinya depresiasi mata uang rupiah. Hubungan antara nilai tukar
dan pendapatan riil relatif adalah negatif. Adanya kenaikan pendapatan riil
domestik menyebabkan kelebihan permintaan uang; sehingga untuk mencapai
keseimbangan hanya dapat dipenuhi dengan penurunan harga domestik
akibatnya rupiah mengalami apresiasi. Kemudian, hubungan antara nilai tukar
rupiah dengan suku bunga adalah positif. Artinya, semakin tinggi perbedaan
suku bunga akan menyebabkan turunnya permintaan uang rupiah yang akan
menyebabkan rupiah terdepresiasi.
Djafar, et al. (2003) menguji validitas teori Paritas Daya Beli (purchasing
power parity) dalam jangka panjang maupun jangka pendek untuk mata uang
rupiah terhadap beberapa mata uang asing, yaitu Dollar Amerika, Dollar
Australia, Yen Jepang, Poundsterling Inggris, dan Franc Perancis dengan
4
menggunakan Error-Correction Model (ECM) untuk periode 1990 – 2000.
Variabel yang digunakan dalam analisis adalah tingkat harga, tingkat output,
tingkat suku bunga, dan jumlah uang beredar. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa teori Paritas Daya Beli secara umum tidak berlaku dalam jangka panjang
maupun jangka pendek untuk Rupiah Indonesia terhadap berbagai mata uang
asing yang penting. Sehingga kurs tidak dapat dipakai sebagai acuan untuk para
international arbitrageurs dan para spekulan dalam melakukan perdagangan
internasional.
Civcir (2003), dengan menggunakan model moneter terhadap penentuan
nilai tukar, mencoba membuat model nilai tukar Lira Turki terhadap USD dalam
kurun waktu 1987:1 – 2000:12. Teknik kointegrasi Johansen digunakan untuk
menguji validitas model moneter. Selanjutnya, untuk mendukung interpretasi
model yang menjelaskan hubungan nilai tukar dengan fundamental moneter
digunakan Error-Correction Model. Pengujian yang dilakukan menyimpulkan
bahwa model moneter eksis dan dapat menjelaskan volatilitas (volatility) nilai
tukar Lira Turki terhadap USD.
Groen (2000) dan Mark dan Sul (2001) melakukan penelitian dengan
menguji hubungan jangka panjang yang stabil antara nilai tukar nominal dan
fundamental moneter dengan menggunakan uji kointegrasi panel (panel
cointegration tests) periode setelah sistem Bretton Woods. Kedua penelitian ini
menemukan bukti yang kuat adanya kointegrasi antara nilai tukar nominal,
jumlah uang beredar relatif, dan tingkat output riil relatif dengan menggunakan uji
kointegrasi panel. Mark dan Sul (2001) menemukan model moneter jangka
panjang yang sangat sederhana yang menentukan restriksi homogenitas dasar
(basic homogeneity restrictions). Mereka juga menemukan bahwa perkiraan
(forecasting) nilai tukar nominal yang didasarkan pada model moneter pada
umumnya sangat baik memperkirakan naive random walk model.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Bahmani-Oskooee dan Kara
(2000) dan Moosa (2000) di negara-negara yang memiliki inflasi tinggi dan
negara-negara sedang berkembang menunjukkan bahwa fundamental moneter
penting dalam menentukan perilaku nilai tukar. Untuk menguji validitas jangka
panjang model moneter terhadap penentuan nilai tukar digunakan uji kointegrasi
Dickey-Fuller dan Phillips-Perron Unit Root Test serta uji kointegrasi Johansen.
Nor, et.al (2000) melakukan estimasi hubungan timbal balik di antara mata
uang lima negara Asean, yaitu Bhat Thailand, Ringgit Malaysia, Dollar
Singapura, Rupiah Indonesia, dan Peso Filipina. Dengan menggunakan Granger
Causality test, ditunjukkan bahwa Ringgit Malaysia mempunyai kausalitas yang
paling nyata atas mata uang Asean selama krisis. Selain itu semua mata uang
adalah non-stationary dan mempunyai proses I(1) dan dengan uji Kointegrasi
Johansen ditemukan bahwa paling banyak terdapat empat cointegrating vector
sebelum dan sesudah krisis.
Sejumlah penelitian yang dilakukan di negara-negara industri oleh Baillie
dan Selover (1987), McNown dan Wallace (1989), dan Baillie dan Pecchenino
(1991) menyimpulkan bahwa bukti adanya kointegrasi antara nilai tukar nominal
dan fundamental moneter selama periode setelah sistem Bretton Woods (banyak
negara-negara kemudian mengubah sistem nilai tukarnya menjadi sistem nilai
5
tukar mengambang) sangat sedikit. Kurangnya bukti empiris terhadap hubungan
jangka panjang yang stabil antara nilai tukar dan fundamental moneter bermakna
bahwa model moneter kurang relevan. Penelitian ini mengasumsikan semua
variabel saling berinteraksi dalam menentukan nilai tukar. Analisis seri waktu
digunakan dengan fokus pembahasan pada pergerakan nilai tukar dalam jangka
panjang.
DATA DAN METODOLOGI
Teknik kointegrasi digunakan untuk menjelaskan hubungan jangka
panjang yang stabil antara nilai tukar nominal dan variabel –variabel fundamental
makroekonomi, yakni GDP, dan M2. Penelitian ini menggunakan data-data
sekunder (secondary data) yaitu data yang telah dihimpun, disusun dan
diterbitkan oleh berbagai lembaga. Data yang digunakan adalah data runtun
waktu (time series data) triwulan mulai dari triwulan ketiga tahun 1997 sampai
triwulan keempat tahun 2003, yaitu periode setelah krisis dalam masa mana
Indonesia telah menjalankan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange
rate system). Data-data yang digunakan bersumber dari International Financial
Statstics dan World Economic Outlook terbitan International Monetary Fund,
Laporan Badan Pusat Statistik, dan Laporan Bank Indonesia.
Vector autoregression (VAR) digunakan untuk mengestimasi sebuah
sistem runtun waktu yang saling berhubungan. Dalam hal ini variabel nilai tukar
nominal rupiah terhadap dollar AS (KURS), jumlah uang dalam peredaran (M2),
deficit current account (CA), budget deficit (B) dan Gross Domestic Bruto (GDP),
diasumsikan mempunyai pengaruh timbal balik. Dampak dinamik dari gangguan
acak (random disturbances) terhadap sistem persamaan tersebut dianalisis.
Setiap variabel diasumsikan bersifat endogen dan merupakan fungsi dari nilai
lagged
dari semua variabel. Sebelum diestimasi, semua variabel diuji
stationaritasnya dengan melihat Correlogram dan uji Unit Root dengan
Augmented Dickey-Fuller Test (ADF) untuk melihat stationaritas. Jika konstanta
nonzero dimasukkan dan proses yang mendasarinya mengandung akar satu
(unit root), maka t-statistik dapat digunakan untuk menguji hipotesis nol akar satu
karena mempunyai distribusi normal standar asymtotik.
Dengan asumsi setiap seri berproses AR(1) dan konstanta adalah satusatunya variabel eksogen, maka model VAR yang diestimasi adalah sbb;
LKURS t  1   1 (LGDP t 1  LM 2 t 1  LCA t 1  LB t 1  b1 t  1 LKURS t 1 )  1, t
LGDP t   2   2 (LKURS t 1  LM 2 t 1  LCA t 1  LB t 1  b 2 t   2 LGDP t 1 )   2, t
LM 2 t   3   3 (LGDP t 1  LKURS t 1  LCA t 1  LB t 1  b 3 t   3 LM 2 t 1 )   3, t
LCA t   4   4 (LGDP t 1  LKURS t 1  LM 2 t 1  LB t 1  b 4 t   4 LCA t 1 )   4, t
LB t   5   5 (LGDP t 1  LKURS t 1  LM 2 t 1  LCA t 1  b 5 t   5 LB t 1 )   5, t
di mana δ, γ, b dan β adalah parameter yang diestimasi, sementara  adalah
error terms. bi diasumsikan masing-masing variabel tumbuh secara eksponensial
6
dalam jangka panjang, misalkan untuk variabel GDP ditentukan sebagai berikut,
GDP  e b 2 t .
Hasil estimasi VAR digunakan untuk melacak peran masing-masing
innovasi (gejolak) atas semua variabel endogen. Variance decomposition
digunakan untuk melihat mendekomposisi variasi dalam variabel endogen ke
dalam gejolak masing-masing komponen terhadap variabel endogen dalam VAR
sehingga diperoleh informasi tentang berapa pentingnya masing-masing gejolak
acak terhadap variabel-variabel dalam VAR. Selanjutnya, Granger-causality tests
digunakan untuk melihat arah pengaruh antar variabel dalam sistem VAR
tersebut.
Dengan asumsi terdapat trend linear dan ada intercept, sebuah sistem
persamaan Cointegrated dibangun guna melihat pergerakan bersama variabelvariabel di atas, yakni untuk melihat ekuilibrium jangka panjang. Model Vector
Error Correction (VEC) dibangun dan diuji dengan Johansen Cointegration test.
Ini untuk melihat berapa Cointegrating Relations.
..........................(temuan penelitian dan kesimpulan).............................
REFERENSI
Bahmani-Oskooee, M. dan Kara, O., 2000. “Exchange Rate Overshooting in
Turkey”. Economics Letters, 68, pp. 89-93.
Baillie, R.T., Pecchenino, R.A., 1991. “The Search for Equilibrium Relationships
in International Finance: The Case of The Monetary Model”. Journal of
International Money and Finance 10, pp. 582-593.
Baillie, R.T., Selover, D.D., 1987. “Cointegration and Models of Exchange Rate
Determination”. International Journal of Forecasting 3, pp. 43-51.
Bank Indonesia, Data Perbankan Indonesia. Berbagai Edisi.
Bank Indonesia, Perkembangan Pasar Keuangan Indonesia. Semester II 2003.
Bank Indonesia. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Berbagai Edisi.
Bappenas, 2001. Model Nilai Tukar. Laporan Penelitian: Studi Pengembangan
Indikator Ekonomi Makro. Direktorat Pengembangan Perencanaan
Makro. Jakarta.
Civcir, I., 2003. “The Long-run Validity of Monetary Exchange Rate Model for a
High Inflation Country and Misalignment: The Case of Turkey”. Russian
and East European Finance and Trade. Forthcoming.
Djafar, Jap M.S, Harijanto, L., Llewelyn, R., 2003. “Analisis ECM terhadap
Purchasing Power Parity pada Kurs Rupiah terhadap Lima Mata Uang
Asing Periode Tahun 1990 – 2000”. Jurnal Riset Ekonomi dan
Manajemen. Vol. 3 No.1 Hal. 51-64.
Dornbusch, R., 1976. “Expectations and Exchange Rate Dynamics”. Journal of
Political Economy 84, pp. 1161-1176.
Gastanaga, V., 1999. A Reassessment of the Monetary Approach to Exchange
Rate Determination: A Multivariate Analysis of Difference-Stationary
7
Time Series. Department of Economic, University of Southern California.
Los Angeles, Working Paper.
Gie, Kwik, K., 1995. Analisis Ekonomi Politik Indonesia. Penerbit: PT. Gramedia
Pustaka Utama & Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBBI. Jakarta
Goeltom, M.S., dan Zulverdi, D., 1998. ‘Manajemen Nilai Tukar di Indonesi dan
Permasalahannya”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1 No.
2., Hal. 69-91.
Groen, J.J.J, 2000. “The Monetary Exchange Rate Model as a Long-run
Phenomenon”. Journal of International Economics 52, pp. 147-319.
International Monetary Fund, International Financial Statistic. Berbagai Edisi.
International Monetary Fund. World Economic Outlook. Berbagai Edisi.
Mark, N.C., Sul, D., 2001. “Nominal Exchange Rate and Monetary
Fundamentals: Evidance from a Small Post-Bretton Woods Panels”.
Journal of International Economics 53, pp. 29-52.
McNown, R.A., Wallace, M., 1989. “Cointegration Tests of the Monetary
Exchange Rate Model for Three Inflation Economies”. Journal of Money,
Credit and Banking 26 (1-3), pp.396-411.
Mishkin, F.S., 2004. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets.
Sixth Edition. Addison Wesley Publshing Co. United States of America.
Moosa, I.A., 2000. “A Structural Time Series Test of the Monetary Model of
Exchange Rate under the German Hyperinflation”. Journal of Financial
Markets, Institutions, and Money, 10, pp.213-233.
Nor, Fauzias Mat, Noor Azuddin Yakob dan Zaidi Isa. 2000. “Cointegration Test
on ASEAN Currencies Before and During the Currency Turmoil”. Jurnal
Pengurusan, Vol. 19, July.
Rapach, D.E., and Wohar, M.E., 2001. “Testing the Monetary Model of Exchange
Rate Determination: New Evidence from a Century of Data”. Journal of
International Economics. Forthcoming.
Sadli, M., 1998. The Indonesian Crisis. ASEAN Economics Bulletin, Vol. 15,
No.3. pp. 272-280.
Salvatore, D., 2001. International Economics. Seventh Edition. John Wiley &
Sons, Inc. United States of America.
Suardhini, M., dan Goeltom, M.S., 1997. “Analisis Dampak Intervensi Bank
Sentral dalam Penetapan Nilai Tukar terhadap Ekspor – Impor
Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. XLV, No. 1.
pp. 79-122.
Supriyanto dan Sampurna, A.F., 1999. Utang Luar Negeri Indonesia: Argumen,
Relevansi, dan Implikasinya bagi Pembangunan. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Tjahjono, E.D., 1998. “Fundamental Ekonomi, Contagion Effect, dan Krisis Asia”.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1 No. 2. Hal.1-27.
8
Lampiran 1
Tabel 1: Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara ASEAN (% per tahun)
Negara
1997 1998 1999
Indonesia
4,5
-13,2 0,8
Filipina
5,2
-0,6
3,4
Malaysia
7,5
-7,4
6,1
Singapura
8,4
0,4
5,9
Thailand
-1,8
-10,4 4,3
Sumber: IMF, World Economic Outlook.
*) angka prediksi.
2000
4,9
4,4
8,6
9,4
4,6
2001
3,4
4,5
0,3
-2,4
1,9
2002
3,7
4,4
4,1
2,2
5,3
2003
4,1
4,5
5,2
1,1
6,7
2004*
4,6
4,0 – 4,9
6,0 – 6,5
3,5 – 5,5
8
Tabel 2: Perkembangan Ekspor Beberapa Negara ASEAN (miliar USD)
Negara
1997
1998
1999
2000
2001
2002 2003*
Indonesia
53,44
48,85
48,67
62,12
56,44
38,35
47,35
Filipina
24,88
29,41
36,58
39,78
32,66
36,26
26,27
Malaysia
78,74
73,30
84,46
98,14
88,00
93,26
71,42
Singapura
109,90
114,68 137,00
137,88 121,75 125,18 104,55
Thailand
57,37
54,46
58,44
69,06
65,13
68,85
58,54
Sumber: IMF, International Financial Statistics, berbagai tahun.
*) sampai dengan triwulan ketiga.
Tabel 3: Posisi Hutang Luar Negeri Indonesia (Juta USD)
Keterangan
Pemerintah
Swasta
a. Lembaga Keuangan
- Bank
- Non Bank
b. Non Lemb. Keuangan
Surat Berharga
Total
Persentase
- Pemerintah
- Swasta
2001
2002
Sem I
Sem II
Sem I
Sem II
72.497
71.377 74.157 74.661
64.476
60.058 56.493 55.212
8.898
7.713
8.372
7.642
7.684
6.649
5.848
4.870
1.214
1.064
2.524
2.772
55.578
52.345 48.121 47.570
1.876
1.638
1.486
1.470
138.849 133.073 132.136 131.343
52,2%
47,8%
53,6%
46,4%
56,1%
43,9%
56,8%
43,2%
2003
Sem I
Sem II*
75.807
80.099
53.853
52.202
7.096
7.463
4.101
4.300
2.995
3.163
46.757
44.739
1.291
2.550
130.950 134.851
57,9%
42,1%
59,4%
40,6%
Sumber: BI, Perkembangan Pasar Keuangan Indonesia, semester II 2003.
*) nilai prediksi.
9
Tabel 4: Non Performing Loans (miliar rupiah)
Jenis Bank
Bank Umum
Bank Persero
BUSND
BUSNND
BPD
Bank Campuran
Bank Asing
Total
Des’01
Nilai
%
38.653 50,00
8.827 11,42
9.874 12,77
415
0,54
480
0,62
7.323
9,47
11.737 15,18
77.309
Des’02
Nilai
%
27.838 50,00
9.088 16,32
7.336 13,18
458
0,82
416
0,75
4.677
8,40
5.864 10,53
55.677
Des’03
Nilai
%
29.864 50,00
12.949 21,68
8.837
14,80
525
0,88
490
0,82
2.984
5,00
4.078
6,83
59.727
Mar’04
Nilai
%
28.100 50,00
13.392 23,83
6.811 12,12
644
1,15
664
1,18
2.902
5,16
3.687
6,56
28.100
Sumber: BI, Data Perbankan Indonesia.
Tabel 5: Cadangan Devisa Beberapa Negara ASEAN
(Miliar USD)
Negara
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Indonesia
12,4
16,2
19,4
22,0
21,8
22,9
Filipina
5,6
6,7
9,9
10,3
11,0
10,0
Malaysia
15,5
18,2
22,3
22,7
24,3
25,2
Singapura
52,8
53,2
56,0
61,5
60,0
60,3
Thailand
19,5
20,6
25,0
24,7
25,9
28,1
Sumber: IMF, International Financial Statistics, berbagai tahun.
*) sampai dengan triwulan ketiga.
2003*
23,1
9,3
28,3
63,6
27,6
Tabel 6: Laju Inflasi Beberapa Negara ASEAN (% per tahun)
Negara
1997
1998
1999
Indonesia
6,6
58,4
20,7
Filipina
5,0
9,7
6,6
Malaysia
2,6
5,1
2,8
Singapura
1,3
-1,1
0,1
Thailand
5,6
8,1
0,3
Sumber: IMF, World Economic Outlook.
*) angka proyeksi.
2000
3,8
4,3
1,6
1,4
1,6
2001
11,5
4,1
1,2
-0,6
0,8
2002
11,9
2,6
1,7
0,4
1,6
2003
5,2
3,0
1,2
0,7
1,8
2004*
5,7
3,7
1,6
1,2
2,1
10
Download