All that is real becomes simulation (Jean Baudrillard)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“All that is real becomes simulation (Jean Baudrillard)”
Semua yang nyata menjadi simulasi. Ungkapan tersebut dikemukakan Baudrillard untuk
menggambarkan realitas masyarakat dewasa ini. Era di mana teknologi berperan penting dalam
kehidupan manusia dalam berbagai sendi yang kemudian mengaburkan antara yang nyata
dengan fantasi dan yang asli serta yang palsu. Inilah dunia yang terbangun dari konsekuensi
relasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Simulasi kini muncul sebagai alat
pemenuhan kebutuhan baru bagi manusia yang berdasarkan pada rasionalitas. Rasionalitas yang
muncul oleh berbagai macam masalah serta solusi. Semuanya berujung dengan penemuan alat
yang merupakan hasil pemikiran manusia sebagai media untuk memenuhi kebutuhannya dalam
segala hal, tak terkecuali kesenian.
Musik merupakan salah satu bidang seni yang seolah tak bisa terpisah dari kebutuhan
manusia atas kepuasan untuk memperoleh hiburan. Musik yang mulai populer dikenal sejak
musik klasik hingga kini muncul bermacam – macam genre seperti rock, jazz, electro, dubstep
dll mengindikasikan bahwa musik mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Berbicara
tentang musik tidak bisa dipisahkan kaitannya dengan subyektifitas selera yang dimiliki oleh
setiap manusia yang mendorong untuk menyukai jenis musik tertentu atau bahkan lebih jauh
menjadi seorang pemusik atau dengan kata lain menjadi seorang musisi.
1
Musisi berangkat dari sebuah kegemaran seseorang untuk bermain musik yang kemudian
dapat dikategorikan menjadi sebuah profesi. Hal ini tidak terlepas dari kesuksesan musisi masa
lalu dengan penjualan album berjuta copy yang menjanjikan popularitas, kehidupan serba
kecukupan serta penuh kesenangan. Hal – hal seperti ini banyak menginspirasi seseorang untuk
menjadi musisi. Namun kenyataannya tak semudah membalikan telapak tangan, menjadi seorang
musisi hingga dapat meraih kesuksesan adalah hal yang sulit bagi orang yang tidak memiliki
akses untuk itu meskipun tercatat beberapa musisi yang ditemukan oleh produser secara
kebetulan, hal ini bisa dikatakan bahwa menjadi musisi tidak hanya soal karya namun juga
kolega dan tak bisa terlepas adalah keberuntungan.
Banyak dijumpai musisi yang gagal, gagal dalam arti mereka belum bisa mengenalkan
karya mereka kepada publik serta menduduki chart – chart lagu nasional meskipun indikator
kegagalan ini juga bersifat subyektif bagi musisi itu sendiri. Beberapa musisi masih gigih dengan
perjuangan mereka menawarkan karya kepada label – label terkenal dengan berharap ada
produser yang tertarik untuk memproduksi karya mereka yang berujung nihil serta kefrustasian.
Namun beberapa yang lain memilih untuk bermusik di jalur indie dengan cara menawarkan
sendiri karya – karya mereka kepada publik dengan kemampuan seadanya.
Musisi dituntut untuk selalu menghasilkan karya sebagai bentuk dari kegiatan bermusik itu
sendiri. Karya inilah yang kemudian membentuk identitas bagi seorang musisi. Namun dalam
proses berkarya seringkali musisi terbentur oleh hal – hal yang berkaitan dengan kegiatan
produksi dan idealisme. Produksi musik memerlukan biaya yang mahal serta waktu yang tidak
sedikit. Di sisi lain sebagian musisi memiliki idealisme yang terkadang tekekang, hal ini
biasanya dialami oleh musisi yang tergabung dalam grup.
2
Perkembangan teknologi saat ini telah memungkinkan seseorang yang terbentur akan faktor
produksi dan pengekangan idealisme mampu membebaskan hal tersebut. Dengan teknologi saat
ini memungkinkan seseorang untuk melakukan produksi musik dari dalam kamar bahkan tanpa
bantuan musisi lain yaitu menjadi seorang musisi kamar. Fenomena tentang musisi kamar
menjadi sebuah tren baru kalangan generasi muda perkotaan di seluruh dunia belakangan ini.
Berbekal teknologi masa kini serta kecerdasan digital generasi muda saat ini mampu
memproduksi musik sendiri karya mereka dari dalam kamar kemudian diunggah ke dunia maya
sehingga bisa dinikmati oleh semua orang. Kamar yang sejatinya merupakan ruang privat bagi
seseorang untuk istirahat kemudian beralih fungsi menjadi sebuah ruangan studio virtual lengkap
dengan perangkat elektronik sehingga memungkinkan musisi untuk memproduksi sendiri karya
mereka. Kegiatan ini bertolak belakang dengan musisi konvensional yang menghabiskan waktu
berjam – jam di dalam sebuah studio latihan untuk membuat lagu kemudian merekamnya di
studio rekaman milik orang lain yang mahal dengan segala macam alat rekaman yang rumit
sampai pada akhirnya mendistribusikan karyanya dalam sebuah piringan ataupun kaset pita
sehingga dapat diperdengarkan ke publik. Belum lagi ketika karya yang telah dihasilkan dengan
susah payah dan biaya yang tidak sedikit gagal menembus pasar industri musik, akan menjadi
kerugian yang berlipat – lipat secara materi, waktu ataupun tenaga.
Kemunculan musisi kamar muncul merupakan salah satu dampak dari globalisasi yang
tak terbendung di seluruh penjuru dunia. Internet adalah salah satu koneksi telekomunikasi
global yang merupakan bagian penting dari perkembangan teknologi informasi yang terjadi.
Donna Harraway (1989, dipublikasi ulang tahun 2003) menjelaskan bahwa perkembangan
teknologi informasi melalui internet bukan sekedar transformasi teknologi melainkan
transformasi kebudayaan yang di dalamnya memuat ideologi baru yakni: (1) teknologi
3
merupakan elemen mesin yang menyesuaikan dan memperluas jangkauan kehadiran fisik kita ;
(2) mesin itu sendiri sebenarnya adalah kita, kita sendiri yang menggerakkannya, dan karenanya
merupkan perwujudan (embodiment) kita; (3) mesin tersebut bukan sesuatu yang semata-mata
bersifat mekanis dan sepenuhnya menguasai kita.
Perkembangan teknologi informasi menjalar ke segala lini, namun tak dapat dipungkiri
kemudahan ini hanya dinikmati oleh kalangan perkotaan atau lebih banyak generasi muda yang
hidup di kota. Di Indonesia sendiri masih dapat kita jumpai daerah – daerah yang belum
menerima akses listrik, apalagi untuk urusan internet. Kemudahan mendapatkan informasi
melalui dunia maya memudahkan generasi muda perkotaan dengan segala fasilitasnya untuk
memperoleh berbagai macam pengetahuan mengenai tren ataupun tutorial tentang hal – hal baru.
Disamping itu yang perlu diingat adalah kemunculan musisi kamar juga terdorong oleh hasrat
berkarya seorang musisi yang terbentur kompleksitas produksi dan distribusi karya secara
konvensional.
Musisi kamar sendiri diadopsi dari istilah bedroom musician yang sering digunakan oleh
musisi luar negeri untuk menjuluki mereka yang membuat musik sebatas dalam lingkungan
kamar dengan dibantu oleh perangkat komputer. Namun istilah ini mungkin nantinya berubah
seiring perkembangan teknologi yang muncul, dengan ditemukannya berbagai aplikasi yang
dapat dijalankan pada media smartphone musisi lebih leluasa membuat karya dimana saja tak
sebatas dalam kamar. Bukan tidak mungkin nantinya akan muncul istilah smartphone musician,
musisi yang melakukan segalanya melalui telepon pintar yang dimilikinya.
Musisi kamar pada awalnya dapat didefinisikan sebagai musisi yang memproduksi lagunya
secara minimalis dan dilakukan di dalam sebuah kamar tidur dengan kelengkapan seperti
4
komputer/laptop dan biasanya dilakukan secara individu, meskipun begitu tidak menutup
kemungkinan kegiatan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang. Musisi kamar sangat
leluasa mencurahkan ide – ide musikalnya melalui media komputer/laptop bahkan tanpa bantuan
musisi lain untuk merealisasikan hasrat dalam bermusik. Software canggih yang beredar saat ini
memungkinkan musisi kamar untuk melakukan hal tersebut dalam ruangan 3x4.
Perkembangan musisi kamar tak bisa lepas dari pengenalan MIDI (Musical Instrument
Digital Interface) pada tahun 1983 oleh Dave Smith pemilik perusahaan instrument musik yang
bernama Roland. MIDI menjadi cikal bakal individualisme musisi masa kini dalam membuat
musik. Pada awalnya MIDI membantu musisi untuk memproduksi musik elektronik karena pada
waktu itu suara – suara yang dihasilkan oleh program yang ada dalam MIDI hanya sebatas synth,
kick dance, 8 bit wave dll hanya „support‟ untuk membuat musik – musik yang demikian.
Namun lagi, kemajuan teknologi yang semakin canggih mampu mengkondisikan seorang musisi
kamar dapat melakukan produksi diluar musik – musik elektronik tersebut. Kemampuan
software terkini telah mampu menghasilkan suara yang menyerupai instrument pada umumnya
yang dimainkan oleh manusia seperti drum, gitar, bass, violin. Selain keuntungan tersebut akan
timbul masalah baru dalam kehidupan sosial yaitu pengaburan peran manusia dalam bermusik
atau bisa juga disebut dehumanisasi manusia dalam bermusik yang mendorong semakin
tingginya individualisme.
Setelah memproduksi karyanya musisi membutuhkan media untuk mengenalkan atau
memamerkan karyanya kepada publik. Hal ini didukung pula oleh kemajuan teknologi di dunia
maya muncul bermacam – macam situs yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung musisi
mengenalkan karyanya kepada publik. Myspace, Soundcloud, Reverbnation dapat dikatakan
sebagai ujung tombak para musisi kamar dalam memperkenalkan karya – karya mereka. Dengan
5
bergerak secara virtual maka biaya yang dikeluarkan menjadi semakin kecil dibandingkan
dengan memproduksi musik di studio komersil yang
kemudian
mengharuskan musisi
menduplikasi sendiri karya mereka jika ingin karyanya tersebar, tentu hal ini tidak berlaku bagi
musisi – musisi yang telah tenar dan didampingi oleh label rekaman besar seperti Sony Music,
Nagaswara, Trinity dll. Ketika musisi didampingi oleh label – label besar maka cost produksi
dan distribusi ditanggung oleh label rekaman tersebut. Hal ini tentu akan sangat memberatkan
musisi yang ingin berkarya jika harus terbentur dengan cost – cost produksi yang semakin
membengkak. Seperti yang telah banyak diketahui bahwa tidak semua musisi berawal dari
golongan dari ekonomi yang mapan.
Sebenarnya kemudahan yang ada tentu tidak serta merta tanpa resiko. Kemungkinan
terjadinya dominasi teknologi pada peran manusia oleh software akan muncul seiring dengan
perkembangan itu sendiri. Manusia menjadi lebih individualis dengan bergantung pada software
yang dianggap lebih praktis dan ekonomis dan lebih mengkhawatirkan lagi adalah hilangnya
minat manusia untuk belajar alat musik konvensional, manusia lebih berminat untuk belajar
software.
Terdapat sisi positif yang tidak bisa diacuhkan begitu saja yaitu munculnya celah bagi setiap
orang yang ingin menjadi musisi dengan menjadi musisi kamar yang low budget untuk bersaing
dengan musisi konvensional yang didekengi oleh label besar. Muncul kontestasi antara musisi
kamar yang dimensinya online dengan musisi konvensional yang dimensinya offline. Kontestasi
ini menjadi semakin ketat ketika musisi kamar yang notabene indie ini mampu meraih capaian
dari musisi konvensional yang mayor. Hal ini semakin didukung dengan acuhnya penikmat
musik yang tidak terlalu perduli dimana musik tersebut dibuat sejauh musik tersebut dapat
menjadi suatu karya yang bisa dinikmati.
6
Di Indonesia salah satunya ada nama Jalu “Sindentosca” dengan lagu berjudul
“kepompong”, Jalu adalah salah satu musisi kamar yang berhasil menarik minat produser label
musik raksasa sehingga karyanya menjadi booming dan menduduki chart di radio – radio
terkemuka serta menjadi soundtrack sinetron di salah satu televisi swasta. Pada awalnya Jalu
hanya berusaha menyalurkan hasrat musikalnya dengan merekam sendiri seluruh karyanya.
Namun tak disangka kegigihannya membuahkan hasil yang membanggakan. Hal ini
membuktikan bahwa musisi kamar mampu bersaing dengan musisi lainnya dalam industri musik
saat ini.
Budaya teknologi telah membentuk pola konfigurasi baru dalam industri musik. Ketika
memproduksi musik bisa dilakukan dalam sebuah komputer tentu keadaan studio musik menjadi
mengkhawatirkan. Musisi lebih menikmati membuat musik di dalam kamarnya tanpa harus
mengeluarkan biaya lebih untuk sewa studio, namun konsekuensi yang ada adalah hilangnya
relasi sosial yang seharusnya ada oleh antar musisi. Musisi yang seharusnya saling bertatap
muka untuk bersama – sama membuat musik tergantikan perannya oleh software yang telah
terinstalasi di dalam komputer/laptop.
Di Yogyakarta yang notabene sebagai kota seniman ditemukan banyak musisi kamar yang
belum „keluar kamar‟. Hal ini dapat terlihat ketika melakukan pencarian menggunakan keyword
„Yogyakarta‟ pada jejaring sosial Myspace, Soundcloud, Reverbnation muncul berbagai nama
musisi dari kota ini yang membagikan lagu mereka secara cuma – cuma. Berawal dari hal ini
perlu diketahui sebab – sebab yang memotivasi mereka untuk berkarya karena apa yang mereka
lakukan bisa jadi tidak semata – mata untuk mencari pendapatan. Motivasi
seseorang
untuk
melakukan sesuatu selalu menarik untuk digali lebih dalam tak terkecuali dengan musisi kamar
7
ini, terlebih ketika menjadi seorang musisi kamar bukan hanya tentang keberlangsungan
ekonomi musisi tersebut melainkan ada hal – hal lain yang belum terungkap.
Dalam penelitian ini peneliti ingin membahas tentang rasionalitas serta pola representasi
yang terjadi pada musisi kamar di Yogyakarta ketika teknologi telah menjadi bagian dari
berkesenian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, maka pokok permasalahan yang akan dikaji
secara mendalam pada penelitian ini adalah:
a. Bagaimana tindakan yang dilakukan musisi kamar di Yogyakarta dalam memanfaatkan budaya
teknologi pada proses produksi dan distribusi musik ?
b. Bagaimana pola representasi yang dibangun oleh musisi kamar di Yogyakarta di ranah publik?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang “Musisi Kamar Dalam Kontestasi Budaya Teknologi di Yogyakarta” ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengkaji lebih dalam mengenai motivasi musisi kamar dalam berkarya dengan memanfaatkan
budaya teknologi sebagai media dalam proses produksi dan distribusi
2. Mengetahui sejauh mana musisi kamar terlibat dalam kontestasi industri musik
3. Mengetahui bagaimana pola representasi yang dibangun oleh musisi kamar di Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Kehadiran penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan pengetahuan bagi generasi
pemuda serta masyarakat pada umumnya tentang musisi kamar. Mengingat musisi kamar
8
merupakan fenomena yang tergolong baru pada ranah industri musik sebagai alternatif musisi
untuk terus dapat berkarya. Pemaparan tentang musisi kamar diharapkan dapat menginspirasi
musisi yang ingin terus berkarya karena keterbatasan modal.
E. Kerangka Teori
a. Memilih Menjadi Musisi Kamar
Memiliki karya serta mendapat apresiasi dari pendengarnya merupakan impian dari
sebagian besar musisi. Namun hal itu hanya menjadi angan – angan belaka ketika musisi tidak
memiliki sarana untuk mencapainya. Untuk menuju ke sana diperlukan beberapa tahapan yang
harus dilalui seorang musisi. Pertama, Musisi harus merekam karyanya, hal ini dilakukan di
studio rekaman dengan alat – alat yang memadai serta dibantu oleh sound engineer dalam hal
mixing dan mastering sehingga karyanya dapat disimpan dalam bentuk CD/kaset. Kedua, setelah
karya tersebut dikemas dalam CD/kaset kemudian ditawarkan kepada Label musik dalam hal ini
produser yang memiliki koneksi terhadap ribuan toko musik di berbagai kota. Kerumitan seperti
inilah yang membuat musisi membutuhkan biaya serta tenaga yang tidak sedikit untuk
merealisasikan hal tersebut. Di sisi lain dalam proses pembuatan karya, musisi akan berinteraksi
dengan musisi lainnya yang memiliki penguasaan alat musik yang berbeda. Dalam proses ini
terjadi pertukaran pikiran antar musisi untuk menghasilkan karya, tak jarang terjadi pengorbanan
idealisme dalam proses ini.
Kerumitan seperti ini mendorong kemunculan musisi kamar sebagai kontestan baru dalam
industri musik. Musisi kamar dapat dikatakan sebagai rasionalitas musisi dalam menghadapi
9
kontestasi industri musik pada era budaya teknologi seperti saat ini. Weber berpendapat bahwa
individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas
suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan sosial yang rasional
yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana – sarana yang paling tepat (Ritzer, 1983,100107)
Musisi kamar merupakan pilihan yang subjektif bagi setiap orang. Dinamika dan
problematika yang dialami antar musisi tentu berbeda – beda. Beberapa musisi terbentur
masalah ekonomi ketika berkarya namun beberapa yang lain merasa idealismenya tidak
tersalurkan ketika bermain musik bersama. Dalam kaitannya dengan motivasi musisi untuk
bergeser menjadi musisi kamar, kita dapat melihat rasionalitas dengan membaca tipe – tipe
tindakan sosial untuk menjelaskan makna subyektif yang dialami oleh individu, Weber memakai
teori tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang memiliki makna subyektif bagi
pelaku individu itu sendiri
Beralih menjadi musisi kamar tentu memiliki alasan tertentu bagi seorang musisi. Berikut
ini merupakan tindakan musisi kamar dalam menghadapi budaya teknologi :
1. Merubah pola produksi karya yang pada awalnya dilakukan di studio ke dalam sebuah kamar
karena biaya yang mahal. Finansial menjadi salah satu alasan musisi untuk melakukan tindakan
ini. Biaya studio yang mahal merupakan salah satu masalah musisi ketika memproduksi suatu
karya. Perubahan pola produksi yang terjadi menjadi satu pilihan yang tepat bagi musisi untuk
menanggulangi masalah finansial tersebut.
2. Melakukan produksi secara individu karena tidak menemukan patner dalam bermusik. Patner
dalam bermusik merupakan salah satu penunjang musisi dalam memproduksi karya. Namun
tidak semua musisi merasa „klop‟ dengan yang lain sedangkan idealisme merupakan sesuatu
10
yang sangat penting bagi sebagian musisi. Alasan ini mendorong musisi untuk mencapai sisi
idealisnya dengan cara memproduksi karyanya tanpa campur tangan musisi lain. Hal ini dapat
diperoleh salah satunya dengan beralih menjadi musisi kamar.
3. Mendistribusikan karya melalui jejaring sosial untuk menanggulangi proses distribusi yang
kompleks. musisi merepresentasikan idenya melalui karya dalam bentuk musik. Untuk dapat
didengarkan oleh khalayak musisi perlu mendistribusikan karyanya. Pembuatan CD maupun
kaset menjadi kendala bagi musisi dikarenakan kompleksnya prosedur yang harus dilalui. Musisi
harus mematenkan karya, membuat cover, mencetak CD, kemudian mendistribusikannya ke
toko – toko dan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Jejaring sosial yang ada seperti
soundcloud, myspace, dan reverbnation menjadi alternatif musisi untuk menanggulangi hal
tersebut.
Berdasarkan alasan tersebut jika dihubungkan dengan rasionalitas tindakan yang
dikemukakan oleh Weber, maka tindakan musisi beralih menjadi musisi kamar dapat
digolongkan tindakan rasional instrumental. Rasionalitas yang muncul merupakan hasil dari
subyektifitas nalar musisi dalam melihat kompleksitas produksi musik yang ada sebelumnya.
b. Representasi Musik Musisi Kamar
Representasi dapat diartikan sebagai produksi makna melalui bahasa yang mempunyai dua
prinsip. Pertama, adalah untuk mengartikan sesuatu, yaitu untuk menjelaskan atau
menggambarkannya dalam pikiran dengan sebuah gambaran imajinasi. Prinsip kedua adalah
representasi digunakan untuk menjelaskan (konstruksi) makna dari sebuah symbol (Hall,
1982:16).
11
Rasionalitas musisi kamar dengan menggantikan peran manusia dengan software yang
berintegrasi dengan komputer/laptop sebenarnya juga merupakan usaha musisi untuk
merepresentasikan bunyi – bunyian yang pada dasarnya dimainkan oleh manusia. Dalam hal ini
sadar ataupun tidak musisi tersebut secara rasional ingin meminimaliskan biaya yang
dikeluarkan hal ini terjadi pada proses representasi yang terjadi.
Representasi bekerja melalui sistem representasi. Sistem representasi ini terdiri dari dua
komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling berelasi.
Konsep merupakan sesuatu yang kita miliki dalam pikiran kita, membuat kita mengetahui makna
dari hal tersebut. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Proses ini juga
melakukan pengubahan (penambahan dan pengurangan) atas presentasi yang menjadi acuannya.
Representasi adalah kegiatan membuat realitas, namun bukanlah realitas yang sesungguhnya
(Grossberg, 2006 :195). Musisi kamar melalui software berusaha membahasakan makna dari
karya dengan berbagai bunyi – bunyian seperti drum, biola, bass, dan gitar sebagai sebuah grup
musik namun jika hasilnya tidak dapat diungkapkan dalam bahasa yang tepat belum tentu
pendengar memaknai karya tersebut sebagai sebuah karya yang dihasilkan oleh grup musik.
Dalam hal ini diperlukan keahlian lebih yang dimiliki oleh musisi kamar dalam mengoperasikan
software tersebut.
Terdapat dua jenis proses representasi. Pertama, representasi mental, merupakan konsep
atau ide yang ada di kepala. Representasi mental masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Yang
kedua adalah representasi bahasa, ini berperan penting dalam proses konstruksi makna melalui
bahasa. Bahasa merupakan salah satu media yang mampu menjadi wadah dalam
merepresentasikan pemikiran, ide dan perasaan di dalam budaya. Konsep abstrak yang masih
12
berupa ide tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa yang tepat agar dapat tercapai maksud
dari makna dalam bahasa itu sendiri.
Secara umum, representasi memiliki tiga buah pendekatan untuk menjelaskan bagaimana
representasi makna melalui bahasa bekerja. Ketiganya antara lain pendekatan reflektif,
intensional dan konstruksionis. Dalam upaya membedah rumusan masalah pada penelitian
tentang pola representasi yang dilakukan musisi kamar di Yogyakarta, ketiga pendekatan
tersebut dikaitkan dengan teori representasi Hall yang dilandaskan pada Black Experience yang
menghasilkan empat tahapan, yaitu :
Pertama, mereduksi konflik internal. Dalam kasus black experience tahap pertama tersebut
ditunjukkan melalui film yang dibuat oleh warga kulit hitam yang terkait dengan musik Rap,
diantaranya karya Marion Van Peebles (New Jack City) dan John singleton (Boys N the Hood).
Dalam film tersebut mereka mencoba merepresentasikan diri tentang kehidupan sebenarnya dari
warga Amerika keturunan Afrika yang jauh berbeda dengan representasi yang dihasilkan oleh
warga kulit putih dalam berbagai film. Film-film karya warga kulit hitam tersebut didasarkan
pada penonjolan gaya macho laki-laki (maskulinitas) yang cenderung keras dan eksesif daripada
perempuan diindikasikan sebagai simbol perlawanan kulit hitam terhadap kekuasaan kulit putih
(Barker, 2005: 228). Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya merepresentasikan ras yang
dipentingkan adalah karakter gender bukan oposisi biner antara laki-laki dan perempuan. Dalam
bahasa Hall mengenai identitas, upaya kulit hitam tersebut sedang menempatkan diri sebagai
subjek sosiologis.
Kedua, yaitu mencapai konsensus diri. Dalam proses representasi ras sangat dirasa penting
untuk lebih menonjolkan gambaran positif daripada negatif. Berdasarkan penjelasan tersebut
13
sebagai contoh adalah opera sabun Inggris East Enders yang secara sadar berusaha menonjolkan
representasi positif warga kulit hitam meskipun pada perjalanannya dipandang problematik oleh
beberapa komentator. Hal tersebut terkait dengan homogenitas etnis yang menempatkan kulit
hitam dalam bahasa Hall sebagai subjek pascamodern dan cenderung mengabaikan berbagai hal
perbedaan kelas, gender, dan seksualitas. Berbeda dengan itu, Hall menyatakan bahwa untuk
menampilkan gambaran positif sebagai manifestasi politik representasi yang mengungkap
arbitrasi signifikansi, menampilkan representasi yang mengeksplorasi relasi kekuasaan,
mendekonstruksi oposisi biner hitam-putih, dan mengedepankan kehendak untuk hidup di
tengah-tengah perbedaan tidak memerlukan justifikasi epstimologis universal. Hal tersebut
dikarenakan upaya representasi positif tersebut tidak dibangun diatas logika transedental atau
representasi yang nyata melainkan berdasarkan tradisi nilai-nilai kultural yang menilai sejumlah
keberagaman, perbedaan, dan solidaritas kesetaraan dan demokrasi sebagai tujuan yang
dikehendaki (Barker, 2005: 230)
Ketiga, yaitu mencapai ruang publik atau media representasi. Dalam perjalannya, upaya
ras kulit hitam untuk merepresentasikan diri mengalami perkembangan. Media representasi tidak
lagi hanya berkutat pada ranah visual seperti film dan opera sabun, melainkan mulai menyentuh
ranah literatur. Hal tersebut sebagai respon terhadap minat terkini pada literatur pasca kolonial
seperti yang dikemukakan Aschcroft dalam The Empire Writes Black. Aschcroft menampilkan
dua model penting literatur pasca kolonial yaitu model nasional dan model tulisan kulit hitam.
Literatur model nasional membawa semangat kemajuan optimisme menuju kebangsaan yang
didasarkan pada perbedaan Amerika dan Inggris. Sedangkan model tulisan kulit hitam lebih
menonjolkan semangat etnisitas daripada nasionalitas. Salah satu contoh karya yang terkenal
adalah diaspora Afrika Black Atlantic.
14
Keempat atau tahap terakhir terkait dengan proses penerimaan dan penolakan. Dalam
tahapan terakhir ini Hall tidak menjelaskan secara spesifik, namun tahapan ini ada berdasarkan
inspirasi dari pertanyaan Hall pada setiap intelektual yang menentang bahwa cultural studies
yang di dalamnya termasuk isu tentang representasi tidak berdampak praktis pada realitas: “apa
efek nyata yang anda buat terhadap dunia?” (Sardar dan Van Loon, 2001: 38). Jadi pada
dasarnya tahapan ini adalah tahapan yang cukup signifikan mengingat tahap penerimaan dan
penolakan merupakan tahap puncak dari segala upaya representasi identitas ras. Pada tahap ini
ketika upaya representasi diterima publik maka perjuangan identitas dianggap berhasil, akan
tetapi jika pada tahap ini upaya tersebut ditolak maka perlu dipikirkan untuk mengulangi tahapan
dari awal yaitu mereduksi konflik internal. Berdasarkan pengalaman perjuangan kulit hitam
dalam merepresentasikan dirinya di ruang publik, upaya tersebut membuahkan penerimaan. Hal
tersebut terbukti dari munculnya aturan-aturan yang menghapuskan isu perbedaan ras dan peran
signifikan kulit hitam di hampir semua lini kehidupan.
Untuk melakukan analisis, peneliti memilih menggunakan teori representasi Stuart Hall.
Dalam konteks pola representasi musisi kamar di ranah publik dapat dijelaskan dengan empat
tahapan Black Experience menurut Hall, yaitu:
Pertama, mereduksi konflik internal. Menjadi musisi kamar merupakan tindakan pilihan
bagi narasumber untuk berkarya. Sebagai musisi kamar yang memproduksi serta
mendistribusikan karyanya secara individu hal ini telah meminimalisir konflik yang terjadi bagi
musisi itu sendiri dalam merealisasikan ide – ide yang masih bersifat abstrak. Kedua, mencapai
konsensus diri. Ketika telah mencapai konsensus diri musisi kamar bebas mengekspresikan dan
menuangkan karya mereka ke dalam „bahasa‟ yang mereka inginkan. Ketiga, mencapai ruang
publik. Sebagai media distribusi karya ke ranah publik, musisi kamar menggunakan jejaring
15
sosial media soundcloud melalui internet yang dinilai efisien dan memiliki keefektifan yang
baik. Keempat, penerimaan atau penolakan. Dalam konteks musisi kamar, yang terjadi adalah
penerimaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan „play‟ dan komentar pada akun soundcloud yang
mereka miliki.
F.
METODE PENELITIAN
F.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini berupaya menggali secara mendalam mengenai rasionalitas yang muncul
serta kemudian mendorong adanya upaya merepresentasikan karya yang dilakukan oleh musisi
kamar. Poin yang diutamakan dalam penelitian ini adalah motivasi musisi kamar dalam
menjalani identitas diri dengan relasi sosial, modal, dan ekonomi. Kemudian poin selanjutnya
adalah melihat pola representasi yang dilakukan musisi kamar dalam ranah dunia maya.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif yang terfokus pada penelitian yang
bersifat deskriptif yaitu penggambaran mengenai suatu fenomena secara mendalam.
Penelitian kualitatif ini menggunakan perspektif pendekatan fenomenologi deskriptif Don
Ihde yang diadaptasi dari pemikiran Husserl untuk merumuskan hubungan manusiateknologi.,Dalam penerapaannya Ihde hendak menunjukan secara positif bagaimana alat muncul
dari ciri transparannya, disadari keberadaannya tanpa menjadi rusak atau hilang. Ihde
berpendapat bahwa penelitian mengenai hubungan tersebut akan menghindari dua posisi ekstrim
tentang teknologi yaitu reifikasi teknologi dan netralitas teknologi. Reifikasi teknologi
merupakan pandangan bahwa teknologi mempunyai hidup sendiri yang mengontrol manusia.
Sedangkan netralitas teknologi ialah di mana teknologi dilihat pada dirinya sendiri sebagai objek
atau artefak. Dari pengertian tentang fenomenologi di atas, maka penelitian ini berusaha
memfokuskan pada upaya ilmiah untuk motivasi seseorang untuk menjadi musisi kamar.
16
F.2. Unit Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memilih musisi yang berada di Yogyakarta secara individu
sebagai unit penelitian. Yogyakarta dipilih karena kota ini merupakan salah satu barometer
musik Indonesia yang memiliki banyak musisi muda berpotensi. Jumlah informan tidak terbatas
pada jumlah kuantitas, melainkan melihat pada kebutuhan data. Pemilihan informan yang dipilih
disesuaikan dengan tema penelitian yakni “Musisi Kamar Dalam Kontestasi Budaya Teknologi
di Yogyakarta”. Berikut ini adalah batasan yang digunakan untuk memilih informan;
1.
Musisi melakukan produksi musik di kamar. Sebagai musisi kamar hal ini
merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh informan.
2.
Pemilihan informan dibatasi pada musisi yang memiliki akun dan karya jejaring
sosial soundcloud, myspace, atau reverbnation. Asumsinya musisi yang memiliki
akun dan karya pada jejaring tersebut telah melakukan proses produksi dan
distribusi dengan pemanfaatan teknologi cukup untuk dikategorikan sebagai
informan dalam penelitian ini.
3.
Informan berasal dari Yogyakarta.
4.
Memiliki latar belakang pendidikan yang baik (dalam penelitian ini narasumber
telah menyelesaikan studi S1/sedang mengenyam pendidikan S1)
Dengan mempertimbangkan kriteria tersebut, peneliti memilih empat narasumber yang
dinilai cocok untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Keempat narasumber ini telah
diamati oleh peneliti melalui situs jejaring sosial facebook dan soundcloud serta dilakukan
pengamatan secara langsung di ruang produksi narasumber tersebut.
F.3. Metode Pengumpulan Data
17
Secara garis besar data yang diperlukan adalah data primer dan sekunder. Perolehan data
primer yaitu berupa hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada informan, yaitu musisi
kamar di Yogyakarta. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui catatan
atau dokumen dan literature. Data sekunder bisa didapatkan dari internet, media massa dan buku
– buku yang mendukung dalam penelitian ini.
Untuk memperoleh data primer dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sebagai cara untuk mendapatkan informan, yaitu peneliti menentukan sendiri informan yang
diambil dengan beberapa pertimbangan oleh peneliti. Kemudian untuk memperoleh data yang
lebih detil dan mendalam peneliti juga menggunakan observasi partisipatif dan teknik
wawancara untuk memperoleh data yang lebih detil dan mendalam.
F.3.1. Observasi Parisipatif
Observasi oleh Marshall dan Rossman diartikan sebagai deskripsi secara sistematis tentang
kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti (Suyanto dan Sutinah,
2005:172). Observasi partisipan melibatkan keikutsertaan peneliti dengan individu atau
komunitas yang diobservasi dalam kegiatan yang dilakukan oleh informan tersebut. Peneliti akan
membuat mereka merasa nyaman dengan kehadiran peneliti sehingga observasi dan proses
pencatatan informasi mengenai kehidupan mereka bisa dilakukan lebih baik. Observasi
partisipan membutuhkan suatu jalinan yang baik antara peneliti dengan komunitas yang akan
diobservasi (Lastoro Lono, 140:2006).
Informasi tentang musisi kamar di Yogyakarta serta keberadaan musisi kamar yang
didapatkan oleh peneliti melalui teman serta pengamatan jejaring sosial merupakan langkah awal
peneliti untuk melakukan pengumpulan data dengan cara observasi. Selain itu kegiatan sehari –
hari peneliti sebagai praktisi recording di Yogyakarta memberi referensi peneliti untuk memilih
18
narasumber dalam penelitian ini. Peneliti mengenal beberapa narasumber secara personal dan
terkoneksi dalam jejaring sosial, melalui jejaring sosial tersebut peneliti juga melakukan
pengamatan untuk memperoleh data – data yang dibutuhkan. Selain pengamatan melalui jejaring
sosial peneliti juga melakukan pengamatan secara langsung dengan berperan sebagai „teman‟
dan bukan sebagai peneliti, sehingga peneliti dapat melihat proses produksi yang dilakukan oleh
musisi tersebut sebelum peneliti menjelaskan bahwa mereka adalah obyek penelitian dan
kemudian melakukan wawancara. Ini dilakukan sebagai bentuk partisipan sehingga peneliti
dapat memperoleh data yang lebih luas. Sebagai partisipan peneliti berusaha seobyektif mungkin
dalam pengumpulan data.
F.3.2. Wawancara
Wawancara merupakan proses pengumpulan data dan informasi secara langsung, dengan
proses tatap muka bersama informan. Teknik wawancara yang akan dilakukan adalah dengan
wawancara mendalam (indepth interview) yang mengacu pada interview guide yang telah
disusun sebelumnya, berisikan pokok – pokok pertanyaan sistematis yang akan digunakan pada
saat wawancara dilakukan. Marshall dan Rossman mendefinisikan wawancara mendalam
sebagai teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan satu
tujuan (Suyanto dan Sutinah, 2005:172). Penggunaan teknik ini didasarkan bahwa data dan
informasi yang akan diperoleh akan lebih detil dan mendalam.
Setelah melakukan pengamatan langsung terhadap aktivitas subyek penelitian, data primer
yang didapatkan selanjutnya diperoleh dari hasil wawancara atau interview dengan subyek
penelitian. Bahan untuk wawancara yang telah disiapkan yakni interview guide atau daftar
pertanyaan bagi subyek penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang
dilakukan sebagai musisi kamar. Wawancara dengan informan dilakukan di ruang kerja musisi
19
tersebut dengan suasana informal atau santai dibantu dengan alat rekam sederhana yang terdapat
pada telepon genggam peneliti tanpa batasan waktu bagi setiap narasumber sehingga wawancara
yang dilakukan lebih mengalir.
F.4 Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, data yang telah didapatkan kemudian diolah serta dianalisis
dan menghasilkan data deskriptif. Pengumpulan data tidak terpaku harus sistematis tetapi lebih
mementingkan proses selama penelitian berlangsung. Langkah pertama yang dilakukan ialah
mengembangkan deskripsi data dari hasil data penelitian. Selanjutnya peneliti mesti melakukan
reduksi data. Reduksi data yakni proses ketika menuliskan hasil penelitian yang didapat dari
wawancara serta observasi. Hal ini bertujuan untuk memfokuskan data sesuai dengan rumusan
masalah yang ingin dijawab oleh peneliti. Melalui reduksi data dapat memilah informasi yang
penting dan kurang penting dalam penelitian. Kemudian tahapan terakhir adalah pengambilan
kesimpulan yang kemudian kembali disesuaikan dengan teori yang dipakai.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer
berasal dari wawancara terhadap informan melalui media rekam berupa telpon seluler peneliti
berformat audio yang kemudian dilakukan transkrip ke dalam tulisan sehingga dapat direduksi
antara data yang dibutuhkan dengan data yang tidak dibutuhkan. Data sekunder diperoleh
melalui proses pengamatan peneliti terhadap narasumber tanpa menjelaskan bahwa narasumber
tersebut sedang diamati oleh peneliti untuk sebuah penelitian. Data sekunder ini merupakan data
penunjang data primer ataupun untuk menyusun daftar pertanyaan wawancara yang dilakukan
sehingga lebih mendalam dan akurat.
20
21
Download