Pola Komunikasi Masyarakat Osing di Era Media Poundra Swasty Ratu Maharani Serikit Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Surakarta [email protected] ABSTRACT As one of traditional community in Indonesia, Lare Osing of Kemiren Village is capable of maintaining their local identity while welcoming the ever-improving modern technology and information. Their natural characteristic is indicated by their still-existing traditional social institutions which claim relatively high position in the community. However, the community somehow manages to open themselves towards a more modern and sophisticated form of institution. The objective of this writing is to describe the Communication Pattern of Osing Community of Kemiren Village of Glagah Subsdistrict of Banyuwangi Regency, East Java in the mass media age. PENDAHULUAN Max Weber (1947) menyebutkan tentang dua penyebab terbentuknya kelompok dengan pergaulan sosial yang khas, yakni lewat suatu peristiwa historis maupun lewat karakter ras yang diwarisi.1 Masyarakat Suku Osing memiliki keduanya sebagai faktor pembentuk solidaritas etnik mereka. Menyusul kemudian, bahasa yang mereka pakai mendapat sebutan yang sama –Bahasa Osing– yang kini semakin mengecil wilayah tuturnya, tergerus oleh pengaruh penggunaan Bahasa Indonesia, dan bahkan Bahasa 1 Max Weber, 1947, “Ethnic Groups”, dalam Talcott Parsons et al (editor), Theories of Society: Foundations of Modern Sociological Theory Vol 1, terjemahan: Ferdinand Kolegar, New York: The Free Press of Glencoe, hal. 305-309 Jawa. Namun demikian, masyarakat Osing telah mengenali identitasnya sebagai ”Orang Osing”, dan persamaan lain yang mengikat dan mereka warisi, yakni suatu bahasa tutur dengan ciri dan karakteristik tersendiri. Daerah yang bergunung-gunung menyebabkan Banyuwangi secara alamiah berbatasan dengan Hutan Kumitir dari Jember, Hutan Meru Betiri, dan Gunung Raung yang memisahkannya dari Bondowoso. Kini masyarakat Osing masih dapat dijumpai di Jember, Situbondo, namun hanya sedikit dan konsentrasinya masih jauh lebih sedikit bila dibandingkan di Banyuwangi. Namun demikian, secara ekologis tidak ada batas demarkasi yang memisahkan wilayah Suku Osing dengan wilayah suku-suku lain secara tegas, kecuali indikasi yang juga cukup jelas terlihat, yakni digunakannya Bahasa Osing di hanya wilayah yang masih memiliki penduduk asli dalam jumlah yang banyak, seperti yang ditemui di Desa Kemiren. Karakter yang diwarisi melalui proses ”imitasi” dan menjadi kebiasaan yang paling nampak pada masyarakat etnik tersebut antara lain penggunaan Bahasa dan Dialek Osing. Jika kebiasaan tutur ini telah mengalami penyusutan pada konsentrasi masyarakat Osing yang tersebar di berbagai daerah di Banyuwangi dan sekitarnya, maka pada kelompok masyarakat Osing yang berdiam di Desa Kemiren, bahasa dan dialek ini masih sangat kental penggunaannya. Komunitas bahasa (the community of language) merupakan tipe komunitas yang membawa nilai budaya masyarakat tertentu sekaligus mempermudah kemungkinan akan terciptanya suatu pemahaman bersama. Karena itu, Bahasa dan Dialek Osing memiliki kaitan yang erat sebagai salah satu sarana yang digunakan oleh Orang Osing dalam berkomunikasi. Sarana tersebut mencakup antara lain, bahasa, dialek regional dan dialek sosial, dimensi yang menjembatani, dan berbagai bentuk saluran komunikasi yang berbeda (lisan, tertulis, maupun isyarat). Tidak hanya menonjol dalam hal kebahasaan, masyarakat Osing di Desa Kemiren juga memiliki ciri yang cukup unik, terkait –seperti yang telah diungkap di awal– tradisi dan nilai-nilai kemasyarakatannya. Hal yang bahkan pada desa-desa dengan letak berdekatan dengan Kemiren telah banyak memudar, padahal dari segi aksesibilitas terhadap modernitas sambutan dari desa ini sifatnya cukup terbuka. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang komunikasi dan transportasi telah memacu semakin tingginya intensitas hubungan antar manusia, tak terkecuali di Desa Kemiren. Media massa bukan lagi sesuatu yang bersifat eksklusif di konteks kebudayaan Osing. Hampir setiap keluarga memiliki piranti-piranti komunikasi dan media. Selain itu, jarak yang tidak seberapa jauh dari pusat kota dengan akses yang sangat mudah turut mendorong munculnya proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur budaya dan sistem-sistem sosial, yang dipengaruhi oleh unsur eksternal, meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial lama, yang kemudian menyesuaikan diri dengan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial yang baru, yang disebut perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut dipandang sebagai konsep yang serba mencakup seluruh kehidupan masyarakat baik pada tingkat individual, kelompok, masyarakat, negara, dan dunia tanpa terkecuali. Pada masyarakat yang masih terisolir dari dunia luar, perubahan terjadi dengan lambat. Sebaliknya pada masyarakat yang lebih terbuka, dengan intensitas komunikasi yang lebih tinggi, jalur hubungan dengan dengan dunia luar (masyarakat dan kebudayaan lain) dapat dilakukan dengan mudah. Sehingga dengan sendirinya perubahan sosial yang terjadi cenderung lebih cepat. PERMASALAHAN Media massa seringkali dianggap sebagai salah satu agen perubahan sosial. Pola komunikasi yang telah terbentuk pada suatu masyarakat tidaklah imun terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh masyarakat suku Osing yang bermukim di Desa Kemiren, Banyuwangi di era media ini. PEMBAHASAN TEORITIK Sebagai makhluk dengan struktur dan fungsi yang sangat sempurna bila dibandingkan makhluk lainnya, manusia merupakan makhluk multidimensional. Karenanya manusia memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mampu hidup sendiri di dalam dunia ini, baik dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial budaya. Terutama dalam konteks yang disebutkan terakhir, manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Kolaborasi ini hanya dapat diwujudkan lewat interaksi sosial. Komunikasi, selanjutnya menjadi unsur penting, kalau bukan yang terpenting dalam interaksi sosial tersebut. Sebagaimana dikutip oleh Burhan Bungin (2008), Theodornoson & Theodornoson (1969) memberi batasan lingkup komunikasi berupa penyebaran informasi, ide-ide, sikap-sikap, atau emosi dari seseorang atau kelompok kepada yang lain, terutama melalui simbol-simbol.2 Hal-hal tersebut dimuati simbol yang menunggu untuk diinterpretasikan, bahkan hal yang seolah tidak mengandung makna. Bahkan Anthony Synnott (1993) mengemukakan kompleksitas yang lebih rumit dari fenomena biologis manusia, seperti tubuh dan inderanya sebagai ”bagian-bagian yang dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan pribadi, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual dan moral, ...”3 Jarang sekali orang menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal ini menurut Onong4 disebabkan oleh bahasa sebagai lambang (symbol) beserta isi (content) – yakni pikiran atau perasaan– yang dibawanya menjadi totalitas pesan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi, bahasa memerankan banyak fungsi komunikatif. Bahwa bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam proses komunikasi sudah jelas, mengingat hanya bahasalah yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain, yang baik gesture, gambar, warna, dan media primer lain kesulitan buat menerjemahkannya. Abd. Syukur Ibrahim (1994)5 menjelaskan bahwa bahasa menciptakan batasan, menyatukan para penuturnya sebagai anggota masyarakat tutur, dan mengesampingkan outsiders (orang asing) dari komunikasi intra kelompok. Fungsi-fungsi bahasa, menurut Syukur Ibrahim6 memberikan dimensi primer untuk mengkarakterisasi dan mengorganisasikan proses komunikatif dan produk dalam masyarakat. Karakteristik tersebut akhirnya memunculkan suatu pola komunikasi yang berbeda antara masyarakat 2 Burhan Bungin, 2008, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cetakan ke-3, hal. 30-31 3 Anthony Synnott, 1993, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, terjemahan: Pipit Maizier, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 1 4 Onong Uchjana, Ibid, hal. 16 5 Abd. Syukur Ibrahim, 1994, Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi, Surabaya: Usaha Nasional, hal. 15 6 Abd. Syukur Ibrahim, Ibid, hal. 17 sosial satu dengan lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi dapat dipandang sebagai cara-cara yang dipakai untuk berkomunikasi. Pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat etnik tertentu seperti di Suku Osing misalnya, dapat diartikan sebagai cara-cara berkomunikasi yang dilakukan baik oleh individu maupun kelompok masyarakat Osing. Cara-cara tersebut meliputi bagaimana Orang Osing berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang telah disepakati sebelumnya. Masyarakat Suku Osing di Desa Kemiren antara lain dapat dikenali lewat ciri-ciri linguistik mereka. James P. Spradley (1979)7 mengatakan bahwa alih-alih sekedar alat mengkomunikasikan realitas, bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Karenanya, pola-pola komunikasi sosial dan kebudayaan erat kaitannya dengan bahasa. Cara mereka berinteraksi lewat lembaga kemasyarakatan tradisional yang masih dipertahankan hingga kini, dan dalam kehidupan sehari-hari, dapat terlihat dari gaya bahasa yang digunakan. Hal tersebut menunjukkan, dalam pemetaan pola komunikasi yang terjadi di masyarakat Suku Osing, terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya. Di antaranya, latar belakang budaya masyarakat, dan nilai serta norma sosial yang mereka anut. Gesah Dalam kesehariannya, sebagian waktu masyarakat Osing diisi dengan gesah. Gesah atau mengobrol, adalah sesuatu yang sifatnya alami, hingga dua orang yang saling mengenal berpapasan di jalan dapat berhenti cukup lama untuk saling menyapa dan melakukan gesah. Mereka tidak meluangkan waktu khusus untuk bergesah, melainkan sembari menjalankan aktivitas keseharian yang mengharuskan mereka bertemu dengan orang lain. Suasana rileks, santai, dan akrab mampu mendukung timbul dan bertahan 7 James P. Spradley, 2006, Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana, cetakan ke-2, hal. 25 lamanya sebuah gesah. Hal-hal yang dibicarakan bervariasi, tergantung tempat, waktu, suasana, dan latar-belakang individu. Melabot Penyelenggaraan selamatan sebagai aspek penting dalam kehidupan orang Osing tidak bisa lepas dari konsep melabot. Menyadari kerepotan yang dialami tuan rumah untuk menyediakan suguhan makanan bagi para tamu, Orang Osing melakukan suatu konsep gotong royong yang disebut melabot. Mirip dengan rewang di Jawa Tengah, saat terjadi kerepotan di rumah salah seorang warga, orang-orang akan datang memberikan bantuan baginya, baik bantuan yang bersifat barang maupun tenaga. Melabot bahkan sudah menjadi sebuah norma tidak tertulis yang mengharuskan Orang Osing untuk berempati pada saudaranya yang sedang memerlukan bantuan, dengan cara bergotong royong. Jika di Jawa Tengah identik dengan para perempuan yang bekerja di dapur selama hajatan berlangsung, melabot di Kemiren dilakukan oleh wanita dan pria dan melingkupi hal yang lebih luas. Leluhur orang-orang ini, sebegaimana juga generasi berikutnya, menyadari potensi melabot sebagai sebuah ruang publik. Baik melabot yang hanya berukuran kecil, sedang, maupun besar, masing-masing memiliki pengaruh terhadap kuatnya ikatan hubungan dan arus aliran informasi, terutama lewat gesah di Kemiren. Pada bulan yang biasa dipakai untuk menyelenggarakan hajatan, seorang wanita dewasa, dengan asumsi ada dua puluh hajatan yang dilakukan, akan menghabiskan waktu sedikitnya 100 jam per bulan di tempat melabot. Situasi ini mirip dengan yang terjadi di London pada pertengahan abad 17, setelah kedai kopi pertama dibuka hingga berkembang menjadi buzz pada abad 18, masing-masing dengan pelanggan setianya. Potensi melabot untuk menjadi sebuah media bagi masyarakat untuk bertukar opini dan argumen (sembari mengerjakan persiapan selamatan) sangat besar. Sementara itu keberadaan media massa tidak hanya mewarnai pola pikir dan penerimaan masyarakat Osing, namun juga pada akhirnya akan memberikan warna tersendiri pada pola percakapan yang terjadi di dalam suatu forum melabot. KESIMPULAN Jarak lokasi Desa Kemiren tidak jauh dari Banyuwangi sebagai ibukota kabupatennya, yakni hanya sekitar 8 kilometer. Sedangkan dari segi kondisi sarana dan prasarana transportasi antara pemukiman Orang Osing di Kemiren dengan daerah sekitar juga cukup memadai. Teknologi komunikasi melalui sarana audio visual seperti televisi, telepon, dan bahkan internet sudah dapat dijangkau dengan relatif mudah. Namun demikian, dalam memenuhi kebutuhan hidup bermasyarakat, mereka tetap memegang teguh aturan-aturan adat yang dimilikinya. Hal ini antara lain terlihat pada bentuk sejumlah kegiatan gotong royong mereka yang memiliki suatu pranata sosial tersendiri. Misalnya saja kegiatan melabot, nyumbang, dan arisan yang menggunakan prinsip gotong royong, pelaksanaannya sangat sering, intensif, dan meliputi berbagai titik penting yang menandai daur kehidupan manusia, seperti dalam upacara perkawinan, membangun rumah, pindah rumah, peristiwa duka, khitanan, dan selamatan. Karakteristik yang tergolong unik dari penduduk Desa Kemiren ini adalah yang paling kuat yang masih tersisa di kalangan masyarakat Osing. Bahkan di desa tetangga yang jaraknya tidak terlalu jauh, tradisi melabot telah luntur, dan dikuatkan oleh pernyataan yang sering diulang oleh penduduk Kemiren, ”Sing ana kang kaya ring kene. Yo mung Kemiren iki.” [Tidak ada yang seperti di sini (tradisinya). Ya hanya Kemiren ini.] Hal ini menunjukkan bahwa tingkat solidaritas etnik dalam kehidupan masyarakat Osing di Desa Kemiren masih sangat tinggi, yang ditunjukkan lewat sikap ”guyub” di antara anggota masyarakatnya. Karakteristik masyarakat Osing tersebut sering mempengaruhi cara mereka dalam berinteraksi dengan orang lain dalam kesehariannya. Di balik keseharian mereka yang bersahaja, rupanya sarat akan petunjuk tersirat terhadap karakteristik Suku Osing, yang mana, telah membawanya mampu terus bertahan di tengah gerusan globalisasi dan perubahan zaman. Di dalam selamatan, terdapat melabot yang banyak sekali mengandung gesah. Variasi pola komunikasi semacam ini sangat mudah dan banyak dijumpai pada masyarakat Osing. Media massa yang datang belakangan, secara unik tidak banyak mengubah karakteristik pola-pola komunikasi yang ada. Jika ada perubahan yang terjadi, maka substansi media massa justru memperkaya dan memberi warna pada gesah yang terjadi, percakapan yang berlangsung, dan jika masyarakat Osing dapat mempertahankan melabot hingga seabad ke depan, maka bukan tidak mungkin suatu kondisi ideal tentang forum di mana publik dapat berinteraksi dan bertukar opini dan gagasan dapat menjadi nyata. DAFTAR PUSTAKA Boyd-Barrett, Oliver dan Chris Newbold (editor), 1995, Approaches to Media: A Reader, New York: Oxford University Press Bungin, Burhan, 2008, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cetakan ke-3 Geertz, Clifford, 1960, The Religion of Java, Chicago dan London: The University of Chicago Press Herawati, Isni dkk, 2004, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata P, L. Dyson, “Kebudayaan dalam Kajian Tingkah Laku”, dalam Masyarakat dan Kebudayaan Politik, 1989, Surabaya: Laboratorium Antropologi FISIP Universitas Airlangga, Nomor 4/Tahun III/Semester Genap Sudjana, I Made, 2001, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII, Bali: Larasan-Sejarah Suprapti (penyunting), dkk, 1995, Nilai-Nilai Kemasyarakatan pada Masyarakat Using di Banyuwangi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Weber, Max, ”Ethnic Groups”, dalam Talcott Parsons et al (editor), Theories of Society: Foundations of Modern Sociological Theory Vol I, 1947, terjemahan: Ferdinand Kolegar, New York: The Free Press of Glencoe