2 Pengelolaan dan manajemen Diabetes Mellitus (DM) atau biasa disebut diabetes menjadi isu yang sangat penting dalam tiga dasawarsa terakhir mengingat jumlah penderita diabetes (diabetisi) yang meningkat setiap tahunnya. Pedoman Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit metabolik yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (2008), World Health Organization (WHO) di tahun 2000 menyatakan bahwa dari 57 juta jiwa/ tahun di dunia yang meninggal akibat Penyakit Tidak Menular (PTM), sekitar 3,2 juta jiwa/ tahun diakibatkan oleh diabetes. Selanjutnya data WHO menunjukkan pada tahun 2010 jumlah penderita diabetes di dunia sekitar 171 juta dan diprediksi akan meningkat menjadi 366 juta jiwa pada tahun 2030. WHO memprediksi di Indonesia akan terjadi kenaikan jumlah diabetisi dari 8,4 juta pada tahun 2000, menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Hal ini menjadikan Indonesia menduduki rangking 4 (empat) dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi nasional diabetes menurut diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah 1,1% dan ironisnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) prevalensi diabetes mencapai 1,6% yang berarti diatas angka prevalensi nasional. Sementara itu angka prevalensi nasional diabetes khusus di daerah perkotaan mencapai 5,7% dan di daerah perkotaan Provinsi DIY sebanyak 5,4% yang berarti mendekati angka prevalensi nasional (Depkes, 2008). Data Departemen Kesehatan juga menunjukkan bahwa jumlah pasien rawat inap dan rawat jalan diabetes di rumah sakit paling banyak diantara seluruh pasien penyakit endokrin (Depkes, 2005). Selain data di atas, karakteristik diabetes menyebabkan manajemen dalam penyakit ini menjadi perhatian tersendiri. Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis kategori ‘high maintenance”, tidak bisa sembuh secara sempurna, perlu biaya dan perawatan seumur hidup (Adibah, idris, & Ali, 1998; Vroome & Durning, 2009). Selain itu, diabetes dapat menimbulkan perubahan psikologis yang mendalam pada penderita, juga pada keluarga dan kelompok sosialnya (Langa, dkk., 2002; Petrak, dkk., 2005; SANE, 2008 ). Individu yang telah terkena diabetes harus memakai label tersebut seumur hidupnya. Penderita diabetes juga harus selalu menjaga pola makan (diet), olah raga rutin, memonitor 3 kadar glukosa, menjaga kesehatan kaki, menyuntikkan insulin, meminum obat secara rutin, bahkan dapat dikatakan harus merubah seluruh pola hidupnya (Collins, Corcoran, & Perry, 2008; Gonzales, dkk., 2007; Hirakawa, Kuzuya, Masuda, Enoki, & Iguchi, 2008). Kondisi tersebut menyebabkan banyak diabetisi mengalami kecemasan dan depresi (Collins, dkk., 2008). Menurut Goldberg & Rickler (2011), peran keluarga dalam perawatan penyakit kronis menjadi faktor yang sangat penting. Banyak penderita penyakit kronis tidak bisa mandiri secara penuh tanpa bantuan keluarga. Begitu pula dengan penderita diabetes, beberapa dapat menjaga diri mereka sendiri namun pada penderita yang menghadapi situasi medis yang lebih rumit, misalnya memiliki luka atau adanya komplikasi, membutuhkan bantuan dari keluarga (Sukarmin & Riyadi, 2008; Vroomen & Durning, 2009). Hal ini menyebabkan keterlibatan keluarga menjadi sangat penting dalam memberikan dukungan perawatan pada penderita diabetes. Dalam hal ini, keluarga berperan sebagai family caregiver. Family caregiver dapat meliputi: pasangan hidup (suami/ istri), orangtua, anak, atau kerabat dekat yang bertanggung jawab merawat penderita (Andren & Elmstahl, 2008; Goldberg & Rickler, 2011). Dukungan yang diberikan family caregiver memberikan dampak yang positif terhadap kondisi fisik maupun psikis penderita diabetes (Martire & Schulz, 2007). Hasil penelitian pada penderita diabetes dan family caregiver menemukan bahwa dukungan sosial mempengaruhi tingkat kecemasan penderita diabetes, semakin banyak dukungan sosial yang diberikan semakin rendah tingkat kecemasan penderita diabetes (Ambarwati, 2008; Garousi & Garrusi, 2013). Selain itu dukungan yang diberikan kepada penderita diabetes berhubungan dengan manajemen penyakit yang lebih baik (Subari, 2008; Sukkarieh, 2011), meningkatkan kualitas hidup penderita, mendorong kepatuhan terhadap pengobatan, dan meningkatkan kemampuan koping penderita terhadap penyakitnya (Goldberg & Rickler, 2011). Penelitian mengenai diabetes yang melibatkan family caregiver memang telah banyak dilakukan, namun belum banyak yang benar-benar ditujukan untuk memahami kondisi psikologis dan kebutuhan mereka. Padahal keluarga sebagai 4 family caregiver secara langsung maupun tidak langsung dituntut untuk bertanggung jawab antara lain: memberikan dukungan fisik, sosial, emosional, finansial, seringkali mereka juga harus mengabaikan kebutuhan sendiri, mereka tidak pernah memperoleh intervensi apapun, mereka tidak memperoleh pengakuan, mereka kurang memiliki dukungan dari lingkungan, dan mereka jarang memperoleh penggantian finansial dari banyaknya biaya pengobatan anggota keluarga yang dirawatnya (Goldberg & Rickler, 2011; Vroome & Durning, 2009). Seperti halnya family caregiver dari penderita penyakit atau gangguan lainnya, tugas dan tanggung jawab sebagai family caregiver penderita diabetes memberikan konsekuensi yakni banyaknya waktu yang tersita untuk memberikan perhatian pada penderita diabetes. Hasil penelitian Sinclair, Armes, Randhawat, dan Bayer (2010), menemukan bahwa dari 83 family caregiver yang menjadi subjek penelitian, 64% nya harus menyediakan lebih dari 20 jam/ minggu dan 33% harus menyediakan lebih dari 5 jam/ minggu untuk merawat penderita diabetes. Jenis bantuan rutin yang mereka berikan yaitu: (1) perawatan khusus diabetes seperti minum obat (30%), pemeriksaan darah atau urine (22%), menyuntikkan insulin (11%), (2) perawatan umum seperti belanja (90%), pekerjaan rumah tangga (82%), memasak/menyiapkan makanan (66%), menangani keuangan (65%), menangani masalah transportasi (56%), (3) perawatan pribadi seperti memandikan (25%), membantu berjalan (18%), berpakaian (13%), membantu naik/turun dari tempat tidur (11%), membantu ke kamar mandi (8%), dan menyuapi (7%). Jika ini dikaitkan dengan karakteristik penyakit (gejala, dampak fisik dan psikis pada pasien, sifat penyakit), maka bantuan yang diberikan pada penderita diabetes bisa jadi berlangsung seumur hidup (Vroome & Durning, 2009). Banyaknya tanggung jawab yang harus dilakukan bukanlah pekerjaan yang mudah, oleh karena itu dukungan psikososial seharusnya tidak hanya difokuskan pada penderita saja karena seringkali beban psikologis juga dirasakan family caregiver sebagai konsekuensi merawat dan mendampingi penderita penyakit kronis dan progresif (Glasdam, Timm, & Vittrup, 2010; Hirakawa, dkk., 2008; 5 Manne & Zautra, 1990; Rees, O'Boyle, & MacDonagh, 2001; Riemsma & Taal, 1999; Soubhi, Forrin, & Hudson, 2006; Tessler & Gamache, 1994). Beban psikologis merupakan kondisi psikologis negatif yang dirasakan oleh family caregiver (Braitwaite, dalam Rafiyah & Sutharangsee, 2011; Sahoo, dkk., 2010) sebagai akibat dari persepsi negatif terhadap tugas-tugas perawatan yang dilakukan atau reaksi terhadap perilaku orang yang dirawat (Chou, 2000). Karena merupakan hasil dari proses yang spesifik, subjektif, dan interpretatif, maka beban psikologis bukanlah hal yang tidak dapat dihindari (Zarit, dalam Chou, 2000 Beban psikologis dapat dijelaskan berdasarkan model penilaian kognitif. Berbagai tanggungjawab perawatan dan pendampingan seringkali menjadi stresor tersendiri bagi family caregiver yang umumnya berkembang menjadi beban psikologis. Stresor dihasilkan dari penilaian individu yang meliputi penilaian primer (apakah stresor itu sebagai sesuatu yang mengancam/ tidak) dan penilaian sekunder (apakah kapasitas diri mampu mengatasi stresor yang terjadi). Penilaian individu tersebut akan menghasilkan suatu pemaknaan dan emosi serta menentukan tindakan yang akan dilakukan). Beban psikologis dialami family caregiver diakibatkan karena mereka menilai tugas dan situasi perawatan yang dihadapi melebihi kemampuan koping mereka (Lazarus, dalam Santrock, 2004). John, Hennesy, Dyeson, & Garret (2001) menjelaskan empat aspek dari beban psikologis yaitu konflik peran, perasaan-perasaan negatif, ketidakmampuan, dan perasaan bersalah. Konflik peran, merupakan beban klasik yang ditandai dengan berbagai macam dampak personal yang dirasakan oleh caregiver akibat dari pemberian perawatan. Family caregiver seringkali merasakan kewalahan, ketegangan emosi, merasa terbatasi, ketegangan fisik, keharusan mengubah rencana pribadi, perlunya penyesuaian dalam keluarga, dan adanya benturan dengan komitmen lainnya (Sinclair, dkk., 2010). Aspek kedua merepresentasikan perasaan-perasaan negatif family caregiver seperti rasa marah, malu, tegang, perasaan tidak nyaman, tertekan, dan terbebani yang terkait dengan tugas dan peran sebagai pendamping (Loder, 2002). Ketidakmampuan, merupakan aspek ketiga yang menggambarkan keraguan, mengisyaratkan adanya keputusasaan atau perasaan tidak mampu yang dirasakan oleh family caregiver 6 selama melakukan tugas-tugas perawatan (John, dkk., 2001), serta adanya perasaan takut terhadap masa depan penderita karena adanya ancaman komplikasi akut dan kronik (Gort, dkk., 2007). Aspek keempat merepresentasikan perasaan bersalah family caregiver terhadap orang yang dirawat. Perasaan bersalah muncul karena mereka merasa belum dapat memenuhi harapan penderita, keluarga, dan teman (Loder, 2002), serta merasa belum berbuat banyak dalam membantu penderita (Gort, 2007). Vitaliano (dalam Sahoo, dkk., 2010). menggambarkan beban psikologis yang dialami oleh family caregiver penderita diabetes meliputi fisik, psikologis, sosial, masalah keuangan, perasaan marah, malu, kewalahan, dan perasaan benci. Konsekuensi beban psikologis menjadi hal yang sangat tidak menyenangkan karena membuat family caregiver menunda kebutuhannya sendiri (Baanders & Heijmans, 2007; Vroome & Durning, 2009), menyebabkan kesejahteraan psikologis yang buruk, penurunan kepuasaan dalam hubungan, dan buruknya kesehatan fisik family caregiver (Glasdam, Timm, & Vittrup, 2010). Wawancara dan observasi yang dilakukan secara individu terhadap family caregiver penderita diabetes pada tanggal 24 Juni 2014, ditemukan adanya beban psikologis yang dialami oleh anggota keluarga penderita diabetes. Salah satunya dialami oleh seorang family caregiver berinisial Y. Selama merawat dan mendampingi ayahnya yang menderita diabetes, Y seringkali merasakan kejenuhan dan kemarahan saat menghadapi perilaku ayahnya yang seringkali mengeluh tentang penyakitnya namun disisi lain tidak patuh pada diet yang dianjurkan dokter. Ayahnya juga tidak mendengarkan saran yang ia berikan. Y mengalami konflik dalam dirinya antara keinginan untuk merawat ayahnya dengan bekerja diluar kota. Y juga merasakan kecemasan dan perasaan bersalah karena kondisi kesehatan ayahnya yang menurun dan tidak bisa membantu biaya pengobatan ayahnya padahal kondisi keuangan keluarga sedang memburuk. Y mengatakan kondisi tersebut sangat membebani pikirannya sehingga Y merasa tidak nyaman berada di rumah dan juga sering sakit. Pengalaman serupa juga dialami oleh ibu U yang sudah merawat suaminya lebih dari 20 tahun. Ibu U mengatakan sejak suaminya terkena diabetes dan 7 komplikasi stroke, ia menjadi jarang bersilaturrahim dengan lingkungan maupun keluarga besarnya. Ia juga sering mengalami ketegangan karena sejak sakit suaminya menjadi mudah marah jika ada hal-hal yang tidak berkenan. Selain itu tanggung jawabnya bertambah sebagai kepala keluarga yang harus mengurus kebutuhan keluarga karena ia sama sekali tidak dapat mengandalkan lagi bantuan dari suaminya. Hasil wawancara pada beberapa family caregiver yang mengantar penderita diabetes berobat di RS Panti Rapih pada bulan Juni – September 2014 juga menunjukkan adanya aspek beban psikologis seperti konflik peran, perasaanperasaan negatif, ketidakmampuan, dan perasaan bersalah. Hal tersebut terefleksi dalam perasaan khawatir adanya ancaman amputasi atau komplikasi yang lebih berat lagi, merasa jengkel dan marah pada perilaku penderita, perasaan bersalah, perasaan kasihan, stres terus menerus karena penderita sering keluar masuk rumah sakit, karena luka yang tidak kunjung sembuh, adanya keputusasaan mengenai pengobatan apa lagi yang harus dilakukan agar kondisi penderita membaik. Perbedaan tingkat beban psikologis terkait dengan beberapa faktor baik, yang berkaitan dengan kondisi orang yang dirawat, lingkungan, maupun kondisi family caregiver sendiri. Secara umum, banyaknya tugas yang harus dilakukan menjadi stresor tersendiri bagi family caregiver yang pada akhirnya berkembang menjadi beban psikologis, namun pada setiap penyakit atau gangguan psikologis memiliki kekhasan tersendiri. Pada skizofrenia, beban psikologis dirasakan family caregiver sangat tinggi karena karakteristik penyakit yang menyebabkan penderitanya menjadi sangat tergantung hampir dalam segala hal dan juga adanya stigma negatif yang harus ditanggung family caregiver (Sahoo, dkk., 2010). Demikian juga pada diabetes mellitus. Sebagaimana diungkapkan oleh Fisherk, Chesla, Skaff, Mulan, & Kanter (dalam Cattich & Martin, 2009) bahwa pasangan yang merawat pasien diabetes memiliki tingkat stres sama tinggi atau bahkan lebih tinggi dari pasien, khususnya jika mereka adalah wanita. Pada family caregiver diabetes mellitus, kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan adanya komplikasi akan meningkatkan kecemasan dan beban psikologis (Ernawati & Nasution, 2012). 8 Vitaliano, Zhang, & Scanlan (2003) mengungkapkan caregiver yang sakit, berusia muda, belum menikah, kurang berpendidikan, dan merawat penderita diabetes yang kondisinya kesehatannya semakin memburuk relatif lebih rentan mengalami beban psikologis. Berdasarkan wawancara pada beberapa family caregiver juga didapatkan bahwa, beban psikologis yang dirasakan oleh family caregiver diabetes mellitus terkait dengan perilaku penderita diabetes yang melanggar diet dan ketakutan mengenai ancaman komplikasi. Beban psikologis yang dialami oleh family caregiver perlu mendapatkan penanganan karena tidak hanya mempengaruhi kondisi kesehatan penderita diabetes yang dirawat, tetapi juga menghambat tugas sebagai caregiver, serta mengganggu keberfungsian di lingkungan. Zarit (2004) menjelaskan alasan perlunya memperhatikan family caregiver dan peduli terhadap kondisi mereka. Pertama, family caregiver merupakan bagian penting dari tim perawatan. Dengan menyadari peran ini, dokter dan penyedia layanan kesehatan akan mendorong family caregiver untuk menjadi lebih percaya diri dengan kemampuan mereka merawat orang yang dicintai. Tanpa bantuan family caregiver atau dengan bantuan yang “goyah”, tidak hanya menyebabkan biaya perawatan sosial secara substansial menjadi lebih besar, tetapi juga tingkat kesejahteraan psikologis bahkan mungkin tingkat ketahanan diri penderita menjadi lebih buruk. Memperhatikan dampak penyakit kronis pada family caregiver merupakan hal penting karena kesehatan fisik dan emosi dari family caregiver juga berpotensi mempengaruhi kesehatan, kesejahteraan, dan kesuksesan rehabilitasi penderita penyakit kronis. Kedua, dokter dan penyedia layanan kesehatan perlu mewaspadai beban psikologis dari family caregiver dengan mengukur tingkat beban psikologis yang dialami, memantau tingkat stres dan kesehatan mental (khusunya untuk simptom depresif) dan mengambil langkah tepat untuk membantu menghadapi tantangan emosional yang ada, serta mencegah mereka mengalami beban psikologis yang lebih besar dan menjadi kewalahan (Parks & Novielli, 2000., Zarit, 2004). Intervensi yang ditujukan untuk menurunkan beban psikologis, stress, depresi, & kecemasan telah dilakukan beberapa peneliti terhadap family caregiver 9 penderita penyakit fisik maupun psikis. Salah satunya Marriott, Donaldson, Tarrier, & Burns (2000), menggunakan intervensi keluarga berbasis kognitif perilaku untuk family caregiver penderita alzheimer. Intervensi terdiri dari tiga komponen yaitu edukasi, manajemen stres, dan intervensi ketrampilan koping stres dilakukan dalam empat belas sesi (interval dua minggu antar sesi). Selain itu, interview terstruktur yang diberikan memberikan kesempatan bagi family caregiver untuk katarsis sehingga mereka merasa diberikan kesempatan untuk berbicara, mengungkapkan perasaan, dan merasa didengarkan. Hasilnya, intervensi memberikan keuntungan yang signifikan pada penurunan tingkat stres dan depresi family caregiver penderita alzheimer dan juga berdampak positif pada menurunnya perilaku mengganggu penderita alzheimer. Chou, Liu, & Chu (2002) menggunakan kelompok dukungan untuk menurunkan beban psikologis family caregiver pasien skizofrenia. Sebanyak 70 orang family caregiver dilibatkan dalam penelitian ini, dan hasilnya menunjukkan bahwa family caregiver yang terlibat dalam kelompok dukungan mengalami penurunan beban psikologis, sedangkan yang tidak terlibat dalam kelompok dukungan justru mengalami peningkatan beban psikologis. Penelitian ini juga mengungkap bahwa partisipan kelompok dukungan mengalami kepuasan karena mereka mampu mengungkapkan perasaan dan berbagi dengan sesama family caregiver. Penelitian lain dilakukan oleh Andren & Elmstahl (2008), yang menggunakan intervensi psikososial pada family caregiver dari penderita demensia. Intervensi diberikan dalam 5 kali pertemuan edukasi dan pemberian ketrampilan dalam menghadapi penderita, serta 12 kali pertemuan diskusi kelompok. Hasilnya intervensi tersebut mampu menurunkan beban psikologis family caregiver dan hasilnya bertahan hingga satu tahun setelah intervensi. Studi lain menggunakan intervensi mindfulness-based stress reduction (MBSR) yakni program terstandar yang didesain untuk mengurangi stres dan mengelola emosi family caregiver penderita demensia melalui latihan mindfulness. Intervensi dalam studi ini diberikan sebanyak 8 kali pertemuan masing-masing berlangsung selama 2,5 jam. Partisipan juga diberikan 10 pengetahuan mengenai penyakit demensia, isu-isu legal dan keuangan yang terkait dengan demensia, sumber dukungan yang ada di masyarakat, perawatan diri, kesedihan, dan kehilangan. Mereka juga berbagi pengalaman sebagai family caregiver dalam diskusi kelompok yang dipandu oleh fasilitator. Hasil penelitiannya, MBSR mampu menurunkan beban perawatan, meningkatkan kesehatan mental dan dukungan sosial bagi family caregiver (Whitebird, Kreitzer, Crain, Lewis, Hanson, & Enstad, 2012). Di Indonesia, Koeswardani (2011) membuktikan bahwa terapi pemaafan juga efektif untuk menurunkan beban subyektif dari family caregiver penderita skizofrenia. Partisipan dalam penelitian ini diberikan terapi pemaafan sebanyak empat sesi, dimana masing-masing sesi berlangsung selama 60-90 menit. Hasilnya beban subyektif yang dialami partisipan menurun dari skor 38 (tingkat beban subyektif tinggi) dibaseline, menjadi 16 (tingkat beban subyektif sedang) setelah terapi, dan 11 (tingkat beban subyektif rendah) saat follow up. Selain itu, partisipan juga mengalami peningkatan emosi positif dan penurunan emosi negatif dibandingkan sebelum mengikuti terapi. Sari (2009) juga melakukan penelitian untuk membantu family caregiver penderita kanker menurunkan kecemasan dengan menggunakan teknik relaksasi. Intervensi diberikan sebanyak 8 sesi dalam 4 kali pertemuan masing-masing selama 2-3 jam. Lima orang partisipan dalam penelitian tersebut diberikan 3 teknik relaksasi yaitu relaksasi pernafasan dalam, relaksasi otot progresif, dan relaksasi imajeri terpadu. Hasil intervensi menunjukkan kecemasan yang dialami oleh family caregiver mengalami penurunan secara signifikan dari pretest ke posttest dan bertahan pada follow up. Memberikan intervensi kepada family caregiver pada dasarnya harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka (Zarit, 2004). Pemberian pengetahuan merupakan langkah penting dan mendasar untuk dapat memahami penyakit anggota keluarga yang dirawat dan mengatur tugas-tugas yang dibutuhkan, sehingga family caregiver lebih percaya diri, dapat menghemat biaya pengobatan karena mereka memberikan perawatan yang lebih baik (Haley, dalam Zarit, 2004), serta menurunkan resiko terjadinya stres dan gangguan kesehatan pada diri 11 mereka sendiri (Marriot, dkk., 2000). Pentingnya pengetahuan mengenai penyakit dibuktikan oleh Utami (2011) dalam penelitiannya yang menguji hubungan antara pengetahuan dan strategi koping dengan beban psikologis pada family caregiver orang dengan skizofrenia (ODS). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan tentang penyakit dengan beban psikologis. Hubungan tersebut bermakna semakin banyak pengetahuan family caregiver mengenai segala hal yang berkaitan dengan penyakit orang yang dirawat, maka semakin rendah tingkat beban psikologis yang dirasakan. Keterkaitan antara pengetahuan mengenai penyakit dengan tingkat beban psikologis terjadi karena pengetahuan merupakan bagian penting dalam terbentuknya perilaku. Pengetahuan individu terhadap suatu kondisi akan menuntun pada penilaian dan pemaknaan dirinya, yang kemudian akan ia gunakan sebagai pedoman dalam berperilaku (Lazarus, dalam Santrock, 2004). Mekanisme ini juga terjadi pada anggota keluarga yang melakukan peran sebagai family caregiver. Mereka mengalami beban psikologis karena kurangnya pengetahuan mengenai kondisi orang yang dirawat dan segala hal yang terkait dengan tugas perawatan sehingga menyebabkan penilaian negatif terhadap tugas-tugas perawatan yang ia lakukan. Pemberian pengetahuan akan memberikan manfaat karena mengubah penilaian mereka menjadi lebih positif serta menjadi insight tersendiri bagi mereka antara lain berupa kesadaran mengenai pentingnya memberikan perawatan kepada penderita dan menentukan langkah-langkah perawatan yang tepat (Utami, 2011). Penjelasan ini menjadi dasar akan pentingnya intervensi yang mengedepankan pemberian edukasi kepada family caregiver. Dalam hal ini, bentuk intervensi yang paling banyak dilakukan untuk family caregiver adalah psikoedukasi. Psikoedukasi adalah serangkaian intervensi sistematis berdasarkan pendekatan kognitif, perilaku, dan suportif (Martine & Schulz, 2007), yang menekankan pada kebutuhan pasien dan keluarga (Navidian, Kermansaravi, & Rigi, 2012). Psikoedukasi keluarga mampu memberikan manfaat yang lebih luas dari sekedar edukasi karena membantu keluarga agar mampu mengatasi permasalahan secara lebih efektif dan memberikan panduan khusus mengenai 12 manajemen penyakit, pemecahan masalah, dan mengembangkan jaringan sosial pasien atau keluarga (Campbell, 2003., Navidian, dkk., 2012). Menurut Supratiknya (2011), psikoedukasi adalah proses modifikasi sikap dan perilaku secara langsung lewat pelibatan total klien dalam suatu program pendidikan intervensi. Prosesnya tidak hanya pemberian informasi secara kognitif, tetapi juga secara eksperiensial yakni memberikan kesempatan peserta untuk mengalami sendiri peristiwa mengubah sikap dan perilakunya melalui kehadiran dan bantuan orang lain dalam suatu aktivitas kelompok. Karena itulah intervensi psikoedukasi terbukti memiliki dampak positif pada kesehatan dan kesejahteraan emosional (Martire & Schulz, 2007). Psikoedukasi untuk menurunkan beban psikologis dilakukan salah satunya oleh Maldonado & Urizar (2007), untuk menurunkan beban psikologis family caregiver pasien skizofrenia di Amerika latin. Sebanyak 45 partisipan dibagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Partisipan dalam kelompok eksperimen diberikan program yang didesain berdasarkan model tradisional dari psikoedukasi satu kali per minggu sebanyak lima bulan di pusat kesehatan mental. Tingkat beban psikologis diukur sebelum dan setelah intervensi dengan menggunakan skala beban psikologis dari Zarit. Hasilnya pada kelompok eksperimen terjadi penurunan rata-rata tingkat beban psikologis secara signifikan dari 85.06 (sebelum intervensi) menjadi 52.44 (setelah intervensi). Penelitian lain juga dilakukan oleh Yamaguchi, Takahashi, & Takano (2006), untuk menguji efektivitas intervensi psikoedukasi pada 46 caregiver penderita skizofrenia di Jepang. Empat sesi diberikan masing-masing selama dua jam dan dibagi kedalam satu jam kuliah interaktif dan satu jam diskusi. Materi yang diberikan meliputi: orientasi, informasi mengenai skizofrenia (penyebab, gejala, prognosis, pengobatan, kekambuhan), rehabilitasi, program dukungan sosial, dan manajemen perilaku pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi psikoedukasi mampu memberikan dampak positif pada penurunan tingkat kecemasan dan beban psikologis family caregiver meskipun diberikan dalam jangka waktu yang singkat. 13 Secara umum, komponen mendasar dari psikoedukasi meliputi komponen didaktik, yang menyediakan edukasi mengenai penyakit dan sistem kesehatan; komponen ketrampilan, yang menyediakan intervensi komunikasi, manajemen stres, strategi pemecahan masalah dan penyelesaian konflik; komponen emosional, yang memberikan kesempatan untuk berbagi perasaan disertai dukungan emosional); serta komponen sosial, yaitu terjadinya peningkatan penggunaan jejaring sumber daya dan sistem pendukung yang ada di masyarakat yang akan menguntungkan family caregiver dan anggota keluarga yang dirawatnya (Kembaren, 2009; Sota, dkk., 2008). Edukasi sebagai komponen dasar psikoedukasi didasarkan pada asumsi bahwa mempelajari informasi baru akan menyebabkan perilaku baru. Partisipan dalam psikoedukasi akan memperoleh kesempatan untuk menterjemahkan pengetahuan mereka kedalam perilaku dan perilaku yang didasarkan atas pengetahuan akan lebih menetap sifatnya (Notoatmodjo, 2010). Family caregiver yang mendapat pengetahuan baru dalam psikoedukasi akan menerapkannya kedalam situasi khusus yang mereka hadapi dan diharapkan akan menjadi pedoman selama merawat penderita. Pengetahuan yang didapatkan juga akan memberikan pemahaman baru kepada family caregiver bahwa bagaimanapun kondisi penderita akan selalu ada harapan dengan adanya dukungan dari mereka sebagai keluarga (Utami, 2011). Melalui psikoedukasi, family caregiver akan memperoleh manfaat tentang bagaimana berkomunikasi lebih baik dengan penderita sekaligus menguji peran mereka sendiri, termasuk pasang surut kondisi yang mereka hadapi (Zarit, 2004). Caregiver juga akan belajar ketrampilan baru, menerima umpan balik, dan mengembangkan rencana untuk menerapkan ketrampilan yang telah dipelajari (Zarit & Femia, 2008). Sota, dkk. (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa psikoedukasi keluarga memiliki peranan penting dalam menyediakan dukungan emosional dan sosial bagi family caregiver penderita skizofrenia, melalui pemberian informasi secara menyeluruh mengenai penyebab, gejala, serta metode untuk menghadapi penderita dengan cara yang mudah dimengerti dan memperhatikan kondisi mental mereka. Maldonado & Urizar (2007) menyatakan, 14 penurunan beban psikologis dalam psikoedukasi terjadi karena faktor-faktor seperti pengenalan terhadap penyakit atau gangguan, terbukanya akses terhadap informasi mengenai penyakit yang akhirnya melawan stereotipe negatif yang menimbulkan perasaan tidak mampu, adanya pembelajaran mengenai strategi pemecahan masalah, meningkatnya dukungan dan jaringan sosial, serta adanya penghargaan yang besar terhadap kebutuhan caregiver. Psikoedukasi sebagai intervensi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Psikoedukasi yang dilakukan dalam bentuk kelompok akan memberikan beberapa efek terapeutik yang tidak didapatkan dalam intervensi secara individual. Yalom (2005) mengemukakan faktor terapeutik yang terdapat dalam pendekatan kelompok, diantaranya: tumbuhnya harapan; adanya rasa kebersamaan diantara anggota kelompok karena permasalahan yang dihadapi sama (universalitas); adanya proses saling memberikan dukungan dan keyakinan (altruisme); adanya proses belajar bersosialisasi dengan orang yang kondisinya sama; adanya proses peniruan perilaku (imitasi); adanya proses pembelajaran antar pribadi untuk berkembang; adanya kohesivitas kelompok; serta adanya kesempatan untuk saling mengungkapkan perasaan (katarsis). Pendekatan kelompok akan memungkinkan antar partisipan mengalami kontak langsung, bertukar informasi, sebagai kelompok dukungan dan saling belajar dari pengalaman yang berbeda untuk menjadi pribadi yang kuat dan menguatkan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Maldonado & Urizar (2007), dimana program psikoedukasi kelompok yang diberikan memberikan efek menguntungkan pada aspek emosi, pikiran, dan perilaku yang nampak dari adanya penurunan perasaan malu dan perasaan negatif yang dirasakan oleh family caregiver. Selain itu, terjadi perubahan positif dalam kehidupan sosial family caregiver karena mampu berbicara dengan sesama dan mengetahui ada dukungan yang diberikan untuk mereka. Bultz, dkk. (2000) menyatakan bahwa program psikoedukasi kelompok dapat menjadi salah satu sumber dukungan yang powerfull untuk membangun hubungan yang bermakna bagi para anggotanya. Hubungan bermakna dapat dibangun dari adanya perasaan bahwa mereka berada dalam kondisi yang sama 15 dengan anggota kelompok lainnya (universalitas). Hubungan yang bermakna berperan penting dalam menurunkan perasaan keterasingan/ isolasi dan putus asa, mendorong keadaan lebih baik, membangun harapan, kesejahteraan psikologis, efikasi diri, dan membantu mengatasi permasalahan secara efektif. Brown (2005) menambahkan harapan akan tumbuh ketika anggota kelompok saling berinteraksi secara aktif, mengetahui mereka berada dalam kondisi yang sama, dan mendengar keberhasilan orang lain mengatasi permasalahan yang sama. Harapan juga dapat tumbuh saat anggota kelompok memperoleh masukan dari sesama anggota tentang kekuatan yang mereka dimiliki namun belum disadari. Seringkali ketika seseorang menghadapi krisis, sakit, atau kurangnya informasi yang memadai, mereka akan cenderung fokus pada kekurangan daripada kelebihan yang dimiliki. Program psikoedukasi kelompok merupakan sumber dukungan yang membantu anggota mengidentifikasi kekuatan mereka. Program psikoedukasi kelompok juga akan meningkatkan tanggung jawab pribadi. Kelompok dapat menjadi tempat yang memungkinkan para anggotanya menjadi lebih sadar akan dampak stres terhadap diri mereka sendiri, kemudian belajar bagaimana cara mengurangi dan mengatasi stres. Berdasarkan uraian diatas, peneliti merancang program psikoedukasi kelompok yang fokus utamanya adalah memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada family caregiver diabetes mellitus mengenai kondisi atau keadaan yang mereka hadapi dengan tetap memperhatikan kondisi emosional masing-masing anggota. Intervensi ini juga bertujuan memberikan dukungan kepada family caregiver agar dapat menjalankan perannya merawat dan mendampingi penderita diabetes mellitus. Program psikoedukasi kelompok dalam penelitian ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan family caregiver diabetes karena didasarkan pada teori dan hasil penelitian telah dijabarkan sebelumnya bahwa pengetahuan bisa menjadi sumber daya yang akan menentukan penilaian dan pemaknaan diri seseorang dan pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku. Pemberian pengetahuan (edukasi) dalam program psikoedukasi kelompok nantinya akan disampaikan oleh profesional (dokter dan psikolog) agar family caregiver memperoleh pengetahuan yang tepat, serta dapat mengoreksi 16 kesalahpahaman yang mungkin dimiliki sebelumnya, selain itu meningkatnya kontak dengan tim kesehatan bisa menjadi efek terapeutik tersendiri (Maldonado & Urizar, 2007). Dengan pengetahuan dan ketrampilan yang mendukung, maka akan mengurangi penilaian negatif family caregiver terhadap tugas-tugas perawatan yang dilakukan. Mereka juga akan mengembangkan rencana untuk menerapkan ketrampilan yang telah dipelajari dalam intervensi. Pemberian pengetahuan dan ketrampilan dalam intervensi ini tidak hanya disampaikan secara didaktik, tetapi juga responsif terhadap keluhan dan kebutuhan pasien (Lefley, 2010). Program psikoedukasi kelompok dalam penelitian ini terdiri dari enam sesi yaitu pembukaan, sesi edukasi, sesi berbagi pengalaman, sesi ketrampilan komunikasi, sesi membangun harapan, serta sesi evaluasi dan penutup. Sesi edukasi membahas diabetes dari sisi medis dan psikologis. Edukasi diabetes dari sisi medis disampaikan oleh dokter, mulai dari penyebab, klasifikasi, gejala, mitos dan fakta yang berkembang di masyarakat mengenai diabetes, insulin, serta petunjuk yang harus dilakukan untuk menghadapi simptom-simptom penyakit diabetes. Sedangkan, edukasi mengenai aspek psikologis dari diabetes mellitus disampaikan oleh psikolog yang menjadi fasilitator dalam intervensi tersebut. Selanjutnya dalam sesi berbagi pengalaman, family caregiver diberi kesempatan untuk mengungkapkan pengalaman dan emosi selama merawat penderita diabetes sehingga merasa dihargai, didengarkan, mendapat dukungan, dan merasa tidak sendirian karena ada rasa kebersamaan dengan sesama family caregiver (Swastiningsih, 2009). Sesi ini diharapkan akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan dukungan sosial yang dibutuhkan karena terbentuknya jaringan komunitas antar family caregiver. Selain itu, harapan akan tumbuh saat anggota kelompok mengetahui mereka dalam kondisi yang sama, mendengar keberhasilan orang lain menghadapi kondisi yang sama, serta memperoleh masukan dari sesama anggota tentang kekuatan diri yang belum disadari (Brown, 2005). 17 Sesi selanjutnya yaitu ketrampilan komunikasi, dilakukan dengan mengajarkan family caregiver cara berkomunikasi dengan penderita diabetes. Seringkali ketika dalam satu keluarga ada anggota keluarga yang sakit, maka akan mempengaruhi kondisi emosional anggota keluarga yang lain. Selanjutnya kondisi emosional tersebut akan diekspresikan keluarga kepada penderita (Hasanat, 2009). Dalam hal ini, family caregiver penderita diabetes yang mengalami beban psikologis dapat dikatakan berada dalam kondisi emosional negatif yang sewaktuwaktu dapat diekspresikan saat berkomunikasi dengan penderita diabetes. Ketrampilan berkomunikasi penting untuk diajarkan kepada family caregiver penderita diabetes karena akan meningkatkan kemampuan dalam bersikap dan berkomunikasi secara efektif dengan penderita, meminimalkan ketegangan yang tidak perlu, dan meningkatkan kerjasama dengan penderita (Mueser & Gingerich, 2006). Selain itu, sesi ini juga akan mengajarkan kepada family caregiver untuk tidak bersikap reaktif ketika menemui hambatan dalam proses perawatan dan pendampingan. Berdasarkan penjelasan tersebut, latihan ketrampilan komunikasi dapat dikatakan juga sebagai upaya untuk mengajarkan strategi koping adaptif kepada family caregiver. Pada sesi membangun harapan, family caregiver diajak untuk mengidentifikasi sumber-sumber dukungan, mendorong untuk terus menerapkan strategi pemecahan masalah yang adaptif, serta mengembangkan harapan dan keyakinan yang realistis agar mereka mampu menghadapi kesulitan dalam tugas perawatan. Sesi ini diharapkan akan membantu family caregiver melawan perasaan khawatir, pesimis, serta ketidakmampuan, sehingga mereka menjadi lebih percaya diri dalam merawat dan mendampingi penderita diabetes. Program psikoedukasi kelompok dalam penelitian ini juga merupakan bentuk dukungan kepada family caregiver dalam memberikan pendampingan dan perawatan kepada penderita diabetes. Hampir keseluruhan proses intervensi dilakukan oleh tim dengan latar belakang pendidikan psikologi agar dinamika psikologis dapat teramati. Jumlah partisipan dibatasi agar aspek emosional dari masing-masing partisipan dapat terfasilitasi namun tetap terbentuk dinamika kelompok, selain itu juga memungkinkan anggota kelompok untuk saling 18 memberi dan menerima dukungan satu sama lain (Yalom, 2005). Secara keseluruhan, proses pemberian informasi dalam intervensi tidak hanya dalam bentuk kuliah tetapi juga diskusi. Ini sejalan dengan karakteristik partisipan dalam penelitian ini, dimana mereka merupakan pelajar “dewasa” yang biasanya memilih untuk berpartisipasi aktif dan akan belajar lebih baik jika pengalaman mereka dengan diabetes dijadikan bahan edukasi (Soegondo, 2011). Proses intervensi berlangsung secara terstruktur dengan tetap memperhatikan kondisi emosional masing-masing partisipan, alasannya karena proses intervensi terstruktur lebih cocok diterapkan pada intervensi dengan jangka waktu singkat atau terbatas (Brown, 2004). Intervensi program psikoedukasi kelompok telah berhasil menurunkan beban psikologis family caregiver dari beberapa pasien dengan gangguan psikologis maupun penyakit kronis, namun perlu dibuktikan lebih lanjut untuk diterapkan pada family caregiver penderita diabetes mellitus. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah program psikoedukasi kelompok efektif menurunkan beban psikologis pada family caregiver penderita diabetes mellitus?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas program psikoedukasi kelompok terhadap penurunan beban psikologis pada family caregiver penderita diabetes mellitus. Hipotesis yang diajukan adalah program psikoedukasi kelompok efektif dalam menurunkan beban psikologis pada family caregiver penderita diabetes mellitus. 19 Peran sebagai family caregiver diabetes mellitus: - Selalu mengingatkan minum obat, diet, olahraga, mengantar kontrol, dll. - Menghadapi perilaku sulit penderita DM - Harus tetap melakukan tanggung jawab lain diluar tugas perawatan - Kurangnya pengetahuan - Kurangnya dukungan dari lingkungan Beban psikologis menurun: - Konflik peran menurun (peningkatan penggunaan sumber dukungan, mampu menghadapi perilaku sulit penderita DM dengan lebih baik ) - Perasaan-perasaan negatif menurun - Merasa lebih optimis & yakin mampu melakukan tugas perawatan dgn lebih baik - Merasa telah memberikan yg terbaik & akan terus memberikan yg terbaik untuk penderita DM Primary appraisal: Family caregiver menilai tugas & situasi perawatan sebagai suatu tuntutan, hal yang berbahaya/ ancaman Secondary appraisal: Family caregiver menilai sumber daya yang dimiliki tidak mampu memenuhi/ mengatasi tuntutan & tekanan. Primary appraisal: - Family caregiver menilai tugas & situasi perawatan sebagai suatu tantangan yang dapat dihadapi Secondary appraisal: - Family caregiver menilai sumber daya yang dimiliki mampu memenuhi tantangan perawatan (pengetahuan & ketrampilan meningkat, mengetahui sumber dukungan yg dapat diakses, adanya dukungan dari sesmaa caregiver) Keterangan: : Alur proses : Intervensi :Area intervensi : proses kognitif Gambar 1. Alur Berpikir Penelitian Beban psikologis tinggi: - Konflik peran (merasa kewalahan karena konflik antara tugas perawatan dengan pekerjaan lain) - Perasaan-perasaan negatif (marah, jengkel, sedih, dll). - Ketidakmampuan (merasa tidak mampu, merasa ingin menyerah) - Perasaan bersalah (merasa blm berbuat banyak untuk penderita DM) Proses pemberian intervensi Program Psikoedukasi Kelompok: - Edukasi mengenai DM - Latihan komunikasi - Berbagi sesama caregiver - Diskusi pemecahan masalah - Saling memberikan dukungan