TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) SKRIPSI Oleh: YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A009044 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) SKRIPSI Oleh: YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A009044 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 i SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : YUSTYAWAN WIDYATMIKO NIM : E1A009044 Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) Yang saya buat ini betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH) yang saya sandang. Purwokerto, Februari 2015 YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A009044 iii MOTTO “SEKALI LAYAR TERKEMBANG, SURUT KITA BERPANTANG” iv KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009)” telah terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh karenanya, dengan segala hormat, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Prof. Dr. Ade Maman Suherman, SH, M.Sc., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional, atas segala masukan yang diberikan kepada penulis; 3. Dr. H.M. Isplancius, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir; 4. Aryuni Yuliantiningsih, SH, MH., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 5. Dr. Noer Indriati, S.H, M.Hum., selaku Dosen Penguji atas segala masukan yang diberikan kepada penulis; 6. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 7. Orangtuaku tercinta, Ayahanda Drs. H. Setyo Mukaryadji dan Ibunda Yusnani serta adikku tersayang Herlambang Yustyasaputra dan Fauziah Sekar Yustyawati atas semua kasih sayang dan doanya yang tidak pernah terputus sepanjang waktu; 8. Mia Sarah Zuztitiana, S.Si., atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis; 9. Keluarga besar Pemuda Pancasila dan Satuan Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP) Kabupaten Banyumas atas semua pengalaman berharganya. Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan. Amin. Purwokerto, Februari 2015 Penulis ABSTRAK Pada saat ini ada teknologi yang sudah digunakan atau yang akan digunakan dalam berperang, pesawat tanpa awak (unmanned drones) adalah yang paling terlihat sebagai contoh teknologi terbaru. Amerika Serikat menggunakan pesawat tanpa awak (unmanned drones) untuk melakukan serangan militer dengan alasan bahwa unmanned drones merupakan senjata paling efektif dalam membasmi jaringan teroris. Tetapi kenyataannya unmanned drones dapat memberikan penderitaan dan mengakibatkan luka yang berlebihan kepada manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peraturan penggunaan unmanned drones menurut Hukum Humaniter Internasional dan untuk mengetahui kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data kemudian dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan unmanned drones belum diatur secara tegas dalam Hukum Humaniter Internasional. Unmanned drones merupakan senjata yang ilegal penggunaannya dalam sengketa bersenjata internasonal karena melanggar prinsip-prinsip yang ada di dalam Hukum Humaniter Internasional. Karena banyak pelanggaran yang dilakukan oleh penggunaan unmanned drones, maka perlu dibuat peraturan yang mengatur penggunaan unmanned drones dalam konflik bersenjata dan memberikan batasan yang dipandang pantas dalam penggunaannya. Serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 merupakan pelanggaran kedaulatan negara lain. Operasi militer Amerika Serikat untuk menangkap teroris melanggar prinsip yang ada di dalam Hukum Humaniter Internasional, yaitu prinsip kemanusiaan (humanity), prinsip pembatasan (limitation principle), dan prinsip proporsionalitas (proportionality principle). Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari ancaman teroris, namun kewajiban tersebut harus seimbang terhadap kewajiban untuk melindungi kehidupan penduduk sipil yang tidak bersalah dalam konflik antara negara dan teroris. ABSTRACT Nowadays there are some technologies that had been used or to be used in war, unmanned drone is the most visible as an example that latest technology. United States use an unmanned drones for a military attack with a reason that the unmanned drones are the most effective in rooting out terrorist. But in fact unmanned drones can give an excessive wound and caused misery to man. The purpose of this research is to determine the use of unmanned drones regulation by International Humanitarian Law and to determine the United State unmanned drones attack in Pakistan in 2009 by International Humanitarian Law and to determine the case of United States of America’s unmanned drones attack in Pakistan in 2009 reviewed according to International Humanitarian Law. The research method used is the juridical norm, by means of a statutory approach method and the approach of the case. The source of the data used are secondary data. The data are then analyzed using the methods of normative qualitative. Based on the survey results of research that the use of unmanned drones not clearly regulated in humanitarian international law. Unmanned drones were a illegal its use in an armed dispute internasional because it violated the principles laid down in humanitarian international law. Because many of the violations committed by the use of unmanned drones, it needs to be made to the regulations governing the use of unmanned drones in armed conflict and provide restrictions deemed appropriate in its use. The united states unmanned drone attack in Pakistan in 2009 is a violation of the sovereignty of other countries. United States military operation to capture terrorists in violation of the principle of International Law, namely the principle of Humanity, the principle of limitation, and the principle of proportionality. United States have a duty to protect its citizens from terrorist threats, but such obligations should be balanced against the obligation to protect the lives of innocent civilians in the conflict between the State and terrorists. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................. ii SURAT PERNYATAAN ........................................................................................................iii MOTTO ................................................................................................................................... iv KATA PENGANTAR .............................................................................................................. v ABSTRAK .............................................................................................................................. vii ABSTRACT ........................................................................................................................... viii DAFTAR ISI............................................................................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................................................. 6 C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 7 D. Kegunaan Penelitian................................................................................................. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 8 A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional .................................................... 8 1. Pengertian Hukum Internasional dan Subyek Hukum Internasional ........... 8 2. Sumber Hukum Internasional .................................................................... 11 B. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional ................................................ 13 1. Pengertian dan Tujuan Hukum Humaniter Internasional.......................... 13 2. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional ................................... 18 3. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional.................................... 20 4. Sarana dan Metode Berperang .................................................................. 24 ix C. Tinjauan Tentang Unmanned Drones .................................................................... 27 1. Sejarah Unmanned Drones ....................................................................... 27 2. Pengertian Unmanned Drones .................................................................. 29 3. Jenis-Jenis Unmanned Drones .................................................................. 31 BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................................... 34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................................... 37 BAB V PENUTUP.................................................................................................................. 63 A. Simpulan .................................................................................................... 63 B. Saran .......................................................................................................... 65 Daftar Pustaka ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan instrumen utama masyarakat baik nasional maupun internasional untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dari gangguan, baik oleh perorangan, golongan ketertiban, atau pemerintah.1 Unsur utama yang dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban, dengan terwujudnya ketertiban, berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan terpenuhi. Sehingga untuk mewujudkan ketertiban itu manusia akan memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah, oleh karena itu demi mewujudkan ketertiban, segala aspek kehidupan manusia perlu diatur oleh hukum. Tujuan utama hukum internasional mengarah kepada upaya untuk menciptakan sistem hubungan-hubungan internasional yang adil, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya telah terbukti adanya suatu upaya untuk menjamin secara obyektif adanya keadilan diantara negara-negara. Selain mengingat bahwa negara-negara memperoleh perlakuan adil, hukum bangsabangsa modern juga bertujuan untuk menjamin keadilan bagi umat manusia.2 Salah satu cabang dalam Hukum Internasional adalah Hukum Humaniter Internasional. Hukum Humaniter Internasional memberikan banyak kontribusi untuk adanya perang yang manusiawi yaitu perang yang menjunjung tinggi 1 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm.2. 2 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm.6. 2 prinsip kemanusiaan dan hak asasi tiap manusia untuk dilindungi. Dengan ini menyebabkan adanya aturan-aturan dari hukum kebiasaan maupun sumbersumber hukum internasional lainnya untuk mencegah terjadinya perang yang sangat besar. Seiring dengan dinamisnya perkembangan Hukum Internasional, ada beberapa senjata yang dilarang penggunaannya dan persenjataan lain diatur penggunaannya sesuai dengan prinsip-prinsip umum Hukum Internasional maupun Hukum Humaniter Internasional. Prinsip-prinsip dalam Hukum Internasional ini terdapat baik dalam kondisi jus ad bellum dan jus in bello. Prinsip jus ad bellum (law on the use of force atau peraturan dalam kekuatan bersenjata) dan prinsip jus in bello (law in war atau peraturan saat perang). Jus ad bellum berorientasi pada peraturan yang diatur dalam Piagam PBB ataupun peraturan yang mengesahkan suatu negara dalam mengambil tindakan kekerasan. Jus in bello merupakan pengaplikasian peraturan-peraturan yang dilakukan pada saat peperangan atau lebih dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional.3 Kedua keadaan di atas memiliki prinsip-prinsip yang harus diterapkan, baik prinsip pada jus ad bellum agar dapat mengkategorikan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata suatu negara dapat diakui keabsahannya ataupun prinsip dalam jus in bello yang terkait dengan apakah negara-negara yang sedang dalam peperangan tidak melanggar atau bertindak jauh dari apa yang seharusnya 3 ICRC Overview. IHL and Other Legal Regimes – Jus Ad Bellum and Jus In Bello. www.icrc.org. Diakses pada tanggal 13 Maret 2014. 3 dilakukan.4 Prinsip-prinsip tersebut, khususnya prinsip yang terkait dalam jus in bello telah lama digunakan dan dituangkan dalam Konvensi Jenewa. Perkembangan dari senjata-senjata yang digunakan dalam peperangan, konflik, perlindungan untuk negara dan keamanan internasional diatur dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 mengenai alat dan cara berperang, bunyi Pasal 36 ini adalah: “In the study, development, acquisition or adoption of a new weapon, means or method of warfare, a High Contracting Party is under an obligation to determine whether its employment would, in some or all circumstances, be prohibited by this Protocol or by any other rule of international law applicable to the High Contracting Party” terjemahan bebasnya adalah : di dalam penyelidikan, pengembangan menghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu Pihak Peserta Agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh sesuatu peraturan lain dari hukum internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung). Pasal tersebut bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada. Memasuki abad 20 masyarakat internasional sadar akan pentingnya peraturan yang lebih luas, detail dan mengatisipasi penggunaan kekuatan bersenjata. Lewat pernyataannya dalam diskusi International Humanitarian Law and New Weapon Technologies, Presiden Palang Merah Internasional menyatakan bahwa sekarang ini, kita hidup dalam masa teknologi informasi dan melihat 4 2014. Alexander Moseley. Just War Theory. www.iep.utm. Diakses pada tanggal 13 Maret 4 teknologi dipergunakan dalam wilayah tempur. Pada saat ini banyak teknologi baru yang sudah digunakan maupun yang baru akan digunakan untuk berperang. Beberapa teknologi yang sekarang ini sudah digunakan untuk berperang diantaranya yaitu teknologi cyber, sistem remote control dan sistem senjata robot. Pesawat tanpa awak (unmanned drones) adalah yang paling terlihat sebagai contoh teknologi terbaru.5 Pernyataan ini tentu saja merupakan refleksi dari peristiwa-peristiwa yang meresahkan dunia internasional sekarang ini khususnya penggunaan remotecontrolled weapon systems. Penggunaan unmanned drones atau pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam memerangi terorisme ataupun tindak kejahatan lain menjadi perbincangan yang kontroversial dalam forum internasional. Pada saat ini Hukum Internasional tidak mempunyai kepastian dalam mengatur mengenai penggunaan unmanned drones, tidak sama seperti pengaturan Hukum Internasional terhadap nuklir ataupun misil balistik. Unmanned drones digunakan oleh Amerika Serikat dengan alasan bahwa unmanned drones merupakan senjata paling efektif dalam membasmi jaringan teroris dan telah dioperasikan semenjak jaman Presiden Bush dan dimasa Presiden Obama sekarang ini. Pada tahun 2009 salah satu agen spesial dari PBB, the Special Rapporteur, Philip Alston menyatakan bahwa penggunaan unmanned drones oleh Amerika Serikat dalam menarget militan di Pakistan dan Afghanistan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Internasional, kecuali Amerika 5 Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional, Lex Crimen, Volume 2 Nomor 1 Januari 2013, hlm. 186. 5 Serikat dapat menunjukkan pemberitahuan yang sepantasnya dan mekanisme yang akuntabilitas. Hal ini dipicu dari fakta yang terjadi dilapangan yang mana pemerintah Amerika Serikat menolak untuk menyediakan informasi resmi mengenai penggunaan unmanned drones dalam penyerangan yang menewaskan ribuan orang di Afganistan, Iraq, Pakistan, Yemen dan Somalia. Penyerangan di Pakistan sendiri, tentara militer Amerika Serikat telah melepaskan serangan sebanyak 297 kali yang menyebabkan meninggalnya 1.800 rakyat sipil. Penggunaan unmanned drones semakin dikenal dengan penyerangan yang menewaskan Osama Bin Laden di Pakistan tahun 2011 lalu.6 Penyerangan Amerika di Pakistan atau penyerangan Central Intelligence Agency (“CIA”) di Pakistan dan daerah yang telah dikenal sebagai war zones (wilayah perang) banyak dipandang oleh pemerhati Hukum Internasional sebagai penyerangan yang illegal karena bertentangan dengan Hukum Perang. Kemudian beberapa pemerhati Hukum Internasional menyatakan bahwa pembunuhan masyarakat sipil secara luas dapat berakibat pada kejahatan perang. Hal ini dikarenakan penyerangan terhadap penduduk lokal yang tidak berdaya dan tanpa adanya kepentingan militer dapat berakibat pada pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa yang membuat tindakan itu masuk dalam kategori kejahatan perang. 6 Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. www.nytimes.com. Diakses pada tanggal 10 Maret 2014. 6 Terkait dengan hal diatas dalam laporan pada Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) mengenai extrajudicial, summary or arbitrary executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan unmanned drones. Beberapa mengungkapkan penggunaan unmanned drones tidak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian yang tidak seharusnya. Ada pula yang menyatakan bahwa penggunaan unmanned drones sesuai karena mempergunakan misil yang diperbolehkan dalam Hukum Humaniter Internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah legalitas penggunaan unmanned drone dalam sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional? 2. Bagaimanakah kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional? 7 C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk memahami legalitas dari penggunaan unmanned drones dalam sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional. 2. Untuk mengetahui kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengembangan ilmu pengetahuan dibidang Hukum Humaniter Internasional yang terkait dengan penggunaan kekuatan bersenjata khususnya unmanned drones, yang dipergunakan oleh suatu negara beserta dengan tanggung jawab negara terkait. b. Memperluas cakrawala dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman , Purwokerto. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi serta masukan bagi para mahasiswa, akademisi dan terutama bagi masyarakat luas dalam upaya memahami isu-isu yang terkait dengan Hukum Humaniter Internasional, khususnya dalam hal kekuatan bersenjata. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional 1. Pengertian Hukum Internasional dan Subjek Hukum Internasional Pada umumnya Hukum Internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti Oppenheim dan Brierly, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Hukum internasional sekarang mengacu pada peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional, seperti organisasi internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan lainnya. Hukum Internasional mengakui bahwa aktor-aktor baru dapat diminta untuk berpartisipasi di pentas internasional. Negara, meskipun tetap sebagai pemeran utama hukum internasional, tidak lagi sebagai subjek yang eksklusif seperti dulu. Hukum internasional pada awalnya hanya mengenai pengaturan hubungan antar negara dan kemudian hanya dalam hal hubungan diplomatik dan pengaturan perang.7 7 Rebecca M.M Wallace, International Law, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993, hlm.1. 9 Hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya seperti organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional, dan gerakan-gerakan pembebasan nasional. Hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara. Pada saat ini hukum internasional tidak lagi semata-mata merupakan hukum antar negara dengan tampilnya aktor-aktor baru non negara, namun dalam kehidupan internasional, negara masih tetap memainkan peranan utama mengingat dampak kedaulatan yang dimilikinya terhadap keseluruhan sistem hukum internasional.8 Subjek hukum internasional adalah setiap pemilik, pemegang, atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. 9 Hal itu terlihat dari fase awal kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, yaitu hanya negara yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan terhadap pelaku-pelaku subjek hukum internasional. Bentuk-bentuk subjek hukum internasional, diantaranya :10 1. Negara Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti klasik dan telah seperti itu sejak lahirnya hukum internasional. Hingga saat ini masih ada anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hubungan antar Negara. 8 9 Boer Mauna , Hukum Internasional Edisi ke-2, PT Alumni, Bandung, 2005, hlm.1. I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.87. 10 Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi), Bandung, CV Pustaka Setia, 201, hlm. 214. 10 2. Takhta Suci Takhta suci Vatican merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu disamping Negara. Hal ini merupakan peninggalan-peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya merupakan Kepala gereja roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga saat ini takhta suci mempunyai perwakilan diplomatik dibanyak ibu kota terpenting di Indonesia termasuk di Jakarta. 3. Palang Merah Internasional Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Organisasi ini dapat dkatakan sebagai suatu subjek hukum yang terbatas yang lahir karena sejarah, walaupun kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan konvensi Palang Merah (sekarang Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang, Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas. 4. Organisasi Internasional Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa PBB merupakan subjek hukum 11 internasional, setidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional. 5. Orang Perseorang (Individu) Sejarah singkat mengenai individu sebagai subjek hukum internasional yaitu pada saat perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia antara Jerman, Inggris, dan Perancis dengan setiap sekutunya, terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbritase Internasional. Ketentuan serupa terdapat dalam perjanjian antara Jerman dan polandia tahun 1922 mengenai Silsela atas (Upper Silsela). 2. Sumber Hukum Internasional Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat internasional. Sumber hukum dalam hukum internasional diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice), 11 yang berbunyi : 1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states, b. International custom as evidence of a general ractices accepted as law, c. The general principles of law recognized by civilized nations, d. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. 11 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm.33. 12 Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional disebutkan bahwa yang termasuk sumber hukum internasional yaitu : a. Perjanjian internasional atau Traktat (International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states). Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional. Traktat memberikan pengaruh terhadap arah pembentukan suatu kaidah hukum internsional. Pada dasarnya traktat memiliki dua sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan traktat kontrak (treaty of contract). b. Kebiasaan internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum yang dilakukan oleh negara dan diterima sebagai hukum (International custom as evidence of a general practices accepted as law). Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh negara-negara. Tidak setiap kebiasaan internasional merupakan kaidah hukum. Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut : 1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Tindakan tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional; 2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negara-negara tidak menyatakan keberatan terhadapnya. 13 c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The general principles of law recognized by civilized nations). Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum dari berbagai bangsa dan negara, yang secara universal mengandung kesamaan.12 d. Keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum (Judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law). Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum hanya merupakan sumber tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran ahli hukum dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional, kebiasaan internasional, dan asas-asas umum hukum.13 B. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional 1. Pengertian dan Tujuan Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter Internasional atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Hukum Humaniter Internasional (HHI) ialah sebagai salah satu bagian Hukum Publik Internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau 12 Jawahir thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm.64. 13 Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.150-151. 14 negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Hukum Humaniter Internasional merupakan satu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional yang berkaitan dengan kerugian dan korban perang.14 International Committee of The Red Cross memberi pengertian pada hukum humaniter internasional yaitu aturan-aturan internasional, yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan, yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa bersenjata internasional maupun non internasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan, membatasi hak dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik. Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu bagian dari Hukum Publik Internasional yang diterapkan pada waktu pertikaian senjata. Tujuan Hukum Humaniter Internasional adalah menjamin penghormatan manusia dalam batas keperluan militer dan ketertiban umum, serta mengurangi akibatakibat permusuhan. Sebagai bagian dari Hukum Publik Internasional, tentu saja aturan-aturan hukum humaniter internasional tidak hanya bersumber dari perjanjian internasional saja. Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya, 14 Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 27. 15 norma hukum humaniter internasional juga bersumber dari kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa. Di dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepnya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan. Di dalam perkembangan sekarang ini, istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter Internasional yang berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Beberapa rumusan mengenai hukum humaniter antara lain : 15 a) Menurut Jean Pictet : International Humaniterian Law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and costumary, ensuring respect for individual and his well being. b) Geza Herzegh merumuskan bahwa Hukum Humaniter Internasional adalah: Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these it purpose and spirit being different. 15 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Redcross , Jakarta, 1999, hlm.8. 16 c) Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah : Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri Berdasarkan pengertian diatas, maka terbentuk ruang lingkup hukum humaniter, dimana dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah, aliran sempit. Jean Pictet, menganut aliran luas, yaitu bahwa hukum humaniter mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hukum Hak Asasi Manusia. Hal ini berseberangan dengan Geza Hergezh. Menurutnya, pengertian hukum humaniter internasional termasuk dalam aliran sempit, hanya terbatas pada hukum Jenewa saja, adapun alasan yang dikemukakan oleh Hergezh adalah : 16 a. Hukum yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat internasional hanyalah Hukum Jenewa saja, apabila Hukum Den Haag dimasukan maka akan mengurangi sifat humaniter yang diutamakan. b. Hak Asasi Manusia tidak dimasukkan karena di dalam literatur hukum Negara sosialis, hak asasi manusia ini ditegakkan dengan sarana hukum nasional. Haryomataram sebagai penganut aliran tengah mengatakan hukum humaniter hanya terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Tujuan pokok dari kaidah-kaidah hukum ini untuk alasan-alasan perikemanusiaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan konflik bersenjata diizinkan. Berdasarkan 16 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994, hlm.20. 17 alasan inilah, ketentuan-ketentuan itu kadang-kadang disebut sebagai “hukum perang humaniter” atau kaidah-kaidah hukum “perang yang berperikemanusiaan”. Nama-nama yang ada pada saat ini diakui untuk kaidah-kaidah tersebut adalah “hukum humaniter internasional”.17 Hukum Humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohamed bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter itu adalah untuk memanusiawikan perang.18 Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh hukum humaniter internasional diantaranya adalah : a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary syffering) karena perang akan selalu memakan korban baik dari pihak kombatan maupun dari pihak penduduk sipil. b. Menjamin Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh, tidak dibenarkan perlakuan yang tidak layak, sistem pembalasan, ini sangat dilarang oleh Hukum Humaniter. Bagi kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus diberi perlindungan dan perawatan serta berhak diperlakukan sebagai tahanan perang. c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa batas, seperti penggunaan senjata perang yang sangat berbahaya dan memiliki daya membunuh yang 17 T.May Rudy, Hukum Internasional 2, PT.Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.78. Arlina Permanasari, Op-cit, hlm.12. 18 18 sangat dahsyat. Dalam hal ini yang terpenting adalah tidak melanggar kemanusiaan. 2. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional Hukum perang yang kini lazim disebut Hukum Humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik bagi masyarakat awam atau penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota combatant (pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas yang terkandung dalam Hukum Humaniter. Asas-asas yang terkandung dalam Hukum Humaniter adalah : 19 a. Asas keperluan/kepentingan militer (military necessity), yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling bertempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan. b. Asas Kemanusiaan (humanitarian), yaitu untuk menerapkan perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan bagaikan binatang (hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia, menghargai 19 T.May Rudy, Op.Cit, hlm.81. 19 hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia. c. Asas Ksatria (chivalry), yaitu untuk berlaku ksatria, tidak membokong lawan, dan tidak berbuat khianat. Dalam hal ini termasuk larangan untuk melakukan pembalasan dendam kesumat dengan mengatasnamakan perang atau situasi pertempuran. Perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan harta-benda lawan. Selain adanya asas-asas dalam Hukum Humaniter Internasional, terdapat pula prinsip-prinsip mendasar dari Hukum Humaniter Internasional. Prinsipprinsip tersebut adalah : a. Prinsip Non-Diskriminasi, maksudnya untuk menghargai persamaan derajat tidak membeda-bedakan, baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang atas dasar agama, ras, etnis, suku bangsa, warna kulit, status sosial, dan sebagainya. Sehingga setiap pelaku dalam konflik bersenjata mendapat perlindungan dari kekejaman perang.20 b. Prinsip Pembedaan, prinsip ini diterapkan dalam Hukum Humaniter agar ada pembedaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Dalam perang harus dapat dibedakan antara kombatan dengan penduduk sipil. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah sasaran dalam perang. Kombatan adalah golongan penduduk yang ikut secara aktif dalam permusuhan, mereka secara terangterangan mengangkat senjata untuk berperang, dan merupakan pihak yang 20 T.May Rudy, Op.Cit, hlm.81. 20 dapat dijadikan sasaran dalam perang. Mereka berhak mempertahankan diri, baik menyerang bahkan sampai membunuh lawan. Sedangkan penduduk sipil adalah mereka yang tidak ikut langsung dalam permusuhan, dan dilindungi haknya. Mereka bukan merupakan sasaran dalam perang, bahkan dimungkinkan untuk pindah menuju tempat yang lebih aman apabila di daerahnya terjadi perang. Prinsip ini muncul dari adanya Konvensi Jenewa 1949. Hal ini diterapkan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja. c. Prinsip Proporsionalitas, prinsip ini menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau obyek-obyek sipil harus proporsionalitas sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran militer. Prinsip-prinsip diatas harus selalu dijadikan pedoman oleh para pihak yang bersengketa agar tujuan perang yang diinginkan dapat terwujud. Baik asas maupun prinsip harus dilakukan secara seimbang dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab oleh para pihak. 3. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional Meskipun pemikiran untuk membatasi perang dengan memasukkan dan memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan telah memiliki akar sejarah yang panjang, hukum humniter sebagai suatu sistem yang modern baru muncul pada abad 19 dengan lahirnya konvensi-konvensi yang menjadi dasar hukum bagi 21 pelaksanaan HHI. Sebagaimana yang dikemukakan oleh jean Pictet bahwa dalam Hukum Humaniter Internasional terdapat 2 aturan pokok disamping aturan-aturan lainnya, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag merupakan ketentuan HHI yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Membicarakan mengenai Hukum Den Haag berarti membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 yang disebut dengan Konvensi Den Haag 1899 serta Konferensi Perdamaian II tahun 1907 atau dikenal dengan Konvensi Den Haag 1907. 21 Konvensi Den Haag 1899 yang dilaksanakan pada Mei 1899 selama 2 bulan tersebut menghasilkan tiga konvensi, yaitu : a. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional b. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di darat c. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. Sedangkan Konvensi Den Haag 1907 mengatur mengenai alat-alat, sarana, atau metode yang diperbolehkan dalam perang merupakan hasil Konferensi Perdamaian II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899.22 Konvensi ini menghasikan 13 konvensi, yaitu: 1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; 2) Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata; 3) Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan; 21 22 Arlina Permanasari, Op.cit, hlm.23. T.May Rudy, Op.Cit, hlm.82. 22 4) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag; 5) Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat; 6) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Peperangan; 7) Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang; 8) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; 9) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; 10) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; 11) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; 12) Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan; 13) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Berbeda dengan Hukum Den Haag, Hukum Jenewa lebih mengatur mengenai perlindungan korban sebagai akibat perang yang terjadi. Hukum Jenewa terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949 yang masing-masing adalah : i. Konvensi Jenewa mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di pertempuran darat. 23 ii. Konvensi Jenewa mengenai perbaian keadaan anggota angkatan perang di laut yang luka, sakit, dan korban karam. iii. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang. iv. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang. Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 disempurnakan dengan Protokol Tambahan yang mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil. Protokol Tambahan ini disebut dengan Protokol Tambahan I tahun 1977 (Additional Protocol I) tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II tahun 1977 (Additional Protocol II) tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Non-internasional. Secara umum Protokol Tambahan I Tahun 1977 mengatur mengenai sengketa bersenjata internasional. Sengketa bersenjata internasional (international armed conflict) adalah pertempuran antara angkatan bersenjata dari setidaktidaknya dua negara. Artinya sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain. Disamping berlaku terhadap situasi perang antar negara, Protokol I tahun 1977 tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Internasional juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4). Pada Pasal ini dikatakan bahwa Protokol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antara suatu bangsa melawan colonial domination, alien occupation dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam 24 Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara sebagaimana yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.23 Protokol Tambahan II mengatur mengenai sengketa bersenjata noninernasional. Sengketa bersenjata non-internasional melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka sengketa bersenjata noninternasional dapat terlihat sebagai suatu situasi dimana terjadi permusuhan antara angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu negara. Disamping itu sengketa bersenjata non-internasional mungkin pula terjadi pada situasi-situasi dimana faksi-faksi bersenjata (armed factions) saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah.24 4. Sarana dan Metode Berperang Telah kita ketahui bahwa hukum Den Haag terdiri dari serangkaian peraturan yang mengatur mengenai sarana (alat) dan metode (cara) berperang, baik berupa konvensi maupun deklarasi, yang terbentuk dalam Konferensi Perdamaian di Den Haag pada tahun 1899 dan 1907, yakni yang menghasilkan serangkaian konvensi Den Haag.25 Sarana dan metode berperang diatur dalam Konvensi Den Haag. Metode berperang menurut Konvensi Den Haag diatur dalam beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan Pasal 23 (b) Konvensi Den Haag yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau khianat ( treacherously). 23 Arlina Permanasari, Op Cit, hlm.133 Ibid, hlm.143. 25 Ibid, hlm.57 24 25 Ketentuan Pasal 24 Konvensi Den Haag yang menyatakan bahwa tipu muslihat ( ruses of war) serta pelaksanaan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai musuh dianggap diperbolehkan. Salah satu masalah adalah bagaimana menentukan bahwa suatu tindakan dikategorikan sebagai suatu tindakan curang atau tipu muslihat. Contoh tindakan yang termasuk tindakan curang adalah sebagaimana tercermin dalam Pasal 23(f) dimana penggunaan bendera perdamaian (flag of truce) tidak pada tempatnya adalah dilarang (sebagaimana diketahui, bendera perdamaian berfungsi untuk melindungi negosiator atau perantara). Konvensi Den Haag juga melarang, bukan berdasarkan ada sifat curang tidaknya suatu perbuatan, tetapi karena sifat kejamnya suatu perbuatan (cruelty), misalnya larangan membunuh atau melukai musuh yang telah berstatus hors de combat atau yang telah menyerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 (c) Konvensi Den Haag. Demikian pula hal ini tercermin dalam ketentuan pasal 25 Konvensi Den Haag mengenai larangan pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan. Apabila hal tersebut akan dilakukan, maaka komandan yang bersangkutan harus mengumumkan terlebih dulu kepada penguasa sipil yang bersangkutan. Demikian pula terdapat larangan perampasan suatu kota atau suatu tempat, sebagaimana tercermin dalam Pasal 28 Konvensi Den Haag. 26 Di dalam Konvensi Den Haag, Pasal 35 menurut apa yang disebut peraturan dasar dicantumkan tiga ketentuan, yaitu :26 a. Dalam setiap konflik bersenjata, hak dari pihak-pihak dalam konflik untuk memilih atau menentukan cara atau alat berperang dibatasi (ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 22 Konvensi Den Haag). b. Dilarang menggunakan senjata proyektil material dan metode berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. c. Dilarang menggunakan alat atau cara berperang yang, atau dapat diharapkan akan menyebabkan kerusakan luas (hebat) berjangka panjang terhadap lingkungan hidup. Pasal 38 Konvensi Den Haag melarang penggunaan secara tidak tepat atau tidak terbatas dari emblem-emblem: palang merah, bintang sabit merah serta singa dan matahari merah, dan emblem-emblem lain yang ditentukan dalam konvensi atau protokol. Selain diatur di dalam Konferensi Den Haag, aturan mengenai sarana dan metode berperang juga dijelaskan di dalam Protokol Tambahan I. Ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol Tambahan I terdapat dalam Bagian III Protokol yang berjudul “Methods and Means of Warfare, Combatant and Prisoner of War Status” (pasal 35-47). Secara garis besar, ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol ini disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya penambahan aturan dasar (basic rules), ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penabahan lambang-lambang internasional 26 T.May Rudy, Op.Cit, hlm. 89. 27 yang harus dihormati selama masa peperangan, dan perluasan kategori orangorang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata (antara lain terdapat ketentuan baru mengenai tentara bayaran, mata-mata, dan sebagainya). Ketentuan lain tentang alat/sarana berperang yang ditambahkan dalam Protokol adalah adanya kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk menentukan apakah penggunaan senjata-senjata baru yang sedang dikembangkan akan bertentangan dengan Protokol I atau dengan aturan hukum internasional lainnya yang mengikat negara tersebut. Apabila negara yang bersangkutan tidak melakukan hal tersebut, maka negara tersebut akan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang terjadi.27 C. Tinjauan Tentang Unmanned Drones 1. Sejarah Unmanned Drones Upaya pertama untuk membuat pesawat udara dari torpedo angkatan udara terjadi di Amerika Serikat pada saat perang dunia I. Sebuah pesawat tanpa pilot dibuat untuk menyerang target dan menjatuhkan bom yang mematikan dengan sendirinya. Pada tahun 1916 - 1917 dibuat pesawat tanpa awak yang diberi nama Hewitt Sperry Automatic Airplane. Pesawat tanpa awak ini melakukan sejumlah tes penerbangan pendek untuk membuktikan bahwa pesawat tanpa awak itu ada dan bisa diciptakan. Pada November 1917 perwakilan Angkatan Darat Amerika Serikat menyaksikan salah satu penerbangan ini dan memulai sebuah peluncuran torpedo atau bom terbang. Proyek ini dipimpin oleh Letnan.Kolonel Bion J. 27 Arlina Permanasari, Op.Cit, hlm.67-68. 28 Arnold. Berbagai perusahaan bekerja sama untuk memproduksi 20 pesawat tanpa awak lengkap, dan uji coba penerbangan berhasil dilakukan pada 4 Oktober 1918. Pada saat Perang Dunia I berakhir, lima minggu kemudian semua proyek dihentikan kecuali untuk beberapa eksperimen pesawat tanpa awak. Kemudian proyek ini dihentikan total pada tahun 1925 . Angkatan Udara dari Ordnance memutuskan untuk melanjutkan pengembangan sebuah pesawat radio kontrol. Sebuah pesawat latih N-9 digunakan sebagai dasar kendaraan dan ditambah dengan stabilisasi dan peralatan radio kontrol yang dikembangkan oleh Naval Research Laboratory dan oleh Carl Norden. Sebuah penerbangan pesawat tanpa awak sukses pada 15 September 1924, tapi pesawat itu rusak pada saat pendaratan dan tenggelam. Kejadian tersebut mengakhiri pengembangan pertama drone, atau disebut pesawat tanpa awak. Pada tahun 1936 Angkatan Udara memulai program drone lain yang dimaksudkan untuk memberikan target yang realistis untuk latihan meriam anti pesawat. Pesawat yang digunakan adalah Stearman Hammond JH 1 dan peralatan radio kontrol dikembangkan kembali oleh Naval Research Laboratory. Drone ini melakukan penerbangan pertama pada 15 November 1937. Pada musim panas berikutnya drone tersebut pertama kali digunakan untuk latihan sasaran antipesawat dari USS Ranger. Komandan Fahrney kemudian menyarankan pengembangan drone untuk penyerangan. 29 Pada Januari 1941 dimulai konversi dari TG-2 (pesawat torpedo) dan BG1 (dive bomber) ke rudal, dikonversi dan dibuat pesawat torpedo tanpa awak. Diterbangkan oleh pilot pada jarak sepuluh mil. Kemudian berhasil digunakan untuk menyerang pada tanggal 23 Maret 1942. Pada tanggal 19 April 1942, Pesawat pengebom itu di coba kembali di Chesapeake Bay. Pesawat tersebut diterbangkan oleh seorang pilot melalui layar monitor sejauh 11 mil. Tes ini membuktikan bahwa drone merupakan senjata untuk penyerangan yang praktis. Kemudian mulai digunakan dalam Perang Dunia II .28 2.Pengertian Unmanned Drones Unmanned Drones secara global masih belum memiliki definisi yang rampung dan konsisten. Sepanjang perkembangannya, Unmanned Drones dikenal juga dengan Pilotless Aircratft, Uninhabited Aircraft, Remotely Piloted Vehicles (RPV) dan Remotely Operated Aircraft (ROA). Hambatan dalam menentukan definisi yang tepat untuk Unmanned Drones dikarenakan aplikasi penggunaannya berbeda-beda. Ada yang digunakan untuk militer, sipil dan komersial. Pendefinisian yang berbeda-beda ini menghasilkan kerumitan dalam memberikan satu definisi yang tepat, contohnya pendefinisian Unmanned Drones militer, belum tentu dapat di aplikasikan pada definisi Unmanned Drones komersial. 28 Hystory Drones. www.theuav.com. Diakses pada tanggal 23 Mei 2014. 30 Oleh karena itu, di bawah ini terdapat beberapa definisi yang bisa dijadikan komparasi antara satu definisi dengan definisi yang lain, antara lain:29 1. “A power driven aircraft, other than a model aircraft, that is designed to fly without a human operator on board” (terjemahan bebas: sebuah pesawat alik yang berbeda dengan model pesawat lainnya, pesawat yang di desain untuk terbang tanpa operator manusia di dalamnya). 2. “A powered, aerial vehicle that does not carry a human operator, uses aerodynamic forces to provide lift, can fly autonomously or be piloted remotely, can be expandable or recoverable, and can carry a lethal or nonlethal payload. Ballistic or semi ballistic vehicles, cruise missiles, and artillery projectiles are not considered Unmanned Aerial Vehicles” (terjemahan bebas: sebuah pesawat bertenaga angin yang tidak dapat membawa operator manusia, menggunakan kekuatan aerodinamis untuk mengangkatnya naik, dapat terbang secara otonom atau dikontrol dengan pengendali, dan dapat membawa atau tidak membawa senjata. Kendaraan balistik atau bukan blistik, misil dan projektil artileri tidak dapat dikatakan sebagai pesawat tanpa awak). Saat ini, pesawat tanpa awak mampu melakukan misi pengintaian dan penyerangan. Atas serangan pesawat tanpa awak tersebut, banyak laporan mengatakan bahwa banyak serangan pesawat tanpa awak yang berhasil tetapi pesawat tanpa awak mempunyai reputasi untuk menyerang secara berlebihan atau menyerang target yang salah. 29 Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional, Lex Crimen, Volume 2 Nomor 1 Januari 2013, hlm. 190. 31 Pesawat tanpa awak juga semakin banyak digunakan untuk keperluan sipil (non militer) seperti pemadam kebakaran, keamanan non militer atau pemeriksaan jalur pemipaan. Pesawat tanpa awak sering melakukan tugas yang dianggap terlalu kotor dan terlalu berbahaya untuk pesawat berawak.30 3. Jenis-Jenis Unmanned Drones Pada perkembangannya, drones tidak hanya digunakan untuk berperang. Terdapat beberapa jenis drones yang ada sekarang ini. Jenis-jenis drones yang ada pada saat ini adalah: 31 A. Target and decoy: Fungsi drones ini adalah melacak keberadaan musuh dan juga sebagai umpan bagi pesawat lawan pada saat perang di udara. . Contohnya adalah pesawat RQ-2B Pioneer, Pesawat tanpa awak ini adalah hasil kolaborasi antara Amerika Serikat dan Israel Aircraft Industries. Pesawat ini telah dipergunakan oleh US Marine Corps, US Navy dan US Army sejak 1986. Pioneer bertugas melakukan pengintaian, pengawasan, pencarian target, dan mendukung penembakan angkatan laut baik pada siang hari maupun malam hari. Panjang badan 14 kaki dan rentang sayap 17 kaki, Pioneer dapat terbang hingga ketinggian 15.000 kaki selama lima jam. Pioneer dalam melakukan misi dapat mengangkut beban hingga 37 Kg dan dilengkapi sensor optik serta alat pendeteksi ranjau. 30 Pengertian Pesawat Tanpa awak. www.wikipedia.org. Diakses pada tanggal 20 Mei 31 Jenis-jenis Unmanned Drones. www.theuav.com. Diakses pada tanggal 19 Mei 2014. 2014. 32 B. Reconnaissance: Fungsi drones ini adalah sebagai mata-mata atau pengintai di medan perang. Contohnya adalah Pesawat RQ-8A Fire Scout, Helikopter yang diadopsi dari helikopter jenis ringan Schweizer 330SP, RQ-8A Fire Scout digunakan oleh US Navy untuk misi pengintaian. Helikopter ini mampu beroperasi selama empat jam lebih dengan jarak 120 mil dari pusat kendali dengan sistem navigasi berbasis GPS.32 C. Combat: Fungsi drones ini adalah untuk melakukan penyerangan yang mematikan pada saat berperang. Contohnya adalah pesawat General Atomics MQ-1 Predator. MQ-1 Predator adalah pesawat multifungsi tanpa awak yang dikembangkan untuk menjadi mesin penghancur. Dalam operasi militer Amerika di Afghanistan, Yaman Somalia, Irak dan Pakistan, Reaper dilengkapi dengan rudal AGM 114 Hellfire39 dan dipergunakan untuk memburu dan menghancurkan target. Pesawat ini dapat mengangkut beban hingga lima ton, berkecapatan 368 Kmph pada ketinggian 50.000 kaki dan dapat terbang sejauh 5.891 kilometer dari pusat kendali. Pesawat ini dilengkapi dengan IR targeting sensor, laser rangefinder40 dan synthetic aperture radar. Reaper dapat dibongkar pasang dan diangkut ke berbagai lokasi dengan mudah. 32 Pesawat-tanpa-awak-tercanggih . odyckdnero.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 mei 2014. 33 D. Research and development: Fungsi drones ini adalah untuk mengembangkan teknologi di bidang penerbangan. Contohnya adalah pesawat Close Range Surveilance (CR-10). Pesawat ini dibuat oleh Lembaga Penerbangan dan Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Pesawat tersebut dibuat untuk mengembangkan teknologi penerbangan khususnya di bidang pesawat tanpa awak di Indonesia.33 E. Civil and Commercial: Drones ini dirancang khusus untuk aplikasi sipil dan komersial. Contohnya adalah pesawat Northrop Grumman Global Hawk. Global Hawk adalah pesawat tanpa awak yang terbesar dan tercanggih di dunia saat ini. RQ4 Global Hawk adalah pesawat tanpa awak pertama yang memperoleh sertifikasi dari badan penerbangan Amerika untuk terbang dan mendarat di bandara sipil secara otomatis, karena keunggulannya ini, Global Hawk diharapkan dapat menjadi perintis pesawat penumpang dengan pilot otomatis dimasa mendatang. Untuk keperluan militer, pesawat ini dapat dipergunakan untuk melakukan pengintaian, pengawasan dan survey intelejen lainnya pada daerah yang luas dan dalam jangka waktu yang lama. 33 Asia-tenggara-teknologi-pesawat. indodefensetechno.blogspot.com. Dikunjungi pada tanggal 19 mei 2014. 34 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif34, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu peneliti melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat comprehensive, all-inclusive dan systematic. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya bahwa penelitian ini menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang akan diteliti secara menyeluruh dan sistematis. Analitis karena kemudian dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian. C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di delegasi ICRC (International committee of The Red Cross) Indonesia di Jakarta, unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, dan media internet. 34 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2008, hlm 294. 35 D. Sumber Data Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data pokok yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang berasal dari bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer misalnya hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Selain data sekunder, dalam penelitian ini juga digunakan data tersier, data tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.35 E. Metode Pengumpulan Data Bahan hukum yang diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi peraturan undang-undang yakni, dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan data sekunder dan metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data ialah dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana, dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar dan dokumen resmi lainya yang relevan dengan masalah yang diteliti kemudian diidentifikasi dan dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh. 35 Johny Ibrahim, Op-Cit, hlm.392 36 F. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian. G. Metode Analisa Data Untuk menganalisa data yang diperoleh, digunakan metode secara normatif kualitatif yaitu pembahasan dan penjabaran data hasil penelitian yang mendasarkan pada norma atau kaidah-kaidah hukum secara doktrin-doktrin yang relevan dengan permasalahan. 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Legalitas Penggunaan Unmanned Drone Dunia modern tidak saja membawa kita pada kemajuan-kemajuan teknologi yang berkembang pesat, akan tetapi juga pada bayangan ketakutan akan semakin meningkatnya pembuatan dan perkembangan teknologi dalam bidang persenjataan terutama pada saat Perang Dunia I dan Perang Dunia II, banyak senjata baru yang dikembangkan bahkan beberapa diantaranya memiliki daya rusak yang berbahaya seperti senjata biologi, senjata nuklir, senjata kimia, dan senjata yang menimbulkan penderitaan yang berlebihan. Senjata-senjata yang menambah penderitaan manusia harus dihindarkan pemakaiannya karena hal ini sangat bertentangan dengan rasa perikemanusiaan dan tujuan utama hukum humaniter yang mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.36 Pada saat ini telah muncul bermacam-macam jenis senjata baru yang digunakan untuk berperang. Salah satunya adalah senjata dengan menggunakan pesawat tanpa awak (Unmanned Drone). Selain digunakan sebagai senjata dalam berperang, unmanned drone memiliki banyak fungsi lain. diantaranya adalah sebagai mata-mata, sebagai pengawas lingkungan, sebagai pengantar paket, dan sebagai alat untuk mengambil foto maupun video bagi dunia jurnalistik.37 36 Arlina Permanasari, Op.Cit, hlm. 12. Fungsi drone pesawat tanpa awak selain perang, www.betabicara.com, diakses pada tanggal 29 November 2014. 37 38 Fungsi unmanned drone yang pertama adalah sebagai mata-mata. Ini adalah fungsi pertama kali yang dikenal oleh masyarakat. Penggunaan unmanned drone sebagai mata-mata ini adalah dengan menerbangkan unmanned drone di atas wilayah musuh untuk mengetahui keberadaan target ataupun mengetahui situasi di wilayah yang akan diserang. Fungsi kedua unmanned drone sebagai pengawas lingkungan. Fungsi yang hampir sama dengan fungsi mata-mata unmanned drone ini berfungsi untuk mengawasi suatu daerah tertentu. Unmanned drone diterbangkan di suatu daerah tertentu untuk mengawasi jika terjadi pelanggaran, misalnya pelanggaran lalu lintas, pencemaran lingkungan, kebakaran hutan, dll. Fungsi ketiga unmanned drone sebagai pengantar paket, perusahaan online store terbesar di Amerika Serikat, Amazon sedang menguji coba unmanned drone mereka. Fungsi unmanned drone Amazon ini adalah untuk mengantar barang dari gudang ke pembeli dan tidak lagi melalui jasa kurir atau paket yang biasa digunakan. Unmanned drone jenis ini masih dalam tahap uji coba. Keempat yaitu fungsi unmanned drone sebagai alat untuk mengambil gambar dalam dunia jurnalistik. Pada saat ini, perkembangan unmanned drone semakin maju, bukan hanya militer saja yang menggunakan unmanned drone tetapi juga jurnalis. Tujuannya adalah pengambilan gambar dari udara untuk memperoleh foto atau video mengenai pemberitaan yang sedang mereka siarkan, sehingga berita yang disampaikan ke masyarakat lebih menarik.38 38 Ibid. 39 Pada saat ini Unmanned Drones telah berkembang pesat. Perkembangan ini dipacu karena adanya konflik global dan memberikan revolusi dalam dunia penerbangan. Alasan utama dalam pembuatan Unmanned Drones adalah agar para pilot mengontrol pesawatnya dengan sistem kontrol eksternal. Konfigurasi dari penggunaan pesawat tanpa awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan keuntungan ekonomi. Konsep pesawat tanpa awak ini diambil dari konsep layang-layang. Konsepnya dengan memanfaatkan aerodinamis untuk mengangkat bendanya dan dikontrol dari bawah. Unmanned Drones juga menjadi sarana transportasi untuk keguanan pelayanan sipil, pemerintahan dan dalam pasar komersial. Hanya saja, seperti Eropa, Kanada atau Amerika Serikat telah mengembangkan kegunaan Unmanned Drones dalam bidang militer. Pengembangan Unmanned Drones jenis militer ini dimulai pada tahun 1990 yang dipergunakan dalam pertempuran. Unmanned Drones ini dinamakan unmanned combat aerial vehicles (UCAVs). Awalnya, UCAV ini tidak akan digunakan sampai dengan dekade pertama dari abad baru yaitu abad 20, tapi dengan peristiwa 9/11, UCAV pun mulai dioperasikan. Perkembangan Unmanned Drones kemudian memberikan implikasi dalam Hukum Internasional.39 39 Michael Nas, Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial Vehicles, 2008, Hlm.1. 40 Penggunaan unmanned drone tidak memerlukan pilot untuk mengendarai pesawat tersebut. Selain itu, unmanned drone dilengkapi dengan fasilitas persenjataan sehingga dapat melakukan penembakan saat itu juga, baik dengan kontrol oleh pilot yang berjarak ribuan mil atau secara otonom. Amerika Serikat adalah negara pertama yang menggunakan unmanned drone tepatnya pada masa pemerintahan Bush. Penyerangan dengan unmanned drone dilakukan pertama kali di Afganistan. Pada masa Presiden Obama, penyerangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak mengalami peningkatan yang signifikan. Saat ini terjadi kontroversi terhadap cara menangkap para pelaku teror sesuai dengan cara yang dipakai Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa mereka menggunakan unmanned drones untuk Global War on Terror. Penggunaan unmanned drones ini ditentang karena dianggap melanggar syarat untuk membedakan yang mana penduduk sipil dan kombatan atau prinsip necessity untuk proporsionalitas. Faktanya, pada tahun 2010 terdapat 118 serangan di Pakistan. CIA pun dilaporkan telah menerbangkan unmanned drones ke Yamea, Somalia, Djibouti, Kenya dan Etiopia dalam rangka untuk menarget jaringan Al-Qaeda. Perdebatan sengit mengenai penggunaan Unamnned Drones dikaitkan dengan ada atau tidaknya aplikasi dari hukum humaniter internasional dan juga kehadiran dari hukum hak asasi manusia internasional tetap dijalankan baik dalam waktu perang dan damai. Hukum hak asasi manusia melindungi seorang tersangka sedangkan dengan penggunaan unmanned drone, seseorang dapat diserang hanya berdasarkan kecurigaan tanpa diproses terlebih dahulu. 41 Pesatnya perkembangan unmanned drones memicu pertanyaan terhadap isu hukum. Permasalahan mendasarnya terkait dengan teknologi yang digunakan pada unmanned drones. Teknologi ini menghadirkan sistem unmanned drones yang menggunakan pilot eksternal (sistem komputer yang diprogramkan untuk mengatur unmanned drones). Kemudian, muncul pertanyaan terkait apakah unmanned drone dengan sistem pilot eksternal pantas dipergunakan dan memenuhi standar-standar hukum internasional, khususnya Hukum Humaniter Internasional. Unmanned drone tidak secara spesifik disebutkan dalam perjanjianperjanjian terkait senjata atau perangkat hukum lainnya dari hukum humaniter internasional, akan tetapi, penggunaan segala sistem persenjataan, termasuk unmanned drone, dalam situasi konflik bersenjata sangat jelas harus tunduk pada aturan dalam hukum humaniter internasional. Hal ini berarti, ketika menggunakan unmanned drone, para pihak dalam suatu konflik harus selalu membedakan antara kombatan dan sipil dan antara objek militer dan objek sipil. Mereka harus mengambil semua langkah kehati-hatian yang memungkinkan untuk menghindari jatuhnya korban penduduk dan infrastruktur sipil, serta mereka harus menunda atau membatalkan serangan bila kerugian atau kerusakan yang diprediksi akan timbul terhadap penduduk sipil atau objek sipil berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer langsung dan nyata yang akan didapat. Menurut perspektif hukum humaniter internasional, setiap senjata yang memungkinkan untuk melancarkan serangan yang lebih tepat, dan membantu terhindarnya atau meminimalisir korban sipil insidentil, cedera 42 terhadap warga sipil, ataupun kerusakan objek sipil, harus dijadikan pilihan dibandingkan senjata yang tidak dapat melakukannya. Ketika unmanned drone digunakan dalam situasi di mana tidak ada sengketa bersenjata, maka hal tersebut legal menurut hukum humaniter internasional40 Legalitas dari penggunaan unmanned drone dalam kondisi konflik bersenja dapat dikaji berdasarkan Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional.41 Banyak negara yang menggunakan pesawat tanpa awak mengatakan bahwa pesawat ini legal karena hanya menggunakan hellfire missiles42 yang tidak dilarang penggunaannya dan tetap sejalan dengan Pasal 36 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 tersebut. Banyak para ahli hukum menentang penggunaan unmanned drone dengan menyatakan bahwa pesawat tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip yang tertuang dalam Hukum Humaniter Internasional. 40 Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata http://icrcjakarta.info, diakses pada tanggal 28 November 2014. 41 harus sesuai hukum , Pasal 36 Protokol Tambahan I Berbunyi : Didalam penyelidikan, pengembangan menghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu Pihak Peserta Agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh sesuatu peraturan lain dari hukum internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung tersebut. 42 Hellfire missile atau dalam bahasa indonesia rudal kendali adalah senjata militer berupa roket yang bisa dikendalikan atau memiliki sistem pengendali otomatis untuk mencari target atau menyesuaikan arah, www.wikipedia.co.id, diakses pada tanggal 15 Desember 2014. 43 Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional ini bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada. Penggunaan unmanned drones dalam hukum humaniter internasional dapat dianalisis menurut hukum Den Haag yang mengatur mengenai sarana (alat) dan metode (cara) berperang, baik berupa konvensi maupun deklarasi, yang terbentuk dalam Konferensi Perdamaian di Den Haag pada tahun 1899 dan 1907, yang menghasilkan serangkaian Konvensi Den Haag. Mengenai metode dan sarana berperang diatur dalam ketentuan sebagai berikut: a. Metode dan Sarana Berperang menurut Konvensi Den Haag Tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Untuk memahami peraturan Den Haag, terlebih dahulu harus diketahui dua peraturan dasar (basic rule) yang mendasarinya, yaitu: 1. In any armed conflict, the right of the parties to the conflict to chose methods or means of warfare is not unlimited. 2. It is prohibited to employ weapon, projectiles materials and methods of warfare of nature to cause superflous injury or unnecessary suffering. 44 Peraturan yang paling utama dalam menggunakan sarana atau alat untuk melakukan peperangan (means of warfare) dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan memilih dalam menggunakan sarana atau alat berperang. Masyarakat internasional memahami bahwa walaupun perang dapat dipakai sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, namun hak pihak yang bersengketa dalam menggunakan sarana dan metode perang, tidak tak terbatas (is not unlimited). Prinsip tersebut adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superflous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). Menurut prinsip pembatasan, metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan. 43 Prinsip Pembatasan juga tercantum dalam ketentuan Pasal 22 Konvensi Den Haag Tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, yang menyatakan bahwa : 1. Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak dalam konflik untuk memilih metode atau alat perang adalah tidak tak terbatas. 2. Hal ini dilarang untuk mempergunakan senjata, material, dan metode perang alam yang menyebabkan luka berlebihan. 43 Rina Rusman, Op.Cit, hlm.46. 45 Jadi para pihak yang berperang mempunyai keterbatasan dalam memilih alat dan metode perang. Para pihak tidak dapat menggunakan senjata yang dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan (superflous injury) atau penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). Penggunaan unmanned drones bertentangan dengan Pasal 22 Hague Regulations Tahun 1907 karena dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap objek sasarannya sehingga menyebabkan penduduk baik kombatan maupun non-kombatan terluka bahkan mati. Adapun batasan dalam memilih alat dan metode perang, berkaitan dengan prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23 Hague Regulations Tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Berkaitan dengan larangan penggunaan unmanned drones, maka prinsip pembatasan (Limitation Principle) dan prinsip proporsionalitas (Proportionality Principle) yang terkandung dalam pasal 22 Hague Regulations44 Tahun 1907 bisa menjadi acuan. Aturan mengenai larangan penggunaan unmanned drones berkaitan dengan Pasal 23 huruf (e) Hague Regulations Tahun 1907, yaitu “To employ arms projectiles, or material calculated to cause unnecessary suffering”. Penjelasan pasal tersebut mengandung arti bahwa para pihak dalam berperang harus memperhatikan prinsip proporsionalitas. Prinsip ini mempunyai tujuan untuk menyeimbangkan antara kepentingan militer dan resiko yang akan merugikan 44 Pasal 22 Hague Regulations: Hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alatalat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas. 46 penduduk sipil.45 Prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsionalitas sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap serangan militer. 46 Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan, dan penderitaan, yang berlebihan. Terutama dalam hal ini kerusakan-kerusakan yang berlebihan dan tidak perlu terhadap objek-objek non-militer dan non-kombatan. Penggunaan unmanned drones yang dianggap senjata yang lebih efektif digunakan untuk berperang nyatanya banyak menimbulkan korban jiwa dari penduduk sipil dan menyebabkan kerusakan yang berlebihan. Hal ini merupakan pelanggaran dari prinsip proporsionalitas. b. Sarana dan Metode berperang menurut Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional (Protocol Additional to Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to Protection of Victims of Internasional Armed Conflict). 45 Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit, hlm.11. Sri Setianingsih Suwardi, Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan dengan Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter dalam Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, Depok, 2006, hlm.11. 46 47 Ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol Tambahan I terdapat dalam bagian III Protokol yang berjudul “Methods and Means of Warfare, Combatant and Prisoner of War Status” (Pasal 35-47). Secara garis besar, ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam protokol ini disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya penambahan aturan dasar (basic rules). Hal ini tercantum dalam Pasal 35 (3) Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional yang menjelaskan bahwa dalam setiap konflik bersenjata hak para pihak dalam memilih metode atau cara perang tidak tak terbatas, dalam berperang para pihak dilarang menggunakan senjata, proyektil dan metode peperangan alam yang dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, pihak yang berperang dilarang untuk menggunakan metode atau alat perang yang dimaksudkan, atau mungkin diharapkan, dapat menyebabkan penderitaan jangka panjang dan kerusakan parah pada lingkungan alam. Penggunaan unmanned drones harus memperhatikan prinsip kemanusiaan, prinsip ini menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk berperilaku memperhatikan kemanusiaan, dimana mereka dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan penderitaan yang berlebihan. Individu mempunyai hak untuk dihormati hidupnya, integritasnya, baik fisik maupun moral, dan atribut yang melekat pada personalitas. 47 Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusiaan sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi pada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas 47 Jean Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, International Committee of The Red Cross, Geneva, hlm. 35. 48 internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia di manapun adanya. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia.48 Ketika terjadi konflik bersenjata juga harus memperhatikan prinsip pembedaan, prinsip pembedaan mengatakan bahwa semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Tujuan dari prinsip pembedaan ini ini adalah untuk melindungi warga sipil. Penggunaan unmanned drones tidak dapat memenuhi prinsip pembedaan karena dalam praktiknya serangan unmanned drones banyak menimbulkan korban jiwa yang berasal dari penduduk sipil. Berdasarkan uraian beberapa peraturan hukum humaniter yang berkaitan dengan penggunaan unmanned drone yang sudah dipaparkan diatas, unmanned drone merupakan senjata yang ilegal dan tidak dapat dibenarkan penggunaannya di dalam suatu sengketa bersenjata. Penggunaan unmanned drones tidak dapat dibenarkan karena sifatnya yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal tanpa dapat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer dan tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan dan tanaman. Penggunaan unmanned drone di dalam suatu sengketa bersenjata melanggar prinsip hukum humaniter internasional, diantaranya prinsip pembedaan, prinsip proporsionalitas, prinsip kemanusiaan dan prinsip pembatasan. 48 Ambarwati, dkk, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, jakarta, 2009, hlm.40. 49 Menurut prinsip pembedaan unmanned drone tidak bisa membedakan antara kombatan dan non-kombatan, sehingga banyak penduduk sipil yang menjadi korban. Selain itu unmanned drone bertentangan dengan prinsip proporsionalitas karena menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap obyekobyek sipil. Penggunaan unmanned drone juga tidak sesuai dengan prinsip pembatasan dan prinsip kemanusiaan karena penggunaan unmanned drone menimbulkan unnecessary sufferings (penderitaan yang tidak perlu) dan superflous injury (penderitaan yang berlebihan) terhadap penduduk sipil. B. Kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 Amerika Serikat di bawah komando Presiden Bush mendeklarasikan perang terhadap teroris untuk pertama kalinya pada tahun 2001. Perang melawan teroris atau yang dikenal dengan istilah War on Terror serta Counterterrorism merupakan perang kontemporer yang di deklarasikan oleh Amerika Serikat sejak peristiwa serangan teroris ke gedung World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Sejak peristiwa tahun 2001 tersebut Amerika Serikat menggunakan unmanned drones untuk tujuan pengawasan dan pengintaian terhadap jaringan teroris.49 Unmanned drones digunakan oleh Amerika Serikat untuk mengintai target yang dianggap sebagai teroris dan membunuhnya. 49 Fellin Fidi Kinanti, Analisis Relevansi Serangan Drone Amerika Serikat dalam Operasi Counterterrorism di Pakistan dan Afghanistan dengan Etika Perang, Universitas Airlangga. 50 Amerika Serikat untuk pertama kalinya mengakui telah menggunakan unmanned drones yang dilengkapi misil untuk menyerang target yang mengancam patroli Amerika Serikat dan Inggris di Irak Selatan pada Oktober 2002.50 Penyerangan Amerika Serikat terhadap negara-negara Timur Tengah dengan menggunakan unmanned drones telah menimbulkan kerusakan skala besar dan kerusakan lingkungan dalam jangka waktu yang lama bahkan banyak mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang bukan merupakan sasaran militer.51 Pada tahun 2003 unmanned drones diterbangkan dari pangkalan militer Amerika Serikat dari Camp Lemonnier di Djibouti untuk tujuan yang sama di Yaman. Unmanned drones Amerika Serikat telah digunakan untuk serangan mematikan di Afghanistan, Irak, Yaman, dan Somalia dengan tugas melakukan pembunuhan terutama di Pakistan sejak tahun 2004.52 Serangan Amerika Serikat tersebut dilakukan di negara yang tidak sedang berperang dengan dirinya, penyerangan tersebut untuk membunuh dan menghapuskan kelompok teroris seperti Al-Qaeda, Taliban dan juga kelompok sekutu lainnya. Serangan tersebut dilakukan dengan menggunakan unmanned drones yang merupakan sebuah pesawat tanpa awak yang dikontrol dari jarak jauh. Penggunaan unmanned drones dalam serangan Amerika Serikat di Pakistan sejak tahun 2004 dengan total serangan mencapai 400 serangan menuai banyak kritikan dan pertanyaan. Baik dari segi legalitas senjata yang digunakan berdasarkan hukum humaniter, pelanggaran kedaulatan terhadap wilayah 50 Serangan pesawat tanpa awak (UAV) 2004-2009, www.mirror.unpad.ac.id, diakses pada tangal 30 November 2014. 51 Ibid. 52 Rick Rozoff, Drone: Pesawat Pembunuh Amerika, www.akhirzaman.info, diakses pada tanggal 30 November 2014. 51 Pakistan, pemenuhan prinsip-prinsip hukum perang dalam penggunaan unmanned drones di Pakistan, dan prinsip pembedaan. Pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata harus membedakan antara sasaran perang (kombatan) dengan orang sipil (non-kombatan). Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang. Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi orang sipil dan objek sipil. Unmanned drones merupakan sebuah persenjataan yang baru yang digunakan dalam situasi perang, sehingga unmanned drones tidak secara tertulis dilarang ataupun dianggap sebagai alat yang dapat menimbulkan tindakan tidak pandang bulu (indiscriminate) atau penipuan (perfidy). Sistem persenjataan yang digunakan AS di Pakistan menggunakan MQ-1 dan MQ-9 Reaper Drone dikontrol melalui satelit dari bandara angkatan udara yang berlokasi di Amerika Serikat, dari tempat tersebut, pilot dapat melihat secara langsung melalui kamera drones, mengontrol pergerakannya, memilih target, dan menembakkan senjatanya. Dengan berat hanya sekitar 1,000 pounds, drones dapat menghabiskan waktu 24 jam di udara, terbang pada ketinggian 26.000 kaki. 53 Ketika target dikunci oleh pilot, maka pesawat akan mengontrol misil kepada target dengan kemungkinan tepat sasaran yang tinggi. Sedangkan Reaper yang lebih besar dapat membawa 14 hellfire missile atau 4 hellfire missle dengan 500 pound bom yang penggunaanya diyakini memberikan dampak kerusakan yang parah.54 53 Samuel Dorion Wyer, Targeted killing in The war On Terror: The history and Legality of US Practice, Middlebury College, 2012, hlm.32. 54 Hellfire morality and strategy, www.stratfor.com, diakses pada tanggal 14 Oktober 2014. 52 Kemampuan ini membuat unmanned drones diyakini sebagai senjata yang lebih baik dalam memilih target daripada pesawat berawak, sehingga dalam hukum internasional unmanned drones dianggap tidak berbeda dengan senjata yang diluncurkan dari pesawat berawak seperti helikopter atau pesawat tempur lainnya. Menurut hal tersebut unmanned drones merupakan sistem persenjataan yang tidak bertentangan dengan hukum humaniter mengenai penggunaan senjata. Penggunaan unmanned drones harus tunduk pada hukum internasional55 dan memenuhi prinsip hukum humaniter seperti proporsionalitas dan pembedaan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah penggunaan unmanned drones dalam kekuatan bersenjata haruslah memperhitungkan apakah penggunaannya akan mengakibatkan kerugian terhadap rakyat sipil atau tidak.56 Amerika Serikat harus membedakan antara kombatan, penduduk sipil yang terlibat dalam peperangan dan penduduk sipil yang dilindungi, antara target teroris dan masyarakat sipil. 55 Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata harus sesuai hukum , http://icrcjakarta.info, diakses pada tanggal 28 November 2014. 56 Witny Tanod Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional1, hlm. 193. 53 Berikut ini adalah beberapa data korban unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan : Serangan Drones Amerika Serikat , Statistik Perhitungan menurut New America Foundation hingga 8 February 2013. 57 Year Number of Number Killed Attacks Min Max 2004 1 5 8 2005 3 12 13 2006 2 90 102 2007 4 48 77 2008 36 219 344 2009 54 350 721 2010 122 608 1,028 2011 72 366 599 2012 48 222 349 2013 8 47 58 Total 350 1,967 3,299 Menurut data di atas terlihat bahwa total serangan yang dilakukan AS di Pakistan hingga 8 Januari 2013 sebanyak 350 serangan, angka minimal kematian adalah 1.967 dan maksimal 3.299 orang. 57 The Year of the Drone: An Analysis of U.S. Drone Strikes in Pakistan, 2004–2012". New America Foundation.http://counterterrorism.newamerica.net/drones, diakses pada 10 September 2014. 54 The Bureau of Investigative Journalism memperkirakan hasil di bawah ini mengenai serangan Drones hingga Januari 2013. 58 a. Total serangan: 362 b. Total korban terbunuh yang dilaporkan: 2,629 – 3,461 c. Korban sipil yang terbunuh : 475 – 891 d. Korban anak-anak yang terbunuh: 176 e. Total korban yang dilaporkan terluka : 1,267 – 1,431 f. Serangan di bawah komando Pemerintahan Bush : 52 g. Serangan di bawah komando Pemerintahan Obama : 310 Selain di Pakistan, serangan unmanned drones Amerika Serikat di beberapa negara lain juga menimbulkan banyak korban jiwa dari kalangan penduduk sipil. Korban serangan unmanned drones Amerika Serikat di Afganistan berjumlah 1.963 dan 3.293, di Somalia antara 3.072 sampai 4.756 orang, sedangkan serangan unmanned drones di Yaman berjumlah 55-65 serangan, total terbunuh 269-389 orang, anak terbunuh 5 orang serta dengan serangan tambahan berjumlah 83-102 serangan, dengan data total terbunuh 302481 orang, terluka 81-108 orang dan serangan operasi lain berjumlah 12-77 serangan, dengan korban terbunuh 144-380 orang, anak-anak 24-26 orang serta korban terluka 22-114 orang. Selain itu serangan terhadap negara Somalia dengan total serangan 4-10, total terbunuh 9-30 orang, terluka 2-24 orang serta meliputi 58 Woods, Chris; Lamb, Christina (4 February 2012). "Obama terror drones: CIA tactics in Pakistan include targeting rescuers and funerals".Bureau of Investigative Journalism. Diakses di www.thebureauinvestigates.com/2012/02/04/obama-terror-drones-cia-tactics-in-pakistaninclude-targeting-rescuers-and-funerals, diakses pada 12 September 2014. 55 serangan pada operasi lainnya berjumlah 8-15 serangan, total terbunuh 48-150 orang, anak-anak 1-3 orang.59 Menurut data di atas penggunaan unmanned drones yang dianggap sebagai senjata yang lebih baik dalam memilih target tidak terpenuhi, walaupun unmanned drones dianggap membuat serangan menjadi lebih tepat sasaran, namun tetap saja dalam praktiknya unmanned drones telah salah membunuh atau melukai warga sipil sehingga tidak memenuhi prinsip pembedaan, dimana para korban tidak hanya teroris tetapi juga mengenai para penduduk sipil dan anakanak yang seharusnya tidak diperbolehkan menjadi target dalam penyerangan. Anak-anak harus dilindungi dari berbagai bentuk penyerangan seperti yang tertuang dalam Konvensi Jenewa keempat dengan menyatakan bahwa “children shall be the object of special respect and shall be protected against any form of indecent assault”. Penggunaan kata “shall” membuat sebuah pengaturan yang bersifat perintah dalam bentuk kewajiban dan para pihak wajib untuk melaksanakan peraturan dari untuk melindungi anak-anak dari berbagai serangan yang tidak layak, termasuk menjadi target sebuah misil. Protokol 1 Konvensi Jenewa Pasal 51 ayat 5 huruf (b) menjelaskan bahwa dalam konteks perlindungan terhadap non-kombatan, serangan yang dilarang adalah termasuk segala jenis serangan yang diharapkan dapat menyebabkan kematian penduduk sipil dan yang dapat menimbulkan kerusakan berlebihan. Ini berarti bahwa Amerika Serikat dengan dronesnya telah melanggar military necessity dan terjadi penderitaan yang berlebihan (unnecessary sufferings) yang 59 The Bureau of Investigative Journalism, Covert www.thebureauinvestigates.com, diakses pada tanggal 30 November 2014. Drone War, 56 bertentangan dengan asas proporsionalitas, sebab keunggulan militer yang dicapai tidak berimbang dengan korban dan kerusakan yang ditimbulkan. Penggunaan unmanned drones tidak berbeda dengan penggunaan senjata lainnya dalam perang, meskipun operator sistem senjata yang dikendalikan berlokasi jauh dari medan tempur, mereka tetap mengoperasikan sistem persenjataan, melakukan identifikasi target, dan menembakkan misil. Mereka secara umum beroperasi di bawah rantai komando, maka menurut hukum humaniter internasional, operator pesawat tanpa awak, dan rantai komando mereka bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi. Fakta bahwa mereka berada ribuan kilometer dari medan tempur, tidak menghilangkan tanggung jawab operator dan rantai komando, yang mana termasuk menjunjung prinsip proporsionalitas dan pembedaan, serta mengambil langkah kehati-hatian dalam melakukan serangan, sehingga operator unmanned drones tidak berbeda dengan helikopter atau pesawat tempur lainnya sejauh terkait kewajiban mereka untuk taat pada hukum humaniter internasional terkait, dan mereka tidaklah berbeda sejauh terkait menjadi sasaran berdasarkan aturan hukum humaniter internasional. Berdasarkan yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa penyerangan dengan menggunakan unmanned drones menuai kontroversi mengenai pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Amerika Serikat dengan menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara dimana para teroris bersembunyi. 57 Artikel 2 (4) Piagam PBB melarang penggunaan kekuatan bersenjata dalam wilayah negara lain dengan pengecualian bahwa negara tersebut memberi kewenangan atau menyetujui, negara tersebut tidak mampu dalam mengatasi kelompok-kelompok separatis yang mengancam negara penyerang atau negara penyerang bergerak atas hak self-defense yang diatur dalam Piagam PBB Pasal 51.60 Pakistan secara tegas menolak serangan-serangan unmanned drones Amerika Serikat yang menyerang di wilayahnya. Di lain pihak Pemerintah Pakistan dilaporkan telah menyetujui dan bekerjasama dengan langkah-langkah Amerika Serikat dalam usaha kontra-terorisme dengan mengijinkan pesawat Amerika Serikat terbang di bandara Shamsi yang dekat dengan perbatasan Afghanistan dan kadang mengikutsertakan intelijen mereka dalam penargetan.61 Hal ini mengaburkan legalitas serangan Amerika Serikat berdasarkan hukum humaniter. Amerika Serikat dan Pakistan memang merupakan mitra dalam perang melawan terorisme. Amerika Serikat meminta Pakistan untuk memaninkan peran konstruktif dalam upaya mencapai perdamaian di Afghanistan. Pakistan diharap dapat menjembatani dialog dengan Taliban, karena Pakistan dianggap memiliki 60 Pasal 51 Piagam PBB: Tidak ada suatu ketentuan dalam Piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan- tindakan yang diambil oleh Anggota-anggota dalam mclaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut Piagam ini untuk pada setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan intemasional. 61 Samuel Dorion Wyer, Op.Cit . hlm 43 58 hubungan sejarah dengan kelompok Taliban.62 Amerika Serikat menganggap Pakistan tidak mampu untuk menghentikan tindakan terorisme yang dilakukan oleh kelompok taliban tersebut dan melakukan penyerangan terhadap teroris di wilayah Pakistan tanpa persetujuan dari pihak Pakistan. Sejak saat itulah hubungan antara Amerika Serikat dan Pakistan memanas. Pakistan keberatan dengan penyerangan unmanned drones di wilayahnya. Penggunaan kekuatan bersenjata oleh Amerika Serikat di Pakistan dapat dianggap tidak melanggar kedaulatan Pakistan apabila diperlukan dalam self defense sebagai respon dari sebuah serangan bersenjata atau sebagai respon penyerangan 11 September 2001.63 Agar penggunaan kekuatan bersenjata dapat sesuai dengan hukum, negara tuan rumah harus dalam keadaan tidak mampu dalam mengambil langkah-langkah dalam menghadapi kelompok-kelompok separatis. Pakistan dianggap tidak mampu untuk menghentikan kelompok teroris di wilayahnya dan tidak mampu untuk mengadili kelompok teroris transnasional tersebut yang memberikan ancaman terhadap kepentingan Amerika Serikat dan penduduknya. Berdasarkan self defense Amerika Serikat menyatakan berhak untuk menggunakan kekuatan bersenjata di wilayah Pakistan dan wajib untuk menghormati dan mematuhi Hukum Humaniter Internasional yang berlaku. Hal yang serupa terjadi saat operasi penyerangan yang menewaskan Osama Bin Laden, pemimpin Al-Qaeda pada tanggal 2 Mei 2009 di Abbotabad Pakistan. Penyerbuan Osama Bin Laden dianggap telah melanggar kedaulatan 62 Parlemen Pakistan bahas hubungan dengan as, http://www.dw.de, diakses pada tanggal 29 November 2014. 63 Stephen M. Pezzi, The Legality Of Killing Osama Bin Laden, Harvard Law School, National Security Journal. 59 Pakistan, sebab Pemerintah Pakistan menyatakan bahwa penyerbuan tersebut tanpa persetujuan Pemerintah Pakistan untuk menggunakan kekuatan bersenjata di wilayahnya yang dianggap melanggar Artikel 2 paragraf (4) Piagam PBB. Operasi ini didukung berdasarkan artikel 51 Piagam PBB mengenai hak self defense yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Bin laden dipercaya berkelanjutan merencanakan further terrorist attacks on US. Selain itu, Leon Panetta yang merupakan direktur CIA mengatakan bahwa Pakistan tidak mampu dalam menangani terorisme di wilayahnya sebab tempat persembunyian Bin Laden tidak jauh dari akademi militer Pakistan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Pakistan untuk mendampingi AS dalam melawan terorisme.64 Hal tersebut dapat dikaitkan dengan ketidakmauan atau ketidakmampuan Pakistan untuk menghapuskan ancaman teroris sehingga pembunuhan Osama dapat dilegalkan berdasarkan self defense. Perkembangan sekarang ini penggunaan hak bela diri suatu negara telah berkembang dengan adanya konsep baru mengenai hak bela diri yang telah dilakukan oleh beberapa negara dan bahkan telah meninggalkan ketentuanketentuan yang telah ditetapkan oleh PBB.65 Dalam melakukan serangan militer dalam rangka hak bela diri tersebut harus mempertimbangkan: (i) asas proporsionalitas mengenai keseimbangan kekuatan dari kedua belah pihak yang ada, (ii) masih berlangsung konflik antara kedua belah pihak, (iii) asas pembuktian secara hukum dan (iv) kewajiban untuk segera melaporkan kepada 64 Stephen M. Pezzi, The Legality Of Killing Osama Bin Laden, Harvard Law School, National Security Journal. 65 Sumaryono Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT.Tatanusa, jakarta, 2007, hlm.142. 60 Dewan Keamanan PBB mengenai tindakan yang dilakukan dalam rangka hak bela diri tersebut.66 Penggunaan senjata dalam tindakan pembelaan diri adalah terbatas, dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip hukum humaniter internasional harus diberlakukan walaupun menyangkut hak pembelaan diri yang memiliki aspek mendesak dan inheren.67 Penggunaan unmanned drones dalam serangan Amerika Serikat bertentangan dengan prinsip military necessity, proportionality, humanity, limitation, dan distinction. Pertama, bila ditinjau dari prinsip military necessity. Penggunaan unmanned drones dapat memperbesar kemungkinan keberhasilan suatu operasi militer, namun hal itu tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaannya bila melihat penggunaan unmanned drones ini lewat kesesuaiannya dengan prinsip yang lain, khususnya prinsip Proportionality dan juga prinsip Distinction. Penggunaan unmanned drones melanggar prinsip proportionality, banyaknya infrastruktur sipil yang hancur hanya demi melumpuhkan suatu target menjadi kekurangan dari penggunaan unmanned drones dari segi ini. Selain itu masih tingginya angka kematian korban non-target maupun nonkombatan yang dihasilkan dari serangan unmanned drones ini masih terbilang tinggi. Selain itu ada juga permasalahan mengenai kemampuan unmanned drones dalam membedakan kombatan dengan non-kombatan atau warga sipil, banyaknya kejadiaan unmanned drones salah sasaran mempertanyakan kemampuan 66 Ibid, hlm.144. D. J. Harris, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, Sweet & Maxwell, London, 2004. hlm. 889 . 67 61 unmanned drones ini untuk memenuhi prinsip distinction dari Hukum Humaniter Internasional. Akibat dari penggunaan unmanned drones juga menimbulkan dampak trauma pada orang-orang yang selamat dari penyerangan unmanned drones. Hal ini menjadikan unmanned drones memiliki kemampuan untuk melakukan teror terhadap targetnya, sehingga menimbulkan trauma berkepanjangan baik bagi target maupun penduduk sipil yang berdekatan dengan lokasi unmanned drones tersebut, padahal dalam ketentuan Hukum Humaniter Internasional, penggunaan senjata yang memiliki dampak jangka panjang dan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu tidak dapat dibenarkan, dan hal ini juga berarti tidak sejalan dengan prinsip limitation yang dimiliki oleh Hukum Humaniter Internasional. Banyaknya dampak negatif dari penggunaan unmanned drones sebagai salah satu instrumen perang perlu ditinjau lebih jauh lagi baik dari segi legalitas maupun efektifitasnya di medan perang. Unmanned drones mengudara dengan misil selama 24 jam di atas rumah penduduk untuk mengawasi setiap pergerakan teroris. Menembaki para teroris atau individu yang dianggap terlibat dengan aktifitas terorisme. Hal ini tentu memberi potensi dampak psikologis dari unmanned drones yang timbul dengan beterbangan di atas tempat tinggal mereka selama berjam-jam atau berhari-hari tanpa akhir. Hal ini berdampak terhadap ketakutan masyarakat untuk beraktifitas di luar rumah, dengan banyaknya kerabat mereka yang meninggal akibat serangan unmanned drones. Mereka takut untuk mendatangi pernikahan atau pemakaman, sebab bisa saja operator drones di 62 Amerika Serikat salah menafsirkan mereka sebagai kumpulan dari Taliban atau Al-Qaeda.68 Anak-anak juga takut untuk pergi ke sekolah dan bermain di luar rumah. Terhadap hal ini, penulis beranggapan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di atas pemukiman penduduk tidak hanya membunuh penduduk yang tidak bersalah namun juga telah memberikan rasa trauma dan secara tidak langsung memberikan perasaan tidak aman dan nyaman, memberikan ancaman dan mengintimidasi penduduk sipil. Hal ini serupa dengan dampak yang ditimbulkan dari sebuah tindakan terorisme. Kematian penduduk sipil terutama wanita dan anak-anak yang seharusnya dilindungi dalam sebuah konflik bersenjata, terlebih bahwa kematian tersebut bukan dalam jumlah yang sedikit dan memiliki dampak dalam waktu panjang. 68 Drone attacks Pakistan counterproductive report, http://guardiannews.com, diakses pada tanggal 30 November 2014. 63 BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Legalitas penggunaan unmanned drone dalam sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional. Penggunaan unmanned drone dalam sengketa bersenjata belum diatur secara tegas dalam hukum humaniter internasional. Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 menyebutkan, untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada. Dilihat dari prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, unmanned drone merupakan senjata yang ilegal penggunaannya dalam sengketa bersenjata internasional. Menurut Pasal 22 Hague Regulations Tahun 1907 para pihak yang bersengketa tidak dapat menggunakan senjata yang dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan (superflous injury) atau penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). Penggunaan unmanned drones bertentangan dengan Pasal 22 Hague Regulations Tahun 1907 karena dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap obyek sasarannya sehingga menyebabkan penduduk baik kombatan maupun non-kombatan terluka bahkan mati. Pasal 23 huruf (e) menyebutkan bahwa para pihak dalam berperang harus memperhatikan prinsip 64 proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan, dan penderitaan, yang berlebihan. Aturan mengenai larangan penggunaan unmanned drones diperjelas di dalam Ketentuan Protokol Tambahan I Tahun 1977 Pasal 35 yang melarang penggunaan senjata, proyektil dan bahan peledak serta metode perang alam untuk menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 2. Serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional. Serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 merupakan pelanggaran kedaulatan negara lain. Tindakan perang melawan terror (war on teror) sebagai upaya pertahanan diri (self defence) yang dilakukan Amerika Serikat melanggar ketentuan hukum internasional yang termuat dalam Piagam PBB, Artikel 2 paragraf (4) tentang larangan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional. Operasi militer Amerika Serikat untuk menangkap teroris melanggar prinsip proportionality karena menyebabkan korban di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan tersebut. Serangan Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 yang menimbulkan banyak korban jiwa dari penduduk sipil tersebut dilarang dalam prinsip humanity. 65 Penggunaan unmanned drones Amerika Serikat untuk melakukan operasi militer di Pakistan menimbulkan trauma pada penduduk sipil yang selamat dari serangan unmanned drones. Penggunaan senjata yang memiliki dampak jangka panjang dan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu tidak dapat dibenarkan dalam ketentuan Hukum Humaniter Internasional karena tidak sejalan dengan prinsip limitation hukum humaniter internasional. B. Saran 1. Perlunya dibuat peraturan yang mengatur penggunaan unmanned drone dalam konflik bersenjata agar tidak menimbulkan korban yang berlebihan dan memberikan batasan-batasan yang dipandang pantas dalam penggunaan unmanned drone ini. 2. Amerika Serikat selaku negara yang menggunakan unmanned drones dalam melakukan serangan terhadap teroris sebagai bentuk self-defense harus patuh terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, sebab walaupun setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya, namun kewajiban tersebut harus seimbang terhadap kewajiban untuk melindungi kehidupan penduduk sipil yang tidak bersalah dalam konflik antara negara dan teroris. DAFTAR PUSTAKA BUKU : Ambarwati, dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers. D. J. Harris, 2004, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, Sweet & Maxwell, London. Haryomataram, 1994, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press. Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing. Kansil, C.S.T , 1999, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes, Ety R, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni. Mauna, Boer, 2005, Hukum Iinternasional Edisi ke-2, Bandung : PT Alumni. Parthiana, I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju. Permanasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: International Committee of The Redcross Rudy , T.May, 2002, Hukum Internasional 2, Bandung : PT.Refika Aditama. Rusman, Rina, 2010, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers. Supriyadi, Dedi, 2013, Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi), Bandung : CV Pustaka Setia. Suryokusumo, Sumaryono. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta: PT.Tatanusa. Starke , J.G, 1992, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika. Thontowi, Jawahir dan Iskandar, Pranoto, 2006. Hukum Internasional, Bandung:Refika Aditama. Wallace , Rebecca M.M, 1993, International Law, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang Press. Wyer, Samuel Dorion, 2012, Targeted killing in The war On Terror: The history and Legality of US Practice, Middlebury College. SUMBER LAIN : Tanod, Witny, 2013, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional . Lex Crimen, Volume 2 Nomor 1. Pictet, Jean, The Principles of International Humanitarian Law, Geneva, International Committee of The Red Cross. M. Pezzi, Stephen. The Legality Of Killing Osama Bin Laden, Harvard Law School, National Security Journal. ICRC Overview. IHL and Other Legal Regimes – Jus Ad Bellum and Jus In Bello, diakses pada tanggal 13 Maret 2014, www.icrc.org. Alexander Moseley, Just War Theory, diakses pada 13 Maret 2014, www.iep.utm. Rick Rozoff, Drone: Pesawat Pembunuh Amerika, diakses pada tanggal 30 November 2014, www.akhirzaman.info. Bin Laden Is Dead. Obama Says Doug Mills, New York Times, diakses pada tanggal 10 Maret 2014, www.nytimes.com. History Drones, diakses pada tanggal 23 Mei 2014, www.theuav.com. Pengertian Pesawat Tanpa Awak, diakses pada tanggal 20 Mei 2014, www.wikipedia.org. Jenis-jenis Unmanned www.theuav.com. Drones, diakses pada Asia tenggara teknologi pesawat, diakses pada indodefensetechno.blogspot.com. tanggal 19 Mei 2014, tanggal 19 mei 2014, “The Year of the Drone: An Analysis of U.S. Drone Strikes in Pakistan, 2004– 2012". New America Foundation, diakses pada 10 September 2014. http://counterterrorism.newamerica.net/drones. Woods, Chris; Lamb, Christina (4 February 2012). "Obama terror drones: CIA tactics in Pakistan include targeting rescuers and funerals".Bureau of Investigative Journalism, diakses pada 12 September 2014. www.thebureauinvestigates.com. Morality and strategy, diakses www.stratfor.com/weekly/hellfire. pada 14 Oktober 2014. Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata harus sesuai hukum, diakses pada 6 Oktober 2014. http;//icrcjakarta.info/berita/. Fungsi drone pesawat tanpa awak selain perang, diakses pada tanggal 29 November 2014, www.betabicara.com. The Bureau of Investigative Journalism, Covert Drone War, diakses pada tanggal 30 November 2014, www.thebureauinvestigates.com. Parlemen Pakistan bahas hubungan dengan as, diakses pada tanggal 29 November 2014, http://www.dw.de. Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata harus sesuai hukum , diakses pada tanggal 28 November 2014, http://icrcjakarta.info, UNDANG-UNDANG / KONVENSI INTERNASIONAL: Konvensi Den Haag Tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. Protokol Tambahan Tahun 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional.