2.4 Usaha Mitigasi Bencana Gunung Kelud

advertisement
GUNUNG KELUD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gunung Kelud termasuk dalam tipe
stratovulkan dengan karakteristik letusan eksplosif.
Seperti banyak gunung api lainnya di Pulau Jawa,
Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi
lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng
Eurasia. Sejak tahun 1300 Masehi, gunung ini
tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu
yang relatif pendek (9-25 tahun), menjadikannya sebagai gunung api yang
berbahaya bagi manusia. Kekhasan gunung api ini adalah adanya danau kawah
(hingga akhir tahun 2007) yang membuat lahar letusan sangat cair dan
membahayakan penduduk sekitarnya. Akibat aktivitas tahun 2007 yang
memunculkan kubah lava, danau kawah nyaris sirna dan tersisa semacam kubangan
air. Puncak-puncak yang ada sekarang merupakan sisa dari letusan besar masa lalu
yang meruntuhkan bagian puncak purba. Dinding di sisi barat daya runtuh terbuka
sehingga kompleks kawah terbuka. Puncak Kelud adalah yang tertinggi, berposisi
agak di timur laut kawah. Puncak-puncak lainnya adalah Puncak Gajahmungkur di
sisi barat dan Puncak Sumbing di sisi selatan.
Peristiwa meletusnya Gunung Kelud, Jawa Timur, mendapatkan perhatian
luas dari dunia internasional. Sejumlah media massa dan kantor berita asing
memberitakan peristiwa bencana alam tersebut. Letusan Gunung Kelud kali ini
tercatat menimbulkan dampak yang cukup parah bagi kawasan sekitarnya, seperti
Kabupaten dan Kota Kediri, Blitar, dan Malang. Bencana ini mengakibatkan 35
kelurahan dan tiga kecamatan tertutup abu tebal. Diperkirakan sebanyak 200 ribu
jiwa harus mengungsi dari tempat tinggalnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.
a. Bagaimanakah sejarah Gunung Kelud ?
b. Bagaimanakah klasifikasi Gunung Kelud ?
c. Bagaimanakah dampak dari meletusnya Gunung Kelud ?
d. Bagaimanakah usaha mitigasi bencana Gunung Kelud ?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengenal tentang Gunung Kelud.
b. Untuk mengetahui klasifikasi Gunung Kelud.
c. Untuk mengetahui dampak dari meletusnya Gunung Kelud.
d. Untuk mengetahui usaha mitigasi bencana Gunung Kelud.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Gunung Kelud
2.1.1 Erupsi Gunung Kelud
Gunung Kelud merupakan gunung api strato andesitik yang tergolong masih
aktif, terletak di Jawa Timur . Letusan 1586 merupakan letusan yang paling banyak
menimbulkan korban jiwa yaitu sebanyak 10.000 orang meninggal. Selama abad
20 telah terjadi 7 kali letusan masing-masing pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966,
1990, 2007, dan 2014 dengan jumlah korban jiwa seluruhnya mencapai lebih dari
5500 jiwa.
a. Letusan tahun 1901
Letusan Gunung Kelud terjadi pada tengah
malam antara tanggal 22 dan 23 Mei 1901. Letusan
pertama terjadi sekitar pukul 00.00 – 01.00 WIB.
Selama dua jam aktivitas erupsi semakin meningkat
dan pada pukul 03.00 WIB letusan utama terjadi. Asap
letusan pekat membumbung dari kawah Kelud,
kemudian hujan lapilli mulai terjadi di sekitar Kelud.
Segera setelah lapilli jatuh, diikuti dengan debu basah dan lumpur. Kejadian
selanjutnya berupa hujan abu panas. Di Kediri abu panas mulai turun sekitar pukul
03.30 WIB dan bau belerang tercium di segala tempat. Letusan terdengar sampai
jarak jauh bahkan sampai di Pekalongan. Distribusi hujan abu sampai mencapai
Sukabumi dan Bogor.
Letusan Mei 1901 ini terjadi setelah selang waktu sekitar 37 tahun masa
tenang yaitu sejak letusan tahun 1864. Letusan ini terjadi masih berada di dalam
kawah Kelud dan tidak mengakibatkan hancurnya dinding kawah. Informasi yang
diperoleh menjelang letusan bahwa sekitar 12 hari sebelum letusan terlihat air
danau kawah Kelud mendidih. Zona pendidihan tersebut membentuk lingkaran
besar di permukaan danau kawah. Pada saat letusan sebagian air danau kawah
terlemparkan. Diperkirakan terdapat volume air danau kawah sekitar 38 juta m3
sebelum letusan. Material padat yang dilemparkan gunung Kelud selama letusan
kira- kira 200 juta m3. Korban jiwa cukup banyak namun informasi tentang
jumlahnya tidak jelas. Pada tanggal 11 Juli 1907 dilakukan penggalian di lereng
barat untuk mengurangi volume air danau kawah, namun demikian air danau kawah
hanya berkurang setinggi 7,4 m3 atau pengurangan volume sebesar 4,3 juta m3.
b. Letusan tahun 1919
Letusan tahun 1919 merupakan bencana
terbesar yang dihasilkan oleh aktivitas gunung Kelud
pada abad ke 20, yang mengakibatkan sekitar 5160
orang meninggal. Letusan terjadi pada tengah malam
antara tanggal 19 dan 20 Mei 1919 yang ditandai
dengan suara dentuman amat keras bahkan terdengar
sampai di Kalimantan. Sekitar pukul 01.15 WIB, terdengar suara gemuruh yang
sangat keras dari arah gunung Kelud . Diperkirakan pada saat itulah terjadi letusan
utama. Beberapa saat kemudian hujan abu mulai turun. Selain hujan abu, di daerah
perkebunan di lereng Kelud terjadi hujan batu dan kerikil. Di Darungan hujan batu
cukup hebat sehingga sebagian besar atap rumah hancur. Hujan abu menyebar
akibat tiupan angin terutama ke arah timur. Di Bali hujan abu terjadi pada tanggal
21 Mei 1919. Dari perhitungan endapan abu dapat ditaksir bahwa sekitar 284 juta
m3 abu terlemparkan, jumlah ini setara dengan sekitar 100 juta m3 batuan andesit.
Secara keseluruhan diperkirakan 190 juta m3 material telah keluar dari perut
gunung Kelud. Bencana letusan Gunung Kelud itu sendiri berasal dari kejadian
lahar panas yang menyertainya. Sebelum letusan, volume air danau kawah
mencapai 40 juta m3, air sejumlah itu terlempar keluar kawah pada saat letusan.
Lahar yang terbentuk merupakan lahar primer yang terjadi secara langsung oleh air
danau kawah yang tertumpahkan pada saat letusan. Sekitar pukul 01.30 WIB aliran
lahar yang merupakan campuran dari air panas, lumpur, pasir, serta batu-batuan
memasuki kota Blitar dan menciptakan kehancuran yang hebat. Kecepatan lahar
yang mengalir di kota Blitar sekitar 18 m/detik atau sekitar 65 km/jam. Jarak
maksimum aliran lahar primer mencapai 37,5 km (dihitung dari puncak Kelud).
Letusan 1919 ini mengakibatkan 104 desa rusak berat, kerusakan sawah,
tegal, pekarangan, serta perkebunan kopi, tebu, dan ketela mencapai 20.200 bau
(5050 ha) dan korban binatang sebanyak 1571 ekor. Bencana letusan 1919
memberikan pelajaran bagi pemerintah saat itu untuk mengurangi volume air yang
ada di danau kawah. Dari pengamatan yang dilakukan antara tahun 1901 sampai
1905, diperkirakan air yang masuk ke danau kawah mencapai rata- rata 6,5 juta m3
per tahun. Air yang cukup banyak yang membuat kawah Kelud menjadi danau
harus dikeluarkan sehingga volume air akan terjaga pada volume yang relatif kecil.
Mulai tahun 1920 dibangun terowongan pembuangan air dengan panjang
sekitar 980 m dan garis tengah 2 m. Terowongan tersebut dibuat mulai dari kawah
menuju barat untuk mengalirkan air danau kawah ke Kali Badak, namun demikian
kecelakaan yang disebabkan oleh runtuhnya dinding kawah menyebabkan
pekerjaan pembuatan terowongan dihentikan pada tahun 1923. Pekerjaan
konstruksi terowongan akhirnya selesai tahun 1924. Dengan adanya terowongan
tersebut, ketinggian air dapat dikurangi sebesar 134,5 m dengan volume tersisa
hanya sebesar 1,8 juta m3.
c. Letusan tahun 1951
Dua kali gempa terasa terjadi sekitar 3 minggu
sebelum letusan. Letusan terjadi pada tanggal 31
Agustus 1951. Pukul 06.15 WIB terlihat asap tebal
berwarna putih keluar dari puncak Kelud. Makin lama
makin besar dan disertai dengan suara gemuruh.
Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 06.30 WIB,
terdengar suara letusan. Sesaat terlihat asap tebal
kehitaman membumbung dari kawah Kelud condong ke selatan. Sekitar 4 kali suara
dentuman terdengar dari Wlingi. Tiga puluh menit kemudian di Margomulyo
terjadi hujan batu sebesar buah mangga dan abu. Pandangan mata hanya dapat
mencapai 3 – 4 m. Informasi dari Candisewu menyebutkan hujan batu yang
berlangsung sekitar 1 jam, disamping itu juga terasa gempa sebanyak 2 kali. Abu
tercatat turun sampai di Bandung.
Pengamatan menyebutkan bahwa pada saat letusan terjadi angin kencang ke
arah barat. Diperkirakan sekitar 200 juta m3 material dilontarkan selama letusan.
Karena terowongan telah dibangun maka volume air danau kawah sebelum letusan
hanya sekitar 1,8 juta m3. Pada saat letusan, air tersebut sebagian besar diuapkan
dan tidak mengalir sebagai lahar primer besar. Kejadian lahar besar sebagaimana
pada letusan 1919 tidak terjadi. Lahar kecil hanya mencapai jarak maksimal sekitar
12 km jauh lebih kecil dari lahar primer 1919 yang mencapai jarak maksimal sekitar
37 km. Terdapat korban letusan sebanyak 7 orang meninggal, tiga diantaranya
adalah pegawai Dinas Vulkanologi yang bertugas yaitu Suwarnaatmadja, Diman
dan Napan. Sedangkan yang luka-luka sebanyak 157 orang. Sekitar 320 ha areal
perkebunan dan kehutanan rusak.
Gejala menjelang letusan telah diamati sebelumnya yaitu suhu air kawah
naik dari sekitar 28°C pada bulan Februari 1951 menjadi sekitar 40,8°C pada bulan
Agustus 1951. Kenaikan suhu air tersebut berlangsung dalam dua tahap secara
perlahan dari bulan Februari ke pertengahan Agustus (dari 28°C – menjadi 38,5°C)
namun terjadi kenaikan suhu air yang cepat mulai tanggal 19 Agustus 1951 dan
mencapai 40,8°C pada tanggal 24 Agustus, sekitar seminggu sebelum letusan. Pada
keadaan suhu maksimal tersebut warna air danau mulai berubah dari hijau tua ke
hijau muda kekuningan. Gelembung dan buih bertambah banyak dan semakin
melebar. Penurunan suhu air tercatat pada tanggal 26 Agustus. Diperkirakan,
karena tidak ada data sesudahnya sampai kejadian letusan terjadi penurunan secara
pelan-pelan terjadi sejak tanggal 25 Agustus.
d. Letusan tahun 1966
Sesudah letusan tahun 1951, dasar kawah baru lebih rendah 79 m dari pada
dasar kawah sebelumnya. Penurunan dasar kawah ini menyebabkan volume air
danau mencapai sekitar 21,6 juta m3 sebelum letusan 1966. Volume ini jauh lebih
besar dari volume air sebelum letusan 1951 yang hanya 1,8 juta m3. Letusan terjadi
pada tanggal 26 April 1966 pukul 20.15 WIB yang menyebabkan terjadinya lahar
pada alur K. Badak, K. Putih, K. Ngobo, K. Konto, dan K. Semut. Korban manusia
berjumlah 210 orang di daerah Jatilengger dan Atas Kedawung. Letusan ini
menghasilkan tephra sekitar 90 juta meter kubik. Seismograf yang berada di Pos
Margomulyo mencatat gempa terjadi pada 15 menit menjelang letusan. Warna air
danau menjelang letusan juga berubah, dimana sebulan sebelum letusan air yang
semula berwarna hijau tua berubah menjadi hijau kekuningan dan perubahan
tersebut merata di seluruh permukaan kawah. Dua hari menjelang letusan teramati
bahwa warna air berubah kembali seperti semula. Perkembangan perubahan suhu
air kawah tidak teramati demikian pula tumbuhan di sekitar mulut kawah tetap
segar saat menjelang letusan.
e. Letusan tahun 1990
Letusan terjadi pada tanggal 10 Februari
1990, letusan ini merupakan kejadian letusan
Gunung Kelud yang dipantau dengan seksama oleh
Direktorat Vulkanologi yang tergabung dalam suatu
tim khusus yang disebut sebagai Tim Vulkanik
Gunung Kelud. Pemantauan yang dilakukan
menggunakan berbagai metode yaitu seismik, pengukuran suhu, geolistrik potensial
diri, dan pemantauan visual EDM serta Tiltmeter. Volume air danau yang hannya
sekitar 1,8 juta m3 merupakan faktor yang membuat tidak terjadinya lahar panas
pada letusan kali ini. Sebagaimana pada letusan 1951 volume air yang kecil tersebut
teruapkan ketika terjadi letusan.
Letusan terjadi secara beruntun mulai pukul 11.41 WIB sampai 12.21 WIB.
Tahap awal dari letusan merupakan fase freatomagmatik yang mengakibatkan
sebaran abu tipis di sekitar puncak, sedangkan letusan berikutnya lebih besar
dengan lemparan pasir, lapilli, dan batu yang tersebar pada radius 3,5 km2. Jarak
jangkau 1,5 km ke arah timur dan sekitar 5 km ke arah barat, barat laut dan barat
daya. Letusan utamanya berupa letusan plinian dengan awan panas menyusuri
lembah di barat daya sejauh 5 km dari kawah. Letusan tersebut berintensitas sedang
dengan tephra sekitar 130 juta m3. Daerah yang rusak tidak terlalu luas, hanya
dalam jangkauan radius sekitar 2 km dari kawah, namun demikian sebaran abu
letusan jauh lebih luas dan diperkirakan mencapai luasan sekitar 1700 km2.
Kerusakan rumah penduduk dan fasilitas publik pada umumnya disebabkan oleh
hujan abu tersebut. Sekitar 500 rumah dan 50 gedung sekolah rusak, kerusakan
terjadi dalam isopach 10 cm yaitu pada jarak maksimum sekitar 15 km dari puncak,
korban manusia tercatat 32 orang.
Gejala menjelang letusan teramati pada bulan November 1989 yaitu adanya
peningkatan suhu air danau kawah dari sekitar 31 - 34° C menjadi sekitar 35° C.
Suhu permukaan air danau kawah ini secara merata mengalami peningkatan sampai
saat terjadinya letusan, bahkan sampai sekitar 41° C menjelang letusan. Warna air
danau kawah berubah dari hijau muda jernih menjadi hijau muda agak putih.
Tingkat keasamaan air danau meningkat dari pH sekitar 5,5 – 6 pada bulan Oktober
1989 berangsur semakin asam sampai mencapai pH 4,2 pada bulan Januari 1990.
Peningkatan aktivitas seismik mulai terlihat pada tanggal 9 November 1989,
yang ditandai dengan kenaikan jumlah gempa vulkanik yang biasanya kurang dari
satu kejadian per hari menjadi 9 kejadian gempa vulkanik per hari pada tanggal 9
November 1989. Kemudian pada tanggal 20 November 1989 gempa vulkanik
bahkan tercatat sebanyak 40 kali. Jumlah gempa harian kemudian mengalami
penurunan dari tanggal 22 November sampai minggu pertama Januari 1990. Secara
rata- rata penurunan tersebut terjadi dari sekitar 12 gempa per hari pada sekitar
tanggal 27 November 1989 sampai hanya sekitar 1-2 gempa per hari pada awal
Januari.
Penurunan kejadian gempa ini diakhiri dengan munculnya tremor antara
tanggal 3 – 9 Januari 1990. Kejadian tremor ini yang mengakhiri kecenderungan
penurunan dan juga menjadi awal peningkatan secara mencolok aktivitas
kegempaannya. Dari tanggal 14 januari sampai 21 januari merupakan episode
dimana aktivitas gempa vulkanik cukup intensif. Tanggal 22 Januari sampai 8
Februari merupakan periode tenang. Gempa vulkanik tidak lebih dari 5 gempa per
hari. Pada periode ini terjadi peningkatan derau akustik di dalam danau kawah .
Intensitas derau meningkat sekitar 4 kali lipat dari rata- rata ambang sebelumnya.
Kejadian letusan diawali dengan munculnya swarm gempa vulkanik pada tanggal
9 Februari pada pukul 12.17 WIB. Secara cepat gempa meningkat dan pada tanggal
10 Februari muncul tremor vulkanik pada pukul 09.32 WIB dengan amplitudo yang
semakin membesar dan berlanjut pada kejadian letusan.
f. Letusan tahun 2007
Aktivitas gunung ini meningkat pada akhir
September 2007 dan masih terus berlanjut hingga
November tahun yang sama, ditandai dengan
meningkatnya suhu air danau kawah, peningkatan
kegempaan tremor, serta perubahan warna danau
kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Status
“awas” (tertinggi) dikeluarkan oleh Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sejak 16 Oktober 2007 yang
berimplikasi penduduk dalam radius 10 km dari gunung (lebih kurang 135.000
jiwa) yang tinggal di lereng gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak
terjadi.
Setelah sempat agak mereda, aktivitas Gunung Kelud kembali meningkat
sejak 30 Oktober 2007 dengan peningkatan pesat suhu air danau kawah dan
kegempaan vulkanik dangkal. Pada tanggal 3 November 2007 sekitar pukul 16.00
WIB suhu air danau melebihi 74°C, jauh di atas normal gejala letusan sebesar 40
°C, sehingga menyebabkan alat pengukur suhu rusak. Getaran gempa tremor
dengan amplitudo besar (lebih dari 35 mm) menyebabkan petugas pengawas harus
mengungsi, namun kembali tidak terjadi letusan.
Akibat aktivitas tinggi tersebut terjadi gejala unik yang baru terjadi dalam
sejarah Kelud dengan munculnya asap putih dari tengah danau diikuti dengan kubah
lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 November 2007 dan terus
“tumbuh” hingga berukuran selebar 100 m. Para ahli menganggap kubah lava inilah
yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Energi
untuk letusan dipakai untuk mendorong kubah lava sisa letusan tahun 1990. Sejak
peristiwa tersebut aktivitas pelepasan energi semakin berkurang dan pada tanggal 8
November 2007 status Gunung Kelud diturunkan menjadi “siaga” (tingkat 3).
g. Letusan tahun 2014
Letusan Kelud 2014 dianggap lebih dahsyat
daripada tahun 1990, meskipun hanya berlangsung
tidak lebih daripada dua hari dan memakan 4
korban jiwa akibat peristiwa ikutan, bukan akibat
langsung letusan. Peningkatan aktivitas sudah
dideteksi di akhir tahun 2013. Namun, situasi
kembali tenang. Baru kemudian diumumkan
peningkatan status dari Normal menjadi Waspada sejak tanggal 2 Februari 2014.
Pada 10 Februari 2014, Gunung Kelud dinaikkan statusnya menjadi Siaga dan
kemudian pada tanggal 13 Februari pukul 21.15 diumumkan status bahaya
tertinggi, Awas (Level IV), sehingga radius 10 km dari puncak harus dikosongkan
dari manusia.
Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, pada pukul 22.50 WIB telah
terjadi letusan pertama tipe ledakan (eksplosif). Erupsi tipe eksplosif seperti pada
tahun 1990 ini (pada tahun 2007 tipenya efusif, yaitu berupa aliran magma)
menyebabkan hujan kerikil yang cukup lebat dirasakan warga di wilayah
Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur, lokasi tempat gunung berapi yang
terkenal aktif ini berada, bahkan hingga kota Pare, Kediri. Wilayah Kecamatan
Wates dijadikan tempat tujuan pengungsian warga yang tinggal dalam radius
sampai 10 km dari kubah lava, sesuai rekomendasi dari Pusat Vulkanologi Mitigasi
dan Bencana Geologi (PVMBG).
Suara ledakan dilaporkan terdengar hingga kota Solo dan Yogyakarta (
berjarak 200 km dari pusat letusan), bahkan Purbalingga (lebih kurang 300 km),
Jawa Tengah. Dampak berupa abu vulkanik pada tanggal 14 Februari 2014 dini hari
dilaporkan warga telah mencapai Kabupaten Ponorogo. Di Yogyakarta, teramati
hampir seluruh wilayah tertutup abu vulkanik yang cukup pekat, melebihi abu
vulkanik dari Merapi pada tahun 2010. Ketebalan abu vulkanik di kawasan
Yogyakarta dan Sleman bahkan diperkirakan lebih dari 2 cm. Dampak abu vulkanik
juga mengarah ke arah barat Jawa, dan dilaporkan sudah mencapai Kabupaten
Ciamis, Bandung, dan beberapa daerah lain di Jawa Barat. Di daerah Madiun dan
Magetan jarak pandang untuk pengendara kendaraan bermotor atau mobil hanya
sekitar 3-5 m karena turunnya abu vulkanik dari letusan Gunung Kelud tersebut
sehingga banyak kendaraan bermotor yang berjalan sangat pelan.
2.1.2 Peta Rawan Bencana Gunung Kelud
Melalui website PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi) kita dapat mengetahui daerah bahaya areal sekitar Gunung Kelud yang
sudah pernah dipetakan sebelumnya. Dengan menggunakan Google Earth maka
peta rawan di atas dapat di-tampal (overlay), sehingga dapat dilihat bagaimana kirakira dampak terhadap penduduk sekitarnya. Menurut peta rawan bencana di atas,
arah pergerakan lahar dari Gunung Kelud ini diperkirakan ke arah barat. Yang
cukup menghawatirkan adalah daerah sepanjang warna biru (rawan aliran lahar) ini
merupakan daerah yang padat penduduknya. Dengan Google earth akan mudah
diketahui bahwa hampir sepanjang warna biru ini merupakan pemukiman
penduduk.
Wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Kelud dibagi atas beberapa
daerah, yaitu:
a. Kawasan Rawan Bencana III
Daerah Terlarang ( radius 5 km dari kawah dengan luas 91 km2 ) dengan ancaman
hujan bom dan rempah-rempah batuan, awan panas, lahar letusan dan lahar hujan.
Data tahun 1972 menunjukkan hunian 50 orang.
b. Kawasan Rawan Bencana II
Daerah Bahaya I ( radius 10 km dari kawah dengan luas 223 km2 ) dengan ancaman
hujan bom dan rempah-rempah batuan. Daerah ini dihuni oleh 136.500 orang ( data
tahun 1972 ).
c. Kawasan Rawan Bencana I
Daerah Bahaya II ( radius 20 km dari kawah dengan luas 1256 km2) yang
ancamannya lahar sekunder. Daerah ini meliputi bantaran sungai-sungai lahar yang
luasnya 56 km2 dan dihuni oleh 178.000 orang.
2.1.3 Tingkatan Status Gunung Kelud
Secara umum, status gunung berapi di Indonesia dibagi atas 4 status, yakni Normal,
Waspada, Siaga dan Awas. Tingkatan status menunjukkan tingkatan kesiapan suatu
Gunung untuk meletus.
a. Aktif Normal (Level I)
Kegiatan gunung api berdasarkan pengamatan dari hasil visual, kegempaan dan
gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
b. Waspada (Level II)
Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang tampak secara visual atau hasil
pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya.
c. Siaga (Level III)
Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah,
kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan
kegiatan cenderung diikuti letusan.
d. Awas (Level IV)
Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan
analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan utama.
2.1.4 PVMBG (Pusat Vukanologi dan Mitigasi Bencana Geologi)
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Centre of Volcanology
and Geological Hazard Mitigation) atau yang lebih dikenal dengan istilah PVMBG
adalah salah satu unit di lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral yang bertugas melaksanakan perumusan kebijaksanaan,
standardisasi, bimbingan teknis dan evaluasi bidang vulkanologi dan mitigasi
bencana alam geologi. Lembaga ini bertujuan untuk melakukan pengelolaan
informasi potensi kegunungapian dan pengelolaan mitigasi bencana alam geologi,
sedangkan misi yang diemban adalah meminimalkan korban jiwa manusia dan
kerugian harta benda dari bencana geologi.
Lembaga ini dibentuk setelah meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur
tahun 1919. Pada tanggal 16 September 1920 dibentuk Vulkaan Bewakings Dients
(Dinas Penjagaan Gunung Api) di bawah Dients Van Het Mijnwezen. Pada tahun
1922 diresmikan menjadi Volcanologische Onderzoek (VO), yang kemudian pada
tahun 1939 dikenal sebagai Volcanological Survey.
Dalam kurun waktu tahun 1920-1941, Volcanologische Onderzoek
membangun sejumlah pos penjagaan gunung api, yaitu Pos Gunung Krakatau di
Pulau Panjang, Pos Gunung Tangkuban Perahu, Pos Gunung Papandayan, Pos
Kawah Kamojang, Pos Gunung Merapi (Babadan, Krinjing, Plawangan, Ngepos),
Pos Gunung Kelud, Pos Gunung Semeru, serta Pos Kawah Ijen. Selama
pendudukan Jepang, kegiatan penjagaan gunung api ditangani oleh Kazan Chosabu.
Setelah Indonesia merdeka, dibentuk Dinas Gunung Berapi (DGB) di bawah
Jawatan Pertambangan. Tahun 1966 diubah menjadi Urusan Vulkanologi di bawah
Direktorat Geologi. Pada tahun 1976 berubah lagi menjadi Sub Direktorat
Vulkanologi di bawah Direktorat Geologi, Departemen Pertambangan.
Pada tahun 1978 dibentuk Direktorat Vulkanologi di bawah Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi. Tahun
1992 dibentuk Direktorat Vulkanologi di bawah Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral.
Pada tahun 2001, urusan gunung api, gerakan tanah, gempabumi, tsunami, erosi
dan sedimentasi ditangani oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi. Setelah bergabung dengan Badan Geologi, Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi berubah nama institusinya menjadi Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Di dunia internasional, PVMBG dikenal
dengan sebutan Volcanology Survey Indonesia (VSI). Saat ini dipimpin oleh M.
Hendrasto dan berkantor pusat di Bandung.
2.2 Klasifikasi Gunung Kelud
Untuk menentukan pemilihan prioritas pengamatan, gunung api di
Indonesia dapat di bagi dalam 3 (tiga) golongan yang di dasarkan pada tingkat
aktivitasnya, yaitu:
1. Tipe A
Gunung api yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali
sesudah tahun 1600, jumlahnya 76 buah.
2. Tipe B
Gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatik,
namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara, jumlahnya
29 buah.
3. Tipe C
Gunung api yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia,namun masih
terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola
pada tingkah lemah, jumlahnya 24 buah.
Berdasarkan klasifikasi di atas Gunung Kelud termasuk Gunung dengan
tipe A. Setelah tahun 1600 Gunung Kelud telah meletus paling tidak sebanyak 7
kali yaitu pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007, dan 2014.
Letusan suatu gunung api dapat menyapu daerah seluas lebih kurang 10
sampai 20 km di sekitarnya. Bahaya lahar bisa mencapai puluhan kilometer dari
pusat letusan. Abu gunung api dapat menyebar sejauh ratusan kilometer dan
mengancam keamanan penerbangan serta mempengaruhi suhu seluruh muka bumi.
Pada garis besarnya bahaya gunung api dapat dibagi atas bahaya langsung
(primer) dan bahaya ikutan (sekunder). Bahaya langsung dapat terjadi karena
lemparan batuan seperti lemparan bom, aliran lava, dan hembusan letusan seperti
hembusan awan pijar, gas beracun dan pekatnya hujan abu. Bahaya ikutan adalah
bahaya yang timbul karena aliran lumpur yang tercampur dengan batuan.
2.3 Dampak Meletusnya Gunung Kelud
Meletusnya Gunung Kelud tentu saja memberikan dampak yang besar.
Adapun dampak yang terjadi paska meletusnya Gunung Kelud diantaranya adalah
sebagai berikut.
a. Dampak Negatif
Gunung Kelud yang meletus tentu akan membawa material yang berbahaya
bagi organisme yang dilaluinya, karena itu kewaspadaan mutlak diperlukan.
Berikut ini hal negatif yang bisa terjadi akibat meletusnya Gunung Kelud:
a.) Tercemarnya udara dengan abu gunung berapi yang mengandung bermacammacam gas mulai dari Sulfur Dioksida atau SO2, gas Hidrogen sulfida atau H2S,
NO2 atau Nitrogen Dioksida serta beberapa partikel debu yang berpotensial
meracuni makhluk hidup di sekitarnya.
b.) Dengan meletusnya suatu gunung berapi bisa dipastikan semua aktifitas
penduduk di sekitar wilayah tersebut akan lumpuh termasuk kegiatan ekonomi.
c.) Semua titik perumahan yang dilalui oleh material berbahaya seperti lahar dan
abu vulkanik panas akan rusak.
d.) Lahar yang panas juga akan membuat hutan di sekitar gunung rusak terbakar
dan hal ini berarti ekosistem alamiah hutan terancam.
e.) Material yang dikeluarkan oleh gunung berapi berpotensi menyebabkan
sejumlah penyakit, misalnya saja ISPA.
f.) Desa yang menjadi tempat wisata tentu akan mengalami kemandegan dengan
adanya letusan gunung berapi.
b. Dampak Positif
Selain dampak negatif, jika ditelaah, letusan Gunung Kelud sebenarnya juga
memberikan keuntungan. Adapun keuntungan tersebut adalah sebagai berikut.
a.) Tanah yang dilalui oleh hasil vulkanis gunung berapi sangat baik bagi pertanian
sebab tanah tersebut secara alamiah menjadi lebih subur dan bisa menghasilkan
tanaman yang jauh lebih berkualitas. Tentunya bagi penduduk sekitar pegunungan
yang mayoritas petani, hal ini sangat menguntungkan.
b.) Terdapat mata pencaharian baru bagi rakyat sekitar gunung berapi yang telah
meletus. Material vulkanik seperti pasir dan batu memiliki nilai ekonomis yang
dapat dijual.
c.) Meski ekosistem hutan rusak, namun dalam beberapa waktu, akan tumbuh lagi
pepohonan yang membentuk hutan baru dengan ekosistem yang baru pula.
d.) Setelah gunung meletus, biasanya terdapat geyser atau sumber mata air panas
yang keluar dari dalam bumi dengan berkala atau secara periodik. Geyser ini baik
bagi kesehatan kulit.
e.) Pada wilayah vulkanik, potensial terjadi hujan orografis. Hujan ini potensial
terjadi sebab gunung adalah penangkan hujan yang baik.
f.) Pada wilayah yang sering terjadi letusan gunung berapi, sangat baik didirikan
pembangkit listrik.
2.4 Usaha Mitigasi Bencana Gunung Kelud
2.4.1 Mitigasi Struktural
Usaha mitigasi struktural bencana Gunung Kelud
dilakukan dengan membuat terowongan air. Pekerjaan
engineering terowongan dimulai pada September 1919
dan perlu beberapa tahun untuk diselesaikan. Rencana
awal adalah menggali suatu terowongan sepanjang 955 m.
Ketika pekerjaan dimulai, danau kawah masih kering dan
penggalian terowongan dimulai dari kedua sisi dari
dinding kawah (Bemmelen van, 1949). Oleh karena
temperatur yang tinggi di area kerja penggalian (46°C),
terowongan waktu itu belum diselesaikan hingga tahun
1923. Pada waktu itu danau kawah telah separuh penuh (22 juta m3). Suatu banjir
lumpur dan kerikil yang mendadak memenuhi terowongan membunuh lima
pekerja, sehingga pekerjaan dihentikan.
Rencana baru diputuskan untuk menurunkan level danau secara progresif
dengan pengeboran 7 terowongan paralel dan menggunakan suatu pipa sifon untuk
mengalirkan air danau. Pekerjaan ini akhirnya diselesaikan pada tahun 1926 dan
sukses menurunkan volume danau sampai kurang dari 2 juta m3. Kelud mungkin
merupakan salah satu yang pertama dan contoh yang paling ambisius dari suatu
pekerjaan rancang-bangun yang dibuat di suatu gunung api untuk mengurangi
ancaman dari suatu danau kawah. Letusan 1951 menghasilkan kerusakan kecil. Jika
dibandingkan dengan bencana 1919, lahar menempuh jarak maksimum 6,5 km.
Tetapi, letusan ini memperdalam dan memperlebar lubang kawah sehingga ketika
letusan 1966 terjadi, volume dari air di danau kawah yang telah naik ke lebih dari
23 juta m3. Setelah letusan 1966, suatu terowongan yang baru dibangun 45 m di
bawah lubang yang paling rendah terdahulu dan volume dari air danau berkurang
lagi menjadi 2,5 juta m3.
Beberapa dam dan sabuk juga dibangun pada lereng gunung untuk
mengurangi penyebaran lahar. Tidak ada lahar primer diproduksi oleh letusan
plinian 1990 tetapi sedikitnya terjadi 33 lahar setelah letusan sampai sejauh 24 km
dari kawah ( Thouret et al, 1998).
2.4.2 Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural bencana Gunung Kelud dilakukan dengan
mengadakan sosialisasi dan wajib latih bagi penduduk di kawasan rawan bencana
Gunung Kelud. Konsep wajib latih muncul sebagai alternatif dalam rangka
pengurangan resiko bencana melalui rekayasa sosial peningkatan kapasitas
masyarakat di kawasan rawan bencana. Wajib latih adalah program
berkesinambungan yang diharapkan dapat membentuk budaya siaga bencana pada
masyarakat.
Tujuan wajib latih adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat akan
potensi ancaman bencana, menciptakan dan meningkatkan kesadaran akan resiko
bencana. Sasaran wajib latih adalah penduduk yang berada di kawasan rawan
bencana berusia 17-50 tahun atau sudah menikah, sehat jasmani dan rohani dan
mendapat ijin keluarga. Penyelenggaraan wajib latih dilakukan oleh instansi
pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkompeten di bidangnya
dan dilakukan atas sepengetahuan pemerintah setempat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Selama abad 20 telah terjadi 7 kali letusan Gunung Kelud masing-masing pada
tahun 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007, dan 2014 dengan jumlah korban jiwa
seluruhnya mencapai lebih dari 5500 jiwa.
2. Gunung Kelud termasuk gunung api dengan tipe A dimana pernah mengalami
erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.
3. Meletusnya Gunung Kelud memberikan dampak positif maupun negatif bagi
penduduk dan lingkungan di sekitarnya.
4. Mitigasi struktural bencana Gunung Kelud dilakukan dengan membuat
terowongan untuk mengalirkan air kawah, selain itu juga dilakukan
pembangunan dam dan sabuk di lereng gunung. Mitigasi non-struktural bencana
Gunung Kelud dilakukan dengan mengadakan sosialisasi dan wajiib latih bagi
penduduk di kawasan rawan bencana Gunung Kelud.
GEMPA PADANG
Download