GUNUNG KELUD BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Kelud termasuk dalam tipe stratovulkan dengan karakteristik letusan eksplosif. Seperti banyak gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Sejak tahun 1300 Masehi, gunung ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif pendek (9-25 tahun), menjadikannya sebagai gunung api yang berbahaya bagi manusia. Kekhasan gunung api ini adalah adanya danau kawah (hingga akhir tahun 2007) yang membuat lahar letusan sangat cair dan membahayakan penduduk sekitarnya. Akibat aktivitas tahun 2007 yang memunculkan kubah lava, danau kawah nyaris sirna dan tersisa semacam kubangan air. Puncak-puncak yang ada sekarang merupakan sisa dari letusan besar masa lalu yang meruntuhkan bagian puncak purba. Dinding di sisi barat daya runtuh terbuka sehingga kompleks kawah terbuka. Puncak Kelud adalah yang tertinggi, berposisi agak di timur laut kawah. Puncak-puncak lainnya adalah Puncak Gajahmungkur di sisi barat dan Puncak Sumbing di sisi selatan. Peristiwa meletusnya Gunung Kelud, Jawa Timur, mendapatkan perhatian luas dari dunia internasional. Sejumlah media massa dan kantor berita asing memberitakan peristiwa bencana alam tersebut. Letusan Gunung Kelud kali ini tercatat menimbulkan dampak yang cukup parah bagi kawasan sekitarnya, seperti Kabupaten dan Kota Kediri, Blitar, dan Malang. Bencana ini mengakibatkan 35 kelurahan dan tiga kecamatan tertutup abu tebal. Diperkirakan sebanyak 200 ribu jiwa harus mengungsi dari tempat tinggalnya. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut. a. Bagaimanakah sejarah Gunung Kelud ? b. Bagaimanakah klasifikasi Gunung Kelud ? c. Bagaimanakah dampak dari meletusnya Gunung Kelud ? d. Bagaimanakah usaha mitigasi bencana Gunung Kelud ? 1.3 Tujuan Penulisan Dari rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut. a. Untuk mengenal tentang Gunung Kelud. b. Untuk mengetahui klasifikasi Gunung Kelud. c. Untuk mengetahui dampak dari meletusnya Gunung Kelud. d. Untuk mengetahui usaha mitigasi bencana Gunung Kelud. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Gunung Kelud 2.1.1 Erupsi Gunung Kelud Gunung Kelud merupakan gunung api strato andesitik yang tergolong masih aktif, terletak di Jawa Timur . Letusan 1586 merupakan letusan yang paling banyak menimbulkan korban jiwa yaitu sebanyak 10.000 orang meninggal. Selama abad 20 telah terjadi 7 kali letusan masing-masing pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007, dan 2014 dengan jumlah korban jiwa seluruhnya mencapai lebih dari 5500 jiwa. a. Letusan tahun 1901 Letusan Gunung Kelud terjadi pada tengah malam antara tanggal 22 dan 23 Mei 1901. Letusan pertama terjadi sekitar pukul 00.00 – 01.00 WIB. Selama dua jam aktivitas erupsi semakin meningkat dan pada pukul 03.00 WIB letusan utama terjadi. Asap letusan pekat membumbung dari kawah Kelud, kemudian hujan lapilli mulai terjadi di sekitar Kelud. Segera setelah lapilli jatuh, diikuti dengan debu basah dan lumpur. Kejadian selanjutnya berupa hujan abu panas. Di Kediri abu panas mulai turun sekitar pukul 03.30 WIB dan bau belerang tercium di segala tempat. Letusan terdengar sampai jarak jauh bahkan sampai di Pekalongan. Distribusi hujan abu sampai mencapai Sukabumi dan Bogor. Letusan Mei 1901 ini terjadi setelah selang waktu sekitar 37 tahun masa tenang yaitu sejak letusan tahun 1864. Letusan ini terjadi masih berada di dalam kawah Kelud dan tidak mengakibatkan hancurnya dinding kawah. Informasi yang diperoleh menjelang letusan bahwa sekitar 12 hari sebelum letusan terlihat air danau kawah Kelud mendidih. Zona pendidihan tersebut membentuk lingkaran besar di permukaan danau kawah. Pada saat letusan sebagian air danau kawah terlemparkan. Diperkirakan terdapat volume air danau kawah sekitar 38 juta m3 sebelum letusan. Material padat yang dilemparkan gunung Kelud selama letusan kira- kira 200 juta m3. Korban jiwa cukup banyak namun informasi tentang jumlahnya tidak jelas. Pada tanggal 11 Juli 1907 dilakukan penggalian di lereng barat untuk mengurangi volume air danau kawah, namun demikian air danau kawah hanya berkurang setinggi 7,4 m3 atau pengurangan volume sebesar 4,3 juta m3. b. Letusan tahun 1919 Letusan tahun 1919 merupakan bencana terbesar yang dihasilkan oleh aktivitas gunung Kelud pada abad ke 20, yang mengakibatkan sekitar 5160 orang meninggal. Letusan terjadi pada tengah malam antara tanggal 19 dan 20 Mei 1919 yang ditandai dengan suara dentuman amat keras bahkan terdengar sampai di Kalimantan. Sekitar pukul 01.15 WIB, terdengar suara gemuruh yang sangat keras dari arah gunung Kelud . Diperkirakan pada saat itulah terjadi letusan utama. Beberapa saat kemudian hujan abu mulai turun. Selain hujan abu, di daerah perkebunan di lereng Kelud terjadi hujan batu dan kerikil. Di Darungan hujan batu cukup hebat sehingga sebagian besar atap rumah hancur. Hujan abu menyebar akibat tiupan angin terutama ke arah timur. Di Bali hujan abu terjadi pada tanggal 21 Mei 1919. Dari perhitungan endapan abu dapat ditaksir bahwa sekitar 284 juta m3 abu terlemparkan, jumlah ini setara dengan sekitar 100 juta m3 batuan andesit. Secara keseluruhan diperkirakan 190 juta m3 material telah keluar dari perut gunung Kelud. Bencana letusan Gunung Kelud itu sendiri berasal dari kejadian lahar panas yang menyertainya. Sebelum letusan, volume air danau kawah mencapai 40 juta m3, air sejumlah itu terlempar keluar kawah pada saat letusan. Lahar yang terbentuk merupakan lahar primer yang terjadi secara langsung oleh air danau kawah yang tertumpahkan pada saat letusan. Sekitar pukul 01.30 WIB aliran lahar yang merupakan campuran dari air panas, lumpur, pasir, serta batu-batuan memasuki kota Blitar dan menciptakan kehancuran yang hebat. Kecepatan lahar yang mengalir di kota Blitar sekitar 18 m/detik atau sekitar 65 km/jam. Jarak maksimum aliran lahar primer mencapai 37,5 km (dihitung dari puncak Kelud). Letusan 1919 ini mengakibatkan 104 desa rusak berat, kerusakan sawah, tegal, pekarangan, serta perkebunan kopi, tebu, dan ketela mencapai 20.200 bau (5050 ha) dan korban binatang sebanyak 1571 ekor. Bencana letusan 1919 memberikan pelajaran bagi pemerintah saat itu untuk mengurangi volume air yang ada di danau kawah. Dari pengamatan yang dilakukan antara tahun 1901 sampai 1905, diperkirakan air yang masuk ke danau kawah mencapai rata- rata 6,5 juta m3 per tahun. Air yang cukup banyak yang membuat kawah Kelud menjadi danau harus dikeluarkan sehingga volume air akan terjaga pada volume yang relatif kecil. Mulai tahun 1920 dibangun terowongan pembuangan air dengan panjang sekitar 980 m dan garis tengah 2 m. Terowongan tersebut dibuat mulai dari kawah menuju barat untuk mengalirkan air danau kawah ke Kali Badak, namun demikian kecelakaan yang disebabkan oleh runtuhnya dinding kawah menyebabkan pekerjaan pembuatan terowongan dihentikan pada tahun 1923. Pekerjaan konstruksi terowongan akhirnya selesai tahun 1924. Dengan adanya terowongan tersebut, ketinggian air dapat dikurangi sebesar 134,5 m dengan volume tersisa hanya sebesar 1,8 juta m3. c. Letusan tahun 1951 Dua kali gempa terasa terjadi sekitar 3 minggu sebelum letusan. Letusan terjadi pada tanggal 31 Agustus 1951. Pukul 06.15 WIB terlihat asap tebal berwarna putih keluar dari puncak Kelud. Makin lama makin besar dan disertai dengan suara gemuruh. Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 06.30 WIB, terdengar suara letusan. Sesaat terlihat asap tebal kehitaman membumbung dari kawah Kelud condong ke selatan. Sekitar 4 kali suara dentuman terdengar dari Wlingi. Tiga puluh menit kemudian di Margomulyo terjadi hujan batu sebesar buah mangga dan abu. Pandangan mata hanya dapat mencapai 3 – 4 m. Informasi dari Candisewu menyebutkan hujan batu yang berlangsung sekitar 1 jam, disamping itu juga terasa gempa sebanyak 2 kali. Abu tercatat turun sampai di Bandung. Pengamatan menyebutkan bahwa pada saat letusan terjadi angin kencang ke arah barat. Diperkirakan sekitar 200 juta m3 material dilontarkan selama letusan. Karena terowongan telah dibangun maka volume air danau kawah sebelum letusan hanya sekitar 1,8 juta m3. Pada saat letusan, air tersebut sebagian besar diuapkan dan tidak mengalir sebagai lahar primer besar. Kejadian lahar besar sebagaimana pada letusan 1919 tidak terjadi. Lahar kecil hanya mencapai jarak maksimal sekitar 12 km jauh lebih kecil dari lahar primer 1919 yang mencapai jarak maksimal sekitar 37 km. Terdapat korban letusan sebanyak 7 orang meninggal, tiga diantaranya adalah pegawai Dinas Vulkanologi yang bertugas yaitu Suwarnaatmadja, Diman dan Napan. Sedangkan yang luka-luka sebanyak 157 orang. Sekitar 320 ha areal perkebunan dan kehutanan rusak. Gejala menjelang letusan telah diamati sebelumnya yaitu suhu air kawah naik dari sekitar 28°C pada bulan Februari 1951 menjadi sekitar 40,8°C pada bulan Agustus 1951. Kenaikan suhu air tersebut berlangsung dalam dua tahap secara perlahan dari bulan Februari ke pertengahan Agustus (dari 28°C – menjadi 38,5°C) namun terjadi kenaikan suhu air yang cepat mulai tanggal 19 Agustus 1951 dan mencapai 40,8°C pada tanggal 24 Agustus, sekitar seminggu sebelum letusan. Pada keadaan suhu maksimal tersebut warna air danau mulai berubah dari hijau tua ke hijau muda kekuningan. Gelembung dan buih bertambah banyak dan semakin melebar. Penurunan suhu air tercatat pada tanggal 26 Agustus. Diperkirakan, karena tidak ada data sesudahnya sampai kejadian letusan terjadi penurunan secara pelan-pelan terjadi sejak tanggal 25 Agustus. d. Letusan tahun 1966 Sesudah letusan tahun 1951, dasar kawah baru lebih rendah 79 m dari pada dasar kawah sebelumnya. Penurunan dasar kawah ini menyebabkan volume air danau mencapai sekitar 21,6 juta m3 sebelum letusan 1966. Volume ini jauh lebih besar dari volume air sebelum letusan 1951 yang hanya 1,8 juta m3. Letusan terjadi pada tanggal 26 April 1966 pukul 20.15 WIB yang menyebabkan terjadinya lahar pada alur K. Badak, K. Putih, K. Ngobo, K. Konto, dan K. Semut. Korban manusia berjumlah 210 orang di daerah Jatilengger dan Atas Kedawung. Letusan ini menghasilkan tephra sekitar 90 juta meter kubik. Seismograf yang berada di Pos Margomulyo mencatat gempa terjadi pada 15 menit menjelang letusan. Warna air danau menjelang letusan juga berubah, dimana sebulan sebelum letusan air yang semula berwarna hijau tua berubah menjadi hijau kekuningan dan perubahan tersebut merata di seluruh permukaan kawah. Dua hari menjelang letusan teramati bahwa warna air berubah kembali seperti semula. Perkembangan perubahan suhu air kawah tidak teramati demikian pula tumbuhan di sekitar mulut kawah tetap segar saat menjelang letusan. e. Letusan tahun 1990 Letusan terjadi pada tanggal 10 Februari 1990, letusan ini merupakan kejadian letusan Gunung Kelud yang dipantau dengan seksama oleh Direktorat Vulkanologi yang tergabung dalam suatu tim khusus yang disebut sebagai Tim Vulkanik Gunung Kelud. Pemantauan yang dilakukan menggunakan berbagai metode yaitu seismik, pengukuran suhu, geolistrik potensial diri, dan pemantauan visual EDM serta Tiltmeter. Volume air danau yang hannya sekitar 1,8 juta m3 merupakan faktor yang membuat tidak terjadinya lahar panas pada letusan kali ini. Sebagaimana pada letusan 1951 volume air yang kecil tersebut teruapkan ketika terjadi letusan. Letusan terjadi secara beruntun mulai pukul 11.41 WIB sampai 12.21 WIB. Tahap awal dari letusan merupakan fase freatomagmatik yang mengakibatkan sebaran abu tipis di sekitar puncak, sedangkan letusan berikutnya lebih besar dengan lemparan pasir, lapilli, dan batu yang tersebar pada radius 3,5 km2. Jarak jangkau 1,5 km ke arah timur dan sekitar 5 km ke arah barat, barat laut dan barat daya. Letusan utamanya berupa letusan plinian dengan awan panas menyusuri lembah di barat daya sejauh 5 km dari kawah. Letusan tersebut berintensitas sedang dengan tephra sekitar 130 juta m3. Daerah yang rusak tidak terlalu luas, hanya dalam jangkauan radius sekitar 2 km dari kawah, namun demikian sebaran abu letusan jauh lebih luas dan diperkirakan mencapai luasan sekitar 1700 km2. Kerusakan rumah penduduk dan fasilitas publik pada umumnya disebabkan oleh hujan abu tersebut. Sekitar 500 rumah dan 50 gedung sekolah rusak, kerusakan terjadi dalam isopach 10 cm yaitu pada jarak maksimum sekitar 15 km dari puncak, korban manusia tercatat 32 orang. Gejala menjelang letusan teramati pada bulan November 1989 yaitu adanya peningkatan suhu air danau kawah dari sekitar 31 - 34° C menjadi sekitar 35° C. Suhu permukaan air danau kawah ini secara merata mengalami peningkatan sampai saat terjadinya letusan, bahkan sampai sekitar 41° C menjelang letusan. Warna air danau kawah berubah dari hijau muda jernih menjadi hijau muda agak putih. Tingkat keasamaan air danau meningkat dari pH sekitar 5,5 – 6 pada bulan Oktober 1989 berangsur semakin asam sampai mencapai pH 4,2 pada bulan Januari 1990. Peningkatan aktivitas seismik mulai terlihat pada tanggal 9 November 1989, yang ditandai dengan kenaikan jumlah gempa vulkanik yang biasanya kurang dari satu kejadian per hari menjadi 9 kejadian gempa vulkanik per hari pada tanggal 9 November 1989. Kemudian pada tanggal 20 November 1989 gempa vulkanik bahkan tercatat sebanyak 40 kali. Jumlah gempa harian kemudian mengalami penurunan dari tanggal 22 November sampai minggu pertama Januari 1990. Secara rata- rata penurunan tersebut terjadi dari sekitar 12 gempa per hari pada sekitar tanggal 27 November 1989 sampai hanya sekitar 1-2 gempa per hari pada awal Januari. Penurunan kejadian gempa ini diakhiri dengan munculnya tremor antara tanggal 3 – 9 Januari 1990. Kejadian tremor ini yang mengakhiri kecenderungan penurunan dan juga menjadi awal peningkatan secara mencolok aktivitas kegempaannya. Dari tanggal 14 januari sampai 21 januari merupakan episode dimana aktivitas gempa vulkanik cukup intensif. Tanggal 22 Januari sampai 8 Februari merupakan periode tenang. Gempa vulkanik tidak lebih dari 5 gempa per hari. Pada periode ini terjadi peningkatan derau akustik di dalam danau kawah . Intensitas derau meningkat sekitar 4 kali lipat dari rata- rata ambang sebelumnya. Kejadian letusan diawali dengan munculnya swarm gempa vulkanik pada tanggal 9 Februari pada pukul 12.17 WIB. Secara cepat gempa meningkat dan pada tanggal 10 Februari muncul tremor vulkanik pada pukul 09.32 WIB dengan amplitudo yang semakin membesar dan berlanjut pada kejadian letusan. f. Letusan tahun 2007 Aktivitas gunung ini meningkat pada akhir September 2007 dan masih terus berlanjut hingga November tahun yang sama, ditandai dengan meningkatnya suhu air danau kawah, peningkatan kegempaan tremor, serta perubahan warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Status “awas” (tertinggi) dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sejak 16 Oktober 2007 yang berimplikasi penduduk dalam radius 10 km dari gunung (lebih kurang 135.000 jiwa) yang tinggal di lereng gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi. Setelah sempat agak mereda, aktivitas Gunung Kelud kembali meningkat sejak 30 Oktober 2007 dengan peningkatan pesat suhu air danau kawah dan kegempaan vulkanik dangkal. Pada tanggal 3 November 2007 sekitar pukul 16.00 WIB suhu air danau melebihi 74°C, jauh di atas normal gejala letusan sebesar 40 °C, sehingga menyebabkan alat pengukur suhu rusak. Getaran gempa tremor dengan amplitudo besar (lebih dari 35 mm) menyebabkan petugas pengawas harus mengungsi, namun kembali tidak terjadi letusan. Akibat aktivitas tinggi tersebut terjadi gejala unik yang baru terjadi dalam sejarah Kelud dengan munculnya asap putih dari tengah danau diikuti dengan kubah lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 November 2007 dan terus “tumbuh” hingga berukuran selebar 100 m. Para ahli menganggap kubah lava inilah yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Energi untuk letusan dipakai untuk mendorong kubah lava sisa letusan tahun 1990. Sejak peristiwa tersebut aktivitas pelepasan energi semakin berkurang dan pada tanggal 8 November 2007 status Gunung Kelud diturunkan menjadi “siaga” (tingkat 3). g. Letusan tahun 2014 Letusan Kelud 2014 dianggap lebih dahsyat daripada tahun 1990, meskipun hanya berlangsung tidak lebih daripada dua hari dan memakan 4 korban jiwa akibat peristiwa ikutan, bukan akibat langsung letusan. Peningkatan aktivitas sudah dideteksi di akhir tahun 2013. Namun, situasi kembali tenang. Baru kemudian diumumkan peningkatan status dari Normal menjadi Waspada sejak tanggal 2 Februari 2014. Pada 10 Februari 2014, Gunung Kelud dinaikkan statusnya menjadi Siaga dan kemudian pada tanggal 13 Februari pukul 21.15 diumumkan status bahaya tertinggi, Awas (Level IV), sehingga radius 10 km dari puncak harus dikosongkan dari manusia. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, pada pukul 22.50 WIB telah terjadi letusan pertama tipe ledakan (eksplosif). Erupsi tipe eksplosif seperti pada tahun 1990 ini (pada tahun 2007 tipenya efusif, yaitu berupa aliran magma) menyebabkan hujan kerikil yang cukup lebat dirasakan warga di wilayah Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur, lokasi tempat gunung berapi yang terkenal aktif ini berada, bahkan hingga kota Pare, Kediri. Wilayah Kecamatan Wates dijadikan tempat tujuan pengungsian warga yang tinggal dalam radius sampai 10 km dari kubah lava, sesuai rekomendasi dari Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG). Suara ledakan dilaporkan terdengar hingga kota Solo dan Yogyakarta ( berjarak 200 km dari pusat letusan), bahkan Purbalingga (lebih kurang 300 km), Jawa Tengah. Dampak berupa abu vulkanik pada tanggal 14 Februari 2014 dini hari dilaporkan warga telah mencapai Kabupaten Ponorogo. Di Yogyakarta, teramati hampir seluruh wilayah tertutup abu vulkanik yang cukup pekat, melebihi abu vulkanik dari Merapi pada tahun 2010. Ketebalan abu vulkanik di kawasan Yogyakarta dan Sleman bahkan diperkirakan lebih dari 2 cm. Dampak abu vulkanik juga mengarah ke arah barat Jawa, dan dilaporkan sudah mencapai Kabupaten Ciamis, Bandung, dan beberapa daerah lain di Jawa Barat. Di daerah Madiun dan Magetan jarak pandang untuk pengendara kendaraan bermotor atau mobil hanya sekitar 3-5 m karena turunnya abu vulkanik dari letusan Gunung Kelud tersebut sehingga banyak kendaraan bermotor yang berjalan sangat pelan. 2.1.2 Peta Rawan Bencana Gunung Kelud Melalui website PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) kita dapat mengetahui daerah bahaya areal sekitar Gunung Kelud yang sudah pernah dipetakan sebelumnya. Dengan menggunakan Google Earth maka peta rawan di atas dapat di-tampal (overlay), sehingga dapat dilihat bagaimana kirakira dampak terhadap penduduk sekitarnya. Menurut peta rawan bencana di atas, arah pergerakan lahar dari Gunung Kelud ini diperkirakan ke arah barat. Yang cukup menghawatirkan adalah daerah sepanjang warna biru (rawan aliran lahar) ini merupakan daerah yang padat penduduknya. Dengan Google earth akan mudah diketahui bahwa hampir sepanjang warna biru ini merupakan pemukiman penduduk. Wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Kelud dibagi atas beberapa daerah, yaitu: a. Kawasan Rawan Bencana III Daerah Terlarang ( radius 5 km dari kawah dengan luas 91 km2 ) dengan ancaman hujan bom dan rempah-rempah batuan, awan panas, lahar letusan dan lahar hujan. Data tahun 1972 menunjukkan hunian 50 orang. b. Kawasan Rawan Bencana II Daerah Bahaya I ( radius 10 km dari kawah dengan luas 223 km2 ) dengan ancaman hujan bom dan rempah-rempah batuan. Daerah ini dihuni oleh 136.500 orang ( data tahun 1972 ). c. Kawasan Rawan Bencana I Daerah Bahaya II ( radius 20 km dari kawah dengan luas 1256 km2) yang ancamannya lahar sekunder. Daerah ini meliputi bantaran sungai-sungai lahar yang luasnya 56 km2 dan dihuni oleh 178.000 orang. 2.1.3 Tingkatan Status Gunung Kelud Secara umum, status gunung berapi di Indonesia dibagi atas 4 status, yakni Normal, Waspada, Siaga dan Awas. Tingkatan status menunjukkan tingkatan kesiapan suatu Gunung untuk meletus. a. Aktif Normal (Level I) Kegiatan gunung api berdasarkan pengamatan dari hasil visual, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan adanya kelainan. b. Waspada (Level II) Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya. c. Siaga (Level III) Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan. d. Awas (Level IV) Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan utama. 2.1.4 PVMBG (Pusat Vukanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Centre of Volcanology and Geological Hazard Mitigation) atau yang lebih dikenal dengan istilah PVMBG adalah salah satu unit di lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang bertugas melaksanakan perumusan kebijaksanaan, standardisasi, bimbingan teknis dan evaluasi bidang vulkanologi dan mitigasi bencana alam geologi. Lembaga ini bertujuan untuk melakukan pengelolaan informasi potensi kegunungapian dan pengelolaan mitigasi bencana alam geologi, sedangkan misi yang diemban adalah meminimalkan korban jiwa manusia dan kerugian harta benda dari bencana geologi. Lembaga ini dibentuk setelah meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur tahun 1919. Pada tanggal 16 September 1920 dibentuk Vulkaan Bewakings Dients (Dinas Penjagaan Gunung Api) di bawah Dients Van Het Mijnwezen. Pada tahun 1922 diresmikan menjadi Volcanologische Onderzoek (VO), yang kemudian pada tahun 1939 dikenal sebagai Volcanological Survey. Dalam kurun waktu tahun 1920-1941, Volcanologische Onderzoek membangun sejumlah pos penjagaan gunung api, yaitu Pos Gunung Krakatau di Pulau Panjang, Pos Gunung Tangkuban Perahu, Pos Gunung Papandayan, Pos Kawah Kamojang, Pos Gunung Merapi (Babadan, Krinjing, Plawangan, Ngepos), Pos Gunung Kelud, Pos Gunung Semeru, serta Pos Kawah Ijen. Selama pendudukan Jepang, kegiatan penjagaan gunung api ditangani oleh Kazan Chosabu. Setelah Indonesia merdeka, dibentuk Dinas Gunung Berapi (DGB) di bawah Jawatan Pertambangan. Tahun 1966 diubah menjadi Urusan Vulkanologi di bawah Direktorat Geologi. Pada tahun 1976 berubah lagi menjadi Sub Direktorat Vulkanologi di bawah Direktorat Geologi, Departemen Pertambangan. Pada tahun 1978 dibentuk Direktorat Vulkanologi di bawah Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi. Tahun 1992 dibentuk Direktorat Vulkanologi di bawah Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral. Pada tahun 2001, urusan gunung api, gerakan tanah, gempabumi, tsunami, erosi dan sedimentasi ditangani oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Setelah bergabung dengan Badan Geologi, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berubah nama institusinya menjadi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Di dunia internasional, PVMBG dikenal dengan sebutan Volcanology Survey Indonesia (VSI). Saat ini dipimpin oleh M. Hendrasto dan berkantor pusat di Bandung. 2.2 Klasifikasi Gunung Kelud Untuk menentukan pemilihan prioritas pengamatan, gunung api di Indonesia dapat di bagi dalam 3 (tiga) golongan yang di dasarkan pada tingkat aktivitasnya, yaitu: 1. Tipe A Gunung api yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600, jumlahnya 76 buah. 2. Tipe B Gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara, jumlahnya 29 buah. 3. Tipe C Gunung api yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia,namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah, jumlahnya 24 buah. Berdasarkan klasifikasi di atas Gunung Kelud termasuk Gunung dengan tipe A. Setelah tahun 1600 Gunung Kelud telah meletus paling tidak sebanyak 7 kali yaitu pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007, dan 2014. Letusan suatu gunung api dapat menyapu daerah seluas lebih kurang 10 sampai 20 km di sekitarnya. Bahaya lahar bisa mencapai puluhan kilometer dari pusat letusan. Abu gunung api dapat menyebar sejauh ratusan kilometer dan mengancam keamanan penerbangan serta mempengaruhi suhu seluruh muka bumi. Pada garis besarnya bahaya gunung api dapat dibagi atas bahaya langsung (primer) dan bahaya ikutan (sekunder). Bahaya langsung dapat terjadi karena lemparan batuan seperti lemparan bom, aliran lava, dan hembusan letusan seperti hembusan awan pijar, gas beracun dan pekatnya hujan abu. Bahaya ikutan adalah bahaya yang timbul karena aliran lumpur yang tercampur dengan batuan. 2.3 Dampak Meletusnya Gunung Kelud Meletusnya Gunung Kelud tentu saja memberikan dampak yang besar. Adapun dampak yang terjadi paska meletusnya Gunung Kelud diantaranya adalah sebagai berikut. a. Dampak Negatif Gunung Kelud yang meletus tentu akan membawa material yang berbahaya bagi organisme yang dilaluinya, karena itu kewaspadaan mutlak diperlukan. Berikut ini hal negatif yang bisa terjadi akibat meletusnya Gunung Kelud: a.) Tercemarnya udara dengan abu gunung berapi yang mengandung bermacammacam gas mulai dari Sulfur Dioksida atau SO2, gas Hidrogen sulfida atau H2S, NO2 atau Nitrogen Dioksida serta beberapa partikel debu yang berpotensial meracuni makhluk hidup di sekitarnya. b.) Dengan meletusnya suatu gunung berapi bisa dipastikan semua aktifitas penduduk di sekitar wilayah tersebut akan lumpuh termasuk kegiatan ekonomi. c.) Semua titik perumahan yang dilalui oleh material berbahaya seperti lahar dan abu vulkanik panas akan rusak. d.) Lahar yang panas juga akan membuat hutan di sekitar gunung rusak terbakar dan hal ini berarti ekosistem alamiah hutan terancam. e.) Material yang dikeluarkan oleh gunung berapi berpotensi menyebabkan sejumlah penyakit, misalnya saja ISPA. f.) Desa yang menjadi tempat wisata tentu akan mengalami kemandegan dengan adanya letusan gunung berapi. b. Dampak Positif Selain dampak negatif, jika ditelaah, letusan Gunung Kelud sebenarnya juga memberikan keuntungan. Adapun keuntungan tersebut adalah sebagai berikut. a.) Tanah yang dilalui oleh hasil vulkanis gunung berapi sangat baik bagi pertanian sebab tanah tersebut secara alamiah menjadi lebih subur dan bisa menghasilkan tanaman yang jauh lebih berkualitas. Tentunya bagi penduduk sekitar pegunungan yang mayoritas petani, hal ini sangat menguntungkan. b.) Terdapat mata pencaharian baru bagi rakyat sekitar gunung berapi yang telah meletus. Material vulkanik seperti pasir dan batu memiliki nilai ekonomis yang dapat dijual. c.) Meski ekosistem hutan rusak, namun dalam beberapa waktu, akan tumbuh lagi pepohonan yang membentuk hutan baru dengan ekosistem yang baru pula. d.) Setelah gunung meletus, biasanya terdapat geyser atau sumber mata air panas yang keluar dari dalam bumi dengan berkala atau secara periodik. Geyser ini baik bagi kesehatan kulit. e.) Pada wilayah vulkanik, potensial terjadi hujan orografis. Hujan ini potensial terjadi sebab gunung adalah penangkan hujan yang baik. f.) Pada wilayah yang sering terjadi letusan gunung berapi, sangat baik didirikan pembangkit listrik. 2.4 Usaha Mitigasi Bencana Gunung Kelud 2.4.1 Mitigasi Struktural Usaha mitigasi struktural bencana Gunung Kelud dilakukan dengan membuat terowongan air. Pekerjaan engineering terowongan dimulai pada September 1919 dan perlu beberapa tahun untuk diselesaikan. Rencana awal adalah menggali suatu terowongan sepanjang 955 m. Ketika pekerjaan dimulai, danau kawah masih kering dan penggalian terowongan dimulai dari kedua sisi dari dinding kawah (Bemmelen van, 1949). Oleh karena temperatur yang tinggi di area kerja penggalian (46°C), terowongan waktu itu belum diselesaikan hingga tahun 1923. Pada waktu itu danau kawah telah separuh penuh (22 juta m3). Suatu banjir lumpur dan kerikil yang mendadak memenuhi terowongan membunuh lima pekerja, sehingga pekerjaan dihentikan. Rencana baru diputuskan untuk menurunkan level danau secara progresif dengan pengeboran 7 terowongan paralel dan menggunakan suatu pipa sifon untuk mengalirkan air danau. Pekerjaan ini akhirnya diselesaikan pada tahun 1926 dan sukses menurunkan volume danau sampai kurang dari 2 juta m3. Kelud mungkin merupakan salah satu yang pertama dan contoh yang paling ambisius dari suatu pekerjaan rancang-bangun yang dibuat di suatu gunung api untuk mengurangi ancaman dari suatu danau kawah. Letusan 1951 menghasilkan kerusakan kecil. Jika dibandingkan dengan bencana 1919, lahar menempuh jarak maksimum 6,5 km. Tetapi, letusan ini memperdalam dan memperlebar lubang kawah sehingga ketika letusan 1966 terjadi, volume dari air di danau kawah yang telah naik ke lebih dari 23 juta m3. Setelah letusan 1966, suatu terowongan yang baru dibangun 45 m di bawah lubang yang paling rendah terdahulu dan volume dari air danau berkurang lagi menjadi 2,5 juta m3. Beberapa dam dan sabuk juga dibangun pada lereng gunung untuk mengurangi penyebaran lahar. Tidak ada lahar primer diproduksi oleh letusan plinian 1990 tetapi sedikitnya terjadi 33 lahar setelah letusan sampai sejauh 24 km dari kawah ( Thouret et al, 1998). 2.4.2 Mitigasi Non-Struktural Mitigasi non-struktural bencana Gunung Kelud dilakukan dengan mengadakan sosialisasi dan wajib latih bagi penduduk di kawasan rawan bencana Gunung Kelud. Konsep wajib latih muncul sebagai alternatif dalam rangka pengurangan resiko bencana melalui rekayasa sosial peningkatan kapasitas masyarakat di kawasan rawan bencana. Wajib latih adalah program berkesinambungan yang diharapkan dapat membentuk budaya siaga bencana pada masyarakat. Tujuan wajib latih adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat akan potensi ancaman bencana, menciptakan dan meningkatkan kesadaran akan resiko bencana. Sasaran wajib latih adalah penduduk yang berada di kawasan rawan bencana berusia 17-50 tahun atau sudah menikah, sehat jasmani dan rohani dan mendapat ijin keluarga. Penyelenggaraan wajib latih dilakukan oleh instansi pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkompeten di bidangnya dan dilakukan atas sepengetahuan pemerintah setempat. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Selama abad 20 telah terjadi 7 kali letusan Gunung Kelud masing-masing pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007, dan 2014 dengan jumlah korban jiwa seluruhnya mencapai lebih dari 5500 jiwa. 2. Gunung Kelud termasuk gunung api dengan tipe A dimana pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600. 3. Meletusnya Gunung Kelud memberikan dampak positif maupun negatif bagi penduduk dan lingkungan di sekitarnya. 4. Mitigasi struktural bencana Gunung Kelud dilakukan dengan membuat terowongan untuk mengalirkan air kawah, selain itu juga dilakukan pembangunan dam dan sabuk di lereng gunung. Mitigasi non-struktural bencana Gunung Kelud dilakukan dengan mengadakan sosialisasi dan wajiib latih bagi penduduk di kawasan rawan bencana Gunung Kelud. GEMPA PADANG