KESETARAAN ORNAMEN KALA-MAKARA DENGAN KARANG BHOMA: STUDI KASUS DI PURA DALEM DESA TAMAN POHMANIS The Equivalent of Kala-Makara Ornament with Karang Bhoma: Case Study at Taman Pohmanis Village Dalem Temple Dewa Gede Yadhu Basudewa dan Coleta Palupi Titasari Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana Jl. Pulau Nias No. 13, Denpasar Email: [email protected] Naskah diterima: 24-06-2015; direvisi: 13-08-2015; disetujui: 19-10-2015 Abstract Kala-makara ornament on the door step of temple in Java seems to have similarities with face mask ornamen (Karang Bhoma) on the door step of sacred buildings in Bali. Based on those fact, this research aims to know the equality between those two ornaments. The data were collected using the method of observation and literature study. Then analyzed by qualitative analysis, morphology, contextual, and comparative. The results showed karang bhoma ornament at Dalem Temple of Taman Pohmanis Village is wrapped around by makara in the form of elephant-headed snake. The conception of those ornaments is similar to the conception of kala makara in some temples in Java. On the other hand, kala makara ornament and karang bhoma at Dalem Temple of Taman Pohmanis Village shows a destroyer meaning as repellent reinforcement, immortality, associated with amrtha and fertility of dense forest. The conclusion of this research is there is an equility of form and meaning between kala-makara ornament at Java temple and karang bhoma at Dalem Temple of Taman Pohmanis Village. Keywords: equality, kala makara, karang bhoma, forms, meaning. Abstrak Ornamen kala-makara pada ambang pintu candi di Jawa memiliki kemiripan dengan ornamen karang bhoma di atas ambang pintu bangunan suci di Bali. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesetaraan di antara kedua ornamen tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan studi pustaka. Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, morfologi, kontekstual, dan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis dililit makara berwujud ular berkepala gajah. Konsepsi ornamen makara tersebut sama dengan konsepsi pada candi di Jawa. Sementara itu, ornamen kala-makara dan karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis menunjukkan adanya makna pelebur sebagai penolak bala, keabadian yang terkait dengan amrtha, dan kesuburan yang terkait dengan hutan lebat. Kesimpulan penelitian ini adalah adanya kesetaraan bentuk dan makna antara ornamen kala-makara di candi dengan karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis. Kata kunci: kesetaraan, kala-makara, karang bhoma, bentuk, makna. PENDAHULUAN Candi pada mulanya dianggap sebagai bangunan pemakaman, tetapi dalam penelitian selanjutnya disimpulkan bahwa candi adalah rumah atau kuil Dewi Chandika yang merupakan salah satu nama untuk Dewi Durga sebagai dewi maut. Pendapat terakhir yang dikemukakan oleh Soekmono adalah candi merupakan kuil tempat pemujaan para dewa-dewi (Soekmono 1979, 21). Studi terkait ornamen kala-makara tidak dapat terlepas dari aspek hiasan candi karena dalam kenyataannya, ornamen kala- Kesetaraan Ornamen Kala-Makara dengan Karang Bhoma: Studi Kasus di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis Dewa Gede Yadhu Basudewa dan Coleta Palupi Titasari 177 makara dapat juga berfungsi sebagai hiasan candi selain sebagai ornamen lainnya. Kepala kala merupakan salah satu bentuk hiasan penjaga bangunan sakral dan sejenis makhluk yang dikenal dalam mitologi Hindu. Hiasan kala biasanya ditempatkan pada bagian tengah bingkai atau relung bangunan candi (Rao 1971, 104). Kala pada relung candi biasanya diapit oleh figur makara yang merupakan wujud dari binatang laut yang dikenal dalam mitologi Hindu. Wujud luarnya berupa naga, buaya, gajah bertubuh ikan, atau ikan raksasa yang hanya ditampilkan pada bagian kepala dengan mulut terbuka (Kempers 1959, 637). Berdasarkan bentuk arsitekturnya, candi-candi di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelompok candi Jawa Tengah memiliki bentuk tambun dan berbeda dengan kelompok candi Jawa Timur yang berbentuk ramping dan menjulang. Perbedaan tersebut juga mempengaruhi seni hias dan ornamen candi tersebut, salah satunya yaitu ornamen kalamakara. Ornamen kala-makara Jawa Tengah digambarkan lemah lembut dan disamarkan dengan lekukan-lekukan dan tidak memiliki dagu, sedangkan ornamen kala-makara Jawa Timur digambarkan garang, memiliki dagu, dan digambarkan menyerupai wujud yang menyeramkan. Hiasan ornamen kedok wajah di atas ambang pintu bangunan suci di Bali saat ini dikenal dengan sebutan karang bhoma, yang memiliki bentuk dan konsepsi hampir sama dengan ornamen kala-makara di Jawa. Latar belakang konsepsi ornamen kala-makara memiliki kaitan erat dengan mitologi kepala Kala Rahu sebagai raksasa penelan bulan dan matahari, sedangkan ornamen karang bhoma dikaitkan dengan mitologi Hindu lainnya tentang persatuan Dewa Wisnu dengan Dewi Pertiwi yang melahirkan raksasa Bhoma. Adanya perpaduan kala-makara dengan karang bhoma kemungkinan diadopsi begitu saja pada bangunan suci di Bali yang terlihat dari bangunan-bangunan suci berupa pelinggih atau kori agung di ambang pintunya, tanpa 178 ada hiasan pengiring berupa kala-makara. Hal berbeda terdapat di ornamen karang bhoma pada kori agung Pura Dalem Desa Taman Pohmanis. Ornamen karang bhoma tersebut terlilit oleh ornamen kala-makara berkepala gajah dan berbadan ular sehingga penelitian ini membahas tentang kesetaraan kala-makara dengan karang bhoma yang terdapat di kori agung Pura Dalem Desa Taman Pohmanis, karena hingga kini belum dijumpai ornamen karang bhoma di Bali yang memiliki persamaan bentuk dengan kala-makara yang pada umumnya terdapat pada candi di Jawa. Adapun, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana kesetaraan bentuk dan makna ornamen kalamakara pada candi dengan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesetaraan bentuk dan makna ornamen kalamakara pada candi dengan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan data bagi penelitian di masa datang, terutama yang berhubungan dengan kesetaraan ornamen kala-makara pada candi dengan karang bhoma di Bali. Penelitian ini menggunakan beberapa teori untuk memecahkan permasalahan, yaitu teori estetika yang dipakai untuk memahami bentuk rasa indah dan menikmati suatu karya seni. Setiap karya seni pada hakekatnya mengandung tiga aspek yang mendasar, yaitu (1) wujud atau rupa yang meliputi bentuk dan susunan, (2) bobot atau isi (content, substance) yang meliputi suasana (mood), gagasan, pesan, dan (3) penampilan yang meliputi bakat, keterampilan, dan sarana (Djelantik 1990, 14). Melalui ketiga aspek tersebut, pemikiran seniman dalam menciptakan suatu karya seni berupa ornamen kala-makara dan karang bhoma dapat diketahui. Pandangan tentang estetika akan diperkuat dengan teori simbol, yaitu suatu hal atau keadaan yang merupakan pemahaman terhadap objek tertentu. Simbol biasanya memiliki makna mendalam, yaitu suatu Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (177-186) konsep yang paling bernilai dalam kehidupan satu masyarakat (Triguna 2000, 7). Simbol atau lambang adalah tanda yang hubungan antara tanda dan denotatumnya dipertemukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum. Teori simbol ini digunakan untuk menjelaskan analisis makna terkait kesetaraan ornamen kala-makara pada candi dengan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis. Penelitian ini juga menggunakan teori religi dari Koentjaraningrat. Koentjaraningrat (1987, 80-82) memecah konsepsi religi ke dalam lima komponen yang mempunyai peranan sendiri-sendiri, tetapi berkaitan erat satu sama lain sebagai suatu sistem. Kelima komponen tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, emosi keagamaan, yaitu sikap takut bercampur percaya kepada hal yang gaib dan keramat sehingga emosi keagamaan inilah yang merupakan komponen dari gejala religi. Kedua, sistem keyakinan dalam suatu religi yang berwujud pikiran, gagasan manusia, dan konsepsi manusia yang menyangkut tentang sifat-sifat Tuhan. Ketiga, sistem ritus dan upacara yang berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain, serta dalam usahanya berkomunikasi dengan Tuhan dan makhluk gaib lainnya. Keempat, peralatan ritus dan upacara religi berupa bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti tempat atau gedung pemujaan, patung dewa, patung orang suci, gamelan suci, lonceng, dan lain-lain. Kelima, umat agama, yaitu pelaku yang melaksanakan sistem ritus dan upacara itu. Lima komponen dari teori religi ini digunakan untuk menganalisis kesetaraan bentuk dan makna ornamen kala-makara pada candi dengan ornamen karang bhoma. METODE Lokasi penelitian dilaksanakan di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis yang terletak di Banjar Pohmanis, Desa Adat Taman Pohmanis, Desa Penatih Dangin Puri, Kecamatan Denpasar Timur, Denpasar, Bali, dengan keletakan astronomis di koordinat 8°36'30.5" LS dan 115°14'24.5" BT dengan ketinggian 60 meter dari permukaan air laut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis. Sebagai data pembanding, penelitian ini menggunakan juga beberapa hiasan kalamakara di candi-candi Jawa Tengah, seperti Candi Prambanan, Candi Sari, dan Candi Kalasan, serta Candi Kidal di Jawa Timur. Pengumpulan data dilakukan juga melalui studi pustaka berupa buku, artikel, dan hasil laporan penelitian yang sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, morfologi, kontekstual, dan komparatif. Analisis kualitatif dilakukan melalui pencatatan secara teliti semua gejala atau fenomena yang ada melalui pengamatan, wawancara, dan studi pustaka (Bungin 2003, 56). Analisis morfologi digunakan untuk mengidentifikasi bentuk dan ukuran benda (Sukendar 1999, 41). Analisis kontekstual digunakan untuk menjelaskan kesetaraan bentuk dan makna ornamen kalamakara di candi dengan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis, sesuai dengan konteks di sekitarnya. Analisis komparatif dilakukan dengan membandingkan data berupa ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis dengan ornamen kala-makara di Candi Prambanan, Candi Sari, Candi Kalasan, dan Candi Kidal. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian dan Mitologi Dalam Ensiklopedia Indonesia, kala berkaitan dengan nama dewa kematian dalam mitologi Hindu (Shandily 1984, 1623). Dalam bahasa Sansekerta, kala berarti monster yang kadang juga disebut dengan istilah mahakala (Goris 1954, 256). Dalam bahasa Jawa Kuno, kala merupakan makhluk jahat, raksasa, Kesetaraan Ornamen Kala-Makara dengan Karang Bhoma: Studi Kasus di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis Dewa Gede Yadhu Basudewa dan Coleta Palupi Titasari 179 binatang seram, atau nama lain dari Dewa Siwa (Wojowasito 1973, 64). Dalam ilmu arkeologi, kala digambarkan seperti binatang menyeramkan, bermata melotot, mulut menganga, dan biasanya memperlihatkan taring. Kala biasanya ditempatkan di tengah bingkai atas pintu candi dan penggambarannya selalu dilengkapi dengan makara (Ayatrohaedi 1981, 40-41). Dalam bahasa Jawa Kuno, makara berarti binatang yang mirip dengan udang atau jenis binatang laut yang mengerikan, misalnya sejenis buaya atau hiu, dan biasanya digunakan sebagai hiasan candi (Mardiwasito 1981, 182). Makara dalam kesenian India dan Indonesia adalah sejenis binatang air yang diduga berbentuk buaya dan dikatakan sebagai simbol Dewa Kama yang digunakan sebagai motif hiasan terpenting, umumnya pada pintu candi, baik dengan maupun tanpa kepala singa. Hiasan tersebut di India memiliki unsur pokok berupa buaya yang berkembang menjadi binatang aneh berkaki pendek, berekor cemara, sedangkan di Indonesia diperhalus sebagai kepala gajah dengan burung nuri, singa atau manusia di mulut, dan terkadang berbelalai ular yang memuntahkan permata serta bungabunga (Shadily 1984, 2096). Dalam kosmologi Hindu, terdapat beberapa mitologi tentang kala. Beberapa nama dan mitologi terkait kala, misalnya sebagai berikut. Kirrtimukha terdiri atas dua kata, yaitu kirrti dan mukha. Kata kirrti dalam bahasa Jawa Kuno berarti perbuatan, jasa, amal, perbuatan baik, dan tugu peringatan (Wojowasito 1973, 72). Kata mukha dalam bahasa Sansekerta berarti mulut, muka, paras, kepala, permulaan, depan, gapura atau pintu masuk, dan lubang (Mardiwasito 1981, 366). Kirrtimukha dalam mitologi dikaitkan dengan raja raksasa yang bernama Jalandara yang mengutus raksasa Rahu untuk menghancurkan kekuasaan Dewa Siwa sebagai dewa yang tertinggi. Dewa Siwa sangat marah melihat tindakan raksasa Rahu yang merusak. Atas kemarahannya ini, dari kening (ajnacakra) Dewa Siwa keluarlah 180 makhluk yang sangat dahsyat untuk melawan dan menelan raksasa Rahu. Raksasa Rahu yang telah berhasil dikalahkan akhirnya takluk dan memohon ampun kepada Dewa Siwa. Raksasa ciptaan Dewa Siwa yang dahsyat ini selanjutnya memakan segala yang ditemuinya tanpa henti. Dewa Siwa yang gusar melihat kejadian ini kemudian memerintahkan sang raksasa ciptaannya ini untuk memakan dirinya sendiri. Sang raksasa kemudian memakan kaki, lengan, paha, perut, dada, dan bahkan badannya sendiri, sehingga menyisakan muka atau kepalanya saja. Atas kejadian tersebut, Dewa Siwa lalu menamakan raksasa ciptaannya sebagai Kirrtimukha dan ditugaskan untuk menjaga istana (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1979, 133). Banaspati berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti pohon atau hutan (Wojowasito 1973, 40-41). Banaspati dapat berarti raja hutan yang berasal dari kata bana atau wana yang berarti hutan dan pati yang berarti raja. Banaspati digambarkan seperti binatang berdagu dan rambut yang tidak teratur, serta mahkotanya tidak lebih raya dibandingkan dengan masa sebelumnya. Wujud hiasan telinga berupa simping dan mutiara. Kedua telapak tangan terletak di pipi, seakan-akan bersikap siap menyerang. Kala Rahu merupakan tokoh raksasa yang muncul dalam cerita pencarian amrtha saat pengadukan lautan susu oleh para dewa dan asura. Ketika amrtha telah ditemukan dan berhasil dikuasai oleh para dewa, para dewa akan membagikan dan meminum amrtha tersebut bersama-sama. Saat amrtha tersebut dibagikan, seorang asura yang bernama Kala Rahu berhasil menyelinap dengan menyamar menjadi dewa agar memiliki kesempatan untuk dapat meminum amrtha tersebut. Kehadiran Kala Rahu tersebut diketahui dan dilaporkan oleh Dewa Surya dan Dewa Chandra kepada Dewa Wisnu. Saat amrtha tersebut diminum oleh Kala Rahu, Dewa Wisnu langsung melepaskan cakra untuk menebas leher Kala Rahu sehingga kepala dan badannya terputus. Kepala Kala Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (177-186) Rahu yang telah diberkati amrtha akan selalu abadi, sedangkan badannya mati jatuh dan ke bumi. Kepala Kala Rahu yang abadi tersebut dikisahkan selalu berusaha membalas dendam kepada Dewa Surya dan Dewa Chandra (Feller 2004, 185). Kejadian tersebut dikaitkan dengan peristiwa gerhana bulan atau matahari dan di Bali dikenal dengan sebutan bulan kepangan. Bhoma berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu bhauma yang artinya berhubungan dengan bumi, keluar dari bumi, atau tinggal di dalam bumi atau tanah (Monier 1963, 776). Bhoma dapat berarti raksasa putra bumi, digambarkan dengan mata melotot seram, berkepala seperti monster, mulut terbuka lebar, serta gigi dan taring mencuat keluar (Covarrubias 1970, 372). Bhoma dikatakan sebagai putra Dewi Pertiwi atau dewi bumi yang merupakan hasil perkawinannya dengan Dewa Wisnu. Bhoma dikenal juga dengan nama Narakapragjyotisha atau Naraka murti (Tuuk 1987, 1042). Bhoma dapat juga berarti suatu lukisan atau ukiran yang berbentuk muka kala atau raksasa yang biasanya ditempatkan di atas pintu masuk suatu tempat suci atau pura (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978, 405). Mitologi Bhoma sebagai putra Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi berawal dari kisah perdebatan antara Dewa Wisnu dan Dewa Brahma yang sama-sama mengaku bahwa dirinya paling sakti, serta ingin menguji kekuatan dengan mencari puncak dan dasar sebuah lingga yang diciptakan oleh Dewa Siwa. Mereka sepakat bahwa Dewa Brahma akan mencari puncaknya dengan mengubah wujudnya menjadi angsa, sedangkan Dewa Wisnu akan mencari dasarnya dengan mengubah wujudnya menjadi babi hutan. Ketika Dewa Wisnu menggali ke dasar bumi, beliau bertemu dengan gadis cantik yang bernama Dewi Pertiwi. Pertemuan Dewa Wisnu dalam wujud binatang dengan Dewi Pertiwi menghasilkan kisah cinta yang melahirkan seorang putra yang berwujud menakutkan, yaitu Bhoma. Dewa Wisnu dalam wujud babi hutan yang menggali tanah hingga dasar bumi merupakan penggambaran dari sifat air hujan yang turun dan meresap ke dalam tanah atau bumi. Bhoma sebagai seorang putra Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi disetarakan sebagai tumbuh-tumbuhan lebat atau hutan yang tumbuh pada media tanah (pertiwi) yang memerlukan air atau hujan (Suantara 1984, 22). Makara sering dilukiskan sebagai makhluk gabungan antara binatang berbelalai dan seekor ikan, seperti yang terdapat di candi-candi Jawa Tengah. Hiasan lain sebagai pengganti makara yang terdapat di candicandi Jawa Timur adalah kala mrga yang menggabungkan kepala kala dengan kepala lembu atau kijang. Kala mrga disebut juga dengan istilah lengkung kijang yang kemudian muncul kembali pada kesenian Jawa Timur dan dikaitkan dengan gambaran kuwung-kuwung atau kluwung atau pelangi (Tjandrasasmita 1964, 164). Konsep kepercayaan masyarakat Jawa ini dapat dimaknai bahwa kuwung-kuwung berasal dari air yang dihisap dari samudera utara dan selatan, kemudian dimuntahkan kembali sebagai hujan ke bumi (Pinasti 1986, 13). Berdasarkan hal tersebut, hubungan kala dengan makara memunculkan mitologi yang berhubungan dengan raksasa Rahu. Mitologi ini dikisahkan bahwa setelah meminum amrtha, kemudian kepala raksasa Rahu dipenggal oleh Dewa Wisnu menggunakan cakra hingga bagian mulutnya. Sejak itulah raksasa Rahu kehilangan rahang bawahnya. Amrtha yang telah diminumnya tidak masuk sampai badan raksasa Rahu, tetapi menetes dari kepalanya bagaikan hujan. Hal ini merupakan perumpamaan dari turunnya hujan. Dalam konsepsi ragam hias kala-makara, amrtha disalurkan melalui ular pada tiang relung bagian kanan dan kiri yang jatuh dari rahang atas kepala kala. Dalam pengikonografiannya, bentuk hujan diwakili oleh semburan permata yang ditunjukkan keluar dari mulut raksasa (Snodgrass 1985, 313). Perkembangan ragam hias ornamen kala-makara di Indonesia dapat dilihat melalui penggambaran kala-makara di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kesetaraan Ornamen Kala-Makara dengan Karang Bhoma: Studi Kasus di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis Dewa Gede Yadhu Basudewa dan Coleta Palupi Titasari 181 tersebut diawali dari ragam hias kala-makara di Jawa Tengah karena seni pahat zaman Sanjaya dan Sailendra merupakan puncak kejayaan masa klasik di Indonesia. Berdasarkan berbagai bentuk kala-makara di Jawa Tengah, Bosch (1984, 32-35) mengemukakan bahwa bentuk kala-makara pada candi-candi tersebut merupakan perkembangan dari padamamula. Bosch menambahkan bahwa setiap kepala kala-makara yang ada di pintu masuk relungrelung Candi Prambanan yang terlihat seperti pengulangan bentuk-bentuk lengkung dan pangkal tumbuh-tumbuhan tersebut merupakan hidung dari kepala kala-makara. Kala-makara di Jawa Tengah pada umumnya mempunyai usia yang lebih tua dibandingkan dengan kalamakara di Jawa Timur. Secara umum, ornamen kala-makara di Jawa Tengah mempunyai bentuk yang dempak dan secara estetis merupakan penghias candi sehingga dibuat dengan menyesuaikan bentuk arsitektur bangunannya, yaitu berpola tambun. Teknik penggarapannya terlihat bahwa kala dari Jawa Tengah rata-rata memiliki dimensi kedalaman yang menonjol. Unsur komponen ragam hias ini umumnya dibuat dengan garis lengkung yang berkepanjangan dalam bentuk pahatan cembung. Masing-masing dihubungkan dengan garis pahatan yang berangsur-angsur dan kemudian diakhiri oleh garis pahatan yang menukik tajam. Elemen rambut distilir dengan daun yang memenuhi bidang komponen mahkota. Dalam penggarapannya, ornamen kala-makara biasanya tidak dilengkapi dengan dagu (Setiani 1987, 237-238). Bentuk kala-makara di Jawa Tengah memang tidak terlepas dengan adanya pengaruh dari kesenian India yang terbukti dari bentuk seni bangunan candinya yang berpegang teguh pada kaidah dan aturan dalam kesenian India. Ornamen kala di candi-candi Jawa Tengah selalu diapit oleh ornamen makara yang langsung distilir dari wajah kepala kala, seolah-olah kepala kala memiliki sulur pada sisi kanan dan kiri, serta membentuk relung dengan ujungnya berbentuk kepala gajah dan 182 buaya yang menganga. Ornamen makara di Jawa Tengah pada bagian badannya merupakan sambungan sulur-suluran dari bagian kepala kala, dan memiliki dua jenis gaya, yaitu kepala makara yang saling berhadapan dan saling membelakangi. Makara yang saling berhadapan adalah makara yang terdapat pada relung-relung Candi Kalasan (masa Sailendra) dan relung Candi Prambanan (masa Sanjaya), sedangkan makara kepala kala yang saling membelakangi dapat dilihat di relung Candi Sari (masa Sailendra) (gambar 1). Gambar 1. Ornamen kala-makara pada Candi Kalasan, Candi Prambanan, dan Candi Sari. (Sumber: Dokumen pribadi) Penggambaran ornamen kala di Jawa Timur dibuat dengan garis-garis lengkung, tetapi tidak panjang sehingga tampak lugas, dimensi kedalamannya tidak menonjol, garis pahatannya sebagian besar datar, dan sangat jarang dijumpai memiliki bidang-bidang cembung. Hubungan antarkomponennya terlalu tajam, bahkan tegak sehingga menimbulkan garis yang kaku. Penggambaran komponen dan unsurnya lebih lengkap, terutama dilengkapi dengan elemen dagu dan hiasan telinga pada hampir seluruh ornamen kala di Jawa Timur. Bentuk penggambaran ragam hiasnya tidak seraya di Jawa Tengah, terutama pada komponen mahkota. Elemen rambut biasanya digambarkan pada sisi kiri dan kanan belakang, dalam bentuk sulur daun yang terurai. Wujud Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (177-186) stiliran hiasan ini tampak pada elemen hiasan telinga, dalam wujud hiasan simping dan mutiara. Variasi komponen tangan dijumpai dalam sikap menggenggam atau jari telunjuk dan jari tengahnya diarahkan ke atas (Setiani 1987, 238). Kepala kala di Jawa Timur biasanya dihubungkan dengan mrga atau kijang, sehingga disebut sebagai kala-mrga. Ornamen makara di Jawa Timur tidak lagi dijadikan sebagai bingkai suatu relung, seperti di Jawa Tengah dan sering dijumpai terpisah dari ornamen kepala kala. Ornamen makara di Jawa Timur lebih banyak dijumpai sebagai pengapit tangga suatu bangunan candi. Makara di Jawa Timur digantikan dengan bentuk lain, seperti kepala ular atau naga. Kala-makara yang terpisah tersebut dapat dilihat pada ornamen Candi Kidal yang merupakan pendharmaan bagi Raja Anusapati (gambar 2). Gambar 2. Ornamen kala pada Candi Kidal dan makara sebagai pengapit tangga Candi Kidal. (Sumber: ruangkumemanjangkarya.wordpress.com) Ornamen kedok muka menyeramkan yang biasanya digunakan sebagai penghias di atas ambang pintu bangunan candi di Jawa dan dikenal dengan ornamen kala berkembang juga di Bali dengan sebutan ornamen karang bhoma. Bentuk karang bhoma di Bali memiliki wujud yang menyerupai kepala kala pada candi di Jawa Timur. Ragam hias kepala kala pada masa klasik, yaitu ragam hias kala di Jawa Tengah, ragam hias banaspati di Jawa Timur, dan karang bhoma di Bali. Karang bhoma berwujud seram seperti raksasa yang siap menerkam dengan kuku-kuku yang tajam (gambar 3). Bhoma dapat diartikan sebagai raksasa putra bumi dengan penggambaran mata melotot, berkepala monster, mulut terbuka lebar, Gambar 3. Ornamen karang bhoma pada bangunan suci di Bali. (Sumber: Dokumen pribadi) berdagu, serta gigi dan taring yang mencuat keluar. Bhoma dapat juga berarti suatu lukisan atau ukiran yang berbentuk muka kala atau raksasa yang biasanya ditempatkan di atas pintu masuk suatu tempat suci atau pura (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978, 405). Sesuai dengan mitologinya, Bhoma merupakan putra dari Dewa Wisnu yang melambangkan air dengan Dewi Pertiwi yang melambangkan tanah. Pertemuan antara air dan tanah akan menimbulkan kehidupan dan kesuburan yang ditandai dengan adanya tumbuh-tumbuhan yang sangat lebat atau hutan. Mitologi tersebut menggambarkan Bhoma yang disimbolkan sebagai hutan, digambarkan dengan bentuk wajah menyeramkan, dan dikelilingi oleh sulursulur pohon yang sangat lebat. Ornamen karang bhoma di Bali secara umum berdiri sendiri tanpa memiliki ornamen pengiring, misalnya makara, sebagai bingkai relung atau pengapit tangga bangunan seperti di Jawa. Hal tersebut berbeda dengan keberadaan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis, Denpasar. Ornamen karang bhoma tersebut dipahatkan di atas ambang pintu kori agung, dan diapit oleh ornamen makara. Ornamen makara tersebut berwujud kepala gajah dan berbadan ular yang terlilit simetris pada karang bhoma yang diapitnya. Ornamen makara tersebut terlilit dengan posisi saling membelakangi, sama seperti konsepsi ornamen makara di relung Candi Sari, Jawa Tengah. Ornamen karang bhoma terbuat dari Kesetaraan Ornamen Kala-Makara dengan Karang Bhoma: Studi Kasus di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis Dewa Gede Yadhu Basudewa dan Coleta Palupi Titasari 183 batu padas dan dipahatkan di kedua sisi kori agung yang terbuat dari batu bata, sedangkan ornamen kala-makara terbuat dari batu andesit (Jawa Tengah) dan bata merah (Jawa Timur) (gambar 4). Pura Dalem Desa Taman Pohmanis cenderung mengikuti gaya seni Jawa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pola yang berkembang di Bali, serta dipadukan dengan gaya seni lokal di Bali. Kesetaraan Makna Ornamen Kala-Makara dengan Karang Bhoma Kesetaraan makna ornamen kala-makara pada candi dengan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis diketahui melalui mitologi perwujudan figur ornamen tersebut, yaitu makna pelebur, keabadian, dan kesuburan. Kesetaraan makna tersebut akan dibahas sebagai berikut. Gambar 4. Kori Agung, Ornament Karang Bhoma, dan Ornament Makara di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis Denpasar. (Sumber: Dokumen pribadi) Ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis memiliki tiga komponen motif, yaitu (1) mahkota yang meliputi hiasan mahkota dan rambut, (2) wajah yang meliputi mata, hidung, mulut, dagu, dan tanduk, dan (3) tangan yang meliputi sikap jarijari dan kuku. Antara kepala kala dan makara terdapat pahatan figur manusia sederhana yang dipahatkan dengan sikap tangan yang disilang. Ornamen karang bhoma di Pura Dalem Taman Pohmanis berukuran sangat besar dan bergaya naturalis dengan mata melotot, rahang atas dan bawah bertaring, serta kedua tangannya terbuka yang dililit oleh makara, dengan sikap seperti ingin menerkam. Teknik pembuatannya memiliki dimensi kedalaman yang menonjol dengan garis lengkung berbentuk pahatan cembung. Makara yang terlilit pada karang bhoma digambarkan sangat panjang, dengan bentuk lilitan yang sangat banyak dan padat. Figur kala pada ornamen karang bhoma di 184 Makna Pelebur Pelebur yang dimaksud adalah melebur sesuatu yang bersifat negatif atau sebagai penolak bala. Ornamen kala dimaknai sebagai Kirrtimukha yang dalam mitologi Hindu merupakan makhluk ciptaan Dewa Siwa sebagai pembasmi asura yang mengganggu Kahyangan. Segala bentuk kejahatan asura dibasminya sehingga Kirrtimukha diberikan tugas untuk menjaga istana Dewa Siwa dengan bertempat tinggal di ambang pintu istana. Ornamen karang bhoma diletakkan di ambang pintu kori agung Pura Dalem Desa Taman Pohmanis, dan digambarkan sama dengan Kirrtimukha, yaitu mulut menganga dan bergigi sehingga dimaknai sebagai penelan. Mulut menganga sebagai penelan dimaknai sebagai mulut transisi yang harus dilalui sebelum memasuki tempat suci. Masyarakat yang hendak bersembahyang di pura harus melewati atau tertelan terlebih dahulu oleh karang bhoma untuk dilebur atau dimusnahkan dan dibersihkan dari hal yang bersifat negatif sebelum memasuki tempat suci. Makna Keabadian Makna keabadian ini terkait dengan mitologi Hindu tentang terminumnya amrtha oleh Kala Rahu. Ornamen kala pada bangunan candi memuat makna bentuk kepala Kala Rahu yang abadi, tetapi terputus dari badannya. Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (177-186) Mitologi ini selanjutnya berkembang menjadi sebuah penafsiran tentang keberadaan sisa amrtha yang masih berada di dalam mulut Kala Rahu. Amrtha tersebut akan selalu menetes dan mengalir melalui mulut Kala Rahu yang diletakkan di atas ambang pintu, serta akan memberkati siapapun yang memasuki wilayah suci. Konsepsi ornamen karang bhoma memiliki kemiripan dengan konsepsi ornamen kala. Mitologi karang bhoma menceritakan bahwa Bhoma lahir atas pertemuan Dewa Wisnu dengan Dewi Pertiwi. Pertemuan komponen air dan tanah ini akan menimbulkan kehidupan yang abadi. Kehidupan abadi tersebut terlihat dari bentuk ikonografis karang bhoma yang menyerupai hutan yang lebat. Apabila konsepsi tetesan amrtha dari mulut Kala Rahu dikaitkan dengan konsepsi hutan lebat, akan diperoleh suatu tafsiran kesetaraan di antara keduanya. Amrtha pada mulut Kala Rahu dapat disetarakan dengan air yang muncul dari pegunungan atau hutan berupa air kehidupan yang suci dan bersih. Konsepsi tentang amrtha ini selanjutnya di Bali berkembang menjadi konsepsi keberadaan air suci yang digunakan dalam setiap kegiatan persembahyangan, penyucian diri, pengruwatan, dan lain lain (Hobart et al. 2001, 105), termasuk di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis. Makna Kesuburan Kesuburan dikaitkan dengan konsepsi kala yang dimaknai sebagai wujud dari Banaspati. Banaspati dapat berarti raja hutan yang berasal dari kata bana atau wana, yang artinya hutan dan pati, yang artinya raja. Berdasarkan konsep tersebut, Banaspati dapat disimbolkan sebagai hutan atau penguasa hutan yang dapat disetarakan dengan konsepsi karang bhoma. Makna kesuburan juga dapat diketahui dari bentuk ornamen makara yang merupakan wujud binatang melata yang hidup di laut dan hutan, biasanya berkepala gajah atau buaya dan berbadan ular atau naga. Naga merupakan simbol dari bumi sebagai sumber kesejahteraan yang selalu hidup di hutan. Konsespi tersebut tampak dalam konsep pembuatan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis yang diiringi atau diapit oleh figur ornamen makara berupa ular berkepala gajah yang memiliki makna sumber kesejahteraan. Hutan merupakan tempat yang subur bagi makhluk untuk hidup, termasuk ular, sehingga konsepsi tersebut membuat ornamen kalamakara dengan ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis memiliki makna kesuburan yang setara. KESIMPULAN Ornamen kala pada candi di Jawa Tengah, seperti Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Candi Sari memiliki bentuk yang dempak, tanpa rahang bawah, disamarkan dengan sulur-sulur, dan tersambung oleh ornamen makara sebagai bingkai relung atau pintu masuk candi. Ornamen kala pada candi di Jawa Timur, seperti Candi Kidal memiliki bentuk yang kaku dan menjulang. Bentuk kala menyerupai keaslian, berupa wujud Banaspati yang memperlihatkan tangan seakan siap menerkam, memiliki rahang bawah dan atas, serta gigi taring mencuat. Ornamen makara pada Candi Kidal tidak tersambung langsung dari ornamen kala sebagai bingkai relung bangunan candi, melainkan sebagai pengapit tangga candi. Bentuk ornamen kala-makara di Jawa diikuti oleh seni bangunan di Bali yang dikenal dengan karang bhoma. Ornamen karang bhoma biasanya berdiri sendiri tanpa diiringi oleh ornamen makara yang mengapit ornamen kala pada candi-candi di Jawa. Namun, hal berbeda terlihat pada ornamen karang bhoma di ambang pintu kori agung Pura Dalem Desa Taman Pohmanis yang dililit oleh figur makara berwujud ular berkepala gajah. Bentuk ornamen makara tersebut memiliki kesamaan konsepsi dengan makara di Candi Sari yang saling membelakangi dan berkepala gajah. Hal tersebut menunjukkan bahwa ornamen karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis memiliki kesetaraan bentuk Kesetaraan Ornamen Kala-Makara dengan Karang Bhoma: Studi Kasus di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis Dewa Gede Yadhu Basudewa dan Coleta Palupi Titasari 185 dengan ornamen kala-makara pada beberapa candi di Jawa. Kesetaraan makna ornamen kala-makara pada candi dengan karang bhoma di Pura Dalem Desa Taman Pohmanis adalah kesetaraan makna pelebur, keabadian, dan kesuburan. Makna pelebur dikaitkan dengan pembersihan terhadap hal yang bersifat negatif atau penolak bala untuk menjaga kesakralan dan kesucian suatu bangunan atau tempat suci, makna keabadian dikaitkan dengan amrtha, yaitu air kehidupan atau keabadian, dan makna kesuburan dikaitkan dengan hutan yang lebat. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Kamus Istilah Arkeologi II. Jakarta: Proyek Penelitian Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah. Ayatrohaedi. 1981. Kamus Ilmiah Arkeologi I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bosch, F.D.K. 1984. De Gouden Kiem, Inleiding in de Indische Symboliek. Amsterdam: Elsevier Uitgeversmaatschappij. Bungin, Burhan. 2003. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. Covarrubias, Miguel. 1970. The Island of Bali. London: Oxford University Press. Djelentik, A.A. Made. 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Feller, Daniell. 2004. The Sanskrit Efic’s Representation of Vedic Myth. Delhi: Motial Banarsidass Publ. Goris, R. 1954. Bali Atlas Kebudayaan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Hobart, Angela, Usr Ramseyer, dan Albert Leemann. 2001. The People of Bali. London: Oxford University Press. Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: Harvard University Press. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press. Mardiwasito, L. 1981. Kamus Jawa KunaIndonesia. Flores: Nusa Indah. Moeleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 186 Monier, Sir M. William. 1963. A Sanskrit-English Dictionary. Oxford: Clarendon Press. Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Panitia Penyusun Kamus Bali Indonesia. Pinasti, V. Indah Sri. 1986. “Arti Simbolis Hiasan Kala Makara dan Kala Mrgha pada Candi di Jawa.” Skripsi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Rao, T.A. Gopinatha. 1971. Element of Hindu Iconography. Vol I/II Part I/II. Delhi: Indological Book House. Setiani, Nina. 1987. “Ragam Hias Kala pada Candicandi di Indonesia.” Dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi II: Estetika dalam Arkeologi Indonesia, 236-238. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Shandily, Hasan. 1984. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Snodgrass, Adrian. 1985. The Symbolism of Stupa. Ithaca: Cornell University. Soekmono. 1979. “Candi Fungsi dan Pengertiannya.” Disertasi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Suantara, I Made. 1984. “Ciri dan Fungsi Bhoma di Beberapa Pura di Bali Abad VIII-XV Masehi.” Skripsi, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Sukendar, Haris. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Tim Media. 2007. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Media Centre. Tjandrasasmita, Uka. 1964. Tinjauan tentang Arti Seni Bangun dan Seni Pahat Dua Buah Gapura Bersayap dari Kebudayaan Islam di Desa Sendang Duwur. Jakarta: Yayasan Penerbit Karya Sastra Indonesia. Triguna, I. B. Gede Yuda. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma Universitas Hindu Indonesia. Tuuk, H.N. van der. 1987. Kawi-BalineseNederland-Woordenboek. Deel V. Batavia: Landsdrukkerij. Wojowasito, Soewojo. 1973. Kamus Kawi (Jawa Kuna)-Indonesia. Malang: Lembaga Penerbitan IKIP Malang. http://ruangkumemanjangkarya.wordpress.com, diakses pada hari Rabu, 28 Januari 2015. Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (177-186)