ARTIKEL PENELITIAN

advertisement
DEWATANISASI INSANI: PEMAKNAAN PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN HINDU
Nengah Bawa Atmadja
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, Jln. Udayana Singaraja
Abstrak: Kajian pustaka menunjukkan, bahwa hakikat pendidikan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu adalah mendewatakan manusia atau dewatanisasi insani guna mewujudkan divine
human (daiwisampat) yang sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter keraksasaan
(demonic human, asurisampat). Agama Hindu kaya akan resep-resep divine human. Dewatanisasi
menuntut penamanan resep-resep divine human di dalam pikiran dan kecerdasan manusia.
Manusia berkarakter kedewataan ditandai oleh pikiran, ucapan dan tindakan yang taat pada resepresep divine human yang bersumberkan pada agama dan tata aturan lainnya yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Abstract: Literary study shows that education essence in perspective of Hindu education
philosophy is to deify human or human divinisation in order to realize the divine human
(daiwisampat) and also to prevent the appearance of demonic human character (asurisampat).
Hindu is rich in divine human recipes. Divinisation demands the divine human recipes investment
in mind and in human intelligence. Divine human is marked by intelligence, utterance and action
that obey to divine human recipes sourced of religion and other rules that is used in society life.
Kata kunci: pendidikan, divine human, pikiran, ucapan dan tindakan
Kajian Atmadja (2008) terhadap berbagai karya
tulis tentang filsafat ada banyak pengertian tentang
filsafat. Namun di balik keragaman pemaknaan ini
gagasan Keraf dan Dua (2001: 34) menarik
dikemukakan yang menyatakan, bahwa “... Filsafat
adalah sebuah tanda tanya dan bukan sebagai tanda
seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan
penyataan.” Gagasan ini memberikan petunjuk,
bahwa filsafat pada hakikatnya adalah bertanya dan
terus bertanya guna mendapatkan jawaban yang
mendalam (sedalam-dalamnya), luas (seluas-luasnya) dan holistik (seholistik-holistiknya) mengenai
suatu realitas, ide atau konsep yang bersifat fundamental (Atmadja, 2010; Woodhouse, 2000).
Berkenaan dengan itu maka (ber-) filsafat berarti
“... proses bertanya dan menjawab dan bertanya
dan menjawab terus tanpa henti. Itulah filsafat
sebuah quest, sebuah pencarian, sebuah question
tentang berbagai ide” (Keraf dan Dua, 2001: 16).
Apa pun bisa dipertanyakan secara filosofis,
termasuk di dalamnya tentang pendidikan sehingga
melahirkan bidang kajian, yakni filsafat pendidikan
(Knight. 2007; Jalaluddin dan Idi, 2007; Djumransjah, 2006; Alwasillah, 2008; Surakhmad,
2009; Fudyatanta, 2006). Kebanyakan buku teks
filsafat pendidikan memuat gagasan teoritikus
Barat. Hal ini dapat dicermati pada buku teks
filsafat pendidikan yang ditulis oleh Djumransjah
(2006: 26) yang mengutip pendapat Freeman Butt
tentang hakikat pendidikan sebagai berikut.
a. Pendidikan adalah kegiatan menerima dan
memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya.
b. Pendidikan adalah suatu proses. Melalui
proses ini, individu diajarkan kesetiaan dan
kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui
cara ini pikiran manusia dilatih dan dikembangkan.
56
57 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65
c. Pendidikan adalah proses pertumbuhan.
Dalam proses ini individu dibantu mengembangkan kekuatan, bakat, kesanggupan, dan
minatnya.
d. Pendidikan adalah rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman yang menambah arti serta
kesanggupan untuk memberi arah bagi
pengalaman selanjutnya.
e. Pendidikan adalah proses. Melalui proses ini,
seseorang penyesuaikan diri dengan unsurunsur pengalamannya yang menjadi kepribadian kehidupan modern sehingga dalam
mempersiapkan diri bagi kehidupan masa
dewasa yang berhasil (Freeman Butt dalam
Djumransjah, 2006: 26).
Pola ini tampak pula pada buku teks filsafat
pendidikan yang ditulis Saduloh (2003) yang
mengutip makna pendidikan menurut Hoogeveld, Henderson, Hummel, Langeveld, dll.
Jikalau pun ada buku teks filsafat pendidikan
yang menyinggung tentang filsafat Hindu sebagaimana yang dilakukan oleh Jalaluddin dan
Idi (2007) hanya bersifat selintas.
Pemakaian gagasan Barat dalam memaknai
pendidikan tidaklah salah, mengingat ilmu berdimensi sosial, dalam arti, dia adalah milik
publik sehingga seseorang bisa meminjamnya,
asalkan mengikuti etika ilmiah. Walaupun peminjaman gagasan Barat sah adanya, namun
usaha untuk memunculkan gagasan lain yang
bercorak gagasan non-Barat sangat penting. Hal
ini berkaitan dengan munculnya evolusi
pemikiran manusia, yakni mulai dari pemikiran
kosmosentris, berlanjut ke teosentris, antroposentris, lalu sampai kepada logosentris. Pemikiran logosentris merupakan karakteristik pemikiran filsafat postmodern. Filsafat postmodern
sangat disukai oleh kelompok ilmuwan Kajian
Budaya (Cultural Studies) (Ritzer, 2003; Alwasilah, 2008; Barker, 2004; Jones, 2009; Sugiarhato, 1996). Ciri filsafat ini antara lain tidak
tunduk kepada narasi-narasi besar – pada umumnya teori-teori dari dunia Barat, melainkan mencoba menggali narasi-narasi kecil – gagasangagasan lokal termasuk di dalamnya berbagai
kearifan lokal di dunia Timur. Pencarian ini,
tidak hanya untuk memperkaya teori-teori yang
sudah ada, tetapi yang lebih penting adalah untuk
melakukan resistensi atau bahkan pembongkaran
terhadap teori-teori yang telah mapan.
Bertolak dari gagasan filsafat postmodern
maka kajian terhadap pemikiran dunia Timur
yang bersumberkan dari ajaran agama dan
kearifan lokal, tidak saja penting, tetapi juga
sangat mendesak guna mengimbangi kuatnya
hegemoni pemikiran Barat. Dalam konteks inilah
dicoba untuk
mengkaji tentang pendidikan
dengan menggunakan pendekatan filsafat
pendidikan. Manurut Alwasillah (2008),
Surakhmad (2009), Knight (2007) dan Jalaluddin
dan Idi (2007) filsafat pendidikan mengkaji
pendidikan secara filosofis antara lain mempertanyakan tentang “Apa itu pendidikan? Dalam
rangka menjawab pertanyaan ini dilakukan studi
kepustakaan terhadap berbagai buku teks tentang
Agama Hindu antara lain ditulis oleh Titib (1996,
2003), Sivananda (2005, 2006), Tapasyananda
(2008), Singh, 2004, 2007), Anandamurti (2008),
Pandit (2005), Pendit (2005, 2007), Zimmer
(2003), Machwe (2000), Saraswati (2009), dll.
Kajian terhadap buku-buku teks filsafat
pendidikan dan buku teks yang memuat teoriteori sosial budaya tidak bisa diabaikan, baik
sebagai perbandingan maupun pengayaan wawasan teoretik. Ungkapan-ungkapan kebahasaan
tentang pendidikan pada buku teks tersebut dicari
makna denotatif dan konotatif sehingga pemahaman atas masalah yang dikaji bisa lebih tuntas
(Barthers, 2007; Culler, 2003; Hoed, 2008;
Ricoeur, 2002, 2006). Kesemuanya itu tidak bisa
dilepaskan dari cara-cara berpikir kefilsafatan,
yakni kesadaran diri, kemenyeluruhan, penembusan, dan fleksibilitas (Knight, 2007: 9-11).
Dengan cara ini diharapkan untuk mendapatkan
pengetahuan yang dalam, luas, dan holistik tentang hakikat pendidikan menurut Agama Hindu
yang berlanjut pada kemanfaatannya, yakni
menambah narasi alternatif tentang pendidikan
sehingga hegemoni pemikiran Barat tertandingi,
baik pada tataran kognisi maupun praksis
pendidikan.
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat… 58
PEMBAHASAN
Tuhan yang diberikan label Maha Tahu dan
Maha Pencipta, selain menciptakan manusia dan
alam semesta, Tuhan memberikan pula agama
wahyu. Agama Hindu sebagai agama wahyu,
terkodifikasi dalam bentuk kitab suci Veda. Veda
disertai dengan aneka teks tafsir, seperti kitab
Brahmana, Upanisad, Wiracarita, dan lain-lain
sehingga melahirkan seperangkat ajaran agama
yang bersifat kontekstual (Mittal, 2006;
Prabhavananda, 2006; Saraswati, 2009; Pandit,
2005). Agama Hindu sangat kaya akan ide-ide
filsafat, tidak saja tercermin pada ajarannya, tetapi juga pada munculnya aneka aliran filsafat
dalam Agama Hindu (Pendit, 2007). Berkenaan
dengan itu tidak mengherankan jika filsafat
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Agama Hindu.
Walaupun kaya akan filsafat, namun Agama
Hindu tidak mengenal istilah filsafat, melainkan
memakai istilah darshana. Istilah darshana disamakan dengan filsafat. Kata darshana berarti
melihat atau mengalami. Pemaknaan seperti ini
memberikan petunjuk, bahwa filsafat dalam
konteks Agama Hindu, tidak hanya merupakan
spekulasi metafisika, tetapi didasari pula oleh
data langsung. Pengalaman langsung adalah
sumber darimana pikiran India mengalir, dan ini
diterima sebagai dasar filsafat di India
(Prabhavanda, 2006). Gagasan ini menarik,
karena menunjukkan kesamaan dengan gagasan
Alfred North Whiteheid (dalam Bria, 2008: 23)
tentang filsafat yang dianggap memiliki dua
wajah sekaligus, yakni rasional dan empiris. Hubungan antara keduanya bersifat dinamis, saling
menguji, menjelaskan, menjustifikasi, bahkan
memfalsifikasi. Kata kuncinya adalah kesesuaian
antara kerangka dan materinya. Hal ini harus diusahakan oleh filsafat, sehingga darshana tidak
hanya memuat pemikiran spekulasi metafisika,
tetapi memuat pula pengalaman atau meminjam
ide Immanuel Kant memadukan antara rasionalisme dan empirisme (Atmadja, 2010; Tjahjadi, 2007).
Walaupun filsafat Hindu sangat menghargai
olah pikiran dan pengalaman, namun ada aspek
penting yang membedakannya, yakni penghargaan terhadap intuisi (Sivananda, 2006). Gejala
ini berkaitan dengan hakikat manusia, yakni
memiliki kesadaran supra yang memberikannya
kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan
secara intuitif yang di dalamnya mencakup olah
rasa dan olah batin (Singh, 2005, 2004; Acarya,
1991). Jadi, dalam rangka mendapatkan
pengetahuan, filsafat Hindu tidak hanya bermuatan olah pikiran (rasionalisme) dan olah
pengalaman (empirisme) atau memadukan wadah rasional dan empiris sebagaimana yang
lazim berlaku pada filsafat Barat, melainkan
meminjam gagasan Knight (2007) memperhatikan pula intusi yang di dalamnya mencakup
kesadaran supra, olah rasa dan olah batin. Namun di balik pencarian kebenaran secara falsafati
maka peran Agama Hindu sebagai sumber kebenaran tidak bisa diabaikan. Agama Hindu adalah
kebenaran yang berdimensi kewahyuan sehingga
kualitasnya bersifat absolut dan tak tercampuri
(murni).
Teks suci Veda dan tafsirnya, tidak saja
memuat tentang tata kelakuan keagamaan, tetapi
memuat pula aneka tata kelakuan sosial. antara
lain tentang pendidikan. Cakupannya sangat luas
dan kompleks sehingga bisa menjawab permasalahan pendidikan yang lazim dipertanyakan
dalam filsafat pendidikan. Bertolak dari kenyataan ini tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa
Agama Hindu mengenal filsafat pendidikan atau
secara lebih spesifik bisa disebut Filsafat
Pendidikan Hindu. Adapun gagasan Filsafat
Pendidikan Hindu tentang hakikat pendidikan
(Apa itu pendidikan?) adalah sebagai berikut.
Pendidikan adalah dewatanisasi insani
Manusia adalah makhluk pendidikan (homo
educadum), sebab berkemampuan mendidik dan
dididik (Suhartono, 2006). Begitu pula kelangsungan hidup manusia baik sebagai sistem
organisme maupun kepribadiannya, dan sistem
sosial bentukannya, bergantung pada pendidikan
59 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65
(Parsons, 195; Much, 2008). Realitas ini disadari
oleh Agama Hindu, terbukti dari kenyataan,
bahwa Agama Hindu banyak mengkaji masalah
pendidikan. Hal ini telah berlangsung sejak awal,
terlihat pada ungkapan-ungkapan teks kuno sebagai berikut.
(1) Sa vidya ya vimuktaye
(Pembelajaran adalah yang membebaskan
manusia)
(2) Vidya tritiyo netrah
(Pembelajaran seperti mata ketiga)
(3) Vidyayamrihtamashnute
(Pembelajaran membuat manusia abadi)
(4) Na hi jnanen sadrisnham pavitramih
vidyate
(Tidak ada yang lebih murni di dunia ini
daripada pengetahuan)
(5) Vidya balam chandrabalamstathaiva
(Mudah-mudahan kekuatan pengetahuan
dan kekuatan bulan menganugrahi kamu
sekalian)
(6) Vidya gurunam guruh
(Pengetahuan merupakan gurunya guru)
(7) Kim kim na sadhyati Kalpalateva vidya
(Apa yang tidak dijumpai oleh pembelajaran itu? Ia merupakan sebuah tumbuhan magis atau pohon kebijaksanaan)
(8) Vidya vihinah pashuh
(Seseorang yang tanpa pembelajaran adalah binatang) (Machwe, 2000: 162-163).
Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bahwa Agama Hindu sangat menghargai pentingnya
pengetahuan bagi kehidupan manusia. Gagasan
ini sangat tepat, terbukti dari adanya kenyataan,
bahwa pada era postmodern atau pascakapitalis
saat ini, sumber ekonomi dasar tidak lagi alatalat produksi, modal, daya alam, dan tenaga
kerja, melainkan pengetahuan (Drucker, 1997).
Begitu pula keunggulan negara negara-negara
kapitalis global tidak bisa dilepaskan dari kemahakayaan modal (ilmu) pengetahuan yang diaktualisasikan dalam berbagai produk teknologi
canggih. Perolehan pengetahuan didapat melalui
pembelajaran. Kemampuan belajar merupakan
aspek penting bagi eksistensi manusia, tidak
hanya karena belajar adalah pintu gerbang bagi
pengetahuan, tetapi juga karena kemampuan
belajar adalah aspek penting yang membedakan
manusia daripada binatang – perilaku binatang
terprogram secara naluriah.
Namun manusia tidak saja mengenal
pembelajaran – aktivitas yang lebih menekankan
pada pemupukan kognisi, tetapi mengenal pula
pendidikan – aktivitas pembentukan watak atau
karakter insani (Knight, 2007). Agama Hindu
menyebut pendidikan dengan istilah aguronaguron atau asewakadharma. Pendidikan bisa
dilakukan di sekolah atau pada zaman Veda
disebut sakha atau patasala. Pada masyarakat
Bali mengenal istilah asrama, pasraman atau
katyagan (Titib, 2003; Prabhavananda, 2006).
Apa pun nama lembaga pendidikan, baik asrama
maupun sekolah, pasti memiliki tujuan – hakikat
manusia sebagai makhluk teleologis. Dengan
mengacu kepada Suhartono (2006: 80) tujuan
pendidikan
adalah
“...
pendewasaan,
pencerdasan, dan pematangan diri. Dewasa
dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal
perkembangan jiwa, dan matang dalam hal
berperilaku”.
Gagasan Suhartono (2006) menarik
dicermati, mengingat bahwa kata pendewasaan
yang sebagai salah satu dimensi tujuan
pendidikan merupakan turunan dari kata dalam
Bahasa Sanskerta, yakni dewasa (dewa dan sya
yang berarti memiliki sifat sebagai dewa). Titib
(2003) menjelaskan makna kata dewasa sebagai
berikut.
Bila kita kaji tentang makna pendidikan
mengandung arti mengantarkan seorang anak
menuju ke tingkat dewasa atau kedewasaan ....
maka kata dewasa ini dapat dikaji maknanya
dengan kata dewa atau devata, dimaksudkan
seorang itu dalam perilakunya sudah memiliki
sifat-sifat kedewataan (Daiwisampat), karena
kata dewasa (dewasya) berasal dari kosa kata
bahasa Sansekerta, yang artinya memiliki sifat
dewa, juga berarti yang bercahaya, tentu
diharapkan perilaku anak mengikuti ajaran
ketuhanan atau memancarkan nilai-nilai
ketuhanan, tidak sebaliknya dikuasai oleh sifatsifat keraksasaan (Asurisampat) (Titib, 2003:
4).
Dengan demikian, dilihat dari makna kata
dewasa, maka tujuan pendidikan bukanlah men-
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat… 60
jadikan peserta didik agar dewasa dalam arti
perkembangan badaniah seperti dikemukakan
Suhartono (2006), tetapi lebih mengarah kepada
menjadikan insan berkarakter kedewataan (daiwisampat) atau divine human yang sekaligus
berarti mencegah kehadiran manusia berkarakter
keraksasaan (asurisampat) atau demonic human.
Dengan meminjam pendapat Surakhmad (2009)
gagasan ini jelas bernuansa filosofis, sebab
kandungannya tidak sekedar memenuhi hasrat
ingin tahu tentang hakikat pendidikan, tetapi
memuat pula cita-cita ideal tentang tujuan
pendidikan – mewujudkan divine human. Pendek
kata, dapat disimpulkan, bahwa pendidikan
dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu pada
hakikatnya adalah proses mendewatakan manusia atau dewatanisasi insani yang sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter
raksasa (deraksasani insani). Dengan kata lain
bisa pula dikemukakan, bahwa hakikat pendidikan menurut pandangan Filsafat Pendidikan
Hindu memiliki wajah ganda, yakni dewatanisasi
insani dan deraksasanisasi atas manusia (membasmi sifat-sifat raksana) sehingga melahirkan
insan ideal, yakni divine human atau daiwisampat, bukan manusia berkarakter raksasa,
asurisampati atau demonic human.
Ciri-ciri Divine Human
Pemaknaan pendidikan sebagai dewatanisasi insani atau deraksasanisasi insani guna
membentuk daiwisampat atau divine human,
bukan manusia
asurisampati atau demonic
human, memberikan petunjuk, bahwa Agama
Hindu menggunakan konsep oposisi biner (rwa
bhineda) dalam melihat eksistensi manusia. Gagasan ini berkaitan erat dengan pandangan
Agama Hindu tentang hakikat manusia, yakni
secara substansial terdiri dari unsur tubuh,
pancaindra, pikiran (manah), budi (budhi,
kecerdasan), dan atman (rokh, spriton, kesadaran) (Singh, 2004, 2007). Kepemilikan tubuh
dan pancaindra memunculkan hasrat atau kama.
Hasrat selalu berkecenderungan untuk menikmati
sesuatu yang menyenangkan. Gagasan ini tidak
jauh berbeda daripada gagasan Aristoteles
tentang tujuan hidup manusia, yakni mencari
nikmat dan menghindarkan rasa sakit (MagnisSuseno, 2010).
Pengaktualisasian hasrat atau kama selalu
dibayangi oleh sattwa guna – tendensi-tendensi
benar dan patut dan tamas guna – tendensi-tendensi salah dan tidak patut. Bayangan tattwa
guna dan tamas guna tidak bisa dilenyapkan,
karena keduanya melekat pada tubuh manusia.
Akibatnya, dalam memenuhi hasrat manusia selalu berpeluang untuk berbuat baik (sattwa guna)
atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas
guna) (Singh, 2004, 2007; Sudharta, 2001, 2009;
Pandit, 2005). Dengan demikian, secara psikogenetik manusia adalah makhluk berkarakter
ganda, yakni kedewataan dan keraksasaan sehingga melahirkan divine human dan demonic
human. Manusia selalu berpeluang untuk berbuat
kebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni
berbuat kejahatan (tamas guna) baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
Kemana peluang karakter manusia, apakah
sattwa guna (divine human) atau tamas guna
(demonic human), bergantung pada dominasi
proporsi masing-masing sebagai satu kesatuan
dalam tubuh manusia (Pendit, 2005).
Kemunculan perbuatan baik atau buruk
dalam memenuhi hasrat, selain karena kemelekatan sattwa guna dan tamas guna pada tubuh
manusia, bergantung pula pada pengendalian
pikiran (manah) dan kecerdasan (budhi) (Singh,
2004, 2007; Sudharta, 2001). Pikiran dan kecerdasan memberikan pertimbangan atas dasar rasionalitas dan moralitas atau akal sehat dan rasa,
yakni rasa malu, salah, takut, dan dosa (Atmadja,
2010). Tubuh dan pancaindra sebagai sumber
hasrat – manusia pabrik hasrat, selalu menuntut
kenikmatan optimal. Akibatnya, terjadi Bratayuddha yang ajeg dalam tubuh manusia, yakni
perang antara partai Korawa, simbol tubuh,
pancaindra dan hasrat berlandaskan tamas guna,
dan partai Pandawa, simbol tubuh, pancaindra,
dan hasrat yang dikendalikan oleh manah dan
budhi berlandaskan sattwa guna. Jika Korawaisme (Duryadanaisme), tubuh, pancaindra, dan
61 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65
hasrat mengalahkan Pandawaisme manah, budhi
dan sattwa guna. Maka muncul tindakan manusia bersifat tamas guna atau keraksasaan. Jika
terjadi hal yang sebaliknya, yakni Pandawaisme
(Yudistiraisme), manah dan budhi mampu mengendalikan Korawaisme tubuh, pancaindria hasrat, dan tamas guna maka muncullah tindakan
sattwa guna atau kedewataan.
Gagasan ini menimbulkan implikasi, bahwa
pendidikan sebagai dewatanisasi insani secara
ideal diarahkan kepada pembentukkan manusia
berkarakter ideal, yakni: pertama, mampu
mengendalikan dominasi dan hegemoni tubuh,
pancaindra dan hasrat atas manah (pikiran) dan
budhi (kecerdasan). Atau sebaliknya, menjadikan
manah dan budhi sebagai kekuatan dominatif
dan hegemonik atas tubuh, pencaindra, dan hasrat. Kedua, sattwa guna mengendalikan tamas
guna. Ketiga, pengikut setia partai Pandawa
(Pandawaisme, Yudistiraisme) dan mengabaikan
partai Korawa (Korawaisme, Duyadanaisme).
Keempat, karakter kedewataan mengendalikan
karakter keraksasaan atau divine human mengendalikan demonic human. Walaupun berpihak
pada daya manah dan budhi, sattwa guna, Pandawaisme atau divine human, namun tidak
berarti, bahwa daya tubuh, panca-indra, hasrat,
tamas guna, Kowaisme atau demonic human,
karena secara substansial tidak bisa dilenyapkan,
bahkan harus ada dalam konteks kehidupan
manusia.
Unsur-unsur ini tidak bisa dinolkan, tidak
saja karena sattwa guna dan tamas guna melekat
secara psikogenetik dalam tubuh manusia, tetapi
juga karena sesuai dengan hukum rwa bhineda,
yakni pemilahan atas dua hal berbeda secara
berlawanan dalam konteks dialektika kebermaknaan. Misalnya, kebaikan, kebajikan atau dharma tidak bisa lepas dari kejahatan, keburukan
atau adharma. Mahabrata memberikan penggambaran tepat tentang hal ini, yakni partai
Korawa memang kumpulan orang-orang jahat,
namun ada pula titik kebaikannya, misalnya
kehadran tokoh Bisma. Pandawa memang kumpulan orang-orang baik, namun ada celanya.
“Bukankah mereka suka berjudi?’ Begitu pula
pascabratayudha, karena Kowara mati secara
total, maka Pandawa sebagai simbol kebajikan
juga mati satu persatu. “Mengapa Pandawa
mati?” Sebab, keberadaan Pandawa sebagai simbol kebajikan tidak bermakna lagi, karena tidak
ada keburukan (Atmadja, 1984). Gagasan seperti
ini bisa pula dicermati pada teodise Agustinian
yang menyatakan, bahwa “... Kejahatan secara
aksidental disebabkan oleh kebaikan; atau kejahatan adalah ‘ketiadaan kebaikan’ (privatio boni)
(Bria, 2008: 52). “Bukankah kebaikan pun dapat
muncul dari pengalaman akan keburukan, a
blessing in disguise?” (Bria, 2008: 82).
Dengan demikian, walaupun Agama Hindu
menganut azas oposisi biner, namun meminjam
Gunawan (2010), berbeda daripada ide Aristoteles yang menganut azas bivalensi yang memuat
pemilahan atas dua bagian, di mana manusia harus memilih “ini” atau “itu. Ibarat sebuah film
coboy, pelaku lakonnya terbagi dua, yakni
“orang baik” dan “orang jahat”. Sebaliknya,
Agama Hindu, begitu pula Agama Buddha
menganut azas oposisi biner bukan bivalensi,
melainkan multivalensi yang terkait dengan
Logika Samar atau Fuzzy Logic. Multivalensi
dalam Logika Samar mencoba melihat nuansanuansa dalam menangkap kebenaran. Ada “orang
baik tetapi ada cacatnya” dan “orang jahat tetapi
ada segi baiknya. Tak ada manusia yang sempurna, tetapi selalu ada cacatnya. Kondisi
bivalensi dalam logika samar menyatu dengan
sang diri mengikuti rentangan waktu atau sang
kala, sehingga tidak mengherankan jika bukan
pada hari ini, maka sepanjang hidupnya, baik di
masa lalu maupun di masa yang akan datang
manusia selalu berpeluang untuk berbuat tidak
baik (salah) atau sebaliknya berbuat kebajikan.
Berkenaan dengan itu maka dewatanisasi
insani sebagai proses dan tujuan pendidikan,
arahnya bukan melenyapkan daya tubuh, pancaindra, hasrat, tamas guna, Korawaisme atau
demonic human secara total, melainkan mengendalikannya agar melahirkan manusia yang
berpihak pada daya manah, budhi, sattwa guna,
Pandawaisme atau divine human. Dalam konteks
inilah maka pendidikan sebagai dewatanisasi
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat… 62
insani harus menanamkan berbagai indikator
tindakan yang mencerminkan divine human.
Kajian terhadap berbagai teks Agama Hindu,
yakni Veda (Titib, 1996; Bose, 2000; Saraswati,
2009; Mittal, 2006) dan berbagai teks tafsirnya,
terlihat misalnya pada karya Tapasyananda
(2008), Pandit (2005), Sudharta (2007, 2009),
Sivananda (2005), dan lain-lain, dapat diketahui,
bahwa banyak tata kelakuan atau resep bertindak
yang semestinya ditanamkan guna mewujudkan
divine human. Misalnya, (1) bhakti kepada Tuhan; (2) ahimsa (nirkekerasan); (3) cinta kasih
(Tuhan adalah cinta kasih dan cinta kasih adalah
Tuhan; (4) tidak sombong; (5) sabar; (6) dermawan atau murah hati; (7) tidak egois; (8) memiliki rasa syukur; (9) memiliki rasa terimakasih;
(10) mampu mengendalikan pikiran, kemarahan,
keinginan (indria) dan diri sendiri; (11) menganggap setiap manusia sama derajatnya; (12)
membuang kebencian dan kekejian; (13) hidup
sederhana secara berkemaknaan; (14) melakukan
kebaikan termasuk di dalamnya rela berkorban
untuk kesejahteraan orang lain; (15) memberikan pengampunan; dan (16) percaya pada
diri sendiri, dll. Pendek kata, Agama Hindu
menye-diakan tata kelakuan atau resep bertindak
yang amat kaya guna mewujudkan divine human
melalui dewatanisasi insani. Secara umum hal ini
bisa disebut resep divine human atau resep
daiwisampat.
Orang Hindu tidak saja sebagai orang yang
memiliki Agama Hindu, tetapi juga sebagai
warga negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat memiliki tata aturan, yakni dharma
negara. Sedangkan Agama Hindu disebut dharma negara. Orang Hindu sebagai warga masyarakat dan negara merupakan pula warga
masyarakat dunia. Apalagi pada era globalisasi
secara disadari maupun tidak, manusia berada
pada lingkungan kampung global (Atmadja,
2010). Kondisi ini menimbulkan implikasi,
bahwa pendidikan sebagai dewatanisasi dalam
konteks mewujudkan divine human, tidak cukup
hanya menginternalisasikan ajaran Agama Hindu
(dharma agama), melainkan wajib pula menginternalisasikan tata aturan masyarakat dan
negara atau dharma negara dalam skala nasional
dan global agar interaksi sosial antarwarga dalam
lingkup negara dan atau antarnegara berjalan
secara berkedamaian.
Namun apa pun bentuk resep divine human,
maka penanamannya dilakukan pada pikiran
manusia. Gagasan ini berkaitan dengan filsafat
Vedanta dan Katha Upanisad tentang hakikat
manusia yang terdiri dari tubuh dan roh (atman).
Tubuh dapat diibaratkan dengan kereta. Rokh
adalah penumpang kereta. Kecerdasan adalah
kusirnya. Pikiran adalah tali kendali, dan pancaindria adalah kuda-kudanya (lima ekor kuda penanda lima alat indria). Jiwa adalah penikmat
atau penderita, tergantung pada pikiran dan
indria-indrianya (Singh, 2004, 2007). Gagasan
ini memberikan petunjuk, bahwa dewatanisasi
insani pada dasarnya adalah menanamkan resepresep divine human di dalam pikiran manusia.
Aneka resep divine human ini tidak sekedar
disimpan dalam pikiran – berfungsi sebagai peta
kognisi, tetapi sekaligus juga mengendalikan
pikiran (aspek evaluatif). Gagasan ini sangat
penting mengingat pendapat Sivananda (2005)
sebagai berikut.
Ketika anda sudah berhasil mengendalikan
pikiran, maka anda akan memiliki kendali atas
tubuh anda. Tubuh hanyalah bayangan dari
pikiran. Ia hanyalah konstruksi yang dibuat
oleh pikiran untuk mengekspresikan dirinya.
Tubuh akan menjadi budak anda ketika anda
sudah berhasil menaklukkan pikiran (Sivananda, 2005: 28).
Sebagaimana terlihat pada perumpamaan di
atas, yakni pikiran adalah tali kendali kuda (pancaindria) yang menarik kereta (tubuh), dan kusir
(kecerdasan) adalah pemegang tali kendali, maka
implikasinya, sejauh mana pikiran mampu
mengendalikan tubuh dan pancaindria, bergantung pula pada kusir (kecerdasan). Berkenaan
dengan itu maka pendidikan sebagai dewatanisasi insani tidak cukup hanya menanamkan
resep-resep divine human dalam pikiran, melainkan membutuhkan pula peningkatkan kecerdasan. Dalam konteks inilah teori-teori kecerdasan, yang mencakup kecerdasan emosional,
intelektual, spiritual, dan sosial (Efendi, 2005)
63 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65
tidak bisa diabaikan guna mewujudkan divine
human. Pencermatan terhadap resep-resep divine
human seperti dikemukakan di atas – hanya
contoh kecil tentu bisa digali lebih dalam lagi
pada teks Agama Hindu, bisa berfungsi ganda,
yakni menambah daya pikir dan kecerdasan.
Agama Hindu amat kaya akan resep dinine
human tidak kalah pentingnya daripada agama
yang lain maupun teori-teori sosial budaya.
Aneka resep divine human yang ditanamkan, baik dalam pikiran maupun pembentukkan
kecerdasan, kebermaknaannya terlihat dalam
perubahan pada peta kognisi yang berlajut ke
praksis berbentuk tindakan dan ucapan bercorak
divine human. Divine human tidak saja menuntut
perubahan pada pikiran – kaya aspek kogintif
dan evaluatif, melainkan menuntut pula konsistensi pada ucapan dan tindakan atau Tri Kaya
Parisudha - pikiran (manacika), ucapan (wacika) dan (kayika) membentuk suatu kesatuan.
Namun kunci utamanya, tetapi terletak pada pikiran, karena pikiran sebagai gudang ide berwujud aspek kognisi dan evaluatif adalah
rajendra, yakni raja yang berkuasa mengendalikan alat indra, tubuh dan hasrat. Jika manusia
berhasil mengendalikan pikiran dengan menggunakan idea yang ada di dalam pikirannya, baik
sebagai peta kognisi maupun aspek evaluatif
yang berlanjut pada penguasaan atas alat indria,
tubuh dan hasrat, maka peluang bagi kemunculan
divine human sangat besar. Berkenaan dengan itu
maka gagasan Finger dan Asun (2004) bahwa
pendidikan adalah perubahan pikir sebagai identik dengan proses pengembangan dewasa – bermakna memiliki karakter dewa, sama dengan
gagasan Filsafat Pendidikan Hindu tentang pendidikan sebagai dewatanisasi insani – proses
menjadikan manusia sebagai makhluk berkarakter dewa atau deraksasanisasi insani – proses
menjadikan manusia agar menanggalkan karakter
keraksasaan.
Gagasan Agama Hindu tentang kemanunggalan tubuh dengan sattwa gana dan tamas
guna, begitu pula manusia adalah pabrik hasrat
dan pikiran acap kali gagal mengendalikannya,
bahkan hasrat (tubuh, pancaindria) menguasai
pikiran sehingga peluang manusia untuk berbuat
buruk selalu terbuka. Gagasan ini menimbulkan
implikasi, bahwa pendidikan sebagai proses
mendewasakan (dewasanisasi) atau mendewatakan manusia (dewatanisasi) tidak berhenti hanya pada saat manusia mencapai taraf kedewasaan biologis, melainkan berlangsung sepanjang
hayat. Selain keewasaan secara biologis, manusia
menuntut pula kendewasaan secara sosiobudaya
yang berlangsung sepanjang hayat. Usaha mewujudkan kedewasaan secara sosiobudaya tidak
mudah, baik karena faktor psikogenetik – manusia memiliki tubuh, pancaindria, hasrat, dan
tamas guna maupun karena pengaruh lingkungan
sehingga sepanjang perjalanan hidupnya, manusia selalu berpeluang untuk berbuat kejahatan.
Berkenaan dengan itu maka gagasan UNESCO
bahwa manusia harus melaksanakan pendidikan
permanen, yakni menciptakan masyarakat di
mana setiap orang belajar tanpa dibatasi oleh
waktu, sangatlah tepat. Perubahan sosial dan
budaya mengharuskan manusia, baik yang belum
dewasa maupun yang sudah dewasa untuk secara
terus-menerus mendewasakan pikirannya (Finger
dan Asun, 2004). Gagasan ini sangat cocok
dengan Filsafat Pendidikan Hindu yang melihat,
bahwa manusia adalah multivalensi yang terkait
dengan logika samar, sehingga tidak ada manusia
yang murni baik atau sebaliknya, yakni murni
jahat. Berkenaan dengan itu maka dewatanisasi
tidak saja menjadi suatu keharusan bagi manusia,
tetapi juga berlangsung sepanjang hayat. Jika
dewatanisasi berhenti, maka hasrat yang menyatu
dengan virus tamas guna bisa memunculkan
penyakit, yakni perilaku menyimpang pada
sistem sosial – yang paling hebat apa yang oleh
Whitehead (dalam Bria, 2008) disebut kejahatan
moral.
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa Agama Hindu memiliki Filsafat
Pendidikan Hindu yang bersumberkan pada Veda
dan teks tafsirnya, dikombinasikan dengan
rasionalisme, empirisme dan intuisi sehingga
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat… 64
kebenaran yang didapat juga bersifat metafisik.
Topik-topik yang lazim dikaji dalam filsafat
pendidikan ada di dalam Agama Hindu, di antaranya adalah pendidikan. Agama Hindu menggariskan, bahwa hakikat adalah proses untuk
mewujudkan manusia berkarakter kedewataan,
daiwisampat, divine human atau Pandawaisme.
Sebaliknya, mencegah timbulnya manusia yang
berkarakter keraksasaan, asurisampat, demonic
human atau Korawaisme. Berkenaan dengan itu
maka hakikat, proses, dan tujuan pendidikan
dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu bisa
disebut sebagai dewatanisasi insani atau deraksasanisasi insani.
Pencapaian sasaran dewatanisasi insani
dilakukan dengan cara menanamkan resep-resep
divine human di dalam pikiran dan kecerdasan
peserta didik. Dalam konteks ini Agama Hindu
memuat ajaran yang rinci tentang resep-resep
divine human sebagaimana terlihat pada kitab
suci Veda dan teks-teks tafsinya. Penanaman
resep-resep divine human amat penting, tidak
semata-mata berguna bagi pengendalian pikiran,
tetapi berlanjut pula pada penguatan kecerdasan
yang berujung pada pengendalian tubuh dan
pancaindria. Jika pikiran dan kecerdasan kaya
akan resep-resep divine human, maka tubuh dan
pancaindria akan terkendalikan sehingga tercapai
human divine, tidak saja dalam pikiran, tetapi
juga pada ucapan dan tindakan. Manusia secara
psikogenetik dan sosiobudaya selalu berpeluang
untuk berbuat jahat. Karena itu, dewatanisasi
harus berlangsung sepanjang hayat dikandung
badan.
DAFTAR RUJUKAN
Alwasilah, A.C. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Culler, J. 2003. Barthers. (Ruslani Penerjemah). Yogyakarta: Jendela.
Anandamurti, S.S. 2008. Pengetahuan Spritual di dalam
Kitab Weda. (A’C Vibhakarananda Avt Penerjemah). Denpasar: Ananda Marga Indonesia.
Djumransjah. H.M. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang:
Banyumedia Publishing.
Atmadja, N.B. Wiracarita Ajaran Agama Hindu.
Singaraja: Akademi Pendidikan Agama Hindu
Singaraja.
Atmadja, N.B. 2008. Buku Ajar Filsafat Ilmu
Pengetahuan Jilid I. Singaraja: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha
(Undiksha).
Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Pergerakan, Identitas
Kultural dan Globalisasi. Yogyakarta: KLiS.
Barker, C. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik.
(Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Drucker, P.F. 1997. Masyarakat Pasca Kapitalis. (Tom
Gunadi Penerjemah). Bandung: Angkasa.
Efendi, A. 2003. Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik
MI, EI, SQ dan Successful Inteligence atas IQ.
Bandung: Alfabeta.
Finger, M. dan J.M. Asun. 2004. Quo Vadis Pendidikan
Orang Dewasa. (Nining Patikasari Penerjemah).
Yogyakarta: Pustaka Kendi.
Fudyatanta, Ki. 2006. Filsafat Pendidikan Barat dan
Filsafat Pendidikan Pancasila Wawasan Secara
Sistematik. Yogyakarta: Amus.
Gunawan M. I. 2010. “Aristoteles dan Buddha”. Harian
Kompas, Selasa, 29 Juni 2010. Halaman 6.
Barthers, R. 2007. Petualangan Semiologi. (S.A
Herwinarto Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hoed, B.H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Bahasa, UI Depok.
Bria, E. 2008. Jika Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan
Percikan Filsafat Whitehead. Yogyakarta:
Kanisius.
Keraf, A.S. dan M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Bose, A.C. 2000. Panggilan Veda. (I Wayan Maswinara
Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Knight, G.R. 2007. Filsafat Pendidikan. (Mahmud Arif
Penerjemah). Yogyakarta: Gama Media.
65 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65
Jalaluddin, H. dan A. Idi. 2001. Filsafat Pendidikan
Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media Group.
Saraswati, S.C. 2009. Peta Jalan Veda. (Hira Gindwani
dan Ni Putu Anggia Jenny Penerjemah). Denpasar: Media Hindu.
Magnis-Suseno, F. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari
Aristoteles. Yogyakarta: Kanisisu.
Singh, T.D. 2004. Seri Vedanta dan Sains Kehidupan
dan Asal Mula Jagat Raya. (Tim Penerjemah).
Bali:Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia.
Pandit, B. 2005. Pemikiran Hindu Pokok-pokok Pikiran
Agama Hindu dan Filsafatnya. (IGA Dewi
Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Parsons, T. 1951. The Social System. Glencoe, III: Free
Press.
Pendit, N.S. 2005. Vedanta Percik-percik Renungan
Swami Vivekananda Permata Warisan Filsafat
dan Etos Kerja Modern. Denpasar: Penerbit Bali
Post.
Singh, T.D. 2007. Kehidupan dan Evolusi Spiritual.
(Made Wardhana Penerjemah). Bali: Yayasan
Institut Bhaktivedanta Indonesia.
Sivananda, S.S. 2005. Pikiran Misteri dan Penaklukannya. Surabaya: Paramita.
Sivananda, S.S. Penebar Ceritra Kebajikan. (I Made
Aripta Wibawa Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Pendit, N.S. 2007. Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana
Enam Aliran Astika (Ortodok). Denpasar: Bali
Post.
Sudharta, T.R. 2000. Sarassamuccaya Smerti Nusantara
(Berisi Kamus Jawa Kuno-Indonesia). Surabaya:
Paramita.
Prabhananda, S. 2006. Agama Veda dan Filsafat. (I
Nyoman Ananda Penerjemah). Surabaya:
Paramita.
Sudharta, T.R. 2001. Ajaran Moral dalam Bhagawad
Gita. Surabaya: Paramita.
Machwe, P. 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban. (Ida Bagus Putu
Suamba Penerjemah). Denpasar: Widya Dharma.
Suhatono, S. 2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: ArRuzz.
Surakhmad, W. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan
Strategi. Jakarta: Kompas.
Mittal, M. 2006. Pesan Tuhan untuk Kesejahteraan
Umat Manusia Intisari Veda. (I Wayan Punia
Penerjemah). Jakarta: Paramita.
Tapasyananda, S. 2008. Filosofis dan Keagamaan
Swami Vivekananda. (IGA Dewi Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Much, R. 2008. “Teori Parsonian Dewasa Ini: Sebuah
Pencarian Sintesis Baru”. Dalam A. Giddens dan
J. Turner ed., Social Theory Today Panduan
Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori
Sosial. (Yudi Santoso Penerjemah). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tjahjadi, S.P.L. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan
dari Descartes sampai Withehead. Yogyakarta:
Kanisius.
Ricoeur, P. 2002. The Interpretation Theory Filsafat
Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. (M. Hery Penerjemah). Yogyakarta:
IRCiSoD.
Titib, I M. 1996. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis
Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Ricouer, P. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. (M. Syukri
Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wavana.
Ritzer, G. 2003. Teori Sosial Postmodern. (M. Taufik
Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sadullah, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: CV Alfabeta.
Tapasyananda, S. 2008. Wejangan Filosofis dan
Keagamaan Swami Vivekananda. (IGA Dewi
Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Titib, I M. 2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan
Budhi Pekerti pada Anak (Perspektif Agama
Hindu). Bandung: Gabesa Exact.
Woodhouse, M.B. 2000. Berfilsafat sebuah Langkah
Awal. (A.N. Permata dan P. H. Hadi
Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius.
Zimmer, H. 2003. Sejarah Filsafat India. (Agung
Prihantoro Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Download