ARSITEKTUR BANGUNAN HEMAT ENERGI Ir. Sani Heryanto, MSc Abstract Energy conservation has been an important issue since energy crisis in early 1970 and the depletion of natural resources. The Impact has created the awareness that broaden into many areas, especially in how people live their life. In the building industry, the consumption of energy in building operation for HVAC system to enhance the interior environment for better work place has been questioned, in term of energy conservation. This paper discusses roughly the knowledge pertaining to energy conservation in building delivery system and depicts the methodologies on how energy conservation in building could be solved. Key Words : building, energy conservation Abstrak Konservasi energi menjadi hal penting sejak krisis energi di awal tahun 1970. Dampak dari hal ini menciptakan kewaspadaan di berbagai wilayah, khususnya pola hidup manusia pada saat itu. Dalam industri bangunan, komsumsi bangunan yang mengoperasikan HVAC system dalam bangunan menjadi bahan pertanyaan sehubungan dengan konservasi energi. Paper ini akan mendiskusikan tentang konservasi energi dalam bangunan dan metodologi mengkonservasikan energi dalam bangunan Kata kunci: bangunan, konservasi energi PENDAHULUAN Konsumsi energi (listrik) pada suatu bangunan digunakan terutama untuk memberikan (menciptakan) suatu lingkungan internal yang (sangat) nyaman, 1 Dosen Jurusan Arsitektur, FDTP, UPH Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanegara Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani) 9 dibedakan (terpisah) dari kondisi ekternal yang ekstrim dan tidak nyaman2; memperlancar proses aktivitas, menunjang pelaksanaan kegiatan dan memberi tenaga {power) bagi pengoperasian peralatan-peralatan mekanis (elektronik) di dalam bangunan tersebut. Terus meningkatnya tuntutan dan kebutuhan akan kenyamanan, kemudahan, kecepatan dan ketepatan didalam menjalani kehidupan sehari-hari yang memang tidak nyaman tersebut (penuh dengan tekanan/ stress) dan persaingan (kompetisi), juga menjadi pemicu lain kepada konsumsi energy yang terus meningkat sehingga kompensasi (biaya) dan konsekuensi (polusi lingkungan) dari akibat dan tindakan akan kebutuhan-kebutuhan diatas, cenderung meningkat dan tidak dapat dihindarkan (diturunkan). Agar pelaksanaan semua kegiatan tersebut diatas dapat berjalan selancar mungkin, namun tetap efisien dan efektif, maka pemakaian energi yang bertanggung jawab pada suatu bangunan perlu disadar(kan), ditanamkan, dan terus diusahakan3. Arsitek sebagai perancang {designer) bangunan memiliki posisi yang sangat strategis dalam setiap kegiatan, tindakan dan keputusan yang diambilnya selama proses rancang bangun. Arsitek menentukan secara signifikan tingkat keberhasilan suatu bangunan: Apakah bangunan yang dihasilkan akan hemat energi atau bows energi. Perkembangan, pertumbuhan dan tuntutan (tekanan) global dalam penataan lingkungan hidup, lingkungan binaan {built environment), pengelolan sumber daya alam {natural resources) dan pembangunan kawasan antara lain juga mencakup isu-isu: pencemaran (polusi) lingkungan, pembangunan yang berkelanjutan {sustainable development), pengrusakan hutan hujan tropis {tropical forest). Isu-isu tersebut terangkat menjadi suatu mazhab yang harus ditaati di ~ Suatu perusaan 'nyaman' atau 'tidak nyaman' sebenarnya mempunyai discrepancy relative, artinya akan berbeda menurul individu dan kelompok individu, latar belakang (sosial-budaya), geografis, tingkat penghasilan (ekonomi) dan Iain-lain, sehingga makna tersebut hendaknya jangan di generalisasi dalam suatu batas tertentu yang mutlak. 3 Kiranya, tindakan pembatasan pemakaian energi menurut suatu threshold tertentu bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan (need) dan kemampuan (ekonomis) yang dimiliki. Kecenderungan adalah: diberikan banyak (berlebihan) dan akan habis banyak, dan diberikan secukupnya, tetap cukup ID Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22 dalam setiap proses perdagangan, pertukaran informasi dan pembangunan suatu negara atau kawasan dengan negara lain. Di bidang rancang bangun, isu lingkungan (environment) diatas membawa pengaruh dan dampak positif, antara lain di, arsitektur berkembang menjadi konsep-konsep yang dikenal dengan istilah 'arsitektur ramah lingkungan' {sustainable architecture), 'arsitektur tanggap iklim' {climate responsive architecture), 'bangunan hemat energi' , arsitektur hijau (green architecture), dan yang terakhir 'bangunan (yang) sehat' (healthy building) sebagai akumulasi utama dari akibat sick building syndrome pada bangunan tinggi (skyscraper), dan Iainlain. Namun sayangnya, pemahaman, kepedulian dan kemauan untuk menyelenggarakan, menerapkan konsep diatas secara total masih dan hanya dilakukan di negara maju. Di negara berkembang yang menjadi sumber (ajang) exploitasi, konsep tersebut hanya menjadi 'slogan'. Hal tersebut karena kurangnya dukungan (hukum dan modal) dari pemerintah, tidak adanyanya kesadaran masyarakat setempat, dan rendahnya kemampuan dan pengetahuan SDM4. Peran dan kemampuan seorang arsitek didalam merancang dan menghasilkan suatu bangunan yang (sangat) hemat energi atau ramah lingkungan, sangat tergantung kepada kemampuan (skill), pengalaman (experience), pemahaman (undertanding), keinginan (will) yang dimiliki sang arsitek selama proses perencanaan dan perancangan. Namun perlu disadari dan ditekankan bahwa proses rancang bangun suatu bangunan (gedung) atau lingkungan binaan (kawasan) melibatkan tidak hanya pihak arsitek saja, peran para ahli lainnya seperti ahli struktur (sipil), ahli mekanikal dan elektrikal (M&E), kontraktor, supplier bahan bangunan dan pelengkapan bangunan lainnya, pemilik dan pengelolah gedung dan pemakai bangunan, bersama-sama akan menentukan tingkat 'ke-hematan total' yang mampu dicapai oleh suatu bangunan (dan fasilitasnya) sekaligus tingkat 'ke-borosan-nya'. Di bidang pendidikan, desain kurikulum yang mengacu dan peduli dengan lingkungan masih jarang dikembangkan, sehingga peran dan kepedulian pihak inteleklual yang diharapkan menjadi lokomotif (pendorong) pun menjadi rendah. Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani) II HEMAT ENERGI PADA BANGUNAN MODERN Kondisi di Indonesia Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa bangunan modern di kotakota besar di Indonesia rata-rata mengkonsumsi energy listrik sebesar 200 kWh/irf.tahun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan energy listrik yang dikonsumsi bangunan-bangunan modern di negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand sebesar hanya 160 kWh/m2 (Harjanto, 2002). Negara-negara tersebut sejak awal tahun 80-an sudah menerapkan peraturan perhitungan OTTV5 pada bangunan secara mengikat pada saat pengajuan ijin mendirikan bangunan (1MB) dan akan memberikan insentip (keringanan pajak, misalnya PBB) bila bangunan tersebut nantinya memenuhi perhitungan teoritis tersebut. Selisih angka tersebut (40 kWh/m2.tahun) menunjukkan rata-rata bangunan modern di Indonesia masih jauh dari predikat 'hemat energi', namun sekaligus menunjukkan suatu tantangan penghematan dan peluang bagi para arsitek untuk mengembangkan arsitektur bangunan ke arah konsep tersebut. Suatu desain bangunan yang mampu menghemat energy sebenarnya dapat dicapai dengan cukup mudah, bila melalui beberapa pengolahan secara hati-hati berbagai aspek yang terkait langsung dengan desain bangunan, antara lain: Lingkungan external. Penerapan arsitektur pasif. Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan dan pelengkapan mekanis bangunan. Manajemen, servis dan maintenance gedung. Penerapan Building automation system (BAS) dan Building management system (BMS). Aspek-aspek diatas secara integrasi menentukan tingkat 'kehematan energi' suatu bangunan yang diukur selama umur bangunan (building life cycle). Dan peran setiap ahli yang terkait menjadi sangat sulit untuk dirinci (break down). Pengalaman ini menunjukkan bahwa suatu bangunan pada akhirnya merupakan 5 OTTV: Overall Thermal Transfer Value, atau Perhitungan rata-rata perpindahan (penyerapan) panas oleh selubung (envelope) bangunan terhadap panas external: radiasi dan konveksi sinar alami matahari. 12 Jurnal Umiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22 produk multi discipline untuk mencapai suatu hasil (out put) yang optimal, dimana masing-masing ahli bangunan memberikan kontribusi secara aktif dan efektif sesuai dengan expertise-nya. Menuju Bangunan Hemat Energi di Indonesia Posisi geografis Indonesia terletak di antara 6°LU - 11°LS dan 95°BT 141°BT; kota Jakarta terletak lebih kurang pada posisi 6°LS dan 107°BT. Posisi geografis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dan Jakarta terletak sangat dekat (di sekitar) garis Khatulistiwa yang beriklim ekternal Tropis Lembab, dengan temperatur berkisar antara 30-33°C, hampir tidak ada perbedaan temperatur harian dan tahunan. Kelembaban sepanjang tahun yang cukup tinggi, antara 80% - 90%. Curah hujan (sangat) tinggi antara bulan Desember - Januari. Suhu rata-rata di Jakarta 31°C dan mencapai 35°C pada kondisi tertentu. Kelembaban mencapai 85% karena terletak di tepi pantai. Angka tersebut menunjukkan iklim external Jakarta dan daerah di sekitarnya termasuk kategori iklim ekstrim tidak nyaman untuk aktivitas-aktivitas yang membutuhkan suatu tingkat kenyamanan tertentu (misalnya, suhu 22°C - 26°C dan kelembaban 40% 60%), ditambah lagi dengan emisi kendaraan bermotor di Jakarta yang sudah mencapai suatu tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan sesungguhnya sudah sangat membahayakan kesehatan manusia maka pemanfaatan iklim ruang luar untuk menunjang aktivitas indoor sangatlah tidak menguntungkan. Kondisi external yang ekstrim dan tidak menguntungkan tersebut akhirnya menuntut pemakaian peralatan pendinginan dan penyegar udara atau AC dan sudah menjadi suatu kebutuhan primer (sangat umum). Namun, pengukuran menunjukkan bahwa pemakaian unit AC dan peralatan penunjangnya (pompa, fan, dll) mampu mengkonsumsi ± 60% energi dari total energi yang diperuntukkan bagi suatu gedung, dimana tingkat fluktuasi pemakaian energi AC tergantung kepada besarnya beban panas yang harus didinginkan untuk mencapai suhu nyaman ruang interior. Pemakai energi terbesar lainnya adalah lampu untuk Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani) 13 penerangan dan diperkirakan 20% - 30%, sisanya dipakai oleh peralatan perlengkapan lainnya . Melihat kecenderungan dan mudahnya para pemilik bangunan (owner) bersama-sama dengan arsitek menentukan unit penyegar dan pendingin udara AC sebagai satu-satunya pilihan untuk mencapai kenyamanan (dan kesehatan) dan dengan tingginya konsekuensi yang harus dihadapi di kemudian hari (biaya operasi, pemeliharaan dan pecemaran), maka para perancang bangunan (terutama arsitek) perlu memikirkan kembali (redefined) metodologi desain yang mampu menghasilkan suatu bangunan yang hemat energi namun tetap memberikan suatu tingkat 'kenyamanan' dengan tidak mengkonsumsi energi secara berlebihan. Pemakaian peralatan mekanis seperti AC bukanlah sebagai 'resep' untuk mengobati bangunan yang 'sakit'. Walau pada kenyataannya (prakteknya), banyak produk arsitektur yang pada akhirnya menggantungkan nasibnya pada peralatan mekanis, misalnya: "kalau gerah, tinggal hidupkan AC; kalau gelap, tinggal hidupkan lampu ". Mulai pulihnya perekonomian dan pembangunan yang ditandai dengan meningkatnya perencanaan dan pembangunan gedung-gedung baru (komersial) di beberapa kota besar di Indonesia. Maka konsep 'hemat energi' perlu ditekankan kembali agar tingkat persaingan di bidang pemakaian energi yang efisien dibanding beberapa negara tetangga kita tidak semakin ketinggalan, apalagi pada tahun 2003 ini, AFTA mulai berlaku bagi Indoensia. ASPEK-ASPEK BANGUNAN PENENTU HEMAT ENERGI Bebarapa aspek bangunan selama proses perencanaan, perancangan dan pengoperasian gedung perlu diperhatikan secara serius karena akan sangat mendukung target 'hemat energi' saat bangunan tersebut di operasikan selama umur bangunan (100 - 150 tahun). Hal tersebut sebenarnya sudah dapat dianalisis (dideteksi/ diprediksi) sejak tahap awal perencanaan melalui life cycle costing analysis (LCCA). Aspek-aspek tersebut adalah: ' Prosentase tersebut merupakan angka yang sering dinyatakan pada setiap kesempatan pembahasan distribusi konsumsi energi listrik untuk bangunan perkantoran. 14 Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22 Aspek Lingkungan Eksternal di Luar Bangunan Aspek lingkungan eksternal utama yang sangat berperan di dalam menentukan tingkat kenyamanan dan selanjutnya menentukan tingkat kehematan energi adalah Iklim yang mencakup antara lain: panas radiasi matahari (diffuse atau direct) ambient temperatur kelembaban curah hujan (prespitasi) kecepatan angin (arah dan kekuatan) kemurnian udara (air quality) Aspek lingkungan external lainnya yang ikut menentukan antara lain: topografi, hewan dan vegetasi (landscape). Aspek Arsitektur Bangunan Beberapa aspek perencanaan bangunan (arsitektur bangunan) sangat menentukan tingkat kehematan pemakaian energi yang dapat dicapai oleh suatu bangunan saat di operasikan. Antara 40% - 60% energi yang diproduksi oleh sistem AC digunakan untuk mendinginkan beban panas radiasi dan konveksi yang terjadi sebagai konsekuensi tersebut. Aspek-aspek tersebut antara lain: Panas radiasi matahari, udara panas dan lembab yang masuk baik secara langsung, tidak langsung maupun infiltration. Perbedaan temperatur luar (31°C - 35°C) dan kelembaban luar (85%) dengan temperatur nyaman dalam (interior) (22°C - 26°C) dan kelembaban yang diinginkan (60%) yang terjadi karena perbedaan ruang dan proses perpindahan panas diatas perlu dikondisikan. Magnitude nya tergantung kepada aspek arsitektur bangunan antara lain: pemakaian bahan bangunan, pemakaian pelindung matahari, bentuk massa bangunan, orientasi bangunan, dan Iain-lain. Pengambilan keputusan yang menyangkut aspek arsitektur bangunan secara tepat pada tahap awal mampu menurunkan beban panas yang diterima bangunan sebesar 12% - 18%. Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani) 15 Beberapa aspek penting dalam arsitektur bangunan antara lain: a. Orientasi Bangunan Bentuk dan orientasi massa suatu bangunan terhadap jalur matahari menentukan besarnya beban panas langsung/ tak langsung yang akan diterima oleh suatu fasade bangunan. Untuk suatu massa bangunan berbentuk persegi panjang, sangat disarankan direncanakan agar penataan orientasi bangunan sebaiknya sedemikian rupa, sehingga kedua sisi terpendek bangunan menghadap langsung ke arah matahari terbit/ terbenam dari pada sisi panjangnya. Hal ini akan mengurangi secara langsung besarnya beban intake yang akan diterima langsung oleh fasade bangunan tersebut. Atau pada kedua sisi terpendek tersebut dapat sekaligus direncanakan sebagai core area atau service area suatu bangunan. b. Pemakaian Bahan Selubung Bangunan (Envelope): Selubung bangunan (dinding luar) mencakup antara lain seluruh permukaan bangunan yang berhubungan langsung dengan lingkungan eksternal, antara lain: dinding (masif atau transparant), atap dan lantai. Namun, perpindahan panas (heat transfer) secara signifikan terjadi hanya melalui permukaanpermukaan dinding dan atap, sehingga perencanaan (konstruksi) yang dilakukan pada permukaan tersebut perlu mendapat perhatian serius agar tujuan penghematan dapat tercapai. Magnitude perpindahan panas suatu permukaan tergantung kepada thermal conductivity dari gabungan bahan bangunan yang membentuk permukaan tersebut dan perbedaan temperatur luar dan dalam yang terjadi. Untuk suatu bahan bangunan, besarnya penerusan panas tergantung terhadap faktor konduktivitas bahan bangunan tersebut (U-value). Harga-harga V-value tersebut dapat ditemui pada beberapa buku yang secara khusus membahas heat transfe mechanism. Semakin tinggi U-value suatu jenis bahan, maka kemampuan mereduksi panas semakin keci atau kemampuan meneruskan panasnya pun semakin besar. 16 Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22 c. Perhitungan OTTV OTTV atau harga overall thermal transfer value suatu permukaan fasade adalah suatu metode perhitungan yang dilakukan untuk menentukan secara teoritis besarnya beban panas yang akan masuk melalui suatu konstruksi permukaan bangunan (dinding dan atap) pada bangunan yang menggunakan peralatan pendingin (AC). Perhitungan OTTV oleh sementara ahli bangunan dan pemerintah beberapa negara di ASEAN (Singapore, Malaysia, Thailand) dianggap cukup baik untuk mengontrol dan memprediksi besarnya beban panas yang akan terjadi. Sebagai contoh OTTV untuk bangunan hemat energi bagi beberapa negara tersebut diatas pernah disepakati bersama sebesar 45 W/m2 bangunan, namun pada tahun 2001, diturunkan lagi menjadi 30 - 35 W/m2 karena perkembangan teknologi bahan bangunan seperti bahan dinding dan kaca pada bangunan bukaan (fenestration) dan pemakaian teritisan {shading device) secara baik dan benar. Suatu perkembangan yang menarik adalah meningkatnya kesadaran bersama antara pemilik dan pemakai (pengelolah) gedung, pemerintah dan arsitek terhadap penghijauan lingkungan dan perkotaan pada negara-negara tersebut di atas. Konsep seperti menghijaukan kembali setiap permukaan dengan tanaman hidup seperti pada setiap pengerasan (hard surface) atau pada dak beton dengan suatu taman tap (roof top garden), secara tidak langsung mengurangi perbedaan temperatur lingkungan secara signifikan, dan selanjutnya menurunkan perbedaan temperatur eksternal dengan temperatur internal bangunan. Suatu penelitian yang dilakukan di Singapura menunjukkan permukaan dak beton yang ditanam dengan tanaman rumput dan perpohonon rendah mengurangi reduksi panas permukaan sebesar 25 C - 33°C. Dan temperatur lingkungan pun turun antara 1°C - 2°C (Nparks, 2002). Effek perbedaan temperatur lingkungan akan menyebabkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan pergerakan udara (angin). Angin yang bergerak akan memnerikan efek penyegaran dan juga secara langsung mengurangi temperatur permukaan (dinding) bangunan yang dilaluinya atau mengurangi heat transfer permukaan dinding pada bangunan. Sehingga efek tidak langsung di atas secara langsung mengurangi beban panas yang masuk ke bangunan dan dapat mencapai sekitar 30% dari situasi sebelumnya. Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani) 17 Aspek Pengoperasian Peralatan Mekanis: AC Peralatan mekanis seperti unit AC banyak digunakan sebagai penyelesaian desain secara aktif, karena metodologi desain secara pasif sudah tidak memungkinkan lagi karena konstrain tertentu. Fungsi utama unit AC adalah pengkondisian udara yaitu menjaga kondisi ruang agar tetap nyaman dalam batasbatas sebagai berikut: temperatur (22°C - 23°C) kelembaban (60%) kemurnian (filter) udara (bebas pollutant), menghilangkan bau pertukaran udara: unfresh indoor air dengan fresh outdoor air. terjadinya efek pergerakan udara dengan suatu kecepatan rendah (dibawah 0.5 m/s). Penggunaan unit AC sebagai peralatan mekanis gedung yang menurut pengukuran adalah pemakai energi listrik terbesar (40% - 60%) sudah menunjukan suatu kecenderungan dan kemapanan. Sehingga, keyakinannya adalah bahwa pemakaian AC adalah suatu hal yang mutlak dan tidak dapat terhindarkan. Oleh karena itu, penghematan dari aspek berikut menjadi sangat tergantung kepada tingkat efisiensi atau performance system peralatan tersebut secara utuh (set) didalam memberikan pelayanan dan menjalankan fungsinya. Tingkat efisiensi dari pengoperasian sistem AC ditentukan antara lain oleh nilai COP (coefficient of performance) atau nilai EER (energy efficient ratio). Semakin tinggi nilai COP atau EER, maka semakin tinggi tingkat effisiensi atau hemat energi suatu sistem AC beroperasi. Harga COP umumnya berkisar antara 2.00 - 6.50. Harga tersebut sangat tergantung kepada media pendingin yang digunakan pada kondenser dan dapat dibedakan (diinformasikan) menurut warna label yang tercantum pada produk AC. Sebagai contoh: COP rata-rata pendingin udara adalah 3.00 COP rata-rata pendingin air adalah 4.50 Dengan mudah, penghematan energi melalui unit AC ini dapat dilakukan dengan menggunakan sistem AC yang menggunakan pendingin air (COP 4.50) dari pada sistem pendingin udara (COP 3.00). Tingkat konservasi energi yang IX Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22 dapat dicapai antara 30% - 40% dari pemakaian energi untuk sistem AC tersebut. Namun perlu diingat, bahwa penggunaan sistem pendingin air akan membutuhkan kesediaan air bersih serta ruang pengolahan air yang cukup besar dibandingkan dengan pendingin udara yang cukup diletakkan pada daerah terbuka saja (umumnyadi rooftop). Pemakaian peralatan mekanis lainnya yang cukup signifikan untuk ditinjau segi hemat energi-nya adalah sistem penerangan (± 20%) dan pemakaian unit-unit beban dalam jumlah besar seperti komputer, printer, mesin fotocopy dan pemanas lainnya yang terdapat di dalam gedung, bisa menjadi pemakai energi listrik signifikan di dalam bangunan dan perlu diatur management pengoperasiannya. Selama ini, perkembangan menunjukkan prosentase pemakaian energi dan penghematan yang dimungkinkan oleh peralatan tersebut umumnya jauh lebih kecil dari pada sistem pendingin AC, sehingga pembahasan lebih lanjut jarang dilakukan. Hal tersebut menunjukkan adanya suatu kesempatan untuk diteliti lebih lanjut. Aspek Pengoperasian dan Manajemen Gedung Pemilihan sistem managemen gedung selama umur bangunan mencakup sistem operasi, servis/ pemeliharaan (maintenance), penggantian (retrofitting) dan perbaikan (renovation) baik sebaian maupun seluruhnya. Sistem manajemen gedung menentukan tingkat pemakaian (penghematan) energi dalam bangunan, terutama mencakup pemakaian energi bagi semua peralatan mekanis yang memang memiliki umur efektif dan jadwal pemeliharaan dan penggantian spare parts berkala agar berfungsi optimal. Sebagai contoh: apabila suatu peralatan AC apabila temperatur kondenser naik (+1°C), maka kapasitas mesin pendinginan turun (-1.2%) dan konsumsi daya listrik pun naik (+1%), sehingga EER-nya turun (-2.2%). apabila temperatur referigeran evaporator turun (-1°C), kapasitas pendingin mesin turun (-3.6%), konsumsi daya listrik turun (-1.3%), EER pun turun (-2.3%). Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani) 19 Magnitude temperatur kondenser dan evaporator erat berkaitan dengan service dan maintenace sistem AC tersebut dan dapat menghindari dari kerusakan lebih jauh dengan biaya yang lebih besar. Penerapan Sistem Automasi Gedung Untuk mengoptimalkan sistem pengoperasian dan distribusi pemakaian energi seluruh peralatan mekanis (M&E) yang terdapat di dalam gedung seperti: sistem HVAC, sistem penerangan, sistem transportasi vertikal/ horisontal (lift dan escalator), sistem plumbing (air bersih/ kotor dan kotoran), distribusi beban listrik, dan lain lain, secara tepat dan efisien agar penghematan energi dan sinergi tercapai, maka pemilihan sistem operasi yang terintergrasi secara utuh (total) menjadi suatu pilihan yang tepat. Suatu sistem operasi gedung yang terintegrasi dalam satu sistem manajemen pengendalian terpadu dikenal dengan sistem BMS gedung (building management system). Tujuan dari sistem manajemen adalah meningkatkan efisiensi pemakaian beban dan menghilangkan pemakaian energi yang sia-sia (idle). Agar pengoperasian seluruh sistem M&E dapat berjalan secara automatic (mandiri) maka pada sistem bangunan dikembangkan suatu sistem BAS (building automation system), karena dengan sistem manual tidak akan mencapai suatu kondisi optimum, misalnya pengaturan temperatur dan penerangan interior dengan sensor sesuai dengan perubahan dinamis beban panas dan kuat penerangan yang disyaratkan sehingga dapat menghidup-matikan penerangan secara automatis, dan Iain-lain. Sistem BAS juga dilengkapi dengan suatu sistem monitoring (kontrol) terintegrasi dengan schedulle maintenance, sehingga waktu servis dapat ditentukan sesuai dengan kondisi performance peralatan mekanis yang dioperasikan. Penerapan sistem BMS dan BAS selanjutnya banyak dibahas sebagai bagian dari sistem bangunan pintar atau intelligent building systems. 20 Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22 KESIMPULAN 1. Konsep perencanaan dan perancangan bangunan gedung yang hemat energi merupakan suatu pemikiran dan kegiatan yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan pemakaian energi dan kelestarian alam yang sangat penting dan perlu terus diusahakan. 2. Kegiatan penghematan energi suatu bangunan gedung melibatkan semua pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung selama umur bangunan (building life cycle) dan merupakan suatu kegiatan multi disciplinary tasks. Tidak ada ahli yang lebih penting namun setiap pihak sesuai keahliannya bekerja sama dengan satu tujuan, yakni menghemat pemakaian energi gedung. 3. Kegiatan penghematan energi suatu bangunan meliputi berbagai aspek yang telah disebutkan di atas. Realisasi dan keberhasilan dari keinginan di atas sangat tergantung kepada kerjasama semua pihak yang terlibat, pengetahuan akan batas-batas metoda penghematan energi yang diaplikasikan dan penghematan yang realitis tanpa mengorbankan batas kenyamanan yang telah di tentukan. 4. Realisasi dari tindakan hemat energi memerlukan serangkain kegiatan nyata yang belum tercakup dalam tulisan ini, oleh karena itu kegiatan seperti energy audit dan sebagainya perlu ditindak lanjuti. DAFTAR PUSTAKA American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers, Atlanta, ASHRAE Handbook Fundamentals SI edition, 1993 Atkin, Brian (1988), Intelligent Buildings - Application of IT Automation to High Technology Construction Projects, New York , John Willey & Sons Harjanto, John Budi, Konservasi Energy Pada Bangunan Modern, Universitas Katolik Atmajaya Jaya, Jakarta, 2002 Lippsmeier, Gerog, Bangunan Tropis, Jakarta, Erlangga Edisi Kedua, 1997 Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani) 21 Nparks, NUS, Handbook on Skyrise Greening in Singapore, Singapore, Nparks and CTBP SDE NUS, 2002 Priatman, Jimmy, Energy Efficient Architecture, Paradigma dan Manifestasi Arsitektur Hijau, Surabaya, Universitas Petra, 2002 The Development & Building Control Division, Handbook on Energy Conservation in Buildings & Building Services, Singapore, PWD, 1979 Soegijanto, Pengaruh Selubung Bangunan Terhadap Penggunaan Energi Dalam Bangunan, Jawa Barat, Institut Teknologi Bandung, 2002 Smith, Peter F, Architecture in a Climate of Change, A guide to Sustainable Design, Oxford, UK, Architectural Press, 2001 22 Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22