PENDIDIKAN AGAMA Oleh: I Wayan Sudika A. PENGERTIAN AGAMA Kata Agama berasal dari kata a dan gam. A berarti tidak dan gam berarti pergi. Jadi kata agama berarti tidak pergi atau kekal abadi. Yang kekal dalam hal ini adalah nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama yang sering disebut dengan Dharma. Ajaran agama sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia karena dapat sebagai pedoman/pegangan bagi manusia/masyarakat penganutnya dalam kehidupannya mencapai tujuan yaitu Moksha. Tujuan hidup menurut agama Hindu adalah Mokshartam Jagaditta Ya Ca Iti Dharma. Agama ibarat obor yang memberi penerangan bagi manusia dalam kegelapan dalam menjalani kehidupan di masyarakat Agama Hindu, dahulu juga dikenal dengan nama agama Tirtha, juga agama Sanatana Dharma yang berarti agama yang kekal abadi (Ardhana, 2002:3) Penyebaran Agama Hindu dipercaya berasal dari Hindia dan menyebar melalui pendekatan proses Asosiasi, integrasi, komplementasi dan sublimasi. Assosiasi yaitu melalui proses persamaan-persamaan atau pertautanpertautan budaya dengan budaya setempat Intergrasi yaitu proses dapat menyatunya ajaran agama Hindu dengan budaya setempat karena adanya kesejajaran atau persamaan Komplementasi yaitu proses terjadinya saling lengkap melengkapi antara ajaran Hindu dengan budaya setempat secara dinamis. Sublimasi yaitu proses pemuliaan kebudayaan setempat melalui peningkatan kwalitas kejiwaan dari budaya setempat dengan jiwa agama Hindu. Bertemunya agama Hindu dan kebudayaan setempat menjadi sangat harmonis dan dinamis melalui proses asosiasi, intergrasi, komplementasi dan sublimasi tersebut secara evolusi. Proses ini menyebabkan penampilan kebudayaan Hindu selalu berbeda-beda bentuk luarnya, namun kalau dibedah maka akan nampak hakekat Hindunya yang universal Konsep penerapan/pengamalan ajaran Hindu sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasastra VII.10, ada 5 (lima) dasar pertimbangan yaitu: Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksa artinya pandangan atau cita-cita seseorang atau masyarakat tertentu. Penerapan ajaran Hindu tidak boleh menghilangkan jati diri seseorang atau masyarakat, justru ajaran Hindu harus dapat memperkuat pandangan dan cita-cita seseorang yang benar dan baik. Sakti artinya kemampuan. Dalam mengamalkan ajaran, Agama Hindu menyajikan banyak pilihan sesuai dengan kemampuan. Desa artinya ketentuan-ketentuan setempat yang dianut oleh suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Ini berarti melaksanakan ajaran agama hendaknya disesuaikan dengan norma-norma spiritual yang sudah berlaku baik di suatu tempat tertentu. Kala artinya wkatu. Melaksanakan ajaran agama hendaknya memperhitungkan wktu atau kala agar dapat berhasil dengan baik. Tattwa artinya hakekat kebenaran weda yang kekal abadi. Maksudnya pelaksanaan agama boleh disesuaikan dengan iksa, sakti, desa dan kala, namun tidak boleh menyimpang dengan hakekat kebenaran Weda yang disebut Tattwa. Kebenaran weda tertinggi adalah Satya. B. KEBERADAAN AGAMA HINDU Pada tanggal 26 Juni 1958 berbagai organisasi seperti Satya Hindu Dharma, Yayasan Dwijendra, Partai Nasional Agama Hindu Bali, Majelis Hinduisme, Paruman Para Pandita, Panti Agama Hindu Bali, Angkatan Muda hindu dan Eka Adnyana, mengajukan resolusi kepada Pemerintah Republik Indonesia, yang isinya antara lain menuntuk agar Pemerintah R.I. mendudukkan agama Hindu bali sejajar dengan agama-agama lainnya. Permohonan tersebut mendapat tanggapan positif dari Pemerintah R.I., yaitu dengan dibentuknya bagian Agama Hindu Bali pada Kementerian Agama republik Indonesia dengan Surat keputusan Menteri Agama R.I tanggal 5 September 1958. Sejak tanggal 5 September tersebut baru secara resmi kepercayaan masyarakat Bali diakui oleh pemerintah R.I sebagai sebuah agama sejajar dengan agama Islam, Ktolok dan Kristen (Ardhana, 2002:92-94) Ada minimal 5 persyaratan yang harus terpenuhi agar suatu kepercayaan dapat dipandang sebagai agama yaitu: 1. Percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa Agama Hindu mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai satusatunya Tuhan 2. Ada Maha Rsi sebagai penerima wahyu Wahyu agama Hindu diterima oleh beberapa Rsi yaitu: - Grtsamada - Wiswamitra - Wamadewa - Atri - Bharadwaja - Wasistha - Kanwa 3. Ada kitab suci tempat menulis wahyu Kitab Suci agama Hindu yaitu Weda: - Rg Wega - Yujur Weda - Sama Weda - Atharwa Weda 4. Punya Tata Cara Pemujaan Tata Cara pemujaan tertuang dalam kitab Reg Weda, Sama Weda dan Yajur Weda, yang diberi variasi disana-sini oleh adat setempat. 5. Punya tempat khusus untuk pemujaan Tempat pemujaan umat Hindu adalah Pura: - Pura Keluarga - Pura Masyarakat. - Pura Swadarma dll. C. SYARAT SEORANG UMAT HINDU: Syarat mutlak seorang umat hindu adalah mempunyai lima keyakinan yaitu Panca Srada: Keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Hindu mempercayai adanya satu Tuhan (Tuhan Yang Maha Esa) dengan beberapa nama. Keyakinan akan adanya Atman Hindu percaya adanya atman atau roh yang memberi hidup kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Keyakinan akan adanya hukum karma - Sancita karma phala. Perbuatan yang dilakukan sekarang didunia ini tetapi hasilnya akan diterima pada kelahiran yang akan datang - Prarabda karma phala Perbuatan yang dilakukan pada kehidupan sekarang, hasilnya diterima pada kehidupan sekarang juga. - Kryamana karma phala Perbuatan yang dilakukan sekarang didunia ini tetapi hasilnya akan diterima dialam baka. Keyakinan akan adanya penitisan Keyakinan akan adanya moksa (menyatunya sang Atman dengan Brahman). D. MANUSIA HINDU 1. Konsepsi Manusia Secara etimologi kata Manusia berasal dari kata Manu (berarti pikiran) dan Sya (berarti milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya). Jadi kata Manusia berati ia yang memiliki pikiran atau ia yang senantiasa berpikir dan menggunakan akal pikirannya. Menurut Rene Descartes adalah Cogito ergosum, artinya saya berfikir, maka saya ada Menurut Prof Gunada dan juga Prof Gorda: Manusia adalah salah satu aspek ciptaan Tuhan dengan tujuan akhirnya kembali kepada penciptanya. Langkah untuk kembali kepada penciptanya adalah dengan mengikuti ajaran kitab suci agama. Menurut Adiputra: Manusia adalah manusapada yang artinya bahwa sesungguhnya manusia itu adalah sama dalam berbagai bidang , sama dalam hakekat dan sama dalam martabat, sama dalam hak dan kewajiban. Definisi ini sejalan dengan ajaran agama Hindu yaitu Tattwam Asi. Menurut Sudiatmaka: Manusia adalah sebuah hakekat. - Hakekat manusia sebagai individu adalah makhluk pribadi yang memiliki hubungan langsung dengan Tuhan. - Manusia sebagai makhluk social yang hidup bermasyarakat dengan memelihara kewajiban-kewajiban dan mengembangkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama dengan konsep Mokshartam Jagatdhita Ya Caiti Dharma. Menurut Wiana: Menyatakan bahwa agama Hindu tidak melihat manusia hanya dari sudut rohani semata, tetapi harus dilihat secara utuh dengan segala totalitasnya. - Badan diandaikan sebagai kereta - Kuda yang menarik diandaikan sebagai indriya - Tali kekang kuda diandaikan sebagai pikiran - Kusir kuda diandaikan ibarat budhi - Pemilik kuda diandaikan ibarat atman. 2. Hakekat Manusia Hindu Hakekat manusia dapat dilihat dari dua sisi yaitu: Manusia sebagai makhluk individu. Dalam hal ini manusia dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu: - Suksma Sarira (badan halus); * Manas * Budhi * Atman - Stula Sarira ( Badan Kasar) * Panca Mahabuta * Panca Indriya Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia harus hidup bermasyarakat sehingga harus tunduk dengan hukum yang dibuat manusia disamping tunduk dengan hukum alam. 3. Martabat Manusia Menurut Watra dkk, tinggi rendah martabat seseorang / manusia modern tercermin dari: - Tingkat pendidikan / pengetahuan - Profesi / pekerjaan - Pran & kedudukan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan - Keimanan dan ketaqwaan Berdasarkan pandangan Veda, Martabat Manusia Hindu tercermin dari: - Jati (kelahiran) - Dharma (kewajiban hidup, kebenaran, kedudukan dan peran sosial) Sesuai tujuan yang dianjurkan agama yaitu “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yang artinya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, maka dharmalah sebagai penuntunnya. - Warna (profesi bidang pekerjaan) Brahmana : Golongan yang mempunyai tugas untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan Ksatria : Golongan yang mempunyai tugas untuk menjalankan tugas pemerintahan dan perlindungan kepada semua orang. Wesya : Golongan yang bergerak dibidang ekonomi serta kesejahteraan masyarakat - Sudra : Golongan yang bergerak dibidang jasa yang disebut dengan buruh/ pekerja. Karma (manacika, wacika, kayika) Guna (sattwam, rajas dan tamas) Tingkat kebrahmacarian dan wawasan pengetahuan Tingkat keimanan dan kerohaniawanan 4. Tanggung jawab Manusia Hindu Tanggung jawab manusia yang beragama Hindu secara garis besarnya ada dua yaitu: Tanggung jawab secara vertikal, yaitu tanggung jawab dalam hubungan dengan Brahman/Tuhan. Tanggung jawab secara horizontal: - dalam bentuk Pawongan (sesama manusia) - dalam bentuk Palemahan ( dengan alam sekitar). Berdasarkan tanggung jawab tersebut diatas menjadikan pandangan hidup masyarakat Bali khususnya masyarakt Hindu berupa Tri Hita Karana, yaitu adanya hubungan yang selaras/harmonis dengan Tuhan, hubungan yang selaras dengan sesama manusia serta hubungan yang harmonis dengan alam. 5. Etika Hindu Kata etika berasal dari kata yunani ”Ethos” atau ”La Ethos” yang berarti watak, karakter, sikap, kepribadian, dan keyakinan atas sesuatu. Etos ini dimiliki oleh manusia baik secara perorangan atau kelompok atau suatu masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan (adat), budaya dan sitem nilai yang diyakininya. Dari kata ethos lahirlah etika (ethic) yang artinya pedoman bagi seseorang atau kelompok masyarakat di dalam bersikap dan berperilaku terhadap masalah dan tantangan dalam kehidupan Menurut agama hindu etika sama dengan susila. Kata Susila berasal dari Sanskerta ”Sila” yang berarti tingkah laku. Sedangkan ”Su” berarti baik. Susila berarti sikap/tingkah laku yang baik dan benar. Tata Susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Dengan demikian Etika menjelaskan dan mendefinisikan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan manusia, dengan ukuran-ukuran agama hindu. Tujuan Etika: Untuk membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antara seseorang (jiwatma) dengan makhluk hidup disekitarnya, hubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan yang lain dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Mengapa hidup beretika sangat penting dalam kehidupan di dunia menurut pandangan Hindu? Sebab: 1) Keberadaan manusia disamping tunduk dengan hukum alam juga tunduk dengan hukum-hukum kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak hanya diatur oleh hukum-hukum alam melainkan juga mengatur kehidupan orang lain dan kehidupan dirinya sendiri. Dalam posisi diatur dan mengatur ini manusia selalu dihadapkan pada dua sisi realitas: keniscayaan (alami) dan kebebasan (insani). 2) Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan sekaligus dibekali dua sifat atau karakter yang antagonistis, yaitu sifat-sifat yang baik (daiwi sampad) dan sifat-sifat yang buruk (asuri sampad). Kedua sifat antagonistis ini menempatkan manusia dalam posisi pemilihan atau penentuan sikap terhadap dua kemungkinan kecendrungan perilaku, yakni memilih mengikuti kebajikan (subha karma) atau mengikuti kebatilan (asubha karma). Dalam proses pemilihan kecendrungan tersebut, maka etika diperlukan kehadirannya. 3) Kehidupan manusia pada umumnya berada pada posisi pertentangan antara kebenaran dan kebohongan atau satya-nrta yaitu gabungan antara kebenaran (satya) dan kebohongan (nrta). Satu sisi kehidupan berintikan kebenaran sedangkan disisi lain berintikan kebohongan. Situasi yang demikian ini menempatkan setiap manusia dalam posisi ”pergulatan hati nurani” 6. Suci dan Orang Sadhu 1) Pengertian Suci Suci menurut Gunadha (1990:4) adalah “suatu keadaan yang dapat menyebabkan ketenangan, keharmonisan sehingga dapat menciptakan suasana spiritual yang mantap dan magis”. Untuk menciptakan keadaan menjadi suci dalam agama Hindu dilakukan dengan upacara agama. Sesuatu dipandang tidak suci apabila tidak pernah disucikan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kesucian menurut Santeri (2000: 73) “merupakan usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui perjalanan kedalam bathin sendiri, mengenal sangkan paraning dumadi”. Dibia I Wayan ( dalam Yudha Triguna. 2003) menyatakan Kesecian (shiwam) pada intinya menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Menurut Durkheim (dalam Pals, 2001: 167) hal-hal yang suci atau sakral (the sacred) “selalu dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Sesuatu yang suci menurut Durkheim (dalam Ishomuddin: 2002: 5 ), memiliki tujuh macam ciri yaitu (1) diakui sebagai suatu kekuasaan atau kekuatan, (2) ambigius: fisikmoral, human-cosmic, positif-negatif, menarik-menjijikkan, membantumembahayakan, (3) tidak utilitarian, (4) tidak empirik, (5) tidak melibatkan pengetahuan, (6) memperkuat dan mendukung para pemuja (worshipper), (7) membuat tuntutan moral bagi para pemujanya. Dengan demikian suci dapat dikatakan sebagai suatu yang tidak dapat diukur / dinilai dari keadaan fisik, namun lebih menekankan pada perasaan dan bersifat transendental maupun spiritual. Sesuatu benda yang keadaan fisiknya sangat bersih dan higienes namun dalam hubungan transedental tidak dapat memberikan perasaan tenang atau harmonis, maka benda tersebut tidak dapat dikatakan suci. Jadi suci dapat diartikan sebagai sesuatu keadaan yang mampu memberikan ketenangan atau keharmonisan dalam kehidupan yang pada akhirnya diharapkan dapat mencapai Moksartham Jagadhita Ya Caiti Darmah. 2) Orang Sadhu Orang suci merupakan orang yang memiliki kesucian diri, dan menurut Ganapati Tatwa sloka penjelasan 11 dinyatakan “svalinggam paralinggam va svayam eva karoti yah, liyate sarvabhutanam svalinggam liyate dvijah” yang artinya “nilai diri sendiri atau nilai diri orang lain, itulah yang dia laksanakan hanya dengan mengurangi unsur nilai dirinya sendiri terhadap penilaian segala makhluk, demikianlah orang suci (Dvija).(Mirsha, et all, 1994: 35). Lebih lanjut sloka penjelasan 11 Ganapati Tatwa menyebutkan “matangnyam sang dwija, ginawe nira swalingga lawan ikang paralingga, prihawak siran pagawe, tan bhedahati ning waneh hana pwekang swalingga, sira ta kalinan ing sarwabhuta nang Brahmadi, matangnyan pinralinaken ira swalingga nira”. Artinya, maka dari itu, bagi orang suci/Dwija dilakukanlah penyesuaian nilai diri pribadi dengan nilai dirinya orang lain, diperlukan pula bahwa setiap dirinya berbuat agar tidak menyimpang dari perasaan orang lain tentang status pribadinya itu, hal inilah yang melepaskan segala pengaruhnya ciptaan materiil didunia ini, maka dari itu kebutuhan nafsu pribadinya dipersempitnya (Mirsha et. All, 1994: 35) Dengan demikian orang suci atau Dwija adalah orang yang mampu menyesuaikan nilai dirinya dengan nilai orang lain, mampu menjaga perasaan orang lain serta mampu mengendalikan kebutuhan nafsu pribadinya, sehingga mampu memberikan rasa tenang dan harmonis kepada orang lain dan lingkungannya. Orang suci sering juga disebut dengan orang sadhu (sang sadhu). Menurut Sarasamuscaya sloka 306 disebutkan ciri-ciri sang sadhu yaitu “kuneng laksana sang sadhu, tan agirang yan inalem, tan alara yan ininda, tan kataman krodha, pisaningun ujarakenang parusawacana, langgeng dhirahning manah nira” yang artinya, “adapun ciriciri sang sadhu (orang utama budi) adalah tidak gembira jika dipuji, tidak sedih jika dicela, pun tidak kerasukan marah, tidak mungkin beliau mengucapkan kata-kata kasar, sebaliknya selalu tetap teguh dan suci bersih pikiran beliau” (Kadjeng dkk, 2000: 153). E. ILMU PENGETAHUAN, SENI dan BUDAYA 1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan pengalaman-pengalaman yang diperoleh lewat panca indera manusia. Dalam ajaran agama Hindu disebut sebagai jnana. Sedangkan Ilmu Pengetahuan merupakan pengetahuan atau Jnana yang telah dilakukan pengujian atau kajian dan disistematiskan sehingga dapat dipelajari lebih lanjut oleh orang lain. Menurut ajar agama Hindu ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (ida Sang Hyang Widhi Wasa). Tujuan ilmu pengetahuan menurut Suryani I Gusti Ayu Putu, dkk (2009) adalah kebijaksanaan hidup yang memberikan kebebasan dari kegiatan kerja dan kelepasan belenggu kerja. Oleh sebab itu menuntut ilmu harus terus dilakukan tanpa memandang waktu, maupun usia (umur), untuk selanjutnya dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat sebagai Jnana Yadnya. Dalam Bhagawadgita IV.33 disebutkan bahwa: Persembahan korban berupa pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang berupa apa jugapun, O Arjuna, sebab segala pekerjaan dengan tak terkecualinya memuncak di dalam kebijaksanaan 2. Seni Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Senin mempunyai 2 arti yaitu: 1). Halus kecil dan halus 2). Keaktifan membuat karya-karya bermutu dilihat dari segi kehalusannya. Seni merupakan hasil perenungan yang sangat mendalam yang mendapat kekuatan budhi untuk dapat diwujudkan sebagai hasil cipta, karsa dan karya yang dijiwai kekuatan agama Hindu berupa pancaran kesucian Tuhan yang memancarkan Taksu. Dalam kehidupan masyarakat Hindu ungkapan rasa seni dituangkan dalam bentuk kesenian. Menurut Dibia I Wayan (2003) kesenian itu bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Tuhan. Dalam berkesenian tentu ada nilai Estetika. Estetika Hindu oleh Dibia I Wayan (2003) disebutkan bahwa pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango0 yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Estetika Hindu dilandasi 3 konsep yaitu Konsep Kesucia, Konsep kebenaran dan konsep keseimbangan. Menurut Yudha Triguna (2003) Seni berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata Sani yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian dengan hormat dan jujur. Lebih lanjut dikemukakan bahwa berkesenian adalah salah satu ekspresi proses kebudayaan, maka ia terkait dengan pandangan jagat/dunia orang-orang dari kebudayaan itu. Menghasilkan karya seni yang penuh dengan rasa keindahan yang dapat memberikan rasa lango, tidak lain adalah merupakan sarana (alat) untuk melakukan Yoga. Yoga itu sendiri adalah suatu cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. 3. Budaya Menurut Suryani, I Gusti Ayu Putu, dkk (2009), Budaya merupakan kata bentuk plural dari buddi, yaitu budhhaya yang berarti keluhuran dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya disebutkan bahwa Kebudayaan menurut Antropologi Koentjaraningrat, adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Memperhatikan tentang seni dan budaya diatas maka dapat menyiratkan bahwa Kesenian utamanya kesenian Bali merupakan produk budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang sangat sarat dengan muatan nilai-nilai budaya luhur serta nilai-nilai estetika Hindu. F. PERAN AGAMA DALAM PENEGAKAN HUKUM Peran Agama Hindu dalam merumuskan dan menegakkan Hukum yang adil Perumusan Hukum menurut Hindu diatur secara konsepsional, dimana sistem dan asas yang digunakan dalam hukum Hindu bersumber pada kitab suci Weda. Hukum Hindu bersumber pada: a. Sruti, artinya sama dengan wahyu atau wahyu yang dihimpun dalam mantra Samhita. b. Smerti, adalah himpunan-himpunan yang berisi tentang penafsiran dari Sruti. c. Sila, artinya tingkah laku dari orang-orang suci d. Acara, yaitu adat istiadat yang keramat yang berlaku disuatu tempat. e. Atmanastuti, yaitu rasa puas diri. Penegakan Hukum yang adil dalam ajaran Hindu mempunyai konsep yang jelas yang dijabarkan atau diaplikasikan dalam konsep sradha yaitu Karma Phala. G. POLITIK ( PERSPEKTIF HINDU) Ajaran Agama Hindu berkaitan dengan politik kenegaraan banyak dimuat dalam Nitisastra. Dalam pandangan Hindu Politik merupakan pengetahuan tentang cara bagaimana mengelola pemerintahan suatu negara agar tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Beberapa pandangan dari tokoh-tokoh agama Hindu tentang politik dapat dikemukan sebagai berikut: Ida Pedanda Gede Made Gunung menyatakan bahwa masalah politik menjadi bagian dari agama, yang mana agama memberikan garis tengah dari kegiatan politik yang harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etik dan spiritual. Pada dasarnya politik merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang (partai politik) untuk membahagiakan masyarakat secara keseluruhan. Gunadha menyatakan bahwa ajaran politik sudah lama sejak 1.850 tahun yang lalu yang terdapat pada Artha Sastra, Niti Sastra dan yang lainnya. Tujuannya agar rakyat mencapai Catur Purusartha (dharma, artha, kama dan moksah) dalam menjalankan hidup dan kehidupan manusia di bumi ini. Adiputra, menyatakan politik menjadi bagian dari agama, harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etik dan spiritual.Dengan konsep Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa. Amrih Sukaning Rat, Amrih Sukaning Wong Len. Mengutamakan kepentingan bersama dalam hal ini adalah masyarakat. Sudiatmaka, menyatakan bahwa sesungguhnya masalah politik menjadi bagian dari agama, yang mana agama memberikan kesempatan dalam merealisasikan kegiatan politik untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etik dan spiritual. Dalam berpolitik jangan merasa diri paling hebat, sebab politik memerlukan kebersamaan. Jangan sampai kita berkelahi di bawah (saling bunuh, saling caci dan lainnya) sedangkan para pemimpin kita di atas bergandengan tangan sambil membagi bagi uang purnabhakti. Agama memberikan kontribusi terhadap politik berupa kognitif, untuk membahagiakan masyarakat secara keseluruhan. Wiana, menyatakan bahwa politik sesungguhnya adalah pengabdian tetapi sekarang politik tidak lagi sebagai pengabdian tetapi sebagai peluang mencari kerja. Hakekat politik adalah luhur dan suci kalau dilakukan dengan prinsip berpolitik yaitu berbakti dan mengabdi kepada Tuhan, mengabdi sesama hidup, serta dari kegiatan hidup untuk berbakti kepada Tuhan dan mengabdi sesama sesuai dengan swadharma masing-masing. Wirta, menyatakan politik seharusnya dilakukan dengan landasan moral agama dan hukum Tuhan apapun yang dihasilkan oleh pemerintah itu harus didukung. Kalah dan menang itu soal biasa, tetapi itu bukan tujuan utama, tujuan utama adalah aman, damai dan sejahtera. Kontribusi agama dan spiritualitas agama dalam kegiatan berpolitik perlu ditingkatkan,sebab akan memberikan landasan moral yang kuat pada masyarakat dalam melakukan kegiatan politik agar menjunjung tinggi kekuatan hukum yang berkaitan dengan srada. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa etika politik Hindu berdasarkan pada: kejujuran, perdamaian dan satya. Etika politik ini sering diabaikan oleh para elite politik dewasa ini sehingga tujuan politik untuk mensejahterakan masyarakat menjadi terabaikan. Berdasarkan ajaran agama satya mempunyai nilai yang sangat tinggi seperti disebutkan dalam Slokantara 2 bahwa Satya itu jauh lebih utama dari seratus putra yang suputra. Seorang suputra jauh lebih utama dari seratus kali baryadnya. Sebuah yadnya lebih utama dari seratus telaga untuk umum. Sebuah telaga lebih tinggi mutunya dari membuat seratus sumur. Dalam Sarasamuscaya 129 diterangkan bahwa Satya itu lebih tinggi nilainya dalam membebaskan manusia dari samsara dari pada yadnya, dana dan brata, meskipun yadnya, dana dan brata itu juga dapat membebaskan manusia dari samsara.