BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya Dari hasil penelusuran di perpustakaan Universitas Negeri Gorontalo dan Fakultas Sastra dan Budaya ditemukan satu penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut di teliti oleh Aryatin (2005) dengan judul skripsi “Deskripsi Transposisi Bahasa Tolaki”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian transposisi bahasa tolaki meliputi; nomina ke verba, verba ke nomina, numeralia ke verba dan adjektiva ke verba. Sufiks; nomina ke verba. Konfiks; adjektiva ke nomina, verba ke nomina, numeralia ke verba dan adjektiva ke verba. Sedangkan proses morfofolonogi terjadi akibat bertemunya fonem awal /t/, /k/, /p/ dan /?/ dengan morfem mo-, me-,po-,pa-,-i,ito,ka-/-a,po-/-a dan poko-/-i. Sedangkan penambahan fonem /?/ pada morfem –i, -ito, ka-/-a, po-/-a, dan poko-/-i terjadi pada bentuk dasar yang berawal fonem vokal /a, i, u, e. o,/. Data diperoleh dari penutur bahasa Tolaki sebagai informan. Berdasarkan hasil kajian yang relevan di atas, maka dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan dan kesamaan dengan penelitian yang dilakukan. Persamaannya, mendeskripsikan tentang proses transposisi dilihat dari sistem afiksasi (prefiks, sufiks, dan konfiks) dan metode yang digunakan dalam penelitian yakni deskriptif. Perbedaannya, penelitian di atas tidak membahas tentang proses pembentukan transposisi yang meliputi reduplikasi dan pemajemukan serta, makna dari hasil transposisi tersebut. Penelitiian diatas hanya menitikberatkan pada proses morfofonologi dilihat dari sisitem afiksasi. 2.2 Verba 2.2.1 Hakikat Verba Banyak pakar bahasa mengemukakan pendapatnya mengenai verba. Chaer (2007: 166) mengemukakan bahwa verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan. Di samping itu, menurut Kridalaksana (51: 2008) bahwa verba merupakan kata yang memiliki ciri dapat bergabung dengan partikel tidak, tetapi tidak dapat bergabung dengan partikel di, ke, dari, sangat, lebih, atau agak. Selain itu, verba juga dapat dicirikan oleh perluasan kata tersebut dengan rumus verba + dengan kata sifat. Misalnya, bernyanyi dengan lembut. Kata bernyanyi merupakan verba. Selanjutnya, Pateda (2009: 126) menjelaskan bahwa secara morfologis, semua kata yang mengandung afiks me-, ber-, -kan, di-, i-, dicalonkannya sebagai verba dan secara sintaksis, semua calon kata yang dapat diperluas dengan kata dengan + kata sifat, dicalonkannya sebagai verba. Di samping itu, Mees (dalam Putrayasa 2008: 96- 97) mengemukakan pengertian verba dibedakan menjadi dua golongan, yakni: (1) verba yang membutuhkan objek agar artinya menjadi sempurna (verba transitif). Misalnya, Saya menulis surat dan (2) verba yang sudah sempurna artinya, karena itu tidak dapat dibubuhi objek sebagai pelengkapnya (verba intransitif). Misalnya, Adik tidur . Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa verba merupakan kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan dan pada umunya verba tidak dapat bergabung dengan kata- kata yang menyatakan kesangatan. 2.2.2 Ciri-ciri Verba Setiap kata mempunyai ciri-ciri untuk membedakannya dengan kata lain, sehingga dengan mudah dapat diindetifikasi. Beberapa pakar bahasa mengemukakan ciri-ciri verba. Alwi (dalam Putrayasa, 2008: 71) mengemukakan bahwa verba merupakan kata yang menyatakan tindakan. Ciri-ciri verba dapat diketahui dengan mengamati: (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintakis, dan (3) bentuk morfologinya. Selanjutnya Keraf (dalam Putrayasa: 2008: 87) mengemukakan bahwa untuk menentukan apakah suatu kata termasuk verba atau tidak, dapat digunakan dua prosedur yaitu (1) melihat dari segi bentuk, sebagai prosedur pencalonan, (2) melihat dari segi kelompok kata (frasa), sebagai prosedur penentuan. Kemudian Kridalaksana (2008: 51) mengatakan bahwa secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dalam perilakunya dalam frase, yakni dapat bergabung dengan partikel tidak, tetapi tidak dapat bergabung dengan partikel di, ke, dari, sangat, lebih, atau agak. Selain itu, verba juga dapat bercirikan oleh perluasan kata tersebut dengan rumus verba+ kata sifat, misalnya berlari dengan cepat, membaca dengan nyaring, Kata berlari dan membaca merupakan verba. Berdasarkan ciri-ciri verba yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan ciri-ciri verba sebagai berikut. 1) Segala macam verba yang dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat. 2) Verba mengandung makna yang menyatakan tindakan atau perbuatan (aksi) 3) Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat dalam kalimat meskipun dapat juga mempunyai fungsi lain. 4) Verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan kesangatan. Tidak ada bentuk seperti agak belajar, sangat pergi dan bekerja sekali. 2.2.3 Bentuk-bentuk Verba Beberapa pakar menjelaskan tentang bentuk- bentuk verba. Kridaklasana (2008: 51) membedakan verba sebagai berikut; (1) verba dasar bebas yaitu verba yang berupa morfem dasar bebas. Contoh: duduk, makan, mandi, minum, pergi, pulang, tidur dan (2) verba turunan yaitu verba yang sudah mengalami afiksasi, reduplikasi, proses gabungan dan pemajemukan. Sedangkan Chaer (dalam Pateda 2004: 16) mengemukakan secara morfologis, bentuk verba ada dua jenis yaitu; (1) verba dasar adalah verba yang belum mendapat imbuhan, dan (2) verba bentukan adalah verba yang sudah mendapat imbuhan. Hal yang sama dikemukakan oleh Alwi (dalam Putrayasa, 2008: 74) bahwa verba dibentuk menjadi dua macam yaitu (1) verbal asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis, (2) verba turunan, yaitu verba yang harus atau dapat memakai afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa atau pada posisi sintaksisnya. Berdasarkan pendapat para pakar yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk verba terdiri atas verba dasar dan verba turunan. Verba turunan sebagai berikut: 1. Verba berafiks: ajari, bernyayi, bertaburan, bersentuhan, ditulis, jahitkan, kematian, melahirkan 2. Verba berduplikasi: bangun-bangun, ingat-ingat, makan-makan, marahmarah, senyum-senyum 3. Verba berproses gabung: bernyayi-nyanyi, tersenyum-senyum 4. Verba majemuk: cuci mata, campur tangan, unjuk gigi. 2.2.4 Subkategorisasi Verba Dilihat dari subkateorisasinya verba terdiri dari bebebrapa bagian. Kridalaksana (2008: 52) membagi subkategorisasi verba sebagai berikut: 1) Dilihat dari banyaknya nomina yang mendapinginya dapat dibedakan: (1) Verba Intransitif, yaitu verba yang menghindarkan objek atau verba yang tidak membutuhkan objek. Contoh: bangun, tidur, jatuh, minum, mandi , terbang, mogok. (2) Verba Transitif yaitu verba yang bisa mempunyai atau harus mendampingi objek. Contoh: - Saya menulis surat - Ibu memberi adik kue 2) Dilihat dari hubungan verba dengan nomina, dapat dibedakan: (1) Verba aktif yaitu verba yang subjeknya berperan sebagai pelaku. Verba demikian biasanya berprefiks me-, ber-, atau tanpa prefiks. Contoh: - Ia mengapur dinding - Saya makan nasi - Rakyat mencintai pemimpinnya yang jujur (2) Verba pasif yaitu verba yang subyeknya berperan sebagai penderita, sasaran, atau hasil. Verba demikian biasanya diawali dengan prefiks teryang berarti „dapat di‟ atau‟ tidak dengan sengaja‟ maka verba itu bermakna perfektif. Contoh: - Adik dipukul Ayah - Buku itu terinjak olehku (3) Verba anti- aktif (ergatif) yaitu verba pasif yang tidak dapat diubah menjadi verba aktif, dan subyeknya merupakan penanggap (yang merasakan, menderita, mengalami) Contoh: - Kakinya terantuk batu - Dadanya tembus oleh tombak - Amin kena pukul (4) Verba anti- pasif yaitu verba aktif yang tidak dapat diubah menjadi verba pasif. Contoh: - Ia haus akan kasih sayang - Pemuda ini benci terhadap perempuan - Pak tani bertanam singkong 3) Dilihat dari interaksi antara nomina pendampingnya, dapat dibedakan: (1) Verba resiprokal yaitu verba yang menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak, dan perbuatan tersebut dilakukan dengan saling berbalasan. Kedua belah pihak terlibat perbuatan. Contoh: berkelahi, berperang, bersentuhan, berpegangan, tolongmenolong, bermaaf-maafan, bersalam-salaman, saling memberi, saling memukul, saling membenci, saling memaki, saling kehilangan, baku hantam, baku tembak. (2) Verba non- resiprokal yaitu verba yang tidak menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak dan tidak saling berbalasan. 4) Dilihat dari sudut referensi argumennya, dapat dibedakan: (1) Verba reflektif yaitu verba yang kedua argumennya mempunyai referen yang sama. Verba ini mempunyai dua bentuk: Contoh: bercermin, bercukur, berdandan, berdiang, berhias, berjemur, melarikan diri, memberingkan diri. (2) Verba non- refleksif yaitu verba yang kedua argumennya mempunyai referen yang berlainan. 5) Dilihat dari sudut hubungan identifikasi antara argumen-argumennya, dapat dibedakan: (1) Verba kopulatif yaitu verba yang mempunyai potensi untuk ditanggalakan tanpa mengubah konstruksi predikatif yang bersangkutan. Contoh: adalah, merupakan (2) Verba ekuatif yaitu verba yang mengungkapkan ciri salah satu argumennya. Contoh: menjadi, terdiri- dari, berdasarkan, bertambah, berasaskan, berlandaskan, berjumlah. 6) Verba Telis dan Verba Atelis Konsep telis dan atelis dibicarakan bila verba berprefiks me- dapat dipertentangkan denga verba berprefiks ber-. Verba telis biasanya berprefiks me-, dan verba atelis berprefiks ber-, verba telis menyatakan bahwa perbuatan tuntas dan bersasaran, sedangkan verba atelis menyatakan bahwa perbuatan belum tuntas, atau belum selesai. Contoh: - Pak tani menanam padi Pak tani bertanam padi - Ia menukar pakaian itu Ia bertukar pakaian 7) Verba Performatif dan Verba Konstatif (1) Verba performatif yaitu verba dalam kalimat yang secara mengungkapkan pertuturan yang dibuat pembicara pada waktu mengujarkan kalimat. Contoh: berjanji, menanamkan, menyebutkan, mengucapkan. (2) Verba konstatatif yaitu verba dalam kalimat yang menyatakan atau mengandung gambaran tentang suatau peristiwa. Contoh: menembaki, menulis dan lain-lain. 2.3 Nomina 2.3.1 Hakikat Nomina Banyak pakar bahasa mengemukakan pendapatnya mengenai nomina. Chaer (2007: 166) mengemukakan bahwa nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan. Selanjutnya Mees (dalam Putrayasa, 2008: 95) mengemukakan nomina ialah kata yang menyebutkan nama subtansi atau perwujudan. Nomina dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu nomina yang bersifat konkret dan nomina yang bersifat abstrak. Nomina kongret adalah nomina yang berwujud atau dapat dilihat atau ditangkap oleh panca indra seperti, meja, rumah, televisi dan sebagainya. Sedangkan nomina abstrak adalah nomina yang tak berwujud yang tidak dapat dilihat atau ditangkap oleh panca indra misalnya, cinta, angin dan sebagainya. Baik nomina konkret maupun abstrak dapat berupa kata dasar atau pun kata yang diturunkan. Keraf ( dalam Putrayasa, 2008: 84) membagi kelas kata berdasarkan struktur morfologinya. Struktur morfologis adalah bidang bentuk yang memberi ciri khusus terhadap kata-kata. Bidang bentuk tersebut meliputi kesamaan morfem yang membentuk kata-kata tersebut atau juga kesamaan ciri atau sifat dalam membentuk kelompok katanya. Dengan demikian, dasar penggolongan yang sama dikenakan kepada semua kata dalam suatu bahasa. Selanjutnya Chaer (2008: 65) menjelaskan bahwa dalam kelas kata terdapat kelas kata terbuka dan kelas kata tertutup. Kelas kata terbuka adalah kelas kata yang keanggotaannya dapat bertambah atau berkurang sewaktu-watu berkenaan dengan perkembangan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat penutur suatu bahasa. Kelas nomina merupakan salah satu kelas kata terbuka. Sebagai contoh, dulu pada bahasa Indonesia belum dikenal kata-kata seperti komputer, sinetron, pembenaran, tetapi sekarang kata-kata seperti itu sudah banyak digunakan. Lebih lanjut keraf menjelaskan bahwa yang pernah mendapat didikan tatabahasa secara tradisional, sebenarnya sulit untuk menentukan nomina dalam bahasa Indonesia berdasarkan bentuknya. Secara terdisional, kata-kata seperti rumah, api, air, batu digolongkan dalam nomina berdasarkan arti yang didukungnya dan arti yang dimaksud harus dicari secara filosofis (dalam Putrayasa, 2008: 84). Sehingga untuk menetukan apakah suatu kata dapat berkategori kelas nomina atau tidak, dapat menggunakan dua prosedur yaitu dari segi bentuk sebagai prosedur pencalonan dan dari segi kelompok kata ( frasa), sebagai prosedur penentuan. Dari segi bentuk, semua kata yang mengandung morfem terikat ( imbuhan) ke-an, pe-an, pe-, -an, ke-, dicalonkan sebagai kata benda yaitu perumahan, perbuatan, kecantikan, pelari, jembatan, kehendak dan sebagainya. Sedangkan, dari segi kelompok kata sebagai penentuan yakni kata-kata tersebut dapat diperluas dengan yang + kata sifat. Misalnya, kata angin, Tuhan, Malaikat. Menjadi, Tuhan yang baik, angin yang kencang, dan Malaikat yang suci. Jadi, dapat dikatakan bahwa ketiga kata tersebut merupakan nomina. Kemudian, Burton dan Robert (dalam Putrayasa, 2008: 67) mengatakan bahwa nomina terdiri dari nama seseorang, tempat atau benda. Kemudian dalam http:/ /mughits- sumberilmu. blogspot. com/ 2011/12/ pengertian- nomina-dan sastra.html dituliskan bahwa nomina adalah kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. nomina dapat dibagi menjadi dua yakni (1) nomina konkret untuk benda yang dapat dikenal dengan panca indera misalnya buku, serta (2) nomina abstrak untuk benda yang menyatakan hal yang hanya dapat dikenal dengan pikiran misalnya cinta. Selain itu, jenis kata ini juga dapat dikelompokkan menjadi nomina khusus atau nama diri (proper noun) dan nomina umum atau nama jenis (common noun). Nomina nama diri adalah nomina yang mewakili suatu entitas tertentu misalnya Jakarta atau Ali, sedangkan nomina umum adalah sebaliknya, menjelaskan suatu kelas entitas misalnya kota atau orang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan baik dalam bentuk yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Baik nomina kongret maupun nomina abstrak dapat berupa kata dasar atau pun kata turunan. 2.3.2 Ciri-ciri Nomina Setiap kata mempunyai ciri- ciri untuk membedakannya dengan kata lain, sehingga dengan mudah dapat diindentifikasi beberapa pakar bahasa mengemukakan ciri- ciri nomina. Alwi (dalam Putrayasa, 2008: 67) mengatakan bahwa berdasarkan segi semantis, nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Dengan demikian, katakata seperti petani, kuda, batu, dan kebangsaan termasuk nomina. Hal yang sama dikemukakan oleh Putrayasa (2008: 72) bahwa nomina dapat dilihat dari tiga segi, yakni segi semantis, segi sintaksis, dan segi bentuk. Dari segi semantis dapat dikatakan, bahwa nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Dari segi sintaksisnya mempunyai ciri-ciri yakni: (a) Dalam kalimat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau pelengkap. (b) Nomina tidak dapat diingkarkan denga kata tidak. Kata pengingkarnya adalah bukan. (c) Nomina umumya dapat diikuti oleh ajektiva, baik secara langsung maupun dengan diantarai olah kata yang. Dengan demikian, buku dan rumah adalah nomina karena dapat bergabung menjadi buku baru dan rumah mewah atau buku yang baru dan rumah yang mewah. Berdasarkan uraian di atas mengenai ciri-ciri nomina, maka dapat disimpulkan ciri-ciri nomina yakni: (1) kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian, (2) nomina cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau pelengkap dalam kalimat, (3) nomina tidak dapat dinegatifkan dengan kata tidak melainkan kata bukan, dan (4) nomina dapat diikuti oleh ajektiva. 2.3.3 Bentuk-bentuk Nomina Banyak pakar bahasa menjelaskan tentang bentuk- bentuk nomina. Alwi (dalam Putrayasa, 2008: 73) mengatakan bahwa dari segi bentuknya nomina terdiri dari dua macam, yakni (1) nomina yang berbentuk kata dasar (2) nomina turunan. Penurunan nomina ini dilakukan dengan afiksasi, perulangan, atau pemajemukan. Selanjutnya Mees (dalam Putrayasa, 2008: 95) membedakan nomina menjadi dua golongkan yakni (1) nomina yang bersifat kongret (berwujud), (2) nomina yang bersifat abstrak (tak berwujud). Baik nomina kongret maupun nomina abstrak dapat berupa kata dasar atau pun kata yang diturunkan. Lebih jauh, Kridalaksana (2008: 68) membagi nomina menjadi empat yakni: (1) nomina dasar, (2) nomina turunan. Nomina turunan terbagi atas: (i) nomina berafiks, seperi keuangan, gerigi, perpaduan, (ii) nomina reduplikasi seperti, tetamu, rumah-rumah, pepatah, (iii) nomina hasil gabungan proses, seperti batu-batuan, kesinambungan, (iv) nomina yang berasal dari perbagai kelas karena proses, (3) Nomina paduan leksem seperti, daya juang, loncat indah, cetak lepas, jejak langkah, dan (4) nomina paduan leksem gabungan seperti, pengambilalihan, pendayagunaan, kejaksanaan tinggi, ketatabahasaan. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nomina terbagi menjadi dua yakni (1) nomina dasar, dan (2) nomina turunan baik itu secara afiksasi, reduplikasi, atau pemajemukan. Disamping itu, nomina dasar maupun nomina turunan dapat berupa nomina yang abstrak maupun nomina kongret. 2.3.4 Subkategorisasi Nomina Dilihat dari subkategorisasinya nomina terdiri dari beberapa bagian. Hal tersebut dijelaskan oleh Kridalaksana (2008: 69) menyebutkan subkategorisasi nomina sebagai berikut ini. 1. Nomina Bersenyawa dan Nomina Tak Bersenyawa 1) Nomina bersenyawa dapat dibagi menjadi: (1) Nomina Person (Insan) Nomina person terdiri atas: (1) nama diri seperti Susilo, Bambang, Suharto, (2) nomina kekerabatan seperti nenek, kakek, ibu, bapak, adik, kakak, (3) nomina yang menyatakan orang atau yang diperlakukan seperti orang, misalnya, tuan, nyonya, nona, raksasa, hantu, malaikat, (4) nama kelompok manusia seperti Jepang, Melayu, Eropa, Minangkabau, Bali (5) nomina tak bernyawa yang dipersonifikasikan seperti Inggris, DPR. (2) Flora dan Fauna Flora dan fauna yang mempunyai ciri sintaksis yaitu (1) tidak dapat disubstitusikan dengan Ia, Dia, atau Meraka dan (2) tidak dapat didahului partikel si, kecuali flora dan fauna yang dipersonifikasikan seperti si kancil, si kambing. 2) Nomina Tak Bersenyawa Nomina tak bersenyawa dapat dibagi menjadi: (1) Nama lembaga: DPR, MPR, UUD (2) Nama geografis: Bali, Jawa, Utara, Selatan, hilir, mudik, hulu (3) Waktu: senin, selasa, januari, pukul 8, sekarang, dulu, besok (4) Nama bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Sunda, Bahasa Inggris (5) Ukuran dan takaran: kilometer, kali, pikul, goni, lusin, kodi (6) Tiruan bunyi: aum, dengung, kokok 2. Nomina Terbilang dan Nomina Tak Terbilang Nomina terbilang adalah nomina yang dapat dihitung dan dapat didampingi oleh numeralia seperti kantor, kampung, kandang, buku, wakil, sepeda, meja, kursi, pensil, orang. Nomina tak terbilang ialah nomina yang tidak dapat didampingi oleh numeralia seperti udara, kebersihan, kemanusiaan; termasuk pula nama diri dan nama geografis 3. Nomina Kolektif dan Bukan Kolektif Nomina kolektif mempunyai ciri dapat disubsititusikan dengan mereka atau dapat diperinci atas anggota atau atas bagian-bagian. Nomina kolektif terdiri atas (1) nomina dasar seperti tentara, puak, keluarga, dan (2) nomina turunan seperti wangi-wangian, tepung-tepungan, minuman. Nomina yang tidak diperinci atas bagiannya termasuk nomina yang bukan kolektif. Contoh nomina kolektif: asinan, cairan, hadirin, keluarga, kawanan, kelompok, tumbuh-tumbuhan, dan sebagai. 2.4 Transposisi Verba ke Nomina 2.4.1 Hakikat Transposisi Beberapa pakar bahasa mengemukakan pendapatnya mengenai transposisi. Toorn (dalam Pateda, 2009: 144) mengemukakan transposisi adalah perubahan dari kelas kata yang satu ke kelas kata yang lain. Perubahan itu ditandai oleh adanya ciri tertentu. Misalnya kelas kata nomina dapat berubah menjadi kelas kata verba dengan jalan melekatkan afiks pada nomina. Dalam bahasa Indonesia ada kata pagar sebagai nomina, jika kata pagar diberikan afiks, terjadilah kata-kata dipagari, memagari yang dapat dikategorikan sebagai verba. Putrayasa (2008: 86) mengemukakan bahwa suatu kata dapat diubah atau dipindahkan ke jenis kata lain. Perubahan tersebut dapat terjadi antara lain karena penambahan imbuhan-imbuhan atau partikel. Kata lari merupakan verba, tetapi dengan menambah prefiks pe-, kita dapat memindahkan jenis katanya menjadi nomina, yaitu pelari. Sebaliknya, terdapat nomina yang dapat ditransposisikan menjadi verba misalnya, kopi menjadi mengopi, lubang menjadi melubangkan dan sebagainya. Lebih lanjut, Pateda (1995: 71) menjelaskan bahwa proses pembentukan kata dilaksanakan dengan jalan: (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) pemajemukan. Proses afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar, baik dalam membentuk verba turunan, nomina turunan, maupun kategori turunan lainnya. Dalam bahasa Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang secara tradisional diklasifikasikan atas: (1) prefiks, (2) infiks, (3) sufiks, dan (4) konfiks. Reduplikasi adalah kata yang mengalami perulangan baik perulangan penuh, perulangan sebagian, atau perulangan karena perulangan bunyi. Sedangkan pemajemukan adalah suatu proses pembentukan kata-kata baru dengan menggabungkan dua kata atau lebih dengan atau tanpa afiks. Di samping itu juga, Pateda (1995: 72) menyebutkan tiga ciri yang membedakan kata majemuk dari frasa dalam proses pemajemukan. Ciri itu ialah (1) ketaktersisipan, artinya di antara komponen-komponennya tidak dapat disisipi bentuk apa pun, (2) ketakterluasan, maksudnya masing-masing unsur tak dapat dimodifikasi, kecuali seluruh unsur harus dimodifikasi, (3) ketakterbalikan, maksudnya unsur-unsurnya tak dapat dipertukarkan. 2.4.2 Verba yang Bertransposisi ke Nomina Berbicara mengenai transposisi, Putrayasa (2008: 86) mengemukakan bahwa suatu kata dapat diubah atau dipindahkan ke jenis kata lain. Perubahan tersebut dapat terjadi antara lain karena penambahan imbuhan-imbuhan atau partikel. Telah dijelaskan bahwa proses pembentukan kata dapat dilakukan melalui afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan (Pateda 1995: 71). Berikut ini beberapa contoh verba yang bertransposisi ke nomina. Verba curi Nomina Pencuri curian mandi permandian kamar mandi makan makanan meja makan tumbuh tumbuh- tumbuhan sakit rumah sakit dan sebagainya Dengan melihat contoh di atas dapat disimpulkan bahwa transposisi verba ke nomina terjadi jika bentuk dasar dapat dilekati afiks, melalui pemajemukan dan reduplikasi. Afiksasi yakni dengan cara prefiksasi, sufiksasi, dan infiksasi. Di samping itu, pemajemukan yakni suatu proses pembentukan kata- kata baru dengan menggabungkan dua kata atau lebih dengan atau tanpa afiks. Sedangkan reduplikasi adalah kata yang mengalami perulangan baik perulangan penuh, perulangan sebagian, atau perulangan karena perulangan bunyi. 2.4.3 Proses Pembentukan Transposisi Verba ke Nomina Proses pembentukan kata menurut Pateda (1995: 71) dapat dilaksanakan dengan jalan: (1) melekatkan awalan, (2) melekatkan sisipan, (3) melekatkan akhiran, (4) melekatkan gabungan, (5) melekatkan kombinasi, (6) melekatkan klitik maka, hasil pembentukan kata yang tentu saja tetap menghasilkan kata akan berwujud (1) kata, (2) kata berimbuhan, (3) kata ulang, (4) kata majemuk, dan (5) akronim. Hal yang sama dikemukakan oleh Yasin (1988: 50) bahwa proses pembentukan kata ada tiga macam yakni afiksasi (pembubuhan afiks), reduplikasi (bentuk ulang) dan pemajemukan. Proses pembentukan kata melalui afiksasi dilakukan dengan cara memberikan imbuhan baik berupa awalan, sisipan, atau akhiran pada morfem. Reduplikasi dilakukan dengan melalui peristiwa pengulangan bentuk yang menghasilkan yang menghasilkan bentuk ulang. Sedangkan pemajemukan dilakukan dengan menggabungkan kata dengan kata menghasilkan bentuk- bentuk majemuk atau kata majemuk. Pendapat diatas sejalan dengan pendapat Chaer (2008: 3) bahwa proses pembentukan kata terjadi melalui proses afiksasi, duplikasi ataupun pengulangan dalam proses pembentukan kata melalui proses duplikasi, penggabungan dalam proses pembentukan pembentukan kata melalui proses komposisi. Di samping itu, Putrayasa (2008: 88) mengemukakan bahwa jenis kata kerja dapat dipindahkan menjadi jenis kata lain dengan pertolongan morfemmorfem terikat, misalnya menyanyi menjadi penyanyi, nyayian dan mendengar menjadi pendengar, pendengaran. Proses berubahan tersebut dalam proses pembentukan kata dikenal dengan morfofonemik. Morfofonemik adalah kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem sebagai akibat dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, reduplikasi maupun pemajemukan (Chaer, 2008: 56). Lebih lanjut, Chaer (2008: 56) menjelaskan bahwa dalam proses morfofonemik dikenal adanya proses nasalisasi. Kaidah penasalan untuk verba berprefiks me- (dengan nomina pe- dan nomina pe-an) yang diturunkannya adalah sebagai berikut: (1) Nasal tidak akan muncul bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /l, r, w, y, m, n, ny, atau ng/. Contoh, meloncat menjdi peloncat, peloncatan. Merawat menjadi perawat, perawatan. Menyanyi, menjadi penyanyi. (2) Akan muncul nasal /m/ bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /b,p, dan f/. Contoh, membina menjdi pembina, pembinaan. Memilih menjadi pemilih, pemilihan. (3) Akan muncul nasal /n/ bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /d, dan t/. Contoh, mendengar menjadi pendengaran, pendengaran. Mendapat menjadi pendapat, pendapatan. (4) Akan muncul nasal /ny/ bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /s, c, dan j/. Contoh, menyambut menjadi penyambut, penyambutan. Menyakiti menjadi penyakit, penyakitan (5) Akan muncul nasal /ng/ bila bentuk dasarnya diawali dengan fonem /k, g, h, kh, a, l, u, e, atau o/. Contoh, megirim menjadi pengirim, pengiriman. Menggali menjadi penggali, penggalian. Mengukur menjadi pengukur, pengukuran. 2.4.3.1 Afiksasi Afiks adalah morfem terikat yang harus dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata sehingga dapat difungsikan untuk berkomunikasi (Pateda, 2009: 42). Sedangkan menurut Chaer (2008: 23) afiks adalah morfem yang tidak dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata, tetapi hanya menjadi unsur pembentuk dalam proses afiksasi. Selanjutnya Badudu (1982: 66) membagi morfem menjadi dua macam yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem yang dapat berdiri sendiri disebut morfem bebas, sedangkan morfem seperti me- dan -kan disebut morfem terikat. Semua imbuhan dalam bahasa Indonesia (awalan, sisipan, akhiran) adalah morfem terikat. Dari definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa afiks merupakan morfem terikat yang tidak dapat berdiri sendiri. Imbuhan atau afiks tidak dapat berdiri sendiri, dan agar afiks tersebut dapat difungsikan maka harus dilekatkan pada kata dasar, karena afiks tidak dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata. Yasin (1988: 52) mengemukakan bahwa afiks adalah bentuk linguistik yang keberadaannya hanya untuk melekatkan diri pada bentuk-bentuk lain sehingga mampu menimbulkan makna (baru) terhadap bentuk-bentuk yang dilekatinya tadi. Bentuk-bentuk yang dilekatinya bisa terdiri atas pokok kata, kata dasar, atau bentuk kompleks, yang perlu dicatat dalam pembentukan kata kompleks dalam bahasa Indonesia adalah bahwa afiks-afiks itu membentuk satu system, sehingga kejadian kata dalam bahasa Indonesia merupakan rangkaian proses yang berkaitan (Kridalaksana, 2007: 28). 2.4.3.2 Reduplikasi Ramlan (1987: 57) dan Muslich (2009: 48) mengatakan proses reduplikasi ialah pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, berkombinasi dengan pembubuhan afiks, dengan variasi fonem maupun tidak. Lebih lanjut, Ramlan (1987: 62-68) menggolongkan bentuk reduplikasi menjadi empat, reduplikasi seluruh, sebagian, berkombinasi dengan afiks dan perubahan fonem. Berikut akan dipaparkan keempat bentuk tersebut. 1. Reduplikasi Seluruh, ialah pengulangan secara menyeluruh sesuai dengan bentuk dasar. Contoh: sepeda menjadi sepeda-sepeda, buku menjadi bukubuku, kebaikan menjadi kebaikan-kebaikan. 2. Reduplikasi Sebagian, ialah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya. Contoh bentuk tunggalnya, yaitu lelaki dan tetamu yang dibentuk dari bentuk dasar laki dan tamu. Contoh bentuk kompleksnya yaitu mengambil-ngambil dari bentuk dasar mengambil, ditarik-tarik dari bentuk dasar ditarik, berkatakata dari bentuk dasar berkata, dan terbatuk-batuk dari bentuk dasar terbatuk. 3. Reduplikasi berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, ialah pengulangan bentuk dasar yang dilekatkan pada afiks. Misalnya reduplikasi yang dilekatkan pada afiks an, ke-an, dan se-nya. Contoh: kereta-keretaan, kekuning-kuningan, dan selincah-lincahnya. 4. Reduplikasi dengan perubahan fonem, ialah pengulangan yang diikuti dengan perubahan fonem atau bunyi. Reduplikasi perubahan fonem terbagi dua, yaitu perubahan fonem vokal dan konsonan. Reduplikasi dengan perubahan fonem vokal, yaitu bolak-balik dari bentuk dasar balik dan gerak-gerik dari bentuk dasar gerak. Sedangkan perubahan fonem konsonan, yaitu lauk-pauk dari bentuk dasar lauk dan sayur-mayur dari bentuk dasar sayur. 2.4.3.3 Pemajemukan Warsie (2012: 45) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata majemuk adalah gabungan yang memiliki makna baru, dan makna baru yang terbentuk bukan merupakan gabungan makna dari unsur-unsur pembentuknya, sedangkan menurut Harimurti (2007: 104-105) yang dimaksud dengan perpaduan atau pemajemukan atau komposisi adalah proses penggabungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata. Output proses itu disebut paduan leksem atau kompositum yang menjadi calon kata majemuk. Chaer (2003: 105) menjelaskan bahwa konsep kata majemuk mempunyai satu pengertian atau membentuk pengertian lain akhirnya menyeret. Kemudian, Chaer (2007: 108) memperluas lagi konsep pengertian komposisi. Komposisi adalah hasil penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat sehingga terbentuk sebuah kontruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau yang baru. Misalnya lalu lintas, daya juang dan rumah sakit. Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muslich. Muslich (2008: 57) menjelaskan yang dimaksud dengan proses pemajemukan atau komposisi adalah peristiwa bergabungnya dua morfem dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang relativ baru. Misalnya kamar tidur, keras kepala, sapu tangan. 2.4.4 Makna Bentukan Transposisi Verba ke Nomina Berbicara tentang makna dalam kajian semantik secara umum dikenal adanya makna leksikal, makna gramatikal, makna gramatikal, makna kontekstual, dan makna idiomatikal. Makna leksikal adalah makna yang secara inheren dimiliki oleh setiap bentuk dasar (morfem dasar atau akar). Gramatikal baru muncul dalam suatu proses gramatika, baik proses morfologi maupun proses sintaksis. Makna gramatikal mempunyai hubungan erat dengan komponen makna yang dimiliki oleh bentuk dasr yang terlibat dalam proses pembentukan kata. Misalnya, dalam proses prefiksasi ber- pada kata dasi muncul makna gramatikal „memakai dasi‟, dan dalam proses pemajemukan (komposisi) dasar sate dengan dasar ayam muncul makna gramatikal „sate yang bahan dagingnya ayam‟. Sedangkan dalam proses komposisi dasar sate dan dasar padang muncul makna gramatikal „sate yang berasal dari Padang‟ (Chaer, 2008:29). Dalam prose pembentukan kata menghasilkan makna pada kata tersebut. Makna tersebut antara lain makna kata berimbuhan, makna kata berulang dan makna kata majemuk. Dalam BI terdapat kata berimbuhan misalnya pemberian yang leksemya beri mendapat imbuhan ber-/-an. Kata pemberian bermakna apa yang diberikan atau benda apa yang diberikan (Pateda, 2000: 142). Selanjutnya, Pateda (2000: 143- 146) mengemukakan makna kata berulang dalam BI dapat dirinci menjadi, menyatakan banyak, meskipun, menyerupai, perbuatan, pekerjaan, saling, hal- hal yang berhubungan dengan kegiatan, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam- macam, dan menyatakan sifat. Kemudian makna kata majemuk pada kata yang berkategori verbal dirinci, antara lain: melaksanakan kegiatan misalanya bunuh diri , dan mislanya timbul tenggelam , penyebab misalnya mabuk laut, untuk misalnya berani mati, akan misalnya gila pangkat, inrtensitas misalnya hancur lebur. Makna kata majemuk pada kata yang berkategori nomina antara lain: tempat, kepunyaan, dari, bahan, dan, tentang, mengenai, untuk, menghasilkan, dan berbentuk.