SOLIDARITAS MEKANIK KE SOLIDARITAS ORGANIK (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) Oleh Ramadhani Setiawan Dosen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Abstract Various theories about the show that the ability of people to change that is the important factor in understanding the community. That is, society can not be understood from a variable, statement, and the assumption of only a theory, but must be viewed in real terms or contextual. One of the industrious experts who understand it is Emile Durkheim. Society is more important than the individual, then that individual must learn the moral values that exist in that society. one of his famous works are the Mechanical Solidarity and Organic Solidarity. Keyword: Mechanical Solidarity. Organic Solidarity A. Pendahuluan Teori-teori mengenai masyarakat, berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Dari masa ke masa, teori-teori tersebut mengalami perkembangan dan perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama dengan bertumbuhnya teori baru (kadang kala para akademisi sering menyebutkan teori lama sudah datang ajalnya). Dalam konteks tersebut, kita tidak boleh menyanggah bahwa perubahanperubahan teori mengenai masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang dinamis dengan daya pergerakan yang tinggi. Beragam teori mengenai masyarakat itu memperlihatkan bahwa kemampuan masyarakat untuk berubah itulah yang menjadi faktor penting dalam memahami masyarakat. Artinya, masyarakat tidak dapat dimengerti dari suatu variabel, pernyataan, dan asumsi dari sebuah teori saja, melainkan mesti dilihat secara riil dan kontekstual. Salah satu ahli yang paling dalam memahaminya adalah Emile Durkheim. Ia adalah seorang intelektual yang tidak dapat dilepaskan dari kontek sosial kultural yang melingkupinya. Penekanannya dilakukan pada sains dan reformasi sosial, maka ia dipandang menempati posisi penting dalam perkembangan sosiologi, namun setiap perubahan yang terjadi di masyarakat bukan hanya menjadi kajian sosiologi saja, tetapi menjadi perbendaharaan ilmu lainnya. Kerangka teorinya, lebih mengutamakan arti penting masyarakat-struktur, interaksi dan institusi sosial-dalam memahami pemikiran dan perilaku manusia. Ia ingin melihat hampir seluruh perubahan utama manusia yaitu persoalan hukum, moralitas, profesi, keluarga, ilmu pengetahuan, seni dan juga agama, dengan menggunakan sudut pandang sosial (Hujair sanaky. 2005). Durkheim, mengklaim tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk semua itu, tak ada satupun yang akan muncul dalam kehidupan . Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial dalam karyanya The Division Of Labour yaitu secara mekanis dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak di pengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang disebutnya masyarakat. Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial adalah suatu ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia. Ritzer (2004) juga menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat memaksa karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas misalnya undang-undang yang melembaga. Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa : Suatu fakta sosial harus dikenal oleh kekuatan 260 Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) memaksanya yang bersifat eksternal yang memaksa atau mampu memaksa individu, dan hadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik dengan adanya suatu sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan yang diberikan kepada setiap usaha individu yang condong untuk melanggarnya. Namun orang dapat juga mengenalnya dengan tersebarnya fakta sosial itu dalam kumpulan itu, asalkan dia dapat memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu sendiri terlepas dari bentuk-bentuk individu yang diasumsikan dalam penyebaran tersebut (Emile Durkheim 1964). Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan dibincangkan oleh Durkheim, tak satupun yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam satu produknya, solidaritas sosial membawahi semua karya utamanya. Istilah-istilah yang berhubungan erat dengan persoalan solidaritas ialah integritas sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang di anut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar jika dibandingkan hubungan kontraktual yang dibuat atas kesepakatan rasional, karena hubunganhubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangya satu tangga konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan fakta sosial adalah bukan sesuatu yang tampak seperti itu saja, melainkan motifmotif atau dorongan sosial yang menimbulkan sesuatu itu berlaku di dalam realitas sosial. Maka setiap fakta sosial yang baru membentuk satu nilai sedangkan dilain hal nilai lama akan terkikis bahkan menjadi hilang karena sudah adanya kesepakatan bersama dalam masyarakat tersebut. Untuk itu, dalam tulisan ini diistilahkan dengan deintegrasi nilai. Dalam tulisan ini berfokus pada pemikiran Durkheim mengenai solidaritas mekanis dan solidaritas organis yang sub bahasannya adalah pertama sekilas tentang Emile Durkheim, kedua, memudarnya solidaritas mekanis, ketiga, menguatnya solidaritas organis, keempat, pertumbuhan solidaritas organis dan kelima, hasil degradasi nilai terhadap solidaritas tersebut. B. Sekilas Tentang Emile Durkheim Durkheim, dilahirkan pada tahun 1858 di kota Epinal dekat Strasbourg, daerah Timur Laut Perancis. Ayahnya seorang pendeta Yahudi. Durkheim, perkembangan pemikirannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di luar keluarganya, meskipun ayahnya seorang pendeta Yahudi. Mungkin pengaruh inilah yang menambah keterikatannya terhadap masalah agama, walaupun para seniornya menginginkan ia menjadi seorang penganut katolik yang taat. Mengapa, sebab sejak muda Durkheim telah menyatakan dirinya sebagai seorang agnostik. Tentu, Sikap ini bersimpangan dan kontras dengan ayahnya dan apa yang telah dipelajari dari guruguru Katoliknya sejak muda. Pada akhirnya, Durkheim, di dikenal sebagai “seorang atheis” yang kuat dan selalu bersifat agnostik, iaitu “tidak pernah mempersoalkan kebenaran keyakinan masyarakat yang sedang ditelitinya” (Hujair sanaky. 2005). Ketajaman pemikirannya kadang-kadang dianggap aneh oleh lingkungan kampus, ia dianggap gila oleh mahasiswanya karna berkontemplasi atau dianggap “nyeleneh” dalam proses pengajaran. Pada usia 21 tahun, jalur pendidikan Durkheim di sekolah Ecole Normale Superieure di Paris dan mengambil studi sejarah dan falsafah. Pada awalnya, Durkheim tidak suka dengan suasana pendidikan yang kaku. Keadaan seperti ini selalu membuat suasana tidak menyenangkan. Durkheim, setelah menyelesaikan studinya, mengajar falsafah di beberapa sekolah yang ada di Paris. Pada tahun 1885-1886, Durkheim, migrasi ke Jerman untuk mempelajari psikologi kepada Wilhelm Wundt. Pada tahun 1887, Durkheim diangkat sebagai Profesor Sosiologi di Universitas Bordeaux yang tentu memberinya posisi baru bagi ilmuan sosial terutama dalam penelitian sosialnya. Kemudian, Durkheim menetap di Jeman sampai tahun 1902 dan selama lima belas tahun di Bordeaux, Durkheim telah menghasilkan tiga karya besar yang diterbitkan dalam bentuk buku, iaitu: The Division of Labor in Society (1893), The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide: a Study in Sosiology (1897). Pada saat yang sama pula, Durkheim dan beberapa sarjana lainnya bergabung untuk menerbitkan L’Annee Sociologique, iaitu sebuah jurnal yang memuat artikel-artikel sosial yang kemudian terkenal di seluruh dunia (Peter, 2003). Ia diangkat Profesor Sosiologi dan Pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1902. Perhatian dan minat Durkheim terhadap agama terhadap kehidupan sosial dalam membentuk moralitas, diwujudkan dalam sebuah karyanya yang bertajuk Les Formes elementaires de lavie relegieuse : Le systeme totemique en Australie (1912). Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Joseph Ward Swain menjadi The Elementary Forms of the Religious Life (1915). Dalam buku ini, mencoba menemukan elemen-elemen Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) dasar yang membentuk semua agama. Kemudian kesehatannya mulai menurun pada tahun 1916, karna anak satu-satunya terbunuh dalam kampanye militer di Siberia, sehingga membuatnya terserang penyakit stroke dan dalam usia 59 tahun tepatnya pada tahun 1917, Durkheim meninggal dunia. Pengaruh-pengaruh penting terhadap intelektual Durkheim datang dari tradisi-tradisi intelektual yang jelas mengandung unsur-unsur Perancis. Tafsiran-tafsiran yang saling mengisi dari Sanit Simon dan Comte mengenai kemunduran feodalisme dan munculnya bentuk masyarakat modern merupakan landasan utama semua karya Durkheim, sehingga memang sesuai, bila dikatakan bahwa tema utama karya Durkheim semasa hidup berkaitan dengan usaha mendamaikan konsep Comte mengenai tahapan ‘positif’ dari masyarakat dengan peragaan Saint Simon yang sebagian beraneka ragam tentang ciri-ciri khas dari ‘individualisme’ (Anthony Giddens. 1986). Sejal awal karir mengajar, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan falsafah tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang terjadi di dunia ini. Walaupun yakin akan nilai sosiolog dalam membahas masalah-masalah moral dan sosial, sebagai seorang sarjana, Durkheim sangat kuat komitmennya untuk mengambil sikap obyektif dalam analisanya yang sangat teguh atas bersandarkan fakta. Durkheim seringkali dianggap sebagai seorang ahli politik yang konservatif dan pengaruh beliau dalam Sosiologi juga dianggap konservatif. Ianya karena beliau jarang melibatkan diri dalam politik secara langsung. Pada masa hidup beliau, dianggap sebagai seorang liberal dan terlibat secara aktif terutama dalam usaha untuk membantu Alfred Dreyfus yang merupakan seorang kapten tentara yang telah dihukum karena dituduh membelot. Menurut Farrel (1997) dalam Ritzer dan Goodman (2003) pada masa itu, ramai yang menganggap kasus tersebut sebagai anti-Semitic. Durkheim merasa sangat kecewa dengan kasus Dreyfus terutamanya anti-Semitism tetapi beliau tidak menanggapnya sebagai satu isu rasisme tetapi beliau melihat peristiwa tersebut sebagai satu simptom penyakit (patalogi) moral masyarakat Perancis secara umumnya. C. Pembahasan C.1. Memudarnya Solidaritas Mekanis Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanis untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya. Solidaritas mekanis lebih menekankan pada sesuatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness), 261 yang menyandarkan pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Oleh karena itu sifat individualitas tidak berkembang, individual ini terusmenerus akan dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Individu tersebut tidak harus mengalami atau menjalani satu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan persoalan hal yang lain mungkin juga tidak berkembang. Inilah yang menjadi akar memudarnya atau deintegrasi nilai pada solidaritas mekanis. Pertama, perlu diketahui bahwa nilai barang bersifat ekonomis semakin lama nilainya akan menyusut. Kedua, kesadaran kolektif sebenarnya tidak stagnan atau tetap, melainkan bergerak liar dalam setiap tindakan masyarakat. Kemudian indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan (Durkheim. 1964) (represif). Nilai-nilai ini men-justifikasi setiap prilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang kuat tersebut. Hukuman pada pelaku kejahatan memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok tersebut melawan ancaman atau penyimpangan yang demikian tersebut, karena mereka dipandang sudah merusakkan keteraturan sosial. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang memojokkan masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya, sebaliknya ganjaran itu menggambarkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya tidak terlalu banyak sifat orang yang menyimpang atau tindakan kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkannya, tetapi perlu diketahui suatu sifat kejahatan muncul dari umpan balik nilai-nilai masyarakat. Yang penting dari solidaritas mekanis adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Homogenitas ini hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat minim (Doyle Paul Johnson.1986), C.2 Solidaritas Organis Berlawanan dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu 262 bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggalakkan bertambahnya perbedaan pada kalangan individu. Munculnya perbedaan-perbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Seperti yang dinyatakan Durkheim bahwa “itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif”. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organis itu ditandai oleh pentingnya undang-undang yang bersifat memperbaiki, menyehatkan maupun yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang bersifat represif. Tujuan dari kedua bentuk undang-undang tersebut sangat berbeda. Undang-undang represif lebih mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat sedangkan undang-undang restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang diberikan kepada seseorang pelaku kejahatan berbeda dalam kedua undang-undang itu. Mengenai tipe sanksi yang bersifat restitutif Durkheim mengatakan “bukan bersifat balas dendam, melainkan hanya sekedar menyehatkan keadaan”. Terlaksananya undang-undang represif sebenarnya bukan memperkuat keadaan karena sudah adanya investasi nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju kepada undang-undang restitutif. Dalam sistem organis, kemarahan kolektif yang timbul karena prilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak begitu kuat. Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan dengan rusaknya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya kaedah ketergantungan yang kompleks tersebut dari solidaritas sosial. Pola restitutif ini jelas terlihat dalam undang-undang kepemilikan, undang-undang sewa, undang-undang perdagangan, peraturan dan prosedural administrasinya. C.3 Pertumbuhan Solidaritas Organis Masyarakat menampilkan suatu aspek, dalam setiap kasus. Dalam kasus pertama (solidaritas mekanis), dan yang disebut dengan nama itu ialah keseluruhan kepercayaan dan sentimen yang sedikit banyak Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) terorganisasi dan yang sudah biasa dimiliki oleh semua anggota kelompok yaitu : jenis kolektif. Di lain persoalan, masyarakat dimana kita terikat (don’t nous sommes solidaires) dalam kasus yang kedua, adalah suatu sistem fungsi-fungsi khusus beraneka ragam yang disatukan dalam antar-antar hubungan tertentu (Emile,1964). Jenis kohesi sosial solidaritas organis ini, bukan hanya berasal dari penerimaan suatu perangkat bersama dari kepercayaan dan sentimen, akan tetapi dari saling ketergantungan fungsional di dalam pembagian kerja. Bila solidaritas mekanis merupakan landasan utama bagi kohesi sosial, maka conscience collective merangkum sepenuhnya kesadaran individual, dan oleh karenanya mempra-asumsi-kan indentitas diantara individu-individu. Solidaritas organis sebaliknya, mempraduga perbedaan diantara pribadi-pribadi orang dalam hal kepercayaan dan tindakannya, dan bukannya mempraduga indentitas. Pertumbuhan solidaritas organis dan perluasan pembagian kerja, kemudian dikaitkan dengan individualisme yang makin meningkat. Gerak maju solidaritas organis mau tak mau bergantung pada arti pentingnya conscience collective yang sedang menurun. Disini Durkheim melihat melalui kritiknya Gesselschaft dari Tonnies, bahwa suatu masyarakat, dimana tiap individu hanya mengejar-ngejar kepentingannnya sendiri, akan hancur dalam masa yang singkat. Tidak ada suatu yang labil daripada suatu kepentingan. Kepentingan akan memainkan peran seseorang dalam menerjemahkan pelaku sebagai musuh ataupun teman. Durkheim mengakui kebenaran, bahwa hubungan kontraktual pada umumnya berlipat ganda dengan meningkatnya pembagian kerja, akan tetapi perluasan hubungan-hubungan kontraktual mempraduga perkembangan norma-norma yang mengatur kontrak, dan semua kontrak diatur oleh semua rumusan-rumusan tertentu. Bagaimanapun rumitnya pembagian kerja, masyarakat tidak menjadi kacau akibat persekutuan-persekutuan kontraktual jangka pendek. Disni Durkheim mengulangi pernyataan pokok yang dia buat dalam kaitannya dengan Tonnies bahwa “dengan demikian kelirulah untuk mempertentangkan suatu masyarakat yang berasal dari suatu komunitas kepercayaan-kepercayaan dengan suatu masyarakat yang berlandas atas kerjasama, hanya memberikan suatu sifat moral kepada masyarakat yang disebut pertama diatas, dan hanya melihat suatu putaran ekonomi didalam masyarakat yang disebut kedua di atas. Dalam keadaan sebenarnya, kerja sama itu mempunyai morality sendiri yang hakiki (Emile, 1964). Teori utilitarianisme tidak mampu menerangkan Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) dasar solidaritas moral dalam masyarakat-masyarakat kontemporer, dan teori ini juga tidak benar sebagai suatu teori sebab musabab peningkatan pembagian kerja. Dalam bentuk teori tersebut mengaitkan pertambahan dalam spesialisasi dengan meningkatnya kekayaan materi, yang dimungkinkan oleh keanekaragaman dan pertukaran. Menurut konsep ini, dengan meningkatnya produksi, semakin terpenuhilah keperluan-keperluan manusia, dan makin besarlah kebahagian orang. Durkheim mengemukakan bermacam pernyataan disertai berbagai alasan, terhadap posisi ini. Akan tetapi yang terpenting dari pernyataan tersebut ialah dalil itu keliru pada tingkat empiris. Walaupun memang benar, bahwa ada terbuka berbagai kesenangan bagi manusia modern yang dulunya tidak diketahuinya, kasusenangan itu akan diimbangi oleh sumber-sumber penderitaan, yang tidak ada dalam bentuk-bentuk masyarakat yang mendahuluinya (Emile, 1952). Banyak terjadinya bunuh diri dalam masyarakat kontemporer, merupakan pertanda dari hal tersebut diatas. Bunuh diri karena kemurungan jiwa, hampir tidak ada di masyarakat-masyarakat yang kurang berkembang, arti penting bunuh diri karena kemurungan jiwa dalam masyarakat kontemporer ialah membuat sesuatu kasus yang jelas bahwa keanekaragaman masyarakat tidak harus memproduksi suatu kenaikan tingkat umum dari kebahagiaan. Perkembangan pembagian kerja akan berjalan bergandengan dengan kehancuran sturktur sosial yang bersegmen-segmen. Untuk terjadinya hal ini, tentunya hubungan-hubungan telah terbentuk dimana sebelumnya tidak ada hubungan tersebut, sehingga demikian kelompok-kelompok yang tadinya terpisah, menjadi saling berhubungan. Cara kehidupan dan kepercayaan masyarakat demikian yang berlainan, begitu setelah saling berhubungan, membongkar homogenitas tiap kelompok yang terpisah dan merangsang pertukaran budaya dan ekonomi. Dengan demikian pembagian kerja itu meningkat oleh karena lebih banyak pribadipribadi orang cukup berkontak, sehingga membolehkan saling beraksi dan bereaksi. Durkheim menyebut frekuensi kontak demikian, kepadatan moral atau kepadatan dinamis. Pertumbuhan aneka ragam kontrak pribadi-pribadi orang, tampaknya harus berasal dari suatu jenis antarantar hubungan fisikal yang kontiniu. Dengan kata lain, pertumbuhan kepadatan dinamis itu akan bergantung kepada suatu pertambahan kepadatan fisik penduduk. Atas realitas tersebut Durkheim merumuskan proposisi bahwa “pembagian kerja itu berubah-ubah dalam perbandingan langsung dengan isi dan kepadatan 263 masyarakat, dan bila mana perubahan-perubahan itu melaju secara kontiniu selama perkembangan sosial, maka hal itu disebabkan oleh karena masyarakatmasyarakat secara teratur menjadi lebih padat dan pada umumnya menjadi lebih besar isinya. (Emile, 1964). C.4 Ancaman Solidaritas Peralihan dari solidaritas mekanik ke yang organis tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh keseimbangan tanpa ketegangan. Karena ikatan sosial primordial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak oleh meningkatnya pembagian kerja, mungkin ada ikatan-ikatan sosial lainnya yang tidak berhasil menggantikannya. Akibatnya masyarakat menjadi terpecah yang ditandai individu-individu terputus dengan ikatan sosialnya, dan kelompok yang menjadi perantara individu menjadi tidak berkembang dengan baik. C.4.1 Ketegangan dalam Masyarakat Organik yang Kompleks Berlakunya pembagian kerja yang sangat berkembang serta kaedah-kaedah yang saling ketergantungan yang kompleks, integrasi mungkin dirusakkan oleh koordinasi yang tidak mencukupi antara orang-orang yang memiliki spesialisasi tinggi kegiatannya-kegiatannya tidak dapat dihubungkan menjadi satu. Dalam situasi ini berbagai institusi yang bersifat khusus menjadi kurang lebih otonom untuk masa yang singkat, dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat secara keseluruhannya (Karl Mannheim. 1940). Misalnya sekarang ini ada kecondongan pendidikan sekolah untuk terus mendidik guru-guru baru pada sekolah rendah dan sekolah menengah, dan pada akhirnya kekurangan tenaga guru dan menuju ke arah kelebihan tenaga guru. Satu ancaman yang lebih penting lagi terhadap solidaritas organis, berkembang dari heterogen dan individual yang semakin besar berhubungan dengan pembagian kerja yang tinggi. Dengan heterogen yang tinggi, ikatan bersama yang menyatukan masyarakat berbagai anggota masyarakat menjadi lemah. Individu mulai memisahkan dirinya dengan kelompok yang terbatas dalam masyarakat itu, seperti pada kelompok bagian pekerjaan. Solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil itu tentu saja yang bersifat mekanis. Melemahnya ikatan sosial dari solidaritas mekanis akan merusakkan kepercayaan bersama, melemahkan nilai moral, dan melemahkan struktur normalitas. Hasil daripada hal tersebut adalah anomie, atau keadaan tanpa arti, dan tanpa norma dimana individu tidak mempunyai arah dan 264 tujuan, terpisah dari ikatan sosial karena peraturan normalitas sudah dilaksanakan. Munculnya anomie merupakan salah satu tekanan budaya yang kuat pada individualisme. C.4.2 Integrasi Sosial Dan Angka Bunuh Diri Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bunuh diri menggambarkan suatu keadaan solidaritas dalam masyarakat, persoalan ini merupakan pokok permasalah Durkehim dalam penelitiannya dalam klasik monograf, iaitu suicide (Emile. 1966). Karya ini memperlihatkan metodologi Durkheim bahwa fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya. Angka bunuh diri dalam pandangan Durkheim dilihat sebagai fakta sosial dan bukan fakta individu bahwa bunuh diri disebabkan oleh fakta sosial lainnya misalnya pada tingkat dan bentuk integritas sosial. Gambar : Hubungan Antara Integritas dan Bunuh Diri Perubahan dalam angka bunuh diri tidak hanya merupakan keadaan nyata dari suatu perubahan pada tingkat integritas sosial. Perubahan-perubahan angka kejahatan, penyakit dampak daripada alkohol, perceraian, dan sakit mental adalah merupakan sesuatu gambaran dari tipe atau tingkat integritas sosial. Fenomena bunuh diri dalam keadaan masyarakat adalah merupakan suatu sifat patologi yang ditandai oleh adanya perubahan-perubahan secara tiba-tiba dalam angka atau gejala tersebut. Perubahan-perubahan ini akan memberi tanda bagi sesuatu perubahan dalam kekuatan integritas atau bentuk integritas dan kemungkinan akan berlakunya krisis sosial. Tetapi jika angka bunuh diri atau penyimpangan itu tetap dalam bentuk yang lama, hal ini akan menunjukkan sesuatu keadaan normal bagi masyarakat tertentu. Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya. Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi, delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang akibat depresi. Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada 11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga kasus. Adapun faktor psikologi yang mendorong orang bunuh diri adalah dukungan sosial kurang atau yang didalam tulisan ini disebut dengan degradasi nilai. Posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri, seperti Jepang, dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China yang mencapai 250.000 per tahun (Vivanews.com) Penyimpangan-penyimpangan tersebut dalam masyarakat tersebut sungguh tak dapat dielakkan, secara alamiah terdapat dalam prilaku manusia serta sifat-sifat individu dalam bentuk yang bermacammacam. Perbedaan-perbedaan yang alamiah dalam prilaku manusia memberi peluang pada perbedaan moral sama dengan sistem normaliti tertentu dalam masyarakat. Tapi yang jelas penyimpangan tersebut memberi kasus suatu fungsi sosial positif untuk masyarakat dengan adanya kesempatan dengan menegaskan kembali nilai-nilai moral dimana solidaritas itu berada. Sifat ini akan bermacam-macam bergantung apakah masyarakat itu dalam peralihan solidaritas mekanis ke organis atau pertumbuhan dari solidaritas organis. C.4.3 Kemunculan dan Dukungan Terhadap Solidaritas Sebenarnya keadaan atau fungsi agama mesti dilihat dengan pengakuan akan adanya saling kebergantungan antara agama dan masyarakat. Dalam masyarakat primitif kebergantungan itu akan menjadi lebih nyata dibandingkan dalam masyarakat-masyarakat yang sudah maju. Pada keadaan pada masyarakat yang sudah maju, institusi-institusi agama mengembangkan suatu tingkat otonomi tertentu yang mungkin juga dapat mengaburkan hubungan yang pokok antara agama dan masyarakat. Agama adalah hal yang berhubungan suatu agama yang suci (sacred realm). Dengan demikian agama merupakan suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) berhubungan dengan benda-benda suci. Makna tekanan pada suci memang dapat diterima dan juga dapat dimengerti sebagai sesuatu yang luas. Konsep yang suci ini akan berhubungan dengan kehidupan hari-hari di dunia dipercayai dengan terpisah dan berbeda dari yang biasa, hal ini merupakan dunia kehidupan profan hari-hari. Ide yang suci ini muncul dari kehidupan dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol. Hal inilah yang menyebabkan bahwa sakral dan profan menyatu dan membentuk apa yang disebut dengan totem. Apapun totem tersebut adalah merupakan suatu lambang dari klan itu, dan mereka percaya bahwa benda totem itu mewujudkan prinsip totem yang suci begitu juga dengan klan tersebut bahwa mereka sendiri mempunyai hubungan dengan totem itu dengan suatu kaedah tertentu, selain itu mereka juga ikut memiliki kekuasaan yang suci itu. Jadi hubungan kekerabatan dekat antara klan dan totemnya. C.4.4 Hubungan antara Orientasi Agama dan Struktur Sosial Pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah produk kehidupan kolektif, kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat ikatan-ikatan sosial dalam kehidupan kolektif itu bersandar, sehingga atas hal demikian hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang erat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan agama dalam masyarakat dapat mempersatukan individu dalam kegiatan bersama, satu tujuan bersama, dan memperkuat kepercayaan yang merupakan dasar struktur sosial. Jadi ide tentang yang suci diperkuat karena anggota-anggota kelompok tersebut berulang kali mengalami realitas dari kelompok tersebut. Kenyataan ini disatukan dalam perasaan-perasaan bersama serta kegiatan-kegiatan bersama yang berkaitan dengan pelaksanaan ritus agama yang berulang-ulang atau penegasan kembali mengenai kepercayaan mereka yang sama tentang yang suci itu. Dalam perspektif Durkheim menganai agama adalah benar-benar untuk menunjukkan hal yang paling benar bagaimana kepercayaan agama tertentu atau ritusritusnya mencerminkan atau memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral yang menjadi sandarannya. Swanson (1960) berusaha untuk mengerjakan hal ini dalam suatu analisa perbandingan antara sejumlah masyarakat primitif. Sebagai satu misal umum untuk menggambarkan analisa misalnya : karena masyarakatmasyarakat meluas dalam jumlah dan daerah yang dikuasai, konsep mereka mengenai kekuasaan di dunia meluas sejalan dengan hal tersebut. Jadi dewa-dewa 265 yang terbatas pada kaum bangsa tertentu harus hidup bersama dengan dewa-dewa kaum bangsa lainnya, secara bertahap akan menjadi menguasai, karena kaum bangsa itu berkembang mungkin akhirnya menjadi dewa-dewa dalam skala yang lebih besar lagi. Proses akhir adalah perkembangan konsep mengenai kedewaan universal. Hal ini boleh berlaku dalam berbagai agama di dunia, walaupun keteraturan sosial yang kuat dan luas belum sepenuhnya nampak. Namun demikian, perkembangan serupa itu mencerminkan pertumbuhan suatu perspektif yang menjangkau luas ke seluruh dunia. C.4.5 Agama dalam Masyarakat Modern Analisa Durkheim melihat bahwa perasaan gembira emosional (collective effervescence) (Thomas F.O’Dea. 1961) erat kaitannya dengan upacara-upacara keagamaan yang kolektif, tetapi pada keadaan pada masyarakat kini sangat berbeda keadaannya. Keadaan ini berlaku karena perubahan-perubahan pesat dari bentuk-bentuk yang lama ada dalam proses mundur, dan bentuk-bentuk baru akan muncul dan akan menggantikan hal yang lama tersebut. Durkheim melihat bahwa kurangnya gairah hidup dalam bentuk-bentuk agama merupakan suatu tanda gejala-gejala rendahnya tingkat solidarity dalam masyarakat, walaupun berlaku demikian gejala-gejala tersebut akan berubah pada suatu masa, karena jenis-jenis pengalaman kolektif yang baru melahirkan bentuk-bentuk solidaritas yang baru, seperti dengan pendapatnya : Kalau sekarang kalau kita merasa agak sulit membayangkan perayaan-perayaan atau upacara apa saja yang ada pada masa mendatang, ini disebabkan karena kita sedang melewati suatu tahap transisi dan keadaan moral yang kurang kuat lagi. Hal-hal besar pada masa lalu yang membuat kakek kita penuh emosional yang gembira tidak lagi membuat semangat di dalam diri kita. Tetapi pada masa yang akan datang apabila masyarakat-masyarakat kita mau mengetahui lagi masa berlakunya effervescence yang kreatif, dimana ide-ide baru muncul dan rumusan-rumusan baru diperolehi dan menjadi sandaran bagi kita menuju integritas atau humanity, dan apabila masa ini telah kita lewati, orang dengan sendirinya akan merasakan keperluan dan menghidupkan kembali secara berterusan di dalam hati, iaitu menghidupkannya dalam ingatan dengan perayaan-perayaan yang secara teratur menghasilkan buah (Emile. 1947) Dari pernyataan Durkheim terlihat bahwa ia terlalu 266 Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim) menekankan solidaritas, tetapi ia bertujuan bahwa tekanan ini akan bermakna mempersatukan orang dalam komunitas moral, jadi tidak heran bahwa Durkheim melihat agama bersifat meningkatkan kekompakan dan solidaritas sosial. Pernyataan Durkheim ini akan berbanding terbalik jika kita melihat kejadian di Indonesia iaitu konflik antara kelompok FPI (Front Pembela Islam) dan AKB (aliansi kebebasan beragama). Sebenarnya, konflik-konflik tersebut berlaku karena perbedaan-perbedaan politik yang mendasar, ekonomi atau sosial, namun elemen agama yang menjadi sasaran dalam mempertajam ideologis. Nilai agama semakin digantikan dengan norma-norma dalam masyarakat terutama dalam proses evolusi masyarakat pra-industri ke masyarakat moden yang menyebabkan terjadinya anomie. DAFTAR PUSTAKA Beliharz, Peter, 2003, Soscial Theory: A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial : Observasi Kristis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,. Durkheim, Emile, 1964, The Division of Labour in Society, Translated by George Simpson, New York, Free Pres. Durkheim, Emile, 1947, The Elementary Forms af Relegious Life, Translated by Joseph Ward Swain, Newyork, Free Pres. Durkheim, Emile, 1952, Suicide a Study in Sosiology, Paris Durkheim, Emile, 1964, The Division Of Labour in Society, London Durkheim, Emile, 1966, Suicide. Translated by Jhon A, Spaulding and George Simpson. Edited by Geroge Simpson, Newyork, Free Press. Giddens, Anthony, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim, Weber, Penerjemah Soeheba Kramadibrata, Jakarta, UI Press. Manheim, Karl, 1940, Man and Society in an Age of Reconstruction, London, Routledge and kegan paul. Paul Johnson, Doyle, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, di Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta, PT.Gramedia. O’Deal, Thomas F, 1961, Five Dilemmas in the Institutionalization of Religion, Dalam Journal for the Scientific Study of Relegion. Hlm 32-39 Ritzer dan Goodman, 2003, The Sociological Theory, Edisi ke-6, McGraw Hill Sanaky, Hujair, 2005, Sakral Sacred Dan Profan [Studi Pemikiran Emile Durkheim Tentang Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta. Swanson E.Guy, 1960, The Birth of the Gods. Ann Arbour : Universiti of Michigan Press. Michigan