Siwa Plato - Arkeologi Ugm

advertisement
Cerita dari Siwa Plato
(Pengantar Newsletter Antar Budaya Edisi Khusus Siwa Plato)
Oleh: J. A. Sonjaya
Lebih dari seribu tahun lalu, kawasan Prambanan sudah dipilih manusia untuk
beraktivitas. Buktinya adalah Candi Prambanan yang begitu monumental. Selain itu,
belasan candi yang berasal dari abad ke-8 sampai ke-10 Masehi tersebar di sekitarnya,
baik di dataran maupun di perbukitan. Dipilihnya kawasan Prambanan untuk lokasi
bangunan-bangunan suci tentunya bukan tanpa alasan. Dalam kitab Silpasastra
disebutkan bahwa syarat pembangunan candi antara lain adalah adanya air dan tanahnya
subur. Prambanan memiliki kedua syarat itu.
Secara geomorfologis, kawasan Prambanan dibagi menjadi dua, yaitu daerah
dataran di sebelah utara dan perbukitan di sebelah selatan. Daerah dataran terbentuk dari
tanah aluvial yang sangat subur. Hal ini tidak lepas dari keberadaan Gunung Merapi di
utara dan perbukitan Batur Agung di selatan. Keduanya menyumbangkan material yang
dibutuhkan bagi kesuburan tanah. Daerah perbukitan di kawasan Prambanan merupakan
bagian dari lereng perbukitan Batur Agung. Setidaknya terdapat empat buah bukit di
kawasan ini, yakni Ratu Boko, Pegat, Gunung Sari, dan Ijo. Kawasan perbukitan tersebut
terjadi karena sesar (fault), mulai dari Bukit Ratu Boko, kemudian ke Gunung Sari,
hingga ke Bukit Ijo. Sesar yang terjadi
termasuk sesar turun yang normal, yang
kemudian mengalami proses pelapukan dan erosi. Perbukitan struktural yang terjadi
karena proses sesar ini memiliki ciri lithologi breksi tuf, breksi batu apung, tuf dasit, tuf
andesit, batu lempung tufan, tuf gelas, batu pasir tufan, serpih, dan aglomerat dasitik.
Di Bukit Ratu Boko, Gunung Sari, Pegat, dan Ijo ditemukan candi-candi dan
bangunan klasik lain yang secara historis tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan
Prambanan, antara lain Candi Ratu Boko, Candi Barong, dan Candi Ijo. Karena
keberadaan bangunan suci tersebut, maka para arkeolog Belanda menyebut bukit-bukit
ini dengan istilah Siwa Plato (Ciwa Plateau) atau Dataran Tinggi Siwa. Meskipun dalam
perkembangan berikutnya di kawasan ini ditemukan pula Candi Budha, seperti Candi
Dawangsari, namun nama Siwa Plato masih sering digunakan, karena makna di balik
istilah itu tidak sekedar merujuk pada candi-candi Hindu (Siwa), melainkan lebih pada
dataran tinggi yang suci. Dalam konsep kepercayaan Hindu, tempat yang tinggi, seperti
bukit, memang dianggap suci, sehingga bangunan-bangunan suci banyak didirikan di
tempat yang tinggi.
Seribu tahun berselang. Siwa Plato kini masih digunakan oleh manusia untuk
beraktivitas, baik untuk pemukiman maupun untuk lahan mencari makan. Belum ada
bukti yang menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal sekarang adalah anak keturunan
dari penduduk seribu tahun lalu ketika candi-candi dibangun dan digunakan. Jaman telah
berubah dan pemaknaan terhadap Siwa Plato pun berubah. Itulah yang terjadi. Siwa Plato
tidak lagi dianggap sebagai tempat yang suci. Hal ini antara lain nampak dari ungkapan
penduduk setempat yang menyebut kawasannya dengan istilah “batu bertanah” dan
“adoh ratu cerak watu”. Kedua istilah itu mengandung konotasi negatif. Batu bertanah
berarti lebih banyak batu daripada tanah. Ungkapan ini mencerminkan sebuah kawasan
yang tandus sulit ditanami. Adoh ratu cerak watu berarti jauh dengan ratu dekat dengan
batu. Ungkapan ini mencerminkan suatu kondisi masyarakat yang jauh dari pusat
(kekuasaan dan kemajuan), tetapi dekat dengan batu—sesuatu yang mencerminkan
keterbelakangan karena batu bersifat statis. Siwa Plato memang tersusun dari batuan
setebal 1.000 meter, termasuk ke dalam formasi Semilir yang terbentuk pada kala
Miosen.
Meskipun Siwa Plato tidak lagi dipandang sebagai tempat suci, namun ia tetap
berarti bagi penduduk yang mendiaminya sekarang. Tulisan-tulisan dalam bulletin ini
menyajikan penggalan-penggalan cerita dari Siwa Plato dalam konteks kini, melalui Desa
Sambirejo sebagai jendelanya. Desa berpenduduk 4.926 jiwa (sensus 2004) yang terletak
di Bukit Ijo yang berketinggian 427 mdpl ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
lokasinya memang startegis untuk mengamati lansekap fisik dan lansekap sosial budaya
Siwa Plato. Sayangnya, proses pengamatan tersebut harus berhenti karena Siwa Plato
yang merupakan daerah sesar aktif itu tergoncang hebat pada Sabtu pagi, tanggal 27 Mei
2006. Meskipun melalui pengamatan singkat, cerita dari Siwa Plato diharapkan dapat
memperkaya wawasan kajian antarbudaya dan antarbidang, karena tulisan-tulisan
tersebut dikonstruksi oleh mahasiswa dari beragam latar belakang, seperti sosiologi,
antropologi, linguistik, serta kajian budaya dan media. (J.A. Sonjaya)
Download