Kebijakan Ekonomi Sarat Kepentingan Asing

advertisement
Kebijakan Ekonomi
Sarat Kepentingan Asing
Sri Adiningsih
Selasa, 20 Nopember 2007
JAKARTA (Suara Karya): Sulit untuk mengharapkan kebijakan ekonomi Indonesia bersih
dari kepentingan lembaga multilateral atau negara donor asing. Sebab, Pemerintah
Indonesia masih mengandalkan pinjaman luar negeri untuk membiayai sejumlah program.
Pandangan ini dikemukakan Ketua Umum Koalisasi Anti Utang Kusfiardi, ekonom
UGM Sri Adiningsih, dan Deputy Director Head of Advocacy Division Infid Dian
Kartika Sari. Ketiganya dihubungi Suara Karya secara terpisah di Jakarta, Senin
(19/11) kemarin, menanggapi masalah seputar kemandirian ekonomi di tengah
besarnya utang luar negeri Indonesia. Masalah ini berpengaruh terhadap optimisme
bangsa mengenai kemajuan ekonomi nasional.
Menurut mereka, entah kapan kemandirian ekonomi bangsa bisa terwujud, karena
pemerintah terkesan sulit mengelak dari tawaran pinjaman luar negeri. Lembaga
multilateral seperti Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia plus sejumlah
negara donor gencar "memaksa" pemerintah merealisasikan pinjaman dari mereka
atas nama sejumlah program yang tidak jelas peruntukannya.
Bahkan lembaga dan negara donor berani memberi iming-iming hibah dalam jumlah
besar jika Pemerintah Indonesia "konsisten" mengandalkan utang luar negeri.
Semua itu dilakukan untuk memperkuat cengkraman mereka, agar bisa terus meraih
keuntungan dari Indonesia. Selain dari bunga pinjaman, keuntungan lain bagi
lembaga dan negara donor adalah menguasai sumber-sumber ekonomi di Indonesia.
Kusfiardi khawatir Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri, bila
pemerintah masih mengandalkan utang luar negeri sebagai bagian tak terpisahkan
dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Apalagi, dengan iming-iming
hibah, pemerintah kerap terjebak "rayuan" utang untuk pembiayaan sejumlah
program yang sengaja dibuat untuk menghabiskan dana pinjaman dari luar negeri.
Padahal, penggunaan dan realisasi dari pinjaman itu tidak jelas, selain hanya
menambah beban jumlah utang luar negeri.
"Kita tidak pernah realistis bahwa persoalan kita adalah beban utang yang sudah
besar. Namun, bukannya dikurangi, pemerintah justru terus mengupayakan segala
cara untuk menambah utang baru. Semua itu harus dibayar (utang plus bunga) dan
diselesaikan. Selama itu pula kita akan tetap tergantung pada asing. Melalui beban
utang itu, asing dengan seenaknya mengambil sumber-sumber ekonomi kita," kata
Kusfiardi.
Dia menambahkan, agar bisa lepas dari cengkraman asing dan memulai kebijakan
ekonomi yang lebih mandiri, pemerintah harus berani mendorong penghapusan
utang luar negeri. Apalagi, tidak sedikit dari komitmen utang luar negeri itu tidak
direalisasikan para kreditor. Kalaupun direalisasikan, bukan untuk program yang bisa
menstimulus perekonomian dan pemberdayaan usaha rakyat.
Menurut Kusfiardi, pemerintah bisa menghapus utang luar negeri. Untuk tahap awal,
pemerintah tidak perlu mencairkan utang yang berasal dari komitmen lama, serta
utang yang tidak bisa cair karena ketiadaan program.
"Berdasarkan data Depkeu pada 2005, komitmen utang sebesar 365 miliar dolar AS
hanya bisa dicairkan 162 miliar dolar AS. Artinya, ada 203 miliar dolar AS yang
belum bisa dicairkan. Komitmen Indonesia atas utang luar negeri itu sudah
dikenakan biaya, namanya commitment fee yang besarannya sekian persen dari 203
miliar dolar AS. Itu sia-sia. Kita bisa minta penghapusan atas kewajiban atau biaya
dari komitmen utang yang tidak direalisasikan," ujarnya.
Sementara itu, Sri Adiningsih mengatakan, pemerintah tidak memiliki perencanaan
jelas dalam pembangunan ekonomi. Buktinya, APBN sebagai dasar perencanaan
keuangan negara selama setahun hanya diprioritaskan membayar utang luar negeri.
Entah
bagaimana
pengelolaannya,
anggaran
pembangunan
begitu
sulit
direalisasikan. Yang dipentingkan adalah bayar utang.
"Realisasi anggaran terus-menerus rendah. Baru pada akhir tahun semua dana
dikeluarkan sampai habis. Sementara pos-pos utang luar negeri tetap dijaga. Hal itu
pasti membuat realisasi dana tidak berkualitas dan APBN hanya sibuk untuk
membayar utang luar negeri yang justru terus ditambah atas nama programprogram yang tidak jelas," katanya.
Dia menyarankan pemerintah melakukan evaluasi kebijakan ekonomi, sekaligus
menghilangkan kesan lebih mementingkan negara dan lembaga donor asing. "Kita
perlu melakukan evaluasi karena liberalisasi saat ini sudah sangat bebas. Liberalisasi
ini merupakan bukti bahwa kekuatan asing masih kuat di Indonesia, terutama dalam
hal intervensi kebijakan ekonomi makro dan keuangan," ujarnya.
Evaluasi, menurut Adiningsih, perlu dilakukan agar Indonesia tidak makin terpuruk.
Seharusnya tekanan asing segera dihilangkan dengan kebijakan ekonomi yang
mengandalkan potensi ekonomi negara. "Saya lihat tekanan asing terhadap
kebijakan ekonomi pemerintah sudah tidak membuat bangsa ini mandiri lagi. Sebab,
mulai dari kebijakan hingga berbagai produk serta jasa yang masuk dari luar negeri
dikendalikan asing. Di mana nasionalisme kita kalau semua sudah dikuasai asing?"
tanyanya.
Intervensi asing, menurut Sri Adiningsih, sulit ditampik karena manajemen utang tak
kunjung dibenahi. Bahkan pos utang dalam negeri yang harus dibayar pemerintah,
baik melalui obligasi negara dan pasar modal, merupakan kepanjangan tangan
asing. "Ketergantungan itu (utang luar negeri) tidak bisa dihindari sepanjang
pemerintah masih menggunakan utang dalam anggaran negara. Sebab itu, utang
harus segera diselesaikan, agar Indonesia tidak lagi tergantung pada pemberi
utang," tutur Adiningsih.
Secara terpisah, Kartika Sari menjelaskan, lembaga dan negara donor asing selalu
mendesak pemerintah tetap setia mempertahankan paradigma pertumbuhan
ekonomi sebagai pedoman pembangunan ekonomi makro. Namun, fakta di
Indonesia membuktikan pertumbuhan ekonomi tidak memberi kontribusi dalam
mengurangi kemiskinan.
Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dicapai dengan mengorbankan kepentingan
rakyat, seperti penghapusan subsidi, privatisasi layanan publik, dan liberalisasi
perdagangan serta investasi asing yang rawan perusakan lingkungan dan konflik
dengan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi bahkan tidak mampu mendorong
tumbuhnya sektor riil. Akibatnya, angka pengangguran tinggi.
"Pemerintah dikondisikan untuk terus patuh pada seluruh petuah lembaga dan
negara donor asing. Padahal sejarah membuktikan, gara-gara resep Bank Dunia,
Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi berkepanjangan," ujarnya.
Sementara itu, program-program pemerintah atas nama pemberdayaan ekonomi
rakyat dan pengentasan kemiskinan, justru menambah beban utang negara. Ini
terlihat dari laporan Bank Dunia pada Juni 2007 yang menyebutkan bahwa utang
Indonesia ke Bank Dunia belum lunas sampai tahun 2041. (Indra/Andrian/Nunun)
Download