BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Gejala Klinis

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengamatan Gejala Klinis
Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas sebagai ikan uji yang
terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dilakukan dengan mengamati kerusakan
fisik, uji refleks dan respon ikan terhadap pakan. Gejala klinis ikan uji mulai
terlihat dalam waktu 24-48 jam setelah dilakukan penyuntikan dengan dosis 0,1
ml dengan kepadatan bakteri 108 cfu/ml. Gejala klinis yang pertama tampak
adalah terjadinya peradangan (inflamasi) pada daerah bekas suntikan (Gambar 9a)
kemudian dilanjutkan dengan terlepas sisik (Gambar 9b), kerusakan sirip (Gambar
9c) serta mata menjadi menonjol (exopthalmia) (Gambar 9d).
Gejala klinis yang muncul tidak terjadi secara merata pada semua ikan, hal
ini dikarenakan daya tahan tubuh ikan yang berbeda-beda serta perbedaan tingkat
kelimpahan bakteri yang menyerang organ target ikan tersebut. Oleh karena itu,
ikan uji ditunggu hingga memperlihatkan gejala klinis yang merata pada semua
ikan. Setelah itu ikan uji diberikan perlakuan perendaman dengan menggunakan
ekstrak daun teh tua dengan konsentasi yang berbeda-beda selama 48 jam.
Apabila proses perendaman telah selesai, maka air akuarium diganti 100% dengan
air normal biasa tanpa perlakuan kemudian dilanjutkan dengan melakukan
pengamatan hingga 14 hari.
Sisik Terkelupas dan luka
Inflamasi
(a) Inflamasi/Peradangan
(b) Sisik Terkelupas
Sirip Rontok
Mata Menonjol
(c) Kerusakan Sirip
(d) Mata Menonjol
Gambar 9a-d. Gejala Klinis Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)
31
32
4.1.1 Kerusakan Fisik
Pada pengamatan hari ke-1 perlakuan kontrol (A = 0 ppm) kerusakan fisik
ikan uji terjadi semakin parah yang ditandai dengan inflamasi yang dicirikan
dengan timbulnya warna kemerahan (hiperemi) (Gambar 10a) pada bekas
suntikan kemudian berlanjut menjadi luka terbuka (Gambar 10b). Terjadi
kerusakan pada sirip ikan terutama sirip ekor dan sirip punggung yang
mengakibatkan terganggunya aktivitas pergerakan
ikan. Kerusakan ini
disebabkan oleh toksin yang dimiliki oleh bakteri Aeromonas hydrophila yaitu
endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin adalah LPS yang mengakibatkan
peradangan dan dapat melindungi bakteri dari sifat bakterisidal serum inang,
sedangkan eksotoksin memiliki komponen-komponen yang dapat membantu
dalam melawan pertahanan tubuh inang (Angka 2005). Pada hari ke-7, kerusakan
fisik sudah sangat parah dengan terlihatnya borok dan tukak pada pada bekas
suntikan (Gambar 10c). Beberapa ikan terlihat kehilangan otot daging pada daerah
bekas suntikan dibagian (dorsal) dan sirip ekor.
(a) Hiperemi dan Inflamasi
(b) Luka Terbuka
(c) Borok
Gambar 10a–c. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan A (0 ppm)
Hasil pengamatan hari ke-1 setelah dilakukan perendaman dalam ekstrak
daun teh tua pada perlakuan B (75 ppm) dan C (150 ppm) terjadi kerusakan fisik
pada ikan uji dengan terlepasnya sisik pada bekas suntikan yang menimbulkan
luka terbuka (ulcer) namun tidak disertai dengan pendarahan (hemoragi) (Gambar
11a dan Gambar 12a). Hal ini diduga terjadi karena daun teh memiliki kandungan
katekin yang dapat memperkuat pembuluh darah (Soraya 2007) sehingga benih
ikan mas yang direndam dalam ekstrak daun teh tua tidak mengalami pendarahan.
33
Gejala klinis lain yang dominan terlihat pada semua perlakuan adalah
pembengkakan pada mata dan perut. Hal ini sesuai dengan pendapat Cipriano
(2001) yang menyebutkan bahwa kondisi patologis penyakit MAS ditandai
dengan adanya luka terbuka (dermal ulceration), ekor dan sirip membusuk serta
pembengkakan mata (exophtalmia).
Pada perlakuan B (75 ppm) gejala klinis kerusakan pada fisik benih ikan
mas masih terlihat sampai hari ke-5 (Gambar 11b) dan mulai berangsur-angsur
membaik pada hari ke-10 yang ditandai dengan semakin mengecilnya luka dengan
munculnya kulit baru yang sedikit demi sedikit menutupi luka (Gambar 11c), ini
merupakan tanda dimana senyawa antibakteri dalam ekstrak daun teh tua sudah
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila. Pada hari ke-14
gejala klinis kerusakan fisik ikan berupa luka kecil masih terlihat namun
pembengkakan pada mata dan perut sudah tidak terlihat lagi (Gambar 11d).
(a) Hari ke-1
(b) Hari ke-5
(c) Hari ke-10
(d) Hari Ke-14
Gambar 11a–d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan B (75 ppm)
Pada perlakuan C (150 ppm) ikan uji yang sudah menunjukkan gejala
klinis penyakit MAS pada hari ke-1 (Gambar 12a) semakin parah pada
pengamatan hari ke-5 yang ditandai dengan semakin banyak sisik yang terlepas
dan luka yang semakin membesar serta terjadi pembengkakan pada mata dan
perut (Gambar 12b). Kondisi ikan uji semakin membaik pada hari ke-10 yang
ditandai dengan luka yang mengecil namun masih terlihat pembengkakan pada
34
mata dan perut (Gambar 12c). Hal ini diduga karena senyawa antibakteri yang
terkandung dalam ekstrak daun teh tua telah bekerja optimum dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila sehingga gejala klinis penyakit MAS
sudah mulai berkurang dan semakin menunjukkan kondisi yang baik pada
pengamatan hari berikutnya. Pada hari ke-14 beberapa ikan sudah tidak terlihat
lagi luka pada tubuhnya dan pembengkakan pada mata dan perut tidak tampak
lagi (Gambar 12d). Kondisi fisik ikan pada hari ke-14 sudah mendekati seperti
kondisi ikan sebelum di infeksi bakteri Aeromonas hydrophila.
(a) Hari ke-1
(b) Hari ke-5
(c) Hari ke-10
(d) Hari Ke-14
Gambar 12a–d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan C (150 ppm)
Kondisi ikan uji perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm) pada hari ke-1
sampai hari ke-10 menunjukkan gejala klinis kerusakan fisik berupa luka pada
daerah bekas suntikan, pembengkakan di bagian perut dan mata yang menonjol
(Gambar 13 dan 14). Tubuh ikan uji terlihat berwarna kemerahan di daerah sekitar
perut dan operculum (Gambar 13a dan Gambar 14a). Hal ini diduga terjadi karena
ikan uji keracunan saponin akibat kelebihan konsentasi ekstrak daun teh tua yang
diberikan yaitu pada konsentrasi 225 ppm dan 300 ppm. Dosis tinggi saponin
dapat mengakibatkan hemolisis (penghancuran sel darah merah) (Musalam 2001
dalam Afizia 2010).
35
Pada pengamatan hari ke-14 ikan uji pada perlakuan D (225 ppm) dan E
(300 ppm) sudah tidak terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Hal ini sejalan
dengan hasil histopatologi limpa dengan sedikit ditemukannya Melano
Macrophage Centre (MMC). Namun kerusakan fisik pada ikan uji masih terlihat,
hal ini terjadi karena ikan uji keracunan senyawa dalam ekstrak daun teh tua pada
konsentrasi tinggi seperti saponin yang dapat menghemolisis sel darah merah
sehingga proses penyembuhan dan perbaikan jaringan yang rusak menjadi
terhambat.
(a)
Hari ke-1
(b) Hari ke-5
(c) Hari ke-10
(d) Hari Ke-14
Gambar 13a-d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan D (225 ppm)
(a) Hari ke-1
(b) Hari ke-5
(c) Hari ke-10
(d) Hari Ke-14
Gambar 14a–d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan E (300 ppm)
36
4.1.2 Respon Pakan
Pengamatan respon terhadap pakan dilakukan setiap hari selama 14 hari
dengan melihat reaksi benih ikan mas sebagai ikan uji pada saat pemberian pakan
dan jumlah pakan yang tersisa. Pemberian pakan dilakukan sebanyak tiga kali
sehari pada pagi, siang dan sore hari. Pada pengamatan hari ke-1 sampai hari ke14 ikan uji pada perlakuan A (0 ppm) tidak memberikan respon pakan yang baik.
Hal ini terjadi karena ikan mengalami stres pasca penyuntikan dan terjadi infeksi
dari bakteri Aeromonas hydrophila, sehingga ikan menjadi kurang merespon atau
bahkan tidak merespon terhadap pakan. Menurut Irianto (2005) stres merupakan
suatu keadaan saat suatu hewan tidak mampu mengatur kondisi fisiologis yang
normal karena berbagai faktor merugikan yang mempengaruhi kesehatannya.
Nabib dan Pasaribu (1989) dalam Setiaji (2009) menjelaskan bahwa penolakan
terhadap makanan sering dialami pada ikan yang tidak sehat.
Pada perlakuan B (75 ppm), C (150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm)
ikan uji memberikan respon yang sedikit terhadap pakan pada pengamatan hari
ke-1 dan 2. Kemudian mengalami peningkatan pada pengamatan hari ke-3 sampai
hari ke-14 dengan memberikan respon pakan yang sudah kembali normal seperti
biasa. Hal ini disebabkan karena ikan uji sudah tidak stres dan telah mengalami
masa penyembuhan setelah perendaman dengan menggunakan ekstrak daun teh
tua. Senyawa aktif antibakteri dalam ekstrak daun teh tua diduga sudah aktif dan
bekerja efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila
selama proses penyembuhan. Hasil pengamatan uji respon pakan benih ikan mas
yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dapat dilihat pada Lampiran 12.
4.1.3 Uji Refleks
Pengujian refleks ikan dilakukan dengan cara menepuk dinding akuarium
perlakuan. Pengamatan hari ke-1 dan 2 ikan uji pada semua perlakuan tidak
memberikan respon terhadap kejutan hal ini disebabkan karena ikan uji
mendapatkan serangan dari bakteri Aeromonas hydrophila sehingga mengalami
penurunan respon terhadap kejutan.
37
Terjadi perubahan tingkah laku ikan setelah di infeksi bakteri Aeromonas
hydrophila, seperti gerakan ikan yang terlihat lambat, beberapa ikan berenang
mendekati permukaan atau berada disekitar aerasi dan berenang dengan posisi
tubuh yang miring akibat daya keseimbangan tubuh yang berkurang dan
kerusakan pada sirip ikan akibat serangan bakteri Aeromonas hydrophila. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nabib dan Pasaribu (1989) dalam Yuhana et al. (2008)
cara bergerak seekor ikan yang tidak sehat bisa lebih lambat atau lebih cepat dari
biasanya, berenang kian-kemari secara cepat, berputar-putar, menyusuri tepi,
rotating atau berenang dengan perut diatas merupakan tanda fatal. Penyebabnya
bisa karena adanya suatu peradangan dan penyumbatan pembuluh darah, atau
suatu racun (Yuhana et al. 2008).
Pada hari ke-3 ikan uji pada semua perlakuan mulai memberikan respon
refleks dengan cara berenang menjauhi sumber tepukan. Namun pada hari ke-7
perlakuan A (0 ppm) terjadi penurunan bahkan tidak ada respon refleks pada ikan
uji yang terjadi akibat serangan bakteri Aeromonas hydrophila yang semakin
parah. Sedangkan pada perlakuan B (75 ppm), C (150 ppm), D (225 ppm) dan E
(300 ppm) ikan uji masih memberikan respon refleks yang baik sampai akhir
pengamatan. Ini menandakan bahwa ikan uji pada perlakuan B, C, D dan E yang
mendapatkan perlakuan perendaman dalam ekstrak daun teh tua telah mengalami
penyembuhan. Hasil pengamatan uji refleks pada benih ikan mas yang terinfeksi
bakteri Aeromonas hydrophila dapat dilihat pada Lampiran 13.
4.2 Kelangsungan Hidup
Berdasarkan hasil analisis data rata-rata kelangsungan hidup benih ikan
mas (Lampiran 14), benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila
dengan perendaman berbagai konsentrasi ekstrak daun teh tua selama 48 jam
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup. Hasil uji
berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan B
(75 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) tidak berbeda nyata, namun apabila
dibandingkan dengan perlakuan A (0 ppm) dan C (150 ppm) memberikan hasil
yang berbeda nyata (Tabel 4).
38
Tabel 4. Rata-rata Kelangsungan Hidup Hasil Uji Beda Jarak Nyata
Duncan
Rata-rata
Kelangsungan Hidup (%)
Perlakuan
Kelangsungan Signifikasi
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Hidup (%)
A (0 ppm)
0
0
0
0
a
B (75 ppm)
93,33
60,00
60,00
71,11
b
C (150 ppm)
93,33
86,67
98,33
93,33
c
D (225 ppm)
60,00
53,33
53,33
55,56
b
E (300 ppm)
80,00
60,00
80,00
73,33
b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Perlakuan B (75 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) memberikan
pengaruh yang lebih baik terhadap kelangsungan hidup dibandingkan dengan
perlakuan A (0 ppm) sehingga perlakuan perendaman dengan menggunakan
ekstrak daun teh tua lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa perendaman
ekstrak daun teh tua. Benih ikan mas pada perlakuan A mengalami kematian total
pada hari ke-10 dengan kerusakan fisik yang parah. Rendahnya tingkat
kelangsungan hidup benih ikan mas pada perlakuan A (0 ppm) yaitu sebesar 0%
dikarenakan ikan mengalami penurunan daya tahan tubuh akibat serangan bakteri
Aeromonas hydrophila yang mengganggu fungsi organ-organ tubuh dan dalam
beberapa hari dapat menyebabkan kematian pada ikan tersebut. Tingkat
kelangsungan hidup benih ikan mas pada masing-masing konsentrasi dapat dilihat
pada gambar 15.
Kelangsungan Hidup (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
93.33
73.33
71.11
55.56
Kelangsungan
Hidup (%)
0
A (0 ppm) B (75 ppm) C (150 ppm) D (225 ppm) E (300 ppm)
Gambar 15. Grafik Kelangsungan Hidup benih Ikan Mas
39
Perbandingan perlakuan B (75 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm)
terhadap perlakuan C (150 ppm) memberikan pengaruh yang berbeda nyata.
Tingkat kelangsungan hidup perlakuan C (150 ppm) yaitu sebesar 93,33 % lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan B (75 ppm) yang hanya memberikan
tingkat kelangsungan hidup sebesar 71,33 % (Gambar 15), hal ini diduga karena
konsentrasi ekstrak yang digunakan kecil sehingga kandungan senyawa-senyawa
antibakteri dalam ekstrak daun teh tua masih sedikit. Hal ini menyebabkan
aktivitas senyawa antibakteri kurang bekerja secara optimal sehingga kurang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila.
Pada perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm) tingkat kelangsungan hidup
benih ikan mas lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan C (150 ppm) yaitu
secara berturut-turut sebesar 55,56 % dan 73,33 % (Gambar 15). Konsentrasi
ekstrak daun teh tua yang diberikan pada perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm)
lebih besar dibandingkan dengan perlakuan C (150 ppm). Namun, peningkatan
konsentrasi tidak selalu menghasilkan kelangsungan hidup yang tinggi karena
ekstrak daun teh tua mengandung saponin yang bersifat racun bagi ikan pada
konsentrasi tinggi. Saponin merupakan senyawa triterpenoid yang dapat
digunakan sebagai zat anti bakteri, namun pada konsentrasi tinggi saponin dapat
bersifat toksik ikan dan saponin dapat menghemolisis sel darah merah (Musalam
2001 dalam Afizia 2010). Kandungan saponin yang tinggi ditandai dengan
terbentuknya busa pada permukaan air di media pemeliharaan (Gambar 16).
Busa
Gambar 16. Konsentrasi Tinggi Ekstrak Daun Teh Tua Menimbulkan
Busa pada Media Pemeliharaan
40
Mortalitas benih ikan mas pada perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm)
terjadi karena benih ikan mas mengalami keracunan akibat perendaman dengan
konsentrasi tinggi ekstrak daun teh tua.
Larutan ekstrak daun teh tua yang
dibiarkan dalam waktu yang lama, akan menyebabkan penumpukan dan
akumulasi senyawa metabolit sekunder dari daun teh tua seperti katekin dan
saponin yang akan merubah warna dan rasa larutan ekstrak daun teh tua. Hal ini
ditandai dengan perbedaan warna media pemeliharaan pada saat awal diberi
ekstrak dan akhir (48 jam) perlakuan perendaman. Warna media pemeliharaan
terlihat semakin keruh dan pekat yang diindikasi memiliki rasa yang semakin
pahit dan sepat (Gambar 17). Hal ini sejalan dengan yang terjadi di dalam tubuh
ikan, kandungan senyawa dalam ekstrak daun teh tua terutama katekin dan
saponin akan terakumulasi dalam tubuh ikan sehingga terjadi banyak kematian
setelah pengamatan hari ke-10 (Gambar 18). Semakin lama perendaman maka
semakin banyak jumlah katekin dan saponin yang terakumulasi dalam tubuh ikan.
(a) Awal Perendaman
(b) Akhir Perendaman
Gambar 17a-b. Kondisi Media Pemeliharan pada Awal dan Akhir Perendaman
Pada perlakuan D (225 ppm) jumlah akumulasi endapan katekin dan
saponin dalam tubuh ikan mencapai puncak pada hari ke-10, 11 dan 12 dengan
total kematian sebanyak 6-7 ekor (Lampiran 15). Sedangkan pada perlakuan E
(300 ppm) mengalami puncak jumlah akumulasi endapan katekin dan saponin
yang menyebabkan kematian pada hari ke-12, 13 dan 14 dengan total kematian
sebanyak 3-6 ekor (Gambar 18).
41
Mortalitas Harian (%)
120
100
80
A (0 ppm)
60
B (75 ppm)
C (150 ppm)
40
D (225 ppm)
E (300 ppm)
20
0
*24 *48
Jam Jam
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Waktu Pengamatan
Gambar 18. Grafik Mortalitas Harian Ikan Uji Tiap Perlakuan
Perlakuan C (150 ppm) merupakan perlakuan yang terbaik dengan
menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi sebesar 93,33 %, hal ini
terjadi karena kandungan alkaloid, flavonoid, katekin, tanin dan saponin pada
konsentrasi tersebut mampu memberikan efek antibakteri secara optimum dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila.
Katekin merupakan kandungan utama polifenol dalam daun teh. Katekin
teh hijau bersifat antimikroba yang disebabkan oleh adanya gugus pyrogallol dan
gugus galloil. Senyawa katekin dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan
cara merusak membran sitoplasma bakteri. Pecahnya membran sitoplasma
menyebabkan
keluarnya
semua
organel-organel
sel
yang menyebabkan
terhentinya proses metabolisme sel bakteri sehingga menyebabkan kematian sel
bakteri (Volk and Wheller, 1993 dalam Rustanty 2009).
Penelitian ini membuktikan bahwa ekstrak daun teh tua dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dari genus Aeromonas hydrophila. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Alamsyah (2006) bahwa teh hijau dapat menghambat mikroba
pembentuk racun dalam makanan seperti Aeromonas sobria, S. aureus,
Clostridium perfringens, dan Clostridium botulinum. Oleh karena itu, dapat
diduga bahwa ekstrak daun teh tua dapat menghambat pertumbuhan bakteri dari
genus Aeromonas.
42
Berdasarkan analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara
perendaman ekstrak daun teh tua terhadap kelangsungan hidup benih ikan mas
yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Hubungan korelasi antara kedua
variabel tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan kuartik dengan persamaan :
y = 2E-07x4 - 8E-05x3 + 0.007x2 + 0.802x - 5E-11. Persamaan garis tersebut
memiliki hubungan determinasi (R2) sebesar 0,93 artinya konsentrasi perendaman
ekstrak daun teh tua terhadap kelangsungan hidup memberikan pengaruh sebesar
93%. Perhitungan analisis regresi dapat dilihat pada Lampiran 16.
Pada grafik persamaan regresi (Gambar 19) dapat dilihat bahwa perlakuan
perendaman ekstrak daun teh tua terhadap kelangsungan hidup benih ikan mas
yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila mencapai titik optimum dengan
pemberian konsentrasi sebesar 133,58 ppm yang menghasilkan kelangsungan
hidup sebesar 95,18 % dan mencapai titik minimum serta titik belok pada
konsentrasi 258,51 ppm dengan kelangsungan hidup sebesar 45,10 %. Oleh
karena itu, batas toleransi pemberian ekstrak daun teh tua pada benih ikan mas
yaitu pada konsentrasi 258,51 ppm.
120
y = 2E-07x4 - 8E-05x3 + 0.007x2 + 0.802x + 2E-10
R² = 0.9305
Kelangsungan Hidup (%)
100
80
60
40
20
0
0
50
100
150
200
250
Konsentrasi Ekstrak Daun Teh Tua (ppm)
Gambar 19. Grafik Hasil Analisis Regresi Kuartik
300
350
43
4.3 Histopatologi Organ Limpa
Limpa merupakan salah satu organ target yang diserang bakteri
Aeromonas hydrophila yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan limpa.
Kerusakan tersebut disebabkan toksin bakteri yang mengakibatkan organ-organ
tersebut hilang integritas strukturalnya. Bakteri ada di dalam sarung retikuler dari
elipsoid limpa yang merupakan pusat dari aktivitas pagositik makropag, bakteri
merusak sel endothelial dan retikuler dari elipsoid. Perubahan patologis terjadi
pada limpa dari ikan yang diinjeksi dengan Aeromonas hydrophila. Hemoragi
(perdarahan) juga terjadi pada organ internal, ginjal dan limpa (Herwig 1979).
Limpa merupakan salah satu organ yang berperan dalam sistem kekebalan
tubuh. Limpa yang normal berwana merah-ungu karena kandungan darahnya.
Jaringan limpa terdiri atas pulpa putih dan pulpa merah (Gambar 20). Fungsi
limpa yaitu mengakumulasi limfosit dan makrofag, degradasi eritrosit, tempat
cadangan darah dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang
masuk ke dalam darah dengan menghasilkan antibodi humoral terhadap antigen
yang diangkut melaui darah (Khairinal 2012).
Histopatologi organ yang diamati pada penelitian ini adalah organ limpa
pada enam sample benih ikan mas yang berbeda yaitu benih ikan mas sebelum
diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila (ikan sehat), benih ikan mas setelah
diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila (ikan sakit), dan benih ikan mas setelah
pengobatan atau pemberian perlakuan. Hasil analisis histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kesembuhan dengan melihat kerusakan jaringan pada
organ limpa setelah pengobatan yang dibandingkan dengan histolopatologi limpa
ikan sehat dan ikan sakit.
Benih ikan mas yang dijadikan sampel histolopatologi ikan sehat adalah
benih ikan mas yang belum diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Berdasarkan
hasil analisis histopatologi jaringan limpa menunjukkan bahwa benih ikan mas
tidak mengalami kerusakan yang terlihat dari struktur jaringan limpa terlihat
normal dengan warna merah-ungu yang terdiri dari pulpa putih dan pulpa merah
(Gambar 20).
44
pulpa merah
pulpa putih
Gambar 20. Histopatologi Jaringan Limpa Ikan Sebelum di Infeksi
Bakteri Aeromonas hydrophila (Pembesaran 400x)
(Sumber : Laporan Hasil Uji BUSKI, 2013)
Perubahan histopatologi jaringan limpa yang terinfeksi bakteri Aeromonas
hydrophila dicirikan dengan munculnya peradangan (splenitis) yang ditandai
dengan adanya folikel limfoid yang mengalami Melano Macrophage Centre
(MMC) dalam jumlah banyak (Gambar 21). Jaringan limpa berwarna pucat
diduga terjadi karena dalam aliran darah terdapat antigen bakteri Aeromonas
hydrophila. Toksik yang dikeluarkan bakteri Aeromonas hydrophila mengalir
dalam aliran darah kemudian masuk ke dalam sel endotel pembuluh darah yang
akan menyebabkan kerusakan pada endotel sehingga akan merangsang
pembentukan cytokine sebagai mediator inflamasi. Mekanisme ini yang akan
merangsang pembentukan MMC (Maryadi 2009). Menurut Bellati (1985) dalam
Maryadi (2009) fungsi makrofag dalam respon imun adalah menghilangkan
benda-benda asing dan bahan yang bersifat merusak (Maryadi 2009). Makrofag
merupakan salah satu sel yang berperan penting dalam respon imun dengan
fagositosis dan sebagai antigen presenting cells (APC) (Afifudin 2009).
MMC
MMC
MMC
MMC
MMC
MMC
Gambar 21. Histopatologi Jaringan Limpa Ikan yang Terinfeksi
Bakteri Aeromonas hydrophila (Pembesaran 100x)
(Sumber : Laporan Hasil Uji BUSKI, 2013)
45
Perbedaan histopatologi jaringan limpa pada perlakuan B (75 ppm), C
(150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) terletak pada jumlah Melano
Macrophag Centre (MMC) yang ditemukan. Jumlah Melano Macrophag Centre
(MMC) pada perlakuan B (75 ppm) (Gambar 22a) relatif lebih banyak
dibandingkan dengan perlakuan C (150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm)
(Gambar 22 b-d). Hal ini menandakan bahwa perlakuan C (150 ppm), D (225
ppm) dan E (300 ppm) mengalami tingkat kesembuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan pada perlakuan B (75 ppm). Pemberian perlakuan ekstrak
daun teh tua pada benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila
mengalami penyembuhan yang cukup baik dengan memperlihatkan kondisi
histopatologi jaringan limpa yang telah mendekati histopatologi jaringan limpa
seperti ikan sehat (Gambar 20) serta jumlah MMC yang ditemukan sedikit.
MMC
MMC
MMC
MMC
MMC
(a) Perlakuan B (75 ppm)
(b) Perlakuan C (150 ppm)
MMC
MMC
(c)Perlakuan D (225 ppm)
(d) Perlakuan E (300 ppm)
Gambar 22a-d. Histopatologi Jaringan Limpa Ikan (Pembesaran 100x)
(Sumber : Laporan Hasil Uji BUSKI, 2013)
46
4.4 Kualitas Air
Kualitas air adalah kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan
dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya dinyatakan dalam kisaran nilai
tertentu (Boyd, 1990). Pengamatan kondisi kualitas air digunakan sebagai
parameter pendukung untuk memberikan informasi bahwa media pemeliharaan
benih ikan mas tetap dalam kondisi terkontrol. Pengamatan dilakukan sebanyak
tiga kali yaitu pada awal penelitian, pertengahan penelitian dan akhir penelitian.
Beberapa parameter kualitas air yang diukur selama penelitian meliputi suhu, pH,
DO dan ammonia. Data hasil pengukuran kualitas air selama penelitian
berlangsung dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 17.
Tabel 5. Data Hasil Pengamatan Kualitas Air
Parameter yang Perlakuan
Diamati
A
B
C
D
E
Awal Penelitian
Suhu (oC)
25,5
25,5-26,0 25,5-26,0 25,5
25,5-26,0
pH
7,38
7,38
7,38
7,38
7,38
DO (mg/L)
5,3-5,7
5,1-5,4
5,6-6,6
5,2-6,3
5,4-6,8
Amonia (mg/L) 0
0
0
0
0
Pertengahan
Penelitian
Suhu (oC)
26,0
26,0
26,0-27,0 26,0-26,5 26,0
pH
8,39-8,63 8,36-8,61 8,49-8,53 8,29-8,62 8,36-8,58
DO (mg/L)
3,4-4,9
3,0-5,9
4,4-5,9
5,0-8,5
3,2-4,8
Amonia (mg/L) 0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Akhir
Penelitian
Suhu (oC)
26
26
26
26
pH
7,61-7,80 7,56-7,75 7,67-7,94 7,53-7,61
DO (mg/L)
3,2-5,9
3,5-5,4
3,9-5,4
3,2-6,4
Amonia (mg/L) 0,0-0,.5
0,0-0,.5
0,5
0,0-0,.5
b
Keterangan : a Huet 1971 dalam Sulistiawati 2011
Kabata 1985
c
d
Boyd 1982 dalam Sitawati 2002
Boyd 1990
Optimum
Ikan
Bakteri
20-28a
6,5-9,0c
>3d
0,6d
15-30b
4,7-11b
Suhu yang terukur berkisar antara 25,5-27,0oC. Nilai tersebut masih
berada pada kisaran optimum untuk pemeliharaan benih ikan mas yaitu antara 2028oC (Huet 1971). Pengukuran nilai pH selama penelitian berkisar antara 7,388,63 dengan kisaran nilai optimum antara 6,5-9,0 (Boyd 1982 dalam Sitawati
2002). pH merupakan parameter aktivitas ion hidrogen (H+) dalam suatu larutan
yang dinyatakan dengan asam atau basa.
47
Oksigen terlarut (DO) adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam
air. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang terukur berkisar antara 3,0-8,5 mg/l
masih berada dalam batas optimum yaitu lebih besar dari 3 mg/l (Boyd 1990).
Hasil pengukuran selama penelitian nilai amonia berkisar antara 0-0,5 mg/l. Nilai
tersebut masih berada dalam batas nilai optimum yaitu lebih kecil dari 0,6 mg/l.
Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia yang terlalu tinggi karena
dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah (Boyd 1990).
Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian,
dapat dinyatakan bahwa kondisi kualitas air selama penelitian memenuhi standar
optimum untuk pemeliharaan benih ikan mas sehingga kematian benih ikan mas
selama penelitian bukan disebabkan oleh kondisi perairan melainkan karena
serangan bakteri Aeromonas hydrophila.
48
Download