Kontribusi Perilaku Asertif Terhadap Kecerdasan Emosi

advertisement
Kontribusi Perilaku Asertif Terhadap Kecerdasan
Emosi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa besar kontribusi perilaku asertif
terhadap kecerdasan emosi. Sampel pada penelitian ini berasal dari populasi mahasiswa
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan di Universitas Gunadarma Depok yang
berjumlah 100 mahasiswa. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode
kuesioner dari skala perilaku asertif dan skala kecerdasan emosi. Untuk pengukuran
perilaku asertif dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan teknik Product Moment
dan Alpha Cronbach. Dari 60 item yang digunakan, diperoleh 32 item yang valid dengan
korelasi berkisar antara 0,3022 sampai 0,5147, untuk uji reliabilitas diperoleh nilai
reliabilitas sebesar 0,8619. Skala dinyatakan normal (0,053 dan 0,055) dan linear
(0,000). Sedangkan untuk pengukuran kecerdasan emosi, dari 48 item yang digunakan
diperoleh 35 item yang valid dengan korelasi berkisar antara 0,3003 sampai 0,6045.
Untuk uji reliabilitas, diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,8976. Skala dinyatakan
normal (0,052 dan 0,264) dan linear (0,000). Hasil penelitian ini diperoleh F sebesar
94,363 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan R Square sebesar 0,491 dengan
demikian hipotesis yang berbunyi ada kontribusi perilaku asertif secara signifikan
terhadap kecerdasan emosi diterima. Hal ini berarti perilaku asertif memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap kecerdasan emosi sebesar 49,1% sedangkan 50,9%
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti keluarga dan pengalaman.
Secara umum, subjek memiliki perilaku asertif yang tinggi, dimana mean empirik
memiliki skor 183,76 lebih besar dari mean hipotetik ditambah satu standar deviasi
(80+96). Begitu pula dengan kecerdasan emosi, subjek memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi, dimana mean empirik memiliki skor 143,50 lebih besar dari mean hipotetik
ditambah satu standar deviasi (87,5+105).
Kata Kunci : Perilaku Asertif, Kecerdasan Emosi
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi ini persaingan untuk mencapai sebuah kesuksesan semakin ketat dan
kompetitif. Untuk mencapai kesuksesan tersebut seseorang tidak terlepas dari
pergaulannya dengan orang lain, oleh karena itu diperlukan sebuah keseimbangan antara
kemampuan intelektual dan kemampuan mengenali emosi yang dapat membantu
perkembangan intelektual dan emosi seseorang menjadi lebih baik, agar dapat meraih
sukses baik dalam pekerjaan maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Menurut Segal (2003) seseorang yang cerdas secara emosi mengetahui apa yang
diperlukan untuk bertahan hidup dan apa yang harus diabaikan, dapat menyelesaikan
ribuan kekecewaan hidup, mengenali dan menghargai perasaan sendiri, dapat
berhubungan baik dengan orang lain. Itu sebabnya diperlukan keseimbangan antara
kemampuan intelektual dan kemampuan mengenali emosi.
Kecerdasan emosi dibagi ke dalam lima area, salah satunya adalah area intrapribadi. Area
ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri
yang meliputi perilaku asertif, kesadaran diri, kemandirian, penghargaan diri, dan
aktualisasi diri (Bar-On dalam Stein & Book, 2004). Salah satu area intrapribadi yang
akan diteliti adalah perilaku asertif, karena bagi sebagian orang perilaku ini bisa menjadi
suatu masalah bila tidak berfungsi dengan baik. Agar dapat berfungsi dengan baik dalam
kehidupan sehari-hari, maka perilaku asertif ini perlu dikembangkan secara optimal pada
diri seseorang.
Pengendalian stres, suasana hati, penyesuaian diri, dan keterampilan bergaul serta
pengendalian diri termasuk ke dalam area kecerdasan emosi. Hal ini menunjukkan bahwa
perilaku asertif dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang, karena seseorang yang
mampu menampilkan dirinya secara bebas, langsung dan jujur dapat meningkatkan
kecerdasan emosinya dengan cara lebih mengenali emosi diri, mengelola emosi serta
membina hubungan baik dengan orang lain. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang tidak
mampu menampilkan dirinya secara bebas, langsung dan jujur tidak akan mampu
mengenali emosi diri, mengelola emosi, serta membina hubungan baik dengan orang lain.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin menguji seberapa besar
kontribusi perilaku asertif terhadap kecerdasan emosi.
TUJUAN PENELITIAN
Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali emosi
diri dan emosi orang lain serta mampu mengelolanya dengan baik sehingga tercapai
tujuan-tujuan hidupnya dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Adapun
beberapa komponen-komponen kecerdasan emosi yang disusun oleh Goleman (1995)
yang terdiri dari mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali
emosi orang lain, dan membina hubungan baik dengan orang lain. Hal ini dikarenakan
dasar dari terbentuknya kecerdasan emosi dibangun dari komponen-komponen
kecerdasan emosi dan komponen-komponen kecerdasan emosi ini sudah mencakup
keseluruhan dari kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi memiliki beberapa ciri-ciri yaitu,
memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan dapat bertahan dalam
menghadapi frustrasi, dapat mengendalikan dorongan-dorongan hati sehingga tidak
melebih-lebihkan suatu kesenangan, mampu mengatur suasana hati dan dapat
menjaganya agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir seseorang, mampu
untuk berempati terhadap orang lain dan tidak lupa berdoa. Menurut Goleman (1995)
manfaat dari kecerdasan emosi yaitu, menentukan kebehasilan dalam sebuah prestasi,
dengan kecerdasan emosi yang tinggi, keberhasilan dalam berbagai prestasi kehidupan
akan dapat diraih, mampu mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan, seseorang akan
mampu mengatasi masalah-masalah kehidupan dengan cara yang baik dan tepat bila
seseorang tersebut memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.
Perilaku Asertif
Perilaku asertif adalah kemampuan seseorang menyatakan diri, pandangan-pandangan
dalam dirinya, keinginan dan perasaannya secara langsung, spontan, bebas dan jujur
tanpa merugikan diri sendiri dan melanggar hak-hak orang lain. Menurut Rathus dan
Nevid (1983) aspek-aspek dari perilaku asertif terdiri dari berusaha mencapai tujuan,
kemampuan mengungkapkan perasaan, menyapa atau memberi salam kepada orang lain,
menampilkan cara yang efektif dan jujur, menanyakan alasan, bicara mengenai diri
sendiri, menghargai pujian dari orang lain, penolakan, menatap lawan bicara, dan respon
melawan rasa takut.
Kontribusi Perilaku Asertif Terhadap Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali
emosi diri dan emosi orang lain serta mampu mengelolanya dengan baik sehingga
tercapai tujuan-tujuan hidupnya dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain..
Menurut Ciarrochi, Forgas, dan Mayer (2001) seseorang yang memiliki kecerdasan emosi
akan mampu mencapai aktualisasi diri, berguna dalam hubungan sosial, berguna dalam
segala aspek pekerjaan yang berkaitan dengan kelompok kerja, berguna untuk membantu
seseorang menjadi lebih sehat dan sejahtera dalam kehidupannya.
Meskipun banyak manfaat yang diperoleh dari kecerdasan emosi, pada kenyataannya
tidak sedikit ditemukan seseorang yang tidak berhasil dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosialnya, seperti sering membuat kesal orang lain, gagal dalam pekerjaannya,
tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena
seseorang tersebut kurang memiliki kecerdasan emosi, maka dari itu diperlukan
kemampuan mengendalikan perasaan secara mendalam untuk berhasil mengatasi tuntutan
dan tekanan lingkungan (Stein & Book, 2004).
Kecerdasan emosi dibagi ke dalam lima area, salah satunya adalah area intrapribadi. Area
kecerdasan emosi ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan
mengendalikan diri sendiri. Area ini meliputi perilaku asertif, kesadaran diri,
kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri (Bar-On dalam Stein & Book, 2004).
Perilaku asertif merupakan kemampuan seseorang kemampuan seseorang menyatakan
diri, pandangan-pandangan dalam dirinya, keinginan dan perasaannya secara langsung,
spontan, bebas dan jujur tanpa merugikan diri sendiri dan melanggar hak-hak orang lain..
Seseorang yang berperilaku asertif mampu menghargai hak diri sendiri dan orang lain,
bersikap aktif dalam kehidupannya untuk mencapai apa yang diinginkan. Fensterheim
dan Baer (1975) mengungkapkan beberapa karateristik individu yang memiliki perilaku
asertif yang tinggi, antara lain merasa bebas untuk menampilkan dirinya, dapat
berkomunikasi dengan baik secara terbuka, langsung, jujur, dan tepat, memiliki orientasi
aktif dalam kehidupan untuk mencapai apa yang diinginkan.
Hal ini menunjukkan bahwa perilaku asertif dapat mempengaruhi kecerdasan emosi
seseorang, karena seseorang yang mampu menampilkan dirinya secara bebas, langsung
dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri maupun orang lain dapat meningkatkan kecerdasan
emosinya dengan cara lebih mengenali emosi diri, mengelola emosi serta membina
hubungan baik dengan orang lain. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang tidak mampu
menampilkan dirinya secara bebas, langsung dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri
maupun orang lain tidak mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi serta membina
hubungan baik dengan orang lain. Dengan demikian dapat terlihat bahwa ada kontribusi
perilaku asertif terhadap kecerdasan emosi. Hal inilah yang membuat penulis ingin
menguji apakah ada ada kontribusi perilaku asertif secara signifikan terhadap kecerdasan
emosi.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Subjek Penelitian
Adapun variabel (X) dalam penelitian ini adalah Kecerdasan Emosi sedangkan variabel
(Y) adalah Perilaku Asertif. Kecerdasan Emosi merupakan kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam mengenali emosi diri dan emosi orang lain serta mampu mengelolanya
dengan baik sehingga tercapai tujuan-tujuan hidupnya dan memiliki hubungan yang baik
dengan orang lain. Sedangkan Perilaku Asertif merupakan kemampuan seseorang
menyatakan diri, pandangan-pandangan yang ada dalam dirinya, keinginan dan
perasaannya secara langsung, spontan, bebas dan jujur tanpa merugikan dri sendiri dan
melanggar hak-hak orang lain. Subjek dalam penelitian ini adalah pria dan wanita, yang
merupakan mahasiswa di Universitas Gunadarma Margonda Depok. Subjek penelitian
berjumlah 100 mahasiswa.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner kepada
subjek penelitian. Skala yang digunakan adalah skala Perilaku Asertif dan Kecerdasan
Emosi, bentuk skala dari penelitian ini adalah skala Likert, item terdiri dari pernyataan
yang bersifat favorabel dan unfavorabel, dengan menggunakan kategori respons tingkat
kesesuaian yang mempunyai variasi jawaban sebagai berikut : Sangat Sesuai (SS), Sesuai
(S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Untuk penilaian item favourable
adalah 4-3-2-1, sedangkan untuk penilaian iten unfavourable adalah 1-2-3-4.
Teknik Analisis Data
Validitas adalah sejauhmana suatu alat ukur dapat mengukur apa yang ingin diukur
(Suryabrata, 2000), teknik analisis Product Moment dari Karl Pearson (Azwar, 1996).
Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, untuk mengukur
reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan teknik analisis Alpha Cronbach
(Azwar, 1996). Teknik analisis data yang akan digunakan adalah analisis regresi
sederhana yaitu untuk mengetahui kontribusi perilaku asertif sebagai variabel bebas (X)
terhadap kecerdasan emosi sebagai variabel terikat (Y).
HASIL PEMBAHASAN
Dalam hasil uji validitas pada skala Perilaku Asertif, dari 60 item yang digunakan
diperoleh 32 item yang valid, sementara 28 item yang lainnya dinyatakan gugur. Korelasi
skor total pada item-item valid bergerak antara 0,3022 sampai 0,5147. Sedangkan Dalam
penelitian ini uji reliabilitas yang dilakukan dengan tehnik Alpha Cronbach diperoleh
angka koefisien reliabilitas sebesar 0,8619 berarti alat ukur tersebut mendekati sempurna
tingkat kepercayaannya. Pada skala kecerdasan emosi, dari 48 item yang digunakan
diperoleh 35 item yang valid, sementara 13 item yang lainnya dinyatakan gugur. Item
yang valid memiliki nilai korelasi berkisar antara 0,3003 sampai 0,6045. Sedangkan
dalam penelitian ini uji reliabilitas yang dilakukan dengan tehnik Alpha Cronbach
diperoleh angka koefisien reliabilitas sebesar 0,8976 berarti alat ukur tersebut mendekati
sempurna tingkat kepercayaannya.
Sebelum melakukan analisis regresi, terlebih dahulu melakukan uji asumsi untuk
mengetahui terpenuhi atau tidaknya normalitas dan linearitas sebaran data. Berdasarkan
pengujian normalitas pada variabel perilaku asertif diperoleh hasil signifikansi sebesar
0,053 pada Kolmogorov Smirnov (p > 0,05) dan Shapiro Wilk dengan signifikansi 0,055
(p > 0,05). Pengujian menunjukkan bahwa distribusi skor perilaku asertif subjek
penelitian yang telah diambil dianggap normal. Pada skala kecerdasan emosi diperoleh
signifikansi sebesar 0,052 pada Kolmogorov Smirnov (p > 0,05) dan Shapiro Wilk dengan
signifikansi sebesar 0,264 (p > 0,05). Pengujian menunjukkan bahwa distribusi skor
kecerdasan emosi pada sample yang telah diambil dianggap normal. Dari hasil pengujian
regresi sederhana diperoleh nilai F sebesar 94,363 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05).
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa hubungan variabel-variabel di atas adalah linear.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan dengan menggunakan teknik regresi sederhana
diperoleh F sebesar 94,363 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05), dan diperoleh R
Square sebesar 0,491. Hal ini berarti terdapat kontribusi perilaku asertif secara signifikan
terhadap kecerdasan emosi dan kontribusinya sebesar 49,1%. Dengan demikian hipotesis
yang berbunyi ada kontribusi perilaku asertif secara signifikan terhadap kecerdasan emosi
diterima. Berdasarkan Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH) pada skala
perilaku asertif dan kecerdasan emosi, diketahui skor Mean Empirik (ME) dan skor Mean
Hipotetik (MH) yang dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini :
Tabel 1
Perhitungan Mean Empirik dan Mean Hipotetik
Skala
Mean Empirik
Mean Hipotetik
Standar Deviasi
Perilaku Asertif
183,76
80
16
Kecerdasan Emosi
143,50
87,5
17,5
Berdasarkan perhitungan pada skala kecerdasan emosi, mean empirik yang diperoleh
143,50 lebih besar dari mean hipotetik ditambah satu standar deviasi (87,5+105), hal ini
berarti secara umum subjek memiliki tingkat kecerdasan emosi yang cenderung tinggi
sekali. Tingginya kecerdasan emosi yang dimiliki subjek, mungkin disebabkan karena
subjek dalam penelitian ini mempunyai banyak pengalaman-pengalaman, wawasan, dan
pendidikan di dunia perkuliahan sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosi
mahasiswa. Hal ini dikerenakan subjek adalah mahasiswa tingkat 4 yang sudah
berpengalaman berada di kampus dan banyak mendapatkan materi dan pengetahuan
kuliah serta banyak berinteraksi dan bertukar pendapat dengan banyak orang untuk
menyelesaikan suatu masalah, mengenali perasaan orang lain, dan memahami sifat
masing-masing dosen. Seperti yang dikatakan oleh Goleman (1995) bahwa pengalamanpengalaman di luar rumah akan memperkaya kecerdasan emosi seseorang. Kecerdasan
emosi dapat dipelajari dari adanya kontak sosial dengan orang lain. Ciarrochi, Mayer, dan
Forgas (2001) menambahkan bahwa proses belajar mengajar di dunia pendidikan selain
meliputi kemampuan akademis, juga meliputi pengendalian diri, kewaspadaan sosial, dan
pemecahan masalah. Kemampuan di atas merupakan bagian dari kecerdasan emosi.
TABEL 2 DESKRIPSI SUBJEK BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA SKALA
KECERDASAN EMOSI
Mean Kecerdasan
Penggolongan
Jumlah
%
Emosi
Laki-Laki
49
49%
144,14
Perempuan
51
5%
143,72
Berdasarkan tabel di atas, laki-laki memiliki kecerdasan emosi yang lebih tinggi daripada
Identitas
Jenis Kelamin
perempuan. Mungkin dikarenakan laki-laki dituntut untuk dapat berpikir secara logika
dan harus kuat dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Hal ini mendukung
pendapat dari Basow (dalam Kusumawardani, 2006) bahwa laki-laki lebih memiliki
emosi yang lebih baik dibandingkan perempuan, laki-laki cenderung tidak selalu
emosional, sangat objektif, sangat mudah memisahkan perasaan dari pikiran, sangat
berterus terang, tidak selalu gelisah menghadapi krisis kecil, dan tidak mudah terluka
perasaan. Sedangkan perempuan sangat emosional, sangat subjektif, tidak bisa untuk
memisahkan perasaan dari pikiran cenderung tidak suka berterus terang, sangat mudah
gelisah menghadapi krisis kecil, dan sangat mudah terluka perasaannya.
TABEL 3 DESKRIPSI SUBJEK BERDASARKAN TINGGAL DENGAN PADA SKALA
KECERDASAN EMOSI
Mean Kecerdasan
Identitas
Penggolongan
Jumlah
%
Emosi
Tinggal Dengan
Orang tua
91
91%
146,13
Saudara
3
5%
139,66
Sendiri
0
0
0
Kost
6
6%
146
Selain itu, mahasiswa yang tinggal dengan orang tua memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi dibandingkan mahasiswa yang tinggal dengan saudara, sendiri, maupun kost. Hal
ini mungkin disebabkan oleh faktor pola asuh orang tua. Orang tua yang kecerdasan
emosinya tinggi dapat memilih pola asuh yang sesuai untuk anak, agar perilaku anak
tidak menyimpang ke hal-hal yang negatif. Karena usia mahasiswa lebih banyak bergaul
di luar rumah dengan teman-temannya dan bertemu dengan banyak orang yang tidak
diketahui oleh orang tuanya, dapat menyebabkan mahasiswa tersebut melakukan hal-hal
negatif seperti pemakaian narkoba, seks bebas, tawuran antar fakultas, dan kenakalankenakalan lainnya. Maka dari itu penting bagi orang tua untuk menentukan pola asuh
yang tepat agar seorang anak dapat menerima dengan senang hati dan tidak berontak
terhadap pola asuh dari orang tuanya. Setelah mendapatkan dasar kecerdasan emosi dari
orang tua, maka anak dapat merubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik. Hal
ini sesuai dengan pendapat Goleman (1995) bahwa kehidupan keluarga merupakan hal
yang paling penting dalam membangun kecerdasan emosi seseorang, dan keluarga
merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Orang tua yang memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi merupakan keuntungan bagi seorang anak, karena orang
tua dapat memilih tindakan dan pola asuh yang sesuai bagi anak untuk meningkatkan
kecerdasan emosi. Selain itu, Shapiro (1999) menambahkan bahwa orang tua yang
menghargai kemandirian anaknya untuk berprestasi, dan meminta anak-anaknya untuk
bertanggung jawab kepada keluarganya lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang
percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi dan disukai banyak orang, dan
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.
Berdasarkan perhitungan pada skala perilaku asertif dimana mean empirik memiliki skor
sebesar 183,76 lebih besar dari mean hipotetik ditambah satu standar deviasi (80+96), hal
ini berarti dapat dikatakan perilaku asertif subjek cenderung tinggi sekali. Tingginya
perilaku asertif yang dimiliki subjek dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena
subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang menempuh jenjang pendidikan S1
(Strata satu) dan berada pada tingkat 4, dimana semakin bertambah tingkat pendidikan
mahasiswa maka akan semakin banyak pengalaman dan wawasan yang didapat oleh
mahasiswa baik yang menyenangkan maupun yang buruk, sehingga dapat terlihat
penyesuaian dan pengalamannya dengan dunia perkuliahan. Pengalaman dan wawasan
mahasiswa yang telah lama berada dalam proses perkuliahan, akan membuat mahasiswa
mampu berperilaku asertif dan mengembangkan dirinya dibandingkan dengan mahasiswa
yang berada pada tingkat 1, tingkat 2, dan tingkat 3. Hal ini dikarenakan mahasiswa yang
berada di tingkat atas lebih banyak mendapatkan pengalaman, wawasan, materi
perkuliahan, dan sudah lebih dahulu menyesuaikan diri dalam pergaulan di kampus, yang
menuntut seorang mahasiswa tegas dalam pengambilan keputusan dan berani untuk
berkata ”tidak” untuk sesuatu hal yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Seperti yang dikatakan oleh Rathus dan Nevid (1983) bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin luas wawasan berpikirnya sehingga kemampuan
untuk mengembangkan diri lebih terbuka.
TABEL 4 DESKRIPSI SUBJEK BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA SKALA
PERILAKU ASERTIF
Mean Perilaku
Identitas
Penggolongan
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Jumlah
%
49
49%
Asertif
185,61
Perempuan
185,35
51
5%
Selain itu, dalam penelitian ini subjek laki-laki cenderung memiliki perilaku asertif yang
tinggi dibandingkan dengan subjek perempuan. Hal ini mungkin dikerenakan laki-laki
dituntut untuk menjadi pemimpin dalam sebuah keluarga dimana laki-laki harus bisa
mengungkapkan pendapatnya untuk menentukan langkah selanjutnya dalam perjalanan
hidup untuk menuju kesuksesan, tidak emosional dan tidak agresif terhadap kaum
perempuan agar berjalan sesuai rencana kehidupan maka dari itu kaum laki-laki lebih
mampu mengungkapkan pendapatnya dan perasaannya dengan terbuka, baik di
lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan rumah tangga. Seperti yang dikatakan
oleh Rathus dan Nevid (1983) bahwa perempuan pada umumnya lebih sulit bersikap
asertif seperti mengungkapkan pikiran dan perasaannya dibandingkan dengan laki-laki.
Kemudian Lange dan Jakubowski (1997) menambahkan bahwa perempuan lebih
cenderung untuk berperilaku agresif, sedangkan laki-laki cenderung lebih berperilaku
asertif.
TABEL 5 DESKRIPSI SUBJEK BERDASARKAN TINGGAL DENGAN PADA SKALA
PERILAKU ASERTIF
Mean Perilaku
Identitas
Penggolongan
Tinggal Dengan
Orang tua
Saudara
Sendiri
Jumlah
%
91
91%
3
5%
0
0
Asertif
185,82
182
0
Kost
182
6
6%
Berdasarkan tabel di atas, mahasiswa yang tinggal dengan orang tua memiliki perilaku
asertif yang tinggi dibandngkan yang tinggal dengan saudara, sendiri, atau kost. Hal ini
mungkin dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan perilaku seorang mahasiswa,
komunikasi sehari-hari, mengungkapkan hak-hak dan pendapatnya berawal dari keluarga
terutama kepada orang tua. Biasanya orang tua yang menuruti hak-hak anaknya, selama
hak tersebut tidak merugikan diri sendiri dan orang lain akan menjadikan mahasiswa
tersebut menjadi individu yang mampu berperilaku asertif. Seperti yang dikatakan oleh
Alberti dan Emmons (2002) menyatakan bahwa orang tua yang kerap kali melarang
anak-anaknya menyatakan hak-hak mereka, akan menghambat perkembangan perilaku
asertif seorang anak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik simpulan bahwa perilaku asertif memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap kecerdasan emosi. Kontribusi yang diberikan sebesar
49,1% sedangkan 50,9% kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lainnya. Dari hasil
penelitian juga diketahui bahwa kategori subjek penelitian menunjukkan perilaku asertif
yang tinggi dan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi pula. Selain itu, laki-laki
memiliki perilaku asertif dan kecerdasan emosi yang tinggi dibandingkan perempuan,
mahasiswa yang berada di tingkat 4 memiliki perilaku asertif dan kecerdasan emosi yang
tinggi dibandingkan tingkat 1, tingkat 2, dan tingkat 3. Mahasiswa yang tinggal dengan
orang tua juga memiliki perilaku asertif dan kecerdasan emosi yang tinggi dibandingkan
yang tinggal dengan saudara, sendiri, maupun kost.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut :
1. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perilaku asertif mempunyai
pengaruh terhadap kecerdasan emosi. Oleh karena itu disarankan kepada subjek
penelitian dalam hal ini seorang mahasiswa Universitas Gunadarma untuk
berupaya agar perilaku asertif dan kecerdasan emosi yang tinggi tetap terjaga.
Subjek juga disarankan untuk tetap mengontrol emosinya agar bisa menilai emosi
secara tepat, baik pada diri sendiri maupun terhadap orang lain sehingga terjalin
hubungan yang baik dengan orang lain.
2. Bagi pihak orang tua, hendaknya terus memotivasi anak dalam meningkatkan
perilaku asertif dan kecerdasan emosinya karena pendidikan yang paling awal dan
mendasari perilaku asertif dan kecerdasan emosi adalah berawal dari sebuah
keluarga.
3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat faktor-faktor lain yang menentukan
kecerdasan emosi dengan demikian dinilai perlu disarankan kepada peneliti lain
untuk meneliti kemungkinan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
kecerdasan emosi seperti orang tua, tingkat kuliah dan jenis kelamin.
DAFTAR PUSTAKA
Alberti, R.E., & Emmons, M. (1978). Your perfect right : A guide to assertive living.
Atascaredo, California : Impact Publishers, Inc.
Alberti, R., & Emmons, M. (2002). Your perfect right. Terjemahan : Buditjahya, G.U.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Azwar, S. (1996). Tes prestasi : Fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar.
Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Cawood, D. (1988). Assertiveness for managers : Learning effective skills for managing
people (second edition). Canada : International Counsel Press, Ltd.
Cawood, D. (1997). Manajer yang efektif : Terampil mengelola orang dan efektif dalam
berkomunikasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ciarrochi, J., Forgas, J.P., & Mayer, J.D. (2001). Emotioal intelligence in everyday life :
A scientific inquiry. London : Psychology Press.
Fensterheim, H., & Baer, J. (1975). Don’t say yes when you want to say no. New York :
Dell.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence : Why it can matter more than IQ. London :
Blumsbury.
Goleman, D. (1996). Kecerdasan emosional : Mengapa EI lebih penting daripada IQ.
Terjemahan : Hermaya, T. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, J., & Chaire, D.J. (1999). Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki
kecerdasan emosional. Terjemahan : Hermaya, T. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Hein, S. (2004). Http :// www.eqi.org (31 Maret 2004).
Kelley, C. (1979). Assertion training a fasilitator’s guide. San Diego : University
Associate.
Kusumawardani, P. (2006). Kontribusi kecerdasan emosi terhadap prestasi akademik
pada mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma.
L’ Abate, L., & Milan, M.A. (1985). Hanbook of social skill training and research. New
York : John Wiley & Sons, Inc.
Lange, A.J., & Jakubowski, P. (1978). Responsible assertive behavior : Cognitif behavior
procedures for trainers. USA : Research Press.
Lange, A.J., & Jakubowski, P. (1997). Responsible assertive behavior. Berkshire :
Research Press.
Palmer, P., & Froehner, M. (2002). Harga diri remaja : Penuntun menumbuhkan harga
diri bagi remaja. Terjemahan : Ishak Susanto. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Patton, P. (2000). EQ : Pengembangan sukses lebih bermakna. Jakarta : Media
Publishers.
Rathus, S.A., & Nevid, J.S. (1980). Behavior therapy of solving problem in living. New
York : The New American Library, Inc.
Rathus, S.A., & Nevid, J.S. (1983). Adjusment & growth : The challenges of life (second
editon). New York : CBS College Publishing.
Rosniawati, N. (2005). Hubungan harga diri dengan asertivitas pada remaja akhir. Skripsi
(Tidak Diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Segal, J. (2003). Melejitkan kepekaan emosional : Cara baru praktis untuk
mendayagunakan potensi insting dan kekuatan emosi anda. Terjemahan :
Nilandari, A. Bandung : Kaifa.
.
Shapiro, E.L. (1999). Mengajarkan kecerdasan emosional pada anak. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Solomon, L.J., & Rothblum, E.D. (1985). Social skill problem experienced by women.
The Handbook of Social Skill Training & Reaserch. New York : John Wiley &
Sons, Inc.
Stein, S.J., & Book, H.E. (2004). Ledakan EQ : 15 prinsip dasar kecerdasan emosional
meraih sukses. Terjemahan : Januarsari, T.R., & Murtanto, Y. Bandung : Kaifa.
Suryabrata, S. (2000). Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta : Andi Offset.
Walker, C.E., Hedberg, A.G., Clement, P., & Wright, L. (1981). Clinical procedures for
behavior therapy. Engel Wood Cliff. New Jersey : Prentice Hall.
Willis, L., & Daisley, J. (1995). The assertivness of trainer and runing assertivness
course. Berkshire : Mc Graw Hill.
Download