Limfoma pada Kepala dan Leher

advertisement
LIMFOMA PADA KEPALA DAN LEHER
REFERAT ONKOLOGI
Oleh:
Yulianti
131421110002
SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN
TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RSUP Dr. HASAN SADIKIN
1
2
BANDUNG
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Referat
: Limfoma Pada Kepala dan Leher
Tanggal
: 19 Desember 2014
Presentan
: Yulianti, dr
Pembimbing Utama : Bogi Soeseno, dr, SpTHT-KL(K)
Pembimbing Pendamping :
-
Dindy Samiadi, MD, dr, SpTHT-KL(K), FAAOHNS
-
Tonny Basriyadi Sarbini, dr, M.Kes, Sp.THT-KL(K)
-
Nur Akbar Aroeman, dr, Sp.THT-KL(K)
-
Yussy Afriani Dewi, dr, M.Kes, Sp.THT-KL(K)
-
Agung Dinasti Permana, dr, M.Kes, Sp.THT-KL
Mengetahui
Pembimbing Utama:
Bogi Soeseno, dr, SpTHT-KL(K)
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR
BAB I
……………………………………………………………... iv
PENDAHULUAN................................................................................1
BAB II
2.1 Definisi……………………………………………….... ………. 4
2.2 Lokasi dan Gejala yang muncul......................................................5
BAB III
3.1 Diagnosis……………………………………………………….10
3.2 Klasifikasi Histologi………………………………………….. ..12
3.3 Penilaian Klinis…………………………………………………15
3.4 Sistem Penentuan Stadium……………………………………..18
3.5 Faktor Prognostik
.........................................................................20
BAB IV
4,1 Prinsip Umum Penatalaksanaan………………………………..21
4.2 Subtipe Spesifik.............................................................................24
4.2.1
Limfoma Low-Grade Stadium I atau II…………………24
4.2.2
Limfoma Low-Grade stadium III atau IV………….……25
4.2.3
Limfoma intermediate-grade, stadium I atau II………...27
4.2.4
Limfoma intermediate-grade, stadium III atau IV ............28
4.2.5
Limfoma jenis high grade…………………………………30
4.3
Limfoma spesifik kepala dan leher……………………….31
4.3.1
Limfoma pada cincin waldeyer…………………………...31
4.3.2
Limfoma sinonasal………………………………………...32
4
4.3.3
Limfoma kelenjar ludah…………………………………...33
4.3.4
Limfoma tiroid……………………………………………..34
4.3.5
Limfoma orbita…………………………………………….34
4.3.6
Limfoma berhubungan dengan HIV………………………35
4.4
Komplikasi Terapi…………………………………………..35
4.4.1
Radioterapi…………………………………………………35
4.4.2
Kemoterapi…………………………………………………36
BAB V KESIMPULAN .................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................39
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Thomas Hodgkin, MD ………………………………………….……..
4
Gambar 2.2 Sel Reed-Sternberg …………………………………………………....
5
Gambar 2.3 Cincin Waldeyer
…………………………………………………….…. 6
Gambar 2.4 NHL pada rongga mulut di gusi kanan atas dengan tampilan mukosa
yang halus …………………………………………………………………….………
6
Gambar 2.5 SCC pada dasar mulut………………………………………………….. 7
Gambar 2.6 NHL pada sinus paranasal………………….…………………………
8
Gambar 2.7 NHL pada tonsil …………………………....………………………….
8
Gambar 2.8 NHL pada orbita……………………………………………………..…
9
Gambar 3.1 Tindakan FNAB dari massa di tiroid………………………................... 10
Gambar 3.2 CT scan NHL sinus paranasal ………………………………………… 15
5
Gambar 3.3 PET Scan NHL tonsil ………………………………………………….
16
Gambar 3.4 Evaluasi terapi limfoma dengan PET Scan …………………………… 16
Gambar 3.5 Sistem stadium Ann Arbor……………………………………………..
19
Gambar 4.1 NHL sinus paranasal sebelum dan sesudah terapi (kemoiradiasi)
22
Gambar 4.2Lapangan radioterapi pada kasus limfoma …………………………… 23
BAB I
PENDAHULUAN
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh proliferasi sel limfoid
atau prekursorsnya dan merupakan keganasan nonepithelial paling sering pada kepala
1
dan leher.
Ada dua jenis utama dari limfoma: Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma non-Hodgkin
(NHL). Limfoma Hodgkin biasanya ditandai dengan penyebaran penyakit melalui
kelompok bersebelahan kelenjar getah bening. Sebaliknya, NHL dapat terwujud dalam
ekstranodal seperti cincin waldeyer, kelenjar ludah, dan tiroid selain terjadi di nodal
1
basins dari kepala dan leher. Kelompok NHL terdiri dari subtype penyakit yang
heterogen berdasarkan epidemiologi, etiologi, morfologi, imunofenotipe, genetic, tampilan
klinis dan respons terhadap terapi.
1,2
Limfoma maligna mencakup 5 % dari seluruh tipe keganasan yang terjadi pada kepala
2
dan leher. Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai angka kejadian limfoma.
Data dari rawat jalan poli THT RS Hasan Sadikin Bandung selama 2 tahun terakhir
Januari 2013-November 2014 didapatkan 249 kasus limfoma non Hodgkin,
perbandingan laki-laki lebih banyak menderita limfoma dibanding perempuan 152 : 97 .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jepang menyebutkan bahwa secara
keseluruhan keganasan pada limfoid dari tahun 2001 hingga 2006 menyebutkan jumlah
2260 kasus yang dilakukan biopsy atau reseksi yang diantaranya diketahui sejumlah
65% nya adalah jenis limfoma sel-B, 25% jenis sel-T atau sel NK (Natural Killer), dan 7%
6
3
diantaranya adalah jenis limfoma Hodgkins. Pada tahun 2010, American Cancer Society
memperkirakan bahwa 74.030 kasus limfoma baru akan didiagnosis dan 21.530
4
kematian karena limfoma akan terjadi di Amerika Serikat. Analisis Basis Data Kanker
Nasional (NCDB) mengungkapkan bahwa proporsi kasus limfoma antara semua tumor
kepala dan leher meningkat dari 14,7% antara 1985 dan 1989 menjadi 15,4% antara
tahun 1990 dan 1994.
Kasus Limfoma Non Hodgkin 86% dari semua kasus limfoma dan termasuk lima
3
besar keganasan tersering di Amerika Serikat. Hal ini terutama mengenai orang
4
dewasa, dengan kurang dari 10% dari keseluruhan kasus yang terjadi pada anak-anak.
Limfoma Non Hodgkin merupakan hasil dari translokasi kromosom pada sel B atau sel
1
T/sel natural killer (NK) yang menginaktivasi gen supresor tumor atau aktivasi onkogen.
B-cell lymphomas ditemukan sekitar 90% dari semua NHLs. Dua subtipe histologis yang
paling umum adalah follicular lymphoma dan yang lebih agresif diffuse large B-cell
lymphoma (DLBCL).
5
Faktor risiko untuk terjadinya limfoma termasuk jenis kelamin laki-laki, imunosupresi
jangka panjang, paparan radiasi atau pestisida, dan penyakit autoimun seperti sistemik
6
lupus eritematosa. Infeksi termasuk human immunodeficiency virus (HIV), human T-cell
lymphotropic virus 1 (HILV-1), human herpes virus-8 (HHV-8), dan Epstein-Barr virus
1,5
(EBV) juga telah dikaitkan dengan perkembangan limfoma.
Limfoma biasanya bermanifestasi sebagai massa di leher, sehingga ahli THT sering
terlibat dalam diagnosis penyakit tersebut. Namun, karena ini adalah penyakit yang
diobati terutama dengan radiasi dan kemoterapi oleh ahli onkologi medis, peran ahli
THT umumnya berkurang setelah diagnosis diperoleh. Meskipun demikian, sebagai
peserta tim multidisiplin, sangat penting untuk ahli THT untuk mengetahui tidak hanya
manajemen yang komprehensif dari penyakit limfoma ini tetapi juga dalam klasifikasi dan
penatalaksanaan dari limfoma. Ahli THT akan sering menjadi dokter yang akan
mendiagnosis limfoma yang ada di kepala dan leher. Dan dengan demikian indeks
7
kecurigaan yang tinggi harus dijaga, terutama untuk limfoma yang terjadi pada
ekstranodal.
BAB II
2.1 Definisi
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh proliferasi sel limfoid
atau precursorsnya dan merupakan keganasan nonepithelial paling sering pada kepala
1
dan leher.
Limfoma pertama kali dipublikasikan oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832, yang
kemudian disebut sebagai Limfoma Hodgkin yang ditandai dengan gambaran khas sel
Reed-Sternberg.
Gambar 2.1 Thomas Hodgkin, MD
2
Karakteristik sel Reed Sternberg berukuran 20-50 mikron, sitoplasma yang amphofilic
dan homogen, dua buah nukleus yang seolah-olah seperti gambaran cermin, mirip mata
burung hantu masing-masing dengan nukleolus yang eosinofil.
8
9
Nama sel Reed Sternberg sendiri berasal dari dua orang ahli patologi yang pertama kali
mendeskripsikan sel tersebut yaitu Dorothy Reed Mendenhall dan Carl Sternberg.
Gambar 2.2 Sel Reed-Sternberg
2.2
2
Lokasi dan gejala yang muncul
Lebih dari setengah limfoma ekstranodal di daerah kepala leher muncul pada cincin
waldeyer; dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil, diikuti nasofaring dan dasar lidah.
Gejala yang muncul mirip dengan gejala pada karsinoma sel epitel gepeng (Squamous
Cell Carcinoma/SCC).
1
10
Gambar 2.3 Cincin Waldeyer
7
Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran tonsil atau nyeri tenggorokan. Pasien
dengan limfoma nasofaring seringkali mengeluhkan adanya masa di leher atau sumbatan
pada hidung. Sensasi adanya benda asing atau nyeri menelan seringkali adalah gejala
awal dari limfoma di dasar lidah. Limfoma biasanya berada di bawah mukosa, berbeda
tampilan klinisnya dari SCC yang terjadi suatu perlukaan pada permukaan mukosa.
Gambar 2.4 NHL pada rongga mulut di gusi kanan atas dengan tampilan mukosa
2
yang halus
1
11
Gambar 2.5 SCC pada dasar mulut kiri dengan tampilan perlukaan mukosa
2
Sekitar sepertiga limfoma di daerah kepala dan leher terjadi di tempat ekstralimfatik,
antara lain sinus paranasal, rongga hidung, kelenjar liur, rongga mulut, laring dan orbita.
Sekali lagi dengan penampakan yang menyerupai penampakan pada SCC.
1
Limfoma di sinus paranasal biasanya menimbulkan gejala sinusitis, sedangkan gejala
pandangan ganda dan mata yang menonjol dapat ditemukan pada kasus yang berat.
Limfoma di rongga hidung dapat menyebabkan gejala sumbatan hidung dan perdarahan
dari hidung.
1
Gambar 2.6 NHL pada sinus paranasal
8
12
Limfoma di rongga mulut ditandai dengan bengkak daerah mulut, nyeri dan ulkus.
Limfoma laring ditandai dengan suara serak, sesak nafas dan kesulitan menelan.
Limfoma kelenjar liur biasanya ditandai dengan pembesaran massa di parotis, walaupun
jarang diikuti dengan gangguan pada saraf fasialis.
1
Gambar 2.7 NHL pada tonsil
2
Kejadian limfoma primer pada kelenjar tiroid hanya sekitar 5-10% dari seluruh
keganasan pada kelenjar tiroid. Sebagian besar pasien mengeluhkan massa tiroid yang
membesar dengan cepat, suara serak dan sesak nafas atau kesulitan menelan.
Pasien dengan limfoma orbita biasanya mengeluhkan bengkak di daerah orbita dan
dapat ditemukan penonjolan bola mata pada pemeriksaan fisik. Gejala lain yang dapat
menyertai antara lain gangguan penglihatan, ptosis dan nyeri. Luas lapang pandang dan
fundus biasanya tidak terpengaruh. Pasien dengan penyakit konjungtiva seringkali
mengeluhkan adanya massa yang berwarna merah muda dan dapat diraba di
konjungtiva.
1
13
Gambar 2.8 NHL pada orbita
2
Secara keseluruhan, sekitar 15% dari pasien dengan limfoma di daerah kepala dan
leher datang dengan keluhan pembesaran kelenjar di leher, sedangkan sekitar 12%
memiliki gejala sistemik seperti demam, berkeringat pada malam hari atau penurunan
berat badan. Sekitar 20% pasien dengan limfoma di daerah kepala dan leher melibatkan
beberapa daerah (multiple).
1
BAB III
3.1
Diagnosis
Pemeriksaan biopsi dengan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) sangat berguna
pada pemeriksaan awal. Setelah hasil pemeriksaan FNAB mengarah pada suatu
keganasan limfoid, dibutuhkan biopsi terbuka (biopsi insisi) untuk menegakkan diagnosis
yang definitive dari suatu Non Hodgin Lymphoma (NHL).
9
14
Gambar 3.1 Tindakan FNAB dari massa di tiroid
10
Keuntungan dari pemeriksaan FNAB adalah pemeriksaan lebih cepat, biaya lebih
murah dan minimal komplikasi.
11
Pemeriksaan FNAB dapat mendeteksi suatu penyakit
yang rekuren atau perubahan histologi namun tidak dapat membedakan, apakah
limfoma tersebut bersifat folikuler atau difus, yang merupakan faktor penting dalam
menentukan derajat dan prognosis suatu limfoma. Untuk itulah biopsi terbuka lebih
dipilih untuk menentukan diagnosis awal.
1,9
Core Node Biosy (CNB) adalah pemeriksaan diantara FNAB dan biopsy insisi.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan needle ukuran besar (no 14/18). Sampel CNB
dapat digunakan untuk pemeriksaan imunohistokimia dan histopatologi konvensional.
Saat ini CNB digunakan pada pemeriksaan pasien dengan lokasi lymph nodes yang
dalam seperti pada mediastinum ataupun abdomen. Dua penelitian terbaru mengenai
ultrasound guiding CNB pada kasus lymphadenopathy cervical dapat menunjukkan
subklasifikasi pada 89,7% dari kasus limfoma. Faktor seperti nodal necrosis atau infark
dapat mengurangi kesuksesan metode ini dalam mendiagnosis suatu limfoma.
12
Pemeriksaan imunohistokimia dapat membantu membedakan limfoma dengan
keganasan anaplastik atau undifferentiated. Antibodi antikeratin untuk karsinoma, protein
anti-S-100 untuk melanoma dan antibodies panleukosit untuk limfoma. Pemeriksaan
imunohistokimia juga dapat membantu membedakan limfoid jinak dari suatu limfoma
dengan bantuan mikroskop cahaya.
1
15
Tabel. Profil Imunohistokimia pada limfoma
Sebagian besar NHL mengekspresikan penanda sel T atau sel B. Satu set panel
pemeriksaan antigen sel T dapat membedakan limfoma sel T dengan suatu hyperplasia.
Limfoma sel B mengekspresikan satu kelas tunggal dari rantai ringan (kappa atau
lamda), sedangkan hyperplasia menunjukkan suatu campuran dari kedua kelas
tersebut.
1
Pemeriksaan imunohistokima atau pemeriksaan molekuler lainnya akan lebih baik
apabila dilakukan pada jaringan yang masih segar, maka sebaiknya klinisi memberikan
informasi tentang adanya kecurigaan diagnosis adalah suatu limfoma kepada ahli
patologi. Suatu jenis subtipe histologi dari suatu NHL mempengaruhi penentuan stadium,
terapi dan harapan hidup pasien.
3.2
1
Klasifikasi Histologis
Klasifikasi histologi limfoma telah berkembang sepanjang waktu seiring dengan
pemahaman karakteristik molekuler yang semakin baik, sehingga memungkinkan ahli
patologi untuk dapat mengenali temuan unik yang sebelumnya mungkin dikelompokkan
secara bersama. Sistem klasifikasi yang terus berubah dapat membingungkan para
dokter. Klasifikasi yang dianggap paling berguna secara klinis dan seringkali dirujuk
16
sebagai referensi adalah Working Formulation yang digunakan di Amerika Utara sampai
pertengahan tahun 1990an, walaupun ini sederhana namun tidak memperhatikan jenis
sel B atau sel T dan juga tidak menggunakan data lain yang berhubungan seperti
genetics molekuler dalam menentukan prognosis.
1
Pada tahun 1999, klasifikasi The Revised European-American Lymphoma (REAL)
membedakan limfoma tidak hanya secara histologi namun juga secara imunologis,
genetik, dan karakteristik klinis. Sehingga memasukkan beberapa jenis limfoma yang
tidak masuk dalam Working Formulation sebelumnya seperti limfoma anaplastik largecell, limfoma zona marginal (MALT), dan limfoma mantle cell. Sistem ini dimodifikasi lagi
menjadi klasifikasi WHO yang sekarang diterima secara luas.
1
Perubahan klasifikasi berdasarkan gambaran patologi dapat menyulitkan klinisi dalam
membaca laporan patologi. Banyak literature yang masih mengacu pada klasifikasi yang
lama sehingga kurang sesuai dengan klasifikasi yang terbaru. Namun demikian beberapa
hal penting dari Working Formulation masih dapat ditemui pada klasifikasi WHO seperti
tampak pada tabel berikut.
1
Klasifikasi Limfoma daerah Kepala dan leher
Working Formulation
WHO equivalents
Low grade
Small lymphocytic
B-cell small lymphocytic or extranodal
marginal zone
Follicular small cleaved cell
Follicular lymphoma, grade 1
Follicular mixed
Follicular lymphoma, grade 2
Intermediate grade
Follicular large cell
Follicular lymphoma, grade 3
Diffuse small cleaved cell
Mantle cell, lymphoplasmacytic
Diffuse mixed
Diffuse large B cell, peripheral T cell
Extranodal NK/T cell
17
Diffuse large cell
Diffuse large B cell, peripheral T cell
Extranodal NK/T cell
High grade
Immunoblastic
Diffuse large B cell, peripheral T cell
Extranodal NK/T cell
Lymphoblastic
Lymphoblastic
Small non-cleaved cell
Burkitt lymphoma/Burkitt-like
NK, natural killer.

Dalam tulisan ini klasifikasi dari Working Formulation masih digunakan karena
kegunaan klinisnya dan juga karena banyak referensi dalam tulisan ini juga masih
menggunakan klasifikasi tersebut.
1
Sekitar 4% limfoma adalah keganasan campuran (composite) dimana terdapat dua
jenis limfoma yang berbeda terjadi pada tempat yang sama. Sekitar 10% pasien
menderita limfoma yang bertentangan dimana dua jenis limfoma yang berbeda terjadi
pada tempat yang berbeda. Seiring waktu limfoma dapat berkembang dari klasifikasi low
grade menjadi intermediate grade.
1
Sebagian besar limfoma di daerah kepala dan leher adalah jenis intermediate grade,
sedangkan 12% jenis low grade dan 16% adalah jenis high grade, dan lebih dari separuh
pasien dengan limfoma kelenjar saliva adalah jenis low grade. Sebagian besar limfoma
tiroid adalah jenis intermediate grade dan sebagian besar dari pasien ini terbukti
menderita tiroiditis Hashimoto.
1
Limfoma yang berasal dari orbita biasanya jenis low grade dan dapat sulit dibedakan
dari infiltrate limfoid di orbita yang jinak. Sebagian besar limfoma daerah kepala leher
mengekspresikan marker sel B. Limfoma limfoblastik dan sebagian kecil dari limfoma
diffuse large cell termasuk kelompok sel T. Sel T dan tipe natural killer terjadi terutama di
rongga hidung dan sinus paranasal.
1
18
3.3
Penilaian Klinis
Penentuan stadium yang tepat sangat penting sebelum memulai terapi. Pasien harus
melalui pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, termasuk
laringoskopi indirek. Pemeriksaan penunjang seperti Computed tomography (CT) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menilai secara lebih lengkap perluasan dari
suatu tumor di daerah kepala dan leher. Pemeriksaan darah lengkap, dan tes fungsi hati
direkomendasikan untuk dilakukan. Pemeriksaan CT sebaiknya dilakukan pada kasus
pembesaran kelenjar getah bening di daerah mediastinum, hilus, hepar, dan keterlibatan
mesenterium.
11
Gambar 3.2 CT scan NHL sinus paranasal
9
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) berguna untuk mengevaluasi sisa
masa tumor pada akhir terapi untuk menentukan status kekambuhan penyakit.
Gambar 3.3 PET Scan NHL tonsil
13
11
19
Gambar 3.4 Evaluasi terapi limfoma dengan PET Scan
13
A. Sebelum terapi menunjukkan peningkatan uptake 2-18F-fluoro-2deoxyglucose (FDG) di leher kiri dan supraklavikula
B. Setelah siklus pertama kemoterapi
C. Setelah siklus kedua kemoterapi
Dilaporkan terdapat hubungan antara limfoma yang terjadi pada cincin waldeyer dan
pada saluran pencernaan sebesar 3-11% pasien. Sehingga pada pasien ini disarankan
untuk dilakukan pemeriksaan saluran cerna dengan endoskopi pada proses penentuan
stadium penyakit.
1
Biopsi dari tulang iliaka sebaiknya dilakukan karena sekitar 18% pasien dengan
limfoma ekstranodal di daerah kepala dan leher pada mengalami keterlibatan sumsum
tulang. Angka ini dapat lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologi jenis low
grade.
5
Pungsi lumbal dengan pemeriksaan kimia cairan LCS, hitung sel lengkap, dan analisis
sitologi di rekomendasikan untuk dilakukan pada tahap penentuan stadium awal pada
pasien dengan kecurigaan keterlibatan saraf pusat, seperti pada kasus limfoma high-
20
grade, atau limfoma intermediate-grade yang melibatkan sinus paranasal, sumsum
tulang, testis, atau daerah tulang belakang. Karena akurasi penentuan stadium awal
yang semakin akurat, dan penggunaan kemoterapi yang semakin lazim, tindakan
penentuan stadium dengan laparotomi sudah tidak direkomendasikan untuk dilakukan
secara rutin.
11
Setelah menyelesaikan terapi, pasien harus dievaluasi secara rutin. Pemeriksaan
yang harus dilakukan meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi
hati, dan pemeriksaan pencitraan yang sesuai untuk menilai organ yang sebelumnya
terkena penyakit.
3.4
11
Sistem Penentuan Stadium
Setelah pemeriksaan lengkap dilakukan, stadium ditentukan dengan menggunakan
sistem penentuan stadium Ann Arbor.
11
Sistem penentuan stadium Ann Arbor
Stadium
Karakteristik
Stage I
Involvement of a single lymph node region (I) or of a single
extralymphatic organ or site (IE)
Stage II
Involvement of two or more lymph node regions or lymphatic structures
on the same side of the diaphragm (II) or localized involvement of an
extralymphatic organ or site and of one or more lymph node regions on
the same side of the diaphragm (IIE)
Stage III
Involvement of lymph node regions on both sides of the diaphragm (III)
Stage IV
Diffuse or disseminated involvement of one or more extralymphatic
organs or tissues with or without lymph node involvement
21
Gejala
A
Absence of systemic symptoms
B
Unexplained fever, night sweats, or weight loss of more than 10% body
weight
Gambar 3.5 Sistem Stadium Ann Arbor
14
Stadium ditentukan berdasarkan lokasi KGB dan keterlibatan organ. Kode “E” berarti
terdapat keterlibatan jaringan ekstra limfatik seperti rongga mulut, kelenjar liur, atau sinus
paranasal. Stadium lebih lanjut diberi kode “A” untuk pasien tanpa gejala sistemik atau
“B” untuk pasien dengan gejala sistemik seperti demam yang tidak jelas penyebabnya,
berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan > 10% berat badan awal.
11
Pada suatu penelitian dengan 900 pasien limfoma, pasien dengan stadium I sebanyak
31%, stadium II 35%, stadium III 14% dan stadium IV 19%. Hanya sebagian kecil pasien
yang muncul gejala sistemik “B”. Sebagian besar pasien dengan limfoma tiroid datang
dengan penyakit pada stadium I atau IIE. Sekitar duapertiga limfoma orbita adalah
stadium I.
11
22
3.5
Faktor Prognostik
Limfoma Non-Hodgkin terdiri atas low, intermediate, dan high grades. Dengan jenis
histologi hasil akhir dari pasien bervariasi. Pada tahun 1993 diterbitkan The International
Prognostic Index (IPI), yang memperkirakan prognosis pasien dengan limfoma diffuse
large cell berdasarkan lima faktor prognostik : usia, penampilan klinis, LDH, jumlah
pembesaran KGB ekstranodal, dan stadium.
15
Belum lama ini suatu sistem yang serupa telah dikembangkan untuk limfoma jenis
follicular yang dikenal sebagai Follicular Lymphoma International Prognostic Index
(FLIPI). Prognosis pasien dengan follicular lymphoma berdasarkan factor prognostic
berikut : usia, kadar hemoglobin, jumlah pembesaran KGB, kadar LDH dan stadium.
16
Kemajuan tehnologi seperti analisis susunan mikro DNA telah dapat mengidentifikasi
gen over atau under-expressed yang dipengaruhi oleh sel limfoma, dan ini telah
membagi pasien menjadi kelompok dengan risiko yang berbeda meskipun berada dalam
kelompok histologi yang sama.
1
Dua jenis subtipe limfoma diffuse large B-cell telah berhasil dikenali berdasarkan pola
ekspresi susunan mikro DNA dengan kemungkinan hidup 5 tahun kemudian yang
berbeda secara signifikan.
1
BAB IV
4.1
Prinsip Umum Penatalaksanaan
Penanganan limfoma didaerah kepala dan leher sebaiknya adalah suatu usaha yang
melibatkan multidisiplin ilmu antara lain ahli patologi, ahli radiologi, ahli THT-KL, ahli
radioterapi, dan ahli onkologi medis.
11
Pilihan terapi tergantung pada jenis subtipe histologi dan stadium. Rekomendasi
umum dapat dibuat untuk subgrup tertentu, namun tim onkologi harus melihat setiap
pasien sebagai individu yang berbeda.
1,11
Pilihan terapi limfoma kepala dan leher
Histologi
Stadium
Pilihan Terapi
Low grade
I, II
Involved-field XRT
III, IV
CVP, chlorambucil, rituximab, observation
I, II
RCHOP –XRT
III, IV
RCHOP or other combination chemotherapy
I – IV
Intensive combination chemotherapy
Intermediate grade
High grade
CVP: cyclophosphamide + vincristine +prednisone; RCHOP: rituximab +
cyclophosphamide + doxorubicin + vincristine + prednisone; XRT, irradiation.
Terapi utama limfoma adalah radioterapi, kemoterapi, imunoterapi atau kombinasi
diantaranya. Radioterapi diberikan dengan dosis harian sebesar 200 cGy dari dosis total
3.000-4.000 cGy untuk limfoma jenis low-grade dan dosis total 4.900-5.000 cGy untuk
limfoma jenis intermediate-grade.
5
23
24
Gambar 4.1 NHL sinus paranasal sebelum dan sesudah terapi (kemoiradiasi)
9
Luas daerah lapangan radioterapi dibuat sesuai dengan jenis dan lokasi tumor serta
bentuk anatomi pasien. Daerah yang paling sering disinar adalah daerah cincin waldeyer
yang meliputi jaringan limfoid nasofaring, orofaring, basis lidah dan KGB di daerah atas
servikal, preaurikular, submandibular, submaksila dan oksipital.
11
Daerah sinar mantle meliputi KGB servikal, supraklavikula, infraklavikula, axila,
mediastinum dan daerah hilus. Penyinaran dapat dilakukan hanya pada daerah yang
terlibat dan dapat meluas hingga semua kelompok KGB yang berhubungan (Extendedfield irradiation).
5
Gambar 4.2 Lapangan radioterapi pada kasus limfoma
15
25
Limfoma bersifat sensitif terhadap banyak obat kemoterapi, seperti
cyclophosphamide, chlorambucil, vincristine, prednisone, doxorubicin (Adriamycin),
bleomycin, methotrexate, dan fludarabine. Kemoterapi biasanya diberikan dalam
kombinasi dan dalam beberapa siklus untuk mendapatkan respon terbaik dengan efek
samping yang masih dapat diterima.
11
Secara umum, kemoterapi diberikan hingga tercapai respon lengkap, diikuti dengan
dua siklus tambahan sebagai konsolidasi. Jika kemoterapi digunakan dengan kombinasi
dengan radioterapi pada stadium awal (stadium I atau II), tiga sampai enam siklus
kemoterapi biasanya sudah mencukupi.
11
Karena intensitas dosis penting dalam mencapai respon yang optimal, maka penting
untuk dilakukan pemberian dosis tertinggi yang masih bisa diterima pasien sesuai jadwal.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pemberian imunoterapi dengan antibodi antiCD20 (rituximab) juga memberikan hasil yang efektif.
5
Banyak kombinasi obat kemoterapi yang tersedia untuk pengobatan limfoma.
Kombinasi yang paling sering digunakan adalah :

1
CVP: cyclophosphamide, 400 mg per m
2
per oral (PO) hari 1 sampai 5;
2
2
vincristine, 1.4 mg per m intravena (IV) hari 1; prednisone, 100 mg per m PO
hari 1 sampai 5; diulang setiap 21 hari.

2
CHOP: cyclophosphamide, 750 mg per m IV hari 1; doxorubicin, 50 mg per m
2
2
2
IV hari 1; vincristine, 1.4 mg per m IV hari 1; prednisone, 50 mg per m PO hari 1
sampai 5; diulang setiap 21 hari.

Regimen lainnya menambahkan bleomycin dan/atau methotrexate dosis tinggi.

Rituximab (R): 375 mg per m IV per minggu selama 4 minggu.
2
4.2
Subtipe Spesifik
4.2.1
Limfoma Low-Grade Stadium I atau II
26
Hanya sebagian kecil limfoma di daerah kepala dan leher yang berjenis low grade,
dan datang pada stadium awal. Terapi baku adalah radioterapi daerah yang terlibat saja
atau daerah luas, dan sebagian besar penelitian tidak menunjukkan adanya manfaat dari
kemoterapi.
Dalam 10 tahun, sekitar 60% pasien bebas dari penyakit, dan 65% masih dapat
bertahan hidup. Apakah terdapat kelompok kecil pasien yang dinyatakan sembuh masih
kontroversi karena kekambuhan masih dapat terjadi bahkan hingga setelah 10-20 tahun.
Dalam sebuah analisis retrospektif yang dilakukan di Stanford, kelompok pasien
dengan limfoma folikuler stadium I/II diamati tanpa suatu terapi awal. Pada masa
pengamatan lanjutan selama 7 tahun, lebih dari dua pertiga pasien tidak memerlukan
terapi apapun. Tingkat keberhasilan hidup secara keseluruhan kelompok pasien ini tidak
berbeda dengan kelompok yang menjalani radioterapi atau kombinasi dengan modalitas
terapi lainnya.
4.2.2
17
Limfoma Low-Grade stadium III atau IV
Meski telah melalui penelitian selama puluhan tahun, tidak ada kesepakatan tentang
penanganan yang optimal dari limfoma folikuler dan low-grade. Beberapa jenis terapi
yang digunakan antara lain penggunaan alkilating agen saja, kombinasi kemoterapi
dengan regimen CVP atau CHOP, atau regimen berdasar fludarabine.
1
Dimana dengan setiap regimen yang digunakan, sekitar 60-80% pasien dapat
mencapai respon lengkap. Sebagian besar pasien mengalami kekambuhan dengan
hanya 20-30% pasien yang tetap bebas penyakit pada 10 tahun, dan 50-60% pasien
masih bertahan hidup dengan penyakitnya. Belum ada terapi yang lebih unggul dari yang
lain secara signifikan dari yang lain dalam hal kemungkinan bertahan hidup.
1
Rituximab, suatu antibody monoklonal dengan efek toksik minimal yang diarahkan
langsung ke antigen CD20 sel B, dapat memberikan respon hingga 50% kasus limfoma
jenis low-grade. Respon tersebut bertahan hingga sekitar 1 tahun. Antibodi ini digunakan
secara luas karena efektifitasnya dan efek toksisitas yang rendah.
18
27
Efek samping paling sering terjadi pada pemberian pertama, berupa demam,
menggigil dan kadang-kadang hipotensi. Kemungkinan penggunaannya sebagai terapi
pemeliharaan diteliti pada dua penelitian berbeda dengan jadwal yang berbeda. Pada
dua penelitian tersebut time to progression (TTP) atau waktu sejak penyakit didiagnosis
hingga penyakit tersebut memburuk, menjadi lebih lama dari yang diharapkan namun
tidak ada perbedaan dalam angka harapan hidup.
1,18
Penelitian acak baru-baru ini menunjukkan bahwa regimen yang mengandung rituxan
lebih unggul dibandingkan kemoterapi saja. Dalam sebuah penelitian yang
membandingkan regimen CVP dan R-CVP, ternyata respon secara keseluruhan lebih
baik pada kelompok regimen kombinasi R-CVP. Hasil yang lebih baik juga dilaporkan
pada penggunaan kombinasi RCHOP dibandingkan dengan CHOP. Namun penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk menilai keunggulan dalam hal harapan hidup.
Mengingat sifat jinak dari limfoma jenis low-grade, observasi pasien sampai dengan
muncul keluhan berupa pembesaran KGB, gejala sistemik atau gangguan fungsi organ
adalah suatu pendekatan yang dapat diterima. Penelitian yang membandingkan
penggunaan terapi kemoterapi kombinasi dibandingkan dengan tanpa terapi awal, diikuti
dengan kemoterapi kombinasi ketika dibutuhkan menunjukkan tidak terdapat perbedaan
dalam hal harapan hidup pasien.
5
Beberapa terapi limfoma yang berbasis pada imunologi tampak menjanjikan.
Penggunaan radioimunoterapi memiliki kelebihan dapat membunuh sel-sel yang
berikatan dengan antibodi yang digunakan namun juga dapat membunuh sel-sel
disekitar sel target akibat efek cross-fire, dimana sel-sel di sekitar sel target tersebut
mungkin tidak terdapat antigen dipermukaannya atau mungkin tidak terjangkau oleh
antibodi monoklonal.
11
Dua jenis antibody monoclonal anti-CD20 yang paling sering diteliti adalah
tositumomab (Bexaar) dan
131
I-
90
Y-ibritumomab (Zevalin), dan keduanya sudah disetujui oleh
FDA untuk penggunaan pada kasus limfoma low-grade yang kambuh atau mengalami
transformasi menjadi limfoma jenis yang lebih tinggi.
1
28
Meskipun kedua agen ini memiliki perbedaan dalam sifat fisiknya namun keduanya
memiliki efektifitas dan toksisitas yang serupa. Efek toksisitas terberat keduanya adalah
myelosupresi yang dapat timbul lambat.
Awalnya
131
1
I tositumomab digunakan pada pasien dengan limfoma jenis low-grade
atau yang mengalami transformasi yang sebelumnya pernah menerima minimal 2 siklus
kemoterapi atau mengalami kekambuhan dalam 6 bulan setelah terapi sebelumnya.
4.2.3
1
Limfoma intermediate-grade, stadium I atau II
Di masa lalu, sebagian besar pasien dengan limfoma kepala dan leher stadium awal
diterapi dengan radioterapi saja. Dalam sebuah penelitian yang dilaporkan oleh
Universitas Stanford, angka bebas penyakit pada pasien stadium I 48%, pada stadium
II 35%. Pada kasus yang mengalami kekambuhan 79% muncul dengan pembesaran
KGB. Kemoterapi, terutama CHOP, adalah pilihan terapi utama, memberikan hasil yang
lebih baik dari radioterapi saja.
1
Pasien dengan keterlibatan hanya di satu atau dua tempat dan pembesaran KGB
yang tidak besar mungkin hanya memerlukan siklus kemoterapi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan pasien dengan stadium lanjut.
1
Pada pasien dengan stadium I, angka bebas penyakit pada 5 tahun adalah 80-100%,
dengan kemungkinan bertahan hidup keseluruhan 95%-100%. Pada pasien dengan
stadium II, angka bebas penyakit pada 5 tahun adalah 75-80%, dengan kemungkinan
bertahan hidup keseluruhan 75-90%.
4.2.4
1
Limfoma jenis intermediate-grade, stadium III atau IV
Selama puluhan tahun CHOP telah menjadi terapi standar pada pasien dengan
limfoma large-B-cell stadium III atau IV. Respon lengkap berkisar antara 50-85%. Angka
bebas penyakit pada 5 tahun adalah 30-60%, dengan kemungkinan bertahan hidup
keseluruhan 35-70%. Meskipun kemoterapi intensif dengan beberapa agen kemoterapi
29
tampak lebih efektif pada penelitian fase II, penelitian dengan sampel lebih besar di
beberapa tempat tidak menunjukkan hasil yang lebih baik.
19
Radioterapi biasanya digunakan untuk terapi segera pada pasien dengan
pembesaran KGB yang menimbulkan sumbatan jalan nafas atas.
Pada limfoma jenis intermediate-grade, CHOP telah dianggap sebagai terapi standar
yang dapat diperbandingkan dengan terapi baru. Meskipun rituximab hanya memiliki
aktivitas sedang jika digunakan sebagai terapi tunggal pada limfoma jenis intermediategrade, ada dua penelitian yang menunjukkan hasil yang lebih baik bila ditambahkan pada
regimen CHOP.
Pada penelitian pertama, pasien usia 60-80 tahun dengan limfoma jenis intermediategrade dengan CD20 positive B-cell stadium lanjut dibagi secara acak menjadi kelompok
yang mendapat terapi CHOP atau RCHOP. Kelompok pasien yang menerima RCHOP
menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal respon lengkap, angka bebas penyakit
dalam 5 tahun dan kemungkinan bertahan hidup keseluruhan dibandingkan pada
kelompok yang menerima CHOP.
19
Hasil yang serupa dilaporkan oleh penelitian kedua yang memakai sampel pasien usia
dibawah 60 tahun. Sehingga hasil dari dua penelitian ini mendukung penggunaan
RCHOP sebagai standar pengobatan baru pada pasien dengan limfoma diffuse large Bcell. Meskipun telah didapatkan beberapa kemajuan dalam terapi limfoma sel B, namun
hasil terapi pada limfoma sel T dan sel NK masih tetap buruk. Angka kemungkinan
bertahan hidup pada kelompok ini kurang dari 20% dengan kemungkinan kambuh yang
lebih besar pada sistem saraf pusat. Pada kelompok pasien ini kemoterapi CHOP
ditambah pemberian methotrexate intratekal sebagai pencegahan dapat
dipertimbangkan.
1
Regimen kemoterapi yang lebih intensif sedang diteliti mengingat buruknya hasil
terapi yang sekarang. Karena sebagian besar pasien ini datang dengan gejala yang luas
di daerah lokalnya, radioterapi konsolidasi dan radiasi seluruh otak sebagai tindakan
pencegahan dapat dipertimbangkan.
1,11
30
Pasien dengan stadium lanjut yang tidak berespon terhadap kemoterapi awal atau
mengalami kekambuhan biasanya tidak mendapatkan hasil yang baik dengan regimen
standar lini kedua. Pada pasien ini, kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sel
induk adalah terapi terpilih. Pada pasien dengan NHL, sumber sel induk biasanya
autolog. Sel induk diambil dari darah tepi atau dari sumsum tulang, diawetkan dengan
dibekukan dan dimasukkan kembali setelah pemberian kemoterapi dosis tinggi selesai.
1
Proses ini memungkinkan pemberian kemoterapi dalam dosis beberapa kali lipat lebih
tinggi untuk menghilangkan limfoma yang resisten dengan dosis kemoterapi standar
dengan hasil yang baik.
4.2.5
1
Limfoma jenis high-grade.
Limfoma limfoblastik seringkali merupakan keganasan sel T yang muncul pada pasien
muda sebagai masa di mediastinum yang membesar dengan cepat, meskipun kadang
dapat juga muncul di daerah kepala dan leher. Limfoma ini seringkali menyebar ke sistem
saraf pusat dan sumsum tulang.
11
Terapinya pada stadium berapapun adalah kemoterapi kombinasi, termasuk
profilaksis pada sistem saraf pusat. Sekitar 60% pasien dapat disembuhkan dengan
terapi yang agresif. Limfoma jenis Small noncleaved cell dapat menyerupai limfoma
burkitt. Terapi yang paling efektif adalah kemoterapi kombinasi dosis bertingkat dengan
regimen cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine, prednisone, methotrexate,
etoposide, cytarabine,dan d methotrexat intratekal.
11
Dalam beberapa hari pertama memulai terapi, pasien berisiko mengalami tumor lysis
syndrome yang ditandai dengan peningkatan ureum, kalium, phosphat, penurunan
kalsium dan gagal ginjal akut. Hal ini dapat terjadi dalam hitungan jam sejak kemoterapi
dimulai dan berujung pada kematian akibat aritmia jantung.
11
Pasien dengan tumor yang besar yang mungkin mengalami kehancuran sel kanker
dalam jumlah besar sebaiknya mendapat allopurinol, hidrasi intravena dan alkalisasi urin
dalam 24-48 jam setelah kemoterapi.
31
Dengan regimen kemoterapi diatas sekitar 65% pasien masih hidup dalam 2 tahun.
Pasien dengan keterlibatan sumsum tulang atau sistem saraf pusat memiliki prognosis
yang lebih buruk, meskipun sebagian besar pasien masih dapat disembuhkan dengan
regimen kemoterapi intensif.
11
4.3 Limfoma spesifik kepala dan leher
4.3.1 Limfoma pada cincin waldeyer
Sekitar setengah dari semua NHLs pada cincin waldeyer ditemukan di tonsil palatine ,
20% di antaranya adalah bilateral . Dalam jumlah yang kecil, limfoma di daerah ini juga
muncul dari tonsil faringeal, pangkal lidah atau tonsil lingual, atau melibatkan beberapa
tempat primer. Gejala sesuai dengan lokasi penyakit. NHL dari tonsil dan pangkal lidah
biasanya hadir dengan odynophagia unilateral dan disfagia sementara NHL nasofaring
dapat terwujud dengan sumbatan hidung, disfungsi tuba eustachius, epistaksis , atau
neuropati kranial. Pada pemeriksaan fisik, Lesi NHL kebanyakan submukosa, seperti
11
ulserasi lesi terlihat pada SCC.
Sebagian besar pasien datang dengan tahap awal stadium I atau stadium II , dengan
gejala B terjadi dalam waktu kurang dari 15% dari pasien. Subklasifikasi histologi yang
paling umum pada daeerah ini adalah DLBCL, dijumpai pada 85% kasus. Kombinasi
kemoradioterapi memiliki konsisten yang menunjukkan keunggulan kelangsungan hidup
bebas penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi atau radioterapi saja.
CT pencitraan NHL cincin waldeyer umum menunjukkan massa homogen besar
intensitas yang sama dengan sekitarnya jaringan limfoid baik di tonsil lingual atau tonsil
palatine, atau nasofaring. Tidak seperti karsinoma nasofaring
, erosi dasar tengkorak dari limfoma nasofaring jarang. Terkait limfadenopati pada sisi
ipsilateral lesi umum dan biasanya nonnecrotic dalam penampilan pencitraan.
4.3.2 Limfoma Sinonasal
11
32
Limfoma sinonasal jarang dan kurang dari 1% kasus NHL keseluruhan. Mirip dengan
cincin Waldeyer, NHL DLBCL adalah subkelompok yang paling umum dari penyakit
ditemukan di lokasi ini. Sebagian besar tumor sinonasal DLBCL melibatkan sinus
paranasal tetapi tidak rongga hidung.
Berikutnya subkelompok yang paling umum, NK / Tcell limfoma, adalah lebih umum
di Asia daripada di Barat negara dan berhubungan dengan infeksi EBV. Tidak seperti
DLBCL, NK / T-cell limfoma hampir selalu muncul dari rongga hidung. Kebanyakan
pasien dengan limfoma sinonasal ini dengan penyakit tahap awal. Berbeda dengan Asia
yang paling besar studi, analisis klinikopatologi baru-baru ini tumor dari Amerika Serikat
menunjukkan bahwa NK / T-cell lymphomas memiliki prognosis yang menguntungkan
dengan hasil yang sama dengan pasien dengan DLBCL tumor.
Pada magnetic resonance imaging (MRI), limfoma sinonasal lebih homogen pada
urutan T2 dan agak meningkat bila dibandingkan dengan karsinoma. Mereka mungkin
hadir dengan remodeling tulang dan / atau erosi merusak lesi hidung seperti Wegener
granulomatosis.
Limfoma sinonasal low grade menunjukan gejala obstruktif sementara tumor high
grade dengan gejala neuropati kranial, nyeri, dan epistaksis. Tumor DLBCL memiliki
kecenderungan untuk jaringan lunak atau kerusakan tulang dekat orbita dan dapat
memiliki gejala seperti mata proptosis. Sebaliknya, benar untuk nama alternatif mereka
mematikan garis tengah granuloma, tumor NK / sel-T berhubungan dengan ulserasi dan
kehancuran hidung septum. Pengobatan termasuk kemoterapi kombinasi, paling sering
CHOP, dan terapi radiasi. Meskipun jarang, limfoma harus tetap dalam diagnosis
diferensial dari banyak lesi sinonasal; indeks kecurigaan yang tinggi sering harus
11
dipertahankan untuk membuat diagnosis.
4.3.3 Limfoma kelenjar ludah
Antara 2% dan 5% dari neoplasma kelenjar ludah adalah limfoma primer. Pasien
dengan tumor ini biasanya hadir dengan massa asimtomatik parotid atau kelenjar
33
submandibular. Nyeri dan paresis facial adalah gejala yang tidak umum. Sebagian besar
tumor ini 70% sampai 80% dari mereka muncul dari kelenjar parotis . Limfoma ini jarang
dicurigai sebelum operasi. dan banyak pasien menjalani prosedur invasif seperti
parotidectomy dangkal sebelum mendapat diagnosis limfoma. Subtipe histologis di
wilayah ini meliputi, frekuensi menurun, mukosa terkait jaringan limfoid (MALT) limfoma,
limfoma folikular, dan DLBCL. Limfoma kelenjar ludah memiliki tingkat kelangsungan
hidup secara keseluruhan dibandingkan dengan situs ekstranodal lainnya di kepala dan
leher dan biasanya diobati dengan primer radioterapi. Dibandingkan dengan kohort usia
yang sama normal, pasien dengan penyakit Sjogren memiliki lebih dari 40 kali lebih besar
risiko relatif berkembang NHL dipengaruhi kelenjar parotis. Untuk pasien dengan
penyakit Sjogren, ada prevalensi overall 4% dari NHL .
CT pencitraan limfoma kelenjar ludah menunjukkan gambaran homogen dan
peningkatan ringan. Agresif tumor dapat menunjukkan infiltrasi jaringan sekitarnya
dengan perubahan nekrotik atau kistik di tumor itu sendiri.
4.3.4
11
Limfoma Tiroid
Sebagian besar limfoma tiroid adalah jenis intermediate-grade. Pasien dengan
stadium IE atau IIE sebaiknya diterapi dengan kombinasi modalitas radioterapi dan
kemoterapi dengan regimen RCHOP tiga atau enam siklus. .Pasien dengan dengan
stadium III atau IV sebaiknya diterapi dengan kemoterapi. Radioterapi telah digunakan
sebagai terapi utama pada limfoma tiroid indolen stadium IE dan IIE, dengan derah sinar
yang diperluas hingga KGB leher dan mediastinum menhasilkan angka bebas penyakit
pada 5 tahun sekitar 75%.
11
Pasien dengan faktor prognostik buruk seperti tumor yang besar, perluasan keluar
kapsul, fiksasi dan keterlibatan daerah retrosternal sebaiknya diterapi seperti limfoma
jenis intermediate-grade.
4.3.5
Limfoma Orbita
11
34
Limfoma jenis low-grade yang terbatas pada orbita saja dapat diterapi dengan
radioterapi saja pada dosis 3.000-3.500 cGy dengan hasil yang memuaskan. Angka
harapan hidup bebas dari penyakit sekitar 70%. Pada kasus jenis histologi
intermediate-grade atau stadium III-IV, sebaiknya dipertimbangkan penggunaan
kemoterapi. Hasil terakhir menunjukkan rituximab dapat digunakan sebagai agen
tunggal dengan aktivitas yang menjanjikan.
4.3.6
11
Limfoma berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Kejadian NHL meningkat pesat pada pasien dengan infeksi HIV. Biasanya jenis
histologinya intermediate atau high-grade dengan stadium lanjut dan seringkali
melibatkan ekstranodal. Penyakit ekstranodal pada daerah kepala dan leher dapat
timbul pada 10% pasien dengan limfoma yang berhubungan dengan HIV.
11
Tempat tersering terkena antara lain gusi, mukosa mulut, kelenjar parotis, dan
konjungtiva. Penentuan stadium dan terapi hampir sama dengan kasus limfoma yang
tidak berhubungan dengan HIV, namun harapan hidup buruk karena penyakit yang
sudah stadium lanjut dan keadaan umum yang buruk sehingga tidak dapat mentolelir
dosis penuh pada regimen standar.
11
4.4 Komplikasi Terapi
4.4.1 Radioterapi
Efek samping akut radioterapi adalah mukositis, yang dapat diterapi dengan obat
kumur dan jika diperlukan penghentian sementara dari terapi. Beberapa pasien
mengeluhkan disfagia, dan membutuhkan terapi dengan antasida. Efek samping kronis
adalah xerostomia akibat radiasi kelenjar liur dengan infeksi rongga mulut kronis dan
karies gigi.
Pasien sebaiknya menemui dokter gigi sebelum radioterapi dimulai dan menggunakan
pasta gigi berfluoride selama radioterapi. Terapi dengan sialogogue memperbaiki
produksi kelenjar liur pada beberapa pasien. Gejala hipotiroid dapat muncul beberapa
35
tahun setelah radioterapi, dan pemeriksaan fungsi tiroid harus dilakukan rutin setiap
1
tahun.
4.4.2 Kemoterapi
Myelosuppression adalah komplikasi yang dapat muncul sebagai komplikasi dari
kemoterapi. Efek yang paling mengancam jiwa adalah neutropenia atau trombositopenia.
Neutropenia dapat diterapi atau dicegah dengan pemberian granulocyte colonystimulating agents. Mual dan muntah yang timbul segera setelah pemberian doxorubicin
dan cyclophosphamide dapat dikontrol dengan penggunaan antiemetik.
Komplikasi lain yang jarang terjadi namun dapat mengancam jiwa setelah pemberian
cyclophosphamid adalah hemorrhagic cystitis yang dapat muncul dengan gejala dysuria
dan hematuria.
Doxorubicin dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung dengan hasil akhir gagal
2
jantung pada pasien yang menerima dosis lebih dari 550 mg per m . Gangguan fungsi
jantung dapat timbul pada dosis akumulasi yang lebih rendah pada pasien usia lanjut,
pasien dengan riwayat penyakit jantung, atau pasien yang pernah menjalani radioterapi
di daerah mediastinum.
Pasien yang menerima terapi doxorubicin sebaiknya menjalani pemeriksaan fungsi
jantung khususnya tentang kontraktilitas jantung secara berkala.
Efek samping vincristine yang utama adalah gangguan saraf berupa neuropati
perifer, konstipasi dan ileus. Pasien dapat mengeluhkan juga suara serak akibat
gangguan fungsi pita suara.
Komplikasi utama methotrexate adalah mucositis, ulkus saluran cerna, dan kelainan
hematologi yang dapat dikurangi efeknya dengan penggunaan leucovorin. Bleomycin
dapat mengakibatkan toksisitas pulmonal, terutama berupa fibrosis interstitial yang
muncul pada dosis lebih dari 200 mg, khususnya pada pasien dengan penyakit paru
kronis sebelumnya.
36
Banyak agen kemoterapi menyebabkan alopecia, amenorrhea atau azoospermia,
bahkan beberapa agen dihubungkan dengan kejadian keganasan sekunder.
37
BAB V
SIMPULAN

Otolaryngologists akan sering dikonsulkan
untuk membuat diagnosis
limfoma di daerah kepala dan leher.

Limfoma di daerah kepala dan leher yang paling
sering adalah
manifestasi sebagai pembesaran kelenjar getah bening leher
atau
hypertrophic jaringan limfoid pada cincin Waldeyer.

Biopsi definitif membutuhkan sampel jaringan yang cukup untuk
pemeriksaan histologis. Standar baku emas pemeriksaannya adalah biopsi
eksisi kelenjar getah bening yang terlibat.

CT dengan kontras memadai untuk evaluasi awal pasien yang diduga
limfoma di kepala dan leher.

Staging sistem the Ann Arbor adalah yang paling banyak yang digunakan
untuk mengklasifikasikan tingkat keterlibatan anatomi pada limfoma dan
untuk menentukan stadium kedua jenis limfoma baik HL ataupun NHL.

Jenis yang paling umum dari NHL adalah limfoma folikular, yang sering
kurang aktif dan tidak memerlukan pengobatan aktif.

Sebagian besar limfoma di daerah kepala dan leher adalah jenis diffuse
large cell, intermediate grade.

Terapi radiasi dan / atau kemoterapi kombinasi adalah pengobatan untuk
kedua
NHL
dan
HL
kepala
dan
leher.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Advani Ranjana, Jacobs CD. 2006. Lymphomas of the Head and Neck.
Dalam Bailey's Head and Neck Surgery--otolaryngology.Edisi ke 4.
Lippincott Williams & Wilkins; 115:2041-56.
2. Zapater E, Bagan JV, Carbonell F, Basterra J. 2010. Malignant
lymphoma of the head and neck. Oral Dis. 16(2):119-28.
3. Lu P. 2010. Staging and Classification of Lymphoma. Semin in Nucl
Med.35(3):160-4.
4. Jemal A, et al. 2010. Cancer statistics. CA Cancer J Clin; 60(5):277300.
5. Good DJ, Gascoyne RD. 2008. Classification of non Hodgkin’s
lymphoma. Hematol Oncol Clin North Am; 22(5): 781-805.
6. Alexander DD, et al. 2007. The Non-Hodgkin Lymphomas: A Review
of the Epidemiologic Literature. Int J Cancer; 120(Suppl 12):1-39.
7. Dhingra, PL. 2007. Anatomy and Physiology of Pharynx. Dalam
Diseases of Ear, Nose and Throat. Elsivier. 46:223-6.
8. Oliveira HF, Carvalho, Argollo, et al. 2009. Rhinoscleroma and Nasal
Non Hodgkin Lymphoma. Arq Int Otorhinolaringol;13(1):96-8.
9. Qizilbash AH, et al. 2005. Aspiration biopsy cytology of lymph nodes
in malignant lymphoma. Diagn Cytopathol. 1(1):18-22
10. Ghatib H. 2005. FNAB of the thyroid gland. Dalam Thyroid function
test.
Diunduh
pada
15
Desember
2014
http://www.thyroidmanager.org/chapter6a/fnabiopsy-text.htm.
dari
39
11. Chai L.Raymond, Tassler B.Andrew, Kim Seungwon. 2014.
Lymphomas of the Head and Neck. Dalam Bailey's Head and Neck
Surgery--otolaryngology.Edisi ke 5. Lippincott Williams & Wilkins.
128:2032-43.
12. Loubeyre P, et al. 2009. Diagnostic precision of image-guided
multisampling core needle biopsy of suspected lymphomas in a
primary care hospital. Br J Cancer. 100(11):1771-76.
13. Aiken AH, Glastonbury C. 2008. Imaging Hodgkin and Non-Hodgkin
Lymphoma in the Head and Neck. Radiol Clin N Am; 46:363-78.
14. Sykorova A, Belada D, et al. 2010. Staging of non-Hodgkin’s
Lymphoma. Klin Onkol. 23(3):146-54.
15. Anonym.
2004. The
International
Non-Hodgkin’s
Lymphoma
Prognostic Factors Project. A predictive model for aggressive nonHodgkin’s lymphoma. N Engl J Med. 329:987-994
16. Solal CP, Roy P, Colombat P, et al. 2004. Follicular lymphoma
international prognostic index. Blood Journal. 104:1258-1265.
17. Advani R, Rosenberg SA, Horning SJ. 2004. Stage I and II follicular
non-Hodgkin’s lymphoma : long term follow up of no initial therapy. J
Clin Oncol. 22:1454-9
18. Maloney DG. 2003. Rituximab for follicular lymphoma. Curr Hematol
Rep. 2:13-22.
19. Coiffier B, Lepage E, et al. 2005. CHOP chemotherapy plus rituximab
compared with CHOP alone in elderly patients with diffuse large Bcell lymphoma. N Eng J Med ; 346:235-42.
40
Download