LIMFOMA PADA KEPALA DAN LEHER REFERAT ONKOLOGI Oleh: Yulianti 131421110002 SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RSUP Dr. HASAN SADIKIN 1 2 BANDUNG 2014 LEMBAR PENGESAHAN Judul Referat : Limfoma Pada Kepala dan Leher Tanggal : 19 Desember 2014 Presentan : Yulianti, dr Pembimbing Utama : Bogi Soeseno, dr, SpTHT-KL(K) Pembimbing Pendamping : - Dindy Samiadi, MD, dr, SpTHT-KL(K), FAAOHNS - Tonny Basriyadi Sarbini, dr, M.Kes, Sp.THT-KL(K) - Nur Akbar Aroeman, dr, Sp.THT-KL(K) - Yussy Afriani Dewi, dr, M.Kes, Sp.THT-KL(K) - Agung Dinasti Permana, dr, M.Kes, Sp.THT-KL Mengetahui Pembimbing Utama: Bogi Soeseno, dr, SpTHT-KL(K) 3 DAFTAR ISI DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR BAB I ……………………………………………………………... iv PENDAHULUAN................................................................................1 BAB II 2.1 Definisi……………………………………………….... ………. 4 2.2 Lokasi dan Gejala yang muncul......................................................5 BAB III 3.1 Diagnosis……………………………………………………….10 3.2 Klasifikasi Histologi………………………………………….. ..12 3.3 Penilaian Klinis…………………………………………………15 3.4 Sistem Penentuan Stadium……………………………………..18 3.5 Faktor Prognostik .........................................................................20 BAB IV 4,1 Prinsip Umum Penatalaksanaan………………………………..21 4.2 Subtipe Spesifik.............................................................................24 4.2.1 Limfoma Low-Grade Stadium I atau II…………………24 4.2.2 Limfoma Low-Grade stadium III atau IV………….……25 4.2.3 Limfoma intermediate-grade, stadium I atau II………...27 4.2.4 Limfoma intermediate-grade, stadium III atau IV ............28 4.2.5 Limfoma jenis high grade…………………………………30 4.3 Limfoma spesifik kepala dan leher……………………….31 4.3.1 Limfoma pada cincin waldeyer…………………………...31 4.3.2 Limfoma sinonasal………………………………………...32 4 4.3.3 Limfoma kelenjar ludah…………………………………...33 4.3.4 Limfoma tiroid……………………………………………..34 4.3.5 Limfoma orbita…………………………………………….34 4.3.6 Limfoma berhubungan dengan HIV………………………35 4.4 Komplikasi Terapi…………………………………………..35 4.4.1 Radioterapi…………………………………………………35 4.4.2 Kemoterapi…………………………………………………36 BAB V KESIMPULAN .................................................................................38 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................39 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Thomas Hodgkin, MD ………………………………………….…….. 4 Gambar 2.2 Sel Reed-Sternberg ………………………………………………….... 5 Gambar 2.3 Cincin Waldeyer …………………………………………………….…. 6 Gambar 2.4 NHL pada rongga mulut di gusi kanan atas dengan tampilan mukosa yang halus …………………………………………………………………….……… 6 Gambar 2.5 SCC pada dasar mulut………………………………………………….. 7 Gambar 2.6 NHL pada sinus paranasal………………….………………………… 8 Gambar 2.7 NHL pada tonsil …………………………....…………………………. 8 Gambar 2.8 NHL pada orbita……………………………………………………..… 9 Gambar 3.1 Tindakan FNAB dari massa di tiroid………………………................... 10 Gambar 3.2 CT scan NHL sinus paranasal ………………………………………… 15 5 Gambar 3.3 PET Scan NHL tonsil …………………………………………………. 16 Gambar 3.4 Evaluasi terapi limfoma dengan PET Scan …………………………… 16 Gambar 3.5 Sistem stadium Ann Arbor…………………………………………….. 19 Gambar 4.1 NHL sinus paranasal sebelum dan sesudah terapi (kemoiradiasi) 22 Gambar 4.2Lapangan radioterapi pada kasus limfoma …………………………… 23 BAB I PENDAHULUAN Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh proliferasi sel limfoid atau prekursorsnya dan merupakan keganasan nonepithelial paling sering pada kepala 1 dan leher. Ada dua jenis utama dari limfoma: Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma non-Hodgkin (NHL). Limfoma Hodgkin biasanya ditandai dengan penyebaran penyakit melalui kelompok bersebelahan kelenjar getah bening. Sebaliknya, NHL dapat terwujud dalam ekstranodal seperti cincin waldeyer, kelenjar ludah, dan tiroid selain terjadi di nodal 1 basins dari kepala dan leher. Kelompok NHL terdiri dari subtype penyakit yang heterogen berdasarkan epidemiologi, etiologi, morfologi, imunofenotipe, genetic, tampilan klinis dan respons terhadap terapi. 1,2 Limfoma maligna mencakup 5 % dari seluruh tipe keganasan yang terjadi pada kepala 2 dan leher. Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai angka kejadian limfoma. Data dari rawat jalan poli THT RS Hasan Sadikin Bandung selama 2 tahun terakhir Januari 2013-November 2014 didapatkan 249 kasus limfoma non Hodgkin, perbandingan laki-laki lebih banyak menderita limfoma dibanding perempuan 152 : 97 . Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jepang menyebutkan bahwa secara keseluruhan keganasan pada limfoid dari tahun 2001 hingga 2006 menyebutkan jumlah 2260 kasus yang dilakukan biopsy atau reseksi yang diantaranya diketahui sejumlah 65% nya adalah jenis limfoma sel-B, 25% jenis sel-T atau sel NK (Natural Killer), dan 7% 6 3 diantaranya adalah jenis limfoma Hodgkins. Pada tahun 2010, American Cancer Society memperkirakan bahwa 74.030 kasus limfoma baru akan didiagnosis dan 21.530 4 kematian karena limfoma akan terjadi di Amerika Serikat. Analisis Basis Data Kanker Nasional (NCDB) mengungkapkan bahwa proporsi kasus limfoma antara semua tumor kepala dan leher meningkat dari 14,7% antara 1985 dan 1989 menjadi 15,4% antara tahun 1990 dan 1994. Kasus Limfoma Non Hodgkin 86% dari semua kasus limfoma dan termasuk lima 3 besar keganasan tersering di Amerika Serikat. Hal ini terutama mengenai orang 4 dewasa, dengan kurang dari 10% dari keseluruhan kasus yang terjadi pada anak-anak. Limfoma Non Hodgkin merupakan hasil dari translokasi kromosom pada sel B atau sel 1 T/sel natural killer (NK) yang menginaktivasi gen supresor tumor atau aktivasi onkogen. B-cell lymphomas ditemukan sekitar 90% dari semua NHLs. Dua subtipe histologis yang paling umum adalah follicular lymphoma dan yang lebih agresif diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL). 5 Faktor risiko untuk terjadinya limfoma termasuk jenis kelamin laki-laki, imunosupresi jangka panjang, paparan radiasi atau pestisida, dan penyakit autoimun seperti sistemik 6 lupus eritematosa. Infeksi termasuk human immunodeficiency virus (HIV), human T-cell lymphotropic virus 1 (HILV-1), human herpes virus-8 (HHV-8), dan Epstein-Barr virus 1,5 (EBV) juga telah dikaitkan dengan perkembangan limfoma. Limfoma biasanya bermanifestasi sebagai massa di leher, sehingga ahli THT sering terlibat dalam diagnosis penyakit tersebut. Namun, karena ini adalah penyakit yang diobati terutama dengan radiasi dan kemoterapi oleh ahli onkologi medis, peran ahli THT umumnya berkurang setelah diagnosis diperoleh. Meskipun demikian, sebagai peserta tim multidisiplin, sangat penting untuk ahli THT untuk mengetahui tidak hanya manajemen yang komprehensif dari penyakit limfoma ini tetapi juga dalam klasifikasi dan penatalaksanaan dari limfoma. Ahli THT akan sering menjadi dokter yang akan mendiagnosis limfoma yang ada di kepala dan leher. Dan dengan demikian indeks 7 kecurigaan yang tinggi harus dijaga, terutama untuk limfoma yang terjadi pada ekstranodal. BAB II 2.1 Definisi Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh proliferasi sel limfoid atau precursorsnya dan merupakan keganasan nonepithelial paling sering pada kepala 1 dan leher. Limfoma pertama kali dipublikasikan oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832, yang kemudian disebut sebagai Limfoma Hodgkin yang ditandai dengan gambaran khas sel Reed-Sternberg. Gambar 2.1 Thomas Hodgkin, MD 2 Karakteristik sel Reed Sternberg berukuran 20-50 mikron, sitoplasma yang amphofilic dan homogen, dua buah nukleus yang seolah-olah seperti gambaran cermin, mirip mata burung hantu masing-masing dengan nukleolus yang eosinofil. 8 9 Nama sel Reed Sternberg sendiri berasal dari dua orang ahli patologi yang pertama kali mendeskripsikan sel tersebut yaitu Dorothy Reed Mendenhall dan Carl Sternberg. Gambar 2.2 Sel Reed-Sternberg 2.2 2 Lokasi dan gejala yang muncul Lebih dari setengah limfoma ekstranodal di daerah kepala leher muncul pada cincin waldeyer; dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil, diikuti nasofaring dan dasar lidah. Gejala yang muncul mirip dengan gejala pada karsinoma sel epitel gepeng (Squamous Cell Carcinoma/SCC). 1 10 Gambar 2.3 Cincin Waldeyer 7 Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran tonsil atau nyeri tenggorokan. Pasien dengan limfoma nasofaring seringkali mengeluhkan adanya masa di leher atau sumbatan pada hidung. Sensasi adanya benda asing atau nyeri menelan seringkali adalah gejala awal dari limfoma di dasar lidah. Limfoma biasanya berada di bawah mukosa, berbeda tampilan klinisnya dari SCC yang terjadi suatu perlukaan pada permukaan mukosa. Gambar 2.4 NHL pada rongga mulut di gusi kanan atas dengan tampilan mukosa 2 yang halus 1 11 Gambar 2.5 SCC pada dasar mulut kiri dengan tampilan perlukaan mukosa 2 Sekitar sepertiga limfoma di daerah kepala dan leher terjadi di tempat ekstralimfatik, antara lain sinus paranasal, rongga hidung, kelenjar liur, rongga mulut, laring dan orbita. Sekali lagi dengan penampakan yang menyerupai penampakan pada SCC. 1 Limfoma di sinus paranasal biasanya menimbulkan gejala sinusitis, sedangkan gejala pandangan ganda dan mata yang menonjol dapat ditemukan pada kasus yang berat. Limfoma di rongga hidung dapat menyebabkan gejala sumbatan hidung dan perdarahan dari hidung. 1 Gambar 2.6 NHL pada sinus paranasal 8 12 Limfoma di rongga mulut ditandai dengan bengkak daerah mulut, nyeri dan ulkus. Limfoma laring ditandai dengan suara serak, sesak nafas dan kesulitan menelan. Limfoma kelenjar liur biasanya ditandai dengan pembesaran massa di parotis, walaupun jarang diikuti dengan gangguan pada saraf fasialis. 1 Gambar 2.7 NHL pada tonsil 2 Kejadian limfoma primer pada kelenjar tiroid hanya sekitar 5-10% dari seluruh keganasan pada kelenjar tiroid. Sebagian besar pasien mengeluhkan massa tiroid yang membesar dengan cepat, suara serak dan sesak nafas atau kesulitan menelan. Pasien dengan limfoma orbita biasanya mengeluhkan bengkak di daerah orbita dan dapat ditemukan penonjolan bola mata pada pemeriksaan fisik. Gejala lain yang dapat menyertai antara lain gangguan penglihatan, ptosis dan nyeri. Luas lapang pandang dan fundus biasanya tidak terpengaruh. Pasien dengan penyakit konjungtiva seringkali mengeluhkan adanya massa yang berwarna merah muda dan dapat diraba di konjungtiva. 1 13 Gambar 2.8 NHL pada orbita 2 Secara keseluruhan, sekitar 15% dari pasien dengan limfoma di daerah kepala dan leher datang dengan keluhan pembesaran kelenjar di leher, sedangkan sekitar 12% memiliki gejala sistemik seperti demam, berkeringat pada malam hari atau penurunan berat badan. Sekitar 20% pasien dengan limfoma di daerah kepala dan leher melibatkan beberapa daerah (multiple). 1 BAB III 3.1 Diagnosis Pemeriksaan biopsi dengan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) sangat berguna pada pemeriksaan awal. Setelah hasil pemeriksaan FNAB mengarah pada suatu keganasan limfoid, dibutuhkan biopsi terbuka (biopsi insisi) untuk menegakkan diagnosis yang definitive dari suatu Non Hodgin Lymphoma (NHL). 9 14 Gambar 3.1 Tindakan FNAB dari massa di tiroid 10 Keuntungan dari pemeriksaan FNAB adalah pemeriksaan lebih cepat, biaya lebih murah dan minimal komplikasi. 11 Pemeriksaan FNAB dapat mendeteksi suatu penyakit yang rekuren atau perubahan histologi namun tidak dapat membedakan, apakah limfoma tersebut bersifat folikuler atau difus, yang merupakan faktor penting dalam menentukan derajat dan prognosis suatu limfoma. Untuk itulah biopsi terbuka lebih dipilih untuk menentukan diagnosis awal. 1,9 Core Node Biosy (CNB) adalah pemeriksaan diantara FNAB dan biopsy insisi. Pemeriksaan ini dengan menggunakan needle ukuran besar (no 14/18). Sampel CNB dapat digunakan untuk pemeriksaan imunohistokimia dan histopatologi konvensional. Saat ini CNB digunakan pada pemeriksaan pasien dengan lokasi lymph nodes yang dalam seperti pada mediastinum ataupun abdomen. Dua penelitian terbaru mengenai ultrasound guiding CNB pada kasus lymphadenopathy cervical dapat menunjukkan subklasifikasi pada 89,7% dari kasus limfoma. Faktor seperti nodal necrosis atau infark dapat mengurangi kesuksesan metode ini dalam mendiagnosis suatu limfoma. 12 Pemeriksaan imunohistokimia dapat membantu membedakan limfoma dengan keganasan anaplastik atau undifferentiated. Antibodi antikeratin untuk karsinoma, protein anti-S-100 untuk melanoma dan antibodies panleukosit untuk limfoma. Pemeriksaan imunohistokimia juga dapat membantu membedakan limfoid jinak dari suatu limfoma dengan bantuan mikroskop cahaya. 1 15 Tabel. Profil Imunohistokimia pada limfoma Sebagian besar NHL mengekspresikan penanda sel T atau sel B. Satu set panel pemeriksaan antigen sel T dapat membedakan limfoma sel T dengan suatu hyperplasia. Limfoma sel B mengekspresikan satu kelas tunggal dari rantai ringan (kappa atau lamda), sedangkan hyperplasia menunjukkan suatu campuran dari kedua kelas tersebut. 1 Pemeriksaan imunohistokima atau pemeriksaan molekuler lainnya akan lebih baik apabila dilakukan pada jaringan yang masih segar, maka sebaiknya klinisi memberikan informasi tentang adanya kecurigaan diagnosis adalah suatu limfoma kepada ahli patologi. Suatu jenis subtipe histologi dari suatu NHL mempengaruhi penentuan stadium, terapi dan harapan hidup pasien. 3.2 1 Klasifikasi Histologis Klasifikasi histologi limfoma telah berkembang sepanjang waktu seiring dengan pemahaman karakteristik molekuler yang semakin baik, sehingga memungkinkan ahli patologi untuk dapat mengenali temuan unik yang sebelumnya mungkin dikelompokkan secara bersama. Sistem klasifikasi yang terus berubah dapat membingungkan para dokter. Klasifikasi yang dianggap paling berguna secara klinis dan seringkali dirujuk 16 sebagai referensi adalah Working Formulation yang digunakan di Amerika Utara sampai pertengahan tahun 1990an, walaupun ini sederhana namun tidak memperhatikan jenis sel B atau sel T dan juga tidak menggunakan data lain yang berhubungan seperti genetics molekuler dalam menentukan prognosis. 1 Pada tahun 1999, klasifikasi The Revised European-American Lymphoma (REAL) membedakan limfoma tidak hanya secara histologi namun juga secara imunologis, genetik, dan karakteristik klinis. Sehingga memasukkan beberapa jenis limfoma yang tidak masuk dalam Working Formulation sebelumnya seperti limfoma anaplastik largecell, limfoma zona marginal (MALT), dan limfoma mantle cell. Sistem ini dimodifikasi lagi menjadi klasifikasi WHO yang sekarang diterima secara luas. 1 Perubahan klasifikasi berdasarkan gambaran patologi dapat menyulitkan klinisi dalam membaca laporan patologi. Banyak literature yang masih mengacu pada klasifikasi yang lama sehingga kurang sesuai dengan klasifikasi yang terbaru. Namun demikian beberapa hal penting dari Working Formulation masih dapat ditemui pada klasifikasi WHO seperti tampak pada tabel berikut. 1 Klasifikasi Limfoma daerah Kepala dan leher Working Formulation WHO equivalents Low grade Small lymphocytic B-cell small lymphocytic or extranodal marginal zone Follicular small cleaved cell Follicular lymphoma, grade 1 Follicular mixed Follicular lymphoma, grade 2 Intermediate grade Follicular large cell Follicular lymphoma, grade 3 Diffuse small cleaved cell Mantle cell, lymphoplasmacytic Diffuse mixed Diffuse large B cell, peripheral T cell Extranodal NK/T cell 17 Diffuse large cell Diffuse large B cell, peripheral T cell Extranodal NK/T cell High grade Immunoblastic Diffuse large B cell, peripheral T cell Extranodal NK/T cell Lymphoblastic Lymphoblastic Small non-cleaved cell Burkitt lymphoma/Burkitt-like NK, natural killer. Dalam tulisan ini klasifikasi dari Working Formulation masih digunakan karena kegunaan klinisnya dan juga karena banyak referensi dalam tulisan ini juga masih menggunakan klasifikasi tersebut. 1 Sekitar 4% limfoma adalah keganasan campuran (composite) dimana terdapat dua jenis limfoma yang berbeda terjadi pada tempat yang sama. Sekitar 10% pasien menderita limfoma yang bertentangan dimana dua jenis limfoma yang berbeda terjadi pada tempat yang berbeda. Seiring waktu limfoma dapat berkembang dari klasifikasi low grade menjadi intermediate grade. 1 Sebagian besar limfoma di daerah kepala dan leher adalah jenis intermediate grade, sedangkan 12% jenis low grade dan 16% adalah jenis high grade, dan lebih dari separuh pasien dengan limfoma kelenjar saliva adalah jenis low grade. Sebagian besar limfoma tiroid adalah jenis intermediate grade dan sebagian besar dari pasien ini terbukti menderita tiroiditis Hashimoto. 1 Limfoma yang berasal dari orbita biasanya jenis low grade dan dapat sulit dibedakan dari infiltrate limfoid di orbita yang jinak. Sebagian besar limfoma daerah kepala leher mengekspresikan marker sel B. Limfoma limfoblastik dan sebagian kecil dari limfoma diffuse large cell termasuk kelompok sel T. Sel T dan tipe natural killer terjadi terutama di rongga hidung dan sinus paranasal. 1 18 3.3 Penilaian Klinis Penentuan stadium yang tepat sangat penting sebelum memulai terapi. Pasien harus melalui pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, termasuk laringoskopi indirek. Pemeriksaan penunjang seperti Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menilai secara lebih lengkap perluasan dari suatu tumor di daerah kepala dan leher. Pemeriksaan darah lengkap, dan tes fungsi hati direkomendasikan untuk dilakukan. Pemeriksaan CT sebaiknya dilakukan pada kasus pembesaran kelenjar getah bening di daerah mediastinum, hilus, hepar, dan keterlibatan mesenterium. 11 Gambar 3.2 CT scan NHL sinus paranasal 9 Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) berguna untuk mengevaluasi sisa masa tumor pada akhir terapi untuk menentukan status kekambuhan penyakit. Gambar 3.3 PET Scan NHL tonsil 13 11 19 Gambar 3.4 Evaluasi terapi limfoma dengan PET Scan 13 A. Sebelum terapi menunjukkan peningkatan uptake 2-18F-fluoro-2deoxyglucose (FDG) di leher kiri dan supraklavikula B. Setelah siklus pertama kemoterapi C. Setelah siklus kedua kemoterapi Dilaporkan terdapat hubungan antara limfoma yang terjadi pada cincin waldeyer dan pada saluran pencernaan sebesar 3-11% pasien. Sehingga pada pasien ini disarankan untuk dilakukan pemeriksaan saluran cerna dengan endoskopi pada proses penentuan stadium penyakit. 1 Biopsi dari tulang iliaka sebaiknya dilakukan karena sekitar 18% pasien dengan limfoma ekstranodal di daerah kepala dan leher pada mengalami keterlibatan sumsum tulang. Angka ini dapat lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologi jenis low grade. 5 Pungsi lumbal dengan pemeriksaan kimia cairan LCS, hitung sel lengkap, dan analisis sitologi di rekomendasikan untuk dilakukan pada tahap penentuan stadium awal pada pasien dengan kecurigaan keterlibatan saraf pusat, seperti pada kasus limfoma high- 20 grade, atau limfoma intermediate-grade yang melibatkan sinus paranasal, sumsum tulang, testis, atau daerah tulang belakang. Karena akurasi penentuan stadium awal yang semakin akurat, dan penggunaan kemoterapi yang semakin lazim, tindakan penentuan stadium dengan laparotomi sudah tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin. 11 Setelah menyelesaikan terapi, pasien harus dievaluasi secara rutin. Pemeriksaan yang harus dilakukan meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi hati, dan pemeriksaan pencitraan yang sesuai untuk menilai organ yang sebelumnya terkena penyakit. 3.4 11 Sistem Penentuan Stadium Setelah pemeriksaan lengkap dilakukan, stadium ditentukan dengan menggunakan sistem penentuan stadium Ann Arbor. 11 Sistem penentuan stadium Ann Arbor Stadium Karakteristik Stage I Involvement of a single lymph node region (I) or of a single extralymphatic organ or site (IE) Stage II Involvement of two or more lymph node regions or lymphatic structures on the same side of the diaphragm (II) or localized involvement of an extralymphatic organ or site and of one or more lymph node regions on the same side of the diaphragm (IIE) Stage III Involvement of lymph node regions on both sides of the diaphragm (III) Stage IV Diffuse or disseminated involvement of one or more extralymphatic organs or tissues with or without lymph node involvement 21 Gejala A Absence of systemic symptoms B Unexplained fever, night sweats, or weight loss of more than 10% body weight Gambar 3.5 Sistem Stadium Ann Arbor 14 Stadium ditentukan berdasarkan lokasi KGB dan keterlibatan organ. Kode “E” berarti terdapat keterlibatan jaringan ekstra limfatik seperti rongga mulut, kelenjar liur, atau sinus paranasal. Stadium lebih lanjut diberi kode “A” untuk pasien tanpa gejala sistemik atau “B” untuk pasien dengan gejala sistemik seperti demam yang tidak jelas penyebabnya, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan > 10% berat badan awal. 11 Pada suatu penelitian dengan 900 pasien limfoma, pasien dengan stadium I sebanyak 31%, stadium II 35%, stadium III 14% dan stadium IV 19%. Hanya sebagian kecil pasien yang muncul gejala sistemik “B”. Sebagian besar pasien dengan limfoma tiroid datang dengan penyakit pada stadium I atau IIE. Sekitar duapertiga limfoma orbita adalah stadium I. 11 22 3.5 Faktor Prognostik Limfoma Non-Hodgkin terdiri atas low, intermediate, dan high grades. Dengan jenis histologi hasil akhir dari pasien bervariasi. Pada tahun 1993 diterbitkan The International Prognostic Index (IPI), yang memperkirakan prognosis pasien dengan limfoma diffuse large cell berdasarkan lima faktor prognostik : usia, penampilan klinis, LDH, jumlah pembesaran KGB ekstranodal, dan stadium. 15 Belum lama ini suatu sistem yang serupa telah dikembangkan untuk limfoma jenis follicular yang dikenal sebagai Follicular Lymphoma International Prognostic Index (FLIPI). Prognosis pasien dengan follicular lymphoma berdasarkan factor prognostic berikut : usia, kadar hemoglobin, jumlah pembesaran KGB, kadar LDH dan stadium. 16 Kemajuan tehnologi seperti analisis susunan mikro DNA telah dapat mengidentifikasi gen over atau under-expressed yang dipengaruhi oleh sel limfoma, dan ini telah membagi pasien menjadi kelompok dengan risiko yang berbeda meskipun berada dalam kelompok histologi yang sama. 1 Dua jenis subtipe limfoma diffuse large B-cell telah berhasil dikenali berdasarkan pola ekspresi susunan mikro DNA dengan kemungkinan hidup 5 tahun kemudian yang berbeda secara signifikan. 1 BAB IV 4.1 Prinsip Umum Penatalaksanaan Penanganan limfoma didaerah kepala dan leher sebaiknya adalah suatu usaha yang melibatkan multidisiplin ilmu antara lain ahli patologi, ahli radiologi, ahli THT-KL, ahli radioterapi, dan ahli onkologi medis. 11 Pilihan terapi tergantung pada jenis subtipe histologi dan stadium. Rekomendasi umum dapat dibuat untuk subgrup tertentu, namun tim onkologi harus melihat setiap pasien sebagai individu yang berbeda. 1,11 Pilihan terapi limfoma kepala dan leher Histologi Stadium Pilihan Terapi Low grade I, II Involved-field XRT III, IV CVP, chlorambucil, rituximab, observation I, II RCHOP –XRT III, IV RCHOP or other combination chemotherapy I – IV Intensive combination chemotherapy Intermediate grade High grade CVP: cyclophosphamide + vincristine +prednisone; RCHOP: rituximab + cyclophosphamide + doxorubicin + vincristine + prednisone; XRT, irradiation. Terapi utama limfoma adalah radioterapi, kemoterapi, imunoterapi atau kombinasi diantaranya. Radioterapi diberikan dengan dosis harian sebesar 200 cGy dari dosis total 3.000-4.000 cGy untuk limfoma jenis low-grade dan dosis total 4.900-5.000 cGy untuk limfoma jenis intermediate-grade. 5 23 24 Gambar 4.1 NHL sinus paranasal sebelum dan sesudah terapi (kemoiradiasi) 9 Luas daerah lapangan radioterapi dibuat sesuai dengan jenis dan lokasi tumor serta bentuk anatomi pasien. Daerah yang paling sering disinar adalah daerah cincin waldeyer yang meliputi jaringan limfoid nasofaring, orofaring, basis lidah dan KGB di daerah atas servikal, preaurikular, submandibular, submaksila dan oksipital. 11 Daerah sinar mantle meliputi KGB servikal, supraklavikula, infraklavikula, axila, mediastinum dan daerah hilus. Penyinaran dapat dilakukan hanya pada daerah yang terlibat dan dapat meluas hingga semua kelompok KGB yang berhubungan (Extendedfield irradiation). 5 Gambar 4.2 Lapangan radioterapi pada kasus limfoma 15 25 Limfoma bersifat sensitif terhadap banyak obat kemoterapi, seperti cyclophosphamide, chlorambucil, vincristine, prednisone, doxorubicin (Adriamycin), bleomycin, methotrexate, dan fludarabine. Kemoterapi biasanya diberikan dalam kombinasi dan dalam beberapa siklus untuk mendapatkan respon terbaik dengan efek samping yang masih dapat diterima. 11 Secara umum, kemoterapi diberikan hingga tercapai respon lengkap, diikuti dengan dua siklus tambahan sebagai konsolidasi. Jika kemoterapi digunakan dengan kombinasi dengan radioterapi pada stadium awal (stadium I atau II), tiga sampai enam siklus kemoterapi biasanya sudah mencukupi. 11 Karena intensitas dosis penting dalam mencapai respon yang optimal, maka penting untuk dilakukan pemberian dosis tertinggi yang masih bisa diterima pasien sesuai jadwal. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pemberian imunoterapi dengan antibodi antiCD20 (rituximab) juga memberikan hasil yang efektif. 5 Banyak kombinasi obat kemoterapi yang tersedia untuk pengobatan limfoma. Kombinasi yang paling sering digunakan adalah : 1 CVP: cyclophosphamide, 400 mg per m 2 per oral (PO) hari 1 sampai 5; 2 2 vincristine, 1.4 mg per m intravena (IV) hari 1; prednisone, 100 mg per m PO hari 1 sampai 5; diulang setiap 21 hari. 2 CHOP: cyclophosphamide, 750 mg per m IV hari 1; doxorubicin, 50 mg per m 2 2 2 IV hari 1; vincristine, 1.4 mg per m IV hari 1; prednisone, 50 mg per m PO hari 1 sampai 5; diulang setiap 21 hari. Regimen lainnya menambahkan bleomycin dan/atau methotrexate dosis tinggi. Rituximab (R): 375 mg per m IV per minggu selama 4 minggu. 2 4.2 Subtipe Spesifik 4.2.1 Limfoma Low-Grade Stadium I atau II 26 Hanya sebagian kecil limfoma di daerah kepala dan leher yang berjenis low grade, dan datang pada stadium awal. Terapi baku adalah radioterapi daerah yang terlibat saja atau daerah luas, dan sebagian besar penelitian tidak menunjukkan adanya manfaat dari kemoterapi. Dalam 10 tahun, sekitar 60% pasien bebas dari penyakit, dan 65% masih dapat bertahan hidup. Apakah terdapat kelompok kecil pasien yang dinyatakan sembuh masih kontroversi karena kekambuhan masih dapat terjadi bahkan hingga setelah 10-20 tahun. Dalam sebuah analisis retrospektif yang dilakukan di Stanford, kelompok pasien dengan limfoma folikuler stadium I/II diamati tanpa suatu terapi awal. Pada masa pengamatan lanjutan selama 7 tahun, lebih dari dua pertiga pasien tidak memerlukan terapi apapun. Tingkat keberhasilan hidup secara keseluruhan kelompok pasien ini tidak berbeda dengan kelompok yang menjalani radioterapi atau kombinasi dengan modalitas terapi lainnya. 4.2.2 17 Limfoma Low-Grade stadium III atau IV Meski telah melalui penelitian selama puluhan tahun, tidak ada kesepakatan tentang penanganan yang optimal dari limfoma folikuler dan low-grade. Beberapa jenis terapi yang digunakan antara lain penggunaan alkilating agen saja, kombinasi kemoterapi dengan regimen CVP atau CHOP, atau regimen berdasar fludarabine. 1 Dimana dengan setiap regimen yang digunakan, sekitar 60-80% pasien dapat mencapai respon lengkap. Sebagian besar pasien mengalami kekambuhan dengan hanya 20-30% pasien yang tetap bebas penyakit pada 10 tahun, dan 50-60% pasien masih bertahan hidup dengan penyakitnya. Belum ada terapi yang lebih unggul dari yang lain secara signifikan dari yang lain dalam hal kemungkinan bertahan hidup. 1 Rituximab, suatu antibody monoklonal dengan efek toksik minimal yang diarahkan langsung ke antigen CD20 sel B, dapat memberikan respon hingga 50% kasus limfoma jenis low-grade. Respon tersebut bertahan hingga sekitar 1 tahun. Antibodi ini digunakan secara luas karena efektifitasnya dan efek toksisitas yang rendah. 18 27 Efek samping paling sering terjadi pada pemberian pertama, berupa demam, menggigil dan kadang-kadang hipotensi. Kemungkinan penggunaannya sebagai terapi pemeliharaan diteliti pada dua penelitian berbeda dengan jadwal yang berbeda. Pada dua penelitian tersebut time to progression (TTP) atau waktu sejak penyakit didiagnosis hingga penyakit tersebut memburuk, menjadi lebih lama dari yang diharapkan namun tidak ada perbedaan dalam angka harapan hidup. 1,18 Penelitian acak baru-baru ini menunjukkan bahwa regimen yang mengandung rituxan lebih unggul dibandingkan kemoterapi saja. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan regimen CVP dan R-CVP, ternyata respon secara keseluruhan lebih baik pada kelompok regimen kombinasi R-CVP. Hasil yang lebih baik juga dilaporkan pada penggunaan kombinasi RCHOP dibandingkan dengan CHOP. Namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai keunggulan dalam hal harapan hidup. Mengingat sifat jinak dari limfoma jenis low-grade, observasi pasien sampai dengan muncul keluhan berupa pembesaran KGB, gejala sistemik atau gangguan fungsi organ adalah suatu pendekatan yang dapat diterima. Penelitian yang membandingkan penggunaan terapi kemoterapi kombinasi dibandingkan dengan tanpa terapi awal, diikuti dengan kemoterapi kombinasi ketika dibutuhkan menunjukkan tidak terdapat perbedaan dalam hal harapan hidup pasien. 5 Beberapa terapi limfoma yang berbasis pada imunologi tampak menjanjikan. Penggunaan radioimunoterapi memiliki kelebihan dapat membunuh sel-sel yang berikatan dengan antibodi yang digunakan namun juga dapat membunuh sel-sel disekitar sel target akibat efek cross-fire, dimana sel-sel di sekitar sel target tersebut mungkin tidak terdapat antigen dipermukaannya atau mungkin tidak terjangkau oleh antibodi monoklonal. 11 Dua jenis antibody monoclonal anti-CD20 yang paling sering diteliti adalah tositumomab (Bexaar) dan 131 I- 90 Y-ibritumomab (Zevalin), dan keduanya sudah disetujui oleh FDA untuk penggunaan pada kasus limfoma low-grade yang kambuh atau mengalami transformasi menjadi limfoma jenis yang lebih tinggi. 1 28 Meskipun kedua agen ini memiliki perbedaan dalam sifat fisiknya namun keduanya memiliki efektifitas dan toksisitas yang serupa. Efek toksisitas terberat keduanya adalah myelosupresi yang dapat timbul lambat. Awalnya 131 1 I tositumomab digunakan pada pasien dengan limfoma jenis low-grade atau yang mengalami transformasi yang sebelumnya pernah menerima minimal 2 siklus kemoterapi atau mengalami kekambuhan dalam 6 bulan setelah terapi sebelumnya. 4.2.3 1 Limfoma intermediate-grade, stadium I atau II Di masa lalu, sebagian besar pasien dengan limfoma kepala dan leher stadium awal diterapi dengan radioterapi saja. Dalam sebuah penelitian yang dilaporkan oleh Universitas Stanford, angka bebas penyakit pada pasien stadium I 48%, pada stadium II 35%. Pada kasus yang mengalami kekambuhan 79% muncul dengan pembesaran KGB. Kemoterapi, terutama CHOP, adalah pilihan terapi utama, memberikan hasil yang lebih baik dari radioterapi saja. 1 Pasien dengan keterlibatan hanya di satu atau dua tempat dan pembesaran KGB yang tidak besar mungkin hanya memerlukan siklus kemoterapi yang lebih sedikit dibandingkan dengan pasien dengan stadium lanjut. 1 Pada pasien dengan stadium I, angka bebas penyakit pada 5 tahun adalah 80-100%, dengan kemungkinan bertahan hidup keseluruhan 95%-100%. Pada pasien dengan stadium II, angka bebas penyakit pada 5 tahun adalah 75-80%, dengan kemungkinan bertahan hidup keseluruhan 75-90%. 4.2.4 1 Limfoma jenis intermediate-grade, stadium III atau IV Selama puluhan tahun CHOP telah menjadi terapi standar pada pasien dengan limfoma large-B-cell stadium III atau IV. Respon lengkap berkisar antara 50-85%. Angka bebas penyakit pada 5 tahun adalah 30-60%, dengan kemungkinan bertahan hidup keseluruhan 35-70%. Meskipun kemoterapi intensif dengan beberapa agen kemoterapi 29 tampak lebih efektif pada penelitian fase II, penelitian dengan sampel lebih besar di beberapa tempat tidak menunjukkan hasil yang lebih baik. 19 Radioterapi biasanya digunakan untuk terapi segera pada pasien dengan pembesaran KGB yang menimbulkan sumbatan jalan nafas atas. Pada limfoma jenis intermediate-grade, CHOP telah dianggap sebagai terapi standar yang dapat diperbandingkan dengan terapi baru. Meskipun rituximab hanya memiliki aktivitas sedang jika digunakan sebagai terapi tunggal pada limfoma jenis intermediategrade, ada dua penelitian yang menunjukkan hasil yang lebih baik bila ditambahkan pada regimen CHOP. Pada penelitian pertama, pasien usia 60-80 tahun dengan limfoma jenis intermediategrade dengan CD20 positive B-cell stadium lanjut dibagi secara acak menjadi kelompok yang mendapat terapi CHOP atau RCHOP. Kelompok pasien yang menerima RCHOP menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal respon lengkap, angka bebas penyakit dalam 5 tahun dan kemungkinan bertahan hidup keseluruhan dibandingkan pada kelompok yang menerima CHOP. 19 Hasil yang serupa dilaporkan oleh penelitian kedua yang memakai sampel pasien usia dibawah 60 tahun. Sehingga hasil dari dua penelitian ini mendukung penggunaan RCHOP sebagai standar pengobatan baru pada pasien dengan limfoma diffuse large Bcell. Meskipun telah didapatkan beberapa kemajuan dalam terapi limfoma sel B, namun hasil terapi pada limfoma sel T dan sel NK masih tetap buruk. Angka kemungkinan bertahan hidup pada kelompok ini kurang dari 20% dengan kemungkinan kambuh yang lebih besar pada sistem saraf pusat. Pada kelompok pasien ini kemoterapi CHOP ditambah pemberian methotrexate intratekal sebagai pencegahan dapat dipertimbangkan. 1 Regimen kemoterapi yang lebih intensif sedang diteliti mengingat buruknya hasil terapi yang sekarang. Karena sebagian besar pasien ini datang dengan gejala yang luas di daerah lokalnya, radioterapi konsolidasi dan radiasi seluruh otak sebagai tindakan pencegahan dapat dipertimbangkan. 1,11 30 Pasien dengan stadium lanjut yang tidak berespon terhadap kemoterapi awal atau mengalami kekambuhan biasanya tidak mendapatkan hasil yang baik dengan regimen standar lini kedua. Pada pasien ini, kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sel induk adalah terapi terpilih. Pada pasien dengan NHL, sumber sel induk biasanya autolog. Sel induk diambil dari darah tepi atau dari sumsum tulang, diawetkan dengan dibekukan dan dimasukkan kembali setelah pemberian kemoterapi dosis tinggi selesai. 1 Proses ini memungkinkan pemberian kemoterapi dalam dosis beberapa kali lipat lebih tinggi untuk menghilangkan limfoma yang resisten dengan dosis kemoterapi standar dengan hasil yang baik. 4.2.5 1 Limfoma jenis high-grade. Limfoma limfoblastik seringkali merupakan keganasan sel T yang muncul pada pasien muda sebagai masa di mediastinum yang membesar dengan cepat, meskipun kadang dapat juga muncul di daerah kepala dan leher. Limfoma ini seringkali menyebar ke sistem saraf pusat dan sumsum tulang. 11 Terapinya pada stadium berapapun adalah kemoterapi kombinasi, termasuk profilaksis pada sistem saraf pusat. Sekitar 60% pasien dapat disembuhkan dengan terapi yang agresif. Limfoma jenis Small noncleaved cell dapat menyerupai limfoma burkitt. Terapi yang paling efektif adalah kemoterapi kombinasi dosis bertingkat dengan regimen cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine, prednisone, methotrexate, etoposide, cytarabine,dan d methotrexat intratekal. 11 Dalam beberapa hari pertama memulai terapi, pasien berisiko mengalami tumor lysis syndrome yang ditandai dengan peningkatan ureum, kalium, phosphat, penurunan kalsium dan gagal ginjal akut. Hal ini dapat terjadi dalam hitungan jam sejak kemoterapi dimulai dan berujung pada kematian akibat aritmia jantung. 11 Pasien dengan tumor yang besar yang mungkin mengalami kehancuran sel kanker dalam jumlah besar sebaiknya mendapat allopurinol, hidrasi intravena dan alkalisasi urin dalam 24-48 jam setelah kemoterapi. 31 Dengan regimen kemoterapi diatas sekitar 65% pasien masih hidup dalam 2 tahun. Pasien dengan keterlibatan sumsum tulang atau sistem saraf pusat memiliki prognosis yang lebih buruk, meskipun sebagian besar pasien masih dapat disembuhkan dengan regimen kemoterapi intensif. 11 4.3 Limfoma spesifik kepala dan leher 4.3.1 Limfoma pada cincin waldeyer Sekitar setengah dari semua NHLs pada cincin waldeyer ditemukan di tonsil palatine , 20% di antaranya adalah bilateral . Dalam jumlah yang kecil, limfoma di daerah ini juga muncul dari tonsil faringeal, pangkal lidah atau tonsil lingual, atau melibatkan beberapa tempat primer. Gejala sesuai dengan lokasi penyakit. NHL dari tonsil dan pangkal lidah biasanya hadir dengan odynophagia unilateral dan disfagia sementara NHL nasofaring dapat terwujud dengan sumbatan hidung, disfungsi tuba eustachius, epistaksis , atau neuropati kranial. Pada pemeriksaan fisik, Lesi NHL kebanyakan submukosa, seperti 11 ulserasi lesi terlihat pada SCC. Sebagian besar pasien datang dengan tahap awal stadium I atau stadium II , dengan gejala B terjadi dalam waktu kurang dari 15% dari pasien. Subklasifikasi histologi yang paling umum pada daeerah ini adalah DLBCL, dijumpai pada 85% kasus. Kombinasi kemoradioterapi memiliki konsisten yang menunjukkan keunggulan kelangsungan hidup bebas penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi atau radioterapi saja. CT pencitraan NHL cincin waldeyer umum menunjukkan massa homogen besar intensitas yang sama dengan sekitarnya jaringan limfoid baik di tonsil lingual atau tonsil palatine, atau nasofaring. Tidak seperti karsinoma nasofaring , erosi dasar tengkorak dari limfoma nasofaring jarang. Terkait limfadenopati pada sisi ipsilateral lesi umum dan biasanya nonnecrotic dalam penampilan pencitraan. 4.3.2 Limfoma Sinonasal 11 32 Limfoma sinonasal jarang dan kurang dari 1% kasus NHL keseluruhan. Mirip dengan cincin Waldeyer, NHL DLBCL adalah subkelompok yang paling umum dari penyakit ditemukan di lokasi ini. Sebagian besar tumor sinonasal DLBCL melibatkan sinus paranasal tetapi tidak rongga hidung. Berikutnya subkelompok yang paling umum, NK / Tcell limfoma, adalah lebih umum di Asia daripada di Barat negara dan berhubungan dengan infeksi EBV. Tidak seperti DLBCL, NK / T-cell limfoma hampir selalu muncul dari rongga hidung. Kebanyakan pasien dengan limfoma sinonasal ini dengan penyakit tahap awal. Berbeda dengan Asia yang paling besar studi, analisis klinikopatologi baru-baru ini tumor dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa NK / T-cell lymphomas memiliki prognosis yang menguntungkan dengan hasil yang sama dengan pasien dengan DLBCL tumor. Pada magnetic resonance imaging (MRI), limfoma sinonasal lebih homogen pada urutan T2 dan agak meningkat bila dibandingkan dengan karsinoma. Mereka mungkin hadir dengan remodeling tulang dan / atau erosi merusak lesi hidung seperti Wegener granulomatosis. Limfoma sinonasal low grade menunjukan gejala obstruktif sementara tumor high grade dengan gejala neuropati kranial, nyeri, dan epistaksis. Tumor DLBCL memiliki kecenderungan untuk jaringan lunak atau kerusakan tulang dekat orbita dan dapat memiliki gejala seperti mata proptosis. Sebaliknya, benar untuk nama alternatif mereka mematikan garis tengah granuloma, tumor NK / sel-T berhubungan dengan ulserasi dan kehancuran hidung septum. Pengobatan termasuk kemoterapi kombinasi, paling sering CHOP, dan terapi radiasi. Meskipun jarang, limfoma harus tetap dalam diagnosis diferensial dari banyak lesi sinonasal; indeks kecurigaan yang tinggi sering harus 11 dipertahankan untuk membuat diagnosis. 4.3.3 Limfoma kelenjar ludah Antara 2% dan 5% dari neoplasma kelenjar ludah adalah limfoma primer. Pasien dengan tumor ini biasanya hadir dengan massa asimtomatik parotid atau kelenjar 33 submandibular. Nyeri dan paresis facial adalah gejala yang tidak umum. Sebagian besar tumor ini 70% sampai 80% dari mereka muncul dari kelenjar parotis . Limfoma ini jarang dicurigai sebelum operasi. dan banyak pasien menjalani prosedur invasif seperti parotidectomy dangkal sebelum mendapat diagnosis limfoma. Subtipe histologis di wilayah ini meliputi, frekuensi menurun, mukosa terkait jaringan limfoid (MALT) limfoma, limfoma folikular, dan DLBCL. Limfoma kelenjar ludah memiliki tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan dibandingkan dengan situs ekstranodal lainnya di kepala dan leher dan biasanya diobati dengan primer radioterapi. Dibandingkan dengan kohort usia yang sama normal, pasien dengan penyakit Sjogren memiliki lebih dari 40 kali lebih besar risiko relatif berkembang NHL dipengaruhi kelenjar parotis. Untuk pasien dengan penyakit Sjogren, ada prevalensi overall 4% dari NHL . CT pencitraan limfoma kelenjar ludah menunjukkan gambaran homogen dan peningkatan ringan. Agresif tumor dapat menunjukkan infiltrasi jaringan sekitarnya dengan perubahan nekrotik atau kistik di tumor itu sendiri. 4.3.4 11 Limfoma Tiroid Sebagian besar limfoma tiroid adalah jenis intermediate-grade. Pasien dengan stadium IE atau IIE sebaiknya diterapi dengan kombinasi modalitas radioterapi dan kemoterapi dengan regimen RCHOP tiga atau enam siklus. .Pasien dengan dengan stadium III atau IV sebaiknya diterapi dengan kemoterapi. Radioterapi telah digunakan sebagai terapi utama pada limfoma tiroid indolen stadium IE dan IIE, dengan derah sinar yang diperluas hingga KGB leher dan mediastinum menhasilkan angka bebas penyakit pada 5 tahun sekitar 75%. 11 Pasien dengan faktor prognostik buruk seperti tumor yang besar, perluasan keluar kapsul, fiksasi dan keterlibatan daerah retrosternal sebaiknya diterapi seperti limfoma jenis intermediate-grade. 4.3.5 Limfoma Orbita 11 34 Limfoma jenis low-grade yang terbatas pada orbita saja dapat diterapi dengan radioterapi saja pada dosis 3.000-3.500 cGy dengan hasil yang memuaskan. Angka harapan hidup bebas dari penyakit sekitar 70%. Pada kasus jenis histologi intermediate-grade atau stadium III-IV, sebaiknya dipertimbangkan penggunaan kemoterapi. Hasil terakhir menunjukkan rituximab dapat digunakan sebagai agen tunggal dengan aktivitas yang menjanjikan. 4.3.6 11 Limfoma berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Kejadian NHL meningkat pesat pada pasien dengan infeksi HIV. Biasanya jenis histologinya intermediate atau high-grade dengan stadium lanjut dan seringkali melibatkan ekstranodal. Penyakit ekstranodal pada daerah kepala dan leher dapat timbul pada 10% pasien dengan limfoma yang berhubungan dengan HIV. 11 Tempat tersering terkena antara lain gusi, mukosa mulut, kelenjar parotis, dan konjungtiva. Penentuan stadium dan terapi hampir sama dengan kasus limfoma yang tidak berhubungan dengan HIV, namun harapan hidup buruk karena penyakit yang sudah stadium lanjut dan keadaan umum yang buruk sehingga tidak dapat mentolelir dosis penuh pada regimen standar. 11 4.4 Komplikasi Terapi 4.4.1 Radioterapi Efek samping akut radioterapi adalah mukositis, yang dapat diterapi dengan obat kumur dan jika diperlukan penghentian sementara dari terapi. Beberapa pasien mengeluhkan disfagia, dan membutuhkan terapi dengan antasida. Efek samping kronis adalah xerostomia akibat radiasi kelenjar liur dengan infeksi rongga mulut kronis dan karies gigi. Pasien sebaiknya menemui dokter gigi sebelum radioterapi dimulai dan menggunakan pasta gigi berfluoride selama radioterapi. Terapi dengan sialogogue memperbaiki produksi kelenjar liur pada beberapa pasien. Gejala hipotiroid dapat muncul beberapa 35 tahun setelah radioterapi, dan pemeriksaan fungsi tiroid harus dilakukan rutin setiap 1 tahun. 4.4.2 Kemoterapi Myelosuppression adalah komplikasi yang dapat muncul sebagai komplikasi dari kemoterapi. Efek yang paling mengancam jiwa adalah neutropenia atau trombositopenia. Neutropenia dapat diterapi atau dicegah dengan pemberian granulocyte colonystimulating agents. Mual dan muntah yang timbul segera setelah pemberian doxorubicin dan cyclophosphamide dapat dikontrol dengan penggunaan antiemetik. Komplikasi lain yang jarang terjadi namun dapat mengancam jiwa setelah pemberian cyclophosphamid adalah hemorrhagic cystitis yang dapat muncul dengan gejala dysuria dan hematuria. Doxorubicin dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung dengan hasil akhir gagal 2 jantung pada pasien yang menerima dosis lebih dari 550 mg per m . Gangguan fungsi jantung dapat timbul pada dosis akumulasi yang lebih rendah pada pasien usia lanjut, pasien dengan riwayat penyakit jantung, atau pasien yang pernah menjalani radioterapi di daerah mediastinum. Pasien yang menerima terapi doxorubicin sebaiknya menjalani pemeriksaan fungsi jantung khususnya tentang kontraktilitas jantung secara berkala. Efek samping vincristine yang utama adalah gangguan saraf berupa neuropati perifer, konstipasi dan ileus. Pasien dapat mengeluhkan juga suara serak akibat gangguan fungsi pita suara. Komplikasi utama methotrexate adalah mucositis, ulkus saluran cerna, dan kelainan hematologi yang dapat dikurangi efeknya dengan penggunaan leucovorin. Bleomycin dapat mengakibatkan toksisitas pulmonal, terutama berupa fibrosis interstitial yang muncul pada dosis lebih dari 200 mg, khususnya pada pasien dengan penyakit paru kronis sebelumnya. 36 Banyak agen kemoterapi menyebabkan alopecia, amenorrhea atau azoospermia, bahkan beberapa agen dihubungkan dengan kejadian keganasan sekunder. 37 BAB V SIMPULAN Otolaryngologists akan sering dikonsulkan untuk membuat diagnosis limfoma di daerah kepala dan leher. Limfoma di daerah kepala dan leher yang paling sering adalah manifestasi sebagai pembesaran kelenjar getah bening leher atau hypertrophic jaringan limfoid pada cincin Waldeyer. Biopsi definitif membutuhkan sampel jaringan yang cukup untuk pemeriksaan histologis. Standar baku emas pemeriksaannya adalah biopsi eksisi kelenjar getah bening yang terlibat. CT dengan kontras memadai untuk evaluasi awal pasien yang diduga limfoma di kepala dan leher. Staging sistem the Ann Arbor adalah yang paling banyak yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keterlibatan anatomi pada limfoma dan untuk menentukan stadium kedua jenis limfoma baik HL ataupun NHL. Jenis yang paling umum dari NHL adalah limfoma folikular, yang sering kurang aktif dan tidak memerlukan pengobatan aktif. Sebagian besar limfoma di daerah kepala dan leher adalah jenis diffuse large cell, intermediate grade. Terapi radiasi dan / atau kemoterapi kombinasi adalah pengobatan untuk kedua NHL dan HL kepala dan leher. 38 DAFTAR PUSTAKA 1. Advani Ranjana, Jacobs CD. 2006. Lymphomas of the Head and Neck. Dalam Bailey's Head and Neck Surgery--otolaryngology.Edisi ke 4. Lippincott Williams & Wilkins; 115:2041-56. 2. Zapater E, Bagan JV, Carbonell F, Basterra J. 2010. Malignant lymphoma of the head and neck. Oral Dis. 16(2):119-28. 3. Lu P. 2010. Staging and Classification of Lymphoma. Semin in Nucl Med.35(3):160-4. 4. Jemal A, et al. 2010. Cancer statistics. CA Cancer J Clin; 60(5):277300. 5. Good DJ, Gascoyne RD. 2008. Classification of non Hodgkin’s lymphoma. Hematol Oncol Clin North Am; 22(5): 781-805. 6. Alexander DD, et al. 2007. The Non-Hodgkin Lymphomas: A Review of the Epidemiologic Literature. Int J Cancer; 120(Suppl 12):1-39. 7. Dhingra, PL. 2007. Anatomy and Physiology of Pharynx. Dalam Diseases of Ear, Nose and Throat. Elsivier. 46:223-6. 8. Oliveira HF, Carvalho, Argollo, et al. 2009. Rhinoscleroma and Nasal Non Hodgkin Lymphoma. Arq Int Otorhinolaringol;13(1):96-8. 9. Qizilbash AH, et al. 2005. Aspiration biopsy cytology of lymph nodes in malignant lymphoma. Diagn Cytopathol. 1(1):18-22 10. Ghatib H. 2005. FNAB of the thyroid gland. Dalam Thyroid function test. Diunduh pada 15 Desember 2014 http://www.thyroidmanager.org/chapter6a/fnabiopsy-text.htm. dari 39 11. Chai L.Raymond, Tassler B.Andrew, Kim Seungwon. 2014. Lymphomas of the Head and Neck. Dalam Bailey's Head and Neck Surgery--otolaryngology.Edisi ke 5. Lippincott Williams & Wilkins. 128:2032-43. 12. Loubeyre P, et al. 2009. Diagnostic precision of image-guided multisampling core needle biopsy of suspected lymphomas in a primary care hospital. Br J Cancer. 100(11):1771-76. 13. Aiken AH, Glastonbury C. 2008. Imaging Hodgkin and Non-Hodgkin Lymphoma in the Head and Neck. Radiol Clin N Am; 46:363-78. 14. Sykorova A, Belada D, et al. 2010. Staging of non-Hodgkin’s Lymphoma. Klin Onkol. 23(3):146-54. 15. Anonym. 2004. The International Non-Hodgkin’s Lymphoma Prognostic Factors Project. A predictive model for aggressive nonHodgkin’s lymphoma. N Engl J Med. 329:987-994 16. Solal CP, Roy P, Colombat P, et al. 2004. Follicular lymphoma international prognostic index. Blood Journal. 104:1258-1265. 17. Advani R, Rosenberg SA, Horning SJ. 2004. Stage I and II follicular non-Hodgkin’s lymphoma : long term follow up of no initial therapy. J Clin Oncol. 22:1454-9 18. Maloney DG. 2003. Rituximab for follicular lymphoma. Curr Hematol Rep. 2:13-22. 19. Coiffier B, Lepage E, et al. 2005. CHOP chemotherapy plus rituximab compared with CHOP alone in elderly patients with diffuse large Bcell lymphoma. N Eng J Med ; 346:235-42. 40